Anda di halaman 1dari 5

Keunggulan dan Kelemahan Hukum Internasional

Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa Hukum Internasional
bukan berarti hukum yang sebenarnya, atau hukum mutlak yang berjalan dan diterapkan
semestinya, melainkan hanya suatu himpunan darri beberapa kaidah perilaku yang hanya
memiliki kekuatan moral semata.1 Ini yang kemudian menjadi sebuah persoalan di mata
internasional, bahwa tidak adanya kemutlakan bagi Hukum Internasional dalam
perancangannya maupun implementasinya. Penulis Yurispudensi atau seorang filsafat
berkebangsaan Inggris, John Austin (1790-1859) dianggap sebagai seseorang yang mendukung
atas teori ini. Penulis lain juga banyak mempertanyakan karakter sebenarnya dari Hukum
Internasional itu sendiri yaitu salah satunya adlah Hobbes. Pandangan Austin terhadap Hukum
Internasional diwarnai dengan hukum pada umumnya. Menurut teori Austin ini, hukum stricto
sensu dihasilkan keputusan-keputusan formal yang berasal daari badan Legislatif yang benar-
benar berdaulat, yang juga secara politis berkedudukan paling tinggi atau apabila tidak terdapat
otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam
kaidah-kaidah hukum, melainkan hhanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika
semata.2

Keraguan masyarakat awam terhadap “ada”-nya Hukum Internasional terasa sangatlah


wajar, dengan didasari banyak dari masyarakat yang membandingkannya dengan Hukum
Nasional di suatu negara. Jika dibandingkan tentu saja kekuatan hukum dari Hukum
Internasional dengan Hukum Nasional sangatlah berbeda dari sistem level dan penerapannya.
Di dalam prinsip Hukum Internasional mengenal dengan ketidakadaan suatu kekuasaan
tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara.3 Dikarenakan
dalam penerapan dan lingkupnya sangatlah luas, ini yang menjadikan Hukum Internasional
akan dirasa sulit untuk menjangkau dari setiap negara-negara yang harus mengikuti pada aturan
internasional ditambah lagi bahwa setiap negara datang dan membawa kepentingannya
masing-masing dalam memenuhi kebutuhan nasionalnya atau tindakan politiknya. Hukum
Internasional juga memanglah tidak selengkap dan sekompleks jika dibandingkan dengan
Hukum Nasional, karena memang tidak memiliki atas unsur-unsur di atas, Namun demikian
bahwa negara tetap mempercayai bahwa Hukum Internasional itu ada dan sebagai negara yang

1
Kurnia, M. P. (2008). Hukum Internasional (Kajian Ontologis). Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, 82.

2
Ibid, 83
3
Ibid, 83
berdaulat, serta menjunjung tinggi martabatnya terhadap kewajiban moral bagi suatu negara
untuk menghormati Hukum Internasional dan mematuhinya.4 Ada anggapan lain juga
mengatakan bahwa suatu negara akan mematuhi atau memang selayaknya mematuhi
dikarenakan faktor-faktor tertentu, ini disadari bahwa suatu negara harus terlihat patuh
terhadap Hukum Internasional agar dapat menjalankan hubungan dan kerjasamanya dengan
negara lain.

Berdasarkan apa yang telah diungkapkan oleh Austin berdasarkan teorinya di atas,
bahwa dari itu semua memandang Hukum Internasional terdapat banyak sekali titik kelemahan.
Kelemahan pertama, jika suatu hukum harus ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat,
maka ini tidak dapat dikenakan pada kebiasaan internasional, yang berlaku sebagai hukum,
meskipun tidak ditetapkan. Sebagai salah satu contohnya adalah mengenai wilayah laut. Ini di
dalam proses perkembangannya tidak ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat, tetapi
hanya merupakan suatu kebiasaan dari kebiasaan internasional, yang kemudian diawali dengan
meng-klaim suatu negara terhadap wilayah laut, yang kemudian klaim itu diikuti oleh negara-
negara lain. Dan kemudia dalam kenyataannya hal itu ditaati di dalam pergaulan internasonal.
Dalam contoh sederhana lain juga dengan adanya Hukum Adat. Di negara Indonesia, yang
namanya Hukum Adat tidak pernah ditetapkan oleh seorang penguasa politik yang berdaulat,
namun dari masyarakat adat itu sendiri yang menaati dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat
tersebut. Selain dari pada itu Hukum Adat ini juga tidak ada penguasa politik yang dapat
memaksakan keberlangsungannya atau penerapannya.5

