NIM : C031181001
KELOMPOK :1
DAFTAR ISI........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi organ reproduksi sapi bunting..................................................3
2.2 Fisiologi hormonal sapi bunting..............................................................4
2.3 Periode kebuntingan................................................................................7
2.4 Tipe-tipe plasenta.....................................................................................9
2.5 Kelainan-kelainan pada kebuntingan.....................................................10
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Materi.....................................................................................................12
3.2 Metode..................................................................................................12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil.......................................................................................................13
4.2 Pembahasan...........................................................................................15
BAB KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan........................................................................................... 16
5.2 Saran......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................17
LAMPIRAN......................................................................................................18
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia sejak tahun 2005, telah mencanangkan swasembada daging
sapi, yaitu impor tidak lebih 10% dari total konsumsi nasional. Sampai saat ini,
swasembada daging sapi masih belum tercapai dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi. Alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi melalui
impor, namun harga impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi lokal
menjadi pesaing berat bagi para peternak sebagai produsen utama daging sapi lokal. Lebih
dari 90% pasokan daging sapi lokal berasal dari peternakan rakyat dengan skala usaha
kecil, sehingga efisiensi produksi rendah atau biaya per unit produksi menjadi tinggi.
Apabila besaran impor tidak terkendalikan, akan mengakibatkan harga daging sapi lokal di
pasar tertekan dengan harga impor yang murah sehingga peternak merugi. Jika hal tersebut
terjadi dalam jangka panjang dan dengan keterbatasan modal, menjadikan peternak tidak
bergairah untuk melakukan usaha sapi potong (Widianti, 2014).
Sapi Bali adalah jenis sapi lokal yang dimiliki Indonesia. Sapi Bali (Bos sondaicus)
sebagai plasma nutfah ternak potong Indonesia merupakan jenis sapi yang paling populer
dipelihara oleh kalangan peternak. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ekstrim
wilayah tropis serta jarak melahirkan yang relatif pendek dimana periode kelahiran terjadi
sepanjang tahun diketahui sebagai pertimbangan utama yang menyebabkan ternak Sapi
Bali banyak dipelihara oleh masyarakat. Realita di lapangan menunjukkan bahwa
kemampuan sapi Bali untuk dapat melahirkan sepanjang tahun yang ditandai dengan
aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari dua bulan sesudah melahirkan
relatif sulit untuk dicapai peternak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan
reproduksi serta minimnya informasi mengenai status kebuntingan (Pangestu, 2014).
Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen
reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting
atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi
manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Pemilihan metode tergantung pada spesies,
umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Pemeriksaan kebuntingan
adalah salah satu cara dengan menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan
hewan bunting atau tidak. Palpasi rektal adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat
dilakukan dengan tepat pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Dalam hal ini yang
ingin dilakukan adalah palpasi rektal pada umur kebuntingan dini karena metode ini adalah
salah satu dari beberapa metode yang sering dilakukan dan tanpa memakan biaya dan
tenaga yang cukup lama, tetapi yang sering dilakukan adalah palpassi pada umur
kebuntingan tua. Keterampilan untuk menentukan kebuntingan secara dini sangat perlu
untuk dimiliki, dalam hal ini semakin cepat kita mengetahui ternak itu bunting atau tidak
bunting maka semakin baik. Mengingat hal ini waktu yang menjadi tolak ukur dalam
manajemen pemeliharaan ternak yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi para
peternak, maka salah satu aletrnatifnya melakukan deteksi kebuntingan dini, dengan
diketahuinya status kebuntingan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat
mengambil tindakan lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau
menjual ternaknya apabila tidak bunting akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan
1
mengalami kerugian yang besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada sapi
yang di Inseminasi (Idfar, 2017).
Maka dari itu pentingnya untuk mengetahui kondisi anatomi dan fisiologi pada sapi
yang mengalami kebuntingan serta gangguan reproduksi yang umumnya dialami oleh sapi
bunting. Hasil dari laporan ini diharapkan mampu menjadi pedoman umum dalam
penanganan gangguan reproduksi pada masa kebuntingan dalam rangka perbaikan mutu
reproduksi sapi sekaligus menjadi rujukan pembelajaran yang memadai bagi mahasiswa
lebih lanjut terkait kebuntingan dan gangguan reproduksi pada ternak sapi.
