PENDAHULUAN
1
analisa vegetasi yang digunakan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Oleh karena
itu, suatu analisis untuk menentukan struktur komunitas lingkungan meliputi
perhitungan jenis dan spesies vegetasi perlu dilakukan untuk menentukan
struktur komunitas suatu wilayah.
1.3. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk.
1.3.1. Memahami kajian struktur komunitas tumbuhan.
1.3.2. Memahami klasifikasi pada struktur komunitas tumbuhan.
1.3.3. Memahami analisis vegetasi.
1.3.4. Memahami metode-metode yang dapat digunakan seorang peneliti untuk
mengambil sampling guna analisis vegetasi.
1.3.5. Memahami cara peneliti dapat menentukan metode pengambilan
samplingnya
2
BAB II
TEKS UTAMA
3
2.1.2 Klasifikasi Komunitas Tumbuhan
Vegetasi diklasifikasikan dalam beberapa cara menurut kepentingan dan
tujuannya. Pada umumnya klasifikasi komunitas tumbuhan berdasarkan
fisiognomi, habitat, komposisi dan dominasi spesies.
1. Fisiognomi
Fisiognomi menunjukkan kenampakan umum komunitas tumbuhan.
Komunitas tum-buhan yang besar dan menempati suatu habitat yang luas
diklasifikasikan kedalam komponen komunitas sebagai dasar fisiognominya.
Komponen kmunitas yang menjadi dasar fisiognomimi ini ialah yang berada
dalam bentuk dominan. Sebagai contoh: komunitas hutan, padang rumput, stepa,
tundra dan sebagainya.
2. Habitat
Komunitas bersifat dinamik dengan kekhasan habitat, sehingga habitat ini
digunakan menjadi dasar pembagian komunitas.Pada umumnya dikaitkan dengan
kandungan air tanah pada habitat yang bersangkutan. Pembagian itu antara lain:
1) komunitas lahan basah,
2) komunitas lahan agak basah,
3) komunitas lahan mesofit,
4) komunitas lahan agak kering,
5) komunitas lahan kering.
4
konstansi diagnose spesies. Menurut Clements vegetasi dapat dianalisa kedalam
unit kelas-kelas berikut dalam urutan yang turun sebagai berikut.
1) Formasi
Menurut Clements unit vegetasi terbesar adalah formasi tumbuhan.
Formasi tumbuhan merupakan unit vegetasi yang besar di suatu wilayah yang
ditunjukkan oleh beberapa bentuk pertumbuhan yang dominan, misalnya hutan
ditunjukkan dengan pohon-pohon. Formasi tumbuhan merupakan hasil
makroklimat dan ini dikendalikan dan ditentukan batasnya oleh iklim saja.
Dengan lain perkataan formasi tumbuhan terjadi dalam suatu kesatuan iklim dan
alam. Whittaker berpendapat bahwa formasi tumbuhan tidak tegas dan nyata
bahwa unit vegetasi ditentukan hanya oleh iklim, tetapi merupakan
pengelompokkan komunitas secara abstrak dengan fisiognomi dan saling
berhubungan dengan lingkungan.
2) Asosiasi
Setiap formasi klimaks, berisikan dua atau lebih pembagian yang lebih
kecil yang dikatakan sebagai asosiasi yang ditandai oleh lebih dari satu spesies
yang dominan dan khas. Jadi asosiasi adalah vegetasi regional, dalam formasi ini
merupakan klimaks sub iklim dalam formasi umum. Setiap asosiasi ekologinya
dan komposisi floristik umumnya (Weaver dan Clements, 1938). Sekarang konsep
asosiasi ini sudah tidak dipakai lagi dan menempatkan komunitas kontinum yang
populer.
Vegetasi itu terus menerus (kontinyu) walaupun berbeda dari tempat yang
satu ke tempat yang lain ia tidak dapat dikategorikan kedalam unit-unit yang
memilih tempat. Dalam tingkat penggantian (proses penggantian), Whittaker
(1951, 1956) mengatakan bahwa asosiasi bukan komunitas alam yang nyata
(konkrit).
