Anda di halaman 1dari 153

STRUKTUR KOMUNITAS AMPHIBI DI TAMAN WISATA

ALAM (TWA) KERANDANGAN DALAM UPAYA


PENYUSUNAN MODUL EKOLOGI HEWAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan


Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram
Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi
Pendidikan Biologi

Oleh

SARWENDA
NIM. 12.211.005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) MATARAM
OKTOBER 2016

i
STRUKTUR KOMUNITAS AMPHIBI DI TAMAN WISATA
ALAM (TWA) KERANDANGAN DALAM UPAYA
PENYUSUNAN MODUL EKOLOGI HEWAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan


Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram
Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi
Pendidikan Biologi

Oleh

SARWENDA
NIM. 12.211.005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) MATARAM
OKTOBER 2016

ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat Rahmat dan

Hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul:

“Struktur Komunitas Amphibi di Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan

dalam Upaya Penyusunan Modul Ekologi Hewan”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan program Sarjana Pendidikan (S.Pd). Penyusunan skripsi ini tidak

terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu, pada

kesempatan ini peneliti sampaikan terima kasih kepada: Ir. Subagio, M.Sc Selaku

Pembimbing Skripsi I atas arahan dan bimbingannya, dan Ali Imran, M.Pd.Si

Selaku Pembimbing Skripsi II atas arahan dan bimbingannya. Selanjutnya peneliti

tidak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Drs. Toho Cholik Mutohir, MA., Ph.D., selaku Rektor IKIP Mataram.

2. Drs. Sumarjan, M.Si., selaku Dekan FPMIPA IKIP Mataram atas nasehat,

saran dan motivasinya.

3. Ismail Efendi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi yang

banyak memberikan motivasi dan membantu terealisasinya judul skripsi ini.

4. Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan serta dukungan moril

ataupun materil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

vii
Demi kesempurnaan skripsi ini, kritik dan saran yang sifatnya membangun

dari pembaca sangat peneliti harapkan demi perbaikan dalam penulisan

selanjutnya. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti

khususnya dan pembaca pada umumnya.

Mataram, 14 Juli 2016

Peneliti

viii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Memberikan yang terbaik dan selalu berusaha membuat orang

yang berada disekitar kita untuk tersenyum bahagia”

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam..

Salawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai tauladanku..

Dengan bangga dan penuh rasa syukur skripsi ini saya persembahkan kepada:

 Kakak Jamaluddin, Muna, Mina, Zahar, Hajati, Abdul Rais serta seluruh

keluarga besarku yang berada jauh dari saya dan keponakan-keponakanku

yang terus memberikan do’a dan dukungan kepada saya.

 Laboratorium Biologi (rumah segudang ilmu), terima kasih telah

menjadikan saya sebagai mahasiswa yang mampu bersaing dalam

akademik tentunya dengan bantuan kepala Laboratorium dan Laborannya.

 Sahabat terbaik dan Co’ass KECE Laboratorium Biologi FPMIPA Ikip

Mataram (Made, Efri, Dea, Pajri, Eca, Eniq, Asti, Dini, Ahmad, Raya,

Ririn, Fadma, Emi, Riandani, Syintia, Darmi, Basit) terima kasih atas

canda tawanya selama ini, sangat bahagia menjadi salah satu bagian dari

keluarga kedua kalian.

 Keluarga keluarga besar organisasi (HMJP-Bio 2012, Ikahimbi) dan teman

angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

 Almamater IKIP Mataram.

 Semua pihak yang membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi

ini.

ix
STRUKTUR KOMUNITAS AMPHIBI DI TAMAN WISATA ALAM
(TWA) KERANDANGAN DALAM UPAYA PENYUSUNAN
MODUL EKOLOGI HEWAN

SARWENDA
NIM. 12.211.005

ABSTRAK : Lombok merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang menjadi


destinasi wisata. Destinasi wisata yang ada di Lombok salah satunya adalah
Taman Wisata Alam Kerandangan, Desa Senggigi, Kecamatan Batu Layar,
Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis struktur komunitas amphibi di Taman Wisata Alam
Kerandangan serta mendiskripsikan validitas modul ekologi hewan yang
dikembangkan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif melalui pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh amphibi
yang terdapat di Taman Wisata Alam Kerandangan. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sejumlah individu amphibi (ordo anura) yang
tertangkap pada saat pencarian. Metode yang digunakan adalah metode VES
(Visual Encounter Survey) yang dikombinasikan dengan TBTLTL (Tangkap Beri
Tanda Lepaskan Tangkap Lagi). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah (1) data dasar dan data jenis, (2) Validasi. Total 1 jenis
Amphibi telah berhasil diidentifikasi, yang terdiri dari 1 famili Bufonidae
sebanyak 15 individu. Dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian Kadir
(2011) dengan kurun waktu ± 5 tahun di TWA Kerandangan telah terjadi
penurunan struktur komunitas. Hasil penelitian yang didapatkan dari hasil
perhitungan analisis data sebagai berikut: (1) keanekaragaman spesies (H’)
sebesar 0,186, (2) indeks dominansi Simpson (C) sebesar 0,0044, (3) kelimpahan
relatif sebesar 6,7%, (4) densitas sebesar 1 individu/100 m2, (5) indeks
kemerataan sebesar 0,0686, (6) lembar validasi dengan hasil perhitungan analisis
uji keterbacaan oleh 20 mahasiswa semester IV (empat) diperoleh nilai rata-
rata 3,66 dengan tingkat pencapaian 73,1%, hasil perhitungan validator ahli
materi diperoleh nilai rata-rata 4,3 dengan tingkat pencapaian 86%, hasil
peritungan validator ahli tampilan diperoleh nilai rata-rata 4,1 dengan tingkat
pencapaian 82% serta hasil perhitungan validator ahli bahasa diperoleh nilai
rata-rata 4 dengan tingkat pencapaian 80%, dari hasil perhitungan pada lembar
validasi ahli dapat dinyatakan sangat baik, sehingga pengembangan modul
ekologi hewan ini dinyatakan layak digunakan sebagai modul.

Kata Kunci: Struktur Komunitas, Amphibi, TWA Kerandangan, Modul Ekologi


Hewan

x
xi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i

HALAMAN LOGO...................................................................................... ii

HALAMAN JUDUL ................................................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................ vii

MOTTO dan PERSEMBAHAN ................................................................ ix

ABSTRAK .................................................................................................... x

ABSTRACT ................................................................................................. xi

DAFTAR ISI ............................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang.................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................. 3

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4

E. Lingkup Penelitian ............................................................................ 4

F. Definisi Istilah dan Operasional ....................................................... 5

xii
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 7

A. Deskripsi Teori ................................................................................. 7

1. Pengertian struktur komunitas ..................................................... 7

2. Klasifikasi dan Deskripsi Amphibi .............................................. 7

3. Morfologi Amphibi .................................................................... 10

4. Reproduksi Anura ...................................................................... 11

5. Habitat Amphibi ......................................................................... 11

6. Geografi pulau Lombok ............................................................. 16

7. Modul ......................................................................................... 18

B. Hasil Penelitian Yang Relevan ....................................................... 22

C. Kerangka Berfikir ........................................................................... 23

BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................... 26

A. Jenis Penelitian ................................................................................. 26

B. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 26

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 27

D. Rancangan Penelitian ....................................................................... 27

1. Rancangan Penelitian Struktur Komunitas ................................ 27

2. Rancangan Pengembangan Bahan Ajar ..................................... 29

E. Instrumen Penelitian......................................................................... 30

F. Populasi dan Sampel ........................................................................ 30

G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 31

1. Teknik Pengambilan Sampel...................................................... 31

2. Teknik Pengambilan Data .......................................................... 32

3. Lembar Validasi Ahli ................................................................. 32

xiii
H. Teknik Analisis Data ........................................................................ 33

1. Analisi Struktur Komunitas Amphibi ........................................ 33

2. Pengembangan Modul Ekologi .................................................. 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 37

A. Deskripsi Data .................................................................................. 37

1. Spesies Amphibi ........................................................................ 37

2. Karakteristik dan deskripsi ........................................................ 38

B. Keanekaragaman ordo anura di Kawasan TWA Kerandangan........ 39

1. Struktur komunitas Amphibi ...................................................... 39

a. Indeks keanekaragaman spesies (H’) ................................... 39

b. Indeks domnansi simpson .................................................... 39

c. Kelimpahan relatif................................................................ 40

d. Kepadatan (densitas) ............................................................ 40

e. Indeks kemerataan/kesamaan ............................................... 40

C. Pengembangan Bahan Ajar .............................................................. 41

D. Pembahasan ...................................................................................... 43

1. Hasil Penelitian Amphibi (Ordo Anura) .................................... 43

2. Hasil Analisis Validasi Bahan Ajar............................................ 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 46

A. Simpulan .......................................................................................... 46

B. Saran................................................................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 48

LAMPIRAN ................................................................................................ 52

xiv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Tabulasi Data Amphibi pada 5 Lokasi Sampling ......................... 27
Tabel 3.2 Hasil Observasi Lapngan Selama Pengamatan ............................. 28
Tabel 3.3 Alat dan Bahan .............................................................................. 30
Tabel 3.4 Pengambilan Keputusan Revisi Bahan Ajar ................................. 36
Tabel 4.1 Spesies yang ditemukan selama pengamatan................................ 37
Tabel 4.2 Analisis Skor Validasi Ahli........................................................... 41
Tabel 4.3 Kualifikasi Penilaian Modul Ekologi Hewan ............................... 41
Tabel 4.4 Uji keterbacaan Mahasiswa .......................................................... 42

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Bufo biporcatus ......................................................................... 9

Gambar 2.2 Skema kerangka berpikir ........................................................... 25

Gambar 3.1 Peta Kawasan Penelitian ........................................................... 28

Gambar 3.2 Lokasi Sampling Penelitian....................................................... 28

Gambar 3.3 Pengembangan Bahan Ajar ....................................................... 29

Gambar 4.1 Bufo melanostictus .................................................................... 38

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lembar Validasi Ahli Materi dan Isi Modul ............................. 52

Lampiran 2 Lembar Validasi Ahli Tampilan Modul .................................... 54

Lampiran 3 Lembar Validasi Ahli Bahasa Modul ........................................ 56

Lampiran 4 Uji Keterbacaan Mahasiswa ...................................................... 58

Lampiran 5 Foto Dokumentasi Penelitian..................................................... 98

Lampiran 6 Lembar Observasi Lapangan ..................................................... 100

Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian ................................................................... 101

Lampiran 8 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing ...................................... 102

Lampiran 9 Kartu Konsultasi ........................................................................ 103

Lampiran 10 Kartu Seminar .......................................................................... 104

Lampiran 11 Daftar Hadir Peserta Seminar .................................................. 105

Lampiran 12 Berita Acara ............................................................................. 106

Lampiran 13 Surat Penunjukan Dosen Penguji Skripsi ................................ 107

Lampiran 14 Peta Taman Wisata Alam Kerandangan .................................. 108

Lampiran 14 Modul Ekologi Hewan............................................................. 109

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lombok merupakan salah satu pulau di Indonesia yang menjadi

destinasi wisata. Daya tarik wisata yang dimiliki merupakan daya tarik wisata

alam dan budaya. Kondisi daya tarik wisata alam terdiri dari panorama alam,

hutan lindung, dan hutan kemasyarakatan, gunung dan bukit, sungai, lembah,

pantai yang memiliki pasir putih, persawahan yang hijau, dan

keanekaragaman potensi bahari. Pariwisata budaya mengalami perkembangan

yang positif. Keselarasan antara budaya masyarakat sasak dengan budaya

masyarakat Hindu terjalin dengan baik, sehingga menambah daya tarik wisata

di Pulau Lombok dan menarik wisatawan ke Pulau Lombok (Jumail:2011).

