Anda di halaman 1dari 14

KONSERVASI DAN REHABILITASI ELANG BONDOL MASKOT IBU KOTA

DI PULAU KOTOK BESAR KEPULAUAN SERIBU

Desinta Ramadhani Putri1 , Ninda Ainin Alifio1 , Ode Sofyan Hardi2

1) Mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Jakarta


2) Dosen Prodi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Jakarta

desintaramadhaniputri@gmail.com, nindaaalf03@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk memberikan informasi tentang konservasi dan
rehabilitasi elang bondol dan elang laut di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Konservasi dan rehabilitasi elang bondol dan elang laut ini merupakan hasil penyitaan yang
dilakukan pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Jakarta
Anima Aid Network (JAAN), penyitaan tersebut dilakukan karena pemelihara tidak memiliki
izin penangkaran dan pemelihara memelihara elang tersebut dengan cara menyakitinya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif Analistik, yaitu
mengkaji suatu fenomena dengan menggambarkan data-data konservasi dan rehabilitasi elang
bondol dan elang laut melalui pengamatan dan kajian bersama Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKpS) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan berdasarkan artikel-
artikel nasional. Di kawasan ini, burung yang terkenal buas ini dirawat dengan baik dan
ditempatkan sesuai dengan tahapan rehabilitasi. Bagi elang yang telah lulus uji kesehatan dan
karantina, akan dikembalikan ke alam bebas. Tetapi sebagian elang yang di rehabilitasi di
kawasan ini mengalami cacat pada anggota tubuhnya, sehingga tidak dapat dilepaskan ke alam
bebas dan hanya akan berada di penangkaran sepanjang hidupnya.
Kata kunci : Konservasi, rehabilitasi, elang bondol, TNKpS
PENDAHULUAN
Konservasi adalah pengelolaan biosfer secara aktif yang bertujuan untuk menjaga
kelangsungan keanekaragaman spesies maksimum dan pemeliharaan keanekaragaman genetik
di dalam suatu spesies, termasuk juga pemeliharaan fungsi biosfer seperti fungsi ekosistem dan
siklus nutrisi (Allaby, 2010). Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dapat dilakukan melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga hal tersebut
telah menjadi prinsip dan acuan dalam pengelolaan konservasi di Indonesia.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai sebelas pulau-pulau kecil
berpenghuni dan juga pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata dan konservasi. Di kabupaten
ini terdapat sebuah zona konservasi berupa taman nasional laut bernama Taman Nasional
Kepulauan Seribu (TNKpS), yang merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkann
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-II 2002 tanggal 13 Juni
2002 dikarenakan memiliki sejumlah keanekaragaman hayati baik yang dilindungi maupun
tidak dilindungi serta beberapa ekosistem pendukung yang penting (Balai TNKpS, 2015).

Salah satu gugusan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menjadi kawasan
konservasi dan rehabilitasi satwa endemik adalah Pulau Kotok Besar. Pulau Kotok Besar
merupakan kawasan rehabilitasi dan konservasi elang bondol yang akan menjadi pembahasan
pada penelitian ini. Elang bondol merupakan burung pemangsa dan pemakan bangkai. Habitat
terbaik untuk elang bondol adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan mangrove, muara
sungai, dan pesisir pantai. Burung ini juga dapat ditemukan di lahan basah seperti sawah dan
rawa (Ria Tan, 2001). Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai
maskot kota Jakarta.

Saat ini keberadaan elang bondol terancam punah. Populasi maskot ibu kota ini semakin
langka di Indonesia, bahkan di Jakarta dan Kepulauan Seribu sudah semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data dari Lembaga pemerhati satwa liar Jakarta Animal Aid Jakarta (JAAN)
menunjukkan populasi Elang Bondol di Kepulaun Seribu dan Jakarta saat ini tidak lebih dari
25 ekor. Sementara menurut penelitian PENGELOLAAN PERAWATAN, REHABILITASI, DAN
PENILAIAN KESEJAHTERAAN ELANG DI PULAU KOTOK BESAR, JAKARTA oleh Kartika
Nurul Rachmania (2015) jumlah elang bondol di pusat rehabilitasi Pulau Kotok Besar saat ini
sebanyak 24 ekor. Oleh karena itu, TNKpS didukung oleh Pertamina mendirikan kawasan
konservasi dan rehabilitasi elang bondol di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Yang membedakan penelitian kami dengan penelitian sebelumnya adalah sumber data
terbarukan, baik dari segi populasi elang bondol yang tengah di konservasi hingga kondisi
tempat konservasi dan rehabilitasi di pulau kotok besar. Dalam penelitian ini, kami lebih
memfokuskan kepada pembahasan khusus elang bondol yang berada di kawasan rehabilitasi
pulau kotok besar.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah

1. Pemenuhan tugas matakuliah biogeografi


2. Mengidentifikasi dan mengkaji pengelolaan perawatan elang
3. Mengidentifikasi dan mengkaji rehabilitasi yang dilakukan terhadap satwa tangkapan,
baik hasil sitaan, penyerahan sukarela oleh masyarakat, atau penyelamatan dari alam
termasuk satwa yang lahir di kandang, serta tahap perlakuan selanjutnya terhadap elang
4. Mengidentifikasi dan mengkaji pelepasliaran dan pasca pelepasliaran elang bondol

Metode Penelitian
Metode

Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analistik yaitu mengkaji suatu


fenomena dengan menggambarkan data-data pengelolaan dan konservasi flora dan fauna Pulau
Pramuka dan Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Metode deskriptif disini
bertujuan untuk menggambarkan pengelolaan dari konservasi yang dilakukan oleh Taman
Konservasi Kepulauan Seribu di Pulau Pramuka dan Pulau Kotok besar, dan menemukan
kesimpulan yang bersifat umum.
Pengumpulan Data

Materi dalam laporan praktikum ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan kajian bersama Taman Nasional Kepulauan
Seribu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Sedangkan data sekunder berupa
artikel-artikel yang diperoleh dari artikel Cendekiawan
Objek Kajian

Pada kegiatan ini kami mengkaji flora dan fauna di pulau pramuka dengan mendatangi
TNKpS (Taman Nasional Kepulauan Seribu) yang merupakan tempat konservasi dari penyu
sisik, padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove. Sedangkan pada pulau kotok besar
objek yang dijadikan kajian adalah elang laut dan elang bondol.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini diperoleh pada tanggal 07 Desember 2018 hingga 09 Desember 2018
berlokasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepulauan seribu merupakan salah satu gugusan kepulauan dengan pulau-pulau sangat
kecil. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai sebelas pulau-pulau kecil
berpenghuni dan juga pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata dan konservasi.
Kawasan konservasi sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam yang
tujuan utamanya agar dapat dicapai kesejahteraan bagi masyarakat dengan tetap
mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan. Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang termasuk dalam ketegori kawasan yang
dilindungi. TNKpS sejak tahun 2002 ditetapkan sebagai salah satu taman nasional laut, secara
yuridis terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta telah
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat ditinjau dari segi sosial, ekonomi, budaya dan manfaat
fisik. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam yang
mempunyai ekosistem asli. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) mengelola taman
nasional dengan sistem 4 zonasi, yaitu :

1. Zonasi Inti
Zona Inti Taman Nasional adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi
dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, memiliki luas
sekitar 4.449 Ha. Zona Inti diklasifikasi menjadi 3 zona, yaitu :
a. Zona Inti I seluas 1.389 ha meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang
Rengat pada posisi geografis 5°27'00" - 5°29'00" LS dan 106°26'00" – 106°28'00" BT,
yang merupakan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), dan Ekosistem
Terumbu Karang
b. Zona Inti II seluas 2.490 ha meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran
Timur, dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong
Penjaliran, pada posisi 5°26'36" - 5°29'00" LS dan106°32'00" - 106°36'00" BT, yang
merupakan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Ekosistem Terumbu
Karang, dan Ekosistem Hutan Mangrove
c. Zona Inti III seluas 570 ha meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan
bagian utara Pulau Bira Besar, pada posisi 5°36'00"-5°37'00" LS dan 106°33'36"-
106°36'42" BT, yang merupakan perlindungan perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata), dan Ekosistem Terumbu Karang.

2. Zonasi Perlindungan
Zona Perlindungan Taman Nasional seluas 26.284,50 Ha adalah bagian kawasan taman
nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Zona Perlindungan
meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit,
dan Karang Mayang, pada posisi geografis5°24'00"-5°30'00" LS dan 106°25'00"-106°40'00"
BT, dan daratan Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur seluas 39,5 hektar.
3. Zonasi Pemanfaatan
Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional seluas 59.634,50 Ha adalah bagian kawasan
taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona Pemanfaatan
Wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang
Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar, dan Kotok Kecil, pada posisi
geografis 5°30'00"-5°38'00" LS dan 106°25'00"-106°40'00" BT, dan 5°38'00"-5°45'00" LS dan
106°25'00"-106°33'00" BT. Zona pemanfaatan dibagi menjadi 2 zona, yaitu :
a. Zona Pemanfaatan I sebagai ruang ekowisata atau wisata bahari
b. ZonaPemanfaatan II, sebagai zona masyarakat untuk mengambil ikan

4. Zonasi Pemukiman
Zona Pemukiman Taman Nasional seluas 17.121 Ha adalah bagian kawasan taman nasional
yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat. Zona
Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang,
Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang
Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang,
dan Pramuka, pada posisi geografis 5°38'00"-5°45'00" LS dan 106°33'00"-106°40'00" BT.

Taman Nasional Kepulauan Seribu memiliki 10 target konservasi ekosistem asli


diantaranya terdapat 4 ekosistem pantai dan 6 biota laut , yaitu ; Ekosistem hutan pantai,e
kosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang, burung air, penyu, mamalia
laut, moluska, ikan karang dan ikan ekonomis dan elang.

Salah satu gugusan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menjadi kawasan
konservasi dan rehabilitasi satwa endemik adalah Pulau Kotok Besar. Pulau Kotok Besar
merupakan kawasan rehabilitasi dan konservasi elang bondol yang akan menjadi pembahasan
pada penelitian ini. Elang bondol merupakan burung pemangsa dan pemakan bangkai. Habitat
terbaik untuk elang bondol adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan mangrove, muara
sungai, dan pesisir pantai. Burung ini juga dapat ditemukan di lahan basah seperti sawah dan
rawa. Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta.
Secara administratif, Pulau Kotok termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang,
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta. Selain terdapat sebuah resort pribadi, di pulau yang sama terdapat sebuah penangkaran
burung Elang Bondol yang merupakan maskot kota DKI Jakarta. Pulau Kotok Besar berada
pada titik koordinat 5˚42’20’’ LS - 106˚32’20’’ BT. Pulau Kotok besar memiliki luas wilayah
sekitar 21 hektar dan merupakan salah satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu di Laut
Jawa yang masuk kedalam wilayah pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
(TNKpS). Bentuk fisik P. Kotok adalah dataran rendah pantai yang dikelilingi perairan laut
dangkal, sebagian perairan pantai ditumbuhi terumbu. Secara geologi gugusan Kepulauan
Seribu, termasuk dalam kelompok pulau-pulau busur belakang sistem geotektonik Indonesia
barat (Katili 2008 diacu dalam Lubis dan Yosi 2012). Pulau kotok memiliki suhu rata-rata 26,5
˚-30˚C.

Vegetasi yang berada di Pulau Kotok Besar adalah hutan pantai. Jenis pohon yang terdapat
di pulau diantaranya adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia
cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), butun/keben (Barringtonia asiatica), kelapa
(Cocos nucifera), pandan laut (Pandanus sp), dan waru (Hibiscus tiliaceus). Sementara jenis
fauna yang terindetifikasi dikawasan ini adalah burung cekakak sungai (Todirhamphus
chloris), cangak abu (Ardea cinerea), gagak hutan (Corvus enca), elang bondol (Haliastur
indus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
dan biawak (Varanus salvator). Dalam penelitian ini, akan dibahas secara khusus mengenai
elang bondol dan keadaannya di kawasan rehabilitasi Pulau Kotok Besar.

Elang bondol (Haliastur indus)


Elang bondol (Haliastur indus) adalah spesies burung pemangsa dari famili
Accipitridae. Habitat elang bondol adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan
mangrove, muara sungai, dan pesisir pantai.. Elang bondol membuat sarang di pohon-pohon
yang tinggi. Sarang-sarang diletakkan di daerah dekat dengan ujung agar terlindung dari
mamalia atau hewan lain yang dapat memakan telur atau anaknya. Elang bondol dapat
ditemukan di India, Cina selatan, Asia tenggara, Indonesia, Australia.Di Indonesia, penyebaran
nya ada di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua.
Sedangkan di India, dapat ditemukan di daerah pedalaman. Elang Bondol memiliki ukuran
sedang dengan panjang tubuh mencapai 45 cm, berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol
remaja memiliki warna bulu seluruh tubuh kecoklatan. Elang bondol biasanya hidup soliter
(sendiri), tetapi di daerah yang makanannya melimpah dapat membentuk kelompok sampai 35
ekor. Burung ini memakan buruan kecil seperti ikan, kepiting, kerang, katak, pengerat, reptil,
dan bahkan serangga. Elang bondol mencari makan di atas daratan maupun di atas permukaan
air, burung ini terbang melayang di ketinggian 20 - 50 meter di atas permukaan. Elang bondol
juga memakan bangkai dari sisa-sisa makanan dan sampah sehingga burung ini cukup umum
ditemukan di sekitar pelabuhan dan pesisir tempat pengolahan ikan.

Pada tahun 1989, elang bondol dan salak condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta.
Penetapan elang bondol menjadi maskot kota Jakarta, bermula dari Keputusan Gubernur No.
1796 Tahun 1989. Gubernur Ali Sadikin menetapkan elang berwarna coklat dan berkepala
putih dengan posisi bertengger pada sebuah ranting sambil mencengkeram salak Condet
sebagai maskot Jakarta. Filosofi dipilihnya elang bondol karena burung tersebut salah satu jenis
burung yang dapat hidup lama, bahkan hingga 70 tahun. Selain itu, elang bondol termasuk
dalam jenis unggas yang tangguh dan pantang menyerah pada keadaan. Sehingga diharapkan
Jakarta dapat menjadi kota yang tangguh dan tetap mempertahankan eksistensinya.

Populasi dan keadaan elang bondol di Pulau Kotok


Elang bondol yang diserahkan ke pusat rehabilitasi pada umumnya mengalami
perubahan perilaku alami dan kondisi kesehatan yang tidak baik. Hal ini disebabkan elang
bondol yang dipelihara manusia diperlakukan tidak baik, seperti kondisi kandang yang tidak
layak dan pemberian pakan yang tidak sesuai.Menurut Castellanos (2005) menyatakan satwa
yang berada dalam kurungan akan mengalami perubahan perilaku menjadi jinak dan
kehilangan ketakutan terhadap manusia

Jumlah elang bondol di Pulau Kotok Besar saat ini sebanyak 25 ekor, elang laut perut
putih sebanyak 10 ekor, dan 1 ekor elang ikan kepala abu. Berdasarkan kriteria struktur umur,
semua elang bondol yang direhabilitasikan berusia dewasa. Data tersebut menunjukkan bahwa
jumlah elang bondol pada pusat rehabilitasi lebih banyak daripada elang laut perut putih dan
elang ikan kepala abu. Hal ini dikarenakan daya tarik elang bondol sebagai maskot Ibu Kota
yang sangat kental, anyaknya peminat elang bondol untuk dijadikan peliharaan dan untuk
diperjualbelikan di pusat-pusat perdagangan hewan di Jakarta, oleh karena itu populasi elang
bondol sangat lah menurun.
Saat ini di Pulau Kotok terdapat total 18 kandang konservasi termasuk satu kandang yang
berada di atas laut di pinggir pulau yang digunakan sebagai tempat terakhir sebelum elang ini
dilepasliarkan. Di kawasan ini, burung yang terkenal buas ini dirawat dengan baik. Perawatan
dilakukan hingga dirasa sudah saatnya bagi burung-burung tersebut untuk kembali ke habitat
aslinya. Perawatan dan pemeliharaan yang baik secara berkala untuk elang bondol di Pulau
Kotok mampu membantu pelestariannya.

Keadaan dan penyebab elang bondol hampir punah


Langka dan hampir punah merupakan kata yang melekat erat ketika berbicara tentang
Elang Bondol. Hal tersebut pula yang mendorong Elang dari jenis apapun termasuk Elang
Bondol untuk dilindungi secara aktif oleh Pemerintah. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU Konservasi“) serta
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 (“PP No. 7/1999“) tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa adalah produk hukum sebagai upaya Pemerintah untuk mencegah secara
preventif maupun kuratif kepunahan dari Elang Bondol. Dalam Lampiran PP No. 7/1999
disebutkan semua famili Elang menjadi salah satu hewan yang dilindungi dari kepunahan.
IUCN menetapkan status elang bondol masih dalam kategori LC (least concern/risiko rendah).

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab utama makin langkanya populasi
Elang Bondol , antara lain masih tingginya tingkat perburuan, penjualan dan pemeliharaan
secara illegal serta kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai penting keberadaan
Elang Bondol di alam terhadap ekosistem. Selain itu, dalam setahun elang bondol hanya
bertelur dua kali. Namun, belum tentu menetas dan bertahan. Itulah sebabnya hewan ini
menjadi langka dan terancam punah, faktor lain yang tak kalah penting adalah menyempitnya
habitat asli dari elang bondol tersebut akibat dari pesatnya pembangunan.

Peran penting elang bondol dalam ekologi adalah sebagai hewan pemakan bangkai,
tanaman mati, juga sampah di laut. Dengan kata lain, ia membantu memperkecil risiko
pencemaran lingkungan. Meski begitu, elang bondol dengan habitat dekat perairan seperti
hutan bakau, tepi pantai, pulau, dan sepanjang aliran sungai ini mengonsumsi aneka jenis ikan,
baik tawar maupun laut dengan menangkapnya dari atas permukaan air sebagai sumber
makanan utama. populasi hewan pemangsa pada umumnya memang tidak banyak. Bila
penurunan populasi dibiarkan terus, tak menutup kemungkinan elang bondol di Indonesia bisa
betul-betul punah dalam waktu dekat.

Asal elang bondol di pulau kotok besar

Elang yang ada di Pulau Kotok Besar ini merupakan penyerahan sukarela masyarakat,
pemindahan dari lembaga penyelamatan lain, hasil sitaan pemerintah dan hasil penyelamatan.
Elang-elang ini berasal dari daerah Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya. PPS yang paling banyak
memindahkan satwanya ke Pulau Kotok Besar adalah PPS Tegal Alur Jakarta. Hal ini bisa
dikarenakan PPS Tegal Alur berada di Jakarta sehingga apabila ada satwaliar yang akan
diperdagangkan disita oleh petugas di bandara maka akan diserahkan ke PPS Tegal Alur. Dari
PPS Tegal Alur kemudian disalurkan ke lembaga rehabilitasi atau penyelamatan lain.

Tidak sedikit Elang Bondol yang merupakan hasil sitaan dari perdagangan liar adalah
burung Elang yang cacat. Sebelum dibawa ke dalam pusat rehabilitasi, Elang Bondol akan
melalui pemeriksaan medis terlebih dahulu, dikhawatirkan Elang Bondol dicampur dengan
hewan lain di pasar burung dan terkena virus H5N1. Namun, tidak sedikit pula Elang Bondol
yang cacat ini pun tidak dapat dikembalikan ke alam karena kondisi dari Elang Bondol yang
disita sangat memprihatinkan.

Pengelolaan konservasi dan rehabilitasi elang bondol


Luas dari pulau kotok besar mencapai 21 hektar dan diantaranya 2-3 hektar dipergunakan
untuk kegiatan konservasi elang. Program rehabilitasi elang bondol dan elang-laut perut-putih
berlangsung sejak tahun 2004. Saat itu, pengelolaan program dikelola oleh PPS Tegal Alur
bekerjasama dengan pemerintah. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS)
mengadakan perjanjian kerjasama kemitraan dengan Jakarta Animal Aid Network (JAAN)
dalam hal Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Kepulauan Seribu pada
tanggal 28 Agustus 2008 (Jakarta Animal Aid Network 2014). Sampai saat ini pengelolaan
program rehabilitasi elang dilakukan dibawah JAAN bekerjasama dengan TNKpS.
Elang bondol sedang menjalani proses rehabilitasi paling lama adalah tujuh tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak mudah mengembalikan insting alami dari elang yang pernah
dipelihara manusia. Menurut Dijk (2005) menyatakan bahwa faktor waktu merupakan salah
satu faktor yang penting untuk diperhatikan dalam program rehabilitasi. Jika elang bondol
terlalu lama berada di pusat rehabilitasi dikhawatirkan sifat alaminya hilang karena sering
terjadi kontak dengan manusia. Elang bondol sebaiknya tidak terlalu lama berada di pusat
rehabilitasi, namun untuk melatih perilaku alami untuk memiliki kemampuan bertahan hidup
dialam diperlukan waktu yang cukup lama. Selain itu semakin lama direhabilitasi maka biaya
yang dikeluarkan juga semakin besar.

Desain kandang harus mempertimbangkan faktor lingkungan seperti cahaya, suhu,


sirkulasi udara, jenis satwa yang direhabilitasi dan perawatan kandang.Kandang rehabilitasi
dibuat dengan sistem semi terbuka yaitu bagian atap dan dinding menggunakan jaring nylon
sehingga cahaya matahari, udara dan lingkungan sekitar kandang dapat diakses oleh elang
bondol. Kandang semi terbuka berfungsi untuk melatih elang bondol menyesuaikan terhadap
iklim dan mengenalkan lingkungan sekitar sehingga saat dilepasliarkan mampu bertahan di
alam.

Kandang rehabilitasi elang bondol menurut fungsinya dibagi menjadi empat bagian
yaitu kandang isolasi, sanctuary, sosialisasi, dan kandang pra-release (habituasi). Kandang
Isolasi berfungsi untuk menampung elang yang baru masuk dan sakit. Dikandang ini elang
diobservasi untuk mengetahui kesehatannya agar penyakit yang di derita tidak menular.
Kandang sanctuary diperuntukan bagi elang yang tidak dapat dilepasliarkan ke alam karena
ketidaksempurnaan fisiknya. Kandang sosialisasi berfungsi untuk menggabungkan beberapa
individu agar elang bondol dapat saling melakukan interaksi sosial dengan sesama jenisnya.
Kandang pra-release adalah kandang habituasi yang berfungsi untuk melatih kemampuan
berburu elang. Kandang ini dilengkapi dengan keramba apung dan terletak di laut, bagian atas
kandang ditutupin dengan daun kelapa. Di kandang pra-release elang bondol di amati
perilakunya selama 1 bulan sebelum ditentukan layak untuk dilepasliarkan. Menurut Standards
for Wildlife Rehabilitation in Western Australia, terdapat 3 tahapan kandang rehabilitasi bagi
raptor yaitu kandang perawatan intensif, kandang aklimatisasi dan kandang pra release
(Department of Parks and Wildlife 2015). Berdasarkan hal tersebut, kandang rehabilitasi di
pulau Kotok Besar sudah memenuhi kriteria tahapan kandang rehabilitasi.

