BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil.
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu sekitar 3,24 juta hektar atau
sekitar 27% dari total hutan mangrove dunia yang mencapai 16,9 jt ha. Di Indonesia,
penyebaran hutan mangrove terluas berada di Papua yang mencapai 1,6 jt ha (Kusmana,
2012). Menurut Kustanti (2011) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi pengurangan
luasan mangrove yang mencapai 25% dari tahun 1980. Menurut Direktorat Jendral
Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial berdasarkan data tahun 1999, luas hutan mangrove
di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar diantaranya dalam kondisi rusak.
Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-
an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam
rangkah memacu ekspor komoditas perikanan. (Anonim, 2004).
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang juga
memiliki hutan mangrove. Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak hutan mangrove yang
berada di pulau-pulau besar di Indonesia karena kondisi alam di NTT yang membatasi
pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga
pertumbuhan mangrove menjadi terhambat atau kurang maksimal (Surya, 2009).
Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari makan
(feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery
ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat bersarang jenis
satwa liar terutama burung dan reptile (Setiawan, 2013). Fungsi fisik adalah sebagai penahan
angin, penahan ombak dan pencegahan intrusi air laut ke daratan. Fungsi ekonomis adalah
sebagai penghasil kayu, bahan makanan dan obat obatan. Besarnya fungsi dan manfaat yang
ada pada ekosistem mangove, memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu
sendiri (Supardjo, 2008; Kustanti, 2011). Semakin tinggi pembangunan ekonomi dan
pertambahan penduduk yang terus meningkat mengakibatkan perubahan tata guna lahan dan
pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Akibatnya, daya dukung lingkungan
terhadap aktivitas manusia semakin berkurang yang berdampak tingginya tingkat degradasi
lingkungan (Pursetyo et al., 2013).
Berdasarkan data balai pengelolaan hutan mangrove (BPHM) wilayah I Bali (2011),
kondisi hutan mangrove di NTT cukup memprihatinka, sebagian besar mengalami kerusakan
dengan tingkatan yang berbeda, yaitu sebanyak 8.285,10 ha atau 20,40% (kategori rusak
berat), 19.552,44 ha atau 48,14% (kategori rusak ringan),dan 12.776,57 ha atau 31,46%
(kategori baik). Data ini menunjukan bahwa tekanan terhadap hutan mangrove sangat tinggi
karena hanya sepertiga dari total luas hutan mangrove yang masih dalam kondisi baik,
selebihnya telah mengalami kerusakan sebagai dampak dari berbagai bentuk pemanfatan.
Berdasarkan hasil wawancara surya (2009) dengan Joseph Diaz sebagai Kepala Dinas
Kehutanan NTT, dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT sekitar 9.989 hektar (2,25%)
sudah banyak yang mengalami tekanan diantaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh
masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, dan pembangunan tambak.
Kerusakan ekosistem mangrove dapat ditekan dengan mencegah dan mengelola berbagai
faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem tersebut. Karena itu, setiap upaya dilakukan
untuk menekan kerusakan ekosistem mangrove, perlu mengidentifikasi faktor-faktor
penyebabnya (Ghufran, 2012).
Perubahan yang terjadi pada wilayah pesisir dan laut tidak hanya sekedar gejala alam,
tetapi kondisi ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang ada di sekitarnya. Tekanan
tersebut muncul dari aktivitas pembangunan seperti pembangunan permukiman dan aktivitas
perdagangan karena wilayah pesisir paling rentan terhadap perubahan baik secara alami
ataupun fisik sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, salah satunya adalah ekosistem
mangrove (Huda, 2008).
Ekosistem hutan mangrove sangat rapuh dan mudah rusak. Kerusakan bisa saja
disebabkan oleh tindakan mekanis secara langsung, seperti memotong, membongkar, dan
sebagainya. Juga sebagai akibat yang tidak langsung seperti perubahan salinitas air,
pencemaran air, karena adanya erosi, pencemaran minyak dan sebagainya. Oleh karena itu,
hutan mangrove yang bertindak sebagai tempat berlangsungnya proses-proses ekologis dan
pendukung kehidupan hendaknya dapat terhindar dari unsur-unsur yang merusak tersebut
(Tambunan dkk., 2005).