Sebagai wilayah yang difungsikan untuk kawasan ekowisata, kondisi

komponen abiotik dan biotik ekosistem yang ada di kawasan Lombok harus

tetap dijaga seperti aslinya. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya

penanganan yang cepat dan tepat untuk mengetahui segala bentuk perubahan

yang terjadi, terutama yang mengakibatkan kearah kerusakkan sistem ekologi

oleh aktivitas manusia. Sehingga kawasan di Lombok khususnya di wilayah

Lombok (Taman Wisata Alam Kerandangan) tetap dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan dengan berdasarkan pada azas-azas konservasi.

Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau

Nusa Tenggara yang terpisah oleh Selat Lombok di sebelah barat dari Bali

dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih

1
2

berbentuk bulat dengan memiliki ekor di sisi barat daya yang panjangnya

kurang lebih 70 km. Luas pulau ini mencapai 5.435 km2, menempatkannya

pada peringkat 108 dari daftar pulau berdasarkan luasnya di dunia

(Demografi Lombok 2001 dalam Susan 2013).

Oleh karena cukup banyaknya wisatawan yang berkunjung ke tiga

kawasan tersebut, sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi kawasan.

Dampak yang kemudian yang mengkhawatirkan adalah perubahan-perubahan

yang terjadi tidak disadari sehingga akan berakhir pada disfungsi kawasan.

Ketakutan akan perubahan yang terjadi sangat mungkin telah berlangsung

saat ini. Seseorang tidak akan pernah tahu sebelum ada informasi yang valid.

Walaupun perubahan yang dimaksud sekedar ketakutan yang

berlebihan karena misalnya itu tidak terjadi, dan itu harapan kita semua, tentu

tidak salah melakukan sesuatu untuk pencegahan. Upaya pencegahan ini

misalnya dapat tercermin pada monitoring ada tidaknya perubahan kondisi

kawasan dengan pengamatan organisme indikator. Salah satu organisme yang

dapat merasakan adanya perubahan lingkungan sehingga dapat dijadikan

organisme indikator adalah amphibi.

Amphibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang

memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis.

Secara ekologis, amphibi berperan sebagai pemangsa konsumen seperti

serangga atau hewan invertebrata lainnya serta dapat digunakan sebagai bio-

indikator kondisi lingkungan. Indonesia memiliki dua dari tiga ordo amphibi

yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Gymnophiona dianggap

langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan ordo Anura merupakan


3

yang paling mudah ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau

11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya

ordo yang tidak terdapat di Indonesia (Iskandar, 1998).

Meskipun Indonesia kaya akan jenis amphibi, tetapi penelitian

mengenai amphibi di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa hasil

penelitian tentang katak yang ada di Indonesia diantaranya adalah survey

sistematis yang dilakukan baru-baru ini untuk amphibi Nusa Tenggara

dilakukan oleh Western Australian Museum. Survey ini berhasil menemukan

beberapa jenis baru. Jumlah total katak di Nusa Tenggara adalah 45 jenis

(sebagian besar Rana, Litoria dan Rachoporus), jumlah ini mungkin dua kali

lebih besar dari jumlah sebelumnya. Di Pulau Lombok khususnya telah

tercatat 10 jenis amphibi yang beberapa diantaranya merupakan jenis

endemik pulau. Setelah dilakukan penelitian tentang “ Struktur Komunitas

Amphibi di Taman Wisata Alam Kerandangan dalam Upaya Penyusunan

Modul Ekologi Hewan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah struktur komunitas amphibi di Taman Wisata Alam

Kerandangan?

2. Bagaimanakah struktur komunitas amphibi di Taman Wisata Alam

Kerandangan dalam upaya pengembangan modul ekologi hewan?


4

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis struktur komunitas amphibi di Taman Wisata Alam

Kerandangan.

2. Mengembangkan modul ekologi hewan.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi

dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Khususnya bagi peneliti

itu sendiri. Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Menambah wawasan peneliti tentang amphibi.

2. Memberikan informasi tentang potensi spesies amphibi sebagai

bioindikator di kawasan Taman Wisata Alam Kerandangan.

3. Dapat dijadikan referensi tambahan untuk penelitian selanjutnya terutama

tentang amphibi.

E. Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah

Amphibi dari Ordo Anura.

2. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah struktur komunitas ordo

anura yang mencakup habitat, aktivitas, dan keanekaragaman amphibi.


5

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Wisata Alam Kerandangan

pada Bulan Maret 2016.

F. Definisi Istilah dan Operasional

Dalam judul penelitian ini terdapat beberapa istilah yang perlu

dijelaskan untuk menghindari kesalah pahaman dalam penafsiran istilah

tersebut. Adapun istilah tersebut adalah:

1. Struktur Komunitas

Struktur Komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari

susunan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu

komunitas (Schowalter, 1996). Dalam penelitian ini struktur komunitas

yang digunakan yaitu keanekaragaman spesies Amphibi.

2. Amphibi

Amphibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem

yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun

ekonomis. Secara ekologis, amphibi berperan sebagai pemangsa

konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrata lainnya

(Iskandar 1998 dalam Darmawan 2008) serta dapat digunakan sebagai

bio-indikator kondisi lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Secara

ekonomis amphibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani,

hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins &

Cohen 1997). Dalam penelitian ini Amfibi yang digunakan untuk

pengambilan data adalah Ordo Anura.


6

3. Modul

Menurut Suryosubroto (1983) modul adalah satu unit program

belajar mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan tentang

tujuan pembelajaran yang akan dicapai, topik yang akan dijadikan

pangkal proses belajar mengajar dan pokok-pokok materi yang akan

dipelajari. Dalam penelitian ini modul yang dimaksud adalah

seperangkat pembelajaran yang menggariskan tentang tujuan

pembelajaran yang akan dicapai, dengan materi yang akan dipelajari.

Modul yang akan disusun dalam penelitian ini adalah Modul Ekologi

Hewan.

4. Ekologi Hewan

Menurut Odum (1963), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau

pola hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam

penelitian ini yang dimaksud dengan ekologi hewan adalah ilmu yang

mempelajari interaksi-interaksi antara hewan dan lingkungannya, baik

lingkungan biotik (hidup) maupun lingkungan abiotik (tak hidup) secara

langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini Ekologi Hewan

adalah salah satu mata kuliah yang di tempuh pada semester III (tiga)

oleh mahasiswa program studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) IKIP Mataram.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pengertian Struktur Komunitas

Struktur Komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari

susunan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu

komunitas. Secara umum ada tiga pendekatan yang dapat digunakan

untuk menggambarkan struktur komunitas, yaitu; keanekaragaman

spesies, interaksi spesies dan interaksi fungsional (Schowalter, 1996).

2. Klasifikasi dan Deskripsi Amphibi

Amphibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah

jenis terkecil, yaitu sekitar 4.000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi

merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk

kehidupan di darat dan merupakan nenek moyag reptil (Halliday & Adler,

2000).

Menurut Simon & Schuster’s (1989) Amfibi merupakan salah satu

kelas dari vertebrata yang terdiri dari tiga ordo, yaitu ordo Caudata

(Urodela), Gymnophiona (Apoda), dan Anura.

a. Ordo Anura

Ordo ini hidup didaerah akuatik dan teresterial. Memiliki

ekor saat masih dalam fase juvenil (berudu), badan dan kepala

7
8

bersatu, extremitas depan lebih pendek dari extremitas

belakang, memiliki tuberkulum subtikuler dan selaput renang.

Ordo Anura dikelompokkan menjadi 3 subordo, yakni

archaeobatrachia (4 famili, 6 genus, 27 spesies), mesobatrachia (6

famili, 21 genus, 168 spesies), dan neobatrachia yang mencakup 21

famili dan lebih dari 5000 spesies (Frost, 2004). Di Indonesia, terdapat

sekitar 450 spesies yang tergolong ke dalam lima family yaitu

Ranidae, Bufonidae, Microhylidae, Rachoporidae dan Dicroglossidae

(Iskandar, 1998: 1). Spesies-spesies tersebut tersebar dari pulau ujung

Barat Indonesia sampai dengan pulau ujung Timur Indonesia.

Kekhasan spesies Anura di Indonesia tergantung letaknya menurut

garis Weber dan garis Wallace.

Ordo Anura, dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan

sebutan katak atau kodok, mudah dikenal oleh masyarakat umum

dari bentuk tubuhnya. Hewan vertebrata ini tidak memiliki ekor,

tubuh pendek, tungkai belakang lebih panjang dibandingkan dengan

tungkai depan, mata menonjol dan tipe mulut sangat bervariasi

(Inger and Stuebing, 2005: 1). Secara anatomi, Anura memiliki

kelenjar penghasil mucus (cairan) yang terletak pada bagian kulit

(Delfino et al., 1998). Cairan tersebut berfungsi sebagai salah satu

bentuk pertahanan diri (Daly et al., 1987).

Handrigan and Wassersug (2006) menambahkan bahwa

Anura (katak, kodok dan larvanya) mempunyai morfologi yang

cukup mudah dapat dibedakan dengan vertebrata lainnya. Kelompok


9

ini “kehilangan” ekor selama proses perkembangan dalam siklus

hidupnya. Hal tersebut merupakan bentuk dari adaptif, ontogenik

dan perubahan secara genetik yakni (1) tidak adanya sejumlah tulang

ekor, (2) munculnya skeleton aksial dan (3) terjadinya pemanjangan

pada alat gerak. Faktor ini berkaitan erat dengan kehidupan dari

Anura dengan habitat akuatik dan terrestrial.

Menurut Simon dan Schuster’s (1989). Dari ketiga ordo

tersebut yang dijumpai di Indonesia adalah ordo Anura (salientia) dan

ordo Urodela (Caudata). Orda Anura (Salientia) terdiri dari :

1) Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan

teresterial)

2) Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan

katak yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan perairan)

3) Famili Discoglossidae

4) Famili Pelobatidae

5) Famili Brevicivitadae

6) Famili Ranidae (katak sejati)


Gambar 2.1 Bufo biporcatus
7) Famili Rhacophoridae

8) Famili Mycrohylidae

9) Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika

Selatan)

10) Famili Bufonidae

11) Famili Hylidae

12) Famili Leptodactylidae


10

3. Morfologi Amfibi

Amfibi memiliki beragam bentuk dasarnya tergantung ordonya.

Ordo Anura (jenis katak-katakan) secara morfologi mudah dikenal karena

tubuhnya seperti berjongkok dimana ada empat kaki untuk melompat,

bentuk tubuh pendek, leher yang tidak jelas, tanpa ekor, mata lebar dan

memiliki mulut yang lebar (Inger & Stuebing, 1997). Tungkai belakang

selalu lebih panjang dibanding tungkai depan. Tungkai depan memiliki 4

jari sedangkan tunkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya bervariasi dari

halus hingga kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang ditemukan

seperti pada famili Bufonidae. Ukuran katak di Indonesia bervariasi mulai

dari yang terkecil yakni 10 mm hingga yang terbesar mencapai 280 mm

(Iskandar, 1998).

Morfometri seperti SVL, panjang tungkai dan ukuran

morfologi lainnya sangat bervariasi, tidak hanya pada spesies yang

berbeda, melainkan juga pada spesies yang sama. Misalnya pada

morfometri Duttaphrynus melanostictus dan F. limnocharis (Nakamura,

2003; Nesty dkk., 2013; Tjong et al., 2007). Faktor utama yang

mempengaruhinya adalah genotip (internal). Walaupun demikian, faktor

luar seperti temperature (suhu) juga mempengaruhi ukurannya, yakni

mempunyai korelasi yang negatif terhadap ukuran dari sel penyusun

jaringan (Slavenko and Meiri, 2015).

Tekstrur kulit secara umum dibedakan menjadi dua macam

yaitu kulit kasar, berbintil, cenderung terlihat kering; dan kulit licin, tidak

berbintil, cenderung terlihat basah. Tungkai depan seluruhnya tidak


11

memiliki selaput, sedangkan tungkai belakang biasanya berselaput renang.

