NIM : C031181309
KELOMPOK : 10
ASISTEN : A. NURANNISA
DAFTAR ISI........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi organ reproduksi sapi bunting..................................................3
2.2 Fisiologi hormonal sapi bunting..............................................................4
2.3 Periode kebuntingan................................................................................5
2.4 Tipe-tipe plasenta.....................................................................................6
2.5 Kelainan-kelainan pada kebuntingan.......................................................7
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Materi.......................................................................................................9
3.2 Metode....................................................................................................9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil.......................................................................................................10
4.2 Pembahasan...........................................................................................12
BAB KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan........................................................................................... 13
5.2 Saran......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14
LAMPIRAN......................................................................................................15
i
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Reproduksi pada Sapi Bunting
2.1.1 Ovarium
Corpus luteum adalah jaringan ovarium yang paling banyak menghasilkan
progesteron. Progesteron berfungsi menyiapkan uterus untuk implantasi dan memelihara
kebuntingan dengan meningkatkan sekresi glandula endometrium dan menghambat
motilitas uterus (Supriyanto et al., 2016). Warna corpus luteum pada kehamilan agak
berbeda dari dioestrus. Ada rentang yang lebih luas dari kuning hingga oranye ke coklat
muda, dan penampilan jaringan luteal lebih kusam (Noakes et al. 2019).
4
2.3 Periode Kebuntingan
Fertilisasi biasanya terjadi ketika oosit dan spermatozoa bertemu di daerah ampula
pada oviduk. Setelah fertilisasi sukses, embrio kemudian berkembang menjadi blastokista
dan menetas dari zona pelusida di sekitarnya. Kemudian embrio tersebut mengembangkan
tropoblas fungsional dan meng eluarkan protein pensinyalan yang memungkinkan
terjadinya pemeliharaan corpus luteum. Setelah fusi pronukleus jantan dan betina, sel telur
tunggal disebut zigot. Sel telur tunggal ini juga dapat disebut sebagai embrio (didefinisikan
sebagai organisme pada tahap awal perkembangan). Embrio biasanya belum memperoleh
fitur yang memungkinkan untuk mengenali spesies tertentu. Sebaliknya, janin, keturunan
potensial yang masih ada di dalam rahim, umumnya dapat dikenali sebagai anggota spesies
(Akers dan Michael, 2013).
Segera setelah penggabungan gamet jantan dan betina, zigot memulai sebagai
serangkaian mitosis atau pembelahan. Pembelahan pertama menghasilkan embrio dua sel.
Setiap sel pada saat ini disebut blastomer. Pembelahan berikutnya menghasilkan 4, 8, dan
16 sel anak yang identik. Pada tahap awal ini, blastomer bersifat totipoten. Dengan kata
lain, masing-masing sel individu mampu memunculkan keturunan yang sepenuhnya
terbentuk. Setelah melampaui tahap 16-sel menjadi mustahil untuk secara akurat
menghitung bola yang tumbuh sehingga struktur disebut morula. Dengan pembelahan lebih
lanjut, blastokista berkembang. Selama tahap morula, sel-sel mulai terpisah menjadi dua
populasi yang berbeda, sel-sel dalam dan luar. Sel-sel pada massa sel bagian dalam
mengembangkan gap junction yang memungkinkan komunikasi terkoordinasi antar sel.
Sel-sel luar, sebaliknya, dihubungkan oleh persimpangan yang rapat. Massa sel bagian
dalam berkembang menjadi embrio sedangkan tropoblas memunculkan korion, yang
akhirnya menjadi komponen janin dari plasenta. Dengan ekspansi blastokista yang terus-
menerus melalui proliferasi dan tekanan sel dan cairan meningkat, sel-sel trofoblas mulai
mengeluarkan enzim dan area zona pelusida terdegradasi dan pecah. Blastokista keluar
atau menetas dan menjadi embrio yang bebas dalam lumen uterus (Akers dan Michael,
2013).
Setelah blastokista menetas, pembelahan sel terjadi dengan sangat cepat. Misalnya,
pada sapi pada hari ke 13 blastokista berdiameter sekitar 3 mm. Selama beberapa hari
berikutnya blastokista bertambah panjang menjadi 250 mm dan muncul sebagai string atau
utas. Pada hari ke-18 kehamilan, blastokista menempati area kedua cornua uteri. Sebagian
besar pertumbuhan ini melibatkan penampakan membran ekstraembrionik yang penting
bagi embrio untuk melekat pada rahim bendungan untuk perkembangan selanjutnya.
