Anda di halaman 1dari 10

Chapter

Two
Kedudukan Perjanjian
Internasional Dalam
Hukum Nasional

MochtAr KusumAAtmAdjA menyebutKAN bAHWA Sistem Hukum IndonesIA


mENGARAH PADA monisme primAt Hukum InterNASIoNAl DAn mENYARANKAn AGAR di
kemudiAn HAri memBUAt piliHAn politik hukum dALAm ALIRAn ini. NAmun sAmPAI
HAri ini, Sistem Hukum IndoNESIA SEndiri belum menunjukkAn konsistensi DALAm
mENGAnut SALAh SAtu PAHAm (duAlisme AtAu monisme) AtAupun kombiNASI
keduANYA.
2 ChApter Two – KedudukAn PerJANJIAn InterNASIONAl DALAm Hukum
NASIONAl
Kedudukan hukum internasional sampai saat ini masih
terus dipertanyakan kekuatan berlakunya. Masih banyak yang
skeptis tentang proses pembentukan, penafsiran, dan penerapan
hukum internasional pada tataran praktis. Sistem hukum
internasional tidak memiliki lembaga legislasi unviersal yang
dapat melakukan proses legislasi peraturan, tidak memiliki
lembaga eksekutif yang akan melaksanakan ataupun menegakkan
hukum yang telah dibuat, serta tidak ada lembaga yudikatif yang
akan menafsirkan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul.

Status perjanjian internasional dalam hukum nasional Republik


Indonesa belum berkembang dengan baik, baik dari tataran
hukum, doktrin maupun praktis. Hal ini tidak terlepas dari
belum adanya sebuah aturan atau hukum, maupun doktrin
mengenai hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Pada
negara-negara maju, aliran ini dicerminkan dalam konstitusi atau
undang-undang nasional yang secara tegas memuat kaidah tentang
status hukum internasional dalam hukum nasional. Seperti di
Amerika Serikat, yang secara tegas menyebutkan dalam ketentuan
supremasinya bahwa treAties Are the supreme LAw of the LAnd. Sayangnya
di Indonesia permasalahan ini belum mempunyai kejelasan sampai
sekarang, sehingga sering muncul salah penafsiran terhadap
perjanjian internasional, keabsahannya, maupun kemungkinan
untuk diuji secara materil oleh Mahkamah Konstitusi.

Secara teori, ada beberapa pendapat ataupun aliran mengenai


kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum nasional,
yaitu:

(a) Teori Dualisme


Teori dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan
Italia yang dipelopori oleh Triepel dan Anzilotti, yang juga
merupakan pemuka aliran positivisme. Menurut paham
dualisme ini, hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang
terpisah satu sama lainnya. Adapun alasan mereka
berpendapat demikian, diantaranya adalah:
a. hukum NASIoNAl DAn hukum interNASIoNAl mempuNYAi sumber
YAng BERBEDA;

Hukum nasional bersumber kepada kemauan atau


kehendak negara, sedangkan hukum internasional
bersumber kepada kemauan atau kehendak bersama
masyarakat negara.

b. hukum NASIoNAl DAn hukum interNASIoNAl mempuNYAi subjek


hukum YAng berBEDA;

Subjek hukum nasional adalah orang perorangan, baik


dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana,
sedangkan subjek hukum internasional adalah negara.

c. hukum NASIoNAl DAn hukum interNASIoNAl mempUNYAi struktur


tAtA hukum yAng berBEDA;

Pada hukum nasional terdapat struktur atau lembaga


yang melaksanakan hukum seperti mahkamah atau
organ eksekutif yang cukup sempurna, sedangkan pada
hukum internasional, lembaga tersebut bersifat seperti
fiktif.

Akibat dari adanya paham ini ialah tidak adanya


ketergantungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional, dimana kedua hukum tersebut berdiri sendiri
dan tidak berada dalam satu hirarkhie. Akibat lainnya
adalah tidak mungkin adanya pertentangan diantara kedua
hukum tersebut, yang mungkin ada hanyalah penunjukan
kembali (renvoi). Akibat selanjutnya adalah agar hukum
internasional dapat berlaku dalam suatu negara,
diperlukannya suatu lembaga transformasi kepada hukum
nasional negara tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk prosedur
konversi. Dengan dikonversikannya kaidah hukum
internasional ini dalam hukum nasional maka kaidah
tersebut akan berubah karakter menjadi produk hukum
nasional dan berlaku sebagai hukum nasional serta tunduk
dan masuk pada tata urutan perundang-undangan
nasional.

