Anda di halaman 1dari 40

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS

Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI


PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Oleh:
WIDYARTO MARGONO
C64103076

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
2

RINGKASAN

WIDYARTO MARGONO. Perkembangan dan Pertumbuhan Karang


Jenis Lobophyllia hemprichii Yang Ditransplantasikan Di Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh DEDI
SOEDHARMA dan BEGINER SUBHAN.

Teknologi transplantasi karang (Coral transplantation) adalah salah satu


alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau
pemotongan karang hidup untuk di tanam di tempat lain atau di tempat yang
karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau
pembentukan terumbu karang alami. teknologi ini mulai banyak diaplikasikan di
perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup
(survival rate) dan laju pertumbuhan karang jenis Lobophyllia hemprichii yang
ditransplantasikan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi
Stasiun penelitian ini berada di Area Perlindungan Laut Pulau Pramuka pada
koordinat 05 o 4403,7 LS dan 106 o 3642,5 BT. Waktu kegiatan transplantasi
karang dilakukan pada bulan April 2008 sampai Oktober 2008. Metode
pengambilan data di lapangan dengan menggunakan pengukuran manual
dengan jangka sorong dan underwater camera untuk data foto terumbu karang.
Parameter fisika-kimia perairan yang diambil meliputi suhu, salinitas dan pH
perairan. Analisis data yang digunakan adalah tingkat kelangsungan hidup,
pemulihan luka, dan laju pertumbuhan karang.
Lobophyllia hemprichii yang digunakan adalah indukan yang dipelihara dari
hasil fragmentasi penelitian Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang berumur 4
tahun merupakan pertumbuhan Filial 1 (F1), sehingga hasil dari pemotongan ini
adalah yang kedua kalinya (F2).
Transplantasi yang dilakukan pada penelitian ini berhasil dengan tingkat
keberhasilan kelangsungan hidup karang dengan semua perlakuan mencapai
100%. Pertumbuhan rata-rata Lobophyllia hemprichii pada perlukaan satu (T1)
meningkat dari awal hingga akhir pengamatan. Tingkat pertumbuhan yang
tercepat (tertinggi) terjadi pada Bulan September sampai Oktober. Panjang rata-
rata setiap bulan pada Perlakuan 1 dengan awal panjang rata-rata 66.8 mm
mengalami perubahan panjang sebesar 10.7 mm, setelah 6 bulan menjadi 77.6
mm. Pertumbuhan rata-rata pada perlukaan dua (T2) tidak jauh berbeda dengan
T1 yang mengalami peningkatan dari awal hingga akhir periode yang diuji.
Pertumbuhan yang sangat jelas perbedaannya terlihat antara bulan September
sampai Oktober. Panjang rata-rata setiap bulan pada Perlakuan 2 dengan awal
panjang rata-rata 75.9 mm setelah 6 bulan menjadi 88.69 mm.
Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0,05) adanya pengaruh nyata perlakuan
perbedaan Luka 1 dan Luka 2 terhadap pertumbuhan panjang Lobophyllia
hemprichii. Rata-rata total pertumbuhan selama 6 bulan pada Luka 2 sebesar
81,90 mm sedangkan pada Luka 1 sebesar 72,03 mm.
3

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terumbu Karang Indonesia dengan luasan sebesar 50,875 km2 yang
merupakan 18 persen dari total seluruh terumbu karang di dunia (Burke et al.,
2002). Namun Terumbu karang di bagian barat Indonesia dengan kondisi yang
baik atau sangat baik (tutupan karang hidup lebih dari 50%), hanya sekitar 23%,
sedangkan di bagian timur Indonesia sekitar 45% (Burke et al., 2002).
Penangkapan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia beracun
masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Limbah Industri dan
limbah rumah tangga serta pencemaran minyak juga mengancam kelestarian
terumbu karang (Wilkinson, 2002).
Teknologi transplantasi karang (Coral transplantation) adalah salah satu
alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau
pemotongan karang hidup untuk di tanam di tempat lain atau di tempat yang
karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau
pembentukan terumbu karang alami (Sadarun, 1999). Prinsip transplantasi
terumbu karang adalah memotong cabang karang dari karang hidup, lalu di
tanam pada terumbu karang yang mengalami kerusakan atau pada substrat
buatan. Teknik ini diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang
yang telah rusak dan dapat dipakai untuk membangun daerah terumbu karang
yang baru. Transplantasi juga dilakukan untuk mempercepat dan memperbanyak
tutupan karang (Clark dan Edward, 1995).
Penelitian tentang transplantasi karang di Kepulauan Seribu ini dilakukan
sejak tahun 1997 oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) - LPPM IPB
bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI serta Asosiasi Koral
Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) di Area Perlindungan Laut (APL) yang
termasuk ke dalam kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Hal ini sangat
menguntungkan karena pada area ini kegiatan nelayan yang bisa mengganggu
terumbu karang, sangat dibatasi. Oleh karena itu gangguan terhadap kegiatan
transplantasi ini akibat dari kegiatan nelayan dapat dihindari.
Pada penelitian ini diambil indukan Lobophyllia hemprichii yang berasal
dari hasil transplantasi Riset Unggulan Terpadu (RUT), yang telah
ditransplantasikan kembali oleh Respati pada bulan Agustus sampai dengan
4

desember 2004. Hasil yang didapat menunjukkan perbedaan perlakuaan


pemotongan tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan panjang karang.

1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup,
waktu pemulihan luka dan laju pertumbuhan karang jenis Lobophyllia hemprichii
dengan variasi luka / pemotongan menggunakan metode pengukuran jangka
sorong dan foto dengan Image J Processing.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terhadap
penangkaran karang hias untuk memenuhi kebutuhan ekspor tanpa harus
mengambil indukan dari alam.
5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi dan Bentuk Koloni


Terumbu karang merupakan satu kesatuan dari berbagai jenis karang.
Menurut Nybakken (1992) terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang
(Filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan
sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat (CaCO3).
Karang merupakan binatang sederhana berbentuk tabung dengan mulut
berada di atas dan berfungsi juga sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh
tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan
tenggorokan yang pendek dan menghubungkan dengan rongga perut. Di dalam
rongga perut berisi semacam usus yang disebut misentri filamen berfungsi
sebagai alat pencerna (Suharsono, 1996).
Polip merupakan hewan yang sangat kecil dengan diameter kurang dari
satu milimeter, walaupun ditemukan juga polip yang berukuran mencapai lebih
dari 50 centimeter (Tomascik et al., 1997). Pada beberapa jenis karang, individu
polip karang ini mempunyai beragam bentuk yang kembar identik dan tersusun
rapat membentuk formasi koloni yang mampu mencapai ukuran yang sangat
besar sampai berkilo-kilo meter lebarnya (Burke et al.,2002) dan beberapa meter
tingginya (Tomascik et al.,1997). Karang mampu berdiri tegak dengan seluruh
jaringannya karena polip didukung oleh kerangka kapur yang diendapkan
sebagai penyangga berbentuk lempengan berdiri yang disebut septa
(Suharsono, 1996).
Polip karang terdiri dari dua lapisan sel yang sangat sederhana yaitu
ektodermis (kadang disebut juga epidermis) dan lapisan endodermis (kadang
disebut juga gastrodermis), dan kedua lapisan ini dipisahkan oleh lapisan
jaringan penghubung yang tipis disebut mesoglea (Birkeland, 1997). Ektodermis
merupakan lapisan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel antara lain
sel mucus, sebagai alat produksi mucus yang membantu menangkap makanan
dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat dan sel nematokis
sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri (Suharsono, 1996).
Sedangkan lapisan endodermis, merupakan jaringan terdalam pada polip karang
6

tempat hidup ribuan alga mikroskopik yang disebut zooxanthellae yang secara
alami hidup bersimbiosis dengan hewan karang (Burke et al.,2002).
Sebagian besar polip karang menerima pewarnaan tubuhnya dari
zooxanthellae yang hidup pada jaringannya walaupun sebenarnya polip karang
juga mempunyai pigmen sendiri yang transparan (Buchheim, 2002). Warna
terumbu karang yang tampak oleh mata sebagian besar merupakan warna dari
zooxanthellae.

