BAB I
The Law of Nations, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
hukum bangsa-bangsa, memiliki akar konseptual pada istilah yang dikenal di
dalam bahasa Romawi, Ius Gentium yang artinya kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan antara orang. Yakni hukum yang berlaku antara bangsa bangsa di jaman Romawi,
termasuk kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan antara orang Romawi dengan
orang bukan Romawi dan antara sesama bukan orang Romawi. Dalam perkembangannya,
dikenal pula istilah Ius Inter Gentes yang bermakna hukum antar bangsa yang menandakan
awal munculnya hukum internasional publik. Istilah Law of Nations juga sering dimaknai
serupa dengan istulah Law among Nations. Di masa menjelang berakirnya Perang Dunia II.
Seorang Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat bernama Robert H. Jackson
melakukan refleksi terhadap situasi peperangan saat itu dengan mengemukakan pentingnya
hukum antar bangsa. Ia menyatakannya sebagai berikut,
“Awareness of the effect of war on our fundamental law should bring home to our
people the imperative and practical nature of our striving for a rule of law among the
nations.”
(Terjemahan bebas: Kesadaran akan dampak perang terhadap hukum dasar kita
harus membawa pulang kepada orang-orang kita sifat penting dan praktis dari perjuangan
kita untuk sebuah peraturan hukum di antara bangsa-bangsa) Sejumlah pakar juga seakan
masih menegaskan bahwa Law among Nations merupakan esensi dari hukum
internasional publik yang dipahami saat ini.
Kesimpulan
Hukum Internasional merupakan seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat
oleh negara-negara berdaulat secara eksklusif yang dapat didefinisikan sebagai
Sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur tentang prinsipprinsip
dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum
internasional), dan hubungannya satu sama lain.
Adagium Ubi Societas Ubi Jus, yang bermakna di mana ada masyarakat
maka tentu ada hukum juga dapat berlaku dalam hubungan internasional.
Terdapat lima (5) nilai dasar sosial yang biasanya dijaga oleh negara-negara
dalam hubungan internasional:
1. keamanan
2. kebebasan,
3. ketertiban,
4. keadilan,
5. kesejahteraan
Menurut Sefriani, sebagian besar masyarakat internasional
menerima demikian saja adanya nilai-nilai tersebut tanpa menyadari arti
pentingnya.
Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis Hukum
Internasional. Eksistensi masyarakat internasional terindikasikan dari adanya
banyak negara di dunia yang memiliki hubungan di berbagai bidang yang bersifat
tetap dalam suatu kehidupan bersama yang sederajat dan saling membutuhkan. Hukum
internasional kemudian mendapatkan tempatnya, karena untuk
menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional dibutuhkan
hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan
yang teratur
Kedaulatan Negara
Ketika dipadukan dengan konteks negara, Kedaulatan Negara menjadi suatu konsepsi
bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi. John Austin pernah berargumen bahwa
hukum internasional bukanlah hukum dalam arti sebenarnya.
Hingga saat ini, Hukum Perang yang secara luas dikenal sebagai Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Law) dan Hukum Laut yang telah secara lazim
disebut sebagai Hukum Laut Internasional (The Law of the Sea) merupakan dua „anak
cabang‟ Hukum Internasional yang selalu memiliki relevansi.
Era dekade 1960-an juga menjadi penanda penting munculnya apa yang saat
ini dikenal sebagai Hukum Perjanjian Internasional (The Law of Treaties),
terutama berkaitan dengan negosiasi multilateral mengenai tata cara pembuatan
perjanjian antar negara yang bermuara pada Vienna Convention on the Law of
Treaties (1969). Bidang kajian ini juga telah merambah pada aspek perjanjian
antara negara dan organisasi internasional serta di antara sesama organisasi
internasional sebagaimana diatur di dalam Vienna Convention on the Law of
Treaties between States and International Organizations or between International
Organizations (1986).
Penutup
Beragam definisi Hukum Internasional yang dikemukakan para pakar
setidaknya memiliki benang merah adanya 3 (tiga) unsur dari batasan tersebut,
yakni:
1. pertama, terdapat prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum
2. kedua, berfungsi untuk melandasi hubungan antara subyek-subyek Hukum
Internasional dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik yang bersifat lintas
batas negara, dan
3. ketiga, bersifat publik.
Hukum Internasional publik telah berkembang menjadi sejumlah disiplin ilmu baru
yang telah diajarkan di berbagai program studi hukum pada berbagai perguruan
tinggi di dunia, di antaranya
1. Hukum Laut Internasional,
2. Hukum Diplomatik dan Konsuler,
3. Hukum Perjanjian Internasional,
4. Hukum Organisasi Internasional,
5. Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Internasional,
6. Hukum Migrasi Internasional,
7. Hukum Pengungsi Internasional,
8. Hukum Udara,
9. Hukum Angkasa,
10. Hukum Lingkungan Internasional,
11. Hukum Ekonomi Internasional,
12. Hukum Perdagangan Internasional,
13. Hukum Pembangunan Internasional,
14. Hukum Investasi Internasional,
15. Hukum Pidana Internasional,
16. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan
17. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.
BAB II
Deskripsi yang disampaikan Herodotus tentang „silent trading‟ antara
bangsa Carthaginian dan sebuah suku di kawasan Afrika Utara sekitar abad
keenam sebelum masehi. Ketika kapal laut bangsa Carthaginian berlabuh di
wilayah suku tersebut kemudian membongkar barang-barang muatan untuk
diletakkan di pantai, lalu bangsa Carthaginian kembali ke kapalnya dan
mengirimkan sinyal asap. Suku pribumi akan datang untuk memeriksa barangbarang
tersebut, jika mereka puas, maka mereka akan menempatkan sejumlah
emas sebagai gantinya. Jika mereka tidak puas maka mereka akan meninggalkan
pantai, untuk kemudian bangsa Carthaginian akan menambah ataupun mengganti
barang-barang yang mereka tawarkan. Hal ini berlangsung sampai kedua pihak
sepakat akan jenis dan jumlah barang-barang yang ditawarkan. Pada akhirnya
bangsa Carthaginian akan membawa pulang emas sebagai pembayaran atas
barang-barang yang mereka berikan. Perdagangan ini berlangsung tanpa ada
percakapan antar mereka, oleh karenanya disebut sebagai silent trading.
Sejarah perkembangan Hukum Internasional terbagi ke dalam tiga periode
yaitu:
1. periode kuno,
2. periode klasik dan
3. periode modern.
Bangsa Yahudi
Zaman Yunani
“That „natural‟ obligations of justice became not those of divine law but
essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others have
focused on consent as the key to the binding nature of international law. Norms
are binding because state consent that they should be.”
“Kewajiban keadilan yang 'alami' tidak menjadi kewajiban hukum ilahi tetapi
pada dasarnya apa yang diperlukan untuk penghidupan dan pelestarian diri. Orang lain
telah berfokus pada persetujuan sebagai kunci dari sifat mengikat hukum internasional.
Norma mengikat karena persetujuan negara bahwa mereka seharusnya. "
Zaman Romawi
Perjanjian Westphalia
Abad Ke-18