Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS DEGRADASI LINGKUNGAN HIDUP PADA EKOSISTIM PADANG RUMPUT

DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama dekade terakhir ini Sumberdaya Alam (SDA) dan
lingkungan hidup di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus mengalami degradasi
(penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas). Degradasi lingkungan hidup yang terjadi
disebabkan oleh ulah manusia yang tidak dan/atau kurang bertanggung jawab terhadap
kelestarian lingkungan hidup yang dengan sengaja mengekploitasi SDA dengan semena-mena.
Berdasarkan beberapa laporan penelitian terjadinya degradasi lingkungan hidup berbanding
terbalik dengan semakin meningkatnya kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang semakin
besar. Oleh karenanya untuk mengeliminasi degradasi lingkungan hidup, perlu dibangun dan
ditumbuhkan kesadaran dan kepedulian dari unsur pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar
dapat berperan serta dalam penanggulangan masalah degradasi lingkungan sesuai dengan
kapasitas dan kemampuan masing-masing. Secara geografis Propinsi NTT merupakan daerah
yang memiliki potensi ekosistem padang rumput yang cukup luas yaitu sekitar 1.881.210 ha
(Nullik dan Bamualim, 1988). Namun potensi ini setiap tahunnya terus mengalami degradasi
sebagai akibat dari pemanfaatan ekosistem padang rumput menjadi lahan penggembalaan ternak
ataupun alih fungsi lahan untuk kegiatan pertanian lahan kering maupun kegiatan pembangunan
lainnya, sehingga ekosistem padang rumput ini sangat rentant dan berpengaruh terhadap variabel
lingkungan baik ditinjau dari aspek geofisik-kimia, biologi, sosial ekonomi dan budaya maupun
aspek kesehatan masyarakat. Ekosistem padang rumput (grasslands) yang ada di propinsi NTT
memiliki keunnikan tersendiri dari daerah lainnya yang ada di Indonesia maupun di dunia karena
ekosistem padang rumput ini terbentuk pada kondisi iklim kering dengan topografi yang berbukit
dan bergelombang. Gambaran ini menunjukan bahwa pada ekosistem padang rumput memiliki
juga struktur ekosistem yang berbeda jika ditinjau dari komponen pembentuk ekosistem tersebut
dari aspek biotik (heterotrof, autotrof), abiotik dan decomposer (pengurai). Dalam susunan
ekosistem demikian dapat pula membentuk pola aliran energi dan siklus materi yang dapat
mennyokong rantai makanan dalam kehidupan berbagai organisme yang ada di dalam ekositem
tersebut sebagai habitanya. Jika ekosistem padang rumput di Propinsi NTT dikelolah secara baik
maka, tidak mungkin akan memberikan dampak terhadap pembangunan terutama sektor
peternakan karena ekosistem padang rumput ini dapat dikembangkan untuk kawasan
penggembalaan, apalagi Propinsi NTT diharapkan menjadi daerah gudang ternak sebagai
penyedia pangan sumber daging utama untuk mendukung program NTT sebagai Propinsi
Ternak. 1.2. Pengertian Ekosistem Padang Rumput Makhluk hidup dengan lingkungan
merupakan satu kesatuan fungsional yang tidak dapat dipisahkan.Hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem tersusun dari komponen
biotik (berbagai makhluk hidup) dan komponen abiotik seperti iklim, tanah, air, udara, nutrien
dan energi. Ekosistem merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan
utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas lingkungan.Sebuah ekosistem adalah level paling kompleks dari sebuah organisasi
alam (Soemarwoto,2008). Dalam suatu ekosistem, hubungan antar komponen berlangsung
sangat erat dan saling memengaruhi dengan tingkatan trofik komponen biotik yaitu ada
organisme yang berperan sebagai produsen, konsumen primer, konsumen sekunder, konsumen
tersier, konsumen puncak, dan pengurai. Oleh karena itu gangguan atau kerusakan pada salah
satu komponen dapat menyebabkan kerusakan seluruh ekosistem. Manusia merupakan
komponen ekosistem yang dapat berpotensi sebagai penyelamat dan sekaligus sebagai perusak
ekosistem tersebut (Odum.1971). Holmes (1980) dalam Gregorius (2011) mendefenisikan

