Jerinx SID
2004551022
Kelompok 1
LATAR BELAKANG
Kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang menjerat I Gede Ari Astina
atau yang lebih dikenal sebagai Jerinx, personel band Superman is Dead (SID) terkait dugaan
ujaran jerinx berupa “IDI kacung WHO” yang menimbulkan beberapa permasalahan hukum
yang bersikulasi di dalam masyarakat. Dengan adanya beberapa blok yang mendukung dan
menentang kasus tersebut. Maka dapat disimpulkan dua isu hukum yang terkait:
1. Apakah Jerinx pantas dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) dan/atau
Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) karena sudah memenuhi rumusan delik? Atau,
2. Apakah pendapat jerinx justru harus dilindungi sesuai dengan Kebebasan
Berpendapat (Freedom of Speech) sesuai termaktub dalam pasal 28E ayat (3) UUD
1945?
Adapun Fakta Hukum yang sudah dikemukakan di dalam Kasus Posisi yang sebelumnya
tertulis dalam dokumen penugasan, berupa:
1. Gugatan yang diajukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali berawal dari unggahan di
akun Instagram pribadi tersangka @jrxsid pada 13 Juni 2020 yang berisi foto dan kalimat
yang bertuliskan "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya
mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites COVID-19. Sudah banyak bukti
jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya bikin stres dan
menyebabkan kematian pada ibu atau bayinya, siapa yang tanggung jawab?" Ia pun
melanjutkan dengan "BUBARKAN IDI! Saya gak akan berhenti menyerang kalian
@ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini! Rakyat sedang diadu domba
dengan IDI/RS? TIDAK. IDI & RS yg mengadu diri mereka sendiri dengan hak-hak
rakyat."
2. Pemeriksaan ahli bahasa menetapkan bahwa memang ada unsur yang mencemarkan nama
baik seperti yang ditegaskan oleh Ditreskrimsus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus
Nugroho.
3. Pihak kepolisian menetapkan tiga catatan mendasar terkait kasus yang menjerat Jerinx
setelah tersangka dicecar 13 pertanyaan oleh Penyidik Ditreskrimsus Polda Bali. Tiga
catatan tersebut berupa:
Pertama, memang Jerinx yang memuat postingan tersebut
Kedua, terkait unggahannya Jerinx ingin IDI selaku organisasi profesional untuk
mengambil tindakan atas ketidakadilan terhadap rakyat, rapid test sebagai syarat
layanan ke RS.
Ketiga, dari unggahan yang dilakukan tersangka pada 13 Juni 2020 terkait
kalimat, komentar, hingga emoticon babi yang digunakan.
4. Jerinx dijerat dengan pasal dalam UU ITE yang notabene sering dijuluki sebagai pasal
karet karena penafsirannya yang karet dan pengaplikasiannya yang kerap menjerat pihak
minoritas dan menimbulkan dampak sosial kepada terhadap penggunaan pasal tersebut.
5. Jerinx berdalih bahwa dirinya tidak bersalah karena ungkapannya merupakan bentuk dari
kebebasan berpendapat atau Freedom of Speech yang dijamin dalam UUD NRI Tahun
1945, khususnya pasal 28E ayat (3). Jerinx juga menambahkan bahwa pendapatnya yang
dia ungkapkan melalui sosial media, merupakan pendapat yang membela kepentingan
banyak rakyat kecil yang dirugikan dengan sistem wajib rapid test yang ditetapkan dalam
berbagai kegiatan.
DASAR HUKUM
Dengan dirumuskannya isu dan fakta hukum pada bagian diatas, untuk menguatkan
argumen hukum dalam opini hukum (Legal Opinion) ini, berikut dasar hukum yang berkaitan
dengan kasus yang terkait:
Dengan didasari norma-norma hukum diatas, maka di dalam Legal Opinion ini saya
akan menjabarkan penafsiran pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus tersebut.
1
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, (Bogor: Politeia, 1991), hlm 225.
2
Ibid.
hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan
itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau
membela diri. Dan apabila pembelaan terdakwa itu tidak dapat dianggap oleh hakim,
sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa
itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan
Pasal 311 KUHP (memfitnah).
4. Bahwa ketentuan tindak pidana yang termasuk ujaran kebencian diatur dalam Pasal
28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang berbunyi “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” sebagaimana juga
dikomplemen dengan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, kurang tepat karena ekspresi
yang disampaikan oleh Jerinx tidak mengandung unsur SARA.
5. Bahwa ekspresi yang masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian harus
melihat terlebih dahulu: (1) Konteks di dalam ekspresi; (2) Posisi dan status individu
yang menyampaikan ekspresi tersebut; (3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk
mengadvokasikan kebencian dan menghasut; (4) Kekuatan muatan dari ekspresi; (5)
Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan (6) Kemungkinan dan
potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi.
Dengan penjabaran dalam bentuk analisa hukum diatas, maka dapat diperoleh
kesimpulan bahwa kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang menjerat Jerinx
harus ditinjau dari konteks di dalam ekspresi yang dimuat di dalam unggahan Instagram
Jerinx pada tanggal 13 Juni 2020 dan pihak manakah yang secara langsung tersinggung oleh
ekspresi yang disampaikan Jerinx tersebut. Jika dilihat dari dalam konteks Pasal 28 ayat (2)
jo. Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 maka ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx berupa
pencemaran nama baik yang langsung ditanggapi oleh pihak yang merasa dirugikan. Maka
dari ketentuan tersebut pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan delik aduan.
Sedangkan dengan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 bahwa ketentuan yang
harus dipenuhi agar termasuk sebagai ujaran kebencian atau incitement to hatred harus
terbukti bahwa ujaran tersebut terdapat unsur SARA. Oleh karena itu kurang tepat jika
penggunaan pasal tersebut diaplikasikan tanpa ada peninjauan yang lebih merinci kepada
unsur-unsur yang terdapat dalam unggahan Jerinx. Di lain sisi, Kebebasan berpendapat juga
memiliki batasan terperinci dan tidak dapat digunakan untuk memperoleh imunitas dari
ancaman sanksi pidana jika terbukti melanggar hak dan kebebasan orang lain. Jadi, hak
kebebasan berpendapat yang tercantum pada pasal 28E ayat (3) UUD 1945, tetap harus dikaji
dengan mempertimbangkan pasal lain seperti Pasal 28F dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
dan merujuk kepadan undang-undang turunannya. Pada akhir kesimpulan ini saya
berpendapat bahwa penggunaan instrumen hukum dalam kasus ini dapat ditinjau lagi agar
tidak berkesan seperti memaksakan dan bersifat represif terhadap pendapat subjektif.
DAFTAR PUSTAKA
Hutomo, D. (2018, September 10). Bentuk Penghinaan yang Bisa Dijerat Pasal tentang Hate Speech.
Retrieved from hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b70642384e40/bentuk-penghinaan-
yang-bisa-dijerat-pasal-tentang-ihate-speech-i/
Hutomo, D. (2019, Juli 19). Pembatasan Berkomentar di Medsos Merampas Hak Kebebasan
Berpendapat? Retrieved from hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-
berkomentar-di-medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/#:~:text=Hak%20Kebebasan
%20Bependapat&text=Di%20Indonesia%20kebebasan%20untuk%20berpendapat,%2C
%20berkumpul%2C%20dan%20men
Pramesti, T. J. (2013, September 16). Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.
Retrieved from hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-
yang-termasuk-pencemaran-nama-baik/
Yamananda, I. (2020, Agustus 6). Ahli Bahasa Sebut Unggahan Jerinx Ada Unsur Pencemaran,
Polisi: Kami Tanyakan Semua Termasuk Emot. Retrieved from tribunnewsmaker.com:
https://newsmaker.tribunnews.com/2020/08/06/ahli-bahasa-sebut-unggahan-jerinx-ada-unsur-
pencemaran-polisi-kami-tanyakan-semua-termasuk-emot?page=all