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan data acuan untuk
mengetahui vegetasi dan kerusakan mangrove di Atapupu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut
atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-
ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem
perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas pneumatofor). Sistem perakaran ini
merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan
anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan
kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-
komunitas mangrove yang ada disekitar muaramuara sungai dengan ketebalan 10-100
meter, didominasi oleh Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Caseolaris
yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia memiliki
kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar,
dan batang) logam berat pencemar, sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk
menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat ekonomis
seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan
dan lautan. (Wijayanti, 2007). Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman
pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan
sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di
antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan
yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga
dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau
itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun
hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk
tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan
merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di
daerah pantai. Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan
yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau
hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi
oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang
selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk
semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang
tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam
campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga
(rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang). (Anonim, 2000)
B. Macam-macam mangrove
Klasifikasi mangrove dibedakan atas 2 yaitu mangrove sejati dan mangrove
asosiasi.
1. Komponen utama (major component): jenis-jenis dalam kelompok ini
mengembangkan spesialisasi morfologi seperti sistem akar udara dan
mekanisme fisiologi khusus untuk mensekresikan kelebihan garam dalam
upaya beradaptasi dengan lingkungan mangrove. Jenis-jenis ini hanya
tumbuh di hutan mangrove dan tidak terdapat di lingkungan terestrial
(darat).
2. Komponen minor (minor component): bukan merupakan elemen utama
mangrove dan dapat tumbuh di tepi mangrove atau lebih kearah darat.
3. Mangrove asosiasi (associates): jenis-jenis ini bukan merupakan anggota
komunitas mangrove sejati dan tumbuh pada lingkungan vegetasi darat.
Kelompok pertama dan kedua dari klasifikasi diatas sering disebut sebagai
mangrove sejati (true mangrove) sedangkan kelompok terakhir disebut mangrove ikutan
atau asosiasi (associate mangrove).
C. Kerusakan
Kerusakan hutan mangrove disebabkan dua hal yaitu aktivitas manusia dan faktor
alam. Aktifitas manusia yang menyebabkan Kerusakan hutan mangrove adalah
perambahan hutan mangrove secara besar-besaran untuk pembuatan arang, kayu bakar,
dan bahan bangunan, serta penguasaan lahan oleh masyarakat, pembukaan lahan untuk
pertambakan ikan dan garam, pemukiman, pertanian, pertambangan, dan perindustrian.
(Anonim,2007b) Pembangunan tambak di areal mangrove sebenarnya bukan tanpa
masalah. Ada beberapa masalah yang dihadapi para pembuka lahan, seperti pengasaman
tanah, tidak bercampurnya tanah, serta berkurangnya anakan untuk keperluaan
perkembangan ikan. Dalam banyak kasus pestisida dan antibiotika juga sering kali
digunakan bahkan untuk tambak tradisional. Tambak tidak selalu berarti hilangnya
mangrove hal ini dapat dilihat pada pola tambak tumpang sari yang di praktekkan di
beberapa tempat di Jawa. Pada pola ini mangrove di tanam di bagian tengah tambak.
Sistem ini sangat baik untuk diterapkan karena selain melindungi dan mempertahankan
mangrove, juga dapat dimanfaatkan oleh burung air. (Anonim, 2009a) Kegiatan
pengambilan kayu sering terlihat Riau, Kalimantan dan Irian Jaya. Sayangnya dampak
yang ditimbulkan oleh pengambilan kayu terhadap hilangnya luasan areal mangrove
sangat sulit untuk dirinci karena mangrove ternyata dapat tumbuh sendiri setelah
tubuhnya ditebang, akan tetapi tidak berarti bahwa tumbuhan yang baru tersebut akan
selalu sama dengan jenis sebelumnya. Presentasi kerusakan hutan mangrove yaitu
mangrove yang mengalami kerusakan berat mencapai luas 42%, mangrove yang
mengalami rusak seluas 29%, mangrove dengan kondisi baik seluas 23% dan mangrove
dengan kondisi sangat baik seluas 6% dari luas keseluruan hutan mangrove.
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana
(wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt yang merupakan orang
Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi juga dapat
dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti
mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi,
konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan
datang. Konservasi hutan mangrove adalah usaha perlindungan, pelestarian alam dalam
bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut, pesisir, dan
hutan mangrove. (Anonim, 2007c)
D. Vegetasi
E. Metode Line Transect Plot
Penelitian ini menggunakan metode transek kuadrat. Transek diletakan tegak
lurus g aris pantai menuju daratan dengan ukuran 10 x 10 m panjangnya, tergantung
kondisi lapangan (jarak hutan mangrove di tepi pantai dengan perbatasan hutan mangrove
dengan daratan di belakang hutan mangrove) (Onrizal dan Kusmana, 2005).
Penentuan lokasi sampling menggunakan metode jalur transek. Pada metode ini
pengambilan contoh vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak atau plot contoh.
Untuk hutan mangrove, petak contoh berukuran minimal 10 x 30 m atau minimal 3 petak
ukur. Petak contoh 10 m x 30 m tersebut dibagi menjadi petak-petak ukur sesuai tingkat
pertumbuhan vegetasi. Setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat
tumbuhan yaitu:
i. Petak 2 x 2 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat semai.
Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi nama jenis dan jumlah setiap
jenis, dengan batasan anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai yang
memiliki tinggi <1,5 m.
ii. Petak 5 x 5 m dilakukan pengukuran dan pencatan untuk tingkat pancang.
Parameter yang diamati atau diukur meliputi nama jenis dan jumlah setiap
jenisnya, dengan batasan pohon mudah yang berdiameter < 10 cm. atau anakan
pohon dengan tinggi > 1,5 m.
iii. Petak 10 x 10 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pohon.
Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi nama jenis, jumlah, tinggi dan
diameter tumbuhan pada tingkat pohon, dengan batasan diameter yang diambil ≥
10 cm.(dbh: diameter breast height: diameter setinggi dada).
F. Persamaan –persamaan
Data vegetasi yang telah terkumpul kemudian dapat dianalisis untuk mengetahui
kerapatan jenis, kerapatan relatif, dominasi jenis, dominasi relatif, frekuensi jenis dan
frekuensi relatif serta indeks nilai penting dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Kerapatan Jenis
Kerapatan (K) = ∑ individu suatu jenis x 100 % Luas Petak Contoh
K Total seluruh jenis
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Waktu
2. Tempat
Penelitian akan dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Atapupu Desa
Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tali raffia sebagai pembatas
area transek, camera, buku, pulpen, peta, roll meter untuk menentukan jarak, patok kayu
dan buku indentifikasi sebagai alat bantu identifikasi.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Vegetasi mangrove Atapupu
Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Anonim, 2000, Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai,
Jurnal Litbang Pertanian 23 (1) 2004.
Barbour, M.G., J.H. Burk., and W.P. Pitts. 1987. Terrestrial plant ecology. The
Benjamin/Cumming Publishing Company Ins, California.
Ghufran H. kordi K. M., 2012.Ekosistem mangrove : potensi, fungsi, dan pengelolaan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Mulyadi, E., Hendriyanto, O., dan Fitriani, N., 2010.Konservasi Hutan Mangrove Sebagai
Ekowisata.Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus.
Novianty, R., Sastrawibawa. S., dan Prihadi. J. D., 2011. Identifikasi Kerusakan dan Upaya
Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Di Pantai Utara Kabupaten Subang.
Onrizal, dan C. Kusmana. 2005. Ekologi dan manajemen mangrove Indonesia. Buku Ajar.
Departemen Kehutanan FP USU. Medan.
Romadhon, A. 2008.Kajian Nilai Ekologi Melalui In ventarisasi dan Nilai Indeks Penting (INP)
Mangrove Terhadap Perlindungan Lingkungan Kepulauan Kangean.EMBRYO VOL. 5
NO.1 JUNI 2008 ISSN 0216-0188.
Setiawan Heru, 2013. Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat Ketebalan
(Ecological Status of Mangrove Forest at Various Thickness Levels). Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea Vol. 2 No. 2, Juni 2013 : 104 – 120.
Tambunan, R., Harahap, H. R., dan Lubis, Z., 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kabupaten
Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di
Kecamatan Lima Puluh Kaabupaten Asahan). Jurnal Studi Pembangunan Oktober 2005
Volume 1 Nomor 1.