desintaramadhaniputri@gmail.com, nindaaalf03@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk memberikan informasi tentang konservasi dan
rehabilitasi elang bondol dan elang laut di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Konservasi dan rehabilitasi elang bondol dan elang laut ini merupakan hasil penyitaan yang
dilakukan pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Jakarta
Anima Aid Network (JAAN), penyitaan tersebut dilakukan karena pemelihara tidak memiliki
izin penangkaran dan pemelihara memelihara elang tersebut dengan cara menyakitinya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif Analistik, yaitu
mengkaji suatu fenomena dengan menggambarkan data-data konservasi dan rehabilitasi elang
bondol dan elang laut melalui pengamatan dan kajian bersama Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKpS) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan berdasarkan artikel-
artikel nasional. Di kawasan ini, burung yang terkenal buas ini dirawat dengan baik dan
ditempatkan sesuai dengan tahapan rehabilitasi. Bagi elang yang telah lulus uji kesehatan dan
karantina, akan dikembalikan ke alam bebas. Tetapi sebagian elang yang di rehabilitasi di
kawasan ini mengalami cacat pada anggota tubuhnya, sehingga tidak dapat dilepaskan ke alam
bebas dan hanya akan berada di penangkaran sepanjang hidupnya.
Kata kunci : Konservasi, rehabilitasi, elang bondol, TNKpS
PENDAHULUAN
Konservasi adalah pengelolaan biosfer secara aktif yang bertujuan untuk menjaga
kelangsungan keanekaragaman spesies maksimum dan pemeliharaan keanekaragaman genetik
di dalam suatu spesies, termasuk juga pemeliharaan fungsi biosfer seperti fungsi ekosistem dan
siklus nutrisi (Allaby, 2010). Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dapat dilakukan melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga hal tersebut
telah menjadi prinsip dan acuan dalam pengelolaan konservasi di Indonesia.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai sebelas pulau-pulau kecil
berpenghuni dan juga pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata dan konservasi. Di kabupaten
ini terdapat sebuah zona konservasi berupa taman nasional laut bernama Taman Nasional
Kepulauan Seribu (TNKpS), yang merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkann
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-II 2002 tanggal 13 Juni
2002 dikarenakan memiliki sejumlah keanekaragaman hayati baik yang dilindungi maupun
tidak dilindungi serta beberapa ekosistem pendukung yang penting (Balai TNKpS, 2015).
Salah satu gugusan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menjadi kawasan
konservasi dan rehabilitasi satwa endemik adalah Pulau Kotok Besar. Pulau Kotok Besar
merupakan kawasan rehabilitasi dan konservasi elang bondol yang akan menjadi pembahasan
pada penelitian ini. Elang bondol merupakan burung pemangsa dan pemakan bangkai. Habitat
terbaik untuk elang bondol adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan mangrove, muara
sungai, dan pesisir pantai. Burung ini juga dapat ditemukan di lahan basah seperti sawah dan
rawa (Ria Tan, 2001). Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai
maskot kota Jakarta.
Saat ini keberadaan elang bondol terancam punah. Populasi maskot ibu kota ini semakin
langka di Indonesia, bahkan di Jakarta dan Kepulauan Seribu sudah semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data dari Lembaga pemerhati satwa liar Jakarta Animal Aid Jakarta (JAAN)
menunjukkan populasi Elang Bondol di Kepulaun Seribu dan Jakarta saat ini tidak lebih dari
25 ekor. Sementara menurut penelitian PENGELOLAAN PERAWATAN, REHABILITASI, DAN
PENILAIAN KESEJAHTERAAN ELANG DI PULAU KOTOK BESAR, JAKARTA oleh Kartika
Nurul Rachmania (2015) jumlah elang bondol di pusat rehabilitasi Pulau Kotok Besar saat ini
sebanyak 24 ekor. Oleh karena itu, TNKpS didukung oleh Pertamina mendirikan kawasan
konservasi dan rehabilitasi elang bondol di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Yang membedakan penelitian kami dengan penelitian sebelumnya adalah sumber data
terbarukan, baik dari segi populasi elang bondol yang tengah di konservasi hingga kondisi
tempat konservasi dan rehabilitasi di pulau kotok besar. Dalam penelitian ini, kami lebih
memfokuskan kepada pembahasan khusus elang bondol yang berada di kawasan rehabilitasi
pulau kotok besar.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
Metode Penelitian
Metode
Materi dalam laporan praktikum ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan kajian bersama Taman Nasional Kepulauan
Seribu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Sedangkan data sekunder berupa
artikel-artikel yang diperoleh dari artikel Cendekiawan
Objek Kajian
Pada kegiatan ini kami mengkaji flora dan fauna di pulau pramuka dengan mendatangi
TNKpS (Taman Nasional Kepulauan Seribu) yang merupakan tempat konservasi dari penyu
sisik, padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove. Sedangkan pada pulau kotok besar
objek yang dijadikan kajian adalah elang laut dan elang bondol.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini diperoleh pada tanggal 07 Desember 2018 hingga 09 Desember 2018
berlokasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepulauan seribu merupakan salah satu gugusan kepulauan dengan pulau-pulau sangat
kecil. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai sebelas pulau-pulau kecil
berpenghuni dan juga pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata dan konservasi.
Kawasan konservasi sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam yang
tujuan utamanya agar dapat dicapai kesejahteraan bagi masyarakat dengan tetap
mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan. Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang termasuk dalam ketegori kawasan yang
dilindungi. TNKpS sejak tahun 2002 ditetapkan sebagai salah satu taman nasional laut, secara
yuridis terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta telah
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat ditinjau dari segi sosial, ekonomi, budaya dan manfaat
fisik. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam yang
mempunyai ekosistem asli. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) mengelola taman
nasional dengan sistem 4 zonasi, yaitu :
1. Zonasi Inti
Zona Inti Taman Nasional adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi
dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, memiliki luas
sekitar 4.449 Ha. Zona Inti diklasifikasi menjadi 3 zona, yaitu :
a. Zona Inti I seluas 1.389 ha meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang
Rengat pada posisi geografis 5°27'00" - 5°29'00" LS dan 106°26'00" – 106°28'00" BT,
yang merupakan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), dan Ekosistem
Terumbu Karang
b. Zona Inti II seluas 2.490 ha meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran
Timur, dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong
Penjaliran, pada posisi 5°26'36" - 5°29'00" LS dan106°32'00" - 106°36'00" BT, yang
merupakan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Ekosistem Terumbu
Karang, dan Ekosistem Hutan Mangrove
c. Zona Inti III seluas 570 ha meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan
bagian utara Pulau Bira Besar, pada posisi 5°36'00"-5°37'00" LS dan 106°33'36"-
106°36'42" BT, yang merupakan perlindungan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata), dan Ekosistem Terumbu Karang.
2. Zonasi Perlindungan
Zona Perlindungan Taman Nasional seluas 26.284,50 Ha adalah bagian kawasan taman
nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Zona Perlindungan
meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit,
dan Karang Mayang, pada posisi geografis5°24'00"-5°30'00" LS dan 106°25'00"-106°40'00"
BT, dan daratan Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur seluas 39,5 hektar.
3. Zonasi Pemanfaatan
Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional seluas 59.634,50 Ha adalah bagian kawasan
taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona Pemanfaatan
Wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang
Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar, dan Kotok Kecil, pada posisi
geografis 5°30'00"-5°38'00" LS dan 106°25'00"-106°40'00" BT, dan 5°38'00"-5°45'00" LS dan
106°25'00"-106°33'00" BT. Zona pemanfaatan dibagi menjadi 2 zona, yaitu :
a. Zona Pemanfaatan I sebagai ruang ekowisata atau wisata bahari
b. ZonaPemanfaatan II, sebagai zona masyarakat untuk mengambil ikan
4. Zonasi Pemukiman
Zona Pemukiman Taman Nasional seluas 17.121 Ha adalah bagian kawasan taman nasional
yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat. Zona
Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang,
Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang
Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang,
dan Pramuka, pada posisi geografis 5°38'00"-5°45'00" LS dan 106°33'00"-106°40'00" BT.
