Anda di halaman 1dari 13

NAMA : ILHAM HUDI

No. BP : 1710113102
Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Saksi dan Korban

BAB I
A. Latar Belakang Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam kenyataannya posisi saksi dan korban rentan terhadap teror dan intimidasi, tidak
terlindungi oleh hukum dan terisolir dari masyarakat luas. Itulah sebabnya, saksi maupun
korban cenderung tidak mau bicara karena posisi publiknya justru dapat menempatkan
dirinya sebagai “korban untuk kedua kalinya” karena pengungkapan peristiwa yang dialami,
didengar, maupun diketahuinya.
Kekerasan masih terus terjadi hingga hari ini dan akan tetap berlangsung jika para
pelakunya selalu merasa aman

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa selama rejim Orde Baru berkuasa telah terjadi
sejumlah besar penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan timbulnya konflik
pertanahan, eksploitasi tambang alam, penindasan terhadap buruh, kekerasan terhadap
masyarakat adat, kekerasan terhadap perempuan, dan lain sebagainya. Penyelewengan
kekuasaan ini kerap kali diikuti dengan tindak kekerasan, baik oleh aparat militer maupun
oleh sipil yang dipersenjatai atau “direstui” oleh negara. Penyelewengan-penyelewengan ini
masih terus terjadi hingga hari ini dan akan tetap berlangsung jika para pelakunya selalu
merasa aman dari pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.
Namun, sejak Indonesia memasuki masa transisi dari otoriterianisme menuju
demokratisasi, dimana pemerintahan transisi mencoba untuk bersikap terbuka dan bertekad
membangun pemerintahan yang adil dan akuntabel, maka situasi tersebut memungkinkan
tumbuhnya kepercayaan masyarakat untuk membangun sistem hukum yang lebih baik dan
berpihak kepada kebenaran dan keadilan, bukan kepada kekuasaan sebagaimana yang
terjadi pada masa Orde Baru. Kondisi tersebut mendorong munculnya berbagai desakan dan
tuntutan masyarakat atas pengungkapan kebenaran dalam kasus-kasus penyelewengan
kekuasaan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Selain itu, masyarakat juga
menuntut proses peradilan yang mampu menghapuskan kekebalan hukum yang selama ini
dinikmati oleh para pelaku kejahatan kemanusiaan dan mengganjar hukuman yang setimpal
atas tindakan-tindakan kejahatan tersebut.
Bentuk tuntutan masyarakat yang muncul dalam masa transisi ini, antara lain:
a. Tuntutan pertanggungjawaban para pelaku, baik para pelaku kejahatan kemanusiaan,
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN), maupun penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di masa lampau maupun
yang masih dilakukan di masa transisi ini;
b. Tuntutan penanganan kasus-kasus kekerasan berbasis jender seperti kekerasan
seksual, pelacuran paksa, kehamilan secara paksa, dan kekerasan di dalam rumah
tangga. Kasus-kasus tersebut muncul dalam keseharian kehidupan secara tersamar
maupun terang-terangan, terutama di wilayah konflik tempat kekerasan terhadap
perempuan dilakukan secara sistematis untuk melumpuhkan resistensi kelompok
tertentu.
Berbagai tuntutan ini tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Negara seharusnya
bertanggung jawab terhadap rakyat atas penegakan kebenaran dan keadilan. Di- penuhinya
tuntutan ini akan menjadi penentu atas kemampuan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri
dari belenggu otoriterianisme rejim Orde Baru dan untuk mewujudkan masyarakat yang
lebih adil dan demokratis.
Akan tetapi seiring dengan upaya untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum
dimaksud, dan mulai disidangkannya beberapa kasus pelanggaran HAM, KKN, dan
kekerasan terhadap perempuan, aksi-aksi kekerasan terhadap para saksi dan atau korban itu
tidak serta merta berhenti. Dalam persidangan kasus-kasus korupsi, narkotika, kekerasan
terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan pelanggaran berat terhadap
kemanusiaan, penggunaan kekerasan fisik maupun psikologis dalam bentuk teror,
intimidasi, dan stigmatisasi seringkali diarahkan kepada para saksi dan korban dengan
tujuan agar para saksi dan korban tidak memberikan kesaksian yang memberatkan para
pelaku kejahatan.
Pemicu keengganan seseorang untuk menjadi saksi
Pengalaman empirik para saksi dan korban di atas merupakan ilustrasi selintas bahwa
perlindungan terhadap saksi dan korban pun segera menjadi masalah yang sangat krusial.
Tidak adanya jaminan yang memadai terhadap saksi dan korban menjadi pemicu mengapa
banyak orang enggan menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang
sebenarnya.
Memang bukan lagi rahasia umum bahwa proses pemberian kesaksian merupakan langkah
yang penuh resiko. Resiko ini membayangi dan seringkali mengancam kehidupan dan
kebebasan saksi dan korban, maupun terhadap keluarga dan pendampingnya. Itulah
sebabnya, saksi maupun korban cenderung tidak mau bicara karena posisi publiknya justru
dapat menjadikan dirinya “korban untuk kedua kalinya” karena pengungkapan peristiwa
yang dialami, didengar, maupun diketahuinya. Rentannya posisi saksi dan korban terhadap
teror dan intimidasi, perlindungan hukum yang tidak memadai dan isolasi dari masyarakat
luas merupakan kondisi-kondisi konkrit yang memperburuk posisi publik saksi dan korban.
Kesediaan saksi dan korban untuk memaparkan kejadian yang dialaminya atau
diketahuinya merupakan syarat utama
Keengganan saksi dan korban muncul dan bersaksi untuk menguak kebenaran dalam
berbagai kasus perkosaan yang terjadi misalnya, baik itu pada peristiwa perkosaan massal
13-14 Mei 1998, kekerasan terhadap perempuan di Timor-Timur, Papua, Aceh, Maluku,
dan berbagai wilayah konflik lainnya di Indonesia, serta sulitnya pengungkapan kasus
kekerasan dalam rumah tangga karena korban tidak bersedia memberikan kesaksian,
merupakan bukti nyata dari buruknya kondisi perlindungan saksi dan korban. Padahal untuk
penyelesaian suatu kasus, kesediaan saksi dan korban untuk memaparkan kejadian yang
dialaminya atau diketahuinya merupakan syarat utama.
Syarat lain yang perlu disiapkan dalam rangka pengungkapan kebenaran secara tuntas
adalah terpenuhinya proses perlindungan terhadap saksi, pemberian dukungan dan
pemberdayaan saksi dan korban, serta perubahan sistem peradilan itu sendiri. Hingga kini
persyaratan-persyaratan tersebut belum dapat dipenuhi.
Kebutuhan atas perlindungan dan dukungan bagi saksi maupun korban merupakan
prioritas utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Juga perlu diingat, dalam memenuhi
kebutuhan tersebut, ruang lingkup perlindungan dan dukungan serta bentuk-bentuk
perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban harus bersifat menyeluruh dan
sungguh menjamin terlindunginya hak-hak saksi dan korban dalam tahapan-tahapan yang
harus mereka lalui.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Kenyataan tersebut, mendorong berbagai elemen masyarakat melalui beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Non Pemerintah dan sejumlah akademisi
melakukan berbagai upaya advokasi untuk mendorong Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar mengeluarkan satu peraturan berupa undang-
undang untuk mengatur mengenai Perlindungan Saksi. Setelah melalui perjalanan advokasi
yang panjang sejak tahun 2001, akhirnya pada tanggal 18 bulan Juli 2006, DPR RI
mengesahkan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut
sebagai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Meskipun dalam segi substansi masih ada kelemahan dalam undang-undang ini, tetapi
setidaknya pengesahan UU Nomor 13/2006 ini merupakan suatu langkah besar dalam upaya
pembaharuan hukum di Indonesia dan sebagai pondasi perlindungan saksi dan korban dalam
ranah peradilan pidana di Indonesia.
Tentu saja terjaminnya perlindungan dan dukungan bagi saksi dan korban tak dapat
dilakukan hanya dengan menggantungkan kepada keberadaan suatu undang-undang,
melainkan juga kepada para pelaksananya yaitu aparat penegak hukum. Tetapi, keberhasilan
pelaksanaan undang-undang tersebut bukan oleh satu pihak saja, peran serta dan kerjasama
yang kuat antara pihak pemerintah, organisasi pendamping, dan juga masyarakat luas amat
menentukan terjaminnya pelaksanaan perlindungan dan dukungan terhadap saksi dan
korban. Dengan dipenuhinya dan diperhatikannya semua unsur penting di dalam sistem
yang berpihak pada keadilan dan kebenaran, terbit keyakinan kuat bahwa mulai saat ini akan
terjadi perbaikan kehidupan saksi dan korban pada khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya.
B. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hokum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hokum
yakni orang atau badan hokum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.1 Perlindungan hokum
adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hokum atau dengan kata lain perlindungan hokum adalah
berbagai upaya hokum yang harus diberikan oleh apparat penegak hokum untuk
memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai
ancaman dari pihak manapun.2
Perlindungan hokum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari
perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hokum untuk
mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia.3
Berikut merupakan pengertian mengenai perlindungan hukum dari pendapat para ahli,
yakni sebagai berikut:

