Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SEJARAH HUKUM

“FAKTOR-FAKTOR
YANG MENENTUKAN PERKEMBANGAN HUKUM”

Program Studi : Magister Hukum

UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL

SURYADARMA

2023

Koernia Cevia Christine


NIM : 222185010

1
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PERKEMBANGAN HUKUM

Oleh karena hukum adalah suatu produk hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan


kemasyarakatan maka di dalam proses penciptaan dan perkembangannya ia ditentukan oleh sejumlah
aspek hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut.

Dengan demikian kita perlu membatasi diri untuk mengulas beberapa di antara mereka yang
nampaknya termasuk yang paling penting, yakni faktor-faktor politik, ekonomis, religi-ideologis dan
kultur budaya.

I. Faktor-faktor Politik

Pada saat membicarakan terciptanya hukum dan evolusi tatanan-tatanan hukum primitif ke yang
sudah maju, kita telah banyak sekali menyebut faktor-faktor politik.

A. Adanya Penguasa

Kenyataan bahwa tidak mungkin kita jumpai hukum tanpa adanya suatu bentuk penguasa,
merupakan faktor politik pertama dan utama. Di beberapa persekutuan primitif tidak
ditemukan bentuk penguasa. Jadi, di sana tidak pula kita jumpai suatu tatanan norma yang
dapat kita juluki hukum.

Di dalam masyarakat-masyarakat yang sudah maju maka penguasa, Negara, pada


hakikatnya merupakan salah satu penulis terpenting tentang hukum. Ketiga kekuasan negara –
kekuasaan-kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif- selain itu, nampaknya bertumpang
tindih dengan ketiga cara yang menjadi dasar ketertiban hukum itu berfungsi; melalui
pembentukan aturan-aturan (pembuat undang-undang mengeluarkan aturan-aturan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat umum), melalui cara-cara mempertahankan dan
menegakkan aturan-aturan ini (kekuasaan pelaksana yang menentukan modalitas pelaksanaan
aturan tersebut di dalam ruang lingkup dan daya jangkau yang telah ditetapkan oleh pembuat
undang-undang) dan melalui penyelesaian perselisihan-perselisihan (kekuasaan kehakiman ini
menentukan makna yang terkandung di dalam aturan tersebut untuk ditafsirkan, mengisi dan
melengkapi kekosongan di dalam hukum, dan seterusnya).

Penguasa mempunyai tugas untuk mengatir dengan cara-cara umum problema-


problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit.

Hubungan antara aturan-aturan hukum yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan


kemasyarakatan dan aturan-aturan hukum yang secara langsung diperlakukan oleh penguasa.

Di dalam masyarakat-masyarakat yang di dalamnya penguasa nampaknya lemah dan


rendah profilnya, maka bagian terbesar aturan-aturan tersebut bersumber dari masyarakat
dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan. Dan campur tangan penguasa di sini terbatas hanya sampai
pada pengakuan aturan-aturan tersebut. Sejak abad XIV dan terutama pada abad-abad XV dan
XVI, raja-raja Perancis dan beraneka ragam petinggi-petinggi kaum feodal (Graaf dari
Vlaanderen, Hertog Boergondia, graaf dari Artois, dan lain-lain) telah berhasil sedikit banyak
mempersatukan hukum kebiasaan melalui pencatatan dan “homologasi” (penguatan secara
yuridis) kebiasaan-kebiasaan atau “costuymen”.

2
B. Penguasa Duniawi dan Gerejawi

Perjuangan perebutan kekuasaan, yang mengakibatkan penguasa duniawi merampas


kemerdekaannya dari tangan penguasa gerejawi memiliki sifat politis.

C. Tradisi Imperial

Di Eropa Timur kita dapat berbicara tentang sebuah tradisi imperial, yakni apa yang
ditemukan pada gereja kristen Bizantium, yang setelah jatuhnya Negara Romawi Timur pada
tahun 1453 diambil alih oleh raja-raja Moskow. Tradisi imperial ini berbeda dengan yang ada
di barat satu dan lain karena di Bizantium itu sendiri tidak pernah dialami suatu pembatasan
antara kekuasaan-kekuasaan duniawi dan gerejawi.

D. Kekuasaan Berkeping-keping atau Kekuasaan Tersentralisasi

Peristiwa apakah kekuasaan raja ini berkeping-keping atau tersentralisasi merupakan pula hal
yang sangat penting bagi perkembangan hukum. Perkembangan hukum Mesir nampaknya
ditentukan oleh menyelang-nyelingnya periode-periode kekuasaan berkeping-keping dan yang
tersentralisasi. Berkeping-kepingnya kekuasaan raja-raja, seperti halnya pada era penguasaan
tanah oleh kaum bangsawan (leenstelsel) pada umumnya menyebabkan pula hukum ikut
terbagi-bagi.

E. Bentuk-bentuk Kekuasaan

Bukan hanya sifat tersentralisasinya atau terbaginya berkeping-keping kekuasaan tersebut


yang penting, melainkan juga asas-asas ini kita dapat berurusan dengan Despotisme Timur
dengan Absolutisme Raja-raja.

II. Faktor-Faktor Ekonomi

Marx dan Engels berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomis mempunyai pengaruh


absolut atas perkembangan kemasyarakatan. Dengan perantaraan hukum kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang menikmati posisi ekonomi yang memadai akan berdaya upaya untuk
mempertahankan situasi tersebut. Jadi bagaimanapun juga tidak tepat jika Marx hanya
memberikan peranan sebagai penekan semata-mata pada hukum tersebut. Segala sesuatu
tergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan politik, namun, sesungguhnya tepat
sekali untuk menyatakan bahwa perimbangan-perimbangan politik terkadang dimanfaatkan
oleh hubungan dan perimbangan ekonomi. Jadi, di sini kita jumpai suatu ikatan yang tidak
dapat dibantah lagi antara kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi, dalam makna inilah maka
ekonomi merupakan faktor penting dalam evolusi hukum.

III. Faktor-Faktor Agama dan Ideologi

Percampuran antara aturan-aturan hidup awal agama dan masyarakat pada satu sisi, dan
kekuasaan-kekuasaan kerohanian dan keduniawian pada sisi lain menjelaskan mengapa
agama juga dipandang sebagai faktor penting dalam evolusi hukum.

Di dalam tatanan-tatanan hukum tradisional, yang masih mengandalkan sumber-sumber


yang berisi agama, dan yang didalamnya pemisahan antara penguasa kerohanian dan
3
penguasa keduniawian belum terlaksana, agama tetap merupakan faktor penting dalam
hukum, yang nampaknya semakin besar jika pejabat-pejabat keagamaan ini masih dapat
menerapkan pengaruh politiknya.

Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi agama-agama, melainkan juga bagi ideologi-
ideologi keduniawian yang mengandalkan kebenaran absolut sebagai pandangan hidup
mereka.

IV. Faktor-Faktor Kultural

Di samping faktor-faktor politik, agama, ideologi dan ekonomi terutama faktor-faktor


kultural menggunakan pengaruhnya yang begitu menentukan bagi perkembangan hukum.

A. Aksara

Faktor kultural pertama yang penting adalah aksara. Kita telah terlebih dahulu
menggarisbawahi bahwa terciptanya seni tulis-menulis pada galibnya menentukan
peralihan dari prasejarah hukum dan sejarah hukum yang sebenarnya.

Hukum pada hakikatnya hanya dapat hidup mandiri dan bertumbuh kembang menjadi
ilmu pengetahuan bilamana orang-orang yang dapat membaca dan menulis tersedia dalam
jumlah yang cukup memadai.

B. Soal Resepsi

Yang dimaksudkan dengan resepsi di sini ialah pengambilalihan oleh sebuah kelompok
masyarakat hasil-hasil perolehan budaya kelompok lain, yang pada umunya berada pada
tingkat yang lebih tinggi daripada apa yang dicapai oleh kelompok yang disebut pertama.

Resepsi ini pada hakikatnya adalah sebuah gejala kultur yang tidak saja terbatas pada
bidang hukum. Setiap benda budaya, apakah itu sebuah alat kerja, karya seni, bahasa,
gagasan, ilmu pengetahuan atau apa saja yang dapat dibayangkan, bisa merupakan objek
kultur.

C. Aliran-Aliran Kultur Besar

Sebagai aliran-aliran kultur yang relevan bagi perkembangan hukum dapat disebutkan di
sini:

1. Pada zaman dahulu (oudheid): helenisme;

2. Pada bagian awal Abad Pertengahan, yakni apa yang dikenal dengan “Renaisans
Karolingis”;

3. Pada bagian akhir Abad Pertengahan: aristotelisme Kristen (abad-abad XV-XVI,


Rasionalisme dan Era Pencerahan (abad XVIII-Romantisme (abad XIX), Positivisme
(abad XIX dan Marxisme-Leninisme (abad-abad XIX dan XX).

D. Renaisans

Renaisans adalah sebuah aliran kultural yang telah menggunakan pengaruhnya atas semua
bidang kegiatan manusia, baik terhadap seni, ilmu pengetahuan, literatur, politik maupun
4
apa saja sehingga nyaris tak mungkin merumuskannya dengan tepat dan benar secara
sepintas lalu.

Pertama-tama kita dapat menyaksikan di sini adanya semacam keretakan dengan


Abad Pertengahan; di dalam pandangan kemasyarakatan Abad Pertengahan nampaknya
tidak ada tempat bagi manusia sebagai individu; segala sesuatu tunduk pada visi agama
tentang individu dan masyarakat. Sebaliknya sementara ini persona insani justru menjadi
pusat perhatian, inilah yang menyebabkan Renaisans tersebut terkait akrab dengan
humanisme. Picodella Mirandola menulis traktatnya yang terkenal yakni “Hominis
dignitate” (tentang keluhuran manusia) sebuah program lengkap untuk memulihkan
kembali keluhuran manusia.

E. Era Pencerahan

Pencerahan (Aufklarung, Enlightenment, Siecle des Lumieres) ini adalah aliran kejiwaan
yang mendominasi seluruh abad XVIII. Berdasarkan metoda pengamatan percobaan
(proefondervindelijk) telah di capai suatu kemajuan besar di dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (Newton, lavoisie, dll.), yang menurut perkiraan orang bahwa melalui
observasi dan jalan pikiran dapat ditemukan “hukum-hukum alam”.

F. Mazhab Romantik

Kendatipun tidak tepat untuk menyatakan bahwa perkembangan hukum dalam abad XIX
semata-mata dianggap disebabkan oleh pengaruh romantik tersebut, namun betapapun
juga aliran kejiwaan ini untuk sebagian berada di ujung hulu pemikiran-pemikiran
tertentu yang sangat penting bagi perkembangan dunia.

G. Positivisme

Positivisme adalah sebuah aliran kejiwaan yang sejak bagian ke-2 abad XIX sampai
sekarang telah menjalankan pengaruhnya yang besar. Asas-asasnya telah dirumuskan oleh
seorang ahli filsafat Perancis August Comte (1798-1857); namun hal-hal tersebut pada
hakikatnya adalah ekspresi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai oleh
perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapan-penerapannya di dalam teknik
dan industri.

Ciri-ciri khas umum suatu sikap positivistis sampai kini dan di sini masih terasa
pengaruhnya, dan ide bahwa manusia mengenal suatu evolusi melalui stadium
pendangan-pandangan teologis yang sarat dengan unsur-unsur irasional, menjurus ke arah
sikap yang diilhami oleh pemikiran positif nampaknya bagi banyak orang masih tetap
merupakan skema yang meyakinkan untuk menunjukkan berlangsungnya kultur.

H. Marxisme-Leninisme

Ajaran ini diformulasi dalam abad XIX oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels
(1820-1895), dalam karya-karya seperti “Das Kapital” (Jilid I, 1867; Jilid II, 1893; Jilid
III, 1894) dan Communistisch manifest” (1848).

Anda mungkin juga menyukai