DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ICHSAN PRAYUDA
1706200027
FAKULTAS HUKUM
UNIVERITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
3*Abstraksi
Bijak dalam menggunakan media sosial, dalam perkembangannya di era digital sekarang ini bukan
hanya “mulutmu harimaumu” melainkan juga “jarimu harimaumu”.
kasus hukum yang marak belakangan ini adalah berhubungan dengan Tehnologi yaitu Internet dan
Media Sosial, termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet. Bahkan bisa
dikatakan hampir setiap hari sebenarnya terjadi kasus serupa, yang hal ini disebabkan semakin
bebasnya masyarakat dalam mengekpresikan pendapatnya melalui internet dalam hal ini media
sosial. Salah satu kasus yang sangat sering terjadi adalah kasus penghinaan atau pencemaran nama
baik lewat melalui media sosial internet.
Sebelum adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-
ketentuan pasal-pasal KUHP sebagai berikut :
Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik
seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata
akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan
tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang
berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum
dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau
dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang
ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah
sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada
pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan
atas kasus tersebut.
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok
dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi
dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut
dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai
demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah
Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan
dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27
ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE
tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP,
pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
2. Buni Yani sehubungan dengan penyebaran video pidato Basuki Tjahaja Purnama
(“BTP”) ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI pada tahun 2016. Berdasarkan laman
berita nasional.kompas.com, Buni Yani diduga mengedit video BTP ketika sedang berpidato,
dimana pidato tersebut menggunakan salah satu ayat Surat Al Maidah. Video tersebut
diduga diedit sehingga dianggap memiliki makna berbeda, meskipun Buni Yani membantah
melakukan hal tersebut.
Perbuatan Buni Yani tersebut dinilai memenuhi unsur Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 28 ayat
(2) UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video pidato BTP. Atas
perbuatannya tersebut, Buni Yani divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun
oleh Pengadilan Negeri Bandung.
KOMPAS.com - Sejak disahkan pada 2008 lalu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE)
kerap mendapat kritikan pedas. Sebab, di dalam UU tersebut ada sejumlah pasal yang dianggap
membatasi kebebasan berkespresi di internet. Dianggap membatasi karena kerap dijadikan
landasan untuk membawa orang-orang yang melontarkan kritik di dunia maya ke ranah hukum.
Salah satu yang seringkali dipermasalahkan dan disebut sebagai "pasal karet" adalah Pasal 27 ayat 3
UU ITE. Adapun isi Pasal 27 ayat 3 dalam UU 11/2018 itu berbunyi "setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik". Presiden Joko Widodo baru-baru ini pun meminta Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk merevisi UU ITE jika implementasinya dirasa tidak adil. "Terutama menghapus
pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,"
kata Jokowi sebagaimana dikutip dari Antaranews, Selasa (16/2/2021). Sepanjang keberadaan "pasal
karet" ini, tercatat sudah ada sejumlah nama yang menjadi "korban".
3. Prita Mulyasari Pada 15 Agustus 2008, Prita mengirimkan pesan melalui e-mail berisi
keluhan dirinya dan teman-temannya terkait pelayanan di Rumah Sakit Omni Internasional
Tangerang. Saat itu, isi e-mail yang dikirimkan oleh Prita tersebut secara tak sengaja
tersebar ke sejumlah mailing list di dunia maya. Mengetahui informasi tersebut, pihak RS
Omni pun mengambil langkah hukum. Prita dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang
pencemaran nama baik serta pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Baca juga: 9 Pasal Karet dalam UU ITE yang Perlu Direvisi Menurut Pengamat
Akibatnya, Prita mendapat ancaman hukuman penjara selama enam tahun. Namun,
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang sempat memvonis bebas Prita, sebelum Majelis kasasi
Mahkamah Agung (MA) mengganjarnya dengan pidana 6 bulan penjara dengan masa
percobaan satu tahun. Empat tahun berselang, akhirnya Prita dibebaskan setelah Peninjauan
Kembali (PK) terhadap kasusnya yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 17
September 2012 silam.
5. Ervani Handayani Ervani Handayani harus berurusan dengan hukum akibat "curhat" di
Facebook soal mutasi kerja yang dialami oleh suaminya pada 30 Mei 2014. Ia membuat
status Facebook yang dianggap mencemarkan nama baik bos suaminya. Setelah
mengetahui isi curhatan tersebut, Ayas yang namanya disebutkan itu melaporkan unggahan
Ervani ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jaksa penuntut umum menjerat
Ervani dengan pasal berlapis. Pertama Pasal 45 ayat 1, Pasal 27 ayat 3 UU RI No 11 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan pasal 310 ayat 1 KUHP tentang pencemaran
nama baik. Enam bulan berselang, akhirnya permohonan penangguhan penahanan Ervani
Handayani dikabulkan pada 17 November 2014.
7. Fadli Rahim Pada November 2014, Fadli yang merupakan seorang PNS di Kabupaten
Gowa dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina dan mencemarkan nama baik Ichsan
Yasin Limpo yang kala itu menjabat sebagai Bupati Gowa Sulawesi Selatan. Awalnya, Fadli
membagikan kritikan lewat grup aplikasi pesan instan Line yang berisi tujuh orang di
dalamnya. Dalam kritikan tersebut, Fadli mengungkapkan bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin
Limpo berlaku otoriter. Dalam memerintah, Fadli mengklaim bahwa Ichsan selalu
mengedapankan emosi. Kritik itu rupanya membuat Bupati Gowa marah besar sehingga
melaporkan Fadli ke polisi. Alhasil, Fadli dikenakan hukuman penjara selama 19 hari dan
terancam dipecat dari posisinya sebagai PNS.
7. Baiq Nuril Maknun Nuril merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara
Barat (NTB). Nasib yang dialami Nuril berawal pada tahun 2012 silam. Suatu hari, ia
menerima telepon dari Kepala Sekolah berinisial M. Dalam perbincangan itu, M
menceritakan tentang perbuatan asusila yang dilakukan dirinya dengan seorang wanita yang
juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut. Pada
2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat M geram. Nuril
kemudian dilaporkan ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. Pada 26
September 2018, MA lewat putusan kasasi menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan
denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis hukuman itu diberikan karena hakim
menilai, Nuril melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat
1 UU ITE. Namun, pada 29 Juli 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan
Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Dengan terbitnya
amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung (MA) melanggar UU ITE
pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "6 "Korban" yang Dijerat Pasal Karet UU
ITE", Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/15030007/6-korban-
yang-dijerat-pasal-karet-uu-ite?page=all.
Penulis : Conney Stephanie
Editor : Yudha Pratomo