Salah satu gugusan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menjadi kawasan
konservasi dan rehabilitasi satwa endemik adalah Pulau Kotok Besar. Pulau Kotok Besar
merupakan kawasan rehabilitasi dan konservasi elang bondol yang akan menjadi pembahasan
pada penelitian ini. Elang bondol merupakan burung pemangsa dan pemakan bangkai. Habitat
terbaik untuk elang bondol adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan mangrove, muara
sungai, dan pesisir pantai. Burung ini juga dapat ditemukan di lahan basah seperti sawah dan
rawa. Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta.
Secara administratif, Pulau Kotok termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang,
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta. Selain terdapat sebuah resort pribadi, di pulau yang sama terdapat sebuah penangkaran
burung Elang Bondol yang merupakan maskot kota DKI Jakarta. Pulau Kotok Besar berada
pada titik koordinat 5˚42’20’’ LS - 106˚32’20’’ BT. Pulau Kotok besar memiliki luas wilayah
sekitar 21 hektar dan merupakan salah satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu di Laut
Jawa yang masuk kedalam wilayah pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
(TNKpS). Bentuk fisik P. Kotok adalah dataran rendah pantai yang dikelilingi perairan laut
dangkal, sebagian perairan pantai ditumbuhi terumbu. Secara geologi gugusan Kepulauan
Seribu, termasuk dalam kelompok pulau-pulau busur belakang sistem geotektonik Indonesia
barat (Katili 2008 diacu dalam Lubis dan Yosi 2012). Pulau kotok memiliki suhu rata-rata 26,5
˚-30˚C.
Vegetasi yang berada di Pulau Kotok Besar adalah hutan pantai. Jenis pohon yang terdapat
di pulau diantaranya adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia
cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), butun/keben (Barringtonia asiatica), kelapa
(Cocos nucifera), pandan laut (Pandanus sp), dan waru (Hibiscus tiliaceus). Sementara jenis
fauna yang terindetifikasi dikawasan ini adalah burung cekakak sungai (Todirhamphus
chloris), cangak abu (Ardea cinerea), gagak hutan (Corvus enca), elang bondol (Haliastur
indus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
dan biawak (Varanus salvator). Dalam penelitian ini, akan dibahas secara khusus mengenai
elang bondol dan keadaannya di kawasan rehabilitasi Pulau Kotok Besar.
Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta.
Penetapan elang bondol menjadi maskot kota Jakarta, bermula dari Keputusan Gubernur No.
1796 Tahun 1989. Gubernur Ali Sadikin menetapkan elang berwarna coklat dan berkepala
putih dengan posisi bertengger pada sebuah ranting sambil mencengkeram salak Condet
sebagai maskot Jakarta. Filosofi dipilihnya elang bondol karena burung tersebut salah satu jenis
burung yang dapat hidup lama, bahkan hingga 70 tahun. Selain itu, elang bondol termasuk
dalam jenis unggas yang tangguh dan pantang menyerah pada keadaan. Sehingga diharapkan
Jakarta dapat menjadi kota yang tangguh dan tetap mempertahankan eksistensinya.
Jumlah elang bondol di Pulau Kotok Besar saat ini sebanyak 25 ekor, elang laut perut
putih sebanyak 10 ekor, dan 1 ekor elang ikan kepala abu. Berdasarkan kriteria struktur umur,
semua elang bondol yang direhabilitasikan berusia dewasa. Data tersebut menunjukkan bahwa
jumlah elang bondol pada pusat rehabilitasi lebih banyak daripada elang laut perut putih dan
elang ikan kepala abu. Hal ini dikarenakan daya tarik elang bondol sebagai maskot Ibu Kota
yang sangat kental, anyaknya peminat elang bondol untuk dijadikan peliharaan dan untuk
diperjualbelikan di pusat-pusat perdagangan hewan di Jakarta, oleh karena itu populasi elang
bondol sangat lah menurun.
Saat ini di Pulau Kotok terdapat total 18 kandang konservasi termasuk satu kandang yang
berada di atas laut di pinggir pulau yang digunakan sebagai tempat terakhir sebelum elang ini
dilepasliarkan. Di kawasan ini, burung yang terkenal buas ini dirawat dengan baik. Perawatan
dilakukan hingga dirasa sudah saatnya bagi burung-burung tersebut untuk kembali ke habitat
aslinya. Perawatan dan pemeliharaan yang baik secara berkala untuk elang bondol di Pulau
Kotok mampu membantu pelestariannya.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab utama makin langkanya populasi
Elang Bondol , antara lain masih tingginya tingkat perburuan, penjualan dan pemeliharaan
secara illegal serta kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai penting keberadaan
Elang Bondol di alam terhadap ekosistem. Selain itu, dalam setahun elang bondol hanya
bertelur dua kali. Namun, belum tentu menetas dan bertahan. Itulah sebabnya hewan ini
menjadi langka dan terancam punah, faktor lain yang tak kalah penting adalah menyempitnya
habitat asli dari elang bondol tersebut akibat dari pesatnya pembangunan.
Peran penting elang bondol dalam ekologi adalah sebagai hewan pemakan bangkai,
tanaman mati, juga sampah di laut. Dengan kata lain, ia membantu memperkecil risiko
pencemaran lingkungan. Meski begitu, elang bondol dengan habitat dekat perairan seperti
hutan bakau, tepi pantai, pulau, dan sepanjang aliran sungai ini mengonsumsi aneka jenis ikan,
baik tawar maupun laut dengan menangkapnya dari atas permukaan air sebagai sumber
makanan utama. populasi hewan pemangsa pada umumnya memang tidak banyak. Bila
penurunan populasi dibiarkan terus, tak menutup kemungkinan elang bondol di Indonesia bisa
betul-betul punah dalam waktu dekat.
Elang yang ada di Pulau Kotok Besar ini merupakan penyerahan sukarela masyarakat,
pemindahan dari lembaga penyelamatan lain, hasil sitaan pemerintah dan hasil penyelamatan.
Elang-elang ini berasal dari daerah Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya. PPS yang paling banyak
memindahkan satwanya ke Pulau Kotok Besar adalah PPS Tegal Alur Jakarta. Hal ini bisa
dikarenakan PPS Tegal Alur berada di Jakarta sehingga apabila ada satwaliar yang akan
diperdagangkan disita oleh petugas di bandara maka akan diserahkan ke PPS Tegal Alur. Dari
PPS Tegal Alur kemudian disalurkan ke lembaga rehabilitasi atau penyelamatan lain.
Tidak sedikit Elang Bondol yang merupakan hasil sitaan dari perdagangan liar adalah
burung Elang yang cacat. Sebelum dibawa ke dalam pusat rehabilitasi, Elang Bondol akan
melalui pemeriksaan medis terlebih dahulu, dikhawatirkan Elang Bondol dicampur dengan
hewan lain di pasar burung dan terkena virus H5N1. Namun, tidak sedikit pula Elang Bondol
yang cacat ini pun tidak dapat dikembalikan ke alam karena kondisi dari Elang Bondol yang
disita sangat memprihatinkan.
Kandang rehabilitasi elang bondol menurut fungsinya dibagi menjadi empat bagian
yaitu kandang isolasi, sanctuary, sosialisasi, dan kandang pra-release (habituasi). Kandang
Isolasi berfungsi untuk menampung elang yang baru masuk dan sakit. Dikandang ini elang
diobservasi untuk mengetahui kesehatannya agar penyakit yang di derita tidak menular.
Kandang sanctuary diperuntukan bagi elang yang tidak dapat dilepasliarkan ke alam karena
ketidaksempurnaan fisiknya. Kandang sosialisasi berfungsi untuk menggabungkan beberapa
individu agar elang bondol dapat saling melakukan interaksi sosial dengan sesama jenisnya.
Kandang pra-release adalah kandang habituasi yang berfungsi untuk melatih kemampuan
berburu elang. Kandang ini dilengkapi dengan keramba apung dan terletak di laut, bagian atas
kandang ditutupin dengan daun kelapa. Di kandang pra-release elang bondol di amati
perilakunya selama 1 bulan sebelum ditentukan layak untuk dilepasliarkan. Menurut Standards
for Wildlife Rehabilitation in Western Australia, terdapat 3 tahapan kandang rehabilitasi bagi
raptor yaitu kandang perawatan intensif, kandang aklimatisasi dan kandang pra release
(Department of Parks and Wildlife 2015). Berdasarkan hal tersebut, kandang rehabilitasi di
pulau Kotok Besar sudah memenuhi kriteria tahapan kandang rehabilitasi.
Letak kandang rehabilitasi sudah sesuai dengan karakter elang bondol yang mudah
stress sehingga kandang berada dibagian belakang. Kandang rrehabilitas hanya boleh diakses
oleh keeper dan pengunjung dilarang masuk. Menurut Department of Parks and Wildlife,
(2015) letak kandang sebaiknya diminimalkan dari faktor penglihatan dan suara yang dapat
mengganggu elang bondol.
Secara umum perlakuan yang diberikan terhadap elang bondol oleh pengelola antara
lain pemeriksaan fisik, darah, penyakit yang derita elang serta pemangsangan mikrochip dan
gelang kaki, pemberian obat cacing, obat kutu, dan vitamin, pemberian pakan dan air, serta
pengecekan kesehatan. Pengelola memberikan perlakuan yang sama terhadap elang bondol
dikandang sanctuary, isolasi, sosialiasi dan pre-release. Elang bondol yang akan dilepasliarkan
harus memiliki perilaku seperti elang liar. Ciri satwa berperilaku alami yaitu menunjukan
perilaku mencari makan yang sesuai (kemampuan untuk mengenali, mengetahui sumber, dan
mengambil pakan), menunjukan perilaku normal, sertadapat menghindari predator. Perlakuan
yang dilakukan pengelola untuk memulihkan sifat alami elang bondol agar mampu
dilepasliarkan yaitu :
1. Peningkatan kemampuan berburu
Perlakuan terhadap kemampuan terbang elang bondol dilakukan dengan cara pengaturan
ketinggian dan jarak tempat bertengger yang disesuaikan dengan tahapan kandang rehabilitasi.
Pengaturan ketinggian dan jarak antar tenggeran untuk melatih kemampuan terbang didalam
kandang rehabilitasi. Kemampuan terbang pada burung pemangsa sangat penting untuk
mendukung aktifitasnya saat dilepasliarkan ke habitat alaminya.
3. Pembatasan interaksi dengan manusia
Pembatasan interaksi dengan manusia bertujuan agar elang mampu hidup mandiri dan
berperilaku alami. Salah satu ciri elang mampu berperilaku alami yaitu menghindari manusia.
Cara yang dilakukan pengelola untuk membatasi interaksi dengan elang yaitu melakukan
aktivitas di area kandang saat malam hari. Hal ini dilakukan agar elang tidak terbiasa melihat
keeper saat membersihkan kandang dan memberikan makan. Selain itu pembatasan interaksi
dengan manusia dilakukan dengan cara melarang mengunjung yang datang ke pulau Kotok
Besar untuk mendekati kandang rehabilitasi.
Pelaksanaan proses rehabilitasi elang ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu:
Elang yang sudah dilepaskan tidak bisa langsung dibiarkan bebas tanpa ada
campurtangan manusia tetapi harus dipantau minimal satu minggu untuk memastikan
keberadaannya. Pengamatan setelah pelepasliarkan dilakukan hingga elang bisa mencari
makan sendiri dan tidak menganggu manusia. Dan apabila elang dianggap sudah mampu
berperilaku normal dan tidak menganggu manusia maka elang dapat dibiarkan bebas tanpa ada
campur tangan manusia lagi Pelepasliaran satwa ke alam bukanlah proses yang mudah.
Pelepasliaran ke habitat alaminya membutuhkan berbagai pertimbangan untuk meminimalkan
kegagalan dalam proses pelepasliaran.
Lokasi pelepasliaran elang bondol di Kepulauan Seribu antara lain Pulau Kotok Besar,
Belanda, Penjaliran Timur, Karang Beras, Air, Renggit, Karya, Penjaliran Barat, dan Harapan.
Pulau tersebut merupakan pulau yang tidak berpenghuni, pulau pemukiman dan resort wisata.
Menurut Fredriksson (2005) lokasi pelepasliaran harus memiliki daya dukung yang baik dari
segi ketersediaan makanan dan aktifitas manusia yang rendah. Selain itu habitat yang dipilih
merupakan kawasan dilindungi sehingga kepunahan elang dapat dicegah (IUCN 2013).