Tropoblas luar yang dikombinasikan dengan endoderm yang baru dikembangkan
menimbulkan korion dan amnion. Kantung kuning telur berkembang dari endoderm (Akers
dan Michael, 2013)
Implantasi adalah perlekatan blastokista yang mengapung bebas ke epitel uterus dan
pertumbuhan atau penetrasi epitel yang sesuai dengan jaringan embrionik. Setelah
fertilisasi, implantasi terjadi pada sapi sekitar 35 hari, babi betina sekitar 11 hari, dan kuda
betina sekitar 55 hari. Plasentasi mengacu pada perkembangan membran ekstraembrionik
atau plasenta. Plasenta dan lapisan-lapisannya memungkinkan pertukaran antara sirkulasi
ibu dan janin sehingga nutrisi dapat disuplai dan limbah dibuang. Chorion adalah membran
paling luar dan oleh karena itu bersentuhan dengan dinding rahim ibu. Lapisan berikutnya
menuju janin adalah allantois, yang membentuk lapisan kontinu yang menciptakan kantung
5
berisi cairan, rongga alantoik, di sekitar janin. Amnion adalah membran terdekat dengan
janin. Ini juga membentuk rongga yang diisi cairan dalam kontak langsung dengan janin.
Amnionnya menyatu ke lapisan dalam allantois. Ketika proses kelahiran terjadi, kantung
allantoic dikeluarkan, diikuti oleh kantung ketuban. Proses kelahiran terjadi dalam tiga
fase: (1) inisiasi kontraksi uterus, (2) pengeluaran janin, dan (3) pengeluaran membran
janin (Akers dan Michael, 2013).
2.4 Masa Kebuntingan pada Beberapa Hewan
Masa kebuntingan disebut gestasi atau masa gestasi. Gestasi adalah waktu dari
pembuahan sel telur hingga persalinan fetus baru lahir. Gestasi biasa dibagi menjadi tiga
segmen, yang disebut trimester. Tiap trimester berbeda dan memiliki karakteristik sendiri
(Colville dan Joanna, 2016). Tiap spesies hewan memiliki masa kebuntingan yang
berbeda-beda, berikut beberapa masa kebuntingan hewan menurut Colville dan Joanna
(2016):
Perkiraan Periode
Spesies Hewan Rentang
Gestasi
7
Gambar 7. Tipe plasenta kotiledonaria (Furukawa et al., 2014).
c. Plasenta Zonaria
Jenis plasenta ini menunjukkan zona kontak interdigitasi intim yang membentuk sabuk
di sekitar kantung korionik. Jenis plasenta ini ditemukan di karnivora (Furukawa et al.,
2014).
d. Plasenta Discoidalis
Jenis plasenta ini dikarakteristikkan oleh disk tunggal (discoid) atau disk ganda
(bidiscoid), dan interaksi terbatas pada area yang kira-kira melingkar. Jenis plasenta ini
ditemukan pada primata, tikus dan kelinci (Furukawa et al., 2014).
8
Gambar 10. Freemartin pada sapi (Noakes et al., 2009).
b. Brucellosis
Brucella merupakan bakteri gram negative coccobacilli yang kecil, tidak motil, tidak
berspora, tidak toksigenik, tidak fermentasi, fakultatif dan intraselular. Brucella adalah
penyakit menular pada hewan dan berciri dengan aborsi pada betina dan orchitis dan
infeksi dari kelenjar aksesoris pada jantan. Hewan yang terserang biasanya membentuk
respon inflamasi granulomatous, dimana sering terletak pada jaringan limfoid dan organ
dengan komponen reticuloendothelial. Invasi pada uterus ditandai dengan ciri necrotic
placentitis. Inflamasi dari plasenta berkemungkinan akut dan tersebar meluas, dan
mengakibatkan kematian dini dari fetus yang diikuti aborsi. Setelah fagositosi brucella
sampai pada limfonodus sebagai parasite dan masuk ke darah dan menghasilkan
bacteraemia diikuti dengan fase akut febril dari penyakit. Dari darah, brucella akan
didistribusi ke seluruh sitem reticuloendothelial dan menjadi ada dengan jumlah yang besar
pada hati dan limfa dan lokalisasi pada daerah lain seperti persendian, jantung, ginjal dan
saluran genital (Manish et al., 2013). Menurut Handayani et al. (2018), brucella abortus
penyebaran penyakit brucella dapat melalui ekskresi bakteri dari kotoran uterus dan susu.
