Anda di halaman 1dari 82

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TEKNOLOGI REPRODUKSI


“Anatomi dan Fisiologi Kebuntingan”

NAMA : LILIS JUNIARTI

NIM : C031181001

KELOMPOK :1

ASISTEN : GALUH JULY PERWIRIANI

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi organ reproduksi sapi bunting..................................................3
2.2 Fisiologi hormonal sapi bunting..............................................................4
2.3 Periode kebuntingan................................................................................7
2.4 Tipe-tipe plasenta.....................................................................................9
2.5 Kelainan-kelainan pada kebuntingan.....................................................10
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Materi.....................................................................................................12
3.2 Metode..................................................................................................12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil.......................................................................................................13
4.2 Pembahasan...........................................................................................15
BAB KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan........................................................................................... 16
5.2 Saran......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................17
LAMPIRAN......................................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia sejak tahun 2005, telah mencanangkan swasembada daging
sapi, yaitu impor tidak lebih 10% dari total konsumsi nasional. Sampai saat ini,
swasembada daging sapi masih belum tercapai dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi. Alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi melalui
impor, namun harga impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi lokal
menjadi pesaing berat bagi para peternak sebagai produsen utama daging sapi lokal. Lebih
dari 90% pasokan daging sapi lokal berasal dari peternakan rakyat dengan skala usaha
kecil, sehingga efisiensi produksi rendah atau biaya per unit produksi menjadi tinggi.
Apabila besaran impor tidak terkendalikan, akan mengakibatkan harga daging sapi lokal di
pasar tertekan dengan harga impor yang murah sehingga peternak merugi. Jika hal tersebut
terjadi dalam jangka panjang dan dengan keterbatasan modal, menjadikan peternak tidak
bergairah untuk melakukan usaha sapi potong (Widianti, 2014).
Sapi Bali adalah jenis sapi lokal yang dimiliki Indonesia. Sapi Bali (Bos sondaicus)
sebagai plasma nutfah ternak potong Indonesia merupakan jenis sapi yang paling populer
dipelihara oleh kalangan peternak. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ekstrim
wilayah tropis serta jarak melahirkan yang relatif pendek dimana periode kelahiran terjadi
sepanjang tahun diketahui sebagai pertimbangan utama yang menyebabkan ternak Sapi
Bali banyak dipelihara oleh masyarakat. Realita di lapangan menunjukkan bahwa
kemampuan sapi Bali untuk dapat melahirkan sepanjang tahun yang ditandai dengan
aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari dua bulan sesudah melahirkan
relatif sulit untuk dicapai peternak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan
reproduksi serta minimnya informasi mengenai status kebuntingan (Pangestu, 2014).
Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen
reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting
atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi
manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Pemilihan metode tergantung pada spesies,
umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Pemeriksaan kebuntingan
adalah salah satu cara dengan menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan
hewan bunting atau tidak. Palpasi rektal adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat
dilakukan dengan tepat pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Dalam hal ini yang
ingin dilakukan adalah palpasi rektal pada umur kebuntingan dini karena metode ini adalah
salah satu dari beberapa metode yang sering dilakukan dan tanpa memakan biaya dan
tenaga yang cukup lama, tetapi yang sering dilakukan adalah palpassi pada umur
kebuntingan tua. Keterampilan untuk menentukan kebuntingan secara dini sangat perlu
untuk dimiliki, dalam hal ini semakin cepat kita mengetahui ternak itu bunting atau tidak
bunting maka semakin baik. Mengingat hal ini waktu yang menjadi tolak ukur dalam
manajemen pemeliharaan ternak yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi para
peternak, maka salah satu aletrnatifnya melakukan deteksi kebuntingan dini, dengan
diketahuinya status kebuntingan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat
mengambil tindakan lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau
menjual ternaknya apabila tidak bunting akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan

1
mengalami kerugian yang besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada sapi
yang di Inseminasi (Idfar, 2017).
Maka dari itu pentingnya untuk mengetahui kondisi anatomi dan fisiologi pada sapi
yang mengalami kebuntingan serta gangguan reproduksi yang umumnya dialami oleh sapi
bunting. Hasil dari laporan ini diharapkan mampu menjadi pedoman umum dalam
penanganan gangguan reproduksi pada masa kebuntingan dalam rangka perbaikan mutu
reproduksi sapi sekaligus menjadi rujukan pembelajaran yang memadai bagi mahasiswa
lebih lanjut terkait kebuntingan dan gangguan reproduksi pada ternak sapi.
.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan laporan ini, yaitu:
1. Bagaimana anatomi organ reproduksi pada sapi bunting?
2. Bagaimana fisiologi hormonal pada sapi bunting?
3. Bagaimana periode kebuntingan pada beberapa hewan?
4. Berapa lama masa kebuntingan pada beberapa hewan?
5. Bagaimana mekanisme fertilisasi?
6. Apa saja tipe-tipe plasenta?
7. Apa saja kelainan kebuntingan?
1.3 Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui anatomi dari organ reproduksi sapi betina bunting dari dalam
keluar dan fungsi setiap organ serta perubahan apa yang terjadi saat keadaan
bunting
2. Untuk mengetahui mekanisme fisiologi hormonal sapi bunting
3. Untuk mengetahui periode kebuntingan sapi, ayam dan ikan
4. Untuk mengetahui berapa lama, masa kebuntingan pada beberapa hewan
5. Untuk mengetahui mekanisme fertilisasi
6. Untuk mengetahui tipe - tipe plasenta
7. Untuk mengetahui 4 kelainan kebuntingan
1.4 Manfaat Praktikum