Kelemahan selanjutnya yaitu Hukum Internaasional secara realitas tidak dapat


mengikat negara-negara lain untuk tunduk sebagai hukum yang absolut, artinya bahwa dengan
berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional tidak dapat dipaksakan oleh penguasa
masyarakat inyternasional, namun hanya sekedar tergantung pada hati nuaarani dan akesadaran
masing-masing negara yang bersangkutan (sesuai dengan karakter moral) maka kehendak
negara-negara yang memiliki kekuatkan lah yang akan dapat menentukan segala sesuatunya
dalam pergaulan internasional. Kalaupun ini akan dapat terjadi, maka yang berlaku hanyalah
hukum rimba, artinya siapkah dan negara apakah yang memiliki kekuatan yang lebih besar

4
Ibid, 84
5
Pawiroputro, E. (2014). Hukum Internasional Umum. Jakarta.
dialah yang akan mengendalikan dan memenangkan semuanya; atau dalam istilah lainnya yang
sering terjadi perang semua melawan semua (bellum omnisum contra omnes).6

Kelemahan yang ketiga adalah jika barangkali pendapat John Austin tersebut
dinyatakan benar, hanyalah benar dalam masanya saja. Untuk situasi dan kondisi internasional
saat ini adalah ternyata Hukum Internasional tersebut ditetapkan oleh penguasa politik yang
memiliki kedaulatan, melalui berbagai konvensi dan perjanjian internasional. Selain daripada
itu ada alat yang dapat memaksakan berlakunya ketentuan Hukum Internasional, antara lain
dengan adanya Mahkamah Internasional.7

Melihat pandangan diatas, dapat kita sadari bahwa Hukum Internasional dipatuhi dalam
rangka suatu negara ingin menjalankan dan mewujudkan kepentingan nasionalnya mereka.
Jika dikatkan dengan yang pernah dikatakan oleh Brierly, maka akan didapat sebuah bukti lagi
tentang keberadaan dan eksistensi Hukum Internasional. Bierly bependapat “Law exists only
in a society, and society cannot exists without a system of law to regulate the relations of its
members with one another”.8 Anggap saja dalam hal ini yang dimaksud Bierly kata “society”
merujuk pada negara atau masyarakat internasional yang ada di dunia. Dengan demikian akan
dapat diperoleh pemahaman bahwa “Hukum dapat eksus di dalam sebuah negara/masyarakat
internasional dan sebuah negara atau masyarakat internasional tidak dapat eksis tanpa adanya
hukum yang mengatur hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.” Hukum yang
dimaksud dalam pemahaman tersebut adalah Hukum Internasionl. Negara-negara dianalogikan
seperti layaknya individu manusia dalam sebuah komunitas dimana diperlukan sebuah sistem
hukum untuk mengatur hubungan antara individu-individu yang ada di dalam komunitas
tersebut, maka dengan demikian Hukum Internasional mutlak diperlukan keberadaan dan
eksistensinya untuk guna mengatur hubungan antar komunitas dunia yang anggota di dalamnya
adalah negara-negara yang saling sama-sama memiliki kepentingan nasionalnya masing-
masing.

Bukti-buktilain dengan kehadiran dan keberadaan Hukum Internasional itu sendir


sebagai bentuk positif dapat kita lihat dengan dari semakin berkembang dengan pesatnya
Hukum Internasional itu sendiri. Terutama dalam aspek HAM (Hak Asasi Manusia), Hukum
Pidana Internasional, dan Hukum Lingkungan Internasional. Rezim HAM Internasional yang

6
Ibid, 1.4
7
Ibid, 1.5
8
Kurnia, M. P. (2008). Hukum Internasional (Kajian Ontologis). Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, 82.
bergerak pada aspek dan peran penting dalam meng-“ada”kan Hukum Iternasional yang
materinya bersumber dan berhubugan dengan hak-hak asasi manusia yang dimiliki setiap
manusia di seluruh dunia. Hal ini tercermin bahwa Hukum Internasional memiliki dampak jika
dipandang dari sudut pandang lain, yaitu denngan lahirnya Perjanjian-Perjaanjian
Internasional seperti Universal Declarationn of the Human Right (UDHR), International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), the International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR), dan Convention of Elimination and Discrimination Against
Women (CEDAW) adalah hasil produk dari Hukum Internasional yang mana mewajibkan
semua negara untuk mematuhinya, bahkan kovenan tersebut memerintahkan negara-negara
untuk mengadopsi isi kovenan dan mengaturnya dalam hukum nasional masing-masing.9

Bentuk lain dari perkembangan Hukum Internasional yang semakin menunjukkan


eksistensinya juga terlihat di ranah Hukum Pidana, yaitu dengan diperkenalkannya konsep
pertanggungjawaban atas pidana individual (individual crime responsibility) yang dapat
memungkinkan para pelaku kejahatan-kejahatan internasional atau pelanggar HAM berat dapat
diadili secara individual melalui peradilan tingkat internasional yang permanen.10

Memang dalam kenyatannya das sein, Hukum Internasional sebagai sebuah hukum yang diakui
masih banyak kelemahan dan kekurangannya, terutama dalam kekuatan untuk mengikatnya,
penegakkan dan penerapan sanksi-sanksi, prinsip-prinsip kedaulatan negara serta asas local
remedies, tetapi seperti yang telah diungkapkan oleh Melda Kamil Ariadno dalam tulisannya
yang berjudul “Hukum Internasional Adalah Hukum Yang Hidup”, Hukum Internasional tetap
ada dan diperlukan, bahkan berkembang semakin pesat, menyentuh hamper pada setiap aspek
kkehidupan bernegara ataupun bermasyarakat. Menjawab “rasa pesimis” dari berbagai pihak
mengenai Hukum Internasional dan organisasi internasional seperti PBB, keberadaan Hukum
Internasional akan tetap dibutuhkan. Hubungan antara pelaku Hukum Internasional, negara
dengan lainnya, akan merupakan suatu yang dapat menimbulkan kekacauan tanpa adan aturan
yang mengaturnya. Negara yang kuat akan menekan negara yang lemah, negara yang kaya
akan menginjak negara yang miskin. Saat ini meskipun masih terjadi seperti itu, namun tidak

9
Ibid, 83
10
Statuta Roma 1998 yang mendirikan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), pembentukan Mahkamah
Kriminal untuk bekas penjahat perang dan pelanggar berat HAM Yugoslavia (ICTY) dan Wanda (ICTR) adalah
contoh nyata dimana individu dapat diadili Mhakamah tersebut atas pelanggaran-pelanggaran berat HAM bila
peradilan nasional tidak dapat atau tidak mau mengadilinya. Slobodan Milosevic adalah contohnya dan segera
kemudian menyusul Radovam Karadzic mantan Presiden Serbia dan buronan perang Bosnia yang dituduh
sebagai dalang pembantaian 8.000 warga muslim Srebrenitsa pada 1995 yang kemudian berhasil ditangkap dan
akan diekstradisi ke Den Haag untuk diadili.
dalam tingkat yang semena-mena, tetap ada tekanan untuk dapat mematuhi Hukum
Internasional yang diakui oleh negara-negara di dunia. Begitu meluasnya masalah-masalah
yang bisa bersinggungan dengan Hukum Internasional merupakan bukti perjalanan “hidupnya”
Hukum Internasional sebagai satu sistem hukum yang diakui dan dibutuhlan oleh negara
berdab. 11

11
Melda Kamil Ardiadno, Hukum Internasional Adalah Hukum Yang Hidup, op.cit, 178-179

Anda mungkin juga menyukai