2.2. Ciri-ciri Genus yang Diteliti

Gambar 1. Lobophyllia hemprichii (Sumber : Koleksi Pribadi, 2008)

Klasifikasi karang batu menurut Dana (1848) dalam Veron (1986) adalah :

Filum : Cnidaria

Kelas : Anthozoa

Ordo : Scleractinia (Madreporaria)

Sub Ordo : Faviina

Famili : Missidae

Genus : Lobophyllia sp.

Spesies : Lobophyllia hemprichii

Koloni Phaceloid atau flabelo meandroid dengan permukaan seperti kubah atau

mendatar. Famili massidae ada yang berbentuk soliter dan ada yang berbentuk
7

koloni, untuk tipe koloni adalah sub masif. Koralit dengan kusta yang nyata

berupa alur-alur besar, septa besar dengan gigi yang panjang dan tajam dan

sebagian lagi tumpul. Kolumella yang melebar dan kompak. Hal ini dapat dilihat

pada gambar 1.

2.3. Pertumbuhan Karang


Sinar matahari sangat dibutuhkan untuk kepentingan zooxanthellae
dalam berfotosintesis (Nybakken, 1992). Goreu (1961) in Nybakken (1992)
menemukan bahwa zooxanthellae meningkatkan laju proses mengeras menjadi
kapur (kalsifikasi) yang dilakukan oleh karang dan dalam laju pertumbuhan koloni
karang.
Laju pertumbuhan pada koloni-koloni karang dapat berbeda satu sama
lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies, umur koloni dan daerah
suatu terumbu. Koloni yang muda dan kecil cenderung untuk tumbuh lebih cepat
daripada koloni yang lebih tua, koloni-koloni yang besar dan bercabang-cabang
atau karang yang seperti daun cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada
karang masif (Nybakken, 1992).
Kecepatan tumbuh karang bercabang jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan karang masif. Perbedaan kecepatan tumbuh karang bercabang dan
karang masif diduga karena adanya perbedaan dalam besarnya rasio antara
kerangka dan jaringan karang. Berat jenis karang Acropora 2% dari berat total,
sedangkan jaringan Goniastrea hanya 0,5% (Suharsono, 1984).
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, karang batu menurut English et al.
(1994) terbagi atas karang Acropora dan non-Acropora. Karang non-Acropora
terdiri atas:
(1) Coral branching (CB), bentuknya bercabang seperti ranting pohon.
(2) Coral massive (CM), bentuknya seperti batu yang padat.
(3) Coral encrusting (CE), bentuknya merayap, hampir seluruh bagian
menempel pada substrat.
(4) Coral submassive (CS), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan
atau kolom-kolom kecil.
(5) Coral foliose (CF), bentuk menyerupai lembaran daun
(6) Coral mushroom (CMR), bentuk menyerupai jamur.
8

(7) Coral Millepora (CME), semua jenis karang api dapat dikenali
dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas
seperti terbakar apabila tersentuh..
(8) Coral Heliopora (CHL), dapat dikenali dengan adanya warna biru
pada skeleton

English et al., (1994) menggolongkan bentuk pertumbuhan Acropora


sebagai berikut:
(1) Acropora branching (ACB), bentuk bercabang seperti ranting
pohon.
(2) Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah
mendatar dan rata seperti meja.
(3) Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak
(4) Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng
kokoh, contoh genus Isopora.
(5) Acropora digitate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan
cabang seperti jari-jari tangan.

2.4. Faktor- Faktor Pembatas

Faktor pembatas adalah faktor- faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi laju pertumbuhan suatu individu di dalam habitatnya.

Pertumbuhan dan perkembangan karang lunak dipengaruhi oleh :

1. Suhu

Menurut Nybakken (1992), pertumbuhan karang mencapai maksimum

pada suhu optimum 25-29 C dan bertahan hidup sampai suhu minimum 15C

dan maksimum 36C. Pertumbuhan optimal terjadi di perairan yang memiliki rata-

rata suhu tahunan 23-25C . Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi adalah

36-40C.
9

2. Kecerahan dan Kedalaman

Hewan karang pembentuk terumbu membutuhkan sinar matahari bagi

zooxanthellae untuk berfotosintesis. Cahaya adalah suatu faktor yang paling

penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis

oleh zooxanthellaes simbiotik dalam jaringan karang (Nybakken, 1992). Menurut

Nybakken (1992), terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih

dalam dari 50-70 meter. Zooxanthellae sebagai alga simbiotik yang memerlukan

cahaya matahari sehingga terjadi sedikit pertumbuhan di bawah kedalaman 46

meter dan di bawah kedalaman 90 meter terumbu karang sudah sangat jarang.

Faktor kecerahan dan kedalaman pada karang lunak berperan untuk melakukan

proses fotosintesis, hal ini dikarenakan karang lunak membutuhkan cahaya yang

cukup.

3. Salinitas

Salinitas rata-rata di daerah tropis adalah 35 dimana masih berada

pada kisaran optimum untuk pertumbuhan karang yaitu 34-36 (Supriharyono,

2000). Nybakken (1992) menyatakan bahwa toleransi organisme karang

terhadap salinitas berkisar antara 32-35.

4. pH

Derajat keasaman menunjukkan aktivitas ion H+ dalam air. Menurut

Tomascik (1997), habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang memiliki kisaran

pH 8,2-8,5.

5. Pergerakan Arus

Pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran suplai

makanan (dalam bentuk jasad renik) dan suplai oksigen yang segar, serta

menjaga agar terumbu karang terhindar dari timbunan kotoran/endapan (Sukarno

et all, 2006).
10

6. Sedimentasi

Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang.

Daerah yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat

yang baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan

penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan

bekerja keras untuk membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya (Nybakken,

1992).

7. Kolom Air

Faktor pembatas selanjutnya adalah kolom air, pertumbuhan terumbu

karang ke atas dibatasi oleh adanya udara. Banyak koral mati karena terlalu

lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan terumbu karang ke arah

atas hanya terbatas sampai tingkat surut terendah (Nybakken, 1992).