(b) Aliran Monisme

Paham monisme berdasarkan pemikiran bahwa seluruh


hukum yang mengatur kehidupan manusia merupakan suatu
kesatuan. Artinya hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih
besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Namun ada persoalan hirarkhie dalam pandangan ini yang
menyebabkan timbulnya dua pandangan berbeda dalam
paham monisme ini. Di satu pihak menganggap bahwa
hukum nasional lebih utama atau tinggi kedudukannya
daripada hukum internasional, sedangkan di pihak lain
menganggap hukum internasional lebih tinggi daripada
hukum nasional.

a. PrimAt hukum NASIoNAl

Paham yang lebih mengutamakan hukum nasional disebut


dengan monisme DENGAn primAt hukum NASIoNAl. Menurut primat
ini, hukum internasional hanya merupakan lanjutan
dari hukum nasional, atau hukum nasional dalam urusan di
luar negeri (Auszeres stAAtrecht). Alasan primat ini adalah:

- tIDAK ADA SAtu orgANISASI di AtAS NEGARA-NEGARA YAng


mENGAtur kehidupAn negARA-NEGARA di DUNIA ini;

- DASAr hukum interNASIoNAl untuk mENGAtur hubUNGAn


interNASIoNAl terletAk PADA wewENAng NEGARA untuk menGADAkan
perjAnjiAn interNASIoNAl, ArtinYA wewENAng konstitusioNAl.

Kelemahan paham ini adalah terlalu memandang hukum


itu semata-mata hukum tertulis, dan menganggap
bahwa hukum internasional hanyalah bersumber kepada
perjanjian
internasional. Kelemahan lainnya adalah paham ini
merupakan penyangkalan terhadap keberadaan
hukum internasional yang mengikat negara.

b. PrimAt hukum interNASIoNAl

Menurut paham ini, hukum nasional itu bersumber dari


hukum internasional yang merupakan perangkat
hukum yang mempunyai hirarkhie yang lebih tinggi
daripada hukum nasional. Hukum nasional tunduk
kepada hukum internasional dan kekuatan
mengikatnya suatu delegasi merupakan wewenang
hukum internasional. Paham ini dipelopori oleh
Mazhab Wina seperti Kunz, Kelsen dan Verdross serta
didukung oleh Mazhab Perancis seperti Duguit,
Schelle dan Bourquin.

Kelemahan paham ini diantaranya adalah anggapan


bahwa hukum nasional bergantung kepada hukum
internasional, yang artinya menyatakan bahwa hukum
internasional telah ada sebelum hukum nasional itu lahir.
Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa hukum
nasional terlebih dulu lahir daripada hukum
internasional.

(c) Teori Transformasi, Delgasi, dan Harmonisasi

Teori-teori ini berbeda dengan teori sebelumnya. Ketiga teori


ini tidak mencari pertentangan tetapi kedua hukum
tersebut dianggap saling menunjang.

a. Teori tRANsformASI menyatakan bahwa hukum


internasional dapat berlaku dalam hukum nasional
melalui suatu transformasi, adanya perubahan bentuk
dan isinya sehingga diterima oleh hukum nasional.
b. Teori DeLEGASI menganggap bahwa hukum internasional bisa
menjadi hukum nasional, namun penerapannya
diserahkan kepada negara masing-masing. Artinya
semua tergantung dan terletak pada wewenang negara
dalam melaksanakan bentuk dari hukum internasional
itu sendiri.

c. Teori HArmoNISASI menyebutkan bahwa antara hukum


internasional dengan hukum nasional tidak perlu
dipertentangkan, namun keduanya harus berjalan sendiri-
sendiri sehingga timbul suatu keharmonisan antara
keduanya.

Pada negara-negara hukum modern seperti Inggris, Amerika


dan Eropa Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan hukum
ini telah diperbincangkan sejak awal abad 20-an, melalui proses
yang cukup panjang. Dari awal proses legislasi maupun
jurisprudensi yang akhirnya menjadi sebuah piliha politik hukum baik
monisme, dualisme maupun kombinasi dari keduanya. Pada
negara tersebut, persoalan status hukum internasional telah
tuntas, baik untuk perjanjian internasional maupun kebiasaan
internasional.

Sistem Hukum Indonesia sendiri belum menunjukkan


konsistensi dalam menganut salah satu paham ataupun
kombinasi keduanya tersebut. Para pembuat kebijakan luar
negeri dan praktisi serta publik Indonesia terbagi dalam dua
paham yang dapat dibagi sebagai berikut:

(a) Pemahaman yang menempatkan perjanjian internasional


yang telah disahkan (diratifikasi) sebagai bagian dari
hukum nasional.