.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan laporan ini, yaitu:
1. Bagaimana anatomi organ reproduksi pada sapi bunting?
2. Bagaimana fisiologi hormonal pada sapi bunting?
3. Bagaimana periode kebuntingan pada beberapa hewan?
4. Berapa lama masa kebuntingan pada beberapa hewan?
5. Bagaimana mekanisme fertilisasi?
6. Apa saja tipe-tipe plasenta?
7. Apa saja kelainan kebuntingan?
1.3 Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui anatomi dari organ reproduksi sapi betina bunting dari dalam
keluar dan fungsi setiap organ serta perubahan apa yang terjadi saat keadaan
bunting
2. Untuk mengetahui mekanisme fisiologi hormonal sapi bunting
3. Untuk mengetahui periode kebuntingan sapi, ayam dan ikan
4. Untuk mengetahui berapa lama, masa kebuntingan pada beberapa hewan
5. Untuk mengetahui mekanisme fertilisasi
6. Untuk mengetahui tipe - tipe plasenta
7. Untuk mengetahui 4 kelainan kebuntingan
1.4 Manfaat Praktikum
1. Praktikan diharapkan memahami tentang anatomi dari organ reproduksi sapi betina
bunting dari dalam keluar dan fungsi setiap organ serta perubahan apa yang terjadi
saat keadaan bunting
2. Praktikan diharapkan memahami tentang mekanisme fisiologi hormonal sapi
bunting
3. Praktikan diharapkan memahami tentang periode kebuntingan
4. Praktikan diharapkan memahami tentang berapa lama, masa kebuntingan pada
beberapa hewan
5. Praktikan diharapkan memahami tentang mekanisme fertilisasi
6. Praktikan diharapkan memahami tentang tipe - tipe plasenta
7. Praktikan diharapkan memahami tentang 4 kelainan kebuntingan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Reproduksi pada Sapi Bunting
2.1.1 Ovarium
Perubahan-perubahan yang terjadi pada ovarium selama masa kebuntingan yaitu
folicel de graaf yang telah kosong (setelah terjadi ovulasi) akan membentuk suatu kawah
dan diisi oleh darah yang cepat membeku dan disebut corpus hemorrhagikum, korpus
hemorrhagikum akan terbentuk sel-sel baru yang berwarna kuning yang disebut sel luteum,
sel-sel luteum makin lama makin banyak dan akhirnya mengisi penuh ruangan tersebut dan
diberi nama corpus luteum. Selama kehamilan corpus luteum tetap ada dan berfungsi terus
selama masa kehamilan dan apabila tidak terjadi kebuntingan maka corpus luteum akan
dinonaktifkan oleh prostalgandin dan mengalami degenerasi dan berubah menjadi jaringan
ikat yang berwarna putih mengkilat yang disebut corpus albican (Dpsmk, 2013). Warna
corpus luteum pada kehamilan agak berbeda dari dioestrus. Ada rentang yang lebih luas
dari kuning hingga oranye ke coklat muda, dan penampilan jaringan luteal lebih kusam.
Gambar 1. Sampai 2 menunjukkan contoh ovarium sapi (ukuran alami) yang diperoleh dari
saluran genital gravid (Noakes et al. 2019).
(a) (b)
Gambar 1. Ovarium (a) 35 hari kebuntingan, (b) 190 hari kebuntingan (Noakes et al.
2019).
2.1.2 Uterus
Perubahan-perubahan yang terjadi pada uterus selama masa kebuntingan yaitu terjadi
vaskularisasi pada endometrium, terbentuknya lebih banyak kelenjar endo metrium,
myometrium menjadi tenang yaitu tidak mengalami kontraksi lagi, setelah terjadi implan
tasi, penyaluran makanan dari induk ke anak lebih lancar. Ada hubungan yang lebih erat
dari trophoblast dengan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium dan terjadi
pertukaran zat makanan dari induk ke anak dan zat buangan dari anak ke induk. Hal ini
terjadi sejak terjadinya implantasi yang juga disertai oleh terbentuknya anyaman pembuluh
darah. Pada saat kebuntingan juga terjadi pembesaran volume uterus. Dimana pada saat
permulaan kebuntingan sebagian besar di sebabkan oleh pertambahan cairan amnion dan
allantois, tetapi pada pertengahan kebuntingan maka pertambahan volume cairan menjadi
hampir sama dengan per tambahan volume uterus dan pada akhir kebuntingan maka
sebagian besar merupakan volume vetus (Dpsmk, 2013).
Gambar 2. Saluran genital gravid pada minggu ke 19 kebuntingan (Noakes et al. 2019).
3
2.1.3 Serviks
Perubahan yang terjadi pada serviks selama kebuntinga yaitu setelah terjadi fertilisasi
maka kripta- kripta serviks akan menghasilkan lendir yang kental dimana semakin tua
kehamilannya maka semakin kental lendir yang dihasilkan. Fungsi lendir ini adalah untuk
menyumbat lumen servix (Dpsmk, 2013).
(a) (b)
Gambar 4. (a) vulva, (b) vagina pada sapi (Hopper, 2015).
2.2 Fisiologi Hormonal pada Sapi Bunting
2.2.1 Plasenta Steroidogenesis
Sehubungan dengan pengaturan fungsi reproduksi, steroid seks (progesteron,
androgen, estrogen) dianggap sebagai kelas hormon yang menonjol. Namun, mereka juga
terlibat dalam regulasi berbagai proses di luar sistem reproduksi, yang juga bisa penting
bagi ibu atau janin yang tumbuh selama kehamilan. Steroidogenesis plasenta terutama
berfokus pada produksi progesteron dan estrogen dan, pada tingkat lebih rendah, androgen.
Namun, ada kemungkinan bahwa steroid bioaktif selain dari estrogen klasik, androgen dan
progestogen dapat diproduksi dalam steroidogenik placentae dan dapat memberikan fungsi
penting selama kehamilan (Schule et al., 2018).
2.2.2 Progesteron
Progesteron umumnya dianggap sangat diperlukan untuk kebuntingan pada mamalia,
karena terlibat dalam kontrol berbagai fungsi penting yang berhubungan dengan
kebuntingan termasuk diferensiasi endometrium, ketenangan miometrium, penutupan
4
serviks dan imunoterapi lokal pada bagian uterus bunting. Awalnya, corpus luteum adalah
sumber progesteron pada semua mamalia. Pada beberapa spesies, corpus luteum tetap
menjadi satu-satunya sumber progesteron yang relevan selama kebuntingan dengan
kontribusi plasenta minimal (misalnya kambing, babi), sedangkan pada spesies lain
plasenta mengadopsi peran ini setelah masa gestasi spesifik spesies (luteo). Berkenaan
dengan relevansi progesteron luteal vs plasenta, sapi memiliki posisi perantara. Sepanjang
kebuntingan, plasenta sapi berkontribusi hanya sebagian kecil ke tingkat progesteron
induk yang sebagian besar berasal dari luteal. Namun, progesteron plasenta secara umum
dapat mempertahankan kebuntingan ketika suplai progesteron luteal dieliminasi antara hari
180 hingga hari 240 dengan menggunakan prostaglandin luteolitik atau pengangkatan
ovarium melalui pembedahan. Setelah periode ini, sapi yang dirawat dapat segera
membatalkan, menunjukkan panjang kehamilan yang lebih pendek atau dapat melanjutkan
kehamilan sampai masa normal. Peran progesteron plasenta dalam spesies dengan sintesis
progesteron luteal yang dominan sepanjang masa kebuntingan masih belum jelas tetapi
mungkin penting untuk menghasilkan konsentrasi lokal yang tinggi pada antarmuka induk,
yang mungkin diperlukan untuk beberapa efek progesteron yang bergantung pada
konsentrasi. Jika tidak, progesteron plasenta hanya bisa menjadi produk antara atau
samping yang timbul dari sintesis steroid lain, terutama estrogen. Umumnya, progesteron
dianggap sebagai hormon induk universal kebuntingan. Tergantung pada spesiesnya,
progesteron juga dapat berfungsi sebagai faktor pengaturan lokal dalam plasenta itu sendiri
seperti yang disarankan oleh deteksi reseptor progesteron pada manusia dan ruminansia
(Schule et al., 2018).