1
http://tesishukum.com. Diakses pada tanggal 02 Februari 2020, Pukul 11.47 WIB
2
Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, Jurnal
Masalah Hukum , 1993.
3
Setiono, Rule Of Law (supremasi hukum), (Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 2004), Hlm.3
a. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan
tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.
b. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan. Perlindungan hukum menurut Phillipus Hadjon ada dua bentuk,
pertama perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan menyatakan
pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua, perlindungan hukum represif
yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
c. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus
diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara
pikiran maupun fisik dari ganguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
d. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari
perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang
diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini
yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan
sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak
dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.4
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah
segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan
terhadahak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut
mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan
represif.
C. Pengertian Saksi dan Korban
Saksi dan korban merupakan komponen yang terlibat dalam perkara pidana. Banyak
saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan dalam upaya ikut mengungkap suatu
tindakan tindakan pidana. Dengan adanya Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang

4
http://tesishukum.com. Loc.Cit.
perlindungan saksi dan korban (UUPSK) ini diharapkan dapat diberikan secara maksimal
terhadap saksi dan korban. Definisi saksi dan korban terdapat dalam pasal 1 angka 1 yang
menyebutkan :
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyilidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengailan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 26 menyatakan bahwa :


“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri.”5

Suryono Sutarto lebih luas mengemukakan bahwa saksi adalah orang yang memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.6 Selanjutnya Pasal 166
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa pertanyaan yang bersifat
“sugestif”/menjerat tidak boleh dilakukan terhadap saksi atau terdakwa.
Wirjono Projodikoro memaknai bahwa Seorang saksi adalah seorang manusia belaka
atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal
sesuatu, seoalah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus
menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang,
apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya.7 Sedangkan S.M. Amin menambahkan bahwa
“Saksi tak bersuara dapat merupakan bahan-bahan yang diperoleh dengan cara menyelidiki
dan memperhatikan benda-benda mati. Umpamanya bekas-bekas yang terdapat di tempat
kejahatan yang dilakukan”.8
Dengan pengertian saksi ini menunjukkan bahwa betapa berartinya sebuah kesaksian
dalam proses peradilan pidana, agar terungkapnya sebuah tindak pidana. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa saksi adalah sesorang yang memberikan keterangan dalam proses
peradilan pidana untuk menemukan titik terang apakah suatu tindak pidana benar-
benarterjadi sebagaimana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Definisi korban terdapat dalam pasal 1 angka 2 UUPSK menyebutkan bahwa :

5
Soenarto Surodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan
HogeRaad (Jakarta :RadjagrafindoPersada, 2007), hlm. 355
6
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana,Jilid I, (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1982). hlm 42
7
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung 1983), hlm. 7
8
Mr. S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, ( Jakarta:PradyaParamita, 1981), hlm.49
“korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

D. Pentingnya keberadaan saksi dan korban dalam keberhasilan sistem peradilan pidana
Kedudukan dan peran saksi sangat penting dalam menemukan kebenaran materiil
dalam perkara pidana. Keterangan saksi juga menjadi salah satu alat bukti yang sah sesuai
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain keterangan saksi, alat bukti sah lainnya yaitu keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hanya saja, ada beberapa kendala sehingga
saksi terkadang enggan memberikan keterangan.
Kendala yang kerap dialami saksi hingga tidak mau memberikan keterangan antara lain
akibat rasa takut yang muncul dari dalam diri sendiri, adanya ancaman dari pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh keterangan saksi, perlindungan yang didapat saksi belum
maksimal hingga KUHAP yang masih berorientasi pada pelaku.
Pentingnya keterangan saksi dalam penyusunan putusan pengadilan, mulai dari aturan
hukum yang dilanggar, sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum, serta fakta-fakta
hukum yang disajikan pada proses persidangan. Kemudian, keterangan saksi juga
memengaruhi dalam penyusunan legal reasoning, yakni fakta hukum yang ditarik ke unsur-
unsur pasal dakwaan, apakah memenuhi atau tidak.
Disamping peranan saksi, hokum juga harus memperhatikan eksistensi dari korban.
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum
memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban
kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak
seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya
merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar
1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan
pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada
saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak
sepenuhnya benar.
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam
suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh
undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah
dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan
sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya
berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan. Dalam setiap
penanganan perkara pidana aparat penegak hukum (polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan
pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu
kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah
menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan kepentingan
tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki
hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada
putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus
dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah)
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang
memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya
immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “to much attention has been
paid to offenders and their rights, to neglect of the victims”.Korban kejahatan ditempatkan
sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi, sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya
adalah kecil
Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses
penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan
hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan

BAB II
A. Konvensi dan deklarasi Internasional (UN Convention and Declaration)
1. United Nation Convention Against Corruption 2004 (Konvensi PBB Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 yang telah diratifikasi dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2006)
2. United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB
Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi telah diratifikasi dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2009)
3. UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power
(Deklarasi PBB Tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Untuk Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan)
Hal-hal prinsip yang perlu mendapat perhatian dalam konvensi tersebut adalah :
a. Bahwa setiap negara wajib melakukan upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi adanya pembalasan dan intimidasi yang mengakibatkan saksi dan
atau korban ketakutan, sehingga tidak mempunyai keberanian bersaksi.
b. Negara wajib membangun kondisi yang kuat di tengah masyarakat, sehingga orang
mempunyai keberanian melapor dan yang terlibat kejahatan bersedia bekerjasama
dengan aparat penegak hokum.
c. Korban diberikan kemudahan dalam mengakses ke peradilan pidana dan pelayanan
untuk mendapatkan penggantian kerugian dan bantuan kesehatan medis psikologis
oleh pelaku tindak pidana atau oleh negara.
B. Peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional di Indonesia
Dalam rangka perlindungan Saksi dan Korban telah dilahirkan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang memberikan dasar hokum dan mandat bagi pemberian
perlindungan saksi dan korban, yaitu :
1. Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “semua warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hokum”.
2. Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hokum”.
3. TAP MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
4. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diatur lebih
lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentan Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat;
5. PP No. 3 Th 2002 tentang KOMPENSASI, RESTITUSI,dan REHABILITASI
TERHADAP KORBAN Pelanggaran HAM Yang Berat
6. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-undang No.
8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU), serta PP Nomor 57 Tahun 2003 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan
Pelapor;
7. Undang-undang No.30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-
undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
8. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-
undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Terorisme;
9. UU No. 23 Th 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
10. UU No. 4 Th 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga
11. UU No. 21 Th 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
12. PP No. 9 Th 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi
Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
13. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