L.E. Braun juga mengeritik konsep asosiasi dalam simposium yang
diadakan oleh perhimpunan ekologi Amerika bulan Agustus 1956 sebagai berikut.
Bahwa komunitas tidak mempunyai batas yang tegas tetapi tumpang tindih
antara satu dengan yang lain.
Bahwa spesies yang nampak mencirikan komunitas dapat meluas ke komunitas
lain walaupun mungkin dalam proporsi yang berbeda.
5
Bahwa dua komunitas tidak pasti sama/sejenis.
Bahwa vegetasi itu kontinyu walaupun berbeda dari tempat yang satu ke yang
lain.
3. Fasiasi
Setiap asosiasi pada dasarnya meliputi beberapa spesies dominan yang
berisikan 2 atau lebih sub unit. Setiap fasiasi dapat dihuni oleh dua atau lebih
dominan, tetapi jumlah total dominan dalam fasiasi akan kurang (lebih kecil)
daripada asosiasi. Variasi secara lokal dalam asosiasi disebut losiasi (lociation).
4. Konsosiasi
Jika hanya terdapat satu dominan dalam klimaks. Konsosiasi merupakan
unit komunitas yang lebih kecil dengan dominan tunggal dan masih mempunyai
bentuk pertumbuhan yang mencirikan formasi. Unit vegetasi seperti itu terutama
modifikasinya oleh kondisi edhapik, misalnya konsosiasi Oak-Beech.
5. Sosiasi
Asosiasi dan konsosiasi dapat dianalisis lebih jauh kedalam beberapa
komunitas kecil (unit) yang di bawah pengaruh langsung variasi habitat lokal
komunitas. Ini didominasi oleh satu atau dua spesies lain dari dominan pada
asosiasi dan konsosiasi. Unit yang lebih kecil disebut sosiasi. Dominasi sosiasi
merupakan sub dominan yang lebih ekonomis. Dengan demikian sosiasi
merupakan dominan dalam dominan yang spesies dominan itu merupakan sub
ordinat. Jika kita menganggap konsosiasi sebagai satu kesatuan.
6. Klans
Dalam setiap sosiasi dapat ditemukan dua atau lebih unit klimaks yang
terkecil, ini yang disebut klans. Setiap klans merupakan agregasi kecil satu
individu tetapi sangat lokal dan spesies dominan yang tertutup. Dalam setiap
sosiasi dapat ditemukan dua atau lebih unit klimaks yang terkecil, ini yang disebut
klans. Setiap klans merupakan agregasi kecil satu individu tetapi sangat lokal dan
spesies dominan yang tertutup.
6
dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi
hutan satuan yang yang diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan
asosiasikonkrit. Analisa vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan
bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan, antara lain:
1) mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya;
2) mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah
adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan
kecualipermudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi
semakbelukar.
Kershaw dalam Kainde (2011) mengemukakan bahwa bentuk vegetasi
dibatasi oleh tiga komponen pokok yaitu: (1) stratifikasi yang adalah lapisan
penyusun vegetasi (strata) yang dapat terdiri dari pohon, tiang, perdu, sapihan,
semai dan herba. (2) sebaran horisontal dari jenis penyusun vegetasi tersebut yang
menggambarkan kedudukan antar individu, (3) banyaknya individu dari jenis
penyusun vegetasi tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa penguasaan suatu jenis
terhadap spesies lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting. Kegiatan
analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam,yaitu dengan atau tanpa petak.
Salah satu metode yang banyak digunakan adalah kombinasi antara metode jalur
untuk risalah pohon dan metode garis petak untuk risalah permudaan (Latifah,
2005).
7
2.2.3 Tipe Data Analisis Vegetasi
Terdapat berbagai macam tipe data yang dapat digunakan pada
penghitungan analisis vegetasi. Tipe data yang diperoleh oleh peneliti dapat
menggambarkan keadaan vegetasi yang diteliti. Dalam buku “Introduction to
Techniques of Vegetation Analysis” dari Universitas Victoria dijeaskan bahwa
terdapat 5 macam tipe data pada analisis vegetasi.