2.5. Transplantasi Karang

2.5.1. Pengertian dan Pemanfaatan Transplantasi Karang

Fitriani (2007) menyatakan bahwa teknologi transplantasi karang adalah

usaha mengembalikan terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan

karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah

mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu

karang alami.

Tujuan utama transplantasi karang adalah untuk memperbaiki kualitas

terumbu karang seperti meningkatnya tutupan karang hidup, keanekaragaman

hayati dan keunikan topografi karang (Clark dan Edwards, 1998).

Soedharma dan Arafat (2006) mengemukakan bahwa manfaat

transplantasi karang adalah:

1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. Hal ini berarti

upaya untuk menghidupkan atau menanam kembali karang dengan


11

benih-benih baru baik yang berasal dari tempat sekitarnya atau juga

dapat berasal dari tempat lain.

2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. Aplikasi dari kegiatan

rehabilitasi ini adalah bagian-bagian yang nantinya dapat dilaksanakan

untuk kegiatan konservasi.

3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke

dalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu.

4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber

keanekaragaman hayati. Semua hal penting yang menyangkut

sumberdaya plasma nutfah sangat terkait atau terikat dengan Biodiversity

Convention yang telah disepakati dan sudah diratifikasi. Indonesia pun ini

sudah meratifikasi Biodiversity Convention.

5. Keperluan perdagangan. Sebagai hiasan akuarium, karang merupakan

spesies yang menarik untuk dipindahkan dari lapangan atau dari habitat

aslinya. Penyebaran akuarium (hobbies) dan bisnis akuarium (trading) ini

sudah berkembang, terutama di negara-negara subtropis. Orang-orang

yang tinggal di negara sub tropis, sangat jauh dari negara tropis, begitu

tertarik untuk dapat menikmati pemandangan bawah air terutama dari

komunitas terumbu karang, sehingga teknologinya sudah sangat

berkembang dan semuanya memiliki sistem komputerisasi. Karang

mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun perdagangan

karang secara legal dibatasi oleh suatu aturan dan kuota yang berlaku.

Secara umum saat ini transplantasi karang digunakan untuk

merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak dan penyediaan untuk

perdagangan karang hias. Beberapa kegiatan transplantasi dilaksanakan di

empat lokasi Kawasan Konservasi Laut dan Taman Nasional Laut, yaitu di
12

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Taman Nasional Laut Bunaken, Taman

Wisata Alam laut Teluk Kupang (NTT) dan Taman nasional Wisata Alam Laut Gili

Air, Gili Trawangan dan Gili Meno (NTB) (Herianto, 2006). Pada kegiatan untuk

perdagangan karang hias telah dilakukan transplantasi karang di Kepulauan

Seribu sejak tahun 2004 (Kudus, 2006). Telah banyak dilakukan penelitian

tentang pemanfaatan transplantasi karang, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa penelitian tentang transplantasi di dunia.


Lokasi Tujuan
Philippines, Indonesia Perbaikan kondisi terumbu karang akibat bom ikan.
Guam Menggantikan karang mati akibat hidrotermal vent.
Guam Menyelamatkan karang dari ancaman polusi.
Singapore, Cozumel Relokasi karang dan organisme didalamnya yang
Island,Florida terancam oleh reklamasi dan lain-lain.

Hawaii Menanam karang pada daerah yang sebelumnya


terkena polusi.
Florida, Cayman Mempercepat perbaikan kondisi terumbu karang
Islands yang rusak akibat sampah.
Gulf of Aqaba Meningkatkan daya tarik ekosistem termbu karang
untuk kepentingan wisata bahari.
Eilat Rehabilitasi terumbu karang akibat kegiatan wisata,
menciptakan terumbu buatan untuk mengurangai
tekanan oleh kegiatan penyelaman.

Kosta Rica Rehabilitasi terumbu karang akibat El Nino than


1982-1983 dan Dinoflagellata bloom.

Great Barrier Reef Mempercepat perbaikan terumbu karang akibat


serangan Bintang laut berduri (Crown-of-thorns
Starfish).
Sumber: Edward dan Clark, 1998

2.5.2. Metode Transplantasi Karang

Transplantasi karang secara umum dinyatakan sukses dari sudut

pandang biologis dengan tingkat kelangsungan hidup dari perlakuan berkisar

antara 50-100%, ketika karang ditransplantasikan pada habitat yang serupa

dengan habitat dimana mereka dikoleksi (Harriot dan Fisk,1988).

Menurut Harriot dan Fisk (1988) proses pengangkutan berpengaruh

terhadap tingkat keberhasilan transplantasi. Pengangkutan karang di atas dek


13

kapal yang terlindung selama satu jam, tidak berbeda nyata dengan

pengangkutan di dalam air. Bila terkena udara selama dua jam, tingkat

keberhasilan berkisar antara 50-90% dan bila terkena udara selama tiga jam,

maka tingkat keberhasilan menjadi 40-70%.

Beberapa teknik untuk melekatkan karang yang ditransplantasikan adalah

semen (Auberson, 1982), lem plastik (Birkeland et al., 1979), penjepit baja

(Maragos, 1974) dan kabel plastik listrik (Harriot dan Fisk, 1988).

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir transplantasi karang di Indonesia

terus mengalami perkembangan. Berbagai metode dan model transplantasi

karang telah diujicobakan. Pada umumnya transplantasi dilakukan di alam

dengan menggunakan metode rak dan substrat. Beberapa penelitian telah di

lakukan di sistem terkontrol pada beberapa jenis karang langka.

2.5.3. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia

Penelitian tentang transplantasi karang yang dilakukan oleh Sadarun

(1999) menggunakan substrat keramik yang diikatkan pada jaring kemudian

diletakkan di dasar perairan menggunakan patok bambu. Penelitian yang

dilakukan selama lima bulan ini mengamati tentang tingkat ketahan hidup,

pertambahan panjang, pertambahan tunas dan perambatan pada substrat pada

11 spesies karang dan genus Acropora. Spesies karang yang diamati adalah

Acropora tenuls, A. austera, A. Formosa, A. hyacinthus, A. divaricata, A. nasuta,

A. yongei, A. aspera, A. digitfera, A. valida dan A. galuca. Selama lima bulan

penelitian didapatkan bahwa tingkat ketahan hidup karang yang

ditransplantasikan hampir seluruhnya 100%, kecuali spesies Acropora tenuis dan

A. aucera 83,33%. Petambahan panjang terbesar dicapai oleh Acropora yongei

sebesar 4,89 cm dan yang terkecil adalah Acropora glauca sebesar 2,01 cm.
14

Perambatan paling cepat pada substrat bambu dicapai oleh jenis

Acropora hyacinthus dengan rata-rata 1,672 cm dan yang paling lambat pada A.

asfera 0,520 cm. perambatan paling cepat pada subtrat keramik dicapai oleh

Acropora austera sebesar 1,696 cm dan paling lambat A. digitfera sebesar 0,54

cm Sadarun (1999). Acropora hyacinthus memiliki jumlah tunas terbanyak yaitu

52 tunas sebaliknya dengan A. glauca hanya memiliki 6 tunas.

Johan (2000) melakukan penelitian di pulau Pari selama 6 bulan pada

tiga stasiun yaitu daerah winward, leeward dan goba. Penelitian ini

menggunakan tiga spesies karang yaitu A. formosa, A. donei dan A. acuminate.

Transplantasi menggunakan substrat keramik dengan perlakuan yaitu jumlah

cabang yang berbeda. Jumlah cabang yang digunakan adalah 3, 2 dan 1.

Dari ketiga stasiun ini didapat bahwa pertambahan panjang karang dan

tunas didaerah leeward paling tinggi. Sedangkan tingkat perambatan karang

pada substrat di darah winward paling tinggi Johan (2000). Menurut Johan

(2000), tingkat mortalitas karang di daerah goba sebesar 64,44%, leeward 8,89%

dan winward 2,22%.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Herdiana (2001) terhadap dua spesies

karang yaitu Acropora microthalma dan A. intermedia yang dibagi ke dalam dua

faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu ukuran fragmen dibagi dalam 3 taraf

ukuran yaitu 3-4 cm, 7-8 cm dan 12-14 cm. Faktor kedua adalah posisi

penanaman yang dibagi kedalam 2 taraf posisi yaitu penanaman vertikal dan

horisontal.

Ketahan hidup berdasarkan posisi penanaman, kelompok fragmen yang

ditanam vertikal memiliki ketahanan hidup yang lebih tinggi untuk Acropora

microthalma, posisi vertikal sebesar 83,33% dan horisontal 66,67%. Untuk A.

intermedia posisi vertikal sebesar 83,88% dan posisi horisontal 79,17%

(Herdiana, 2001).
15

Pada waktu yang bersamaan, Yarmanti (2001) melakukan penelitian

terhadap dua spesies karang yaitu Acropora nobilic dan A. formosa. Parameter

yang diamati yaitu tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan

pertambahan tunas. Perlakuan yang diberikan kepada dua spesies tersebut

adalah perbedaan kedalaman penanaman yaitu 3 dan 10 meter. Dari penelitian

tersebut diketahui bahwa laju pertumbuhan kedua spesies di kedalaman 3 meter

lebih cepat dibandingkan 10 meter.begitu pula tingkat kelangsungan hidupnya

pada kedalaman 3 meter lebih baik daari pada kedalaman 10 meter. Pada

perbandingan antar spesies laju pertumbuhan A. formosa lebih cepat daripada A.

nobilis baik pada kedalaman 3 meter dan 10 meter.

Aziz (2002) melakukan penelitian di Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Jakarta selama enam bulan dimulai pada bulan Maret sampai September 2001.

Lokasi penelitian berada pada gugusan karang tepi di sebelah selatan Pulau Pari

pada kedalaman 12 meter. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah

kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio pertumbuhan karang.

Penelitian ini menggunakan karang batu jenisTrachyphyllia geoffroyi,

Weilsophyllia dariata, Acropora intermediate dan jenis karang api yaitu Millepora

tenella. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup

Trachyphyllia geoffroyi sebesar 33,33%, Weilsophyllia dariata sebesar 66,67%,

Acropora intermediate 66,67% dan Millepora tenella 100%. Berdasarkan rasio

lebar dan tinggi fragmen diketahui bahwa semua jenis karang yang

ditransplantasikan mempunyai pertumbuhan yang cenderung ke arah horisontal

daripada vertikal, dengan rasio berbeda tiap jenis. Subhan (2002) melakukan

penelitian yang sama akan tetapi dengan jenis karang yang berbeda, yaitu

Euphillia sp, Cynarina lacrymalis dan Plerogyra sinuosa. Dari hasil penelitiannya

dapat diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan

masing-masing karang yaitu Euphillia sp sebesar 77,78% dan 0,14 cm/bulan


16

(tinggi); 0,28 cm/ bulan (panjang). Kemudian Plerogyra sinuosa sebesar 33,33%

dan 0,22 cm/bulan (tinggi); 0,11 cm/bulan (panjang) dan selanjutnya Cynarina

lacrymalis sebesar 22,22% dan 0,03 cm/bulan (tinggi) serta 0,11 cm/bulan

(panjang).

Respati (2005) melakukan penelitian di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu

Jakarta selama 5 bulan dari Bulan Agustus sampai Desember 2004 pada

kedalaman 8 meter. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah

kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio pertumbuhan karang. Penelitian

ini menggunakan karang jenis Caulastrea sp dan Lobophyllia hemprichii. Dari

hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup untuk semua

spesies adalah 100%. Laju pertumbuhan panjang dan lebar terbaik karang

Lobophyllia hemprichii adalah pada perlakuan 3 (T3) yaitu 4.14 mm/bulan dan

pada perlakuan 2 (T2) yaitu 3.81 mm/bulan.


17

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian berlangsung menjadi dua tahap, yaitu persiapan dan

kegiatan transplantasi karang. Tahap pertama, tahap persiapan dilakukan di

Laboratorium Biologi Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor pada bulan Februari 2008. Tahap kedua, kegiatan transplantasi

karang dilakukan pada bulan April sampai Oktober 2008 di Pulau Pramuka,

Kepulauan Seribu, Jakarta.

Lokasi penelitian ini bertempat di Kepulauan Seribu, Jakarta yaitu Pulau

Pramuka. Stasiun penelitian ini berada di Area Perlindungan Laut Pulau

Pramuka pada koordinat 05 o 4403,7 LS dan 106 o 3642,5 BT (gambar 2).

Gosong Karang

Gambar 2. Peta lokasi penelitian


18

3.2. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

perlakuan dan ulangan sebagai berikut:

Fragmen karang jenis Lobophyllia hemprichii, karena merupakan jenis

karang sub masif maka perlakuannya dipotong menjadi sebuah perlakuan T1

(luka 1) dan perlakuan T2 (luka 2) empat belas kali ulangan pada setiap

perlakuan. Jadi total keseluruhan penelitian ini berjumlah 28 unit percobaan.

Model rancangan yang digunakan sebagai berikut:

Yij = + i + ij

Dengan :

Yij = Pengamatan perlakuan ke-i (pemotongan) dan ulangan ke-j

= Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan pemotongan ke- i

ij = Pengaruh acak pada perlakuan pemotongan ke- i dan

ulangan ke- j

3.3. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Perangkat pengambilan dan pengolahan data

Alat dan Bahan


- Rak penanaman karang - Kamera Underwater
- Peralatan SCUBA - Global Positioning System (GPS)
- Substrat semen - Palu
- Resin atau Semen putih - Sikat
- Pahat - Kapal motor
- Kabel ties - Keranjang
- Sabak dan pensil - Satu set komputer
- Jangka sorong - Software Microsoft Office Excel dan Image-J
- Termometer - Floating drouge
19

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Transplantasi Karang

Kegiatan transplantasi karang secara umum terbagi menjadi tiga kegiatan

yaitu persiapan, transplantasi karang, dan pengamatan pertumbuhan karang

yang ditransplantasi. Hal ini dapat kita lihat pada Gambar 3.

