Anda di halaman 1dari 17

TATALAKSANA PERKAWINAN DAN TINGKAH LAKU PADA SAPI DAN

DOMBA
( Makalah Fisiologi dan Reproduksi Ternak)

Oleh:

Kelompok 9

Zulfa Dinning Kholis 2114241012


Fandes Pinta Gape Sembiring 2114241015
Farhan Dwitama 2114241024
Kaleb Wisnu Nugroho 2114241030
Nanda Agustina 2114241014
Rimalia Fircia Fransisca 2114241040

NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN TERNAK


JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesakan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga penulis mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 20 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan protein hewani di Indonesia yang cenderung meningkat setiap tahun


seiring dengan terus meningkatnya laju pertambahan penduduk, maka perlu adanya
kesinambungan peningkatan produksi peternakan. Menurut Lubis (2009), bahwa
program peningkatan produksi ternak yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu
usaha untuk mengejar target akan kebutuhan gizi terhadap protein hewani bagi
masyarakat. Usaha peternakan sapi potong dan domba adalah jenis usaha dibidang
peternakan yang sangat potensial untuk dikembangkan dan diproduksi dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Salah satu indikator performans reproduksi ternak betina adalah keberhasilan


kebuntingan, kaitannya dengan metode perkawinan yang terarah, melalui kawin alam
maupun IB. Perkawinan secara alam diduga menghasilkan tingkat kebuntingan yang
rendah karena berbagai alasan antara lain kurangnya kontrol terhadap manajemen
estrus, ratio ternak jantan dan betina yang tidak seimbang, adanya beberapa ekor ternak
betina yang tidak mampu untuk bunting dan lain-lain. Pada sistim perkawinan alam
khususnya ternak sapi potong, produksi anak sapi potong (net calf crop) dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan pejantan dan betina selama
kebuntingan, penyapihan dini, ratio jantan dan betina, pemilihan pejantan untuk
menghindari distokia dan pengontrolan penyakit.

Perkawinan dengan inseminasi buatan merupakan teknologi yang dimodifikasi


diharapkan mempunyai peran besar dalam meningkatkan keberhasilan kebuntingan.
Inseminasi Buatan merupakan suatu cara atau teknik penting untuk memperbaiki
genetik pada ternak. Hafes (2000) mengatakan bahwa keuntungan utama Inseminasi
Buatan adalah perbaikan genetik, mengontrol penyakit.

kelamin pada ternak (venereal diseases), adanya catatan perkawinan/inbreeding


yang teliti dan menjaga kesehatan induk dari pejantan dalam satu kelompok. Namun
demikian keberhasilan IB, tergantung pada keterampilan inseminator, ternak betina
yang diinseminasi benar-benar dalam keadaan estrus dan siap untuk menerima sperma.
Sedangkan menurut Toelihere (1993), inseminasi buatan memungkinkan untuk
menghasilkan lebih banyak keturunan dari masing-masing pejantan, dibandingkan
kawin alam.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa mampu mengetahui tanda-tanda birahi pada Sapi.

2. Mahasiswa mampu mengetahui tanda-tanda birahi pada Domba.

3. Mahasiswa mengetahui macam-macam perkawinan pada Sapi dan Domba.


BAB II.