Spesies-spesies yang aktivitasnya lebih banyak dilakukan di lingkungan

akuatik umumnya memiliki selaput yang penuh, sedangkan spesies-spesies

yang lebih banyak beraktivitas di terrestrial, memiliki selaput renang yang

tidak penuh. Fenomena ini berkaitan erat dengan fungsi dari selaput

renang tersebut, yakni memudahkan bergerak di air.

4. Reproduksi Anura

Reproduksi Anura dilakukan dengan cara bertelur (ovipar).

Fertilisasi dilakukan secara eksternal, umumnya di badan air yang tenang.

Prosesnya diawali dengan calling oleh individu jantan untuk memanggil

betina yang sudah siap memijah. Durasi dan frekuensi calling tergantung

pada ukurannya (Owen and Gordon, 2005). Vokalisasi Anura jantan

bersifat interspesifik. Suara jantan spesies tertentu secara spesifik dikenali

oleh betina dari spesies yang sama (Leary, 2001). Betina yang datang

akan langsung dinaiki oleh jantan, ini disebut amplexus. Jantan yang

berada di punggung akan merangsang betina untuk mengeluarkan

telurnya dengan mengelus-elus pinggang betina. Sel telur yang keluar dan

mengapung di badan air dibuahi oleh sperma yang dikeluarkan oleh

jantan begitu telur dikeluarkan.

5. Habitat Amphibi

Amphibi dikenal dengan makhluk dua alam. Amphibi tersebar di

semua benua kecuali benua Antartika, umumnya dijumpai pada malam

hari atau pada musim penghujan seperti di kolam, aliran sungai, pohon-

pohon maupun di gua (Simon & Schuster’s, 1989). Iskandar (1998)


12

menyatakan bahwa amphibi selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai

namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan di darat). Selanjutnya

dijelaskan bahwa sebagian besar amphibi didapatkan hidup di kawasan

hutan karena di samping membutuhkan air juga membutuhkan

kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi tubuh dari

kekeringan. Mistar (2003) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi

amfibi membutuhkan air atau tempat untuk meletakkan telur hingga

terbentuknya larva dan juvenil.

Siklus hidup amphibi, khususnya Anura, memiliki habitat di air dan

terrestrial. Fase larva (berudu/kecebong) bernafas menggunakan insang

sehingga hidup bebas di habitat perairan. Fase juvenile dan imago

bernafas menggunakan paru-paru sehingga mempunyai habitat di

terrestrial/darat. Walaupun hidup di darat, Anura tidak dapat lepas dari

habitat perairan, di samping sebagai bentuk strategi pertahanan diri

namun juga untuk tempat pemijahan.

Berdasarkan kebiasaan hidupnya amphibi dapat dikelompokkan ke

dalam empat kelompok, yakni :

a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai

hutan, jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan

genangan air atau di kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun

yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil

untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan

Leptobracium sp.
13

b. Arboreal, spesies-spesies amphibi yang hidup di pohon dan

berkembangbiak di genangan air pada lubang-lubang pohon di

cekungan lubang pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi

pada saat berbiak. Beberapa spesies arboreal mengembangkan telur

dengan membungkusnya dengan busa untuk menjaga kelembaban,

menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat air.

Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii.

c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada

badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada

perairan mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain

Occidozyga sumatrana dan Rana siberut.

d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini

jarang dijumpai. Amphibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah

suku Microhylidae yaitu Kaloulasp dan semua jenis sesilia (Mistar,

2003).

Menurut Iskandar (1998), kelompok amphibi ini hidup tersebar

luas di mana amphibi dapat hidup di tempat yang beragam, mulai dari

hutan primer sampai tempat yang ekstrim sekali. Berdasarkan asosiasinya

dengan manusia, habitat Anura dibedakan menjadi tiga: (1) habitat yang

intensitas gangguan manusianya tinggi, (2) habitat yang intensitas

gangguan manusianya rendah, dan (3) habitat yang tidak diganggu oleh

aktivitas manusia.

Informasi di atas menunjukkan bahwa Anura dapat hidup diseluruh

permukaan bumi kecuali di kutub karena bersuhu di luar kisaran 10 –


14

30oC (Brattstrom, 1963). Habitat-habitat yang dimaksud mencakup kota,

desa dan hutan. Habitat hutan memiliki tingkat keanekaragaman spesies

yang lebih tinggi dibandingkan dengan habitat lainnya. Hal ini terjadi

karena amphibi lebih menyukai habitat yang lembab untuk tetap survive

(Mistar, 2003). Hidup di habitatnya, masing-masing spesies Anura

menyukai substrat yang berbeda-beda. Spesies-spesies katak pohon lebih

suka di atas pohon seperti di daun pisang dan tumbuhan-tumbuhan

berdaun lebar lainnya. Umumnya spesies Anura menyukai substrat tanah,

batu, air dangkal, rawa dan ada juga di kayu atau daun lapuk untuk

menyamarkan keberadaannya melalui mekanisme mimikri. Walaupun

demikian habitat yang paling disukai adalah daerah berhutan karena

membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah

meninggalkan perairan sama sekali (Mistar, 2003).

Anura, di habitatnya, melakukan interaksi baik yang bersifat intern

spesies maupun dengan spesies Anura lain dan bahkan spesies dari luar

kelompok Anura. Kelompok selain Anura ini misalnya adalah serangga,

ular dan tumbuhan. Faktor abiotik yang berinteraksi dengan Anura

adalah air, kelembaban, suhu dan lain-lain. Interaksi intern spesies yang

sering terjadi adalah kompetisi, misalnya kompetisi antar-individu jantan

untuk memperebutkan betina ketika akan memijah. Interaksi dengan

spesies Anura lainnya dapat bersifat simpatrik. Anura dengan serangga

dan ular termasuk interaksi predasi. Anura dapat berfungsi sebagai

predator apabila berinteraksi dengan serangga, dan sebagai prey bila

berinteraksi dengan ular dan Lutra lutra (Clavero et al., 2005).


15

Upayanya dalam mempertahankan diri dari predator atau faktor

lain yang mengancam kehidupannya, kebanyakan Anura memiliki

tungkai belakang yang panjang dan kuat untuk melompat dengan cepat

dan dalam sekali lompatan dapat menempuh jarak yang relatif jauh. Ada

spesies yang dapat melakukan mimikri yakni dengan menyamarkan diri

karena mirip dengan substratnya. Adapula spesies yang dapat

menghasilkan racun berbahaya dan bahkan mematikan bagi organisme

lain. Spesies Dendrobates auratus memiliki kelenjar pada kulit yang

dapat menghasilkan neurotoxic alkaloids (Summers, 1990).

Beberapa spesies Anura lainnya yang dapat menghasilkan racun

untuk mempertahankan diri adalah Epipedobates femoralis (Rougheed et

al., 1999), Dendrobates pomilio (Prohl, 1998) dan berbagai spesies yang

termasuk ke dalam family Dendrobatidae (Darst et al., 2005). Spesies-

spesies yang dikelompokkan ke dalam genus Mantella mampu

menghasilkan lipophilic alkaloid yang mencakup pumiliotoxin dan

decahydroquinolines (Daly et al., 1996). Kelompok Anura lainnya yang

dapat memproduksi zat toksik adalah Melanophryniscus (Bufonidae) dan

Pseudophryne (Myobatrachidae) untuk mempertahankan diri (Daly et al.,

1984).

Mekanisme pertahanan diri yang dimiliki oleh Anura tidak cukup

untuk melindunginya dari beberapa faktor yang disebabkan oleh manusia

dan alam. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah pemanasan global,

kerusakan habitat, polusi, penyakit dan lain-lain. (Gibbons et al., 2000;

Halliday, 2008). Di seluruh dunia, Eksploitasi yang berlebihan


16

merupakan faktor terbesar yang menyebabkan kasus penurunan Anura

(Stuart, 2004).

6. Geografi Pulau Lombok

Lombok merupakan salah satu pulau besar selain Bali, Sumbawa,

Flores, Sumba dan Timor dari gugusan kepulauan Sunda Kecil (Ellicot

and Gall, 2003: 3). Lombok terletak pada koordinat 8.565°S 116.351°E

dengan luas total 4.514,11 km2 atau setara dengan 1.742,91 mil2. Puncak

tertinggi adalah Gunung rinjani yakni 3.726 meter di atas permukaan laut

(mdpl). Secara administrasi, Lombok termasuk ke dalam wilayah provinsi

Nusa Tenggara Barat (Wikipedia, 2015).

Terletak di ekuator (katulistiwa) menyebabkan Lombok memiliki

iklim tropis sepanjang tahun. Rata-rata temperature udara tahunan adalah

20oC atau lebih. Musim ada dua yaitu musim kemarau dan musim

penghujan. Musim kemarau terjadi pada bulan April sampai dengan bulan

September dan musim hujan berlangsung dari bulan Oktober sampai

dengan bulan Maret. Hal ini sangat tergantung dari posisi matahari dari

hasil gerak semu tahunannya. Curah hujan lebih dari 100 mm perbulan

(Wheler and Lyon, 1992).

Topografi pulau Lombok dodominasi oleh aktivitas vulkanik

Gunung Rinjani, vulkanik terbesar kedua di Indonesia. Sebagian besar

kawasan di Lombok adalah hutan namun sedang mengalami

perkembangan menjadi daerah pemukiman. Dataran rendahnya banyak

yang ditanami padi, kopi, tembakau, cokelat, jagung, pisang dan lain-lain

karena memiliki tanah yang subur (Wikipedia, 2015).


17

a. Taman Wisata Alam Kerandangan

Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan sebelumnya

adalah bagian dari kawasan hutan lindung Rinjani (RTK.1). Tahun

1992, berdasarkan SK. Menhut No.494/Kpts-II/92 tanggal 1 Juni 1992

ditunjuk menjadi Taman Wisata Alam Kerandangan dengan luas

396,10 ha (BKSDA, 2001).

Secara Geografis TWA Kerandangan terletak pada 8° 20' 13"

Lintang Utara - 8° 20' 15" Lintang Selatan, dan 116° 04' 00" Bujur Timur

– 116° 04' 03". Menurut administratif pemerintahan terletak di Desa

senggigi kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa

Tenggara Barat. Wewenang pengelolaan berada di bawah Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat. Batas-batas TWA

Kerandangan: Sebelah Barat Selat Lombok (dusun Kerandangan, Mangsit

dan Kluwi). Sebelah Timur Hutan Lindung Rinjani. Sebelah Utara Hutan

Lindung Rinjani. Sebelah Selatan Hutan Lindung Rinjani.

TWA Kerandangan terletak pada ketinggian antara 10 m - 600

meter dpl. Topografi secara umum merupakan dataran bergelombang 10 -

30 % dan berbukit 30 – 50 % dengan kemiringan tanah sangat curam

hingga mencapai ± 64,13 % luas kawasan dan hanya sebagian kecil

bertografi datar 0 – 5 % seta berombak 5 – 10 % khususnya yang terletak

di kiri kanan sungai. Jika masuk ke TWA Kerandangan lewat Dusun

Kerandangan mengikuti arah alur sungai ke arah timur maka seolah kita

masuk ke dalam perangkap raksasa dimana di bagian kanan (selatan) dan


18

kiri (utara) serta di depan (timur) merupakan lereng-lereng bukit yang

curam, terjal dan berbatu.

7. Modul

a. Pengertian Modul

Prastowo (2012) menjelaskan bahwa, modul pada dasarnya

adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan

bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat

pengetahuan mereka, agar mereka dapat belajar sendiri (mandiri)

dengan bantuan atau bimbingan yang minimal dari pendidik.

Pembelajaran dengan modul memungkinkan peserta didik

yang memiliki kecepatan tinggi dalam belajar akan lebih cepat

menyelesaikan satu atau lebih kompetensi dasar dibandingkan dengan

peserta didik lainnya. Oleh karena itu, modul harus menggambarkan

kompetensi dasar yang akan dicapai oleh peserta didik, serta disajikan

dengan bahasa yang baik, menarik, dan dilengkapi dengan ilustrasi

(Prastowo, 2012).

Sebagai salah satu bentuk bahan ajar, modul memiliki fungsi

sebagai berikut (Prastowo, 2012) :

1) Bahan ajar mandiri. Maksudnya, penggunaan modul dalam proses

pembelajaran berfungsi meningkatkan kemampuan peserta didik

untuk belajar sendiri tanpa tergantung kepada kehadiran pendidik.

2) Pengganti fungsi pendidik. Maksudnya, modul sebagai bahan ajar

yang harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik


19

dan mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat

pengetahuan dan usia mereka.

3) Sebagai alat evaluasi. Maksudnya, dengan modul peserta didik

dituntut untuk dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat

penguasaanya terhadap materi yang dipelajari.

4) Sebagai bahan rujukan bagi peserta didik. Maksudnya, karena

modul mengandung berbagai materi yang harus dipelajari oleh

peserta didik, maka modul juga memiliki fungsi sebagai bahan

rujukan bagi peserta didik.

b. Ciri-ciri Modul

Vembiarto (dalam sungkono,2003) ciri-ciri modul sebagai

media utama dalam pembelajaran jarak jauh ialah:

1) Bersifat Self-instruction

Pendekatan yang digunakan dalam pengajaran modul

menggunakan pengalaman belajar siswa melalui berbagai macam

penginderan, melalui pengalaman mana siswa terlibat secara aktif

belajar.

2) Pengakuan atas perbedaan-perbedaan individual

Modul pada dasarnya disusun untuk diselesaikan secara

perorangan, oleh karena itu siswa diberi kesempatan belajar sesuai

irama dan kecepatan masing-masing.

3) Membuat rumusan tujuan pembelajaran secara eksplisit

Bagi penyusun modul, tujuan yang spesifik berguna untuk

menentukan media dan kegiatan belajar yang harus direncanakan


20

untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi guru tujuan itu berguna

untuk memahami isi pelajaran, bagi siswa berguna untuk

menyadarkan mereka tentang apa yang diharapkan.

4) Adanya asosiasi, struktur, dan urutan pengetahuan

Siswa dapat membaca teks dan melihat diagram-diagram dari

buku modulnya, buku modul dapat disusun mengikuti struktur

pengetahuan secara hirarkis.

5) Penggunaan berbagai macam media (multi media)

Dalam belajar menggunakan modul bisa saja divariasikan

dengan media lain seperti radio atau televisi.

6) Partisipasi aktif siswa

Bahan-bahan pembelajran yang ada dalam modul tersebut

bersifat elf instructional, sehingga akan terjadi keaktifan belajar

yang tinggi.

7) Adanya reifircement lansung terhadap respon siswa

Siswa mendapatkan konfirmasi jawaban yang benar dengan

cara mencocokkan hasil pekerjaannya dengan kunci jawaban yang

telah disediakan.

8) Adanya evaluasi terhadap penggunaan siswa atas hasil belajarnya

Dari hasil evaluasi dapat diketahui tingkat penguasaan siswa

terhadap materi yang telah dipelajarinya.

c. Tujuan Pembuatan Modul

Adapun tujuan pembuatan modul itu sendiri yaitu:


21

1) Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak

terlalu bersifat verbal.

2) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya gerak indera, baik

siswa atau peserta diklat juga guru dan instruktur.

3) Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi seperti: meningkatkan

motivasi dan gairah belajar bagi siswa atau peserta diklat,

mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi

langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya,

memungkinkan murid dapat belajar mandiri sesuai kemampuan

dan minatnya, memungkinkan siswa atau peserta didik untuk

dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

d. Manfaat Penulisan Modul

Adapun manfaat penulisan Modul itu sendiri yaitu:

1) Bagi peserta didik modul bermanfaat karena:

a) Peseta didik memiliki kesempatan melatih didri belajar secara

mandiri,

b) Beljar menjadi lebih menarik karena dapat dipelajari diluar

kelas dan diluar jam pembelajaran,

c) Berkesempatan mengekspresikan cara-cara belajar yang sesuai

dengan kemampuan dan minatnya,

d) Berkesempatan menguji diri sendiri dengan mengerjakan

latihan yang disajikan dalam modul,

e) Mampu membelajarkan diri sendiri,


22

f) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi

lansung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya.

2) Bagi guru penyusunan modul bernanfaat karena:

a) Mengurangi ketergantungan terhadap ketersediaan buku teks

b) Memperluas wawasan karena disusun dengan menggunakan

berbagai refrensi

c) Menambah Khasanah dan pengalaman dalam menulis bahan

ajar

d) Membangun komunikasi yang efektif antaradirinya dengan

peserta didik karena pembelajran tidak harus berjalan secara

tatap muka

e) Menambah angka kredit juka dikumpulkan menjadi buku dan

diterbitkan.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan

dapat dipaparkan sebagai berikut :

1. Hasil penelitian Ayuningrum 2015, yang berjudul Komunitas Amfibi di

beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo,

menyimpulkan bahwa ditemukan 15 jenis dari empat famili dengan

total individu 490 ekor. L. cf modestus jenis yang paling melimpah

(519 individu/ha) di sungai pada hutan sekunder. Komunitas amfibi di

sungai pada hutan primer dengan sungai pada hutan sekunder memiliki

kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%), sedangkan komunitas

amfibi di sungai pada kebun tebu dengan komunitas amfibi yang


23

menempati sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder

memiliki kesamaan komunitas amfibi paling rendah (29.9%).

2. Hasil penelitian Ahmad, Syafruddin, Erianto 2014, yang berjudul

Keanekaragaman Jenis Amfibi Ordo Anura di Kawasan Hutan

Lindung Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten

Landak Kalimantan Barat, menyimpulkan bahwa Indeks

Keanekaragaman jenis amfibi (Ordo Anura) dalam kawasan Hutan

Lindung Gunung Semahung termasuk rendah dengan keanekaragaman

jenis pada habitat akuatik H’ = 0,957, dan habitat terestrial dengan

nilai H’ = 0,690.

3. Hasil penelitian Kharisma, Rizaldi, dan Djong 2012, yang berjudul

Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di

Kawasan Hutan Harapan Jambi, menyimpulkan bahwa Komposisi

Anura yang ditemukan pada tiga tipe perairan di Hutan Harapan Jambi

sebanyak 115 individu yang terdiri dari 14 jenis, tiga famili dan delapan

genus.

C. Kerangka Berfikir

Sebagai wilayah yang difungsikan untuk kawasan ekowisata, kondisi

komponen abiotik dan biotik ekosistem yang ada di beberapa kawasan

Lombok harus tetap dijaga seperti aslinya. Hal ini mengindikasikan bahwa

upaya penanganan yang cepat dan tepat untuk mengetahui segala bentuk

perubahan yang terjadi, terutama yang mengakibatkan kearah kerusakkan

sistem ekologi oleh aktivitas manusia. Sehingga kawasan di Lombok

khususnya di Taman Wisata Alam Kerandangan tetap dapat dimanfaatkan


24

secara berkelanjutan dengan berdasarkan pada azas-azas konservasi. Dampak

yang kemudian yang mengkhawatirkan adalah perubahan-perubahan yang

terjadi tidak disadari sehingga akan berakhir pada disfungsi kawasan.

Ketakutan akan perubahan yang terjadi sangat mungkin telah berlangsung

saat ini. Seseorang tidak akan pernah tahu sebelum ada informasi yang valid.

Upaya pencegahan ini misalnya dapat tercermin pada monitoring ada

tidaknya perubahan kondisi kawasan dengan pengamatan organisme

indikator. Salah satu organisme yang dapat merasakan adanya perubahan

lingkungan sehingga dapat dijadikan organisme indikator adalah amphibi.

Amphibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara

ekologis, amphibi berperan sebagai pemangsa konsumen seperti serangga

atau hewan invertebrata lainnya serta dapat digunakan sebagai bio-indikator

kondisi lingkungan.

Dari survey yang dilakukan Western Australian Museum berhasil

menemukan beberpa jenis baru dan jumlah total katak di Nusa Tenggara

Adalah 45 jenis sedangkan di Pulau Lombok khususnya tercatat 10 jenis

amfibi yang beberapa diantaranya merupakan jenis endemik pulau. Oleh

karena itu, perlu adanya penelitian yang mengarah tentang amphibi dan perlu

adanya penanganan yang baik untuk habitat amfibi itu sendiri serta dari hasil

penelitian yang akan dilakukan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk

memperluas wawasan mengenai Amphibi, penyusunan bahan ajar bagi

mahasiswa, serta sebagai referensi selanjutnya dan sebagai informasi bagi

masyarakat pada umumnya.


25

Pulau Lombok

Kawasan ekowisata

Taman Wisata Kerandangan

Komponen abiotik
dan biotik

Dampak perubahan
kearah kerusakkan Organisme indikator
sistem ekologi

45 jenis katak Amphibi (Ordo Anura)


Nusa Tenggara

10 jenis endemik Western Australian Museum


Pulau

MODUL EKOLOGI HEWAN

Gambar 2.2 Skema kerangka berpikir


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang

bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis, faktual dan akurat

dengan sumber data yang diperoleh dari pengamatan langsung. Sedangkan

penelitian pengembangan terhadap Modul Ekologi Hewan menggunakan

pendekatan 4D model (Define, Design, Develop, dan Desseminate), namun

dalam istilah Bahasa Insonesia diadaptasi menjadi model 4P (Pendefinisian,

Perancangan, Pengembangan dan Penyebarluasan). Dalam penelitian

pengembangan ini peneliti hanya mencapai pada tahap Pengembangan (3P

model) yang divalidasikan oleh 3 orang validator ahli (ahli materi dan isi, ahli

tampilan, dan ahli bahasa) dan uji keterbacaan oleh mahasiswa.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif

secara kualitatif dan kuantitatif karena data yang dikumpulkan berupa kajian

(kualitatif) dan angka-angka (kuantitatif). Sedangkan penelitian

pengembangan yang dilakukan oleh peneliti menggunakan pendekatan model

4P yang dimodifikasi menjadi 3P yakni Pendefinisian, Perancangan, dan

Pengembangan yang akan di uji kelayakannya (validitas) oleh validator ahli

diantaranya, ahli materi dan isi, ahli tampilan, dan ahli bahasa, sehingga

Modul Ekologi Hewan yang sudah dikembangkan layak digunakan atau tidak.

26
27

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret 2016 di TWA

Kerandangan.

D. Rancangan Penelitian

1. Rancangan Penelitian Struktur Komunitas

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Maret 2016 di

kawasan Taman Wisata Alam Kerandangan Desa Senggigi Kecamatan

Batu Layar Kab. Lombok Barat,.

Pengumpulan data Amphibi dilakukan dengan metode VES

(Visual Encounter Survey) yang dikombinasikan dengan TBTLTL

(Tangkap Beri Tanda Lepaskan Tangkap Lagi) sepanjang 700 meter

(Heyer et al. 1994) dengan estimasi lokasi 5 titik. Waktu pengamatan

Amphibi sesuai waktu aktif Amphibi yaitu malam hari pukul 20.00-23.00

Wita. Penentuan jalur pengamatan dan pemasangan tanda di sepanjang

jalur pengamatan dilakukan pada siang hari sebelum pengamatan.

Informasi data identifikasi spesimen yang tertangkap dapat dilihat pada

tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1 Tabulasi Data Amphibi pada 5 Lokasi Sampling

Spesimen yang Tertangkap


No. Nama Spesimen Keterangan
Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV Lokasi V
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dst.

Untuk data dasar mencakupi substrat, SVL, aktivitas dan berat badan
Amphibi dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut ini:
28

Tabel 3.2 Hasil Observasi Lapangan Selama Pengamatan

Data Dasar
No. Nama Spesimen
Substrat Aktivitas SVL Berat Badan
1.
2.
3.
4.
5.
Dst.

Sedangkan untuk penjelasan dari lokasi penelitian akan dijabarkan

pada gambar 3.1 dan 3.2.

Gambar 3.1 Peta Kawasan Penelitian

Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV Lokasi V

Gambar 3.2 Lokasi Sampling Penelitian


29

2. Rancangan Pengembangan Bahan Ajar

Hasil Penelitian Struktur Komunitas Amphibi

Penyusunan Modul Ekologi

Model 4P yang dimodifikasikan menjadi 3P

Pendefinisian Perancangan Pengembangan

Validasi Uji Keterbacaan

Ahli Materi dan Isi Ahli Tampilan Ahli Bahasa Mahasiswa

Modul Ekologi Hewan

Gambar 3.3 Pengembangan Bahan Ajar


30

E. Instruman Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Tabel 3.3 Alat dan Bahan Penelitian serta penggunaannya

No. Alat dan Bahan Penggunaan

1. Thermometer Mengukur suhu air dan udara

2. Senter Mencari spesimen pada malam hari

3. Kantong sampel Menaruh spesimen yang tertangkap

4. Spidol permanen Menulis keterangan pada kantong sampel

5.. Alat tulis Mencatat data amphibi

6. Buku identifikasi Menentukan nama spesies amphibi

7. Jangka sorong Mengukur SVL sampel

8. Neraca pegas Menentukan berat sampel

9. Klorofom Membius klorofom

10. Suntikan Melumpuhkan spesimen untuk diawetkan

11. Alkohol 70% Mengawetkan specimen

12. Toples sampel Menaruh spesimen yang diawetkan

13. Kertas label Labeling specimen

14. GPS Penunjuk jalan pada saat pencarian

15. Hygrometer Mengukur kelembaban

F. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah seluruh amphibi (Ordo Anura) yang

terdapat di Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan. Sedangkan sampel

penelitian ini adalah sejumlah individu amphibi (Ordo Anura) yang


31

tertangkap pada saat pencarian. Dalam penelitian ini metode pengambilan

sampel yang digunakan adalah VES (Visual Encounter Survey), yaitu metode

pencarian yang dibatasi oleh waktu (Kursini, 2009). Untuk menghindari

perhitungan kembali individu yang pernah tertangkap sebelumnya maka pada

pengambilan sampel menggunakan metode TBTLTL (Tangkap Beri Tanda

Lepaskan Tangkap Lagi) karena dilakukan pelepasan kembali ke alam.

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Pengambilan Sampel

TBTLTL (Tangkap Beri Tanda Lepaskan Tangkap Lagi)

merupakan metode pendugaan populasi dengan menangkap dan

menandai sejumlah individu hewan kemudian di tandai, dilepas dan

ditangkap ulang. Metode ini dikenal dengan metode Lincoln-Petersen.

a. Siapkan alat dan bahan penelitian

b. Lakukan pengambilan sampel pada malam hari dengan waktu

pencarian dibatasi selama 3 jam (20.00-23.00). Pada rentang waktu

tersebut dilakukan penangkapan semua individu amphibi yang

ditemukan di wilayah pengambilan sampel.

c. Masukkan setiap individu yang tertangkap kedalam kantong plastik.

d. Beri nama hasil dari identifikasi menggunakan buku panduan

“Amphibi of Java and Bali” karangan Iskandar (1998), pukul

pengambilan individu menggunakan kertas label yang ditempel pada

kantong plastik spesimen.

e. Masukkan spesimen yang telah di identifikasi kedalam tabung

spesimen.
32

2. Teknik Pengambilan Data

Data yang diambil berupa data dasar dan daftar jenis. Data dasar

berupa identitas yang meliputi waktu penemuan, koordinat (khusus di

wilayah pengambilan sampel berupa sungai; sungai menjadi sumbu “y”,

kiri kanan sungai menjadi sumbu “x” dan ketinggian dari sungai menjadi

sumbu “z”), aktivitas (diam, bunyi dan lain-lain), substrat (batu, air dan

lain-lain) data dasar ini sebagai penunjang dalam penelitian. Sedangkan

daftar jenis didapatkan dengan menggunakan buku panduan “Amphibi of

Java and Bali” karangan Iskandar (1998).

3. Lembar Validasi Ahli

Lembar validasi ahli yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

mengumpulkan hasil lembar validasi ahli yang sudah disebarkan kepada

masing-masing validator yang ditentukan oleh peneliti untuk memvalidasi

modul yang dikembangkan melalui hasil penelitian. Hasil penelitian dari

validator dihitung dengan rumus total yang didapat, dibagi skor maksimal

dikali 100%.
33

H. Teknik Analisis Data

1. Analisis struktur komunitas Amphibi

a. Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman spesies Amphibi (ordo anura) diukur

menggunakan rumus Shanon-Wienar dengan persamaan (Boitani and

Powell, 2012):

=− ln

Keterangan:

= ℎ −

= ℎ −

= ℎ ℎ

b. Dominansi spesies anura (C)

Dominansi spesies amphibi ditentukan menggunakan indeks

dominansi Simpson dalam Odum (1971), yaitu:

Keterangan:

C = dominansi spesies amphibi

ni = jumlah individu jenis i

N = jumlah seluruh individu


34

c. Kelimpahan relatif spesies Amphibi

Kelimpahan relatif spesies Amphibi ditentukan dengan

menggunakan rumus (Boitani and Powell, 2012), yaitu:

= 100%

Kr = kelimpahan relatif spesies amphibi

ni = jumlah individu jenis i

N = jumlah seluruh individu

d. Kepadatan (densitas)

Densitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah densitas

ekologis, yaitu jumlah (biomassa) per satuan ruangan habitat (ruang,

tempat atau volume yang tersedia yang benar-benar dapat ditempati

oleh populasi) (Odum, 1998). Secara matematis densitas ekologis (DE)

dapat dirumuskan sebagai berikut:


=
700 2

e. Indeks kemerataan/Kesamaan

Untuk meningkatkan kesamaan spesies digunakan indeks

keseragaman (Odum, 1996), dengan rumus sebagai berikut:


E=

Keterangan :

E = Indeks Keseragaman Jenis

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

H’Max = Nilai Keanekaragaman Maksimum = Ln S

S = Jumlah Spesies.
35

2. Pengembangan Modul Ekologi Hewan

a. Penyusunan Modul

Penyusunan modul ekologi hewan ini sebagai media

pembelajaran bagi mahasiswa dikembangkan dengan model 4D yang

dikembangkan oleh Thiagarajan dkk (1974) yang terdiri dari 4 tahap

yaitu Define, Design, Develop dan Disseminate atau di adaptasikan

menjadi model 4P, yaitu: Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan

dan Penyebaran (Ibrahim, 2002). Namun dalam penelitian ini, peneliti

memodifikasi dari model 4P menjadi 3P yaitu: Pendefinisian,

Perancangan dan Pengembangan.

1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan

syarat-syarat pembelajaran. Tahap ini dilakukan dengan

melakukan analisis tujuan dalam batasan materi pelajaran yang

akan dikembangkan perangkatnya.

2. Tahap Perancangan (Design)

Pada tahap ini dilakukan prancangan prototype perangkat

pembelajaran. Di dalam tahap ini dilakukan (a) penyusunan test.

Langkah ini merupakan jembatan yang menghubungkan tahap

pendefinisian dengan perancangan. Disamping itu pada tahap ini

jugadilakukan (b) pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk

menyampaikan materi pelajaran. Termasuk pula dalam tahap ini

adalah (c) pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini

misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format


36

perangkat yang sudah ada dan yang sudah dikembangkan di

Negara-negara lain yang lebih maju.

3. Tahap Pengembangan (Develop)

Tahap pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan

perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan

para pakar. Tahap ini biasanya meliputi: (a) validasi perangkat

oleh pakar diikuti dengan revisi (b) simulasi yaitu, kegiatan

mengoperasionalkan rencana pelajaran.

b. Teknik Persentase

Bahan ajar yang disusun dalam penelitian ini adalah bahan ajar

cetak berupa modul, yang hasil validasinya akan dianalisis

menggunakan teknik persentase, yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.4 Pengambilan Keputusan Revisi Bahan Ajar

Tingkat Pencapaian Kualifikasi Keterangan

>80% Sangat Baik Tidak perlu direvisi

70% - 80% Baik Tidak perlu direvisi

60% - 69% Cukup Direvisi

50% - 59% Kurang Direvisi

<50% Sangat Kurang Direvisi

(Sumber : diadaptasi dari setyosari dan Efendi dalam Roevicka,

2014).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Spesies Amphibi (Ordo Anura) di Kawasan TWA Kerandangan

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan satu spesies yang

tergolong ke dalam famili Bufonidae. Satu spesies yang dimaksud adalah

Bufo melanostictus dengan jumlah individu sebanyak lima belas (15)

individu. Bufo melanostictus sebagian besar ditemukan di wilayah

terrestrial walaupun terdapat satu individu yang berada di bebatuan sungai

dengan aktivitas berbunyi. Adapun tabel penemuan spesies dapat dilihat

pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Spesies yang ditemukan selama pengamatan

Data Dasar
No. Nama Spesies
Substrat Aktivitas SVL Berat Badan
1. Bufo melanostictus Tanah Diam 3,46 cm 0,4 gram
2. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,06 cm 0,9 gram
3. Bufo melanostictus Tanah Diam 6.16 cm 2,4 gram
4. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,56 cm 2 gram
5. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,24 cm 2,5 gram
6. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,96 cm 2,2 gram
7. Bufo melanostictus Tanah Diam 7,4 cm 4,1 gram
8. Bufo melanostictus Tanah Diam 9,22 cm 102 gram
9. Bufo melanostictus Batu Berbunyi 6,36 cm 4 gram
10. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,42 cm 2,5 gram
11. Bufo melanostictus Tanah Diam 4,14 cm 0,6 gram
12. Bufo melanostictus Tanah Diam 7,44 cm 4,6 gram
13. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,36 cm 4 gram
14. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,44 cm 2,3 gram
15. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,36 cm 2,7 gram

37
38

2. Karakteristik dan deskripsi spesies Bufo melanostictus

 Klasifikasi Bufo melanostictus

Goin. et al (1978), memasukkan sistematika Bufo melanostictus

(Kodok) kedalam susunan klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Amphibia

Ordo : Anura

Familia : Bufonidae

Genus : Bufo
Gambar 4.1 Bufo melanostictus
Species : Bufo melanostictus

Genus Bufo
Bufo beranggotakan lebih dari 200 spesies kodok yang

tersebar diseluruh belahan dunia kecuali di daerah Australia, Papua dan

Maluku dimana spesies yang ada merupakan hasil introduksi dari

daerah lain. Tubuh selalu gempal (pendek gemuk), dan tekstur kulit

sangat
ngat kasar, ditutupi oleh bintil yang besar dan kecil. Ukuran

bervariasi mulai dari yang relatif kecil (40 mm) sampai dengan yang

sangat besar (300 mm). Tungkai belakang tidak teradaptasi untuk

melompat. Sehingga kodok ini bergerak dengan cara berjalan ata


atau

melompat pendek. Walaupun beberapa spesies bersifat semi akuatik,

kebanyakan spesies pada umumnya lebih banyak melakukan aktivitas di

darat (terrestrial) atau pada liang tertentu. Telur-telur


Telur telur selalu tersusun

pada benang, ada yang sendiri atau berkelompok.


berkelompok
39

Adapun karakteristik khusus dari Bufo melanostictus adalah

memiliki ukuran tubuh sedang, pematang parietal yang terdapat

dibagian atas membran tympanium menyatu. Jari pendek-pendek.

Terdapat bintil hitam yang menutupi seluruh tubuh bagian dorsal.

Sedangkan karakteristik khusus dari Bufo biporcatus adalah memiliki

ukuran tubuh sedang, terdapat sepasang pematang parietal di atas mata

dan membrane tympanium. Jari pendek-pendek. Pematang parietal

tersusun seperti bulan sabit.