PERSIAPAN

Karang Induk (F1)

Lobophyllia hemprichii

Fragmentasi Bibit (F2)

TRANSPLANTASI

PENGAMATAN

IMAGE-J

Tingkat pertumbuhan dan


kelangsungan hidup karang

Gambar 3. Kerangka umum kegiatan penelitian


20

Tahap persiapan yang dilakukan pada saat akan melakukan transplantasi karang

adalah

1. Pembuatan substrat yang berfungsi sebagai media menempelnya karang.

Bagian dasar terbuat dari semen seperti mangkuk dengan lubang untuk

memasang tali pengikat karang. Karang ditempel dan diikat pada bagian

atas substrat. Sketsa subsrat dan metode pemasangan karang pada

substrat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sketsa media penempelan karang dan metode pengukuran

2. Pembuatan rak transplantasi yang berfungsi sebagai media peletakan

substrat yang telah berisi karang yang telah di transplantasi. Rak dibuat

dengan kerangka besi dan jaring dengan ukuran 75 cm x 75 cm x 25 cm.

Design rak transplantasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Sketsa rak transplantasi karang


21

Rangkaian kegiatan selanjutnya yang dilakukan dalam melakukan

transplantasi karang adalah:

1. Pemasangan rak transplantasi di lokasi Pulau Pramuka pada kedalaman

7 meter.

2. Pengambilan indukan karang Lobophyllia hemprichii untuk transplantasi

berasal dari hasil transplantasi karang Lobophyllia hemprichii yang

dilakukan oleh Respati pada tahun 2005 di tempat sama yaitu Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Indukan karang yang

ditransplantasikan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Indukan Karang Hasil Transplantasi

3. Pemotongan karang Lobophyllia hemprichii untuk kemudian diikatkan

pada substrat yang telah disediakan dilakukan dengan dua perlakuan

yaitu dengan satu luka seperti pada Gambar 7a, dan dengan dua luka

seperti pada Gambar 7b.


22

(a) (b)

Gambar 7. Karang Telah Dipotong (a) 1 perlukaan dan (b) 2 perlukaan

4. Tahap terakhir adalah melakukan pengamatan yang dilakukan sejak awal

dilakukannya perlakuan terhadap karang tersebut, agar terlihat dampak

fragmentasi pada karang.

3.4.2. Pengukuran Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan yang diukur adalah parameter fisika dan kimia

dilakukan secara insitu dan pengamatan melalui analisis laboratorium. Parameter

yang diamati, alat dan metode pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter lingkungan


No Parameter Satuan Pengukuran Alat / Metode
1 Suhu C Insitu Termometer
2 Kecepatan arus Cm/dt Insitu Floating drouge
3 Kedalaman Meter Insitu Depth gauge
4 Salinitas Insitu Refraktometer
5 Derajat pH Insitu Kertas lakmus
Keasaman
23

3.5. Analisis Data

3.5.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Karang

Data pengamatan individu karang yang diteliti kemudian dianalisis jenis

karang dan kombinasi perlakuannya. Tingkat kelangsungan hidup hewan uji yang

ditransplantasikan digunakan rumus (Richer, 1975) :

Nt
SR = 100% .......................................................... (1)
No

Dimana

SR : Tingkat kelangsungan hidup dalam %

Nt : Jumlah individu yang hidup pada akhir penelitian

No : Jumlah individu pada awal penelitian

Perhitungan tingkat kelangsungan hidup untuk mengetahui persentase

tingkat keberhasilan dari transplantasi dengan mengetahui jumlah individu yang

hidup sejak penelitian dimulai.

3.5.2. Pertumbuhan Karang

Pertumbuhan individu karang diukur dengan menggunakan jangka

sorong. Untuk mengukur tingkat pencapaian pertumbuhan hewan uji yang

ditransplantasi dihitung berdasarkan formula :

= Lt Lo ............................................................................. (2)

Dimana

: Capaian pertumbuhan karang yang ditransplantasi

Lt : Rata rata pertambahan ukuran setelah bulan ke - t

Lo : Rata rata ukuran pada awal penelitian

t : Waktu pengamatan (bulan)


24

Pengukuran laju pertumbuhan karang yang ditransplantasi dilakukan

dengan menggunakan rumus :

Lt +1 L1
=
............................................................ (3)
ti +1 + t1

Dimana
: Laju pertumbuhan panjang / lebar fragmen karang transplantasi (mm)

Li+1 : Rata-rata pertumbuhan panjang atau lebar fragmen karang (mm)


pada waktu ke- i+1

Lo : Rata-rata pertumbuhan panjang atau lebar fragmen karang (mm)


pada waktu ke- i

ti+1 : Waktu pengamatan ke- i+1 (bulan)

ti : Waktu pengamatan ke- i (bulan)

Keakuratan data dapat dijaga dengan melakukan pengukuran fragmen

karang dengan cara ditandai sebelumnya. Hal tersebut dapat membantu dan

mempermudah dalam pengamatan transplantasi karang. Data pertumbuhan,

tingkat kelangsungan hidup dan kurva pertumbuhan karang selama penelitian

dapat ditampilkan dengan program Microssoft Excel 2007.


25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Perairan

Lingkungan perairan di lokasi penelitian memiliki suhu perairan sekitar

27,3 C. Kondisi suhu tersebut sangat mendukung pertumbuhan karang jenis

Lobophyllia hemprichii. Data yang diperoleh pada tahun 2003 menunjukkan

bahwa kisaran suhu di perairan Pulau Pramuka adalah 26-27,7 C (Soleh, 2004).

Salinitas perairan pada lokasi penelitian adalah sekitar 32,5 . Kondisi

salinitas ini masih berada dalam kisaran air laut yang normal dan masih dalam

ambang yang dapat mendukung pertumbuhan karang. Kondisi ini disebabkan

oleh sedikitnya masukan air tawar dari daratan kecuali pada saat musim hujan,

sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan salinitas pada perairan

tersebut.

Kecepatan arus di lokasi penelitian sekitar 16.8 cm/s dengan arah arus

dari Barat Laut ke arah Selatan. Besarnya kecepatan arus akan mempengaruhi

pertumbuhan karang, karena kuatnya arus akan mempengaruhi suplai oksigen

dan nutrisi dalam air laut yang dibutuhkan oleh karang, di samping itu besarnya

arus juga akan mempengaruhi besarnya sedimentasi pada koloni karang

(Nybakken, 1992). Selain itu kecepatan air dan turbulensi juga memiliki

pengaruh kuat terhadap morfologi dan variasi jenis dari ekosistem terumbu

karang (Tomascik et. Al., 1997).

PH yang terukur adalah sekitar 8. Menurut Sumarsono (1994) dalam

Radisho (1997), pH yang menunjang bagi kehidupan karang berkisar antara 6,5

hingga 8,5, nilai parameter fisika dan kimia air laut pada saat penelitian dapat

dilihat pada Tabel 4.


26

Tabel 4. Parameter fisika dan kimia perairan


Parameter Satuan Nilai
o
Suhu C 27,3 0C
o
Salinitas /oo 32,5 o/oo
Kecepatan Arus Cm / s 16,8 cm/s
pH 8

Secara umum kondisi lingkungan di perairan Pulau Pramuka dan

Kepulauan Seribu pada umumnya mendukung bagi perkembangan dan

pertumbuhan karang yang ditransplantasikan dengan parameter-parameter

lingkungan yang relatif stabil dan fluktuasi yang rendah (Aziz, 2002).

