Anda di halaman 1dari 4

Ulasan Lengkap

Pencemaran Nama Baik


Pencemaran nama baik (defamation) adalah perbuatan yang dilarang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) dan/atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).

Dalam KUHP, pencemaran nama baik baik tersebar pada beberapa


pasal, yakni:
a. Pencemaran secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP);
b. Pencemaran secara tertulis (Pasal 310 ayat (2) KUHP);
c. Fitnah (Pasal 311 KUHP);
d. Penghinaan ringan (315 KUHP);
e. Pengaduan palsu/fitnah (317 KUHP);
f. Persangkaan palsu (318 KUHP);
g. Penghinaan kepada orang yang sudah mati (Pasal 320-321 KUHP).

Adapun pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur


dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang melarang:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut hemat kami,


dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang. Penyebar dapat menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana jika penyebar
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus dianalisis secara mendalam siapa
penyebar utama konten tersebut.
2. Dengan sengaja dan tanpa hak. Unsur ini harus dibuktikan kepada siapa penyebar
memberitahukan konten tersebut dan dengan tujuan apa. Apakah tujuan dibuatnya
konten untuk menjelek-jelekan secara personal atau untuk memberi tahu adanya
dugaan suatu tindak pidana?
3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Unsur ini sudah terpenuhi jika
konten tersebut dapat diakses oleh berbagai pihak dan diketahui oleh umum.
4. Yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Unsur ini harus
dikritisi dan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan ahli bahasa (expert).

Perbuatan memberitahu konten yang menurut Anda bukan kabar


bohong (hoax) menggunakan sarana teknologi internet dapat menjadi
perbuatan melawan UU ITE (straafbaar feit) jika memenuhi keempat
unsur tersebut. Namun, yang wajib diperhatikan dengan serius adalah
pemenuhan unsur keempat, yaitu apakah konten tersebut memiliki
muatan dan/atau pencemaran nama baik.

Sanksi atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE diatur dalam Pasal
45 ayat (3) 19/2016:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pencemaran Nama Baik sebagai Delik Aduan


Pencemaran nama baik/penghinaan (belediging) menjadi tindak
pidana jika ada pengaduan dari korban langsung atau laporan dari
orang lain yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana tersebut
(delik aduan). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU
19/2016. Menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip–prinsip
Hukum Pidana Edisi Revisi (hal. 145), delik aduan (klacht
delic) adalah delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses
perkara tersebut lebih lanjut.

Berdasarkan pertanyaan Anda, maka diperlukan pengaduan terlebih


dahulu dari orang yang nama baiknya tercemar (pengadu) kepada
penyidik atas akibat penyebaran konten tersebut, untuk dapat
diproses menggunakan dasar hukum yang berlaku. Peraturan yang
dirujuk dalam proses ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak
Pidana (“Perkap 6/2019”).

Penyebar tersebut dapat dijadikan tersangka setelah penyidik


menetapkannya berdasarkan paling sedikit dua alat bukti yang sah
dan didukung barang bukti.[1] Hal ini sesuai dengan prinsip unnus
testis nullus testis.

Namun yang harus diingat, sebelum adanya putusan inkracht oleh


hakim, dikenal adanya asas praduga tak bersalah ( presumption of
innocent). Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan
dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau


dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sistem peradilan pidana kemudian menjadi cara untuk menentukan


apakah suatu tindakan merupakan pelanggaran atas ketentuan hukum
positif di Indonesia atau tidak. Menurut Mardjono Reksodiputro dalam
bukunya Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat Kepada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas–batas Toleransi (hal.
1), sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan
yang terdiri dari lembaga–lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan permasyarakatan terpidana.

Lebih lanjut menurut Ratna Nurul Afiah dalam bukunya Barang Bukti
dalam Proses Pidana (hal. 122), proses peradilan suatu perkara pidana
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap penyidikan oleh aparat kepolisian.
2. Tahap penuntutan oleh jaksa (penuntut umum).
3. Tahap pemeriksaan di pengadilan.

Perlindungan Hukum
Dalam pertanyaan Anda disinggung apakah ada perlindungan hukum
bagi pelaku pencemaran nama baik. Perlindungan hukum
menurut Setiono dalam bukunya Rule of Law (Supremasi
Hukum) (hal. 3) adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia.

Dalam hal ini kami asumsikan bahwa pelaku telah ditetapkan menjadi
tersangka ataupun terdakwa. Hak tersangka dan terdakwa sendiri
diatur dalam Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP.

Namun jika penyebar konten tersebut adalah korban, maka ia berhak


memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ia juga berhak
untuk memberikan keterangan tanpa tekanan.[2] Orang/korban
tersebut dapat mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Oleh karena itu, baik tersangka/terdakwa maupun korban yang


menyebarkan konten pencemaran nama baik berhak atas perlindungan
hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai