Anda di halaman 1dari 10

IV.

HASIL & PEMBAHASAN

A. Batasan-batasan seseorang dapat dikatakan melakukan penghinaan atau pencemaran


nama baik

Masalah penghinaan atau pencemaran nama baik diatur dalam pasal 1372 sampai dengan
pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa
tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat penggantian
kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.1
Syarat kesalahan dalam perbuatan melawan hukum dapat berupa kesengajaan atau kurang
hati-hati (yaitu dalam pasal 1366, pasal 1370, pasal 1371 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Namun dalam hal penghinaan, pasal 1376 membatasi pertanggungjawan pada
kesengajaan. Pasal 1376 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memakai kata oogmerk
yang berarti maksud untuk menghina yang bersifat lebih sempit daripada kesengajaan
(opzet).2
Perbuatan mencemarkan kehormatan dan nama baik orang itu sendiri disebut penghinaan,
di mana tuntutan keperdataan mengenai penghinaan ini diatur dalam pasal 1372 B.W.
sampai dengan pasal 1380 B.W.. Telah menjadi jurisprudensi tetap bahwa pada
hakekatnya yang dimaksud dengan penghinaan 1372 B.W. sampai dengan pasal 1380
B.W. adalah perbuatan-perbuatan yang sebagaimana dalam bab XVI dari Buku II KUHP
diancam dengan hukuman.3
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan)
diatur dab dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP, yang terdiri dari tiga ayat, yaitu:
1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi :
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan
menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan
pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan
tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak
bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik
di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya,
diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

1
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit. pasal 1372
2
Wirjono Prodjodikoro hal.94
3
M.A. Moegini Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 11, Pradniya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 164.
Adapun yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 yang sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE).
Pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi perbuatan yang dilarang dalam
pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/ atau pencemaran nama baik.
Didalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
juga mengatur pencemaran nama baik melalui media sosial yang diatur dalam Pasal 27
ayat 3 UU ITE yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen eletronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Menurut pasal 310 ayat (1), unsur-unsur penghinaan atau pencemaran nama baik adalah
1. Dengan sengaja
2. Menyerang kehormatan atau nama baik
3. Menuduh melakukan suatu perbuatan
4. Menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum
Dalam kasus putusan ini tergugat dapat dikatakan telah memenuhi unsur penghinaan atau
pencemaran nama baik menurut pasal 310 KUHP, yaitu pertama pihak tergugat
melakukannya dengan sengaja yang berarti pihak tergugat menghendaki dan mengatahui
apa yang ia perbuat atau dilakukan, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari
perbuatan itu. Kedua, pihak tergugat menyerang kehormatan atau nama baik dari pihak
penggugat dengan menggiring opini negatif terhadap pihak penggugat, perbuatan
menyerang (aanranden), tidaklah bersifa fisik, karena terhadap apa yang diserang
(objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan
mengenai nama baik orang atau pihak penggugat. Objek yang diserang adalah rasa atau
perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa atau perasaan harga diri
mengenai nama baik (goedennaam) orang. Ketiga, pihak tergugat melakukan suatu
perbuatan, yaitu melakukan suatu ujaran penghinaan atau pencemaran nama baik
terhadap pihak penggugat. Dengan menggunakan kata atau kalimat melalui ucapan,
dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu. Keempat, pihak tergugat menyiarkan
tuduhan supaya diketaui umum dengan cara menggiring opini negatif di grup whatsapp,
dalam hal ini pihak tergugat menyiarka tuduhan kepada pihak penggugat di dalam grup
whatsapp yang dimana hal tersebut termasuk kedalam tempat yang beresiko dapat
dikatahui oleh umum.
Sedangkan dalam 310 ayat 2 (dua) ada beberapa unsur-unsur tambahan, yaitu:
1. Tulisan atau gambar
Bisa ditafsirkan tulisan yang dimaksud adalah dalam bentuk tulisan tangan maupun
dengan alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata atau kalimat dalam
bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu, atau menyerang kehormatan
atau nama baik seseorang (objek). Sedangkan gambaran adalah tiruan dari benda yang
dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan maupun alat apapun diatas kertas
atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari atau ditulisi. Gambar ini harus
mengandung suatu makna penghinaan atau pencemaran nama baik orang tertentu
(yang dituju).
2. Disiarkan, dipertunjukan, atau ditempel dimuka umum
Disiarkan (verspreiden) maksudnya adalah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat
dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau diperbanyak, lalu disebarkan
dengan cara apapun, misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau
dibagi-bagikan kepada siapapun (umum). Dipertunjukan (ten toon gesteld) adalah
memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina kepada
umum, sehingga banyak orang yang mengetahuinya. Dan ditempel (aanslaan) ialah
tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda lain yang sifatnya ditempeli,
misalnya papan, dinding gedung, pohon, dan sebagainya.
Penghinaan atau pencemaran nama baik dapat juga dikatakan sebagai Perbuatan Melawan
Hukum. Adapun unsur-unsur pencemaran nama baik yaitu yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Ada perbuatan melawan hukum
2. Ada kesalahan
3. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan
4. Ada kerugian
Dalam kasus putusan ini pun pihak tergugat dapat dikatakan melakukan Perbuatan
Melawan Hukum karena pihak tergugat sudah memenuhi unsur-unsur Perbuatan
Melawan Hukum, yaitu yang pertama ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh tergugat yang berarti pihak tergugat melakukan suatu pelanggaran hukum atau
melawan hukum. Dulu, perbuatan melawan hukum di tafsirkan secara sempit, yaitu hanya
hukum tertulis saja. Tetapi sejak tahun 1919, ada putusan Mahkamah Agung Belanda
dalam kasus Arrest Cohen Lindenbaum, yang kemudian telah memperluas pengertian
melawan hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang tertulis tetapi juga undang-
undang tidak tertulis, berikut penjelasannya;
1. Melanggar Undang-Undang, artinya perbuatan yang dilakukan jelas-jelas melanggar
undang-undang.
2. Melanggar hak subjektif orang lain, artinya jika perbuatan telah emlanggar hak-hak
orang lain yang dijamin oleh hukum (termasuk tapi tidak terbatas pada hak
yangbersifa pribadi, kebebasan, hak kebendaan, kehormatan, nama baik ataupun hak
perorangan lainnya).
3. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, yang artinya kewajiban hukum baik
yang tertulis maupun tidak tertulis , termasuk hukum public.
4. Bertentangan dengan kesusilaan, yaitu kaidah moral (Pasal 1335 Jo Pasal 1337
KUHPerdata)
5. Bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat, ini
bersumber pada hukum tak tertulis (bersifat relatif). Yaitu perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan sikap yang baik atau kepatutan dalam masyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain.
Kedua, pihak tergugat juga melakukan kesalahan. Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena
kesengajaan dank arena kealpaan. Kesengajaan ini artinya ada kesadaran yang oleh orang
pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya itu akan merugikan orang lain. Sedangkan,
kealpaan berarti ada perbuatan mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan atau tidak
berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Namun ada
kalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal
keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya.
Ketiga, pihak tergugat melakukan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik yang
menyebab adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan (hubungan
kausalitas), maksudnya hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan
akibat yang muncul
Keempat, karena adanya suatu penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan
ole pihak tergugat kepada pihak penggugat tersebut timbul adanya suatu kerugian.
Kerugian disini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Kerugian Materil, misalnya kerugian karena kerusakan suatu barang, hilangnya
keuntungan, ongkos barang, biaya-biaya, dan lain-lain.
2. Kerugian Imateril, misalnya timbul rasa ketakukan, kekecewaan, penyesalan, sakit,
dan kehilangan semangat hidup yang pada prakteknya akan dinilai dalam bentuk
ruang.
Adapun pemberian ganti rugi menurut KUHPerdata, yaitu:
1. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)
2. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367 KUHPerdata).
Pasal 1367 ayat satu (1) KUHPerdata yang berbunyi:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada
dalam pengawasannya (vicarious liability)”
3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368 KUHPerdata)
4. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369 KUHPerdata)
5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370
KUHPerdata)
6. Ganti rugi karena luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371 KUHPerdata)
7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata)
KUHPerdata tidak mengatur soal ganti rugi yang harus dibayar karena Perbuatan
Melawan Hukum sedangkan dalam pasal 1243 KUHPerdata membuat ketentuan tentang
ganti rugi karena Wanprestasi.
Dalam Putusan Nomor 44/Pdt.G/2019/PN.Kdr, menurut pandangan penulis pihak
tergugat sudah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum penghinaan atau
pencemaran nama baik terhadap pihak penggugat. Karena di dalam Putusan Nomor
44/Pdt.G/2019/PN.Kdr pihak tergugat telah terbukti melakukan suatu perbuatan melawan
hukum penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pihak penggugat yang disiarkan
di dalam grup whatsapp yang berisikan ujaran atau kalimat yang mengandung unsur
penghinaan atau pencemaran nama baik serta fitnah kepada pihak penggugat.

B. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pada Putusan Nomor


44/Pdt.G/2019/PN.Kdr
Hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur
dalam undang-undang. Hakim adalah yang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
ayat 5, ayat 6, ayat 7, dan ayat 9 Undang-Undang kekuasaan kehakiman, berikut
bunyinya:
Pasal 1 ayat 5, berbunyi:
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut.
Pasal 1 ayat 6, berbunyi:
Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung.
Pasal 1 ayat 7, berbunyi:
Hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Pasal 1 ayat 9, berbunyi:
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Kebebasan hakim secara kontekstual memiliki 3 (tiga) esensi dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman, yaitu;4
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

4
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal.
104
2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan
putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsinya
Berdasarkan Hukum Perdata Hakim Dalam Hukum Acara Perdata bersifat pasif, hakim
hanya terbatas menerima dan memeriksa gugatan yang diajukan. Oleh karena itu, peran
dan fungsi hakim dalam proses perkara perdata, hanya sebatas:
1. Mencari dan menemukan kebenaran formil
2. Kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan gakta-fakta yang diajukan
oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung5
Hakim tidak diperbolehkan meminta kepada pihak yang berperkara untuk mengajukan
atau menambah serta mengurangi pemberian bukti yang diperlukan. Segala hal tersebut
menjadi kewajiban dan hak semua pihak. Para pihak mempunyai kewenangan
sepenuhnya untuk mencukupkan atau tidaknya alat bukti yang diajukan. Hakim tidak
diperbolehkan untuk ikut berkontribusi terhadap berbagai keperluan dari berbagai pihak
manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali untuk perihal yang telah ditentukan oleh
perundang-undangan. Segala pengingkaran dan pengakuan yang diajukan oleh masing-
masing pihak yang berperkara harus diterima oleh hakim didalam persidangan, guna
untuk menilai kebenaran selanjutnya. Hakim memiliki keterbatasan dalam pemeriksaan
dan memberikan putusan terhadap tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatannya.6
Dalam memutuskan perkara pada putusan yang diutamakan adalah kesimpulan atas
hukum atas fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali
nilai-nilai, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat. Suatu putusan hakim memiliki beberapa bagian, diantaranya bagian
pertimbangan hukum atau dikenal dengan konsideran dan bagian amar putusan. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bagian pertimbangan hukum yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara, juga amar putusan yang berisi putusan hakim.
Pertimbangan hakim merupakan aspek terpenting dalam mewujudkan nilai dari suatu
putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum serta mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan.7
Pada putusan hakim dalam ranah perdata, pertimbangan tentang duduk perkara dan
pertimbangan tentang hukumnya dipisahkan. Sedangkan dalam hukum pidana,
pertimbangan mengenai duduk perkara dan hukumnya tidak pisahkan. Hal ini disebabkan
karena dalam beracara perdata, para pihak adalah sama-sama mengajukan peristiwa yang
disengketakan dan mengajukan bukti untuk dalil dalam menguatkan peristiwa yang
dikemukakan. Sedangkan dalam perkara pidana, peristiwa yang menyangkut
pertimbangan atas fakta-fakta serta pertimbangan atas bukti-bukti selama terjadi
dipersidangan dijadikan dasar bagi hakim dalam menentukan kesalahan.8

5
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 499
6
Ibid, hal. 500
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 140
Adapun pertimbangan hakim hendaknya memuat tentang hal-hal sebagai berikut:9
1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil yang tidak disangkal
2. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua
fakta atau hal-hal yang terbukti dalam persidangan
3. Adanya bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan atau diadili secara satu
demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya
dan dapat dikabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis,
kebenaran filosofis, dan kebenaran sosiologis. Kebenaran yuridis adalah landasan hukum
yang dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Kebenaran filosofis
artinya hakim harus mempertimbangkan sisi keadilan apakah hakim telah berbuat dan
bertindak seadil-adilnya dalam memutuskan suatu perkara. Pertimbangkan sosiologis
artinya hakim juga harus mempertimbangkan apakah putusannya akan berakibat buruk
dan berdampak di masyarakat dengan kata lain bahwa seorang hakim harus membuat
keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak hukum dan
dampak yang terjadi di dalam masyarakat.
Menurut pandangan penulis dalam perkara pada Putusan Nomor 44/Pdt.G/2019/PN.Kdr,
hakim dalam mempertimbangkan putusan diatas sudah benar. Hakim menolak gugatan
pihak penggugat dikarenakan adanya suatu gugatan salah pihak (error in persona) yang
dilakukan oleh pihak penggugat. Gugatan penggugat yang diajukan terhadap tergugat
yang beralamat di jalan Hayam Wuruk No. 58 Kota kediri, padahal sesuai dengan Kartu
Tanda Penduduk NIK: 3571024103070002 YUYUN MASITA YUWONO (Tergugat)
beralamat di Jalan Trunoyo VI/15-101, RT.009 RW.002, Kecamatan Kota, Kota Kediri.
Sedangkan tidak ada seorangpun yang Bernama YUYUN MASITA YUWONO yang
beralamat di jalan Hayam Wuruk No.58 Kota Kediri, dan juga bangunan yang ada di
Jalan Hayam Wuruk No.58 hanyalah bangunan tempat usaha bukan tempat tinggal.
Adapun gugatan kabur (obscuur libel) yang disebutkan didalam Putusan Nomor
44/Pdt.G/2019/PN.Kdr, bahwa mendasari identitas pihak penggugat yang menyebut
Namanya dahulu Bernama Wee Oe alias Wee U telah menimbulkan ketidakjelasan atau
kekaburan mengenai nama Tionghoa yang sudah menjadi warga Negara Indonesia
memiliki satu nama Indonesia dan satu nama Tionghoa. Serta beberapa alas an lainnya
seperti dipertanyakannya bagaimana dan dari mana pihak penggugat mengetahui adanya
pesan Whatsapp dimaksud yang didalilkan Penggugat tersebar didalam Whatsapp Group
Perkumpulan Rukum Sinoman Dana Pengrukti-Kediri, padahal Penggugat mendalilkan
bukan pengurus maupun anggota Perkumpulan Rukum Sinoman Dana Pengrukti-Kediri.
Lalu mengenai dalil gugatan Penggugat pada posita 4 dan 5 yang pada pokoknya
menyebutkan bahwa Penggugat sejak tahun 2002 telah pindah ke Surabaya, sedangkan
Penggugat tidak pernah berhubungan apapun dengan Tergugat serta sudah puluhan tahun
8
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Penerapan Dan Pengaturannya Dalam Hukum Acara Perdata, Medan: Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3, 2011, hal. 476.
9
Mukti Arto, Prakter Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 142.
tidak pernah saling berjumpa atau ketemu, lalu bagaimana rasio, logika serta korelasinya
atau hubungannya sehingga Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat melakukan
penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah atas diri Penggugat?. Dan juga ada
beberapa faktor lain yang mendukung ditolaknya gugatan Penggugat ketidakjelasan
mengenai waktu pesan Whatsapp yang dimaksud dalam perkara ini hanya disebutkan “di
bulan Juni 2018” dengan tanpa menyebutkan tanggal dan jam berapa pesan Whatsapp
tersebut dikirim. Padahal terkait pesan Whatsapp waktu tertera dengan jelas dan rinci
mulai dari menit, jam, tanggal, bulan, dan tahun.

V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan diatas makan penulis
dapat menyimpulkan Batasan-batasan seseorang dapat dikatakan melakukan
perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penghinaan atau
pencemaran nama baik termasuk kedalam Perbuatan Melawan Hukum jika
memenuhi unsur-unsur, yaitu:
a. Ada perbuatan melawan hukum
b. Ada kesalahan
c. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan
d. Ada kerugian
2. Perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang tertulis
tetapi juga undang-undang tidak tertulis, seperti:
a. Melanggar undang-undang
b. Melanggar hak subjektif orang lain
c. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
d. Bertentangan dengan kesusilaan (kaidah moral)
e. Bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat
ini bersumber pada hukum tidak tertulis (bersifat relatif)
Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu kasus hendaknya memuat
tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Pokok persoalan dari hal-hal yang diakui atau dalil yang tidak disangkal
2. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua fakta atau hal-hal yang terbukti dalam persidangan
3. Adanya bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan atau diadili
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
terbukti atau tidaknya dan dapat dikabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut
dalam amar.
Di dalam perkara pada Putusan Nomor 44/Pdt.G/2019/PN.Kdr. , hakim tidak
mengabulkan atau menolak gugatan pihak penggugat dikarenakan adanya
beberapa factor yang menyebabkan tidak terkabulnya gugatan pada Putusan
Nomo 44/Pdt.G/2019/PN.Kdr. , yaitu:
1. Adanya suatu gugatan salah pihak (error in persona)
2. Adanya gugatan kabur (obscuur libel)
3. Ketidakjelasan barang bukti, dalam hal ini yang dimaksud adalah waktu
(menit, jam, tanggal, bulan, dan tahun)

B. Saran
1. Di dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak mengatur tentang
adanya ganti rugi kepada pihak penggugat karena Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan oleh pihak tergugat, seharusnya pemerintah membuat peraturan tentang ganti
rugi yang disebabkan oleh pihak tergugat kepada pihak penggugat yang lebih spesifik
pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Dan untuk masyarakat agar lebih berhati-hati dan bijak dalam menggunakan sosial
media, karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan baik itu sengaja
maupun tidak sengaja (kelalaian) dapat masuk kedalam unsur Perbuatan Melawan
Hukum.

Anda mungkin juga menyukai