Letak kandang rehabilitasi sudah sesuai dengan karakter elang bondol yang mudah
stress sehingga kandang berada dibagian belakang. Kandang rrehabilitas hanya boleh diakses
oleh keeper dan pengunjung dilarang masuk. Menurut Department of Parks and Wildlife,
(2015) letak kandang sebaiknya diminimalkan dari faktor penglihatan dan suara yang dapat
mengganggu elang bondol.

Secara umum perlakuan yang diberikan terhadap elang bondol oleh pengelola antara
lain pemeriksaan fisik, darah, penyakit yang derita elang serta pemangsangan mikrochip dan
gelang kaki, pemberian obat cacing, obat kutu, dan vitamin, pemberian pakan dan air, serta
pengecekan kesehatan. Pengelola memberikan perlakuan yang sama terhadap elang bondol
dikandang sanctuary, isolasi, sosialiasi dan pre-release. Elang bondol yang akan dilepasliarkan
harus memiliki perilaku seperti elang liar. Ciri satwa berperilaku alami yaitu menunjukan
perilaku mencari makan yang sesuai (kemampuan untuk mengenali, mengetahui sumber, dan
mengambil pakan), menunjukan perilaku normal, sertadapat menghindari predator. Perlakuan
yang dilakukan pengelola untuk memulihkan sifat alami elang bondol agar mampu
dilepasliarkan yaitu :
1. Peningkatan kemampuan berburu

Untuk meningkatkan kemampuan berburu pengelola memberikan perlakuan berupa


pemberian pakan alami dan pengaturan ketinggian volume air. Pakan yang diberikan selama
menjalani masa rehabilitasi berupa ikan. Pemberian ikan merupakan salah satu cara untuk
mengembalikan jenis pakan elang bondol ke bentuk alaminya. Elang yang pernah dipelihara
manusia sebelumnya tidak terbiasa diberikan pakan ikan hidup, maka pengelola memberikan
tahapan pemberian pakan ikan dengan cara dicacah terlebih dahulu, pemberian ikan yang mati
dan tahap terakhir adalah pemberian ikan hidup. Pemberian ikan hidup bertujuan agar elang
bondol memiliki kemampuan berburu saat dilepasliarkan kehabitat alaminya. Pemberian ikan
hidup berguna untuk meningkatkan kemampuan berburu elang dan hampir semua spesies
predator bereaksi terhadap mangsa yang masih hidup
2. Peningkatan kemampuan terbang

Perlakuan terhadap kemampuan terbang elang bondol dilakukan dengan cara pengaturan
ketinggian dan jarak tempat bertengger yang disesuaikan dengan tahapan kandang rehabilitasi.
Pengaturan ketinggian dan jarak antar tenggeran untuk melatih kemampuan terbang didalam
kandang rehabilitasi. Kemampuan terbang pada burung pemangsa sangat penting untuk
mendukung aktifitasnya saat dilepasliarkan ke habitat alaminya.
3. Pembatasan interaksi dengan manusia

Pembatasan interaksi dengan manusia bertujuan agar elang mampu hidup mandiri dan
berperilaku alami. Salah satu ciri elang mampu berperilaku alami yaitu menghindari manusia.
Cara yang dilakukan pengelola untuk membatasi interaksi dengan elang yaitu melakukan
aktivitas di area kandang saat malam hari. Hal ini dilakukan agar elang tidak terbiasa melihat
keeper saat membersihkan kandang dan memberikan makan. Selain itu pembatasan interaksi
dengan manusia dilakukan dengan cara melarang mengunjung yang datang ke pulau Kotok
Besar untuk mendekati kandang rehabilitasi.
Pelaksanaan proses rehabilitasi elang ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu:

Pelepasliaran elang bondol ke alam


Pelepasliaran elang bondol menggunakan metode soft release. Pelepasliaran elang bondol
pertama kali dilakukan pada tahun 2006. Elang-elang yang telah sehat fisik dan perilakunya
maka akan dipersiapkan untuk dilepasliarkan kembali ke alam. Setelah elang mengalami masa
rehabilitasi maka elang sudah bisa untuk dilepaskan ke habitat alaminya. Sebelum melakukan
pelepasliaran, tim melakukan survey untuk tempat pelepasliaran. Elang akan dilepasliarkan ke
tempat asalnya atau ke tempat lain yang sesuai untuk habitatnya. Kriteria pulau yang cocok
untuk dijadikan lokasi pelepasliaran elang bondol dan elang-laut perut-putih adalah pulau yang
memiliki pohon tinggi disekitarnya untuk bertengger dan bersarang bagi elang, pulau tidak
berpenghuni dan karang yang masih baik untuk menjaga ketersediaan pakan.

Elang yang sudah dilepaskan tidak bisa langsung dibiarkan bebas tanpa ada
campurtangan manusia tetapi harus dipantau minimal satu minggu untuk memastikan
keberadaannya. Pengamatan setelah pelepasliarkan dilakukan hingga elang bisa mencari
makan sendiri dan tidak menganggu manusia. Dan apabila elang dianggap sudah mampu
berperilaku normal dan tidak menganggu manusia maka elang dapat dibiarkan bebas tanpa ada
campur tangan manusia lagi Pelepasliaran satwa ke alam bukanlah proses yang mudah.
Pelepasliaran ke habitat alaminya membutuhkan berbagai pertimbangan untuk meminimalkan
kegagalan dalam proses pelepasliaran.

Lokasi pelepasliaran elang bondol di Kepulauan Seribu antara lain Pulau Kotok Besar,
Belanda, Penjaliran Timur, Karang Beras, Air, Renggit, Karya, Penjaliran Barat, dan Harapan.
Pulau tersebut merupakan pulau yang tidak berpenghuni, pulau pemukiman dan resort wisata.
Menurut Fredriksson (2005) lokasi pelepasliaran harus memiliki daya dukung yang baik dari
segi ketersediaan makanan dan aktifitas manusia yang rendah. Selain itu habitat yang dipilih
merupakan kawasan dilindungi sehingga kepunahan elang dapat dicegah (IUCN 2013).

Kegiatan pasca pelepasliaran Elang bondol


Kesuksesan dari kegiatan pasca pelepasliaran dapat terlihat dari individu yang
dilepasliarkan tetap berada dilokasi pelepasliaran. Permasalahan dalam kegiatan pasca
pelepasliaran, JAAN tidak melakukan kegiatan monitoring dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh IUCN (1998), monitoring pasca pelepasliaran hanya dilakukan selama 1
minggu untuk mengetahui tingkat adaptasi elang bondol dihabitat alaminya. Namun menurut
petugas, kini setiap elang yang berasal dari pulau kotok besar telah dipasangkan chip untuk
memudahkan dalam memonitori elang tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan pelepasliaran
elang bondol di TNKpS, JAAN harus melakukan monitoring pasca pelepasliaran sesuai dengan
prosedur IUCN (1998) yaitu monitoring dilakukan secara intensive minimal selama 4 bulan
untuk mengetahui home range dan perilakunya. Selanjutnya kegiatan monitoring dilakukan
secara berkala hingga 2 tahun untuk mengetahui tingkat adaptasinya. Agar kegiatan monitoring
dapat terlaksana, JAAN harus melakukan koordinasi dengan pihak terkait (Balai TNKpS,
PEMDA Kepulauan Seribu dan perusahaan swasta di Kepulauan Seribu). Kegiatan monitoring
pasca pelepasliaran harus dilakukan oleh JAAN untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pelepasliaran elang bondol.
KESIMPULAN
Saat ini, eksistensi elang bondol di habitat aslinya sangatlah sedikit bahkan terancam
punah, oleh karena itu BKSDA bekerjasama dengan JAAN dan Pertamina mendirikan pusat
rehabilitasi elang bondol di Pulau Kotok Besar. Elang Bondol yang berada di pulau ini
merupakan hasil sitaan dari perdagangan liar dan pemeliharaan yang keras tanpa memiliki izin
pemeliharaan. Jumlah elang bondol di Pulau Kotok Besar saat ini sebanyak 25 ekor, elang laut
perut putih sebanyak 10 ekor, dan 1 ekor elang ikan kepala abu. Berdasarkan kriteria struktur
umur, semua elang bondol yang direhabilitasikan berusia dewasa. Di pulau ini elang bondol
menjalani pemeriksaan fisik, darah, penyakit yang derita elang serta pemangsangan mikrochip
dan gelang kaki, pemberian obat cacing, obat kutu, dan vitamin, pemberian pakan dan air, serta
pengecekan kesehatan. Pulau Kotok memiliki total 18 kandang konservasi termasuk satu
kandang yang berada di atas laut di pinggir pulau yang digunakan sebagai tempat terakhir
sebelum elang ini dilepasliarkan.
Pelepasliaran elang bondol menggunakan metode soft release. Elang-elang yang telah
sehat fisik dan perilakunya maka akan dipersiapkan untuk dilepasliarkan kembali ke alam.
Sebelum melakukan pelepasliaran, tim melakukan survey untuk tempat pelepasliaran. Elang
akan dilepasliarkan ke tempat asalnya atau ke tempat lain yang sesuai untuk habitatnya. Elang
yang sudah dilepaskan tidak bisa langsung dibiarkan bebas tanpa ada campurtangan manusia
tetapi harus dipantau minimal satu minggu untuk memastikan keberadaannya. Pengamatan
setelah pelepasliarkan dilakukan hingga elang bisa mencari makan sendiri dan tidak
menganggu manusia. Kegiatan monitoring pasca pelepasliaran harus dilakukan oleh JAAN
untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelepasliaran elang bondol.
Daftar Pustaka
[JAAN] Jakarta Animal Aid Network. 2006. Laporan program pelepasan elang bondol
(Haliastur indus) di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta (ID): JAAN
[JAAN] Jakarta Animal Aid Network. 2009. Laporan perkembangbiakan elang bondol di Pulau
Kotok Besar. Jakarta (ID): JAAN
[PHKA] Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam .201. Peraturan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Nomor P.6/IV-SET/2011 Tentang Pedoman
Penilaian Lembaga Konservasi Jakarta (ID): Kementerian lingkungan hidup dan
kehutanan.
___. 2018. Kuisioner Biogeografi Fieldtrip Angkatan 2017. Universitas Negeri Jakarta
___. 2018. Kuisioner Osenografi Fieldtrip Angkatan 2017. Universitas Negeri Jakarta
Afianto MY. 1999. Studi aspek ekologi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann 1924) di
Gunung Salak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Berkleman J, Fraser JD, Watson RT. 2002. Nesting and perching habitat use of the Madagascar
fish eagle. Journal of Raptor Research. 36(4): 287-293
Cahyono MA. 2001. Status kesehatan elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan beberapa spesies
elang lain di penangkaran [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gunawan, Purwanto AA, Khaleghizadeh A. 2015.The White-Bellied Sea Eagle at Kepulauan
Seribu National Park, Java, Indonesia. .Raptors Conservation.30: 104-112.
Kartika NR. 2015. Pengelolaan perawatan, rehabilitasi, dan penilaian kesejahteraan elang di
pulau kotok besar, jakarta [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Lubis A, Yosi M. 2012. Kondisi Meteorologi Maritim Dan Oseanografi Di Perairan Sekitar
Pulau Kotok, Kepulauan Seribu: April 2011. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 4(1): 24-34
Masy'ud B. 2001. Dasar-dasar Penangkaran Satwaliar. Laboratoriun: Penangkaran Satwa Liar
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Morrison D, Rosalind L, Balachandran S. 1994. Site-fidelity to the unusual nesting site of Bra
hminy Kite Haliastur indus. The Journal of the Bombay Natural History Society.91:139.
Nurul U. 2018. Faktor-faktor keberhasilan pelepasan elang bondol (haliastur indus boddaert,
1783) di taman nasional kepulauan seribu [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2009. Kepulauan Seribu. [terhubung berkala]
http://jakarta.go.id /kepulauan-seribu (3 januari 2018)
Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.6/IV-
SET/2011 Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.31/Menhut-II/2012 Tentang
Lembaga Konservasi.
Prawiradilaga DM, T. Murrate, A. Muzakkir, T. Inoue, Kuswandono, A. Supriatna., Dekawati,
Alfianto MY, Hapsoro, Ozawa T, Sakaguchi N. 2003. Panduan Survey Lapangan dan
Pemantauan Burung-burung Pemangsa. Jakarta (ID): Biodiversity Conservation
Project-JICA.
Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Padma K. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta (ID) :
Yayasan Obor Indonesia.
Sawitri R, Takandjandji M. 2010. Pengelolaan dan Perilaku Burung Elang di Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. 8(3): 257-270
Sri L. 2016. Menyelamatkan 'maskot Jakarta' Elang Bondol dari kepunahan. Jakarta (ID) : BBC
Surya KW. 2008. Masalah infestasi ektoparasit pada beberapa jenis burung elang di habitat
eks-situ [skripsi]. Bogor (ID) : IPB repository, 2(3) : 12-13
Utami BD. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang Jawa (Spizaetus bartels Stresemann, 1924) di
Gunung Salak [Skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai