Anda di halaman 1dari 78

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TEKNOLOGI REPRODUKSI


“Anatomi dan Fisiologi Kebuntingan”

NAMA : YUSRIL IHZA GENDA

NIM : C031181309

KELOMPOK : 10

ASISTEN : A. NURANNISA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi organ reproduksi sapi bunting..................................................3
2.2 Fisiologi hormonal sapi bunting..............................................................4
2.3 Periode kebuntingan................................................................................5
2.4 Tipe-tipe plasenta.....................................................................................6
2.5 Kelainan-kelainan pada kebuntingan.......................................................7
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Materi.......................................................................................................9
3.2 Metode....................................................................................................9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil.......................................................................................................10
4.2 Pembahasan...........................................................................................12
BAB KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan........................................................................................... 13
5.2 Saran......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14
LAMPIRAN......................................................................................................15

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi bali (Bos sondaicus) sebagai plasma nutfah ternak potong Indonesia merupakan
jenis sapi yang paling populer dipelihara oleh kalangan peternak, khususnya di provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB). Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ekstrim wilayah
tropis serta jarak melahirkan yang relatif pendek dimana periode kelahiran terjadi
sepanjang tahun diketahui sebagai pertimbangan utama yang menyebabkan ternak Sapi
Bali banyak dipelihara oleh masyarakat. Realita di lapangan menunjukkan bahwa
kemampuan Sapi Bali untuk dapat melahirkan sepanjang tahun ditandai dengan aktivitas
ovarium dan perkawinan kembali kurang dari dua bulan sesudah melahirkan, relative sulit
untuk dicapai peternak (Idfar, 2017).
Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen
reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting
atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi
manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Pemilihan metode tergantung pada spesies,
umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Pemeriksaan kebuntingan
adalah salah satu cara dengan menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan
hewan bunting atau tidak (Idfar, 2017).
Kebuntingan didefinisikan sebagai suatu periode fisiologis pasca perkawinan ternak
betina yang menghasilkan konsepsi yang diikuti proses perkembangan embrio kemudian
fetus hingga terjadinya proses partus. Kebuntingan juga dapat disebut suatu proses dimana
bakal anak sedang berkembang di dalam uterus seekor hewan betina. Kebuntingan sapi
berlangsung sejak konsepsi (fertilisasi) sampai terjadinya kelahiran anak (partus) secara
normal. Seiring bertambahnya umur kebuntingan, uterus mengalami perubahan secara
kontinyu baik dari segi ukuran, letak, maupun morfologi, sehingga dimungkinkan suatu
kaidah dalam memprediksi umur kebuntingan melalui temuan-temuan fisik organ
reproduksi (Pangestu, 2014).
Periode kebuntingan sapi dibagi atas tiga tahap, masing-masing tahap berlangsung
selama tiga bulan (trimester). Trimester pertama dijadikan acuan untuk deteksi
kebuntingan dini sedangkan trimester ke-dua dan ke-tiga dijadikan sebagai dasar untuk
deteksi kebuntingan lanjutan. Gangguan reproduksi, selain dapat diidentifikasi melalui
metode palpasi rektal dan ultrasonografi, namun juga dapat mengakibatkan hasil diagnosis
positif palsu jika tidak dilakukan dengan cermat (Pangestu, 2014).
Hewan betina mempunyai tugas memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk
mengawali kehidupan turunan yang baru dan menyediakan tempat beserta lingkungannya
untuk perkembangan individu baru, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan
memeliharanya selama awal kehidupannya. Tugas ini dilaksanakan oleh organ reproduksi
primer dan sekunder. Organ reproduksi primer yaitu ovarium. Ovarium menghasilkan ova
(sel telur) dan hormon-hormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder atau saluran
reproduksi terdiri dari oviduk, uterus, serviks, vagina, dan vulva (Idfar, 2017).
Keterampilan untuk menentukan kebuntingan secara dini sangat perlu untuk dimiliki,
dalam hal ini semakin cepat kita mengetahui ternak itu bunting atau tidak bunting maka
semakin baik. Mengingat hal ini waktu yang menjadi tolak ukur dalam manajemen
1
pemeliharaan ternak yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi para peternak, maka
salah satu aletrnatifnya melakukan deteksi kebuntingan dini, dengan diketahuinya status
kebuntingan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat mengambil tindakan
lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau menjual ternaknya apabila
tidak bunting akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan mengalami kerugian yang
besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada sapi (Idfar, 2017).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi organ reproduksi sapi bunting?
2. Bagaimana fisiologi hormonal pada sapi bunting?
3. Bagaimana periode kebuntingan sapi, ikan, dan ayam?
4. Berapa lama masa kebuntingan tiap hewan?
5. Bagaimana mekanisme fertilisasi?
6. Bagaimana tipe-tipe plasenta?
7. Bagaimana kelainan pada kebuntingan?

1.3 Tujuan Praktikum


1. Untuk mengetahui anatomi organ reproduksi sapi bunting.
2. Untuk mengetahui fisiologi hormonal pada sapi bunting.
3. Untuk mengetahui tentang periode kebuntingan sapi, ikan, dan ayam.
4. Untuk mengetahui lama masa kebuntingan tiap hewan.
5. Untuk mengetahui mekanisme fertilisasi.
6. Untuk mengetahui tentang tipe-tipe plasenta.
7. Untuk mengetahui tentang kelainan pada kebuntingan.

1.4 Manfaat Praktikum


1. raktikan dapat mengetahui tentang anatomi organ reproduksi sapi bunting.
2. Praktikan dapat mengetahui tentang fisiologi hormonal pada sapi bunting.
3. Praktikan dapat mengetahui tentang periode kebuntingan sapi, ikan, dan ayam.
4. Praktikan dapat mengetahui lama masa kebuntingan tiap hewan.
5. Praktikan dapat mengetahui mekanisme fertilisasi.
6. Praktikan dapat mengetahui tentang tipe-tipe plasenta.
7. Praktikan dapat mengetahui tentang kelainan pada kebuntingan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Reproduksi pada Sapi Bunting
2.1.1 Ovarium
Corpus luteum adalah jaringan ovarium yang paling banyak menghasilkan
progesteron. Progesteron berfungsi menyiapkan uterus untuk implantasi dan memelihara
kebuntingan dengan meningkatkan sekresi glandula endometrium dan menghambat
motilitas uterus (Supriyanto et al., 2016). Warna corpus luteum pada kehamilan agak
berbeda dari dioestrus. Ada rentang yang lebih luas dari kuning hingga oranye ke coklat
muda, dan penampilan jaringan luteal lebih kusam (Noakes et al. 2019).

Gambar 1. Ovarium (Noakes et al., 2019).


2.1.2 Uterus
Endometrium atapun pada mukosa tersusun atas glandular epithelium dan memiliki
kurang lebih 120 area yang terpesialisasi menonjol dikenal dengan nama carancula.
Carancula merupakan titik dari perlekatan plasenta pada saat bunting. Kebuntingan paling
sering terjadi pada cornua uteri dexter dengan rasio 60:40 terhadap cornua uteri sinister.
Corpus uteri memiliki panjang sekitar 5cm. Pada saat bunting, ukuran dari corpus uteri
akan meningkat. Cornua uteri menggantung pada ruang pelvis oleh ligamentum uterine
pada kedua sisi (Ball dan Peters, 2004).

Gambar 2. Uterus pada sapi (Hopper, 2015).


2.1.3 Serviks
Lumen dari saluran cervix normalnya berbelit-belit serta tertutup rapat kecuali pada
saat partus dan terbuka secara perlahan saat oestrus. Terdapat sebuah penyumbat yang
tersusun atas mucus yang kental dan berwarna kecoklatan biasanya hadir pada saluran
cervix pada luteal phase dari siklus ovarium dan juga pada saat bunting (Ball dan Peters,
2004).

Gambar 3. Serviks pada sapi (Hopper, 2015).


3
2.1.4 Vagina
Vagina adalah saluran reproduksi yang berada pada pelvis (Akers dan Michael, 2013).
Vagina memanjang ke arah anterior dari vulva ke cervix dengan perubahan ukuran yang
bervariasi pada saat kebuntingan (Ball dan Peters, 2004). Vulva atau externa genitalia
terdiri atas labia dexter et sinister, yang tergabung di garis tengah untuk membentuk
commissure. Ventral commissure dari vestibula merupakan tempat dari clitoris yang
merupakan jaringan yang sama dengan pembentuk dari glans penis pada jantan. Clitoris
berisi jaringan perangsang dan tertutupi oleh epitel skuamosa berlapis. Clitoris juga
memiliki saraf sensorik (Akers dan Michael, 2013).

Gambar 4. Vagina pada sapi (Akers dan Michael, 2013).


2.2 Fisiologi Hormonal pada Sapi Bunting
Menurut Safdar dan Nasroallah (2014), beberapa hormon yang bekerja pada saat
bunting yaitu: prostaglandin, estrogen, PGF2a, oxytocin, glucocorticoids, dan relaxin.
Prostaglandin memiliki fungsi yang penting dalam transisi menuju kelahiran. Estrogen
dibiosintesis paling banyak saat kebuntingan pada plasenta. Estrogen tidak mengakibatkan
kontraksi myometrial secara langsung, namun estrogen bekerja dengan meregulasi jarak
myometrial dan reseptor uterotonic sehingga meningkatkan kapasitas myometrium untuk
melakukan kontraksi. PGF2a bekerja dengan meningkatkan kontraksi myometrial,
menginduksi luteolysis dan pengeluaran dari relaksin. Oxytocin adalah hormon peptida
yang disintesis dalam hipotalamus dan dikeluarkan dari pituitary posterior. Oxytocin di
inaktifasi pada hari dan ginjal, namun selama kebuntingan didegradasi secara primer oleh
placental oxytocinase. Oxytocin dapat menginduksi kontraksi uterus. Glucocorticoids
memiliki beberapa aksi kerja yang dapat menyiapkan uterus untuk kelahiran.
Glucocorticoids bekerja secara langsung untuk meregulasi produksi prostaglandin dalam
membran fetus. Cortisol menstimulasi ekskresi dari CRH placental in vitro. Menurut
Young et al. (2011), maturasi dari hypothalamus fetus meregulasi waktu dari kelahiran
dikarenakan mengatur ACTH, CRH, P450c17, Prostaglandin E2 dan PGHS2.

Gambar 5. Bagan fisiologis hormonal bunting (Safdar dan Nasroallah, 2014).

4
2.3 Periode Kebuntingan
Fertilisasi biasanya terjadi ketika oosit dan spermatozoa bertemu di daerah ampula
pada oviduk. Setelah fertilisasi sukses, embrio kemudian berkembang menjadi blastokista
dan menetas dari zona pelusida di sekitarnya. Kemudian embrio tersebut mengembangkan
tropoblas fungsional dan meng eluarkan protein pensinyalan yang memungkinkan
terjadinya pemeliharaan corpus luteum. Setelah fusi pronukleus jantan dan betina, sel telur
tunggal disebut zigot. Sel telur tunggal ini juga dapat disebut sebagai embrio (didefinisikan
sebagai organisme pada tahap awal perkembangan). Embrio biasanya belum memperoleh
fitur yang memungkinkan untuk mengenali spesies tertentu. Sebaliknya, janin, keturunan
potensial yang masih ada di dalam rahim, umumnya dapat dikenali sebagai anggota spesies
(Akers dan Michael, 2013).
Segera setelah penggabungan gamet jantan dan betina, zigot memulai sebagai
serangkaian mitosis atau pembelahan. Pembelahan pertama menghasilkan embrio dua sel.
Setiap sel pada saat ini disebut blastomer. Pembelahan berikutnya menghasilkan 4, 8, dan
16 sel anak yang identik. Pada tahap awal ini, blastomer bersifat totipoten. Dengan kata
lain, masing-masing sel individu mampu memunculkan keturunan yang sepenuhnya
terbentuk. Setelah melampaui tahap 16-sel menjadi mustahil untuk secara akurat
menghitung bola yang tumbuh sehingga struktur disebut morula. Dengan pembelahan lebih
lanjut, blastokista berkembang. Selama tahap morula, sel-sel mulai terpisah menjadi dua
populasi yang berbeda, sel-sel dalam dan luar. Sel-sel pada massa sel bagian dalam
mengembangkan gap junction yang memungkinkan komunikasi terkoordinasi antar sel.
Sel-sel luar, sebaliknya, dihubungkan oleh persimpangan yang rapat. Massa sel bagian
dalam berkembang menjadi embrio sedangkan tropoblas memunculkan korion, yang
akhirnya menjadi komponen janin dari plasenta. Dengan ekspansi blastokista yang terus-
menerus melalui proliferasi dan tekanan sel dan cairan meningkat, sel-sel trofoblas mulai
mengeluarkan enzim dan area zona pelusida terdegradasi dan pecah. Blastokista keluar
atau menetas dan menjadi embrio yang bebas dalam lumen uterus (Akers dan Michael,
2013).
Setelah blastokista menetas, pembelahan sel terjadi dengan sangat cepat. Misalnya,
pada sapi pada hari ke 13 blastokista berdiameter sekitar 3 mm. Selama beberapa hari
berikutnya blastokista bertambah panjang menjadi 250 mm dan muncul sebagai string atau
utas. Pada hari ke-18 kehamilan, blastokista menempati area kedua cornua uteri. Sebagian
besar pertumbuhan ini melibatkan penampakan membran ekstraembrionik yang penting
bagi embrio untuk melekat pada rahim bendungan untuk perkembangan selanjutnya.
Tropoblas luar yang dikombinasikan dengan endoderm yang baru dikembangkan
menimbulkan korion dan amnion. Kantung kuning telur berkembang dari endoderm (Akers
dan Michael, 2013)
Implantasi adalah perlekatan blastokista yang mengapung bebas ke epitel uterus dan
pertumbuhan atau penetrasi epitel yang sesuai dengan jaringan embrionik. Setelah
fertilisasi, implantasi terjadi pada sapi sekitar 35 hari, babi betina sekitar 11 hari, dan kuda
betina sekitar 55 hari. Plasentasi mengacu pada perkembangan membran ekstraembrionik
atau plasenta. Plasenta dan lapisan-lapisannya memungkinkan pertukaran antara sirkulasi
ibu dan janin sehingga nutrisi dapat disuplai dan limbah dibuang. Chorion adalah membran
paling luar dan oleh karena itu bersentuhan dengan dinding rahim ibu. Lapisan berikutnya
menuju janin adalah allantois, yang membentuk lapisan kontinu yang menciptakan kantung

5
berisi cairan, rongga alantoik, di sekitar janin. Amnion adalah membran terdekat dengan
janin. Ini juga membentuk rongga yang diisi cairan dalam kontak langsung dengan janin.
Amnionnya menyatu ke lapisan dalam allantois. Ketika proses kelahiran terjadi, kantung
allantoic dikeluarkan, diikuti oleh kantung ketuban. Proses kelahiran terjadi dalam tiga
fase: (1) inisiasi kontraksi uterus, (2) pengeluaran janin, dan (3) pengeluaran membran
janin (Akers dan Michael, 2013).
2.4 Masa Kebuntingan pada Beberapa Hewan
Masa kebuntingan disebut gestasi atau masa gestasi. Gestasi adalah waktu dari
pembuahan sel telur hingga persalinan fetus baru lahir. Gestasi biasa dibagi menjadi tiga
segmen, yang disebut trimester. Tiap trimester berbeda dan memiliki karakteristik sendiri
(Colville dan Joanna, 2016). Tiap spesies hewan memiliki masa kebuntingan yang
berbeda-beda, berikut beberapa masa kebuntingan hewan menurut Colville dan Joanna
(2016):

Table 1. Masa kebuntingan beberapa hewan (Colville dan Joanna, 2016).

Perkiraan Periode
Spesies Hewan Rentang
Gestasi

Alpaca 335-345 hari 11 bulan

Unta 360-420 hari 13 bulan

Kucing 56-69 hari 2 bulan

Sapi 271-291 hari 9 bulan

Anjing 59-68 hari 2 bulan

Gajah 615-650 hari 21 bulan

Musang 42 hari 6 minggu

Kambing 146-155 hari 5 bulan

Hamster 19-20 hari 3 minggu

Kuda 321-346 hari 11 bulan

Llamas 330-360 hari 11.5 bulan

Babi 110-116 hari 3 bulan, 3 minggu, 3 hari

Landak 205-217 hari 7 bulan

Kelinci 30-32 hari 1 bulan

Domba 143-151 hari 5 bulan

2.5 Mekanisme Fertilisasi


6
Fertilisasi adalah urutan peristiwa molekuler terkoordinasi yang melibatkan
penggabungan sperma dengan sel telur, fusi dari pronuklei dan pembauran kromosom
induk jantan dan betina (Georgadaki et al., 2016). Peran spermatozoa adalah membuahi sel
telur. Mereka pertama-tama harus mengalami perubahan fisiologis yang disebut kapasitasi
dan perubahan morfologis berikutnya yang dikenal sebagai reaksi akrosom (Okabe, 2014).
Fertilisasi terjadi di tuba fallopi, selama proses kawin spermatozoa disimpan di dalam
vagina atau uterus melalui servix uteri. Meskipun spermatozoa yang diejakulasi bersifat
motil, faktor utama pengangkutan spermatozoa ke tempat pembuahan adalah aktivitas otot
alat kelamin tubular setelah inseminasi. Spermatozoa harus tetap berada di saluran
reproduksi betina untuk beberapa waktu setelah ejakulasi sebelum mereka dapat
membuahi. Proses yang terjadi mengubah spermatozoa nonfertil menjadi spermatozoa
fertil disebut kapasitasi. Kapasitasi meliputi perubahan atau penghilangan komponen
akrosom terluar dan membran plasma sehingga enzim akrosom nantinya dapat dilepaskan
dan diaktifkan (Frandson et al., 2009).
Saat ovulasi, zona pelusida yaitu suatu struktur membran yang relatif tebal yang terdiri
dari glikoprotein ikatan silang, mengelilingi membran vitelline dari sel telur. Zona pelusida
adalah membran semipermeabel yang membantu melindungi sel telur dan memiliki tempat
reseptor untuk menempelkan spermatozoa selama fertilisasi. Selama atau setelah
pengikatan ke zona pellucida, spermatozoa mengalami serangkaian peristiwa disebut reaksi
akrosom. Setelah penetrasi zona, membran sel spermatozoa tunggal yang akan melakukan
pembuahan menempel dan bergabung dengan membran vitelline dari sel telur (Frandson et
al., 2009).
Selama perkembangan awal, embrio tidak menempel pada epitel yang melapisi saluran
reproduksi wanita. Selama periode ini, embrio memperoleh makanan dari cairan dan
nutrisi yang disekresikan oleh kelenjar di dinding organ reproduksi (Frandson et al., 2009).
2.6 Tipe-tipe plasenta
a. Plasenta Difusa
Tipe plasenta diffuse adalah plasenta dengan vili yang didistribusikan secara teratur
oleh chorion. Contoh hewan dengan tipe plasenta ini adalah babi dan kuda (Bertasoli et al.,
2015).

Gambar 6. Tipe plasenta difusa (Furukawa et al., 2014).


b. Plasenta Kotiledonaria
Jenis plasenta ini ditandai oleh banyak daerah plasenta mirip titik dari endometrium
yang dikenal sebagai caruncles (dari 100 hingga 120 caruncle pada domba dan 4 caruncle
pada rusa). Area intervensi chorion halus dan relatif avaskular. Jenis plasenta ini
ditemukan pada ruminansia (Furukawa et al., 2014).

7
Gambar 7. Tipe plasenta kotiledonaria (Furukawa et al., 2014).
c. Plasenta Zonaria
Jenis plasenta ini menunjukkan zona kontak interdigitasi intim yang membentuk sabuk
di sekitar kantung korionik. Jenis plasenta ini ditemukan di karnivora (Furukawa et al.,
2014).

Gambar 8. Tipe plasenta zonaria (Furukawa et al., 2014).

d. Plasenta Discoidalis
Jenis plasenta ini dikarakteristikkan oleh disk tunggal (discoid) atau disk ganda
(bidiscoid), dan interaksi terbatas pada area yang kira-kira melingkar. Jenis plasenta ini
ditemukan pada primata, tikus dan kelinci (Furukawa et al., 2014).

Gambar 9. Tipe plasenta discoidalis (Furukawa et al., 2014).


2.7 Kelainan pada kebuntingan
a. Freemartin pada sapi
Freemartin merupakan kelainan yang terjadi pada fetus jantan betina dimana 92-95%
anakan betina akan infertil sedangkan jantan akan fertile. Fetus betina ftreemartin
mengalami maskulinisasi pada saluran reproduksi internal sebagai akibat dari pertukaran
hormon antar fetus dimana fetus betina tercemari hormon fetus jantan melalui pembuluh
darah dalam plasenta pada periode diferensiasi seksual. Perkembangan organ seksual fetus
betina mengalami gangguan abnormal menyerupai jantan (Praharani, 2019). Freemartinism
terjadi pada betina yang lahir dari bunting kembar atau multi-pregnancy yang membawa
fetus dengan kelamin bebrbeda. Pada kebanyakan sapi heteroseksual kembar betina, terjadi
gangguan perkembangan dari sistem reproduksi dan infertilitas (KozubskaSobocinska et
al., 2019).

8
Gambar 10. Freemartin pada sapi (Noakes et al., 2009).

b. Brucellosis
Brucella merupakan bakteri gram negative coccobacilli yang kecil, tidak motil, tidak
berspora, tidak toksigenik, tidak fermentasi, fakultatif dan intraselular. Brucella adalah
penyakit menular pada hewan dan berciri dengan aborsi pada betina dan orchitis dan
infeksi dari kelenjar aksesoris pada jantan. Hewan yang terserang biasanya membentuk
respon inflamasi granulomatous, dimana sering terletak pada jaringan limfoid dan organ
dengan komponen reticuloendothelial. Invasi pada uterus ditandai dengan ciri necrotic
placentitis. Inflamasi dari plasenta berkemungkinan akut dan tersebar meluas, dan
mengakibatkan kematian dini dari fetus yang diikuti aborsi. Setelah fagositosi brucella
sampai pada limfonodus sebagai parasite dan masuk ke darah dan menghasilkan
bacteraemia diikuti dengan fase akut febril dari penyakit. Dari darah, brucella akan
didistribusi ke seluruh sitem reticuloendothelial dan menjadi ada dengan jumlah yang besar
pada hati dan limfa dan lokalisasi pada daerah lain seperti persendian, jantung, ginjal dan
saluran genital (Manish et al., 2013). Menurut Handayani et al. (2018), brucella abortus
penyebaran penyakit brucella dapat melalui ekskresi bakteri dari kotoran uterus dan susu.

Gambar 11. Brucella (Handayani, 2013)


c. Myotic abortion
Myotic abortion adalah penyakit yang mengakibatkan aborsi yang disebabkan oleh
jamur (Aspergillosis, candidiasis dan zygomycosis) seringkali bersifat sporatif. Penyakit
ini dapat terjadi akibat pangan yang memiliki mold atau sudah berjamur tidak sengaja
termakan oleh sapi. Menyebar secara hematogenous, sehingga fetus terinfeksi. Aspergillus
dapat ditemukan pada fetus, dan pada beberapa kasus dapat ditemukan lesi berbentuk
lingkaran seperti ringworm pada kulit fetus. Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan gejala
yang terlihat seperti lesi pada kulit. Penanganan kasus ini dapat dilakukan dengan
memperhatikan pakan yang diberikan pada hewan untuk mencegah masuknya pakan yang
mengandung aspergillus untuk termakan (Blowey dan David, 2011).
9
Gambar 12. Myotic abortion (Blowey dan David, 2011).

10
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Gunting tajam tajam Lurus (1 buah)
b. Nampan (8 buah)
c. Pinset anatomis (1 buah)
d. Scalpel (1 buah)
3.1.2 Bahan
a. Blade (1 buah)
b. Fetus (1 buah)
c. Handscoen (1 buah)
d. Masker (1 buah)
e. Organ reproduksi sapi jantan (1 buah)
f. Organ Reproduksi sapi betina (1 buah)
g. Plasenta (1 buah)
3.2 Metode
a. Siapkan nampan dan organ yang ingin digunakan dalam praktikum
b. Kemudian letakkan organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus, dan
plasenta diatas masing-masing nampan
c. Mengamati organ reproduksi sapi betina organ reproduksi betina, organ reproduksi
jantan, fetus, dan plasenta
d. Mengidentifikasi anatomi organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus,
dan plasenta
e. Mengidentifikasi fisiologi organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus,
dan plasenta
f. Memahami mekanisme hormon kebuntingan
g. Memahami tipe tipe plasenta

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Organ Reproduksi Sapi Betina Tidak Bunting

Gambar 12. Organ Reproduksi Sapi Betina Tidak Bunting


4.1.2 Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting

Gambar 13. Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting


4.1.3 Organ Plasenta Sapi

Gambar 14. Organ Plasenta Sapi

12
4.1.4 Periode Kebuntingan

Gambar 15. Periode Kebuntingan dan Fetus


4.1.5 Mekanisme Hormonal
a. Mekanisme Hormonal Pada Sapi Betina

Gambar 16. Mekanisme Hormonal pada Sapi Betina


b. Mekanisme Hormonal Pasca Partus

Gambar 17. Mekanisme Hormonal Pasca Partus


4.1.6 Organ Reproduksi Sapi Jantan

Gambar 18. Organ Reproduksi Sapi Jantan

13
4.2 Pembahasan
4.2.1 Organ Reproduksi Sapi Betina
Organ reproduksi sapi betina terdiri atas ovarium, tuba fallopi, uterus, cervix, vagina
dan vulva. Hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa ovarium yang memiliki dua fungsi
utama yaitu memproduksi gamet dan menghasilkan hormon, oviduk atau tuba fallopi
sebagai saluran, uterus merupakan organ reproduksi sapi betina yang berfungsi sebagai
tempat sel telur yang telah dibuahi tumbuh dan berkembang menjadi hewan baru, cervix
berfungsi untuk mengontrol akses ke lumen rahim dari vagina dan untuk mencegah
masuknya organisme atau mikroorganisme asing, vagina adalah saluran yang menerima
penis saat kawin dan bertindak sebagai jalan lahir saat melahirkan dan vulva sebagai alat
kelamin luar (Colville dan Bassert, 2016).
4.2.2 Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting
Organ reproduksi sapi betina ketika bunting akan mengalami beberapa perubahan
diantaranya dari ovarium, uterus, cervix, vagina dan vulva. Menurut Colville dan Bassert
(2016) perubahan – perubahan yang terjadi antara lain pada ovarium yang mana akan
mempertahankan corpus luteum agar tidak terjadi siklus birahi, uterus akan semakin
membesar sesuai dengan perkembangan fetus, cervix akan menghasilkan mucus untuk
kesiapan partus dan terakhir vagina dan vulva akan mengalami odematus dan vaskularisasi
meningkat.
4.2.3 Organ Plasenta Pada Sapi
Organ plasenta pada sapi yakni kotiledonaria. Hal ini sudah sesuai dengan teori
bahwa tipe kotiledonaria memiliki vili korion berkelompok (kotiledon), kotiledon akan
berlekatan dengan karunkula endometrium (placenton) dengan contoh hewan ruminansia
(Pratiwi dan Aulia, 2019).

14
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1. Perubahan yang dapat diamati pada organ reproduksi sapi betina ketika sedang
bunting adalah dapat ditemukan corpus luteum pada ovarium, endometrium
menebal, terjadi produksi uterine milk, salah satu cornua uteri akan membesar,
jumlah kotiledon pada uterus meningkat, cervix uteri akan menutup, dan mukosa
vagina terlihat pucat.
2. Beberapa hormon yang bekerja pada saat bunting yaitu: prostaglandin, estrogen,
PGF2a, oxytocin, glucocorticoids, dan relaxin.
3. Periode kebuntingan sapi dibagi atas tiga tahap, masing-masing tahap berlangsung
selama tiga bulan (trimester). Trimester pertama dijadikan acuan untuk deteksi
kebuntingan dini sedangkan trimester ke-dua dan ke-tiga dijadikan sebagai dasar
untuk deteksi kebuntingan lanjutan.
4. Tipe-tipe plasenta adalah diffuse, cotiledonary, zonary, dan discoid / bidiscoid.
5. Kelainan yang dapat terjadi saat kebuntingan adalah freemartin, brucellosis, dan
myotic abortion.
5.2 Saran
Sebaiknya asisten tidak terlalu cepat saat menjelaskan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Akers R.M dan D.M Denbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animal. Wiley
Blackwell: India.
Ball, P. J. H. dan A. R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle: Third Edition. Blackwell
Publishing: UK.
Bertasoli, B. M., A. C. D. Santos, R. S. D. Paula, A. S. Barbosa, G. A. B. D. Silva dan E.
C. Jorge. 2015. Swine placenta and placentation. Brazilian Journal of Biological
Sciences. 2(4): 199-207.
Blowey, Roger W dan David Weaver. 2011. Color Atlas of Diseases and Disorder of
Cattle: Third Edition. Elsevier: China.
Frandson, Rowen D., W. Lee Wilke, dan Anna Dee Fails. 2009. Anatomy and Physyiology
of Farm Animals Seventh Edition. Wiley Blackwell: USA.
Furukawa, S., Y. Kuroda dan A. Sugiyama. 2014. A Comparison of the Histological
Structure of the Placenta in Experimental Animals. J Toxicol Pathol. 27(1): 11-18.
Handayani, Tri. 2013. Pengembangan Kandidat Vaksin Iradiasi Brucella abortus Isolat
Lapang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Handayani, Tri., Susan Maphilindawati Noor dan Fachriyan Hasmi Pasaribu. 2018. Isolasi
brucella abortus dari cairan hygroma dan susu. Arshi. 2(3): 55-56
Hopper, Richard M. 2015. Bovine Reproduction. Wiley Blackwell : India
Idfar. 2017. Diagnosa Kebuntingan Dini Dalam Mendukung Tingkat Keberhasilan
Inseminasi Buatan Sapi Bali di Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu.
Kozubska-Sobocinska, A., G. Smolucha dan B. Danielak-Czech. 2019. Early Diagnostic of
Freemartinism in Polish Holstein-Friesian Female Calves. Animals. 9(971): 1-11.
Manish, K., C. Puran., C. Rajesh., R. Teena dan K. Sunil. 2013. Brucellosis: An updated
Review of the disease. Indian journal of animal sciences. 83(1): 3-16.
Noakes, D. E., T. J. Parkinson dan G. C. W. England. 2009. Veterinary Reproduction and
Obstetrics: Sixth Edition. Elsevier: China

Okabe, Masaru. 2014. Mechanism of Fertilization: A Modern View. Exp. Anim. 63(4),
357–365.
Pangestu, Dimas Panji. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi
Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Prahani, L. 2019. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kelahiran Kembar dan
Dampak Kelahiran Kembar pada Ternak Sapi. Wartazoa. 29(1): 13-24.
Pratiwi, H., dan Aulia, F. (2019). Embriologi Hewan. Malang:UB Press.

16
Safdar, Amir Hossein Asgari dan Nasroallah Moradi Kor. 2014. Parturition mechanisms in
ruminants: a complete overview. European Journal of Experimental Biology. 4(3):
211-218.
Supriyanto, P. dan N. Ahadiati. 2016. Ultrasonografi Perkembangan Folikel Ovaria
Selama Siklus Estrus dan kebuntingan Awal pada Sapi Peranakan Ongole (PO)
[Artikel Ilmiah]. Sekolah Tinggi Penyuluhan Magelang: Magelang.
Young, R., Renfree M. B., Mesiano S., Shaw G., Jenkin G., dan Smith, R. 2011. The
Comparative Physiology of Parturition in Mammals: Hormones and Parturition in
Mammals. Hormones and Reproduction of Vertebrates. 5(2): 95-116

17
LAMPIRAN

18
19
20
21
22
23
24
25
26
V

27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
|

48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76

Anda mungkin juga menyukai