Anda di halaman 1dari 15

URGENSI KONSERVASI LAHAN GAMBUT

DI SUSUN OLEH :

FAHMI HAMID

1606110580

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Ekonomi
Sumberdaya Hutan. Tidak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kebodohan sampai ke zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan pada saat ini.
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari
dosen serta bantuan moral dan doa dari keluarga serta partisipasi dari teman-
teman lainnya. Atas semuanya penulis ucapkan terima kasih.
Penulis juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
terutama dan bagi para pembaca nantinya. Jika terdapat kesalahan dan
kekurangan yang ada pada Makalah Ekonomi Sumberdaya Hutan, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dari itu semua, penulis meminta kepada
pembaca atas kritik dan sarannya agar makalah ini dapat mencapai
kesempurnaan. Atas kritik dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2


2.1 Pengertian Konservasi ...................................................................... 2
2.2 Pembentukan Gambut ....................................................................... 3

III. PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

IV. PENUTUP ............................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 12

ii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha

atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Makin terbatasnya lahan untuk

mendukung ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan

dalam rangka pengembangan bioenergi mendorong pemerintah untuk

memanfaatkan lahan rawa gambut. Namun, lahan rawa gambut merupakan

ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak

(a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Dalam kaitan ini,

keberadaan lahan gambut, terutama gambut sangat dalam (lebih dari 4 m),

sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah konservasi air. Jika tanah

gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase maka gambut

akan ’kempes’ atau mengalami subsidence sehingga terjadi penurunan

permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang

berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik

(irreversible drying ) (Tim Sintesis, 2008).

Lahan gambut mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia.

Penyusutan yang terjadi pada lahan gambut akibat penggunaan lahan secara

eksploitatif seperti untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit tanpa adanya

pengendalian, serta pembuatan saluran (drainase) untuk menyalurkan kayu

hasil tebangan yang menyebabkan air keluar dari lahan gambut.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Konservasi

Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal

ini sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian tidak

menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan kembali

(rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam sehingga

setidaknya kembali ke keadaan semula.

Konservasi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai pelestarian dan

pengawetan. Dalam hal ini pengawetan meliputi kegiatan pelestarian produksi,

pelestarian jenis dan perlindungan penunjang sistem kehidupan. Obyek

kegiatannya adalah hutan lindung, hutan pantai dan daerah aliran sungai.

Sedangkan bentuk kegiatan pengawetan keanekaragaman hayati terbagi dua,

yaitu konservasi eksitu dan konservasi insitu.

Konservasi insitu adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta

pemeliharaan dan pemulihan populasi makhluk hidup dalam lingkungan

alaminya. Apabila makhluk hidup tersebut merupakan jenis yang

terdomestifikasi atau terbudidaya, konservasi insitu dapat dikatakan terjadi di

dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Jenis kegiatan

konservasi insitu adalah kebun binatang, taman safari, kebun botani dan

museum. Sedangkan konservasi eksitu adalah konservasi komponen-

konponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Jenis kegatan

konservasi eksitu adalah cagar alam dan suaka margasatwa.

2
2.2 Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan

lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan

tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda

dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan

proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

Sedangkan pengertian lainnya menyebutkan bahwa, gambut

merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan

atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob,

menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat,

sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut

(Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Harjowigeno, 1996; dan Noor, 2001 dalam

Sagiman, 2007)

Lebih jelasnya, gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang

berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan

>40 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses

geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno,

1996 dalam Sagiman, 2007). Pembentukan gambut diduga terjadi pada

periode Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam. Menurut Andrisse (1988)

dalam Sagiman (2007), gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000

tahun lalu.

3
III. PEMBAHASAN

Telah disampaikan diatas bahwa beberapa permasalahan lingkungan

yang yang ada pada daerah lahan gambut adalah penyimpan karbon,

penghasil emeisi gas rumah kaca, kebakaran lahan serta masalah hidrologi

dan penurunan muka lahan gambut (subsiden). Untuk itu upaya konservasi

sangat dibutuhkan sekarang ini untuk mempertahankan keberadaan lahan

gambut.

Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan

gambut agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan gambut

dalam menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama lain. Dalam

mempertahankan sumber daya gambut untuk pertanian pengendalian tata air

gambut sangat penting, ketinggian muka air tanah harus disesuaikan dengan

kebutuhan dari rhizospher tanaman. Semakin dalam jangkauan perakaran

tanaman maka permukaan air tanah semakin dalam pula, namun acapkali

dilapangan kita lihat bahwa untuk tanaman palawija yang berakar dangkal

petani membiarkan permukaan air gambut sangat dalam, dengan demikian

dekomposisi gambut yang dapat menyebabkan hilangnya gambut akan

semakin cepat. Berubahnya sifat gambut dari lembab menjadi kering tidak

balik (irreversible) menyebabkan ketersediaan air bagi tanaman semakin

rendah dan pada musim kemarau gambut mudah terbakar (Sagiman, 2007).

Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-

undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional - RTRWN, kawasan

4
tanah gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu

sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut.

Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan

hidrologi wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta

melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut. Kubah gambut dengan

ketebalan lebih dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan bagian tepinya yang

dangkal (ketebalan kurang dari 3 m). Oleh karena itu, pembukaan lahan

gambut di bagian tepi, meskipun tidak melanggar Keppres No 32/ 1990, akan

berdampak buruk bagi kubah gambut karena kegiatan di lahan gambut

dangkal, misalnya pertanian, sulit untuk tidak melakukan pembakaran dalam

penyiapan lahan.

Kesadaran bahwa gambut merupakan media tanam yang harus

dilestarikan perlu disampaikan kepada masyarakat, pembakaran yang

berlebihan pada waktu penyiapan lahan sedapat mungkin dihindari, teknologi

pembuatan abu bakar melalui pembakaran sampah kebun dan gulma dapat

dilakukan secara terkendali dalam pondok bakar seperti yang dilakukan oleh

petani sayur di Sungai Selamat dan Sungai Rasau. Pembakaran semak dan

gulma langsung di kebun akan menyebabkan terbakarnya gambut.

Pembakaran tidak terkendali akan menyebabkan hilangnya gambut secara

cepat, selain itu menimbulkan polusi asap yang merugikan banyak pihak

(Sagiman, 2007).

Pembakaran untuk penyiapan lahan sering kali lepas kendali sehingga

api menjalar ke wilayah kubah gambut dan menimbulkan kebakaran hebat. Di

samping itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut menjadi

5
kekeringan dan mudah terbakar pada musim kemarau. Pengelolaan lahan

rawa gambut perlu menerapkan pendekatan konservasi, yang meliputi

perlindungan, pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat.

Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah gambut dibedakan ke

dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan

reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan

pengawetan disebut juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan

reklamasi disebut kawasan budi daya. Wilayah rawa (gambut) yang termasuk

sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut sangat dalam, lebih

dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4) kawasan sekitar

danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau.

Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang

memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna

dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman

hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau

dipreservasi dengan status sebagai kawasan non-budi daya.

Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan

suaka alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi

pengamanan kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-

batas alami yang lahan non gambut dan ketebalan gambut kurang dari 3 m.

Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan

rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air. Sebagai

sumber air, rawa (gambut) pedalaman sangat menentukan keadaan air daerah

pinggiran atau hilirnya.

6
Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau rawa pedalaman perlu

dipertahankan sebagai kawasan non-budi daya, yang berfungsi sebagai

kawasan penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah

pertanian di sekitarnya. Kawasan penampung hujan sebaiknya berada pada

lahan gambut. Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300- 800%

bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar. Gambut dalam (lebih dari

3m), telah dinyatakan sebagai kawasan non-budi daya dengan luas minimal

1/3 dari luas total lahan gambut di wilayah daerah aliran sungai tersebut.

Banjir merupakan kendala yang perlu diatasi, terutama dalam pengelolaan

rawa lebak. Rawa lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai penampung

luapan banjir.

Ketika lahan gambut digunakan sebagai lahan pertanian ataupun

perkebunan, maka masalah yang sering muncul adalah volume gambut akan

menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan

permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden

juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun

pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm.

Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung

kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa

dilihat dari akar tanaman yang menggantung.

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga

beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan

beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut

juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.

7
Meningkatnya drainase dan runoff berpotensi meningkatkan sedimen.

Sedimen ini berdampak minimal pada komunitas air rawa. Restorasi vegetasi

marginal dapat mengurangi sedimentasi jika itu berlebihan. Melalui beberapa

tahapan meliputi :

1. Manajemen pemeliharaan langsung. Proteksi secara langsung

menguntungkan untuk regenerasi dan harus di pelihara.

2. Area dengan nilai konservasi yang tinggi. Identifikasi area tertentu dengan

nilai konservasi yang tinggi, dan menganjurkan pemilik lahan dari

keuntungan-keuntungan memegang, memperluas, dan melindungi ini,

akan menuntun untuk peningkatan area ketika area lain kehilangan

komponen konservasi. Implikasi dari ini adalah pemilik lahan itu mampu

menukar area nilai tinggi ke area nilai rendah yang kemudian mereka

dapat kembangkan

3. Strategi untuk area besar tanpa tergantung dengan dari nilai konservasi

Keuntungan strategi ini adalah akan ada kemungkinan peningkatan

semua area di lahan basah, dan kemampuan untuk memperoleh

keseimbangan antara produktifitas perkebunan dan perlindungan lahan

basah.

Beberapa mekanisme yang mungkin dipertimbangkan untuk area yang

layak untuk restorasi adalah:

1. Manajemen lahan : untuk restorasi area, kombinasi kontrol rumput,

membentuk kembali tanah, meningkatkan tingkat/ kualitas air,

menanam beberapa spesies tanaman lahan basah akan dibutuhkan.

8
2. Interaksi : Ko-operasi dengan pemilik lahan disekeliling area yang di

restorasi akan bernilai dalam perlindungannya misalnya tidak terbakar.

3. Pembelian area tertentu dengan nilai yang tinggi akan dibutuhkan

untuk mencegahnya menjadi lahan pertanian

4. Seperti dicatat di awal, peraturan biasanya berlawanan dengan

konservasi lahan basah, kecuali jika dibarengi dengan ganti rugi untuk

pemilik lahan.

Pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak ayal lagi akan memiliki

dampak bagi lingkungan disekitarnya. Menurut Andriesse(1988), Hardjowigeno

(1996) dan Radjaguguk (2004) dampak pada lingkungan disebabkan oleh

rendahnya kualitas pengelolaan drainase sehingga air yang keluar dari lahan

gambut terjadi secara berlebihan dan menyebabkan keringnya lahan sekitar

lokasi pertanian. Pintu air dari bahan beton yang dibangun dibeberapa lokasi

gambut (Kalimantan dan Sumatera) umumnya tidak berfungsi mengatur aliran

air, pada waktu subsiden terdapat celah yang besar antara gambut dan pintu

air sehingga air mengalir keluar lahan pertanian. Banyak saluran drainase,

saluran primer dan sekunder dibangun sangat dalam sehingga air keluar dari

lahan gambut tanpa dapat dikendalikan (Sagiman, 2007).

Untuk itu penerapan beberapa kebijakan sangat diperlukan dalam

upaya konservasi lahan gambut, meliputi :

1. Keppres No. 32/1990 perlu direvisi, terutama yang menyangkut kawasan

konservasi dan kelestarian lahan. Khusus pengembangan kelapa sawit

9
pada lahan gambut harus mengacu Permentan No.14/2009.

2. Kawasan konservasi bukan hanya berada pada wilayah gambut dengan

ketebalan > 3 m, tetapi juga di kawasan yang mempunyai

keanekaragaman hayati (flora dan fauna), dan lapisan substratum di

bawah gambut lapisan sulfidik dan atau pasir kuarsa.

3. Pada dasarnya pemanfaatan lahan gambut harus merupakan prioritas

terakhir, dan bersifat selektif selain harus memenuhi kriteria Permentan

No. 14/2009. Pemanfaatan lahan gambut diprioritaskan pada lahan yang

terlantar atau terlanjur dibuka, dengan tujuan utama untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat.

4. Agar pengelolaan dan pemanfaatan kawasan gambut berjalan lancar,

perlu penerapan Inpres No. 2/2007 secara konsisten (Suriadikarta,

2009).

Jika semua aspek tersebut kita pertimbangkan, mulai dari dampak yang

timbul pada lahan gambut serta bagaimana upaya konservasi dilakukan dalam

menjaga keberadaan lahan gambut, maka kesemuanya tentunya dapat

berjalan dengan baik jika kita juga dapat mengimplementasikan beberapa

kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan perlingungan lahan

gambut, sehingga keberadaan gambut dapat dipergunakan sebagaimana

mestinya untuk keejahteraan masyarakat tanpa harus merusaknya.

10
IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penulisan makalah ini adalah :

1. Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal

ini sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian

tidak menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan

kembali (rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam

sehingga setidaknya kembali ke keadaan semula.

2. Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada

fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi

jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik

berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang

membentuk tanah gambut..

3. Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan

gambut agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan

gambut dalam menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama

lain.

4.2 Saran

Upaya konservasi harus cepat dilaksanakan pada lahan gambut, agar

keberadaan gambut sebagai kawasan penyangga air dapat terjaga

keutuhannya. Sehingga kerusakan lingkungan yang semakin parah dewasa ini

dapat berkurang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG


Kalimantan Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan
Lingkungan. Jurnal Litbang Departemen Pertanian 19 (3).
Chotimah Hastin Ernawati Nur Chusnul, 2009. Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Tanaman Pertanian. http://Formala.mulltiply.com/journal/item/45.
Download tanggal 07 Mei 2009.
Darajat Salman, 2006. Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim.Harian
Republika, Sabtu, 12 Agustus 2006.
Metarius, 2005. Pengelolaan Lahan Gambut Kritis dengan Penanaman Karet
dan Jelutung. Comunity Enpowernment and Participatory Institute, CEPI.
Pieter van Beukering; Marije Schaafsma; Olwen Joung Marion Davies dan Ieva
Oskolokaite, 2007. Nilai Ekonomi Lahan Gambut di Kalimantan
Tengah:Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Rehabilitasi dan
Revitalisasi eks PLG kalimantan Tengah. Institute for Environmental
Studies (IVM) Vrije Universiteit-The Netherlands

12

Anda mungkin juga menyukai