padang rumput alam sebagai salah satu komunitas tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh jenis
rumput perennial dengan atau tanpa leguminosa, belukar yang jarang dan atau tanpa pepohonan.
Jadi ekosistem padang rumput adalah tanah yang datar dan luas yang tidak ditumbuhi pohonpohon berkayu besar tetapi didominasi oleh tumbuhan terna dan rumput. 1.3. Struktur Ekosistem
Padang Rumput (grasslands) Terbentuknya padang rumput (grasslands) secara alami lebih
banyak disebabkan oleh faktor cuaca tepatnya oleh rendahnya tingkat curah hujan, yakni hanya
sekitar 30 mm/ tahun. Curah hujan yang rendah menyulitkan tumbuhan untuk menyerap air.
Akibatnya, hanya jenis tumbuhan rumput yang dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan
lingkungan alam yang kering. Pada habitat darat dikenal istilah Bioma yaitu daerah habitat yang
meliputi skala yang luas atau bisa juga diartikan kumpulan species (terutama tumbuhan) yang
mendiami tempat tertentu di bumi yang dicirikan oleh vegetasi tertentu yang dominan dan
langsung terlihat jelas di tempat tersebut. Oleh karena itu biasanya bioma diberi nama
berdasarkan tumbuhan yang dominan di daerah tersebut salah satunya adalah padang rumput.
Sebuah padang rumput merupakan lapangan yang dipenuhi oleh rumput dan tanaman tak
berkayu. Dipotong untuk jerami atau dimakan oleh ternak, domba, kambing, sapi dan kerbau.
Bioma terbagi menjadi beberapa jenis, ditentukan oleh iklim, letak geografis, curah hujan dan
intensitas cahaya mataharinya. Pada bioma padang rumput ini terdapat cukup curah hujan, tetapi
tidak cukup untuk menumbuhkan hutan. Tumbuhan dominannya adalah rumput, sedangkan
pohon dan semak terdapat di sepanjang sungai di daerah tersebut. Padang rumput terdiri atas
steppa (padang rumput pendek), prairie (padang rumput tinggi), padang rumput tropis dan
padang rumput abadi. Steppa merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi rumput-rumputan
pendek (< 1 m) dengan diselangi oleh pepohonan. Istilah steppa digunakan untuk menyebutkan
padang rumput di Eurasia. Prairie adalah wilayah padang rumput tinggi ( 3,5 M) yang luas dan
tanpa pohon. Adapun padang rumput tinggi di Kansas Amerika Utara bagain tengah dinamakan
prairie yang didominasi oleh jenis padang rumput Indian Grasses. Di Argentina disebut pampas
dan di Hongaria disebut puszta, di Rusia dikenal Steppe dan di Afrika Selatan disebut Veldt.
Wilayah persebaran padang rumput di daerah tropis terdapat di Afrika, Amerika Selatan, dan
Australia Utara. Adapun di daerah iklim sedang terdapat di bagian barat Amerika Utara,
Argentina, Australia, dan Eropa terutama Rusia Selatan dan Siberia. Padang Rumput
Hulunber,Tiongkok dekat republik Mongglia, merupakan padang rumput terindah di dunia.
Sedangkan Di India terdapat padang rumput yang dijadikan Taman Nasional karena merupakan
habitat dari 100 harimau, 2.000 badak cula satu, 1.800 banteng liar seperti Taman Nasional
Kaziranga adalah kerajaan padang rumput India. Sedangkan padang rumput abadi adalah salah
satu faktor lingkungan yang melarang pertumbuhan tanaman berkayu, hal ini cukup jelas
alasannya karena situasi ekstrem-lah yang membantu daratan itu hanya bisa ditumbuhi oleh
rumput. Contoh padang rumput abadi antara lain; (1) Padang rumput Alpen tumbuh di dataran
tinggi dan dijaga oleh kondisi iklim ekstrim / keras; (2) Padang rumput pantai dijaga oleh
semburan garam; (3) Padang rumput gurun terjadi karena kelembaban rendah; (4) Prairie dijaga
oleh tahapan kemarau sedang dan dapat mengalami kebakaran liar; dan (5) Padang rumput basah
adalah wilayah semi-tanah atau basah yang dihujani sepanjang tahun. Lingkungan fisik
Ekosistem padang rumput meliputi (1). Flora: tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan daerah
dengan porositas dan drainase kurang baik adalah rumput, meskipun ada pula tumbuhan lain
yang hidup selain rumput, tetapi karena mereka merupakan vegetasi yang dominan maka disebut
padang rumput; dan (2). Fauna: jenis hewan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan tersebut
sebagai habitatnya seperti : bison dan kuda liar (mustang) di Amerika; gajah dan jerapah di
Afrika; domba dan kanguru di Australia. Karnivora: singa, srigala, anjing liar dan ular; Herbivora

Tikus, dan berbagai jenis serangga (Ridwana,2008). Perbedaan yang cukup antara stepa dengan
sabana adalah : pada bioma sabana merupakan padang rumput yang diselingi oleh kumpulan
pepohonan besar, sedangkan pada bioma stepa merupakan padang rumput yang tidak di selingi
oleh kumpulan-kumpulan pepohonan, kalaupun ada hanya sedikit saja pepohonan yang ada.
Suatu ekosistem padang rumput berdasarkan susunan dan fungsinya tersusun dari beberapa
komponen sebagai berikut : a. Komponen autotrof; Secara etimologi autotrof berasal dari kata
Auto yang berarti sendiri, dan trophikos yang berarti menyediakan makan pengertian dari
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa
bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia.
Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya :tumbuh-tumbuhan hijau. b.
Komponen heterotrof; heterotrof berasal dari kata Heteros yang berarti berbeda, dan trophikos
yang berarti makanan. Pengertian dari Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan
bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain
dan yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba. c. Bahan tak hidup
(abiotik); bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara,
sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya
kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. d. Pengurai (dekomposer); pengertian dari pengurai
adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati
(bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan
melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.
Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur. II. ANALISIS DEGRADASI EKOSISTEM
PADANG RUMPUT DI NTT 2.1. Degradasi Ekosistem Padang Rumput Menurut Oldeman
(1992) bahwa degradasi ekosistem adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas
lingkungan (kualitas maupun kuntitas) pada ekosistem tersebut dalam memberikan hasil (produc)
baik saat ini maupun masa mendatang. Ekosistem padang rumput mengalami degradasi, yaitu
penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas lebih disebabkan oleh: (1) faktor ulah manusia
(human destructions) yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup yang
dengan sengaja mengekploitasi SDA dengan semena-mena; dan (2) faktor alamiah (natural
disasters) seperti angin taupan, kebakaran, letusan gunung berapi dan lain sebagainya yang
menyebabkan ancaman terhadap degradasi lingkungan hidup. Degradasi lingkungan adalah
penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas kondisi lingkungan, baik yang berupa kondisi
sumberdaya tanah, air, udara, flora, fauna, dan sumber daya alam lainya beserta mahluk hidup
lain yang berada di dalamnya. Proses degradasi ini merupakan suatu perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia, dan/atau hayati linkungan hidup yang
melampaui dari kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup tidak
dapat memberikan daya dukungya secara optimal terhadap kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya yang berada dalam kesatuan ekosistem sebagai habitatnya (Soetedjo,2011).
Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang
lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis,
manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu
komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.
Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu
pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar
komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.
Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar
komponen ekosistem yang tidak seimbang (Odum, 1971) 2.2. Karakteristik Ekositem Padang

Rumput di Propinsi NTT Wilayah Propinsi NTT, beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin
musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember)
sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Suhu udara rata-rata
27,60 C, suhu maksimum rata-rata 290 C, dan suhu minimum rata-rata 26,10 C. Dari uraian
singkat tentang keadaan daerah NTT ini dapat di ambil kesimpulan bahwa hampir semua wilayah
di NTT terdapat kawasan padang rumput yang luas. Menurut Nullik dan Bamualim (1998)
bahwa luas padang rumput NTT adalah 1.881.210 ha dengan perincian kawasan Timor Barat =
705.040 ha; Kawasan Flores = 406.170 ha ; dan kawasan Sumba = 770.600 ha. Menurut data
hasil rekalkulasi tutupan lahan darat Indonesia berdasarkan citra Landsat tahun 2002 (Dephut,
2002) disetir oleh Riwu Kaho (2005) menunjukan bahwa luas padang rumput NTT sebesar 793.1
ribu ha. Padang rumput di NTT sering digunakan untuk padang penggembalaan yang bersifat
temporer dengan jangka waktu satu tahun atau kurang dengan tujuan untuk menyediakan hijauan
makanan ternak pada saat kritis. Ciri-ciri ekosistem padang rumput di NTT adalah: Curah hujan
antara 25 - 50 cm/ tahun, di beberapa daerah padang rumput curah hujannya dapat mencapai 100
cm/tahun. Curah hujan yang relatif rendah turun secara tidak teratur.Turunnya hujan yang tidak
teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan
sukar mengambil air. Ekosistem padang rumput di NTT termasuk tipe iklim kering dengan pola
stepa padang rumput pendek. 2.3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi lingkungan
pada ekosistem padang rumput di Propinsi NTT Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
degradasi ekositem padang rumput di NTT antara lain: (1) Kebakaran liar padang rumput;
kelestarian ekositem padang rumput akan sangat mencemaskan karena adanya ancaman utama
terhadap kelestariannya yaitu: penggunaan api dalam manajemen padang rumput secara
tradisional dan secara tidak terkontrol menyebabkan padang rumput ang ada terancam menjadi
padang marjinal dan akan memicu timbulnya pergeseran susunan botani dan tanahnya akan
gundul dalam jangka waktu yang lebih lama dan mungkin terjadi pengikisan. (2) Aktivitas alih
fungsi lahan; Menurut Utomo dkk (1992) dalam Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan
atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi
lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktorfaktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik,
sebagai contoh bahwa alih fungsi lahan di kawasan Timor Barat lebih diarahkan untuk
penambangan Mangan. (3) Tekanan penggembalaan yang berlebihan; kondisi ini telah
menyebabkan perubahan struktur tanah menjadi padat dan menghambat proses infiltrasi air ke
dalam tanah sehingga menurut Riwu Kaho (1996) yang disetir oleh Gregorius (2011)
melaporkan bahwa, kesuburan kimia tanah padang rumput di Timor Barat umumnya rendah
sampai dengan kadar nitrogen (0,5-0,56%), walaupun acapkali nilai kapasitas tukar kation
tanahnya cukup tinggi (62,55-75,74 me/100gr), sedangkan derajat keasaman tanahnya netral
sampai agak alkalin (6,8-7,5). (4) Tekanan gulma: seperti gulma lantana camara, mimosa
spp,Chromolaena odorata yang telah menginvasi padang rumput di NTT. Di banyak tempat
gulma ini membentuk suatu asosiasi vegetasi tersendiri yang menekan habis jenis rumput dan
herba pakan hijauan lainnya (Riwu Kaho, 2005). (5) Padang rumput milik masyarakat
(communal grazing areas ) seperti di Sumba; dapat menimbulkan persoalan lain yaitu
kecemburuan sosial dan perubahan persepsi masyarakat adalah kepemilikan padang rumput yang
dikuasai oleh suku tertentu saja dapat berimplikasi terhadap konflik sosial dalam masyarakat.