2.2.3 Estrogen dan Estradiol
Pada banyak spesies mamalia, terutama pada primata dan ruminansia (ungulata),
plasenta menghasilkan sejumlah besar estrogen. Berbeda dari folikel steroid dengan
estradiol-17β yang secara umum menjadi satu-satunya estrogen yang relevan yang
diidentifikasi sejauh ini, selama kebuntigan sering estrogen lain secara kuantitatif
mendominasi dalam darah induk. Dalam banyak spesies ungulata estron adalah estrogen
utama dan bentuk tersulfonasi sering melebihi konsentrasi rekan bebasnya dalam darah ibu
(mis. Domba dan sapi). Selain itu, selama kehamilan manusia (estriol) dan kuda (equilin,
equilenin), pembentukan estrogen plasenta spesifik spesies diamati. Pada manusia,
ruminansia dan unta konsentrasi estrogen induk meningkat dengan mantap selama
kebuntingan, sedangkan kuda dan keledai menunjukkan puncak yang jelas di sekitar
midgestation. Plasenta sapi mampu memproduksi estrogen secara mandiri dari kolesterol.
Telah dikemukakan bahwa selama kehamilan sapi, estrogen plasenta memiliki banyak
fungsi seperti diferensiasi trofoblas, autoregulasi steroidogenesis plasenta, pengaturan
sistem kardiovaskular induk, aliran darah utero-plasenta, neovaskularisasi plasenta, dan
perkembangan kelenjar susu. Namun, penurunan dramatis kadar estrogen induk dalam
kasus defisiensi steroid sulfatase plasenta secara umum hanya menghasilkan penurunan
ringan pada kematangan janin dan proses partus, sedangkan perkembangan janin dan
produksi progesteron plasenta tampak normal (Schule et al., 2018).
2.2.4 Chorionic Gonadotrophins
Hormon gonadotropin luteinizing (LH) hipofisis dan hormon perangsang folikel
(FSH) memainkan peran yang luar biasa dalam regulasi hormon fungsi gonad. Bersama-
sama dengan hormon perangsang tiroid (TSH), mereka termasuk dalam keluarga hormon
5
glikoprotein dan terdiri dari subunit α-subunit dan hormon-spesifik β spesifik. Tergantung
pada spesiesnya, glikoprotein yang berhubungan dengan LH juga diekspresikan dalam
trofoblas. Human CG terdiri dari α-subunit umum dari keluarga hormon glikoprotein dan
subunit βCG spesifik, yang sangat mirip dengan subunit βLH manusia tetapi dihasilkan
dari salah satu dari beberapa gen βCG yang terpisah. Seperti disebutkan di atas, selama
kebuntingan awal hCG dari blastokista adalah sinyal penting untuk pengenalan induk
bunting karena merangsang fungsi luteal melalui pengikatan pada reseptor LH luteal
sampai plasenta mengambil alih peran sebagai sumber progesteron yang relevan. Terlebih
lagi, keterlibatan hCG dalam fungsi-fungsi lain selama kebuntingan telah diidentifikasi
seperti angiogenesis endometrium, ketenangan miometrium, imunotoleransi intrauterin ibu
dan kontrol pembentukan syncytiotrofoblas. Subunit β dari equine CG (eCG) adalah
produk dari gen βLH. Namun, molekul eCG berbeda secara signifikan dari LH kuda dalam
hal ia sangat glikosilasi. Berbeda dengan hCG, ekspresi eCG dimulai dengan jelas setelah
pengakuan kehamilan ibu (hari 35-36). Dalam plasenta equine epiteleliorial, ekspresi eCG
terbatas pada subpopulasi trofoblas khusus yang menyerang endometrium ibu untuk
membentuk struktur diskrit yang disebut cangkir endometrium. Dengan aktivitas LH yang
kuat dan tahan lama pada kuda, eCG menginduksi transformasi folikel besar, yang
berkembang selama awal kehamilan di bawah pengaruh FSH hipofisis, menjadi aksesori
korpora lutea (Schule et al., 2018).
2.2.5 Prostaglandin (pgf2a)
Sekitar masa nifas, di seluruh spesies mamalia, prostaglandin dianggap sebagai
faktor penting yang terlibat dalam stimulasi relaksasi serviks dan aktivitas miometrium,
dan peningkatan besar kadar prostaglandin ibu bersamaan dengan onset persalinan jelas
merupakan sifat umum pada mamalia. Enzim kunci sintesis prostaglandin yang dapat
diinduksi, PTGS2, telah ditunjukkan untuk diekspresikan dalam trofoblas dari beberapa
spesies mamalia, di mana ia secara substansial diatur sebelum dipulangkan (mis. Anjing;
kucing; sapi, domba, domba). Namun, kontribusi pasti dari prostaglandin plasenta vs
prostaglandin dari sumber lain seperti endometrium dan miometrium ibu terhadap
peningkatan masif prostaglandin ibu sebelum dan intrapartal saat ini tidak jelas dan
mungkin berbeda di antara spesies. Dalam janin janin selama akhir kehamilan PGE2 yang
diproduksi di trofoblas telah disarankan untuk mempercepat pematangan sistem
hipotalamus-hipofisis sebagai respons terhadap peningkatan kadar kortisol sebagai
mekanisme umpan balik positif (Schule et al., 2018).
2.2.6 Relaxin
Pada spesies mamalia, keluarga gen RLN/INSL umumnya terdiri dari relaxin 1
(RLN1), relaxin 3 (RLN3) dan gen yang mengkode peptida seperti insulin (INSL) 3-6.
Anggota keluarga RLN / INSL adalah hormon polipeptida pleiotropik yang terlibat dalam
regulasi berbagai proses fisiologis. Namun, RLN1 (RLNH2 manusia), INSL3, INSL4 dan
INSL6 jelas terkait dengan fungsi reproduksi pada jantan dan betina , sedangkan RLN3
dan INSL5 secara dominan terkait dengan sistem neuroendokrin dan usus. Bergantung
pada konteksnya, RLN dapat bertindak sebagai hormon sistemik atau sebagai faktor
pengaturan setempat. Pada banyak spesies mamalia, peningkatan spesifik kehamilan
konsentrasi RLN induk diamati. Secara umum, mengenai jumlah korpus luteum dan / atau
plasenta adalah sumber yang paling penting. Namun, kontribusi relatif mereka terhadap
kadar darah induk mungkin berbeda secara signifikan antara spesies. Banyak fungsi
6
relaaxin selama kebuntingan seperti desidualisasi, imunomodulasi, ketenangan
miometrium, adaptasi peredaran darah induk hamil, stimulasi angiogenesis, pertumbuhan
rahim dan vagina, perkembangan kelenjar susu dan / atau puting susu. Pada periode
prepartal, RLN telah dikaitkan dengan relaksasi ligamentum pubis dan persiapan kanal
partus induk untuk proses nifas. Relaxin mungkin memiliki peran dalam kontrol perfusi
plasenta dan dengan demikian dapat mempengaruhi pertumbuhan feto-plasenta (Schule et
al., 2018).
9
Gambar 9. Tipe plasenta discoidalis (Lestari dan Ismudiono, 2014).
2.5 Kelainan pada kebuntingan
a. Freemartin pada sapi
Freemartin adalah betina fenotipik, yang lahir bersama dari seekor jantan, dimana
mengakibatkan mandul karena terhambatnya perkembangan saluran reproduksi. Istilah
freemartin dikatakan berasal dari Inggris, di mana ia merujuk pada sapi yang tidak hamil
setelah musim. Freemartinisme muncul sebagai akibat dari anastomosis antara sirkulasi
plasenta janin kembar lawan jenis sebelum diferensiasi gonad. Indung telur freemartin
kurang berkembang dan mengandung tubulus seminiferus. Kelainan organ genital tubular
bervariasi dalam tingkat keparahan, dan strukturnya berkisar dari pita-pita seperti kawat
hingga tanduk uterus yang hampir normal. Pada kebanyakan freemartin tidak ada serviks;
oleh karena itu tidak ada komunikasi antara rahim dan vagina. Seringkali, kelenjar
vesikular seminalis dengan ukuran yang bervariasi hadir. Hingga 92% betina fenotipik
yang lahir bersama kembar jantan adalah freemartins. Singleton freemartin dimungkinkan
jika kembar jantan dan betina dikandung dan jantan hilang setelah 30 hari kehamilan.