(b) Pemahaman yang mengharuskan adanya legislasi


nasional tersendiri untuk mengimplementasikan suatu
perjanjian internasional yang telah disahkan.
ChApter Two – KedudukAn PerJANJIAn InterNASIONAl DALAm Hukum 2
NASIONAl
Mochtar Kusumaatmadja secara tegas menyebutkan
bahwa sistem hukum Indonesia mengarah pada monisme primat
hukum internasional dan menyarankan agar di kemudian hari
membuat pilihan politik hukum dalam aliran ini.16 Ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUDNRI) juga belum secara tegas mengatur tentang ini.
Pasal 11 UUDNRI hanya menyebutkan bahwa Presiden dalam
membuat perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR
serta menetapkan kriteria umum tentang perjanjian lainnya yang
perlu mendapat persetujuan DPR. Pasal 22a Algemen BepAlingen (AB)
mungkin salah satu aturan yang cukup memberikan gambaran
tentang status hukum internasional dengan menyatakan bahwa
kekuasaan hakim dibatasi oleh pengecualian- pengecualian yang
ditetapkan oleh hukum internasional.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional juga tidak terlalu tegas dalam memutuskan status
perjanjian internasional dalam hukum nasional. Menurut Damos
Sumoli Agusman17, ketidaktegasan ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang ada ketika proses penyusunan UU ini, yaitu:

a. Para perumus dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Mochtar


Kusumaatmadja yang mengindikasikan bahwa Indonesia
menganut aliran monisme primat hukum internasional serta
didukung oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintah yang membina standardisasi
tentang pembuatan perjanjian internasional. Akibatnya, isu
tentang ketegasan status hukum internasional tidak
menjadi pembahasan utama, karena dapat diasumsikan
bahwa teori monisme merupakan pedoman dasar saat
itu.

16 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid.


17 Damos Dumoli Agusman, Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Republik Indonesia: Tinjauan dan Perspektif Praktik IndonesiA, JurNAl Hukum InterNASIONAl,
Vol. 5 No. 3 April 2008.
b. UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik
kebiasaan negara tentang pembuatan perjanjian
internasional yang sebelumnya berdasarkan Surat
Presiden Republik Indonesia Nomor 1826/HK/1960
kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang pembuatan
perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Aturan ini
dianggap dapat diteruskan karena selam dijalankan tidak
mengalami kendala yang berarti, yang tentu saja sangat
dipengaruhi dengan pendekatan politik militer yang
dijalankan oleh pemerintahan orba pada masa itu.

c. Belum ada sumber atau doktrin dari pakar atau


akademisi mengenai status hukum internasional
tersebut.

d. Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi yang


memadai dalam memutuskan kasus-kasus yang terkait
dengan hubungan hukum internasional dan hukum
nasional.

Berdasarkan pengalaman praktik di Indonesia, walaupun


sebuah perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU,
masih dibutuhkan adanya UU lain untuk
mengimplementasikannya pada tataran hukum positif nasional.
Hal ini dapat kita lihat pada pemberlakuan UNCLOS 1982
tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982 18, namun
tetap membutuhkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan19.

Namun di sisi lain, terdapat perjanjian internasional yang


setelah diratifikasi dapat berlaku secara langsung, seperti Konvensi
Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina
1963 tentang Hubungan Konsuler yang diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 198220. Tahun 2006, Mahkamah Agung
dalam memutuskan
18 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Tentang Ratifikasi UNCLOS 1982
19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Ratifikasi Konvensi Wina tentang Hubungan

Diplomatik dan Konsuler


kasus tanah kedutaan Arab Saudi langsung mengutip prinsip
kekebalan diplomatik sebagai aturan yang mengikat tanpa
mempertimbangkan hukum nasional. Di sini terlihat jelas bahwa
meskipun secara historis, sistem hukum Indonesia lebih dipengaruhi
oleh teori monisme, namun sikap pemerintah dan pembuat
kebijakan masih belum konsisten dalam tataran praktisnya. Masih
banyak kerancuan dan penafsiran yang berbeda di kalangan
pejabat pemerintah, pembuat kebijakan, praktisi, akademisi, dan
aparat hukum sendiri. Hal ini semakin hari semakin dirasakan
penting untuk diatur secara tegas tentang hubungan hukum
internasional dan hukum nasional yang dianut oleh Indonesia,
sehingga dapat dihindari permasalahan maupun kejelasan sikap
pemerintah terhadap permohonan judicial review yang terkait
dengan perjanjian internasional.

Anda mungkin juga menyukai