B. Keanekaragaman Amphibi (Ordo Anura) di Kawasan TWA

Kerandangan

1. Struktur Komunitas Ordo Anura

a. Indeks Keanekaragaman Spesies (H’)

Berdasarkan analisis data, didapatkan bahwa indeks

keanekaragaman spesies Amfibi (H’) di TWA Kerandangan sebesar

0,186. Indeks keanekaragaman ini tergolong rendah. Dibandingkan

dengan hasil penelitian Kadir (2011), hasil ini masih lebih rendah

harga indeks keanekaragaman spesies Amphibinya. Fenomena ini

disebabkan oleh adanya penurunan spesies yang mencolok

dibandingkan dengan pada tahun 2011.

b. Indeks Dominansi Simpson

Berdasarkan hasil analisis data didapatkan bahwa harga indeks

dominansi Simpson (C) pada penelitian ini sebesar 0,0044, hasil ini

jauh berbeda dengan harga indeks dominansi Simpson hasil penelitian

sebelumnya. Oleh karena harga indeks dominansinya kurang dari 0,5


40

(C > 0,5) maka ini berarti bahwa tidak ada satupun spesies Amphibi di

TWA Kerandangan yang dominan terhadap spesies yang lain. Hasil

ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang terjadi

mempengaruhi Amfibi secara keseluruhan, namun proporsi jumlahnya

relatif tetap sama.

c. Kelimpahan Relatif

Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa kelimpahan

relatif Bufo melanostictus mengalami penurunan dibandingkan dengan

hasil penelitian sebelumnya, yaitu semulah 55% menurun menjadi

6,7%. Hal ini karena Bufo melanostictus hidup pada habitat yang

intensitas gangguan manusianya tinggi, maka habitat di TWA

Kerandangan terindikasi terganggu dibandingkan dengan tahun 2011.

d. Kepadatan (Densitas)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa densitas Bufo

melanostictus sebesar 1 individu /100 m2. Penurunan densitas yang

mencapai lebih dari setengah ini setidaknya disebabkan oleh

berkurangnya luasan habitat yang dapat dihuni oleh Bufo

melanostictus akibat pada saat penelitian dilaksanakan bukan pada

musim penghujan.

e. Indeks kemerataan/kesamaan

Berdasarkan hasil hasil analisis data, didapatkan indeks

kemarataan/kesamaan spesies Amphibi sebesar 0,0686 menandakan

bahwa keseragaman merata atau tidak ada sebaran spesies tertentu

yang dominan.
41

C. Pengembangan Bahan Ajar

Berdasarkan hasil lembar validasi yang sudah diisi oleh validator,

didapatkan data sabagai berikut:

Tabel 4.2 Analisis Skor Validasi Ahli

No. Nama dan Bidang Ahli Skor Penilaian Skor Rata


-rata
1 2 3 4 5 total

1. Sri Nopita Primawati, S.Si., M.Pd - - - 24 15 39 4,3

(Validasi Ahli Materi dan Isi)

2. Nofisulatri, S.Pt., M.Si - - - 32 5 37 4,1

(Validasi Ahli Tampilan)

3. L. Habiburrahman., M.Pd - - - 20 - 20 4

(Validasi Ahli Bahasa)

4. 20 Mahasiswa Semester IV - 8 55 79 18 160 4

(Uji Keterbacaan Modul)

Berdasarkan hasil kualifikasi penilaian modul ekologi hewan

yang diisi oleh validator, dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Kualifikasi Penilaian Modul Ekologi Hewan

No Nama dan Bidang Ahli Tingkat Kualifikasi Keterangan

Pencapaian

1. Sri Nopita Primawati, S.Si., M.Pd 86% Sangat Tidak perlu

(Validasi Ahli Materi dan Isi) Baik direvisi

2. Nofisulatri, S.Pt., M.Si 82% Sangat Tidak perlu

(Validasi Ahli Tampilan) Baik direvisi


42

3. L. Habiburrahman., M.Pd 80% Baik Tidak perlu

(Validasi Ahli Bahasa) direvisi

4. 20 Mahasiswa Semester IV 73,1% Baik Tidak perlu

(Uji Keterbacaan Modul) direvisi

Berdasarkan hasil kualifikasi penilaian modul ekologi hewan yang

diisi oleh validator ahli materi dan isi oleh Sri Nopita Primawati, S.Si.,

M.Pd., diperoleh nilai rata-rata 4,3 dari 9 komponen penilaian dengan

menggunakan skala likert (5, 4, 3, 2, 1) yang menunjukkan bahwa

modul layak digunakan tanpa revisi, validator ahli tampilan oleh

Nofisulastri, S.Pt., M.Si, diperoleh nilai rata-rata 4,1 dari 9 komponen

penilaian dengan menggunakan skala likert (5, 4, 3, 2, 1) yang

menunjukkan bahwa modul layak digunakan tanpa revisi dan validator

ahli bahasa modul ekologi hewan oleh L. Habiburrahman, M.Pd,

diperoleh nilai rata-rata 4 dari 5 komponen penilaian dengan

menunjukkan skala likert (5, 4, 3, 2, 1) yang menunjukkan bahwa

modul layak digunakan tanpa revisi.

Dalam penelitian pengembangan ini, validasi keterbacaan di

validasi oleh mahasiswa semester IV (empat) Pendidikan Biologi

FPMIPA IKIP Mataram sebanyak 20 orang dengan perolehan data

sebagai berikut:
43

Tabel 4.4 Uji Keterbacaan Mahasiswa Pendidikan Biologi FPMIPA


Ikip Mataram.

No. NIM Skor total Rata-rata

1. 14.211.087 28 3,5

2. 14.211.082 32 4

3. 14.211.060 36 4,5

4. 14.211.054 29 3,63

5. 14.211.065 25 3,13

6. 14.211.093 22 2,75

7. 14.211.063 28 3,5

8. 14.211.085 31 3,9

9. 14.211.073 32 4

10. 14.211.059 27 3,38

11. 14.211.051 29 3,63

12. 14.211.067 34 4,25

13. 14.211.083 29 3,63

14. 14.211.068 29 3,63

15. 14.211.089 31 3,9

16. 14.211.077 26 3,25

17. 14.211.074 33 4,13

18. 14.211.058 29 3,63

19. 14.211.072 27 3,38

20. 14.211.078 27 3,38

Jumlah 73,1

Rata-rata 3.66
44

Berdasarkan hasil analisis uji keterbacaan yang dilakukan oleh 20

orang mahasiswa semester IV (empat) pada Program Studi Pendidikan

Biologi, di dapatkan nilai rata-rata keseluruhan mahasiswa adalah 3,

66 dari 8 komponen penilaian dengan menggunakan skala likert (5, 4, 3,

2, 1) yang menunjukkan bahwa Modul Ekologi Hewan layak

digunakan tanpa revisi.

D. Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis pembahasan yaitu:

1. Hasil Penelitian Amphibi (Ordo Anura)

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2016. Letak

pengambilan sampel dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA)

Kerandangan, Desa Senggigi, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten

Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pada penelitian ini, ditemukan

satu spesies dari ordo anura yang tergolong ke dalam satu famili, yaitu

famili Bufonidae.

Satu spesies yang dimaksud adalah Bufo melanostictus dengan

jumlah individu sebanyak lima belas individu. Bufo melanostictus

sebagian besar ditemukan di wilayah terrestrial walaupun terdapat satu

individu yang berada di bebatuan sungai dengan aktivitas berbunyi.

Adapun karakteristik khusus dari Bufo melanostictus adalah

memiliki ukuran tubuh sedang, pematang parietal yang terdapat dibagian

atas membran tympanium menyatu. Jari pendek-pendek. Terdapat bintil

hitam yang menutupi seluruh tubuh bagian dorsal.


45

Hasil temuan ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Kadir (2011) dimana ditemukan spesies Polypedates leucomystax.

Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan lingkungan pada tingkat

yang menyebabkan pergantian spesies oleh spesies lain, habitat yang

intensitas gangguan manusia yang cukup tinggi serta penurunan habitat

yang lebih dari setengah ini setidaknya disebabkan oleh berkurangnya

habitat yang terjadi secara drastis.

Pengukuran faktor lingkungan yang dikemukakan oleh Berry (1975)

menyatakan Amphibi mendapatkan suhu pertumbuhan yang optimum

antara 26oC - 33oC. Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan

sebagai data penunjang selama di lapangan diperoleh kisaran suhu udara

25oC - 28oC, hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh Berry

(1975). Sedangkan suhu air pada lokasi penelitian ialah 27oC. Dimana

dikemukakan oleh Kanna (2005) mengatakan bahwa secara umum,

Amphibi dapat hidup disembarang tempat, baik pantai maupun di daratan

tinggi, dengan suhu air antara 20oC – 35oC.

2. Hasil Analisis Pengembangan Bahan Ajar

Bahan ajar yang disusun dalam penelitian ini berupa Modul Ekologi

Hewan yang membahas materi tentang Amphibi dari Ordo Anura.

Modul Ekologi Hewan ini digunakan sebagai salah satu panduan mata

kuliah Ekologi Hewan. Modul ini telah divalidasi oleh 3 validator ahli

yaitu ahli materi dan isi oleh Sri Nopita Primawati, S.Si., M.Pd, validator

ahli tampilan oleh Nofisulastri, SPt., M.Si, dan validator ahli bahasa

modul ekologi hewan oleh L. Habiburrahman, M.Pd, serta uji


46

keterbacaan yang dalam hal ini peneliti menggunakan Mahasiswa

FPMIPA IKIP Mataram pada Program Studi Pendidikan Biologi

semester IV (empat) sebanyak 20 orang untuk menentukan bahan ajar

dalam bentuk Modul Ekologi Hewan apakah layak digunakan atau tidak.

Berdasarkan hasil analisis validasi bahan ajar dan ahli materi

ekologi hewan pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa Modul Ekologi

Hewan yang telah divalidasi oleh 3 validator ahli, ahli materi dan isi oleh

Sri Nopita Primawati, S.Si., M.Pd, layak digunakan tanpa revisi dengan

skor rata-rata 4,3 (dapat dilihat pada lampiran 1), ahli tampilan oleh

Nofisulastri, S.Pt., M.Si, layak digunakan tanpa revisi dengan skor rata-

rata 4,1 (dapat dilihat pada lampiran 2), dan ahli bahasa oleh L.

Habiburrahman, M.Pd, layak digunakan tanpa revisi dengan skor rata-

rata 4 (dapat dilihat pada lampiran 3) serta uji keterbacaan oleh 20

mahasiswa dengan skor rata-rata 4 layak digunakan tanpa revisi (dapat

dilihat pada lampiran 4). Oleh karena itu, bahan ajar berupa Modul

Ekologi Hewan yang peneliti susun ini layak digunakan untuk mahasiswa

khususnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP

Mataram.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Di Taman Wisata Alam Kerandangan Kec. Batu Layar ditemukan satu

spesies dari Famili Bufonidae yaitu Bufo melanostictus, maka di TWA

Kerandangan dalam waktu ± 5 tahun (2011-2016) telah terjadi penurunan

struktur komunitas.

2. Modul Ekologi Hewan yang dihasilkan layak digunakan tanpa revisi,

sehingga modul ekologi hewan yang dikembangkan layak digunakan

sebagai acuan pembelajaran untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan

Biologi.

B. Saran

Dari kesimpulan diatas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai

berikut:

1. Perlu adanya upaya konservasi dari BKSDA-NTB dengan menambahkan

beberapa peraturan yang telah ada pada para pengunjung di Taman

Wisata Alam (TWA) Kerandangan.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi dari

Amphibi khususnya Ordo Anura yang ada di Pulau Lombok.

3. Pada penelitian selanjutnya diharapkan penelitian tidak hanya dilakukan

pada musim kemarau saja akan tetapi di musim penghujan juga sebagai

47
48

perbandingan nilai/kualitas dari struktur komunitas Amphibi di TWA

Kerandangan.
49

DAFTAR PUSTAKA

Berry. 1975. The Amphibians Fauna of Feninsular Malaysia. Kuala Lumpur:


Topical Pr.

Boitani, L and Powell, RA. (2012). Carnivore Ecology and Conservation, A


Handbook of Techniques. Oxford: Oxford University Press.

Clavero, M., Prenda, J., and Delibes, M. 2005. Amphibian and Reptile
Consumption by Otters (Lutra lutra) in a Coastal Area in Souther Iberian
Peninsula. Herpetological Journal, 15: 125-131.

Daly, J.W., Myers, C.W., and Whittaker, N. 1987. Further classification of skin
alkaloids from Neotropical poison frogs (Dendrobatidae), with a general
survey of toxic/noxious substances in the Amphibia. Toxicon, 25: 1023-
1095.

Daly, J.W., Andriamaharavo, N.R., Andriantsiferana, M., and Myers, C.W. 1996.
Madagascan Poison Frogs (Mantella) and Their Skin Alkaloids. American
Museum Novitates, 3177: 1–34.

Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitata: Studi


kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indh Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
(Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Darst, C.L., Menendez-Guerrero, P.A., Coloma, L.A., and Cannatella, D.C. 2005.
Evolution of Dietary Specialization and Chemical Defense in Poison Frogs
(Dendrobatidae): A Comparative Analysis. The American Naturalist,
165(1): 56-69.

Delfino, G., Alvarez, B.B., Brizzi, R., and Cespedez, J.A. 1998. Serous Cutaneous
Glands of Argentine Phyllomedusa Wagler 1830 (Anura Hylidae):
Secretory Polymorphism and Adaptive Plasticity. Tropical Zoology, 11:
333-351.

Endang, T. 2010. Panduan Wisata Alam di Kawasan Konservasi Nusa Tenggara.


BKSDA-NTB.

Gibbons J.W., Scott D.E., Ryan T.J., Buhlmann K.A., Tuberville T.D., Metts
B.S., Greene, J.L., Mills T., Leiden Y. Poppy S. and Winne C.T. 2000. The
Global Decline of Reptiles and Amphibians. Bioscience 50: 653–66.

Goin, J.C ; O.B. Goin & G.R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. San
Francisco : W.H. Freeman and Company.
50

Halliday T & Adler, K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians.


Facts on File Inc. New York.

Halliday, T.R. 2008. Why amphibians are important. International Zoo Year
Book, 42: 1–8.

Heyer WR, Donnelly MA, Mc Diarmid RW, hayer LC and Foster MS. 1994.
Measuring and Monotoring Biological Diversity Standart Methods for
Amphibians. Smithsonian Institution Oress. Washington.

Inger, R.F & Stuebing, R.B. 1997. Frog of Borneo. Natural History Publications
& Science and Technology Unit. Sabah.

Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang
Biologi LIPI. Bogor.

Jumail. 2011. Pencitraan Kawasan Wisata Kuta Lombok Tengah. Tesis. Magister
Kajian Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana.

Kanna I. 2005. Bullfrog Pembenihan dan Pembesaran – Seri Budi Daya. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. Hal 22 & 28.

Kursini, M.D. 2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi Di Alam. Bogor:
Fakultas Kehutahan ITB.

Leary, C.J. 2001. Evidence of Convergent Character Displacement in Release


Vocalizations of Bufo fowleri and Bufo terrestris (Anura; Bufonidae).
Animal Behaviour, 61: 431-438.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Luser. Cetakan


Pertama. The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement: Bogor.

Nakamura, T. 2003. Meristic and Morphometric Variations in Fluvial Japanese


Charr Between River System and Among Tributaries of a River System.
Environmental Biology of Fishes, 66: 133-141.

Nesty, R., Tjong, D.H., dan Herwina, H. 2013. Variasi Morfometrik Kodok
Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799 (Anura Bufonidae) Di
Sumatera Barat yang Dipisahkan oleh Bukit Barisan. Jurnal Biologi
Universitas Andalas, 2(1): 37-42.

Odum. 1996. Basic Ecology. Saunder College Publishing. Philadelpia.


Odum, E.P. 1997. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd.
Philadelphia.

Owen, P.C., and Gordon, N.M. 2005. The Effect of Perceived Intruder Proximity
and Resident Body Size on the Aggressive Responses of Male Green Frogs,
Rana clamitans (anura: ranidae). Behave. Ecol. Sociobiol., 446-455.
51

Prastowo, Andi. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.


Yogyakarta : DIVA Press.

Prohl, H., and Hodl, W. 1999. Parental Investment, Potential Reproductive Rates,
and Mating System in the Strawberry Dart-poison Frog, Dendrobates
pumili. Behav. Ecol. Sociobiol, 46: 215-220.

Roevicka, B.S. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organic Cair dari Sampah
Dapur Terhadap Pertumbuhan Bibit Kacang Tanah (Arachis hypogaeL.)
Dalam Upaya Pembuatan Brosur Bagi Masyarakat. IKIP Mataram

Schowalter, T.D. 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press,


New York.

Simon & Schuster’s. 1989. Guide to Reptiles and Amphibian of the World.
Published by Simon & Schuter’s Inc: New York.

Slavenko, A., and Meiri, S. 2015. Mean Body Species are Poorly Predicted by
climate. Journal of Biogeography, Pp: 1-10.

Summers, K. 1990. Paternal Care and the Cost of Polygyny in the Green Dart-
poison Frog. Behavioral Ecology and Sociobiology, 27: 307-313.
Suryobroto. 1983. Modul Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Susan, A. 2013. Strategi Pengembangan Wisata Pantai Labuhan Haji di


Kabupaten Lombok Timur. Skripsi Strata-1 Pariwisata. Univ. Gadjah Mada.

Tjong, D. H., M. Matseu, M. Kuramoto, D. M. Belabut, Y. H. Sen, M. Nishioka


and M. Sumida. 2007. Morphological divergence, reproductive isolating
mechanism and moleculer phylogenetic relationship among Indonesia,
Malaysia, and Japan Populations of the Fejervaria limnocharis Complex
(Anura, Ranidae). Zoological Science, 24: 1197-1212.

Wheeler, T. and Lyon, J. (1992). Bali and Lombok – A Travel Survival Kit. Hong
Kong: Lonely Planet Publications Colorcraft Ltd.
52

L
A
M
P
I
R
A
N
53

Lampiran 1. Lembar Validasi Ahli Materi dan Isi Modul Ekologi Hewan
54
55

Lampiran 2. Lembar Validasi Ahli Tampilan Modul Ekologi Hewan


56
57

Lampiran 3. Lembar Validasi Ahli Bahasa Modul Ekologi Hewan


58
59

Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


60
61

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


62
63

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


64
65

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


66
67

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


68
69

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


70
71

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


72
73

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


74
75

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


76
77

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


78
79

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


80
81

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


82
83

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


84
85

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


86
87

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


88
89

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


90
91

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


92
93

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


94
95

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


96
97

Lanjutan Lampiran 4. Lembar Uji Keterbacaan Mahasiswa


98
99

Lampiran 5. Foto Dokumentasi Saat Penelitian

Gambar 1. Mengukur Kelembaban Gambar 2. Mengukur Suhu Air

Gambar 3. Mengambil
ngambil Spesimen yang tertangkap Gambar 4. Me
Memasukkan Spesimen kedalam
didalam jaring kantong plastik
100

Lanjutan Lampiran 5. Foto Dokumentasi Saat Penelitian

Gambar 5. Mengukur Spesimen dengan Gambar 6. Mengidentifikasi


Jangka Sorong

Gambar 7. Menimbang Berat Spesimen dengan Gambar 8. Menangkap Spesimen dengan


Neraca Pegas Jaring
101

Lampiran 6. Lembar Observasi Amphibi di Lapangan

Lokasi Penelitian: Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan

Data Faktor Lingkungan

Suhu udara (oC) Suhu air (oC) Kelembaban (%)


270C 27 0C 60%
Panjang sungai (m) Lebar sungai (m) Lebar kiri-kanan sungai
700 m 12 m 2m

Data Amphibi

Data Dasar
No. Nama Spesies Berat
Substrat Aktivitas SVL
Badan
1. Bufo melanostictus Tanah Diam 3,46 cm 0,4 gram
2. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,06 cm 0,9 gram
3. Bufo melanostictus Tanah Diam 6.16 cm 2,4 gram
4. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,56 cm 2 gram
5. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,24 cm 2,5 gram
6. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,96 cm 2,2 gram
7. Bufo melanostictus Tanah Diam 7,4 cm 4,1 gram
8. Bufo melanostictus Tanah Diam 9,22 cm 102 gram
9. Bufo melanostictus Batu Berbunyi 6,36 cm 4 gram
10. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,42 cm 2,5 gram
11. Bufo melanostictus Tanah Diam 4,14 cm 0,6 gram
12. Bufo melanostictus Tanah Diam 7,44 cm 4,6 gram
13. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,36 cm 4 gram
14. Bufo melanostictus Tanah Diam 5,44 cm 2,3 gram
15. Bufo melanostictus Tanah Diam 6,36 cm 2,7 gram
102

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian


103

Lampiran 8. Surat Penunjukkan Dosen Pembimbing


104

Lampiran 9. Kartu Konsultasi


105

Lampiran 10. Kartu Seminar


106

Lampiran 11. Daftar Hadir Peserta Seminar


107

Lampiran 12. Berita Acara


108

Lampiran 13. Surat Penunjukkan Dosen Penguji Skripsi


109

Lampiran 14. Peta Kawasan Taman Wisata Alam Kerandangan


Lampiran 15. Modul Ekologi Hewan
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‘alamin.......

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
karunia dan nikmat kepada penulis, baik itu nikmat sehat maupun sempat
sehingga penulis dapat menyelesiakan penyusunan modul ini tepat pada
waktunya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi terakhir
dan penamat, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia
dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang (Addinul Islam) yaitu
agama Islam.
Mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, modul Ekologi Hewan ini
tentunya tidak luput dari kekeliruan dan kekurangan. Oleh karena itu guna
kesempurnaan modul ini, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan demi perbaikan dalam penulisan selanjutnya.

Mataram, Juni 2016

Penulis
PANDUAN DOSEN

A. IDENTITAS MATA KULIAH


Nama Mata Kuliah : Ekologi Hewan
Program Studi : Pendidikan Biologi
Jumlah SKS : 3 (2-1)
Semester : III (Tiga)

B. PETUNJUK UMUM MODUL BAGI DOSEN


Berikut ini petunjuk umum penggunaan bahan ajar modul.
1. Materi modul disajikan dalam 1 BAB, yaitu Ekologi Hewan Setiap bab
terdiri dari sub pokok bahasan.
2. Bapak/Ibu dosen harus menyarankan mahasiwa untuk terlebih dahulu
membaca tujuan pembelajaran yang terdapat pada awal bab, kemudian
dosen dan mahasiswa merumuskan tujuan pembelajaran bersama-sama.
3. Bapak/Ibu dosen sebaiknya memberikan motivasi kepada para mahasiswa
untuk belajar mandiri dan mengerjakan latihan sendiri tanpa bantuan orang
lain. Apabila terdapat kesulitan dalam memahami latihan dan isi modul
dapat didiskusikan di kelas
4. Bapak/Ibu dosen dapat melakukan penilaian diri (self evaluation) dengan
tujuan untuk menilai pemahaman mahasiswa atas materi yang telah
dipelajarinya dan mendiagnosis kesulitan belajar mahasiswa.
5. Bapak/Ibu dosen diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
berkonsultasi terkait materi yang belum dipahami di dalam modul ini.
6. Bapak/Ibu dosen sebaiknya menganjurkan mahasiswa untuk lebih aktif
dalam belajar dan menambah pengetahunnya melalui banyak membaca
buku atau referensi lainnya yang mendukung proses pembelajaran.
C. EVALUASI
1. Penilaian dosen selama mahasiswa mengikuti perkuliahan
a. Kehadiran mahasiswa selama perkuliahan
b. Aktivitas mahasiswa selama di dalam kelas
c. Kemandirian dan kinerja mahasiswa dalam mengerjakan latihan-
latihan yang terdapat di dalam modul.
2. Penilaian Hasil
a. Nilai tes
b. Nilai tugas
PANDUAN MAHASISWA