1. Praktikan diharapkan memahami tentang anatomi dari organ reproduksi sapi betina
bunting dari dalam keluar dan fungsi setiap organ serta perubahan apa yang terjadi
saat keadaan bunting
2. Praktikan diharapkan memahami tentang mekanisme fisiologi hormonal sapi
bunting
3. Praktikan diharapkan memahami tentang periode kebuntingan
4. Praktikan diharapkan memahami tentang berapa lama, masa kebuntingan pada
beberapa hewan
5. Praktikan diharapkan memahami tentang mekanisme fertilisasi
6. Praktikan diharapkan memahami tentang tipe - tipe plasenta
7. Praktikan diharapkan memahami tentang 4 kelainan kebuntingan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Reproduksi pada Sapi Bunting
2.1.1 Ovarium
Perubahan-perubahan yang terjadi pada ovarium selama masa kebuntingan yaitu
folicel de graaf yang telah kosong (setelah terjadi ovulasi) akan membentuk suatu kawah
dan diisi oleh darah yang cepat membeku dan disebut corpus hemorrhagikum, korpus
hemorrhagikum akan terbentuk sel-sel baru yang berwarna kuning yang disebut sel luteum,
sel-sel luteum makin lama makin banyak dan akhirnya mengisi penuh ruangan tersebut dan
diberi nama corpus luteum. Selama kehamilan corpus luteum tetap ada dan berfungsi terus
selama masa kehamilan dan apabila tidak terjadi kebuntingan maka corpus luteum akan
dinonaktifkan oleh prostalgandin dan mengalami degenerasi dan berubah menjadi jaringan
ikat yang berwarna putih mengkilat yang disebut corpus albican (Dpsmk, 2013). Warna
corpus luteum pada kehamilan agak berbeda dari dioestrus. Ada rentang yang lebih luas
dari kuning hingga oranye ke coklat muda, dan penampilan jaringan luteal lebih kusam.
Gambar 1. Sampai 2 menunjukkan contoh ovarium sapi (ukuran alami) yang diperoleh dari
saluran genital gravid (Noakes et al. 2019).

(a) (b)
Gambar 1. Ovarium (a) 35 hari kebuntingan, (b) 190 hari kebuntingan (Noakes et al.
2019).
2.1.2 Uterus
Perubahan-perubahan yang terjadi pada uterus selama masa kebuntingan yaitu terjadi
vaskularisasi pada endometrium, terbentuknya lebih banyak kelenjar endo metrium,
myometrium menjadi tenang yaitu tidak mengalami kontraksi lagi, setelah terjadi implan
tasi, penyaluran makanan dari induk ke anak lebih lancar. Ada hubungan yang lebih erat
dari trophoblast dengan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium dan terjadi
pertukaran zat makanan dari induk ke anak dan zat buangan dari anak ke induk. Hal ini
terjadi sejak terjadinya implantasi yang juga disertai oleh terbentuknya anyaman pembuluh
darah. Pada saat kebuntingan juga terjadi pembesaran volume uterus. Dimana pada saat
permulaan kebuntingan sebagian besar di sebabkan oleh pertambahan cairan amnion dan
allantois, tetapi pada pertengahan kebuntingan maka pertambahan volume cairan menjadi
hampir sama dengan per tambahan volume uterus dan pada akhir kebuntingan maka
sebagian besar merupakan volume vetus (Dpsmk, 2013).

Gambar 2. Saluran genital gravid pada minggu ke 19 kebuntingan (Noakes et al. 2019).
3
2.1.3 Serviks
Perubahan yang terjadi pada serviks selama kebuntinga yaitu setelah terjadi fertilisasi
maka kripta- kripta serviks akan menghasilkan lendir yang kental dimana semakin tua
kehamilannya maka semakin kental lendir yang dihasilkan. Fungsi lendir ini adalah untuk
menyumbat lumen servix (Dpsmk, 2013).

Gambar 3. Serviks pada sapi (Hopper, 2015).


2.1.4 Vulva dan Vagina
Menurut Dpsmk (2013), pada saat kebuntingan maka tidak terjadi perubahan pada alat
kelamin vulva maupun vagina tetapi setelah terjadi kebuntingan 6 sampai 7 bulan (pada
sapi) maka akan terjadi eidema/membengkak. Periode kebuntingan tiap ternak bervariasi
antara spesies satu dengan species lainnya. Demikian juga antara individu satu dengan
individu lainnya. Sebagai contoh rata-rata periode kebuntingan pada kuda adalah 336
hari atau ± 11 bulan dan rata-rata periode kebuntingan pada sapi adalah 282 hari atau ± 9
bulan.

(a) (b)
Gambar 4. (a) vulva, (b) vagina pada sapi (Hopper, 2015).
2.2 Fisiologi Hormonal pada Sapi Bunting
2.2.1 Plasenta Steroidogenesis
Sehubungan dengan pengaturan fungsi reproduksi, steroid seks (progesteron,
androgen, estrogen) dianggap sebagai kelas hormon yang menonjol. Namun, mereka juga
terlibat dalam regulasi berbagai proses di luar sistem reproduksi, yang juga bisa penting
bagi ibu atau janin yang tumbuh selama kehamilan. Steroidogenesis plasenta terutama
berfokus pada produksi progesteron dan estrogen dan, pada tingkat lebih rendah, androgen.
Namun, ada kemungkinan bahwa steroid bioaktif selain dari estrogen klasik, androgen dan
progestogen dapat diproduksi dalam steroidogenik placentae dan dapat memberikan fungsi
penting selama kehamilan (Schule et al., 2018).
2.2.2 Progesteron
Progesteron umumnya dianggap sangat diperlukan untuk kebuntingan pada mamalia,
karena terlibat dalam kontrol berbagai fungsi penting yang berhubungan dengan
kebuntingan termasuk diferensiasi endometrium, ketenangan miometrium, penutupan

4
serviks dan imunoterapi lokal pada bagian uterus bunting. Awalnya, corpus luteum adalah
sumber progesteron pada semua mamalia. Pada beberapa spesies, corpus luteum tetap
menjadi satu-satunya sumber progesteron yang relevan selama kebuntingan dengan
kontribusi plasenta minimal (misalnya kambing, babi), sedangkan pada spesies lain
plasenta mengadopsi peran ini setelah masa gestasi spesifik spesies (luteo). Berkenaan
dengan relevansi progesteron luteal vs plasenta, sapi memiliki posisi perantara. Sepanjang
kebuntingan, plasenta sapi berkontribusi hanya sebagian kecil ke tingkat progesteron
induk yang sebagian besar berasal dari luteal. Namun, progesteron plasenta secara umum
dapat mempertahankan kebuntingan ketika suplai progesteron luteal dieliminasi antara hari
180 hingga hari 240 dengan menggunakan prostaglandin luteolitik atau pengangkatan
ovarium melalui pembedahan. Setelah periode ini, sapi yang dirawat dapat segera
membatalkan, menunjukkan panjang kehamilan yang lebih pendek atau dapat melanjutkan
kehamilan sampai masa normal. Peran progesteron plasenta dalam spesies dengan sintesis
progesteron luteal yang dominan sepanjang masa kebuntingan masih belum jelas tetapi
mungkin penting untuk menghasilkan konsentrasi lokal yang tinggi pada antarmuka induk,
yang mungkin diperlukan untuk beberapa efek progesteron yang bergantung pada
konsentrasi. Jika tidak, progesteron plasenta hanya bisa menjadi produk antara atau
samping yang timbul dari sintesis steroid lain, terutama estrogen. Umumnya, progesteron
dianggap sebagai hormon induk universal kebuntingan. Tergantung pada spesiesnya,
progesteron juga dapat berfungsi sebagai faktor pengaturan lokal dalam plasenta itu sendiri
seperti yang disarankan oleh deteksi reseptor progesteron pada manusia dan ruminansia
(Schule et al., 2018).
2.2.3 Estrogen dan Estradiol
Pada banyak spesies mamalia, terutama pada primata dan ruminansia (ungulata),
plasenta menghasilkan sejumlah besar estrogen. Berbeda dari folikel steroid dengan
estradiol-17β yang secara umum menjadi satu-satunya estrogen yang relevan yang
diidentifikasi sejauh ini, selama kebuntigan sering estrogen lain secara kuantitatif
mendominasi dalam darah induk. Dalam banyak spesies ungulata estron adalah estrogen
utama dan bentuk tersulfonasi sering melebihi konsentrasi rekan bebasnya dalam darah ibu
(mis. Domba dan sapi). Selain itu, selama kehamilan manusia (estriol) dan kuda (equilin,
equilenin), pembentukan estrogen plasenta spesifik spesies diamati. Pada manusia,
ruminansia dan unta konsentrasi estrogen induk meningkat dengan mantap selama
kebuntingan, sedangkan kuda dan keledai menunjukkan puncak yang jelas di sekitar
midgestation. Plasenta sapi mampu memproduksi estrogen secara mandiri dari kolesterol.
Telah dikemukakan bahwa selama kehamilan sapi, estrogen plasenta memiliki banyak
fungsi seperti diferensiasi trofoblas, autoregulasi steroidogenesis plasenta, pengaturan
sistem kardiovaskular induk, aliran darah utero-plasenta, neovaskularisasi plasenta, dan
perkembangan kelenjar susu. Namun, penurunan dramatis kadar estrogen induk dalam
kasus defisiensi steroid sulfatase plasenta secara umum hanya menghasilkan penurunan
ringan pada kematangan janin dan proses partus, sedangkan perkembangan janin dan
produksi progesteron plasenta tampak normal (Schule et al., 2018).
2.2.4 Chorionic Gonadotrophins
Hormon gonadotropin luteinizing (LH) hipofisis dan hormon perangsang folikel
(FSH) memainkan peran yang luar biasa dalam regulasi hormon fungsi gonad. Bersama-
sama dengan hormon perangsang tiroid (TSH), mereka termasuk dalam keluarga hormon