PEMBAHASAN

2.1 Deteksi Birahi Pada Sapi

Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat
terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi.
Siklus ini dimulai dengan pubertas atau dewasa kelamin yang ditandai dengan
berfungsinya organ-organ kelamin betina. Kemudian musim kawin yang ditandai
dengan siklus birahi, kopulasi, adanya kelahiran setelah kebuntingan dan anak disapih.
Maka ternak betina akan kembali ke masa siklus birahi dan seterusnya.
Siklus birahi ternak betina terbagi menjadi 4 fase (Partodiharjo, 1980) yaitu:
1. Proestrus ditandai dengan pertumbuhan folikel tersier menjadi folikel de graff.
Kelenjar endometrium memanjang, serviks mulai merelaks dan lumen serviks mulai
memproduksi lendir;
2. Estrus ditandai dengan adanya kopulasi, ovum telah masak dan dinding folikel
menjadi tipis serta terjadi ovulasi (pecahnya dinding folikel dan keluarnya ovum
dari folikel);
3. Metestrus ditandai dengan pembentukan corpus hemorragicum di tempat folikel de
graff, kelenjar kental disekeresikan oleh serviks untuk menutup lubang serviks;
4. Diestrus ditandai dengan kebuntingan dan adanya sel-sel kuning (luteum) di bawah
lapisan hemoragik.
Pengamatan birahi dilakukan pada setiap ekor induk sapi. Pengamatan
dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat
gejala birahi secara langsung. Birahi berlangsung sekitar 18 jam dengan siklus rata-
rata 21 hari. Pengamatan birahi merupakan faktor yang paling penting, karena jika
gejala birahi telah terlihat maka waktu perkawinan yang tepat dapat ditentukan.
Waktu yang paling tepat untuk mengawinkan ternak adalah sembilan jam sejak
ternak menujukan tanda birahi.
Birahi pertama terjadi saat ternak mengalami dewasa kelamin. Dewasa kelamin
atau pubertas adalah periode dalam kehidupan mahkluk hidup jantan atau betina
dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai oleh kemampuan
untuk pertama kalinya memproduksi benih (Partodiharjo, 1980). Biasanya dewasa
kelamin terjadi lebih dahulu sebelum dewasa tubuh. Periode daur birahi bervariasi
antara berbagai jenis hewan, sedangkan pada sapi antara 18-24 hari. Hewan yang
tidak dalam masa birahi akan menolak untuk kawin. Pada hewan yang tidak bunting,
periode birahinya dimulai sejak dari permulaan birahi sampai ke permulaan periode
selanjutnya (Akoso, 1996).

2.2 Perkawinan Pada Sapi


Perkawinan pada sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun kawin
suntik atau inseminasi buatan (IB). Perkawinan alami merupakan perkawinan
dengan cara mempertemukan pejantan dan induk secara langsung. Pola perkawinan
secara alami ini memiliki empat manajemen perkawinan, yaitu:
1) Perkawinan Model Kandang Individu
Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi menempati dan
diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu dibatasi dengan suatu sekat.
Model Perkawinan kandang individu dimulai dengan melakukan pengamatan birahi
pada setiap ekor sapi induk dan perkawinan dilakukan satu induk sapi dengan satu
pejantan (kawin alam) atau dengan satu straw (kawin IB). Biasanya kandang individu
yang sedang bunting beranak sampai menyusui pedetnya. Pengamatan birahi dapat
dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara
langsung. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore
dikawinkan pada besok pagi hingga siang. Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi
induk dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau kayu,
kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan dikawinkan dengan
induk yang birahi tersebut minimal dua kali ejakulasi.
Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan pengamatan birahi lagi
dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari) berikutnya,
kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting. Untuk meyakinkan bunting tidaknya,
setelah 60 hari sejak di kawinkan, dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan
palpasi rektal, yaitu adanya pembesaran uterus seperti balon karet (10-16 cm) dan
setelah hari ke 90 sebesar anak tikus (Boothby and Fahey, 1995). Induk setelah bunting
tetap berada dalam kandang individu hingga beranak, namun ketika beranak diharapkan
induk di keluarkan dari kandang individu selama kurang lebih 7-10 hari dan selanjutnya
dimasukkan ke kandang individu lagi.
2) Perkawinan Model Kandang Kelompok/Umbaran
Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah luasan bagian
depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian belakang berupa areal
terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran. Ukuran kandang (panjang x
lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang menempati kandang, yaitu untuk setiap
ekor sapi dewasa membutuhkan luasan sekitar 20 – 30 m2. Kapasitas kandang dapat
berisi satu ekor pejantan dengan 10 ekor induk (1:10) dengan pemberian pakan sesuai
kebutuhan secara bersama-sama sebanyak dua kali sehari, yaitu pada waktu pagi dan
sore hari. Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh
kelompok tani atau kelompok pembibitan sapi potong rakyat yang memiliki kandang
kelompok usaha bersama (cooperate farming system) dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan pada kandang
khusus, yakni di kandang bunting dan atau menyusui; Setelah 40 hari induk
dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur dengan pejantan terpilih dengan
kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan menjadi satu
dengan pejantan dalam waktu 24 jam selama dua bulan; Setelah dua bulan dikumpulkan
dengan pejantan dilakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan cara palpasi rektal
terhadap induk-induk sapi tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui
yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui; Sapi
induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan diganti dengan sapi yang
belum bunting atau hasil pemeriksaan kebuntingan dinyatakan negatif.
3) Perkawinan Model Ranch/Paddock
Bahan dan alat berupa ren berpagar 30 x 9 m2 yang dilengkapi dengan tempat pakan
dan minum beralaskan lantai paras dan berpagar serta dilengkapi juga tempat pakan
berupa hay, diantaranya jerami padi kering atau kulit kedele kering.
Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 30 ekor induk (1:30) dengan
pemberian pakan secara bebas untuk jerami kering dan 10 % BB rumput, 1 % BB untuk
konsentrat diberikan secara bersama-sama dua kali sehari pada pagi dan sore.
Manajemen perkawinan model ren dapat dilakukan oleh kelompok pembibitan sapi
potong rakyat yang memiliki areal ren berpagar pada kelompok usaha bersama
(cooperate farming system) seperti di daerah Indonesia Bagian Timur dengan tahapan
sebagai berikut: Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan
pada kandang khusus, yakni di kandang individu (untuk induk bunting dan atau
menyusui; Setelah 60 hari induk dipindahkan ke areal ranch (paddock) dan dicampur
dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 30 ekor betina (induk atau
dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan dalam sepanjang waktu (24 jam) selama
dua bulan; Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan
kebuntingan dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan terjadi secara
alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang
tidak diketahui); Pergantian pejantan dilakukan setiap setahun sekali guna menghindari
kawin keluarga (inbreeding); Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok
tersebut dan diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil PKB dinyatakan negatif.
4) Perkawinan Model Padang Penggembalaan
Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat
hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang kecil
berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama pada saat
musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia Bagian Timur
(Aryogi et al., 2006). Kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga
ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3
pejantan (rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau
tanaman hutan). Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani
atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan atau
kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan sebagai
berikut: Induk bunting tua maupun setelah beranak (partus) tetap langsung diangon
bersama pedetnya (Aryogi et al., 2006). Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi
langsung dipisah untuk diamati keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa
sapi tersebut birahi, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan
ditaruh dikandang dekat rumah. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat
dilepaskan kembali ke hutan atau padang angonan (Tim Prima Tani Way Kanan, 2007).
Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna menghindari kawin
keluarga (inbreeding). Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya
dipisah dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang
dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa
konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak.
Perkawinan melalui kawin suntik atau inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan
cara memasukkan sperma atau semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih
dahulu ke dalam saluran alat kelamin betina dengan metode dan alat khusus. Teknik IB
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan semen beku (frozen semen) dan
semen cair (chilled semen).
Perkawinan dengan cara IB memiliki beberapa keuntungan di antaranya yaitu:
a) menghindari penularan penyakit dari jantan ke betina,
b) sperma yang berasal dari pejantan dapat melayani banyak betina karena dapat
diencerkan beberapa kali lipat,
c) mempermudah upaya persilangan antar ras,
d) mempercepat penyebaran bibit unggul,
e) pejantan yang tidak mampu mengawini dapat diambil spermanya, dan
f) memudahkan perkawinan ternak yang bertubuh kecil.
Perkawinan dapat terjadi bila sel telur bertemu dengan sel sperma. Perkawinan
dapat dilakukan dengan menggunakan pejantan maupun dengan menggunakan IB.
Perkawinan pertama pada sapi dara hendaknya dilakukan setelah dewasa kelamin dan
dewasa tubuh. Hal ini bertujuan agar bobot lahir pedet tidak rendah dan sifat keibuan
sapi dara juga dapat ditingkatkan. IB atau Inseminasi Buatan merupakan pemasukan
atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-
alat buatan manusia, jadi
bukan secara alam (Toelihere, 1981). Fertilitas atau kesuburan mempengaruhi organ
reproduksi karena bila bobot badan tinggi dapat mempengaruhi organ-organ
reproduksinya sehingga fertilitas rendah. Mortalitas atau tingkat kematian pada janin
(fetus) dapat disebabkan karena induk kekurangan fosfor/kalsium sehingga induk akan
lumpuh, contohnya; kualitas pakan rendah atau kurang nutrisi dan terjangkit penyakit.
Setelah tanda-tanda birahi mulai nampak tidak boleh langsung dilakukan IB. Hal
ini disebabkan ada waktu-waktu tertentu untuk mengetahui kapan IB harus dilakukan.
Menurut Toelihere (1981), dalam praktek waktu permulaan datangnya estrus tidak
dapat ditentukan dengan pasti. Birahi tersembunyi dapat menyebabkan kegagalan dalam
perkawinan sapi. Hal ini disebabkan adanya keterlambatan dalam mendeteksi birahi
sehingga secara tidak langsung akan membuat interval kelahiran sapi menjadi lebih
panjang dan dapat menimbulkan kerugian dalam usaha pembibitan.

2.3 Perkawinan Pada Domba


Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin
sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif,
2015). Pejantan yang digunakan dalam perkawinan sebaiknya sudah berumur lebih dari
satu tahun. Kambing atau domba dengan umur 8 sampai 12 bulan atau belum poel,
organ reproduksinya masih dalam tahap pertumbuhan sehingga belum berfungsi secara
optimal (Syamyono et al., 2015). Tingkat libido pada pejantan dipengaruhi oleh umur,
pada umur 33 sampai 48 bulan pejantan memiliki respon yang cepat untuk menaiki
betina yang sedang berahi (Hastono et al., 2013).
Secara umum perkawinan pada domba tediri dari dua metode yaitu metode
alamiah dengan mengawinkan pejantan dengan betina serta perkawinan dengan metode
inseminasi buatan (IB) atau perkawinan buatan yang memerlukan bantuan manusia
menggunakan peralatan khusus. Metode parkawinan alami maupun IB memiliki
keunggulan dan kelemahan. Salah satu kelemahan pada IB yaitu biaya mahal serta
adanya kesulitan deteksi berahi dan pemisahan betina berahi untuk diinseminasi,
sedangkan pada perkawinan alami yaitu jumlah pejantan yang terbatas sehingga perlu
memindahkan-mindahkan pejantan (Toelihere, 1985). Pada perkawinan alami dapat
terjadi perkawinan kelompok dan perkawinan individu. Perkawinan kelompok dapat
terjadi dalam kandang atau padang penggembalaan, dimana dalam satu tempat terdapat
beberapa pejantan dan beberapa betina atau satu pejantan dan beberapa betina. Pejantan
dalam kandang kelompok biasanya dapat mengetahui betina yang sedang berahahi.
Pada perkawinan individu hanya terdapat seekor pejantan dan seekor betina. Biasanya
dalam perkawinan individu terdapat campur tangan peternak, dimana peternak akan
mengikat betina berahi kemudian mengeluarkan pejantan dari kandang (Kurniawan,
2010). Sistem perkawinan dimana pejantan dipelihara dengan sekelompok betina dalam
satu kandang sampai betina mengalami kebuntingan dapat disebut dengan flock mating.
Sistem perkawinan dimana pejantan diisolasi kemudian dikawinkan dengan betina yang
sedang berahi dapat disebut dengan pen mating.

2.4 Flock Mating


Calon pejantan yang dipelihara dengan betina secara terus menerus kemampuan
kawinnya tidak akan meningkat (Bailey, 2003). Domba jantan yang dikawinkan dengan
betina yang sama secara terus menerus dapat menyebabkan nafsu kawin menurun. Salah
satu tanda infertilitas yaitu nafsu kawin yang rendah atau tidak memiliki nafsu sama
sekali (Hastono, 2000). Menurunnya kadar testosteron menyebabkan libido yang rendah
serta menurunkan viabilitas spermatozoa (Elya et al., 2010). Pemakaian pejantan untuk
mengawini betina secara berlebihan dapat mengakibatkan nafsu seksual menurun
sehingga tingkat libido serta kualitas dan kuantitas semen rendah (Sembiring, 2008).
Semakin besar jumlah betina yang berahi dalam satu kelompok maka respon pejantan
untuk ejakulasi semakin tinggi. Domba jantan yang ditempatkan dalam kandang yang
berisi delapan ekor betina berahi, rata-rata terjadi dua belas kali ejakulasi per hari
(Hastono et al., 2013). Jumlah betina yang terlalu banyak dalam perkawina kelompok
maka persentase kebuntingan betina akan menurun. Penggunaan pejantan sebanyak tiga
kali dalam seminggu untuk perkawinan kelompok dapat menyebabkan tingkat libido
menurun (Limbong, 2008). Ejakulasi secara terus menerus menyebabkan libido
menurun, hal ini ditandai dengan semakin panjangnya waktu yang diperlukan untuk
penampungan ejakulat berikutnya. Setelah ejakulasi ke-7 pejantan tidak menunjukan
respon terhadap betina pemancing (Wijono dan Ma’sum, 1997).

2.5 Pen Mating


Kemampuan kawin pejantan yang dipelihara dipisah dengan betina lebih tinggi
dibandingkan dengan pejantan yang dipelihara dengan betina (Bailey, 2003). Untuk
meningkatkan produktivitas seekor betina dapat dilakukan manajemen perkawinan yang
baik, hal yang perlu dilakukan antara lain menerapkan sistem rotasi pejantan serta
mengatur perbandingan pejantan dan betina dalam kandang perkawinan. Sistem rotasi
dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan sehingga pejantan dapat
istirahat dan meningkatkan produktivitas semen (Wawo, 2014). Libido seekor pejantan
dapat diketahui melalui frekuensi ejakulasi. Setiap pejantan memiliki frekuesi ejakulasi
yang bervariasi, hal tersebut disebabkan oleh perbandingan pejantan dan betina, periode
istirahat kelamin, rangsangan seksual alami serta iklim (Tambing et al., 2003).
Frekuensi ejakulasi yang berlebihan dapat menurunkan kualitas sperma pejantan, untuk
meningkatkan fertilitas pejantan maka dapat dilakukan rotasi pejantan dari kandang
perkawinan ke kandang isolasi untuk mengistirahatkan seksual pejantan (Levis et al.,
2008). Waktu isolasi antara pejantan dengan betina untuk perkawinan yang baik yaitu
selama 17 - 34 hari (Oldham, 1980).

2.6 Semen Segar


Semen segar merupakan sekresi organ kelamin jantan yang diejakulasikan
secara langsung pada alat kelamin betina atau dapat juga ditampung yang kemudian
dibekukan guna keperluan inseminasi buatan (Permadi et al., 2013). Semen terdiri dari
spermatozoa dan plasma semen. Spermatozoa merupakan sel-sel kelamin jantan yang
diproduksi dalam tubuli seminiferi. Plasma semen merupakan campuran sekresi yang
diproduksi oleh epididimis, kelenjar vesikularis serta kelenjar prostat yang digunakan
oleh spermatozoa untuk hidup dan tetap bergerak (Salmah, 2014). Epididimis
mengandung kadar fruktosa rendah, cairan epididimis memberikan sekitar 80% dari
seluruh volume semen yang diejakulasikan, kelenjar vesikula seminalis mensekresikan
fruktosa dan asam sitrat yang menyebabkan semen bersifat asam serta kelenjar prostat
merupakan sumber antagglutin spermatozoa (Salisbury dan VanDemark, 1985).
Kuantitas dan kualitas semen sangat mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen segar yang dihasilkan oleh
seekor pejantan yaitu frekuensi ejakulasi, dimana frekuensi ejakulasi yang tinggi dapat
mempengaruhi perubahan biokimia spermatozoa sehingga dapat mempengaruhi
kemampuan fertilitas spermatozoa yang diejakulasikan pejantan (Tambing et al., 2003).
Semakin sedikit frekuensi ejakulasi maka kuantitas semen segar yang diejakulasikan
pejantan akan semakin tinggi (Wahyuningsih et al., 2013).

2.7 pH Semen
Sperma dapat tahan lama dan aktif pada pH sekitar 6 sampai 7 (Salmah, 2014).
Derajat keasaman atau, pH sangat mempengaruhi daya hidup sperma, pH semen yang
normal yaitu 6,2 - 7 serta pH berkorelasi dengan konsentrasi, bila konsentrasi tinggi
maka pH yang dihasilkan akan sedikit asam (Dethan et al., 2010). Normal atau tidaknya
pH semen ditentukan oleh keseimbangan kation dan anion dalam kelenjar asesoris (Elya
et al., 2010). Nilai pH semen cenderung terjadi penurunan ke netral sampai cenderung
asam seiring terjadinya peningkatan frekuensi ejakulasi (Tambing et al., 2003).

2.8 Warna Semen


Semen yang normal yaitu memiliki warna seperti susu atau krem keputihputihan
dan keruh, warna tersebut berasal dari riboflavin yang dibawa oleh salah satu gen
atutosom resesif (Salmah, 2014). Warna semen yang dihasilkan oleh pejantan beragam
yaitu krem, putih susu, putih dan kuning (Mahmilia et al., 2006). Warna semen akan
jernih apabila jumlah sperma yang dihasikan sedikit (Elya et al., 2010). Warna semen
pada ejakulasi sekali dan ejakulasi tiga kali dalam sehari memiliki perbedaan yaitu pada
ejakulasi sekali berwarna krem sedangkan pada ejakulasi tiga kali sehari berwarna
kuning, namun warna semen tersebut masih dalam rentang normal. Warna semen yang
normal berkisar dari krem sampai kuning (Tambing et al., 2003).

2.9 Deteksi Birahi Pada Domba


Tanda-tanda domba birahi adalah sebagai berikut:
1. Alat kelamin betina/bibir kemaluan berwarna merah. bengkak. hangat. serta
mengeluarkan lendir bening.
2. Domba akan terlihat sering gelisah dan nafsu makan menurun.
3. Domba sama seperti kambing akan sering mengembik dan terus-menerus
mengibaskan ekornya.
4. Domba terlihat sering kencing.
5. Domba akan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada dinding kandang
atau kayu.
6. Domba yang sedang menyusui akan mengalami penurunan produksi susu
atau kadang sama sekali tidak berproduksi.

Masa birahi domba akan berlangsung selama 30—40 jam atau 1—2 hari. Domba betina
akan mengovulasikan telur pada akhir masa birahi. Oleh karena itu, waktu yang tepat
untuk mengawinkan domba adalah saat hari kedua domba birahi. Agar hasil perkawinan
lebih meyakinkan, domba jantan harus dimasukkan ke kandang betina minimal tiga kali
siklus birahi atau selama tujuh minggu berturut-turut.
BAB III.
KESIMPULAN

Adapun Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Tanda-tanda birahi pada sapi adalah sapi nampak gelisah, sering mengeluarkan
suara yang spesifik, sering mengibas-ngibaskan ekornya, menaiki sesama, nafsu
makan berkurang, vulva bengkak berwarna agak kemerahan, vagina keluar
cairan putih agak pekat.
2. Tanda-tanda birahi pada Domba adalah Alat kelamin betina/bibir kemaluan
berwarna merah. bengkak. hangat. serta mengeluarkan lendir bening, Domba
akan terlihat gelisah dan nafsu makan menurun, domba terlihat sering kencing.
3. Perkawinan pada sapi dan domba dapat dilakukan secara alami maupun
kawin suntik atau inseminasi buatan (IB). Perkawinan alami merupakan
perkawinan dengan cara mempertemukan pejantan dan induk secara langsung,
sedangkan kawin suntik atau inseminasi buatan adalah cara memasukkan
sperma atau semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu ke
dalam saluran alat kelamin betina dengan metode dan alat khusus. Dari kedua
metode perkawinan tersebut metode yang disarankan untuk digunakan adalah
inseminasi buatan, karena memiliki beberapa kelebihan antara lain: menghindari
penularan penyakit dari jantan ke betina, mempermudah upaya persilangan antar
ras, mempercepat penyebaran bibit unggul.
DAFTAR PUSTAKA

Toelihere, M. R. 1995. Fisiologi Reproduksi Ternak. Cetakan ke 2. Angkasa, Bandung.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Ed. Ke-3. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Nurfitriani, I. and R. Setiawan. 2015. Karakteristik vulva dan sitologi sitologi sel mucus dari
vagina fase estrus pada domba lokal. Student e-Journal 4(3): 1–10.

Herdis. 2011. Respon estrus domba garut betina pada perlakuan laserpuntur dengan fase
reproduksi yang berbeda. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 13(11): 171–76.

Anda mungkin juga menyukai