1) Taksiran (estimations)
Taksiran merupakan salah satu data utama yang dapat dikumpulkan
berupa jumlah dari individu pada setiap spesies dalam suatu area. Ketika jumlah
tersebut ditaksirkan maka secara umum dinamakan kelimpahan (abundance).
Abundance memiliki beberapa kelas seperti pada tabel 2.1 dibawah ini.
Kelas Kelimpahan (Abundance class) Diskripsi
1 Very sparse (sangat jarang)
2 Occasional (kadang-kadang)
3 Not numerous (tidak banyak)
4 Numerous (banyak)
5 Very numerous (sangat banyak)
Tabel 2.1 Abundance class (Braun,1965)
2) Skala (scale)
Sejumlah data terkadang terintegrasi dalam sebuah skala yang melibatkan
penghitungan kuantitative lainnya dari struktur komunitas, salah satu contohnya
adalah sakla tutupan-kelimpahan (cover-abundance scale). Sama seperti data
kelas kelimpahan data tipe skala juga sulit untuk digunakan menggambarkan data
secara akurat. Contoh model pengumpulan data skala ditunjukkan pada tabel 2.2
dibawah ini.
Skala Diskripsi
1 Melibatkan 1/2 individu dengan , tanpa tutupan
2 Melibatkan beberapa individu, tanpa tutupan
3 Melibatkan banyak individu, dengan tutupan rendah < 4% dar i area
4 Tutupan 1/10 (4-10%) dari total area
5 Tutupan 1/5 (11-25%) dari total area
Tabel 2.2 Tipe data skala
3) Dominansi (dominance)
Dominansi ditentukan berdasarkan penutupan daerah cuplikan oleh
populasi jenis tumbuhan. Dominansi selalu berkaitan dengan keberadaan populasi
8
tumbuhan yang besar dan sebagai tutupan (canopy) dari area tersebut. sedangkan
tutupan (cover) lebih kepada penghitungan tutupan pada area basal.
4) Tutupan (cover)
Persentase tanah yag tertutup vegetasi (basal area). Metode ini digunakan
untuk memperkirakan berapa area (penutupan relatif) yang diperlukan tiap-tiap
spesies dan berapa total basal dari vegetasi di suatu daerah. Total basal dari
vegetasi merupakan penjumlahan basal area dari beberapa jenis tanaman. Cara
umum untuk mengetahui basal area pohon dapat dengan mengukur diameter
pohon pada tinggi 1,375 meter (setinggi dada).
5) Frekuensi (frequency)
Diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap
garis yang disebar. Frekuensi ini sangat penting untuk menentukan struktur
komunitas tumbuhan (Rohman,2001). Terdapat 5 kelas data yang biasa digunakan
untuk pengumpulan data frekuensi yaitu; 1-2-%, 21-40%, 41-60%, 61-80%, 81-
100%.
9
Pada keperluan penelitian agar hasil datanya dapat dianggap sah (valid) secara
statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran tersebut mutlak harus
menggunakan satuan contoh (sampling unit), apalagi bagi seorang peneliti yang
mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas. Dengan sampling,
seorang peneliti dapat memperoleh informasi/data yang diinginkan lebih cepat
dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit bila dibandingkan dengan
inventarisasi penuh (metoda sensus) pada anggota suatu populasi. Coulloudon,dkk
(1996) menjelaskan ada beberapa teknik dasar yang gunakan untuk menentukan
sebuah metode analisis, yaitu:
1. Garis batas
Menentukan matriks pengukuran sebuah garis batas wilayah yang melalui
dua lokasi yang memiliki jarak jauh dengan sebuah tanda. Penentuan lokasi
transek kuadrat atau observation point bisa dilakukan secara random (acak)
diantara kedua garis batas wilayah sampel yang telah ditentukan. Desain
rancangan ini dapat digunakan untuk sebuah sampel area yang spesifik,
sedangkan untuk sampel area yang luas dan sangat panjang maka metode transek
dengan garis lurus.
2. Makroplot
Penggunaan makroplot dapat memberikan kesempatan setiap area
memiliki kesempatan untuk dapat dijadikan sebuah sampel. Ukuran dan bentuk
makroplot dapatmenyesuaikan dengan range penelitian dan situasi. Makroplot
sering digunakan sebagai dasar sebuah metode sampling sebab makroplot dapat
membagi rata area sampel sehingga data akan didapatkan dengan lebih akurat.
Menurut Syafei (1990), dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai
metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam
mendeskripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini, suatu
metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam
bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai
kendala yang ada. Macam-macam metode analisis vegetasi yaitu metode
destruktif, metode nondestruktif, metode floristik, dan metode nonfloristik.
10
1. Metode destruktif
Metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik
yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variabel yang dipakai
bisa diproduktivitas primer, maupun biomasa, dengan demikian dalam
pendekatan selalu harus dilakukan penuaian atau berarti melakukan perusakan
terhadap vegetasi tersebut. Metode ini umumnya dilakukan untuk bentuk-
bentuk vegetasi yang sederhana, dengan ukuran luas pencuplikan antara satu
meter persegi sampai lima meter persegi. Penimbangan bisa didasarkan pada
berat segar materi hidup atau berat keringya. Metode ini sangat membantu
dalam menentukan kualitas suatu padang rumput dengan usaha pencairan lahan
penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampangnya. Pendekatan
yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu didasarkan pada
pengetahuan taksonomi tumbuhan.
2. Metode nondestruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu
berdasarkan penelaahan organisme hidup atau tumbuhan tidak didasarkan pada
taksonominya (pendekatan nonfloristika). Pendekatan lainnya adalah
didasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara taksonomi atau
pendekatan floristika.
3. Metode floristik
Metode ini didasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara
taksonomi. Metode ini dapat menentukan kekayaan floristika atau
keanekaragaman dari berbagai bentuk vegatasi. Penelaahan dilakukan terhadap
semua populasi spesies pembentuk masyarakat tumbuhan tersebut, sehingga
pemahaman dari setiap jenis tumbuhan secara taksonomi adalah sangat
dibutuhkan. Pelaksanaan metode floristik ini sangat ditunjang dengan variabel-
variabel yang diperlukan untuk menggambarkan baik struktur maupun
komposisi vegetasi, diantaranya adalah kerapatan, kerimbunan, dan
frekuensinya.
4. Metode nonfloristik
Pada metode ini, dunia tumbuhan dibagi berdasarkan berbagai hal, yaitu
bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan
11
penutupan. Untuk setiap karakteristik dibagi lagi dalam sifat yang lebih rinci,
yang pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar
bentuk hidup. Klasifikasi bentuk vegetasi biasanya dipergunakan dalam
pembuatan peta vegetasi dengan skala kecil sampai sedang, dengan tujuan
untuk menggambarkan penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya dan
juga masukan bagi disiplin ilmu yang lainnya.
12
petak tersebut sejajar dengan arah perobahan keadaan lingkungan/habitat. Dalam
metode kuadrat ini, parameter-parameter vegetasi dapat dihitung dengan rumus-
rumus berikut ini:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 (𝐾) = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐾𝑅) = 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐹) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘
𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐹𝑅) = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100%
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 (𝐷) = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐷𝑅) = 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100%
13
tajuknya (termasuk pancang, semai, dan tiang) begitu pula pohon yang
masih berdiri atau pohon yang roboh dalam petak contoh, dipetakan. Hal
ini akan sangat berguna untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis
vegetasi, proporsi gap, menduga luasan tajuk dari diameter, dan lain-lain.
b. Petak ganda yaitu pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan
banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata (sebaiknya secara
sistematik). Ukuran berbeda-beda berdasarkan kelompok tumbuhan yang
akan dianalisis. Perbandingan panjang dan lebar petak 2:1 merupakan
alternatif terbaik daripada bentuk lain. Cara menghitung besamya nilai
kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal. Sebagai
illustrasi pada Gambar 2.2 disajikan cara peletakan petak contoh pada
metode petak ganda.
14
Gambar 2.3. Desain contoh petak jalur di lapangan
d. Metode garis berpetak. Metode ini dapat dianggap sebagai modifikasi
metode petak ganda dengan metode jalur, yakni dengan cara melompati
satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis
terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Perhitungan besamya
nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal.
Gambar 2.4 memperlihatkan pelaksanaan metode garis berpetak di
lapangan.
15
Gambar 2.5. Desain kombinasi metode jalur dengan metode garis berpetak
16
Gambar 2.6 Desain point centered quarter method di lapangan
Adanya vegetasi akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan
ekosistem dalam skala yang lebih luas. Umumnya peranan vegetasi pada suatu
ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbondioksida dan oksigen
dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air
tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area
memberikan dampak positif, namun pengaruh ini berbeda-beda tergantung dari
struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu (Arrijani, dkk,
2006).
17
Komponen penting yang dapat diketahui melalui ketiga metode ini yaitu
frekuensi, kategori penutupan basal dan penutupan umum, serta reproduksi dari
spesies kunci/endemik (jika ada proses pengumpulan biji). Metode ini cocok
untuk dipakai di area yang memiliki jenis vegetasi yang beragam dan sesuai untuk
rumput, perdu, dan herba. Kelebihan metode ini yaitu metodenya sangat simpel
untuk dilakukan dan dapat mencantumkan jumlah individu minimal serta
pengumpulan datanya dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.
3. Metode berat kering
Metode berat kering merupakan metode yang digunakan untuk
mendeskripsikan komposisi spesies dalam sebuah area sampling. Metode ini
melibatkan metode sampling kuadrat dan mengambil tiga jenis spesies berbeda
yang memiliki berat terbesar dalam kuadrat. Metode berat kering dirasa cocok
digunakan pada analisis tumbuhan tipe rumput/semak atau tumbuhan perintis.
Kelebihan dalam metode ini yaitu jumlah sampel dapat langsung diketahui dengan
cepat dan dapat diketahui pula bagaimana cara perubahan iklim di area tersebut
sehingga dapat dibuat kebijakan dalam penanamannya. Kekurangannya yaitu
metode ini tidak dapat digunakan untuk tumbuhan berukuran besar/pohon dan
wilayah kuadrat yang hanya memiliki satu jenis tumbuhan saja.
4. Metode daubenmire.
Metode daubenmire merupakan metode yang menyediakan wilayah
sistematik kuadrat seluas 20cmx50cm sepanjang transek lokasi. Metode
daubenmire dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik penutupan
kanopinya, frekuensi, dan komposisi penutupan kanopinya. Metode ini cenderung
simpel namun jarang digunakan. Ini disebabkan adanya keterbatasan penutupan
kanopi tahunan tanaman herba pertahun yang dikarenakan kondisi perubahan
iklim.
5. Metode jalur intercept
Metode ini merupakan metode yang memanfaatkan garis horizontal yaitu
garis lurus pengukuran tumbuan yang selaras dengan garis dasar yang telah
ditentukan. Metode jalur lebih dianjurkan untuk menganalisis vegetasi semak
belukar, rumput, atau pohon. Komponen penting yang dapat diamati dari metode
jalur adalah karakteristik penutupan dann dan komposisi penutupan. Metode ini
18
sesuai untuk diterapkan pada wilayah yang memiliki kelimpahan vegetasi yang
beragam jenisnya, sehingga dapat diketahui kerapatannya dann tipe vegetasinya.
Menurut Arrijani, dkk (2006), analisis vegetasi suatu lahan atau daerah
penting dilakukan. Tujuannya adalah suatu analisis secara objektif dari segi
floristik sebenarnya yang terdapat pada saat pengkajian. Prosedur pengkajian
mengikuti dua langkah yaitu:
1. Analisis lapang, yang meliputi seleksi plot-plot contoh atau kwadrat – kwadrat
enomerasi semua semua tumbuhan didalamnya. Kurva spesies area sangat luas
digunakan untuk menentukan ukuran yang sesuai dan jumlah dari petak-petak
contoh.
2. Sintesis data untuk menentukan derajat asosiasi dari populasi-populasi
tumbuhan, kurva frekuensi seringkali digunakan untuk menentukan
homogenitas atau heterogenitas dari suatu tegaknya vegetasi khusus.
19
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Simpulan dari kajian makalah ini adalah.
3.1.1. Komunitas tumbuhan atau vegetasi adalah kumpulan tumbuh-
tumbuhanyang hidup bersama-sama pada suatu tempat dimmana terdapat
interaksi yang erat, baik antara sesama individu penyusun vegetasi itu
sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu
sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis.
3.1.2. Komunitas tumbuhan atau vegetasi diklasifikasikan dalam beberapa cara
menurut kepentingan dan tujuannya. Pada umumnya klasifikasi komunitas
tumbuhan berdasarkan fisiognomi, habitat, komposisi dan dominasi
spesies.
3.1.3. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis)
dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan.
3.1.4. Metode pengambilan sampling yang dapat dilakukan antara lain metode
destruktif, nondestruktif, floristik, nonfloristik, plot (tunggal, ganda, jalur,
garis berpetak, kombinasi), tanpa plot/titik, photographs dan video,
metode berat kering, doubenmeri, jalur intercept, frekuensi-frekuensi
cepat, frekuensi kuadrat, dan metode frekuensi sarang.
3.1.5. Cara peneliti dapat menentukan metode samplingnya yaitu dengan
memperhatikan identifikasi karakteristik vegetasi tumbuhan atau
melakukan pengukuran unit contoh (sampel).
3.2. Saran
Setelah mengkaji dan menyusun makalah ini, penulis dengan segenap hati
menyarankan untuk memahami lebih mendalam tentang kajian struktur komunitas
tumbuhan, analisis vegetasi dan metode pencuplikannya agar dapat lebih memiliki
bekal dalam penyususnan makalah yang lebih baik.
20
DAFTAR RUJUKAN
Arrijani, Setiadi, D., Guhardja, E., dan Qayim, I. 2006. Analisis Vegetasi Hulu
DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Jurnal
Biodiversitas Vol.7(2): 147-153.
Bako. 2011. Analisis Vegetasi. (Online), (repository.usu.ac.id). Diakses tanggal 22
Oktober 2017.
Braun. Blanquet, J. 1965. Plant Sociology The Study of Plant Communities.
London: Hafner
Coulloudon, B., Eshelman, K., Gianola, J., Habich, N., Hughes, L., Johnson, C.,
Pelant, M., Podborny, P., Rasmussen, A., Robles, B., Shaver, P., Spehar,
J., dan Willoughby, J. 1996. Sampling Vegetation Attributes. United State
of America: Bureau of Land Management’s National Applied Resource
Sciences Center.
Department of Geography. Tanpa Tahun. Introduction to Techniques of
Vegetation Analisys. USA: Victoria University (Online),
http://www.geog.uvic.ca/dept2/faculty/smithd/477/manuals/techniques/13
%20Geog%20477.pdf. Diakses 22 Oktober 2017
Irwan, Z D. 2015. Prinsip-Prinsip Ekology. Jakarta: PT Bumi Aksara
Kainde, R.P., Ratag, S.P., Tasirin, J.S., dan Faryanti, D. 2011. Analisis Vegetasi
Hutan Lindung Gunung Tumpa. Eugenia, Volume 17 No.3 Desember,
2011.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Latifah. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. (Online), (repository.usu.ac.id).
Diakses tanggal 22 Oktober 2017.
Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Michael. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium.
Jakarta: UI Press.
Soerianegara, I., dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Syafei, E., S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
21