Palpasi per rektum freemartin usia subur menunjukkan aplasia atau hipoplasia organ
genital tubular dan ovarium hipoplastik. Jika hewan terlalu kecil untuk palpasi per rektum
maka, pemeriksaan vagina dengan spekulum gelas kecil (atau tabung reaksi) untuk
mengetahui bahwa vagina freemartin pendek (6 sampai 7 cm pada freemartin versus
hampir dua kali lipat panjang pada sapi betina normal) (Smith, 2014).
10
c. Maserasi janin
Maserasi janin adalah disintegrasi janin yang telah mati setelah pembentukan tulang
janin (setelah beberapa bulan kehamilan pada sapi) dan gagal batal, meskipun serviks
terbuka. presentasi abnormal dari janin yang cukup kering yang menyebabkan untuk
disimpan di dalam rahim. Bakteri invasi janin menyebabkan emfisema dan maserasi janin
(3 hingga 4 hari). Ada banyak formasi (24-48 jam) nanah dan tulang-tulang janin terpisah
dari hewan mengeluarkan banyak bau busuk, abu-abu kemerahan debit vulva dan strain
sering . Demam dan anoreksia dapat terjadi karena infeksi. Jarang, mungkin didiagnosis
selama pemeriksaan kehamilan. Kondisi ini juga dapat didiagnosis berdasarkan riwayat,
Temuan sepotong tulang bersarang di leher rahim,pada saat palpasi dubur (tulang janin
teraba dalam krepitasi nanah dan dinding rahim tebal pekat) radiografi (terutama pada
hewan kecil) dan ultrasonografi. Hewan itu harus diperiksa per vaginum dan setiap
potongan tulang yang berada di vagina atau leher rahim harus dihilangkan secara manual
jika serviks membesar. Ketika serviks tidak terbuka prostaglandin atau estrogen dapat
diberikan untuk regresi sebagian menurunkan CL dan / atau meningkatkan uterus
kontraksi. Cukup pelumasan dan pengangkatan tulang secara lembut diperlukan.
Laparohisterotomi untuk mengangkat maserasi janin berpotensi berbahaya dan harus
dianggap sebagai pilihan terakhir. Pada hewan multipara histerektomi dapat disarankan
(Kumar et al., 2013).
11
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
1. Blade
2. Fetus
3. Organ plasenta sapi
4. Organ reproduksi sapi betina bunting
5. Organ reproduksi sapi betina tidak bunting
3.2 Metode
1. Mengamati organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting serta organ
plasenta
2. Mengindetifikasi anatomi organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting
serta organ plasenta
3. Mengidentifikasi fisiologi organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting
serta organ plasenta
4. Mengidentifikasi hormon sapi bunting dan sebelum bunting
5. Mengidentifikasi masa periode kebuntingan pada sapi
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Organ reproduksi ayam betina
Gambar 13. Organ reproduksi ayam betina (Akers dan Denbow, 2013).
Keterangan Gambar:
1. Infundibulum
2. Magnum
3. Isthmus
4. Uterus
5. Ovarium
15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat beberapa perubahan anatomi pada sapi bunting, seperti bertahannya
corpus luteum pada ovarium, serta adanya pembesaran pada cornua uteri, vagina
dan vulva
2. Beberapa hormon yang berperan dalam fisiologis kebuntingan sapi yaitu
prostaglandin, progesteron, estrogen, oksitosin, glokokortikoid dan relaksin
3. Periode kebuntingan terdiri atas periode ovum, periode embrio dan periode fetus.
4. Tipe-tipe plasenta yaitu tipe difusa, kotiledonari zonari dan diskoid
5. Kelainan yang dapat terjadi selama kebuntingan yaitu maserasi fetus, aborsi fetus
dan mumifikasi fetus.
5.2 Saran
Sebaiknya asisten memberikan penjelasan yang tidak terlalu cepat pada saat praktikum
karena praktikan biasanya memiliki kendala jaringan sehingga tidak mendengar dan
mengerti penjelasan dari asisten. Selain itu, sebaiknya bahan praktikum yang ditampilkan
dibagi ke praktikan sebagai bahan pembelajaran bari praktikan yang mengalami gangguuan
jaringan ataupun tidak.
16
DAFTAR PUSTAKA
Akers R.M dan D.M Denbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animal. Wiley
Blackwell: India.
Ansci. 2017. Ansci reproduction lab. Diakses pada 5 mei 2020.
http://www.ansci.wisc.edu/jjp1/ansci_repro/lab/lab5/preg.html/2017 .
Bekele, N., Addis, M., Abdela, N., & Ahmed, W. M. (2016). Pregnancy diagnosis in cattle
for fertility management: a review. Global Veterinaria, 16(4): 355-364.
Carter A. M Dan Enders A. C. 2016. Placentation in mammals: Definitive placenta, yolk
sac, and paraplacenta. Theriogenology. 86(1): 278-287.
Colville, Thomas dan Joanna M. Bassert. 2016. Clinical Anatomy and Physiology for
Veterinary Technicians. Elsevier: Canada.
David E. Noakes, Timothy J. Parkinson, Gary C. W. England. 2019. Veterinary
Reproduction and Obstetrics. Elsevier : China.
Dpsmk. 2013. Reproduksi Hewan. BSE. Mahoni.
Esteves, Alexandra., Renee Bage dan Rita Payan Carreira. 2012. Freemartinism in cattle.
Nova Science Publishers. 2(1): 100-120.
Favaron, Phelipe O., Joao C Morini Jr, Andrea M Mess, Maria A Miglino dan Carlos E
Ambrosio. 2014. Placentation and fetal membrane development in the South
American coati, Nasua nasua (Mammalia, Carnivora, Procyonidae). Reproductive
Biology and Endocrinology. 12 (57): 1-7.
Hopper, Richard M. 2015. Bovine Reproduction. Wiley Blackwell : India
Idfar. 2017. Diagnosa Kebuntingan Dini Dalam Mendukung Tingkat Keberhasilan
Inseminasi Buatan Sapi Bali di Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu.
[Skripsi]. UIN Alauddin Makassar Press: Makassar.
Kumar, Alok., Atul Saxena dan Mukul Anand. 2018. Fetal Mummification in Cattle:
Current Appoach on it’s Management- a Review. International Journal of Science,
Environment and Technology. 7( 3): 1079 – 1083.
Kumar, Pramod .,GN Purohit dan JS Mehta. 2013. Surgical Management of a Macerated
Bovine Fetus. Ruminant Science. 2 (1): 107-108.
Kumar,P. Ravi Kumar.,B Chandra Prasad., GSC Bose., V Devi Prasad dan M Sreenu.
2017. Diagnosis and Management of Fetal Mummification in Cow. International
Journal of Science, Environment and Technology. 6(5): 3044 – 3048.
Lestari, Tita Damayanti dan Ismudiono. 2014. Reproduksi Ternak. Airlangga press:
Bandung.
Marlina, siti. 2018. Anatomi Dan Biometri Sistem Reproduksi Ikan Air Tawar Famili
Cyprinidae Di Telaga Ngebel Ponorogo. Prosiding Seminar Nasional.
Mayor, P., M. Bowler dan C. Lopez-Plana. 2012. Anatomicohistological Charecteristic of
the Tubular Genital Organs of the Female Woolly Monkey (Lagothrix poeppigii).
American Journal of Primatology. 74(1): 1006-1016.
Pangestu, Dimas Panji. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi
Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Pratiwi, Herlina, Aulia Firmawati dan Herawati. 2019. Embriologi Hewan. UB Press:
Malang.
Schuler, Gerhard., Rainer Fürbass dan Karl Klisch. 2018. Placental contribution to the
endocrinology of gestation and parturition. Anim. Reprod. 15(1): 822-842.
Smith, Bradford P. 2015. Large Animal Internal Medicine 5nd. Elseiver : USA
Tamilselvan, S., S. Sivagnanam, K. Iniya, S. Jayachitra, K. Balasundaram dan C. Lavanya.
2015. Gross Morphology of Placenta in Mare. Int J Curr Microbiol App Sci. 4(4):
197-200.
Widiati, R. (2014). Membangun industri peternakan sapi potong rakyat dalam mendukung
kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4): 191-200.
17
LAMPIRAN
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80