2.4. Hubungan degradasi ekosistem padang rumput dengan variabel lingkungan di Propinsi NTT
Hubungan degradasi ekosistem padang rumput dengan variabel lingkungan di Propinsi NTT
antara lain: 1) Aspek geofisik-kimia : Berdampak pada terjadinya erosi dan perubahan aliran air,
perubahan morfologi lahan, berkurangnya ketersediaan air tanah; terjadinya perubahan iklim
mikro, infiltrasi air permukaan dan pertumbuhan rumput terganggu, munculnya berbagai
penyakit terhadap manusia dan biota darat; Faktor penyebabnya antara lain alih fungsi lahan
untuk usaha pertanian lahan kering, penambangan Mangan (kasus di kawasan Timor Barat),
pembakaran padang rumput yang tidak terkontrol, dan terkonsentrasinya aktivitas
penggembalaan ternak secara berlebihan Masalah; terganggunya infiltrasi air, berkurangnya
volume dan debit air, berkurangnya luas padang penggembalaan (rumput sebagai pakan ternak),
struktur tanah rusak serta dapat menyebabkan perubahan iklim mikro. 2) Aspek biologi :
Berdampak pada terjadinya migrasi fauna, punahnya flora asli dan terjadinya ledakan hama;
Faktor penyebabnya alih fungsi lahan untuk usaha tani lahan kering, usaha tambang mangan dan
pembakaran rumput yang tidak terkontrol. Masalah: terganggunya mata rantai ekosistim padang
rumput dan Ideks Nilai Penting (INP) flora fauna menurun. 3) Aspek sosial ekonomi dan
budaya: Berdampak terjadinya kemiskinan, perubahan sikap dan persepsi masyarakat, potensi
konflik serta kerawanan sosial; Faktor penyebabnya tekanan pengembalaan ternak, kepemilikan
lahan oleh suku tertentu, alaih fungsi lahan serta pembangkaran padang rumput yang tidak
terkontrol. Masalah: Berkurangnya pendapatan petani-peternak, adanya proses social disosiatif
(muncul monflik) dan hubungan social masyarakat akan terganggu. 4) Aspek kesehatan
masyarakat: Berdampak pada terjadinya perubahan angka kesakitan dan pola penyakit pada
masyarakat. Faktor penyebabnya pembakaran padang rumput yang tidak terkontrol, alaih fungsi
lahan untuk usaha tambang Mangan (kasus Timor Barat) dan tekanan penggembalaan. Masalah
berbagai penyakit pada manusia (ISPA, Malaria, Disentri, Kudis/eksim dll) III. UPAYA DAN
STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG RUMPUT DI PROPINSI NTT 3.1.
Perbaikan struktur tanah dan tata guna lahan pada ekosistem padang rumput Berdasarkan
berbagai laporan penelitian dan studi bahwa selama 20 tahun terakhir ini terjadi penyusutan luas
padang rumput di Propinsi NTT, karena dikonversi untuk penggunaan lain seperti usaha
pertanian lahan kering, penambangan Mangan dan kegiatan lainnya. Disamping itu akibat
adanya tekanan penggembalaan yang berlebihan telah menyebabkan struktur tanah berubah
menjadi padat sehingga telah menghambat infiltrasi air yang akhirnya menyebabkan struktur
ekosistem padang rumput dapat terganggu. Persoalan ini perlu diatasi dengan strategi
memperbaiki struktur tanah dan tata guna lahan padang rumput dengan melakukan upaya
introduksi tanaman leguminosa untuk mengembalikan kesuburan tanah seperti jenis rumput
Brachiaria brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah jenis rumput
dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun, tahan kering dan tahan
penggembalaan berat (Riwu Kaho,2007). Hal yang lain adalah dengan pengaturan tataguna lahan
dengan merumuskan secara tegas lokasi pergiliran penggembalaan ternak,terutama pada waktu
periode bulan Mei-Juni dan pengaturan tata ruang untuk aktivitas usaha pertanian lahan kering
maupun usaha penambangan Mangan. 3.2. Pengelolaan pembakaran padang rumput Berdasarkan
beberapa laporan penelitian menganjurkan pengelolaan pembakaran untuk keperluan usaha
pertanian lahan kering dilakukan agak lambat di musim kering dengan penerapan teknik
membakar headfiring, backfiring, dan pembakaran berkeliling dengan memantauarah angin, jam
membakar, temperatur, dan kelembaban yang disesuiakan dengan kondisi fisik padang rumput
sehingga intensitas dan kecepatan merambat dari api tidak membahayakan dan mudah dikontrol.
3.3. Pengembangan kapasitas masyarakat Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang

rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup untuk ekosistem padang rumput
merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan
yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki
pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya
pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu
mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD dan pelatihan penguatan kapasitas
masyarakat akan pentingnya pengelolaan ekosistem padang rumput. Hal ini dipandang penting,
karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah
menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai
peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah lingkungan hidup. IV. PENUTUP Di Propinsi
NTT padang rumput sering digunakan untuk padang penggembalaan yang bersifat temporer
dengan jangka waktu satu tahun atau kurang dengan tujuan untuk menyediakan hijauan makanan
ternak pada saat kritis. Namun ekosistem padang rumput ini memiliki curah hujan yang relatif
rendah dan turun secara tidak teratur.Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan
porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air, sehingga
ekosistem padang rumput di NTT termasuk tipe iklim kering dengan pola stepa padang rumput
pendek. Upaya menghindari terjadinya degradasi akibat alih fungsi lahan pertanian, maka perlu
perhatikan hal-hal sebagai berikut : harus adanya sosialisasi kepada masyarakat setempat
sebelum terjadinya peralihan fungsi lahan dari ekosistem padang rumput. Dalam konteks
efisiensi produktivitas ekosistem padang rumput perlu perbaikan kualitas HMT padangan yang
dilaksakana secara simultan beberapa usaha sekaligus, yaitu penerapan prinsip-prinsip range
management, seperti pengendalian vevegtasi, pengedalian kesuburana tanah dan pengendalian
tenak. Perhatian khusus patut diberikan pada upaya pengelolaan kebakaran dan pengintegrasian
sistem padang penggembalaan dengan cabang usaha tani lainnya (sistem agroforestri). Perlu
dirumuskan kebijakan perlindungan dan pengeloaan sumberdaya ekosistem padang rumput
berupa kebijakan, Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan Bupati (Perbub) dalam
mewujudkan produktivitas ternak di Propinsi NTT sebagai gudang ternak. DAFTAR PUSTAKA
Gregorius,T,2011, Pengaruh Pembakaran Terhadap produktivitas Padang Rumput, Artikel, dalam
http://husbandryanimalthomndsgregoriuss.blogspot.com Diakses pada tanggal 29 September
2011. Lestari,T. 2009, Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani, Makalah
Kolokium Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Nullik, J,
dan A. Bamualim,. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP, Naibonat dan
EIVSP AusAID, Kupang. Odum.E.P., 1971, Fundamentals of Ecology,W.B.Samders
Company,Philadelphia. Oldeman, L.R. 1992, The Global Extent of Soil Degradation. In
Greenland, D.J. and Szobolcs, I. (Ed).Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB
International. Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkina
Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor
Barat). Disertasi pada PPs UGM, Bidang Ilmu Kehutanan, Yogjakarta. Riwu Kaho, L.M,2007,
Prospek Pengembangan Padang Penggembalaan dan Kebun HMT di Propinsi NTT, Makalah,
disampaikan pada Seminar Pertemuan Perluasan Areal dan PenampinganTingkat Propinsi NTT,
Dinas Peternakan NTT pada tanggal 28 Juli 2007, Kupang. Ridwana, Riki,2008.,Padang
Rumput, Artikel dalam http://iki-padangrumput.blogspot.com, diakses pada tanggal 29
September 2011 Soemarwoto,O. 2008. Ekologi Lingkungan Hidup dan
Pembangunan.Djambatan. Jakarta. Soetedjo,I.N.P, 2011, Prinsip-prinsip Degradasi dan
Pencemaran Lingkungan, Materi Pokok Perkuliahan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program
Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Konflik Lingkungan PLTU Batang Masih


Mengalami Kebuntuan
February 12, 2013 Tommy Apriando (Kontributor Daerah Istimewa Yogyakarta)

80

Aksi warga beberapa waktu silam menolak PLTU Batang di kawasan konservasi laut. Foto: LBH
Semarang
Penolakan warga terhadap rencana pembangunan PLTU Batang saat ini disikapi secara serius
oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Daerah Jawa Tengah maupun Pemerintah Kabupaten
Batang. Keinginan besar untuk mendirikan PLTU Batang di kawasan konservasi terumbu karang,
di desa Karanggeneng ini dilakukan oleh Pemerintah daerah Provinsi maupun Kabupaten dengan
menerjunkan puluhan aparat, baik itu TNI maupun Polri dengan dalih untuk mengkondusifkan
suasana di masyarakat. Mereka dari Polres Batang dan Kodim Batang. Kami merasa takut dan
tidak nyaman dengan keberadaan TNI dan Polri di desa kami, karena kami merasa tidak ada apaapa. Keberadaan mereka malah melarang kami berkumpul bersama warga dan kemarin
menyobek aspirasi tertulis yang dipasang ditembok rumah masing-masing warga. kata
Imiyanto, warga Ponowareng kepada Mongabay Indonesia.
Dalam rilis LBH Semarang yang diterima Mongabay Indonesia dijelaskan, sebelum adanya
aparat TNI dan Polri, keadaan desa Karanggeneng dan desa Ponowareng itu relatif kondusif dan
seperti biasa adanya. Penerjunan TNI dan Polri di desa Karanggeneng dan Ponowareng ini dibuat
seolah-olah terjadi konflik yang serius dan suasana desa mencekam, agar ada alasan pembenar
terhadap penerjunan tersebut. Kepada siapa kami meminta perlindungan HAM, kalau aparat
pemerintah justru yang melanggar HAM dan melarang Hak asasi kami, jelas Ilmiyanto, warga
Ponowareng

Hal senada juga dilontarkan oleh Didit dari Greenpeace Indonesia yang mendampingi warga
desa. Kami berharap aparat TNI dan Polri harus segera ditarik karena keberadaannya malah
membuat takut warga dan ini bukan daerah konflik, ungkap Didit.
Menurut LBH Semarang, walaupun secara hukum dan HAM masyarakat ini mempunyai hak
untuk keberatan tetapi mereka dianggap oleh pemerintah sebagai masyarakat yang melawan
pemerintah. Banyak nilai-nilai HAM dalam rencana pembangunan PLTU Batang ini diabaikan
dan dilanggar, hal tersebut dapat dibuktikan bahwa adanya kriminalisasi terhadap sejumlah
warga yang menolak. Kami menuntut agar TNI dan Polri harus segera di tarik, Bubarkan Posko
Pengadaan Tanah dan Lindungi Hak Asasi warga setempat karena sangat meresahkan para warga
dan membatasi Ham warga setempat, tegas Wahyu Nandang Herawan, Staff LBH Semarang.
Dalam menangani kasus PLTU Batang, Polri dan TNI langsung menggunakan Instruksi Presiden
(Inpres) No 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri yang
mengatur penanganan khusus terhadap konflik sosial sangat membahayakan situasi dalam negeri
karena kembali melibatkan TNI seperti di era Orde Baru.Jangan berlindung dalam Inpres No 2
Tahun 2013 karena di Batang ini tidak ada konflik, tutup Nandang.

Denah PLTU Batang. Klik untuk memperbesar peta.

RESOLUSI KONFLIK LINGKUNGAN

Tugas Manajemen Lingkungan


Review Buku

RESOLUSI KONFLIK LINGKUNGAN


Karya Sudharto P Hadi

BAB I
RINGKASAN

KONFLIK DAN KONFLIK LINGKUNGAN


Dalam kamus bahasa Indonesia, konflik dan sengketa diartikan sebagai
perselisihan. Sengketa lingkungan adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih
yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau
perselisihan lingkungan hidup. Santosa (2002) membedakan konflik dalam tiga
kategori yaitu konflik sebagai persepsi, perasaan, dan tindakan. Kovach (1994)
menjelaskan bahwa konflik adalah suatu perjuangan mental dan spiritual mansia
yang menyangkut perbedaan.
Lingkungan hidup memiliki potensi konflik yang tinggi. Hal ini karena ciri ciri
yang melekat padanya dan cara pandang pihak yang berkepentingan berbeda. Ciri

ciri yang dimaksud adalah intangible eksternalitas negatif, jangka panjang, dan
masih kuatnya anggapan bahwa lingkungan merupakan barang publik
Secara

garis

besar

konflik

lingkungan

dikategorikan

sebagai

konflik

peninggalan masa lalu dan konflik di era reformasi. Pada konflik masa lalu,
permasalahan biasanya menyangkut masalah perebutan

pemanfaatan sumber

daya alam antara masyarakat dan pihak yang berkepentingan sseperti pemerintah
dan pengusaha. Sedangkan konflik di era reformasi lebih kompleks lagi, karena
konflik tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau pengusaha
tetapi juga konflik antar sektor dalam pemerintahan, konflik antar masyarakat.

MEDIA PENYELESAIAN KONFLIK


Salah satu media penyelesaian konflik adalah perundingan atau pilihan
penyelesaian sengketa (ADR). Moore (1996) membagi penyelesaian konflik kedalam
empat kategori. Kategori pertama disebut sebagai private decision making by
parties yang meliputi conflict avoidance, informal discussion and problem solving,
negotiation and mediation. Kategoro kedua disebut private third party yang meliputi
administrative decision dan arbitration. Kategori ketiga terdiri atas judicial decision
dan legislative decision. Sedangkan kategori terakhir disebut sebagai extra legal
coercion decision making yang meliputi non-violent direct action dan violence.

Keunggulan ADR

Mampu memenuhi segitiga kepuasan (triangle satisfaction).


Murah, cepat dan efisien karen aprosedurnya tidak serumit seperti di pengadilan.
Banyak pihak yang ikut serta di perundingan.
Agenda pembahasan merupakan kreasi dari para pihak sehingga bisa dipilih issu
mana yang perlu dibahas.
Sejalan dengan semangat reformasi

Kelemahan ADR
Keengganan berunding karena menganggap masalah yang terjadi bukan masalah
baginya.
Tidak merasa setara. Maksudnya adalah pihak perusahaan selalu merasa diatas
angin, dan dalam pandangannya masalah bisa diselesaiakn melalui pendekatan
kekuasaaan.
Pemahaman tentang ADR.
Bertahan pada posisi. Kesepakatan tidak akan tercapai jika masing- masing pihak
selalu bertahan pada posisinya atau pendapatnya.
Tidak rasional. Tuntutan yang diberikan oleh masyarakat terlalu tinggi untuk dituruti
oleh pihak perusahaan.
Kecurigaan yang berlebihan.
Kekuatan hukum lemah.
Belum tersedianya mediator dalam jumlah yang memadai.

Secara legal, media perundingan diatur dalam pasal 30-33, UU no 23 tahun


1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH). Berdasarkan UU no 23 tahun
1997 dan PP 54 tahun 2000 ciri ciri ADR meliputi hal hal sebagai berikut
1.
2.
3.
4.

Bersifat pilihan
Tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup
Gugatan perdata tidak boleh diajukan ke pengadilan saat

proses perundingan

berjalan
Cakupan kesepakatan tidak hanya berkenaan dengan ganti rugi atas kerugian
yang diderita karena kegiatan pihak lain, tetapi juga menyangkut tindakan tertentu
yang bisa menyangkut penanggulangan sumber kerusakan / pencemaran dan

5.

tindakan melakukan rehabilitasi lingkungan yang rusak


ADR dapat menggunakan jasa pihak ketiga netral sebagai penengah atau wasit
Pada pasal 8 PP 54/2000 disebutkan bahwa lembaga penyedia jasa dapat
dibentuk oleh pemerintah dan atau masyarakat. Dalam hal lembaga penyedia jasa

yang dibentuk oleh pemerintah, ditingkat pusat ditetapkan oleh menteri, ditingkat
provinsi oleh gubernur, dan di tingkat kota/kabupaten oleh walikota/bupati.
Sedangkan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakrat ditetapkan
dengan akta notaris.

TAHAPAN DAN PROSES PERUNDINGAN


Kovach (1994:24) mengatakan bahwa proses mediasi terdiri dari tahapan
tahapan:

Pembukaan
Mencari fakta dan memilah masalah masalah
Menciptakan pilihan pilihan pemecahan masalah
Perundingan dan pengambilan keputusan
Klarifikasi dan penyusunan rencana
Telaah hokum dan pemrosesan
Implementasi, telah dan revisi kesepakatan

MEDIATOR DAN NEGOSIATOR


Moore (1986:41) menggolongkan tipologi mediator menjadi tiga kategori, yaitu
1.

Mediator jaringan sosial (social network mediator) yaitu mediator yang dipilih

2.

karena adanya hubungan sosial seperti sengketa antara tetangga atau teman.
Mediator otoritatif (authoritative mediator) yaitu mediator yang dipilih karena

3.

memiliki kewenangan.
Mediator independen (independent mediator) yaitu mediator yang dipilih karena
professional

Menurut Kovach (1994:28) peran mediator meliputi hal-hal sebagai berikut


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Mengarahkan komunikasi diantara para pihak


Memfasilitasi proses perundingan
Mengevaluasi kemajuan proses perundingan
Membantu para pihak untuk memahami masalah yang pokok
Mengajukan usulan pemecahan masalah
Mendorong para pihak kearah penyeesaian masalah
Mengandalikan jalannya proses perundingan

Menurut Fuller mediator berfungsi sebagai


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Catalyst, pendorong paara pihak untuk berpendapat


Educator,memberi penjelasan tentang proses mediasi
Translator, menerjemahkan keinginan salah satu pihak ke pihak lain
Resource person, sebagai sumber informasi dan tempat bertanya
Bearer of bad news, penerima pertama informasi atas kegagalan usulan salah satu
pihak
Agent of reability, mengingatkan semua pihak atas realitas di lapangan
Scapegoat, siap menerima akibat kekeliruan proses perundingan

Syarat menjadi mediator yang baik menurut Simkin


-

Kesabaran dan ketelatenan


Memiliki ketahanan mental dan fisik yang pantang menyerah
Kemampuan menelusuri kebutuhan dan kepentingan
Memiliki kemampuan amemaipulasi diri dalam artian positif
Mampu menunjukan integritas dan kenetralanya
Humanistik
Mampu mengendalikan diri sendiri
Memiliki ketajaman analisis

Negosiator adalah perunding yang bertindak atas nama atau mewakili pihak
yang bersengketa. Ia menjadi kunci keberhasilan perundingan. Oleh karena itu
Santosa (2002) mengemukakan syarat syarat yang harus dimiliki oleh seorang
negosiator yang efektif sebagai berikut
-

Memahami materi yang dirundingkan


Mampu mengekspresikan pikiran secara verbal
Mampu berfikir secara utuh, jernih dan tepat dalam kondisi dibawah tekanan
Memiliki kemampuan dan keterampilan mendengarkan
Memiliki kemampuan mengambil keputusan
Memiliki integritas
Memiliki kemampuan mempengaruhi
Sabar dan mampu mengundang respek dan kepercayaan dari lawan

BAB II
ANALISIS DAN KRITIK KRITIS
Konflik lingkungan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh
masyarakat

kita

dewasa

ini.

Masalah

ini

kian

tummbuh

seiring

dengan

berkembangnya industri industri di sekitar mereka. Pihak pemilik industri lebih


mengedepankan aspek kentungan dari pada aspek lingkungan sekitar industri,
sehingga munculah konflik antara masyarakat sekitar kawasan dengan pemilik
industri.
Dalam buku ini dijelaskan tentang bentuk bentuk konflik lingkungan, faktor
faktor penyebab konflik dan pola penyelesaian konflik. Uraian yang lebih luas
adalah tentang conflict resolution atau resolusi penyelesaian konflik dengan disertai
berbagai

contoh

dari

beberapa

masalah

yang

telah

diselesaiakan

melalui

perudingan maupun masalah yang belum terselesaikan


Buku ini secara khusus ditulis oleh penulis dengan sasaran baca mahasiswa
program studi ilmu lingkungan, ilmu hokum, perencanaan wilayah dan kota,
administrasi publik dan pemerintahan dan juga para aktivis LSM yang sering
bertindak

sebagai

pendamping

bagi

masyarakat,

aparat

pemerintah

yang

memfasilitasi perundingan atau mungkin juga terlibat masalah koonflik dan


kalangan swasta yang sering menjadi pihak yang bersengketa.
Pembahasan yang dijabarkan dalam buku ini ditulis dengan lengkap serta
disertai contoh - contoh dan bagan bagan yang memperjela maksud penulis,
sehingga pembaca dapat memahami secara utuh apa yang dijelaskan oleh penulis.
Selain beberapa hal diatas, adanya buku mengenai resolusi konflik
lingkungan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masalah
masalah lingkungan yang sedang terjadi sekarang ini. Para generasi muda yang
membaca buku ini dapat mengerti dan memahami bagaimana cara menyelesaikan
konflik dengan cara yang benar. Selain itu pembaca juga dapat menggunakan buku
ini sebagai bekal dalam berperilaku kedepannya, agar tidak menimbulkan
kerusakan alam dan kesenjangan ekosistem sehingga tidak menimbulkan konflik
yang berkepanjangan di kemudian hari.
Namun disayangkan, dalam buku ini terdapat banyak contoh kasus yang
digunakan secara berulang ulang oleh penulis, sehingga pembaca merasa bosan
dengan kasus tersebut. Penggunaan kalimat dalam penulisan buku ini juga berbelit
belit dan menggunakan bahasa ataupun kata kata yang kurang sederhana,
sehingga susah untuk dipahami oleh pembaca terutama oleh masyarakat awam

Selain itu, desain penulisan dengan menggunakan sub bab sub bab seperti
yang tertuang dalam buku ini juga menyulitkan pembaca, karena pembaca akan
kesulitan memahami penjelasan yang sedang dipaparkan penulis masuk dalam bab
atau sub bab tertentu.
Secara keseluruhan,

buku

ini

merupakan

buku

yang

bagus.

Penulis

menuliskan buku ini dengan objektif tanpa memihak salah satu pihak manapun.
Sehingga buku ini bisa dijadikan pedoman tidak hanya oleh masyarakat sebagai
pihak yang menjadi koraban tetapi juga oleh pihak swasta atau pihak industri yang
biasanya menjadi pelaku penyebab terjadinya konflik lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai