Anda di halaman 1dari 4

Fungia scutaria

Kingdom : Animalia Phylum : Coelenterata Class : Anthozoa Ordo : Sclerentinia Famili : Fungidae Genus : Fungia Spesies : Fungia scutaria Fungia scutaria berasal dari kelas anthozoa. Anthozoa adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelenterata. Anthozoa berasal dari bahasa Yunani, anthos berarti bunga, dan zoon berarti hewan. Anthozoa berarti hewan yang bentuknya seperti bunga atau hewan bunga yang meliputi anemoon laut serta hewan-hewan karang. Anthozoa hidup sebagai polip. Tubuh Anthozoa berbentuk silinder pendek. Pada salah satu ujung terdapat mulut berupa celah yang dikelilingi oleh tentakel yang mengandung nematosista. Ujung yang lain berupa lempeng yang berfungsi untuk melekatkan diri pada suatu dasar. Di bawah mulut terdapat kerongkongan yang disebut stomodeum. Sepanjang stomodeum, pada satu sisi atau ke-dua sisi terdapat suatu saluran sempit yang bersilia yang biasa disebut dengan sifonoglifa yang merupakan alat pernapasan/respirasi yang paling sederhana. Di bawah stomodeum terdapat rongga gastrovaskuler yang terbagi menjadi beberapa ruang kecil oleh sekat-sekat yang berasal dari dinding kerongkongan. Pada sekat ini terdapat nematosista yang mengeluarkan racun untuk melumpuhkan mangsanya. Fungia scutaria merupakan hewan karang yang hidup soliter, biasa disebut non-kolonial yang hidup bebas dan tidak melekat pada dasar laut. Fungia scutaria berbentuk diskoid atau memanjang dan bisa tumbuh keukuran yang sangat besar. Ukuran polip panjangnya bisa mencapai 17cm (6,7 inchi) dan tertanam dalam lubang berbentuk cangkir dikenal sebagai corallite yang dikelilingi oleh bahan berkapur. Lapisan ini adalah tulang rusuk sempit yang dikenal sebagai septae, dimana masing-masing mempunyai lobus berbentuk sungut tinggi di tengah. Septae ber ruang un-lobed gigi dan lobus berbentuk sungut lanjut pada interval dimana kesenjangan septae. Bagian bawah karang membentuk ruang bekas luka akibat pelepasan mereka dari dasar laut sebagai Fungia remaja. Warnanya bervariasi, sering menjadi coklat, kuning atau biru dengan lobus berbentuk sungut kontras.Polip memiliki pusat celah seperti mulut sejumlah kecil pendek, lonjong tentakel. Polip Fungia Scutaria merupakan hewan sederhana dengan bagian-bagian tubuh sebagai berikut: Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan(Suharsono 1996; Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003. Tenggorokan pendek, rongga tubuh (coe-lenteron) merupakan saluran pencernaan. Tubuh terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm (gastro-dermis), diantara keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea (Timotius, 2003). Lapisan ektoderm mengandung nematokista dan sel mukus, sedangkan lapisan endodermisnya mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996). Sistem saraf, otot, dan reproduksi masih sederhana namun telah berkembang dan berfungsi dengan baik (Suharsono, 2004). Makanan Fungia Scutaria adalah zooplankton (Castro and Huber, 2005) yang ditangkap dengan menggunakan sel penyengat (cnidoblast)yang terdapat di ektodermis tentakel nya. Sel penyengat tersebut dilengkapi dengan alat penyengat (nematocyst)yang mengandung racun. Sel penyengat hanya aktif pada saat ada mangsa (zooplankton), terutama pada saat malam hari. (Timotius,2003). Sistem kerja nematocyst, nematosit berada pada kapsul seluler. Dalam sel tersebut terdapat benang yang berpilin yang terbungkus dan memiliki tekanan (Seperti per). Saat mangsa menyentuh tentakel polip, nematosit terpicu. Pe-

nutup pada jaringan sel pada operculum tersebut langsung terbuka. Saat operculum terbuka benang-benang yang ada didalamnya langsung keluar. Pada bagian paling kanan benang tersebut kemudian menyebar. Benang tersebut bentuk nya seperti jarum yang langsung menyuntikkan racun pada mangsa. Saat mangsa telah lumpuh polip mengerakkan mangsa kemulut nya kemudian nematosit tersebut kembali kedalam kapsul (http://www.solcomhouse.com). Fungia Scutaria memperoleh sebagian besar energi dan nutrisi nya melalui dua cara yaitu melalui hasil fotosintesis oleh zooxanthelae atau secara langsung menangkap zooplankton dari kolom perairan (Lesser,2004). Fungia scutaria adalah hermaprodit . Telur dan sperma yang di keluarkan melalui mulut dan setelah pembuahan, berkembang menjadi Planula larva yang merupakan bagian dari plankton. Setelah beberapa waktu ini menetap di dasar laut dan mengalami metamorfosis. Remaja Fungia Scutaria menempel pada substrat dan mulai makan, ekstrusi kerangka keras dan berkembang. Tahap selanjutnya mereka terlepas dari basis mereka dan hanyut sekitar di dasar laut. Reproduksi Fungia Scutaria terjadi secara seksual dan aseksual. Reproduksi aseksual terjadi melalui proses pertunasan, fragmentasi, polip bailout, dan parthenogeneis. Reproduksi secara seksual terjadi melalui proses peleburan inti gamet jantan dengan inti gamet betina. Berdasarkan proses pertemuan antara sel gamet jantan dan betina terdapat dua tipe reproduksi, yaitu planulator (brooding) dan spawning. Pada tipe brooding, sel telur dan sperma tidak dilepaskan ke kolom air. Zigot berkembang menjadi larva planula dalam tubuh polip induk, selanjut nya planula dilepaskan ke kolom air. (Timotius, 2003). Pertumbuhan Fungia scutaria merupakan hasil reproduksi aseksual dengan cara pembentukan polip-polip baru melalui proses pertunasan (budding). (Richmond 1997 dalam Spotts dan Spotts 2001). Pembentukan polip baru tersebut terjadi dalam dua cara yaitu pertunasan intra-tentakular dan ekstratentakular. Pada pertunasan intratentakular, polip lama membelah menjadi dua polip baru sedangkan pada pertunasan ekstratentakular polip baru tumbuh pada ruang diantara dua atau lebih polip lama. Seiring pertumbuhan nya, polip-polip baru akan membentuk rangka kapur sendiri sehingga masa koloni menjadi lebih besar. Pembentukan rangka kapur Fungia scutaria melibatkan dua proses, yaitu klasifikasi dan fotosintesis. Proses klasifikasi dan fotosintesis pada karang berlangsung pada tempat yang berbeda, fotosintesis dilakukan oleh zooxanthellae berlangsung pada sel endoderm pada lapisan oral sedangkan klasifikasi berlangsung pada lapisan aboral karang, yaitu pada lapisan ECF (extracytoplasmic calcifying fluid) yang terletak di bawah lapisan epitel calicoblastic Fungia scutaria terdapat di Samudra Hindia pada lereng terumbu bagian atas terutama dimana ada gerakan yang cukup dari air sebagai akibat dari tindakan gelombang. Hal ini biasa nya ditemukan pada pasir atau tempat tidur dari fragmen karang. Hal ini sering dikaitkan dengan spesies lain dari Fungia. Selain itu, Fungia Scutaria juga banyak ditemukan di Taman laut Bunaken dan di Taman Nasional Wakatobi, sulawesi Tenggara. Fungia scutaria tumbuh subur pada suhu air >18C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23C 25C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 40C. Kedalaman perairan <50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25m atau kurang. Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 36 0/00. Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Saat ini keberadaan Fungia scutaria mulai terancam keberadaannya karena factor kompetisi serta predator. Selain itu maraknya penggunaan obat terlarang dalam penangkapan ikan juga mempengaruhi keberadaan Fungia scutaria. Siklus hidup Fungia scutaria dimulai beberapa jam setelah adanya peristiwa mass spawning. Sel sperma akan membuahi ovum 1 2 jam setelah spawning,dilanjutkan pembelahan zigot selama 18 jam. Zigot akan berkembang menjadi larva planula yang melayang mengikuti arus di kolom perairan selama 4 hari, lalu mulai mencari substrat yang cocok untuk menempel. Planula akan menempel pada substrat bila substrat tersebut memenuhi syarat dan mendukung pertumbuhannya. Substrat harus cukup kokoh, tidak ditumbuhi alga, penetrasi cahaya mencukupi, sedikit atau tidak terjadi sedimentasi, dan arus yang ada tidak terlalu kuat (mencukupi untuk adanya makanan). Setelah menempel, planula akan segera tumbuh menjadi polip dan mengalami kalsifikasi. Daur hidup Fungia scutaria akan berulang ke tahap awal lagi. (Timotius, 2003). Manfaat Menghasilkan senyawa semacam alelopati yang bermanfaat dalam dunia medis sebagai senyawa karsinogen

Penghasil senyawa kapur sebagai tempat hdiupnya ikan-ikan yang banyak dibutuhkan manusia untuk pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning, dll sebagai benteng pelindung pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang atau ombak laut sebagai tempat untuk wisata. Karena keindahan warna dan bentuknya, banyak orang berwisata bahari. sumber daya laut yang memilki nilai potensi ekonomi tinggi laboratorium alam untuk penunjang pendidikan dan penelitian

Daftar pustaka perikananunila.wordpress.com faridmuzaki.blogspot.com/2011/01/biologi-karang.html http://en.wikipedia.org/wiki/Fungia_scutaria Timotius, S. 2003. Biologi Karang. Makalah Training Course: Karakteristik Biologi Karang. PSK UI; Yayasan Terangi http://www.solcomhouse.com Lesser, M.P. 2004. Experimental Biology of Coral Reef Ecosystems. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 300 (2004): 217 252.

Ayu Andriyani M0412012

Anda mungkin juga menyukai