5
glikoprotein dan terdiri dari subunit α-subunit dan hormon-spesifik β spesifik. Tergantung
pada spesiesnya, glikoprotein yang berhubungan dengan LH juga diekspresikan dalam
trofoblas. Human CG terdiri dari α-subunit umum dari keluarga hormon glikoprotein dan
subunit βCG spesifik, yang sangat mirip dengan subunit βLH manusia tetapi dihasilkan
dari salah satu dari beberapa gen βCG yang terpisah. Seperti disebutkan di atas, selama
kebuntingan awal hCG dari blastokista adalah sinyal penting untuk pengenalan induk
bunting karena merangsang fungsi luteal melalui pengikatan pada reseptor LH luteal
sampai plasenta mengambil alih peran sebagai sumber progesteron yang relevan. Terlebih
lagi, keterlibatan hCG dalam fungsi-fungsi lain selama kebuntingan telah diidentifikasi
seperti angiogenesis endometrium, ketenangan miometrium, imunotoleransi intrauterin ibu
dan kontrol pembentukan syncytiotrofoblas. Subunit β dari equine CG (eCG) adalah
produk dari gen βLH. Namun, molekul eCG berbeda secara signifikan dari LH kuda dalam
hal ia sangat glikosilasi. Berbeda dengan hCG, ekspresi eCG dimulai dengan jelas setelah
pengakuan kehamilan ibu (hari 35-36). Dalam plasenta equine epiteleliorial, ekspresi eCG
terbatas pada subpopulasi trofoblas khusus yang menyerang endometrium ibu untuk
membentuk struktur diskrit yang disebut cangkir endometrium. Dengan aktivitas LH yang
kuat dan tahan lama pada kuda, eCG menginduksi transformasi folikel besar, yang
berkembang selama awal kehamilan di bawah pengaruh FSH hipofisis, menjadi aksesori
korpora lutea (Schule et al., 2018).
2.2.5 Prostaglandin (pgf2a)
Sekitar masa nifas, di seluruh spesies mamalia, prostaglandin dianggap sebagai
faktor penting yang terlibat dalam stimulasi relaksasi serviks dan aktivitas miometrium,
dan peningkatan besar kadar prostaglandin ibu bersamaan dengan onset persalinan jelas
merupakan sifat umum pada mamalia. Enzim kunci sintesis prostaglandin yang dapat
diinduksi, PTGS2, telah ditunjukkan untuk diekspresikan dalam trofoblas dari beberapa
spesies mamalia, di mana ia secara substansial diatur sebelum dipulangkan (mis. Anjing;
kucing; sapi, domba, domba). Namun, kontribusi pasti dari prostaglandin plasenta vs
prostaglandin dari sumber lain seperti endometrium dan miometrium ibu terhadap
peningkatan masif prostaglandin ibu sebelum dan intrapartal saat ini tidak jelas dan
mungkin berbeda di antara spesies. Dalam janin janin selama akhir kehamilan PGE2 yang
diproduksi di trofoblas telah disarankan untuk mempercepat pematangan sistem
hipotalamus-hipofisis sebagai respons terhadap peningkatan kadar kortisol sebagai
mekanisme umpan balik positif (Schule et al., 2018).
2.2.6 Relaxin
Pada spesies mamalia, keluarga gen RLN/INSL umumnya terdiri dari relaxin 1
(RLN1), relaxin 3 (RLN3) dan gen yang mengkode peptida seperti insulin (INSL) 3-6.
Anggota keluarga RLN / INSL adalah hormon polipeptida pleiotropik yang terlibat dalam
regulasi berbagai proses fisiologis. Namun, RLN1 (RLNH2 manusia), INSL3, INSL4 dan
INSL6 jelas terkait dengan fungsi reproduksi pada jantan dan betina , sedangkan RLN3
dan INSL5 secara dominan terkait dengan sistem neuroendokrin dan usus. Bergantung
pada konteksnya, RLN dapat bertindak sebagai hormon sistemik atau sebagai faktor
pengaturan setempat. Pada banyak spesies mamalia, peningkatan spesifik kehamilan
konsentrasi RLN induk diamati. Secara umum, mengenai jumlah korpus luteum dan / atau
plasenta adalah sumber yang paling penting. Namun, kontribusi relatif mereka terhadap
kadar darah induk mungkin berbeda secara signifikan antara spesies. Banyak fungsi

6
relaaxin selama kebuntingan seperti desidualisasi, imunomodulasi, ketenangan
miometrium, adaptasi peredaran darah induk hamil, stimulasi angiogenesis, pertumbuhan
rahim dan vagina, perkembangan kelenjar susu dan / atau puting susu. Pada periode
prepartal, RLN telah dikaitkan dengan relaksasi ligamentum pubis dan persiapan kanal
partus induk untuk proses nifas. Relaxin mungkin memiliki peran dalam kontrol perfusi
plasenta dan dengan demikian dapat mempengaruhi pertumbuhan feto-plasenta (Schule et
al., 2018).

Gambar 5. Bagan hormonal pada sapi bunting (Schule et al., 2018).