Kondisi Kepulauan Seribu menurut Abdullah dan Sumantri (1999) secara

keseluruhan dipengaruhi oleh 2 musim, yaitu musim barat dan musim timur.

Musim barat terjadi pada bulan November sampai akhir Februari, dimana arus

kuat dan keruh. Musim timur terjadi dari bulan Mei sampai dengan akhir Agustus

dengan arus kuat, tidak banyak hujan dan air cenderung jernih. Pada bulan

September terjadi musim peralihan dimana karakteristik menjadi kurang stabil.

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa permukaan geomorfologi terumbu

karang di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh gelombang yang ditimbulkan oleh

angin muson.

4.2. Pemulihan dan Penyembuhan Luka Karang Lobophyllia hemprichii

Pengeluaran lendir (mucus) akibat proses pemotongan diduga

merupakan tanda bahwa karang mengalami stres. Pada saat pengamatan

permukaan karang yang luka akibat pemotongan lama kelamaan tertutup dan

karang dapat berkembang dengan baik.

Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan pemulihan luka pada

masing masing perlakuan yang dapat dilihat pada gambar 8


27

oktober 0 3 11

september 0 8 6

agustus 0 14 0 belum pulih


mulai pulih
juli 6 8 0 pulih

juni 11 3 0

mei 14 0

0% 20% 40% 60% 80% 100%

(a)

perlukaan 2

oktober 0 14

september 0 2 12

agustus 0 10 4 belum pulih


mulai pulih
juli 0 14 0 pulih

juni 14 0

mei 14 0

0% 20% 40% 60% 80% 100%

(b)
Gambar 8. Grafik pemulihan luka 1 (a) dan luka 2 (b)

Gambar 8 menunjukkan luka belum pulih pada Perlukaan 2 hingga bulan

juni sedangkan pada Perlukaan 1 sudah mulai ada pemulihan luka terlihat pada

tiga sampel. Hal ini diduga akibat lendir yang dikeluarkan pada Perlukaan 2 lebih

banyak daripada Perlukaan 1 yang menyebabkan proses pemulihan lebih cepat.

Pada Bulan Juli Perlukaan 2 sudah mulai pulih semua, hal ini menunjukan

tingkat stres pada karang sudah berkurang dan tingkat pemulihan luka relatif

lebih cepat dari Perlukaan1.

Pemulihan luka pada akhir pengamatan pada Perlukaan 2, sudah

semuanya pulih sedangkan pada Perlukaan 1 terdapat 3 sampel koloni baru


28

mulai pulih (80%). Dari hasil ini terlihat bahwa pada awal pengamatan Perlukaan

1 memiliki tingkat pemulihan luka yang cepat namun pada Bulan Juli cenderung

melambat.

4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup Karang Lobophyllia hemprichii

Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu kondisi yang menunjukkan

masih dan tetap aktifnya suatu organisme secara fisika dan biologi dalam waktu

tertentu. Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) karang Lobophyllia

hemprichii dipengaruhi oleh kemampuan karang tersebut beradaptasi dengan

lingkungan yang baru. Tingkat kelangsungan hidup bergantung pada ketepatan

metode khususnya dalam perlakuan fragmen, faktor biologis seperti fisiologi

karang yang ditransplantasikan dan respon terhadap kondisi lingkungan (Clark

dan Edward, 1995). Spesies Lobophyllia hemprichii merupakan karang submasif

dengan septa besar dan kolumella yang melebar kompak, biasa hidup di perairan

tenang, terlindung dan berarus kecil. Menurut Bak dan Criens (1981)

menyatakan bahwa ukuran fragmen sangat menentukan keberhasilan hidup dari

karang, karena sangat berhubungan dengan laju regenerasi spesies spesifik

tersebut dan kemampuan melepaskan diri dari tutupan sedimen.


29

100

Kelangsungan Hidup
80

60
(%)
40 T1
T2
20

er
li
ni
ei
ril

be
s
Ju
Ju
M

tu

ob
Ap

em
us

kt
pt
Ag

O
Se
Bulan

Gambar 9. Grafik tingkat kelangsungan hidup pada T1 dan T2

Grafik pada Gambar 9 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup fragmen

karang Lobophyllia hemprichii selama 6 bulan yang ditransplantasikan di laut.

Transplantasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat dikatakan berhasil karena

tingkat keberhasilan kelangsungan hidup karang dengan semua perlakuan

mencapai 100% dan tidak ada fragmen karang yang mati selama penelitian.

Menurut Harriot dan Fisk (1988) bahwa kegiatan transplantasi dikatakan berhasil

apabila jumlah karang yang hidup dari keseluruhan yang ditransplantasikan lebih

besar dari 50 %. Hal serupa juga didapat pada penelitian sebelumnya di tempat

yang sama (Respati, 2005).

Hubbard (1997) menyatakan bahwa kesuburan perairan yang ditandai

dengan banyaknya alga (turf algae) dapat menyebabkan kompetisi ruang bagi

karang. Walaupun terjadi gangguan dari alga yang tumbuh sekitar substrat,

Lobophyllia hemprichii masih dapat bertahan hidup dengan baik.


30

4.4. Laju Pertumbuhan Karang Jenis Lobophyllia hemprichii

Laju pertumbuhan panjang yaitu perubahan panjang terhadap waktu.

Pertumbuhan panjang sangat bervariasi sesuai dengan jenis, ukuran fragmen,

bentuk koloni dan percabangan serta kondisi lingkungan perairan, gambar

dibawah menunjukkan perkembangan panjang Perlakuan 1.

(b) (b)

(c)

Gambar 10. Pertumbuhan karang pada bulan ke-1 (a), ke-3 (b) dan ke-6 (c)

4.4.1. Pengukuran dengan Jangka Sorong

Hasil pengukuran fragmen Lobophyllia hemprichii yang ditransplantasikan

menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang rata-rata total selama 6 bulan untuk

T1 sebesar 10,73 mm dan untuk perlakuan T2 sebesar 12,70 mm.

Pertumbuhan panjang rata-rata pada fragmen karang jenis Lobophyllia

hemprichii dapat dilihat pada Gambar 11.


31

100 88.69
81.80 83.86 85.32
90 79.73

Pertumbuhan rata-rata (mm)


75.99 77.94 77.57
75.16
80 70.36 72.10 73.58
66.84 68.59
70
60
Luka 1
50
Luka 2
40
30
20
10
0
april m ei juni juli agustus sept okt

Waktu

Gambar 11. Grafik pertumbuhan panjang rata-rata Lobophyllia hemprichii dengan


jagka sorong.

Pertumbuhan rata-rata Lobophyllia hemprichii pada perlakuan satu (T1)

meningkat dari awal hingga akhir periode, seperti terlihat pada Gambar 11.

Tingkat pertumbuhan yang tercepat (tertinggi) terjadi pada bulan September

sampai Oktober. Panjang rata-rata setiap bulan fragmen karang pada perlakuan

1 dengan awal panjang rata-rata 66.84 mm mengalami perubahan panjang

sebesar 10.73 mm, setelah 6 bulan menjadi 77.57 mm.

Pertumbuhan rata-rata Lobophyllia hemprichii pada perlakuan satu (T1)

tidak jauh berbeda dengan T2 yang mengalami peningkatan dari awal hingga

akhir periode yang diuji yang bisa kita lihat pada Gambar 11. Panjang rata-rata

setiap bulan fragmen karang jenis Lobophyllia hemprichii pada perlakuan 2

dengan awal panjang rata-rata 75.99 mm mengalami perubahan panjang 12.70

mm, setelah 6 bulan menjadi 88.69 mm. Pertumbuhan yang sangat jelas

perbedaannya terlihat antara bulan September sampai Oktober.


32

3.37

Laju Pertumbuhan Relatif


3

(mm/bulan)
2.41
2.07 2.06
1.94
2 1.79 Luka 1
1.74 1.59
1.75 1.48 Luka 2
1.77
1.46
1

0
Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5 Bulan ke-6
Waktu

Gambar 12. Grafik laju pertumbuhan relatif Lobophyllia hemprichii.

Gambar 12. menunjukan perlakuan dua (T2) mendominasi laju

pertumbuhan hampir di setiap bulannya yaitu pada bulan ke 1, 3, 4 dan 6.

Namun secara umum tidak terjadi pertumbuhan yang signifikan hingga bulan ke-

5. Hal ini diduga karena setiap fragmen memiliki kemampuan beradaptasi yang

berbeda terhadap lingkungannya sehingga mempengaruhi semua perubahan

yang menunjukan perbedaan pada masing-masing fragmen. Hal ini yang

menjadikan T2 memiliki laju pertumbuhan yang sama dengan T1 pada bulan

kedua. Contoh bahwa setiap fragmen memiliki kemampuan adaptasi yang selalu

berubah terhadap lingkungan dapat kita lihat pada bulan ke-5. T2 memiliki laju

pertumbuhan lebih kecil dibandingkan dengan T1 dengan perbedaan sebesar

0,13 mm. Pada bulan ke-6 T2 jauh meningkat dibandingkan T1 dengan

perbedaan sebesar 0,96 mm. Gambar 12 memberikan gambaran bahwa laju

pertumbuhan karang pada akhir pengamatan menunjukkan peningkatan yang

signifikan, hal ini diduga pada bulan ke-6 karang telah selesai melakukan proses

pemulihan luka.
33

Rata rata total pertumbuhan dari kedua perlakuan dapat kita lihat pada

Gambar 13.

81.90
90
Pertambahan panjang

72.031
80
(mm)

T1
70
T2

60

50
waktu
(6 bulan)

Gambar 13. Grafik rata-rata total pertumbuhan Lobophyllia hemprichii.

Rata rata total pertumbuhan perlakuan dua (T2) lebih besar dari

perlakuan satu T1 dengan perbedaan sebesar 9,87 mm atau hampir 1 cm.

Jumlah perlukaan ternyata mempengaruhi pertumbuhan mutlak, perlukaan dua

memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari perlukaan satu. Respon terhadap

luka mempengaruhi fragmen karang jenis Lobophyllia hemprichii untuk menutupi

luka. Karena itulah kenapa perlakuan dua (T2) hampir setiap bulannya memiliki

laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan perlakuan satu (T1).

4.4.2. Pengukuran Dengan Metode Image J Processing

Hasil perhitungan pertumbuhan rata-rata Lobophyllia hemprichii pada

perlakuan satu (T1) menggunakan image J tidak jauh berbeda dengan

perhitungan secara manual. Tiap bulannya selalu mengalami pertumbuhan.

Panjang rata-rata setiap bulan fragmen karang pada perlakuan 1 dengan awal

panjang rata-rata 69.48 mm mengalami perubahan panjang sebesar 10.17 mm,


34

setelah 6 bulan menjadi 79.65 mm. Perbedaan perhitungan antara Image J dan

jangka sorong berkisar antara 2 mm. Grafik panjang rata-rata setiap bulan pada

perlakuan dua (T2) dengan metode Image J dapat dilihat pada Gambar 14.

90.75
90 87.59
85.99
83.86
85
pertumbuhan rata-rata (mm)

82.06
80.57 79.65
79.01 77.78
80
75.80
74.16
75 72.63
71.07
69.48
70

65 Luka 1
60 Luka 2

55

50
april mei juni juli agustus sep okt

Bulan

Gambar 14. Grafik pertumbuhan panjang rata-rata Lobophyllia hemprichii dengan


metode Image J.

Pada perlakuan dua (T2) dengan menggunakan image J pertumbuhan

fragmen karang mengalami peningkatan setiap bulannya. Panjang rata-rata

setiap bulan fragmen karang jenis Lobophyllia hemprichii pada perlakuan 2

dengan awal panjang rata-rata 79.01 mm mengalami perubahan panjang

sebesar 12.70 mm menjadi 90,75 mm, dengan laju pertumbuhan panjang

tercepat terjadi pada perlakuan dua (T2) sebesar 1.79 mm. Hasil perhitungan

menggunakan Image J ternyata sedikit berbeda dengan hasil perhitungan

manual, hal ini dikarenakan pada metode Image J, perhitungan panjang fragmen

karang jenis Lobophyllia hemprichii berdasarkan pixel yang ada pada foto,

sedangkan pengukuran panjang secara manual menggunakan jangka sorong

menyebabkan terjadi kesalahan pada saat pengambilan panjang fragmen karena

paralaks mata, bias air dan kemampuan setiap orang dalam melihat suatu benda
35

di air berbeda. Walaupun hasil dari kedua metode berbeda tetapi

pertumbuhannya memiliki pola yang sama setiap bulannya.

Keduanya menunjukan peningkatan pada setiap periode waktu yang

ditentukan mulai dari bulan April sampai Oktober. Perbandingan pertumbuhan

rata-rata dari perlakuan satu dan dua dapat kita lihat pada Gambar 15.
Laju Pertumbuhan Relatif (mm/bulan)

3.16
3

2.13 T1
2 1.98 1.87
1.80
1.59
1.56 1.56
1.54
1.64 1.59 T2
1.49
1

0
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6
Waktu

Gambar 15. Grafik laju pertumbuhan relatif menggunakan Image J prossesing.

Grafik perbandingan laju pertumbuhan rata-rata antara perlakuan satu

(T1) dan dua (T2) menggunakan Image J prossesing terdapat perbedaan dengan

menggunakan metode manual. Pada bulan ke-1 dan ke-2 laju pertumbuhan

fragmen karang perlakuan dua (T2) lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan

satu (T1). Bulan ke-1 perlakuan dua lebih kecil 0,03 mm dan bulan ke-2 lebih

kecil 0,07 mm daripada perlakuan satu (T1). Posisi pengukuran fragmen karang

secara insitu dapat berubah pada setiap proses pengukuran, sehingga ada

perbedaan antara hasil pengukuran dari perhitungan secara manual dan Image J

prosessing.

Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0,05) adanya yang menunjukkan

adanya pengaruh nyata perlakuan perbedaan luka 1 dan luka 2 terhadap

pertumbuhan panjang (Lampiran 6), hal ini diperkirakan dengan pemberian luka
36

yang lebih banyak memberi peluang bagi karang untuk berkembang menutupi

luka.

Hasil penelitian ini ternyata berbeda dengan penelitian Respati (2005)

dimana perlukaan dua pertumbuhannya lebih besar daripada perlukaan satu.

Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang lebih baik, dibandingkan dengan

penelitian Respati yang pada saat itu terjadi gangguan pencemaran minyak.
37

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pertumbuhan relatif karang masif Lobophylia hemprichii tidak

menunjukkan perubahan yang nyata dari bulan ke-1 hingga bulan ke-5 baik pada

Perlukaan 1 maupun Perlukaan 2, namun pada bulan ke-6 terjadi peningkatan

pertumbuhan yang sangat signifikan.

Karang masif tersebut setelah dua kali ditransplantasikan masih

menunjukkan pertumbuhan yang normal selama 6 bulan dengan pertambahan

panjang rata-rata 9,87 mm.

Pemberikan dua luka pada kedua sisi menunjukkan pertumbuhan lebih

baik daripada perlakuan dengan satu luka.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengamatan lanjutan dalam jangka waktu hingga satu

tahun atau lebih agar model pertumbuhan dapat terlihat lebih jelas.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pola pertumbuhan

turunan Ketiga (F3).

Perlu adanya penelitian untuk melihat perubahan luasan keseluruhan

fragmen karang batu yang ditransplantasikan.


38

DAFTAR PUSTAKA

Arafat, D. 2005. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Karang


(Hydnophora rigida dan Lobophyllia hemprichii) Hasil Fragmentasi
Buatan pada Bak Terkontrol. Skripsi. FPIK-IPB. Tidak dipublikasikan.

Aziz, A. M. 2002. Tingkat Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan dan Rasio


Pertumbuhan Beberapa Jenis Karang Batu dan Karang Api yang
Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Skripsi. FPIK-IPB. Tidak dipublikasikan.

Azkab, M. H. dan M. Hutomo. 1991. Sumberdaya Kepulauan Seribu dan Peranan


Stasiun Penelitian Oseanologi Pulau Pari. P3O LIPI. Jakarta.

BAK, R. P. M. dan S. R. Criens. 1981. Survival After Fragmentation of


Colonies of Madracis mirabilis, Acropora palmate and A. Cervicornis
(Sceleractinia) and The Subsequent Impact of Coral Desease. Proc.
Of 4th Int. Coral Reef Sym., Manila: 221-227.

Birkeland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. Chapman and Hall.
International Thamson publishing. 527 p.

Buchheim, J. 2002. Coral Reef Bleaching.


http://www.marinebiology.org/coralbleaching.htm

Burke, L., E. Selig dan M. Spalding (ed.). 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia.
World Recources Institute, United Nations Environment Program-
World Conservation Monitoring Centre, World Fish Centre, dan
International Coral Reef Action Network. English. 40 p.

Clark, S. dan A. J. Edwards 1995. Coral Transplantation as aid to reef


rehabilitation: Evaluation of Case Study in the Maldive Islands.
University of New Castle 14: 201-212 p.

Dishidros, TNI-AL. 1986. Teluk Jakarta: Air Pelayaran ke Tanjung Priok. Peta
No. 86. Jakarta.

Clark, S. dan A. J. Edwards 1998. Coral transplantation: A useful management


tool or misguided meddling?. Mar Poll Bull 37:474-487.

Fitriani, D, 2007. Metode Transplantasi Karang dengan Teknik Fragmentasi


Sebagai Salah Satu Upaya Pengelolaan Terumbu Karang. Program
Pascasarjana, Universitas Sriwijaya.

Harriot, V. J. dan D. A. Fisk. 1988. Coral Transplantation as a Reef


Management Option. Proceeding of The 6th International Coral Reef
Symposium, Australia. Volume 2.

Herdiana, Y. 2001. Respon Pertumbuhan serta Keberhasilan Transplantasi


Koral Terhadap Ukuran Fragmen dan Posisi Penanaman pada Dua
Spesies Karang Acropora micropthalma (Verill,1869) dan Acropora
39

intermedia (Brook, 1891) di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.


Skripsi. FPIK-IPB. Tidak dipublikasikan.

Johan, O. 2002. Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Batu Pada Lokasi


Berbeda Digugusan Pulau Pari kepulauan Seribu Jakarta. Thesis
(Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan


oleh Eidman, M., D. G. Bengen, Koesoebiono, M. Hutomo dan
Sukristijono. PT. Gramedia Jakarta. 459 p.

Radisho. 1997. Studi Karakteristik Hewan Karang Penyusun Ekosistem


Terumbu Karang Di Perairan Pulau Menjangan Besar dan Pulau
Menjangan Kecil, Zona Pemanfaatan Taman Nasional Laut Karimun
Jawa, Jawa Tengah. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Respati, Y.B. 2005. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan


Karang Jenis Caulastrea sp. dan Lobophyllia hemprichii Yang
Ditransplantasikan Dengan Fragmentasi Di Perairan Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. FPIK-IPB. Tidak Dipublikasikan

Sadarun. 1999. Transplantasi Karang Batu Di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.


Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 67 p.

Soedharma D. dan Dondy Arafat (2005) Perkembangan Transplantasi Karang di


Indonesia. Soedharma D, M. F. Rahardjo, Ferinaldy, Sri Eko
Susilawati, Dondy Arafat (Ed). Prosiding Seminar Transplantasi.
Bogor, 8 September 2005. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB.

Steel, R.G.D. dan JH. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-
2. Gramedia,Jakarta.

Subhan, B. 2002. Tingkat Ketahanan Hidup dan Laju Pertumbuhan Karang


Jenis Euphyllia sp (Dana, 1984), Plerogyra sinousa (Dana 1986) dan
Cynarina lacrymalis (Edward and Haime, 1848) yang
ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Jakarta. Skripsi. FPIK-IPB.
Bogor. Tidak dipublikasikan.

Suharsono dan W. Kiswara. 1984. Kematian Karang Alami di Laut Jawa.


Oseana. IX. Pusat Penelitian Biologi Laut. LON-LIPI. Jakarta.
(1):30-40.

Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan


Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta.

Suharsono. 1996. Petumbuhan Karang. Oseano Vol IX No. 2. Puslitbang


Oseanologi-LIPI Jakarta.
40

Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa dan P. Darsono.1981. Terumbu Karang di


Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek
Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON LIPI. Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit


Djambatan. Jakarta.

Suyarso. 1995. Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. P3O LIPI. Jakarta.

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the
Indonesian Sea Part II. Periplus Edition.

Veron, J. E. N. 1986. Coral of Australia and The Indo-Pacific. Angus&Roberson.


Australia. 644p.

Wilkinson, C. 2002. Status of Coral Reefs of The World : 2002. Australian


Institut of Marine Science. Australia.

Yarmanti, K. D. 2001. Studi Laju Pertumbuhan dan Tingkat Ketahanan Hidup


Karang Batu Spesies Acropora nobilis dan Acropora Formosa pada
Dua Kedalaman yang Berbeda di Pulau Pari, kepulauan Seribu.
Skripsi. FPIK-IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai