Anda di halaman 1dari 7

PEMBINAAN DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN TERHADAP TERPIDANA

MATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA PEKANBARU

A. Latar Belakang Masalah

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan

Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakan1 dan merupakan muara dari proses peradilan yang

tahapan penanganan tindak pidana dilakukan oleh beberapa intitusi yang terpisah dan

independen, terdapat beberapa lembaga dan institusi yang berperan, pertama dari lembaga

pembuat Undang-Undang, pelaksanaan dari Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, dan penegakan

pengadilannya dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan agar tercipta proses check and

balances dan dilakukan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan re-integrasi.

Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk membentuk warga binaannya agar menjadi

manusia yang lebih baik, menyadari bahwa perbuatan yang telah diperbuat merupakan

perbuatan yang salah dan memperbaiki diri supaya tidak melakukan perbuatan yang sama

atau tindak pidana lain dikemudian harinya dan dapat berperan serta menyesuaikan diri dalam

kehidupan masyarakat sekitar, di samping itu juga merupakan penerapan dan bagian yang

tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pelaksanakan sistem

pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik

dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima

kembali warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Upaya untuk

mewujudkan tujuan tersebut dilakukan melalui Pemasyarakatan. Sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan bahwa :

“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan berdasarkan


sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.2

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995
2
Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995

1
Sistem pemidanaan di Indonesia telah mengalami transformasi dari filosofi Retributif

(pembalasan); Deterrence (Penjeraan); dan Resosialisasi(kurang sosialisasi) kepada

pemulihan atas konflik yang terjadi antara Narapidana dengan masyarakat (re-integrasi). Hal

tersebut juga dipertegas dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan yang berbunyi:

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan Masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab”.3

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi

bahwa:

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan


Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab”.4

Istilah pemasyarakatan disampaikan atau dicetuskan pertama kali oleh Sahardjo yang

dalam pidatonya yang berjudul “Pohon Beringin Pengayoman” yang pada intinya berbunyi

bahwa pidana penjara selain bertujuan untuk menimbulkan derita bagi terpidana tetapi juga

bertujuan untuk menghilangkan kemerdekaan atau kebebasan bergerak, memberikan

bimbingan agar terpidana bertaubat dan mendekatkan diri pada tuhannya, serta memberikan

didikan yang layak agar kembali ke masyarakat menjadi sosok yang sosialis.

Sistem pemasyarakatan membangun sebuah anggapan bahwa warga binaan

pemasyarakatan merupakan manusia yang tidak ada bedanya dengan manusia lainnya, yang

mana sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang berujung kepada

3
Lihat Pasal 1 ayat (2) UU No. 12 Tahun 1995
4
Lihat Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995

2
sanksi pidana sehingga keberadaannya tidak perlu dikucilkan. Sistem pemasyarakatan

diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi

manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri serta tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali di dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Sistem pemasyarakatan juga menunjukkan komitmen dalam upaya merubah kondisi

Warga Binaan melalui proses pembinaan di lembaga pemsyarakatan dan memperlakukannya

dengan cara-cara manusiawi. Pembinaan atau pembimbingan dalam sistem pemasyarakatan

dilaksanakan oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan yang telah

mengikuti fit and proper test sehingga profesionalitas dapat menjadi sumber dalam

memahami hakikat dari sistem pemasyarakatan dan bagaimana cara agar mencapai tujuan

tersebut. Sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dalam

bentuk pembinaan. Pembinaan merupakan bantuan dari seseorang atau sekelompok orang

(Petugas Lapas atau orang lain yang dipercayakan untuk itu) agar warga binaan dapat

mengembangkan kemampuannya. Sehingga pembinaan yang diberikan sangat menentukan

keberhasilan dari sistem pemasyatakatan.

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan

narapidana mempunyai aspek yang bekerja saling berkaitan dengan mancapai tujuan.

Sedikitnya ada empat belas aspek yaitu : falsafah, dasar hokum, tujuan, pendekatan sistem,

klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat

pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana, dan pembina atau

pemerintah.5

Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana diterapkan sebagai

subjek sekaligus objek. Subjek berupa kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia,

sama-sama sebagai makhluk Tuhan, sama-sama makhluk yang spesifik, yang mampu berpikir

5
C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995, h.
19

3
dan mampu membuat keputusan. Sebagai objek karena pada dasarnya ada perbedaan

kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam pembinaan dan bukan sebagai manusianya.6

Perbedaan dalam pembinaan salah satu contohnya seperti penggolongan narapidana.

Penggolongan narapidana merupakan salah satu cara untuk mempermudah proses pembinaan.

Di Indonesia terdapat penggolongan narapidana terdiri atas perbedaan umur, jenis

kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan yang dilakukan, serta kriteria lainnya

sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Sehingga guna dari penggolongan

tersebut supaya Pembina dapat menerapkan pembinaan yang layak terhadap narapidana.

Narapidana yang digolongkan atas lama pidana yang dijatuhkan salah satu

diantaranya terdapat Terpidana mati, yang mana orang yang dijatuhi pidana mati di

tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan untuk menunggu sampai pada waktunya di eksekusi.

Namun, sistem pemasyarakatan tersebut di atas mengakomodir bagaimana Warga Binaan

dapat diberikan pembinaan supaya nanti ketika kembali kepada masyarakat benar-benar pulih

dan bersih secara lahir maupun batin dari bentuk apapun tindak pidana di kemudian hari.

Namun, tanpa disadari bahwa bagaimana kedudukan dari terpidana mati dalam sistem

pemasyarakatan sedangkan terpidana mati yang tinggal menunggu waktu untuk di eksekusi

dan pada hakikatnya tidak kembali kepada masayarakat.

Dengan demikian, dari uraian-uraian di atas, penulis tertarik mengkaji lebih

mendalam mengenai “Pembinaan dalam sistem pemasyarakatan terhadap terpidana mati di

lembaga pemsyarakatan”, dan dalam penelitian ini penulis akan memilih lembaga

pemasyarakatan kelas IIA Kota Pekanbaru sebagai re-presentasi dari lembaga

pemasyarakatan dalam menerapkan pembinaan dalam sistem pemasyaraktan terhadap

terpidana mati di Indonesia.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
6
Ibid.

4
1. Bagaimana proses penerimaan terpidana mati dalam sistem pemasyarakatan di

Lembaga Pemasyarakatan ?

2. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap terpidana mati dalam sistem pemasyarakatan

di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Kota Pekanbaru?

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui tentang proses penerimaan terpidana mati dalam sistem


pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan!
2. Untuk mengetahui tentang kesamaan pembinaan terhadap terpidana mati dengan

Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Kota Pekanbaru!

3. Untuk mengetahui tentang bentuk pembinaan terhadap terpidana mati dalam sistem

pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Kota Pekanbaru!

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

2. Manfaat Praktis

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalaah penelitian

dalam bidang hokum yang dikonsepsikan terhadap asas-asas, norma-norma, dogma-

dogma atau kaidah-kaidah hokum yang merupakan patokan tingkah laku dalam

penelitian ini yang dilakukan dengan cara mengkali ketentuan perundang-undangan

dengan tetap mengarah kepada permasalahan yang ada sekaligus meneliti

implementasinya dalam praktek.7 Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan

kepustakatan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan

dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian.

7
Ronny Hanitijo Soemintro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, h. 5.

5
Pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan melalui sistem pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke

lapangan untuk melihat secara langsung penerapan perundang-undangan atau aturan

hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan wawancara dengan

beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai

pelaksanaan penegakan hukum tersebut.

2. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hokum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu terdiri dari bahan hokum

primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan bahan hokum berupa 8:

a. Bahan Hukum Primer, mencakup peraturan perundang-undangan terkait

dengan sistem pemasyarakatan;

b. Bahan Hukum Sekunder, bahan yang bersumber dari studi kepustakaan berupa

buku-buku, makalah, artikel ilmiah, laporan penelitian yang berkaitan dengan

sistem pemsyarakatan;

c. Bahan Hukum Tersier, bahan yang berasal dari kamus dan indeks.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan adalah studi kepustakaan.

Dilakukan dengan cara meneliti data-data sekunder berupa:

a. Bahan-bahan Hukum Primer yaitu bahan yang dipandang dari sudut kekuatan

mengikatnya seperti :

1. Pancasila;
8
Amiruddin dan H. Zainal Asikin,  Pengantar Metode Penelitain Hukum,  Cet. 2,
Rajawali Pers, Jakarta, 2004, h. 118

6
2. UUD NRI Tahun 1945;

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999

7. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

8.

b. Bahan-Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis dan memahami

bahan hukum primer yaitu:

1. Teori- teori dan literatur-literatur;

2. Pendapat para Ahli;

3. Doktrin;

4. Azas-azas dalam undang-undang.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus hukum,

ensiklopedia, indeks kumulatif.

Anda mungkin juga menyukai