BAB III
A. Hak Asasi Manusia sebagai dasar perlindungan korban
Dari kacamata Hak Asasi Manusia(HAM), perlindungan saksi dan korban merupakan
salah satu hak seseorang yang memperoleh rasa aman dari ancaman dan berbagai tekanan
untuk bisa menjalankan kehidupannya secara wajar. Oleh sebab itu keberadaan sistem
perlindungan saksi dan korban di Indonesia merupakan suatu kebutuhan mendesak yang
tidak dapat ditunda-tunda.
Khusus untuk kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia, Profesor Theo Van Boven
mengusulkan prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika suatu negara ingin
merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban. Usulan yang
dikenal sebagai “Van Boven Principles” terdiri dari enam prinsip, yang intinya sebagai
berikut :
1. Pemulihan dapat dituntut secara langsung baik individual maupun kolektif (korban,
keluarga dekat, mereka yang menjadi tanggungan dan orang/kelompok lain yang
mempunyai hubungan dengan korban);
2. Negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah khusus yang memungkinkan
dilakukannya pemulihan yang efektif dan penuh, yang meliputi :
a. Menjamin tegaknya keadilan dengan menghilangkan akibat-akibat perbuatan
jahat yang menimpa korban dan dengan mencegah serta menghindarkan
terulangnya kejahatan serupa;
b. Seimbang dengan beratnya pelanggaran yang diakibatkannya, serta mencakup
restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan agar kejadian serupa
tidak akan terulang;
3. Setiap Negara harus mengumumkan tentang tersedianya prosedur-prosedur
pemulihan, melalui mekanisme public maupun swasta, dalam maupun luar negeri;
4. Ketentuan-ketentuan pembatasan tidak boleh diterapkan selama masa dimana tidak
ada penyelesaian efektif atas pelanggaran HAM;
5. Setiap Negara (melalui lembaga yang berwenang dan berkompeten) harus
memungkinkan tersedianya secara cepat seluruh informasi yang berkenaan dengan
persyaratan tuntutan pemulihan;
6. Keputusan yang menyangkutan pemulihan atas korban pelanggaran HAM dan
Hukum Humaniter harus dilaksanakan melalui cara yang cepat.9
B. Teori-teori tentang perlindungan korban
Dalam perlindungan korban terdapat beberapa teori antara lain :
1. Teori Utilitas
Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang terbesar dari jumlah yang terbesar
2. Teori Tanggung Jawab
Pada hakekatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab
terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya.
3. Teori Ganti Kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain pelaku
dibebani kewajiban untuk memberikan ganti rugi.
C. Asas-asas hokum yang berkaitan dengan perlindungan korban
Pada konteks perlindungan hukum korban terkandung beberapa asas hukum diantaranya
adalah :
1. Asas Manfaat
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya manfaat bagi
kaum korban kejahatan, tetapi kemanfaatan bagi masyarakat luas.
2. Asas Keadilan
Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi tidak tersifat mutlak karena dibatasi
oleh rasa keadilan yang harus diberikan juga pada pelaku.
3. Asas Keseimbangan
Pemulihan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan
yang semula.
4. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak
hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan
hukum pada korban.

9
Ifdhal Khasim, “ Prinsip-prinsip Van Boven Mengenai Korban Pelanggaran Berat Hak Asasi
Manusia”, dalam Theo Van Boven, 2002. Mereka yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta: ELSAM, Hlm xxi-xxii.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku :
Ifdhal Khasim. 2002 “ Prinsip-prinsip Van Boven Mengenai Korban Pelanggaran Berat Hak
Asasi Manusia”, dalam Theo Van Boven . Mereka yang Menjadi Korban: Hak Korban
Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta: ELSAM.

Mr. S.M. Amin. 1981. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: PradyaParamita.

Setiono.2004. Rule Of Law (supremasi hukum). Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Suryono Sutarto. 1982. Hukum Acara Pidana,Jilid I. Semarang : Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro.

Satjipto Rahardjo.1993. Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang Sedang


Berubah, Jurnal Masalah Hukum.

Soenarto Surodibroto.2007. KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung


Dan HogeRaad. Jakarta :Radja Grafindo Persada

Wirjono Projodikoro.1983. Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung : Sumur Bandung.

Perundang-undangan :
Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

________. Ketetapan MPR RI Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan


Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan MPR RI No. VIII/2001

________. Undang-undang Tentang Pengadilan HAM. UU No. 26 Tahun 2002.

________. Undang-undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana


Pencucian
Uang (TPPU). UU No. 8 Tahun 2010 jo. UU No. 15 Tahun 2002.

________. Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU. No.20


Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999.

________. Undang-undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No. 19 Tahun 2019


jo. UU No. 30 Tahun 2002.

________. Undang-undang Tentang Pemberantasan Terorisme. UU No. 5 Tahun 2018 jo. UU


No. 15 Tahun 2003.

________. Undang-undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU No.


23 Tahun 2004
________. Undang-undang Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU No. 4 Tahun 2006.

________. Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU


No. 21 Tahun 2007.

________. Undang-undang Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 13 Tahun 2006.

________. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan
Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat. PP No. 2 Tahun 2002.

________. Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Pelapor. PP No.
57 Tahun 2003.

________. Peraturan Pemerintah Tentang tentang KOMPENSASI, RESTITUSI,dan


REHABILITASI TERHADAP KORBAN Pelanggaran HAM Yang Berat. PP No. 3
Tahun 2002.

________. Peraturan Pemerintah Tentang tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan
Terpadu Bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. PP No. 9 Tahun
2008

Internet :

http://tesishukum.com. Diakses pada tanggal 02 Februari 2020, Pukul 11.47 WIB

Anda mungkin juga menyukai