2.3 Periode kebuntingan
Kebuntingan dapat didefinisikan sebagai suatu periode fisiologis pasca perkawinan
ternak betina yang menghasilkan konsepsi yang diikuti proses perkembangan embrio
kemudian fetus hingga terjadinya proses partus. Kebuntingan sapi berlangsung sejak
konsepsi (fertilisasi) sampai terjadinya kelahiran anak (partus) secara normal (Idfar, 2017).
Diagnose kebuntingan sangat penting untuk hewan dalam masa produktif. Oleh karena itu,
diagnosa kebuntingan dini akan membantu untuk meningkatkan efesiensi produksi dan
mempertimbangkan interval kehamilan (Bekele et al. 2016).
Periode kebuntingan sapi dibagi atas tiga tahap, masing-masing tahap berlangsung
selama tiga bulan (trimester). Trimester pertama dijadikan acuan untuk deteksi
kebuntingan dini sedangkan trimester kedua dan ketiga dijadikan sebagai dasar untuk
deteksi kebuntingan lanjutan. Trimester pertama kebuntingan dijadikan sebagai acuan
dalam diagnosis kebuntingan dini disebabkan karena pada usia kebuntingan tersebut
asimetri kornua uteri masih jelas teraba dan bifurkasio uteri masih dapat dirasakan
sehingga lebih mudah mendiagnosa ada tidaknya kebuntingan (Idfar, 2017).
Menurut Pangestu (2014), metode deteksi kebuntingan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Palpasi Rektal
Palpasi rektal dilakukan dengan cara memasukkan tangan ke dalam rektum hingga
tercapai perabaan terhadap uterus dan ovarium sehingga dapat diketahui kondisi organ,
kelainan, serta siklus reproduksi 8 yang terjadi pada seekor ternak. Tingkat akurasi dalam
memprediksi kebuntingan tergantung spesies, periode kebuntingan serta pengalaman
palpator, namun metode palpasi rektal relatif memiliki tingkat akurasi mencapai 100%
dalam mendiagnosa kebuntingan pada 35-45 hari post breeding, namun prosedur dengan
palpasi rektal tersebut tidak memberikan informasi tentang viabilitas embrio/fetus selama
tahap-tahap awal kebuntingan.
2. Transrektal Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) didefinisikan sebagai suatu proses pencitraan terhadap struktur
di dalam tubuh dengan mengukur dan merekam pantulan (gema) gelombang suara
frekuensi tinggi. Selama satu dekade terakhir, ultrasonografi sangat popular digunakan
oleh kalangan dokter hewan serta peternak modern dan telah menjadi pilihan metode untuk
7
pencitraan diagnostik dari berbagai organ tubuh hewan, termasuk organ reproduksi. Pada
diagnosis hewan, dikenal metode transrektal ultrasonografi (pemeriksaan di dalam rektum)
untuk ternak besar dan transabdominal ultrasonografi (pemeriksaan di permukaan perut)
untuk ternak kecil.
Berdasarkan teknik yang digunakan dalam diagnosa, mode USG terbagi atas A-mode
(amplitude modulation), B-mode (brightness modulation), dan Mmode/TM-mode (motion
or time-motion modulation). A-mode merupakan teknik pemeriksaan satu dimensi yang
ditampilkan dengan waktu (jarak) pada sumbu 12 horizontal dan digunakan transduser
dengan kristal tunggal. B-mode merupakan teknik yang menggabungkan A-mode dengan
amplitudo sehingga echo ditampilkan dengan titik kecerahan berbeda pada skala abu-abu
yang sesuai dengan intensitas (amplitudo) dari setiap pulsa gelombang ultrasound. Lokasi
pada layar berkaitan dengan posisi dan kedalaman organ target. M-mode adalah teknik B-
mode satu dimensi yang ditampilkan dengan waktu pada kedua axis untuk memungkinkan
pengamatan pada target bergerak.
Menurut Idfar (2017), periode kebuntingan berdasarkan ukuran individu dan
perkembangan jaringan/organ yaitu:
1. Ovum atau blastula
Periode ini berlangsung sekitar 10 sampai 12 hari, sejak waktu pembuahan yang
biasanya terjadi beberapa jam setelah ovulasi sampai pembentukan membran zigot di
dalam uterus. Selama peride ovum, pembelahan atau cleavage ovum yang dibuahi
berlangsung di daerah pertemuan ampulla ithsmus di tuba fallopi sampai mencapai stadium
morulla yang ditandai oleh masa sel luar dan dalam yang berjumlah 16 sampai 32 sel.
2. Embrio dan organogenesis
Periode ini berlangsung sekitar 12 sampai 45 hari masa kebuntingan. Selama periode
ini organ dan sistim utama tubuh terbentuk dan terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk
tubuh sehingga pada akhir peride ini spesies embrio tersebut dapat dikenal. Amnion
terbentuk sempurna dan menutup pada hari ke 20 masa kebuntingan, jantung berkembang
dan mulai berdenyut pada hari ke 22, dan pada hari ke 25 masa kebuntingan saluran neuran
tertutup dan terdapat 25 somit, allantois berkembang baik, pucuk-pucuk kaki depan
terbentuk dan mata serta otak sudah berkembang pesat. Pertautan selaput-selaput fetus
adalah suatu proses gradual yang dimulai dengan pembentukan villi pertama pada hari k 30
masa kebuntingan dan berkembang menjadi suatu pertautan primitif chorioallantois pada
endometrium di daerah karunkuler kira-kira 33 sampai 36 hari periode kebuntingan
3. Fetus dan pertumbuhan
Periode ini berlangsung 45 masa kebuintingan. Selama periode ini terjadi perubuhan-
perubaha kecil dalam diferensiansi organ dan sistem tubuh bersamaan dengan
pertumbuhan dan pematangan individu antenatal. Selama periode ini karunkuler dan
kotiledon berkembang dan membesar untuk mensuplai makanan bagi fetus.
2.4 Tipe-tipe plasenta
a. Plasenta Difusa
Plasenta epiteliochorialis atau disebut juga plasenta difusa mempunyai hubungan yang
meluas dan relatif licin antara khorion dan epitel uterus. Pada tipe plasenta ini tidak
terdapat karunkula pada uterus dan vili-vili khorion tersebar di seluruh permukaan
plasenta. Tipe ini terdapat pada babi dan kuda. Pada khorioallantois babi terdapat daerah-
daerah khusus (areolae) yang terletak di atas kelenjar-kelenjar uterus dan berfungsi untuk
8
absorpsi sekresi dari endometrium. Pada kuda mangkuk- mangkuk endometrium
(endometrial cups) terbentuk pada hari ke-50 masa kebuntingan. Mangkuk-mangkuk
tersebut mengandung suatu koagulum yang kaya akan sel-sel epithel yang berdegenerasi,
sel-sel darah merah, leukosit dan gonadotropin. Pada waktu itu hormon gonadotropin juga
ditemukan dalam serum darah. Pada plasenta tipe ini, enam lapis jaringan memisahkan
darah fetus dari darah induk. Jaringan-jaringan tersebut adalah endothel vascular foetalis,
jaringan ikat chorioallantois, ectoderm serosa, epithel uterus, jaringan ikat endometrium
dan endothel vascular maternal (Lestari dan Ismudiono, 2014).

Gambar 6. Tipe plasenta difusa (Lestari dan Ismudiono, 2014).


b. Plasenta Kotiledonaria
Plasenta syndesmochorialis atau plasenta cotyledonaria dicirikan oleh tidak adanya
epithel uterus yang menutupi karunkula (bentukan bulat pada mukosa uterus), dan terutama
ditemukan pada sapi dan domba. Jumlah karunkula pada sapi berkisar antara 70-120 buah
sedangkan pada domba 90-100 buah, pada sapi bentuk permukaan karunkula tersebut
konveks (cembung) sedangkan pada domba berbentuk konkaf (cekung) (Lestari dan
Ismudiono, 2014).

Gambar 7. Tipe plasenta kotiledonaria (Lestari dan Ismudiono, 2014).


c. Plasenta Zonaria
Sebuah plasenta disebut sebagai zonary ketika area perlekatan plasenta membentuk
pita melingkar. Plasenta zonary ditemukan di sebagian besar karnives dan di Gajah,
manatees, dan hyrax (Carter dan Enders, 2016).

Gambar 8. Tipe plasenta zonaria (Lestari dan Ismudiono, 2014).


d. Plasenta Discoidalis
Pada Palcenta Discoidal vili korion membentuk cakram dimana perlekatan korion
dengan endometrium pada daerah ini (Pratiwi et al., 2019). Terdapat pada manusia dan
kera (Carter dan Enders, 2016).

9
Gambar 9. Tipe plasenta discoidalis (Lestari dan Ismudiono, 2014).
2.5 Kelainan pada kebuntingan
a. Freemartin pada sapi
Freemartin adalah betina fenotipik, yang lahir bersama dari seekor jantan, dimana
mengakibatkan mandul karena terhambatnya perkembangan saluran reproduksi. Istilah
freemartin dikatakan berasal dari Inggris, di mana ia merujuk pada sapi yang tidak hamil
setelah musim. Freemartinisme muncul sebagai akibat dari anastomosis antara sirkulasi
plasenta janin kembar  lawan jenis sebelum diferensiasi gonad. Indung telur freemartin
kurang berkembang dan mengandung tubulus seminiferus. Kelainan organ genital tubular
bervariasi dalam tingkat keparahan, dan strukturnya berkisar dari pita-pita seperti kawat
hingga tanduk uterus yang hampir normal. Pada kebanyakan freemartin tidak ada serviks;
oleh karena itu tidak ada komunikasi antara rahim dan vagina. Seringkali, kelenjar
vesikular seminalis dengan ukuran yang bervariasi hadir. Hingga 92% betina fenotipik
yang lahir bersama kembar jantan adalah freemartins. Singleton freemartin dimungkinkan
jika kembar jantan dan betina dikandung dan jantan hilang setelah 30 hari kehamilan.
Palpasi per rektum freemartin usia subur menunjukkan aplasia atau hipoplasia organ
genital tubular dan ovarium hipoplastik. Jika hewan terlalu kecil untuk palpasi per rektum
maka, pemeriksaan vagina dengan spekulum gelas kecil (atau tabung reaksi) untuk
mengetahui bahwa vagina freemartin pendek (6 sampai 7 cm pada freemartin versus
hampir dua kali lipat panjang pada sapi betina normal) (Smith, 2014).

Gambar 10. Freemartin pada sapi (Esteves et al., 2012).


b. Mumifikasi fetus
Mumifikasi janin pada sapi termasuk penyebab infeksi dan tidak menular yan
sebelumnya termasuk: leptospirosis, diare virus bovine (BVD), dan neospora caninum.
Penyebab tidak menular meliputi, tingkat hormon terganggu dan kelainan kromosom,
memutar tali pusat, plasentasi yang rusak, terlebih lagi gangguan genetik sebagai salah satu
penyumbang utama terjadinya mumifikasi dapat dilihat dengan fakta (DNA) dari janin
mumi yang membawa uridine monophosphate synthase (DUMPS) dan terjadi karena gen
autosomalrecessive (Kumar et al., 2018).

Gambar 11. Mumifikasi jani (Kumar et al., 2017)

10
c. Maserasi janin
Maserasi janin adalah disintegrasi janin yang telah mati setelah pembentukan tulang
janin (setelah beberapa bulan kehamilan pada sapi) dan gagal batal, meskipun serviks
terbuka. presentasi abnormal dari janin yang cukup kering yang menyebabkan untuk
disimpan di dalam rahim. Bakteri invasi janin menyebabkan emfisema dan maserasi janin
(3 hingga 4 hari). Ada banyak formasi (24-48 jam) nanah dan tulang-tulang janin terpisah
dari hewan mengeluarkan banyak bau busuk, abu-abu kemerahan debit vulva dan strain
sering . Demam dan anoreksia dapat terjadi karena infeksi. Jarang, mungkin didiagnosis
selama pemeriksaan kehamilan. Kondisi ini juga dapat didiagnosis berdasarkan riwayat,
Temuan sepotong tulang bersarang di leher rahim,pada saat palpasi dubur (tulang janin
teraba dalam krepitasi nanah dan dinding rahim tebal pekat) radiografi (terutama pada
hewan kecil) dan ultrasonografi. Hewan itu harus diperiksa per vaginum dan setiap
potongan tulang yang berada di vagina atau leher rahim harus dihilangkan secara manual
jika serviks membesar. Ketika serviks tidak terbuka prostaglandin atau estrogen dapat
diberikan untuk regresi sebagian menurunkan CL dan / atau meningkatkan uterus
kontraksi. Cukup pelumasan dan pengangkatan tulang secara lembut diperlukan.
Laparohisterotomi untuk mengangkat maserasi janin berpotensi berbahaya dan harus
dianggap sebagai pilihan terakhir. Pada hewan multipara histerektomi dapat disarankan
(Kumar et al., 2013).

Gambar 12. Maserasi janin (Kumar et al., 2013).

11
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi

3.1.1 Alat

1. Gunting tajam – tajam lurus


2. Nampan
3. Pinset anatomis
4. Scalpel
3.1.2 Bahan

1. Blade
2. Fetus
3. Organ plasenta sapi
4. Organ reproduksi sapi betina bunting
5. Organ reproduksi sapi betina tidak bunting
3.2 Metode

1. Mengamati organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting serta organ
plasenta
2. Mengindetifikasi anatomi organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting
serta organ plasenta
3. Mengidentifikasi fisiologi organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting
serta organ plasenta
4. Mengidentifikasi hormon sapi bunting dan sebelum bunting
5. Mengidentifikasi masa periode kebuntingan pada sapi

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Organ reproduksi ayam betina

Gambar 13. Organ reproduksi ayam betina (Akers dan Denbow, 2013).
Keterangan Gambar:
1. Infundibulum
2. Magnum
3. Isthmus
4. Uterus
5. Ovarium

4.1.2 Organ Reproduksi Ikan Betina

Gambar 14. Organ reproduksi ikan betina (Marlina, 2018).


Keterangan Gambar:
1. gonad betina kiri
2. gonad betina kanan
3. saluran urogenital betina

4.1.3 Organ reproduksi sapi betina

Gambar 15. organ reproduksi sapi betina bunting (Ansci, 2017).


1. Corpus luteum
2. Ovarium
3. Corpus uteri
4. Cornua uteri
13
4.1.4 Tipe plasenta cotiledonary

Gambar 16. plasenta cotiledonary (Colville dan Joanna, 2016).


Keterangan:
1. Cotyledon
2. Allantois
4.1.5 Tipe plasenta zonary

Gambar 17. Plasenta zonary (Favaron et al., 2014)


Keterangan:
1. zonary chorioallantoic placenta
2. membrane Chorioallantoic
3. Amnion
4.1.6 Tipe plasenta

Gambar 18. Plasenta Discoidal (Mayor et al., 2012)


Keterangan Gambar:
1. Membran Chorioallantoic
2. Regio maternal fetal
4.1.7 Tipe plasenta

Gambar 19. Plasenta Diffuse (Tamilselvan et al., 2015).


Keterangan Gambar:
1. Membran Chorioallantoic
2. Umbilical cord
4.2 Pembahasan
Perubahan yang terjadi pada ovarium ketika terjadi kebuntingan yaitu corpus luteum
dipertahankan hingga menjelang partus dikarenakan corpus luteum merupakan penghasil
dari hormon progesteron yang berfungsi mempertahankan kebuntingan sebagaimana yang
14
dikatakan oleh Dpsmk (2013) folicel de graaf yang telah kosong (setelah terjadi ovulasi)
akan membentuk suatu kawah dan diisi oleh darah yang cepat membeku dan disebut
corpus hemorrhagikum, korpus hemorrhagikum akan terbentuk sel-sel baru yang berwarna
kuning yang disebut sel luteum, sel-sel luteum makin lama makin banyak dan akhirnya
mengisi penuh ruangan tersebut dan diberi nama korpus luteum, selama kehamilan corpus
luteum tetap ada dan berfungsi terus selama masa kehamilan dan apabila tidak terjadi
kebuntingan maka corpus luteum akan dinon aktifkan oleh prostalgandin dan mengalami
degenerasi dan berubah menjadi jaringan ikat yang berwarna putih mengkilat yang disebut
corpus albican .
perubahan yang terjadi pada uterus selama masa kebuntingan yaitu terjadi vaskularisasi
pada endometrium sehingga vulva menjadi pucat sebab darah kebanyakan lari ke uterus
dimana untuk menyuplai lebih banyak darah untuk membawa nutrisi untuk terjadinya
pembesaran di area cornua uteri dan tidak simetris sebab janin menempati hanya
salahcaatu dari cornua uteri sebagai yang dikatakan Dpsmk (2013) Pada saat kebuntingan
juga terjadi pembesaran volume uterus. Dimana pada saat permulaan kebuntingan sebagian
besar di sebabkan oleh pertambahan cairan amnion dan allantois, tetapi pada pertengahan
kebuntingan maka pertambahan volume cairan menjadi hampir sama dengan per tambahan
volume uterus dan pada akhir kebuntingan maka sebagian besar merupakan volume fetus.
Perubahan cervix pada masa kebuntingan yaitu diproduksinya lendir oleh kripta kripta
cervix menurut Dpsmk (2013) Fungsi lendir ini adalah untuk menyumbat lumen servix.
Semakin tua umur kebuntingan maka semakin kental cairan tersebut.

15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat beberapa perubahan anatomi pada sapi bunting, seperti bertahannya
corpus luteum pada ovarium, serta adanya pembesaran pada cornua uteri, vagina
dan vulva
2. Beberapa hormon yang berperan dalam fisiologis kebuntingan sapi yaitu
prostaglandin, progesteron, estrogen, oksitosin, glokokortikoid dan relaksin
3. Periode kebuntingan terdiri atas periode ovum, periode embrio dan periode fetus.
4. Tipe-tipe plasenta yaitu tipe difusa, kotiledonari zonari dan diskoid
5. Kelainan yang dapat terjadi selama kebuntingan yaitu maserasi fetus, aborsi fetus
dan mumifikasi fetus.
5.2 Saran
Sebaiknya asisten memberikan penjelasan yang tidak terlalu cepat pada saat praktikum
karena praktikan biasanya memiliki kendala jaringan sehingga tidak mendengar dan
mengerti penjelasan dari asisten. Selain itu, sebaiknya bahan praktikum yang ditampilkan
dibagi ke praktikan sebagai bahan pembelajaran bari praktikan yang mengalami gangguuan
jaringan ataupun tidak.

16
DAFTAR PUSTAKA
Akers R.M dan D.M Denbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animal. Wiley
Blackwell: India.
Ansci. 2017. Ansci reproduction lab. Diakses pada 5 mei 2020.
http://www.ansci.wisc.edu/jjp1/ansci_repro/lab/lab5/preg.html/2017 .
Bekele, N., Addis, M., Abdela, N., & Ahmed, W. M. (2016). Pregnancy diagnosis in cattle
for fertility management: a review. Global Veterinaria, 16(4): 355-364.
Carter A. M Dan Enders A. C. 2016. Placentation in mammals: Definitive placenta, yolk
sac, and paraplacenta. Theriogenology. 86(1): 278-287.
Colville, Thomas dan Joanna M. Bassert. 2016. Clinical Anatomy and Physiology for
Veterinary Technicians. Elsevier: Canada.
David E. Noakes, Timothy J. Parkinson, Gary C. W. England. 2019. Veterinary
Reproduction and Obstetrics. Elsevier : China.
Dpsmk. 2013. Reproduksi Hewan. BSE. Mahoni.
Esteves, Alexandra., Renee Bage dan Rita Payan Carreira. 2012. Freemartinism in cattle.
Nova Science Publishers. 2(1): 100-120.
Favaron, Phelipe O., Joao C Morini Jr, Andrea M Mess, Maria A Miglino dan Carlos E
Ambrosio. 2014. Placentation and fetal membrane development in the South
American coati, Nasua nasua (Mammalia, Carnivora, Procyonidae). Reproductive
Biology and Endocrinology. 12 (57): 1-7.
Hopper, Richard M. 2015. Bovine Reproduction. Wiley Blackwell : India
Idfar. 2017. Diagnosa Kebuntingan Dini Dalam Mendukung Tingkat Keberhasilan
Inseminasi Buatan Sapi Bali di Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu.
[Skripsi]. UIN Alauddin Makassar Press: Makassar.
Kumar, Alok., Atul Saxena dan Mukul Anand. 2018. Fetal Mummification in Cattle:
Current Appoach on it’s Management- a Review. International Journal of Science,
Environment and Technology. 7( 3): 1079 – 1083.
Kumar, Pramod .,GN Purohit dan JS Mehta. 2013. Surgical Management of a Macerated
Bovine Fetus. Ruminant Science. 2 (1): 107-108.
Kumar,P. Ravi Kumar.,B Chandra Prasad., GSC Bose., V Devi Prasad dan M Sreenu.
2017. Diagnosis and Management of Fetal Mummification in Cow. International
Journal of Science, Environment and Technology. 6(5): 3044 – 3048.
Lestari, Tita Damayanti dan Ismudiono. 2014. Reproduksi Ternak. Airlangga press:
Bandung.
Marlina, siti. 2018. Anatomi Dan Biometri Sistem Reproduksi Ikan Air Tawar Famili
Cyprinidae Di Telaga Ngebel Ponorogo. Prosiding Seminar Nasional.
Mayor, P., M. Bowler dan C. Lopez-Plana. 2012. Anatomicohistological Charecteristic of
the Tubular Genital Organs of the Female Woolly Monkey (Lagothrix poeppigii).
American Journal of Primatology. 74(1): 1006-1016.
Pangestu, Dimas Panji. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi
Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Pratiwi, Herlina, Aulia Firmawati dan Herawati. 2019. Embriologi Hewan. UB Press:
Malang.
Schuler, Gerhard., Rainer Fürbass dan Karl Klisch. 2018. Placental contribution to the
endocrinology of gestation and parturition. Anim. Reprod. 15(1): 822-842.
Smith, Bradford P. 2015. Large Animal Internal Medicine 5nd. Elseiver : USA
Tamilselvan, S., S. Sivagnanam, K. Iniya, S. Jayachitra, K. Balasundaram dan C. Lavanya.
2015. Gross Morphology of Placenta in Mare. Int J Curr Microbiol App Sci. 4(4):
197-200.
Widiati, R. (2014). Membangun industri peternakan sapi potong rakyat dalam mendukung
kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4): 191-200.
17
LAMPIRAN

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80

Anda mungkin juga menyukai