10
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Gunting tajam tajam Lurus (1 buah)
b. Nampan (8 buah)
c. Pinset anatomis (1 buah)
d. Scalpel (1 buah)
3.1.2 Bahan
a. Blade (1 buah)
b. Fetus (1 buah)
c. Handscoen (1 buah)
d. Masker (1 buah)
e. Organ reproduksi sapi jantan (1 buah)
f. Organ Reproduksi sapi betina (1 buah)
g. Plasenta (1 buah)
3.2 Metode
a. Siapkan nampan dan organ yang ingin digunakan dalam praktikum
b. Kemudian letakkan organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus, dan
plasenta diatas masing-masing nampan
c. Mengamati organ reproduksi sapi betina organ reproduksi betina, organ reproduksi
jantan, fetus, dan plasenta
d. Mengidentifikasi anatomi organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus,
dan plasenta
e. Mengidentifikasi fisiologi organ reproduksi betina, organ reproduksi jantan, fetus,
dan plasenta
f. Memahami mekanisme hormon kebuntingan
g. Memahami tipe tipe plasenta
11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Organ Reproduksi Sapi Betina Tidak Bunting
12
4.1.4 Periode Kebuntingan
13
4.2 Pembahasan
4.2.1 Organ Reproduksi Sapi Betina
Organ reproduksi sapi betina terdiri atas ovarium, tuba fallopi, uterus, cervix, vagina
dan vulva. Hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa ovarium yang memiliki dua fungsi
utama yaitu memproduksi gamet dan menghasilkan hormon, oviduk atau tuba fallopi
sebagai saluran, uterus merupakan organ reproduksi sapi betina yang berfungsi sebagai
tempat sel telur yang telah dibuahi tumbuh dan berkembang menjadi hewan baru, cervix
berfungsi untuk mengontrol akses ke lumen rahim dari vagina dan untuk mencegah
masuknya organisme atau mikroorganisme asing, vagina adalah saluran yang menerima
penis saat kawin dan bertindak sebagai jalan lahir saat melahirkan dan vulva sebagai alat
kelamin luar (Colville dan Bassert, 2016).
4.2.2 Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting
Organ reproduksi sapi betina ketika bunting akan mengalami beberapa perubahan
diantaranya dari ovarium, uterus, cervix, vagina dan vulva. Menurut Colville dan Bassert
(2016) perubahan – perubahan yang terjadi antara lain pada ovarium yang mana akan
mempertahankan corpus luteum agar tidak terjadi siklus birahi, uterus akan semakin
membesar sesuai dengan perkembangan fetus, cervix akan menghasilkan mucus untuk
kesiapan partus dan terakhir vagina dan vulva akan mengalami odematus dan vaskularisasi
meningkat.
4.2.3 Organ Plasenta Pada Sapi
Organ plasenta pada sapi yakni kotiledonaria. Hal ini sudah sesuai dengan teori
bahwa tipe kotiledonaria memiliki vili korion berkelompok (kotiledon), kotiledon akan
berlekatan dengan karunkula endometrium (placenton) dengan contoh hewan ruminansia
(Pratiwi dan Aulia, 2019).
14
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1. Perubahan yang dapat diamati pada organ reproduksi sapi betina ketika sedang
bunting adalah dapat ditemukan corpus luteum pada ovarium, endometrium
menebal, terjadi produksi uterine milk, salah satu cornua uteri akan membesar,
jumlah kotiledon pada uterus meningkat, cervix uteri akan menutup, dan mukosa
vagina terlihat pucat.
2. Beberapa hormon yang bekerja pada saat bunting yaitu: prostaglandin, estrogen,
PGF2a, oxytocin, glucocorticoids, dan relaxin.
3. Periode kebuntingan sapi dibagi atas tiga tahap, masing-masing tahap berlangsung
selama tiga bulan (trimester). Trimester pertama dijadikan acuan untuk deteksi
kebuntingan dini sedangkan trimester ke-dua dan ke-tiga dijadikan sebagai dasar
untuk deteksi kebuntingan lanjutan.
4. Tipe-tipe plasenta adalah diffuse, cotiledonary, zonary, dan discoid / bidiscoid.
5. Kelainan yang dapat terjadi saat kebuntingan adalah freemartin, brucellosis, dan
myotic abortion.
5.2 Saran
Sebaiknya asisten tidak terlalu cepat saat menjelaskan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Akers R.M dan D.M Denbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animal. Wiley
Blackwell: India.
Ball, P. J. H. dan A. R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle: Third Edition. Blackwell
Publishing: UK.
Bertasoli, B. M., A. C. D. Santos, R. S. D. Paula, A. S. Barbosa, G. A. B. D. Silva dan E.
C. Jorge. 2015. Swine placenta and placentation. Brazilian Journal of Biological
Sciences. 2(4): 199-207.
Blowey, Roger W dan David Weaver. 2011. Color Atlas of Diseases and Disorder of
Cattle: Third Edition. Elsevier: China.
Frandson, Rowen D., W. Lee Wilke, dan Anna Dee Fails. 2009. Anatomy and Physyiology
of Farm Animals Seventh Edition. Wiley Blackwell: USA.
Furukawa, S., Y. Kuroda dan A. Sugiyama. 2014. A Comparison of the Histological
Structure of the Placenta in Experimental Animals. J Toxicol Pathol. 27(1): 11-18.
Handayani, Tri. 2013. Pengembangan Kandidat Vaksin Iradiasi Brucella abortus Isolat
Lapang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Handayani, Tri., Susan Maphilindawati Noor dan Fachriyan Hasmi Pasaribu. 2018. Isolasi
brucella abortus dari cairan hygroma dan susu. Arshi. 2(3): 55-56
Hopper, Richard M. 2015. Bovine Reproduction. Wiley Blackwell : India
Idfar. 2017. Diagnosa Kebuntingan Dini Dalam Mendukung Tingkat Keberhasilan
Inseminasi Buatan Sapi Bali di Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu.
Kozubska-Sobocinska, A., G. Smolucha dan B. Danielak-Czech. 2019. Early Diagnostic of
Freemartinism in Polish Holstein-Friesian Female Calves. Animals. 9(971): 1-11.
Manish, K., C. Puran., C. Rajesh., R. Teena dan K. Sunil. 2013. Brucellosis: An updated
Review of the disease. Indian journal of animal sciences. 83(1): 3-16.
Noakes, D. E., T. J. Parkinson dan G. C. W. England. 2009. Veterinary Reproduction and
Obstetrics: Sixth Edition. Elsevier: China
Okabe, Masaru. 2014. Mechanism of Fertilization: A Modern View. Exp. Anim. 63(4),
357–365.
Pangestu, Dimas Panji. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi
Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Prahani, L. 2019. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kelahiran Kembar dan
Dampak Kelahiran Kembar pada Ternak Sapi. Wartazoa. 29(1): 13-24.
Pratiwi, H., dan Aulia, F. (2019). Embriologi Hewan. Malang:UB Press.
16
Safdar, Amir Hossein Asgari dan Nasroallah Moradi Kor. 2014. Parturition mechanisms in
ruminants: a complete overview. European Journal of Experimental Biology. 4(3):
211-218.
Supriyanto, P. dan N. Ahadiati. 2016. Ultrasonografi Perkembangan Folikel Ovaria
Selama Siklus Estrus dan kebuntingan Awal pada Sapi Peranakan Ongole (PO)
[Artikel Ilmiah]. Sekolah Tinggi Penyuluhan Magelang: Magelang.
Young, R., Renfree M. B., Mesiano S., Shaw G., Jenkin G., dan Smith, R. 2011. The
Comparative Physiology of Parturition in Mammals: Hormones and Parturition in
Mammals. Hormones and Reproduction of Vertebrates. 5(2): 95-116
17
LAMPIRAN
18
19
20
21
22
23
24
25
26
V
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
|
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76