Prasyarat Belajar

Materi dalam modul ekologi hewan ini cukup memberikan cakupan


pembelajaran yang kompleks bagi setiap mahasiswa. Materi modul ini disusun
berdasarkan hasil penelitian. Modul ini dimaksudkan sebagai bahan rujukan dan
panduan bagi mahasiswa biologi. Selain itu, modul ini ditujukan dengan
mempelajari dan memahami prinsip-prinsip biologi pada ruang lingkup mata
kuliah ekologi hewan. Penyusunan modul ini didasarkan pada fakta, masih banyak
mahasiswa biologi yang mengalami kesulitan dalam memahami prinsip-prinsip
biologi pada ruang lingkup tersebut. Modul ini penting dalam rangka menambah
petunjuk bahan ajar bagi mahasiswa biologi. Materi ekologi hewan yang
dipelajari dalam modul ini terdiri dari 1 pokok bahasan
Modul ini dikelompokkan menjadi 1 kegiatan belajar. Masing-masing
kegiatan berusaha untuk memberikan pemahaman pada mahasiswa, baik secara
konseptual maupun praktek. Di dalam Modul ini terdapat beberapa kegiatan
mahasiswa yang harus dikerjakan melalui praktikum baik secara mandiri atau
kolektif (kelompok). Tujuan modul ini untuk memfasilitasi pemahaman
mahasiswa terhadap konsep dasar biologi pada materi ekologi hewan sesuai
dengan pokok bahasan yang dipelajari. Adapun isi bahasan pada masing-masing
kegiatan belajar dapat berupa :
a. Kegiatan 1. Tentang Ekologi Hewan yang memberikan pemahaman pada
mahasiswa tentang pengertian dan keberhasilan hewan dalam komunitas
hewan.
b. Kegiatan 2. Tentang faktor pembatas dan toleransi hewan
c. Kegiatan 3. Tentang jenis Ordo Anura.
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
prinsip-prinsip pokok bahasan di atas baik secara konseptual maupun praktek.
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... I

KATA PENGANTAR ................................................................................. II

PANDUAN DOSEN .................................................................................... III

PANDUAN MAHASISWA ........................................................................ V

DAFTAR ISI ................................................................................................ VI

KEGIATAN PEMBELAJARAN............................................................... 1

A. Standar Kompetensi .......................................................................... 1


B. Kompetensi Dasar ............................................................................. 1
C. Indikator ............................................................................................ 1
D. Capaian .............................................................................................. 1
E. Uraian Materi .................................................................................... 1
1. Pengertian Ekologi ...................................................................... 1
2. Pengertian Ekologi Hewan.......................................................... 2
3. Ruang Lingkup Ekologi .............................................................. 2
4. Jenis Ordo pada Kawasan Penelitian .......................................... 11
5. Keanekaragaman Amfibi di TWA Kerandangan ........................ 14
RANGKUMAN ........................................................................................... 15

TES FORMATIF ........................................................................................ 16

GLOSARIUM.............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA
KEGIATAN PEMBELAJARAN

A. STANDAR KOMPETENSI
Mahasiswa Memiliki Pengetahuan Tentang Ekologi Hewan
B. KOMPETENSI DASAR
Mahasiswa diharapkan mampu untuk memahami Struktur komunitas Ordo
Anura.
C. INDIKATOR
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian ekologi hewan
2. Mahasiswa mampu memahami pengertian komunitas
3. Mahasiswa mampu memahami serta menghubungkan antara faktor
pembatas dan toleransi pada hewan
4. Mahasiswa mampu memahami serta mengetahui jenis-jenis Ordo Anura.
D. CAPAIAN
1. Mahasiswa dapat mengerti dan memahami ekologi hewan
2. Mahasiswa dapat mengerti dan memahami komunitas
3. Mahasiswa dapat mengetahui faktor pembatas dan toleransi hewan
4. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis Ordo Anura.
E. URAIAN MATERI
1. Pengertian Ekologi
Istilah ekologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu oikos
yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Istilah ini mula-mula
diperkenalkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1869.
Beberapa pengertian lain juga dikemukakan oleh para peneliti
lainnya setelah Ernst Haeckel pada tahun 1869 diantaranya, Odum (1971)
menuliskan bahwa ekologi sebagai suatu kajian makhluk ditempat
hidupnya (Fajri, 2012).
Fajri (2012), menjelaskan ekologi adalah cabang ilmu yang
membahas tentang interaksi antara memberi dan menerima, antara
stimulus serta tanggapan dan antara stimulasi dan umpan balik antara
hewan/tumbuhan dan lingkungan (biotik dan abiotik).
2. Pengertian Ekologi Hewan
Ekologi hewan adalah lebih spesifik dari ekologi pada umumnya.
Ekologi hewan yaitu suatu cabang ilmu yang membahas
interaksi/hubungan antara hewan dan lingkungan (biotik dan abiotik).
Pembagian ekologi menurut keilmuannya terdiri dari Synekologi
dan Autekologi. Synekologi merupakan kajian ilmu yang membahas
makhluk hidup dan lingkungannya. Makhluk hidupnya yaitu tumbuhan
dan hewan. Sedangkan Autekologi merupakan suatu kajian yang
membahas tentang suatu makhluk hidup dengan lingkungannya, makhluk
hidup di sini adalah spesies/individu makhluk hidup (Fajri, 2012).
3. Ruang Lingkup Ekologi
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem
dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik.
Faktor abiotik antara lain : suhu, air kelembapan, cahaya, topografi,
sedangkan faktor biotik adalah mahkluk hidup yang terdiri dari : manusia,
hewan, tumbuhan, dan mikroba.
Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan
organisasi makhluk hidup, yaitu; populasi, komunitas dan ekosistem yang
saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan. Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk
hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang
meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem dan biosfer. Tingkatan-
tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling
berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistem yang
menunjukkan kesatuan (Fajri, 2012).
a. Komunitas
Komunitas ialah beberapa kelompok makhluk yang hidup
bersama-sama dalam suatu tempat yang bersamaan, misalnya populasi
semut, populasi kutu daun, dan pohon tempat mereka hidup
membentuk suatu masyarakat atau suatu komunitas. Dengan
memperhatikan keanekaragaman dalam komunitas dapatlah diperoleh
gambaran tentang kedewasaan organisasi komunitas tersebut.
Komunitas dengan populasi ibarat makhluk dengan sistem organnya,
tetapi dengan tingkat organisasi yang lebih tinggi sehingga memiliki
sifat yang khusus atau kelebihan yang tidak dimiliki oleh baik sistem
organ maupun organisasi hidup lainnya (Resosoedarmo, 1990).
Komunitas dalam arti Ekologi mengacu kepada kumpulan
populasi yang terdiri dari spesies yang berlainan, yang menempati
suatu daerah tertentu. Sedangkan pengertian komunitas secara umum
sendiri adalah kumpulan populasi makhluk hidup yang saling
berinteraksi dan tinggal di suatu habitat. Setiap komunitas tidak harus
menempati daerah yang luas, artinya komunitas dapat mempunyai
ukuran berapa pun. Misalnya dalam suatu aquarium yang terdiri dari
ikan, siput, hydrilla sebagai komponen biotik, serta air, bebatuan
sebagai komponen abiotik dapat disebut sebagai suatu komunitas.
Komunitas tumbuhan di daerah trofik biasanya bersifat rumit dan
tidak mudah diberi nama menurut satu atau dua spesies yang paling
berkuasa sebagaimana yang umum di daerah yang beriklim sedang
(Umar, 2004).
Aby (2012), menjelaskan komunitas sebagai kumpulan dari
berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu
yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas
memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan
dengan individu dan populasi. Dalam komunitas, semua organismee
merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling
berhubungan melalui keragaman interaksinya.
Menurut Odum (1971), mendeskripsikan tentang komunitas
biotik sebagai kumpulan populasi apa saja yang hidup dalam daerah
atau habitat fisik yang telah ditentukan, hal tersebut merupakan satuan
yang di organisir sedemikian bahwa dia mempunyai sifat-sifat
tambahan terhadap komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai unit
melalui transformasi metabolik yang bergandengan. Komunitas utama
adalah mereka yang cukup besar hingga mereka relatif tidak
tergantung dari masukkan dan hasil dari komunitas didekatnya
sedangkan komunitas-komunitas minor adalah mereka yang kurang
bergantung pada kumpulan-kumpulan tetangganya.
a) Struktur komunitas
Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme di
dalam, dan interaksinya dengan lingkungannya dapat disebut pola.
Struktur komunitas dibedakan menjadi : struktur fisik (struktur
fisik suatu komunitas tampak apabila komunitas tersebut diamati);
dan biologi (komposisi spesies, kelimpahan individu dalam spesies,
perubahan temporal dalam komunitas, hubungan antara spesies
dalam suatu komunitas) (Umar, 2004).
1. Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan
vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan
perkembangbiakan organisme.
2. Kuantitatif, seperti frekuensi, densitas dan densitas relatif.
Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah
kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Densitas
(kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit
contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan
penangkapan.
3. Sintesis adalah proses perubahan dalam komunitas yang
berlangsung menuju ke satu arah yang berlangsung lambat
secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-
suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik
dalam komunitasnya dan memerlukan waktu. Proses ini berakhir
dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks.
Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis.
Menurut konsep mutahir suksesi merupakan pergantian jenis-
jenis pioner oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat
sesuai dengan lingkungannya.
b) Macam-macam komunitas
Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang
secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian yaitu (Aby,
2012):
1) Komunitas akuatik, komunitas ini misalnya yang terdapat di
laut, di danau, di sungai, di parit atau di kolam.
2) Komunitas terrestrial, yaitu kelompok organisme yang terdapat
di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dll.
Bagi tumbuhan akuatik, intensitas cahaya sangat
menentukan penggunaan energi untuk fotosintesis. Tumbuhan
kekurangan energi jika intensitas cahaya berkurang. Semakin cerah
suatu perairan semakin jauh cahaya matahari yang dapat tembus
kedalam perairan dan dengan begitu akan banyak ditemukan
tumbuhan laut seperti lamun yang memerlukan cahaya matahari
untuk melakukan fotosintesis (Aby, 2012).
Pada umumnya perairan organik lebih cerah daripada
perairan pantai yang banyak bahan-bahan berbentuk partikel dan
bahan terlarut yang terdapat didalamnya. Berdasarkan bentuknya,
waduk dapat diklasifikasikan atas waduk tipe danau (lake type),
tipe sungai (river type), tipe bercabang banyak (multiple branch
type). Waduk Faperika dapat digolongkan ke dalam tipe danau,
karena terjadinya waduk ini akibat pembendungan suatu dataran
rendah dan bentuknya yang melebar (Aby, 2012).
Sumber air ini adalah air yang mengalir dan meresap dari
catchman area yang ada disekitarnya karena tidak ada aliran sungai
yang masuk ke waduk ini (Nurdin et al, 1996). Komunitas adalah
kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu atau habitat fisik
tertentu dengan satuan yang terorganisir. Selanjutnya, dikatakan
bahwa komunitas merupakan suatu system dari kumpulan populasi
yang hidup pada areal tertentu dan terorganisasi secara luas dengan
karakteristik tertentu, serta berfungsi sebagai kesatuan transformasi
metabolis (Odum,1971).
Beberapa karakteristik struktur komunitas yang biasanya
dijadikan petunjuk adanya derajad ketidakstabilan ekologis
meliputi: keseragaman,dominansi, keragaman, dan kelimpahan.
Suhu air merupakan faktor yang cukup penting bagi lingkungan
perairan, kecerahan dan kekeruhan. Setiap spesies atau kelompok
mempunyai batas toleransi maksimum dan minimum untuk
hidupnya (Odum, 1971).
Kenaikan suhu akan menyebabkan naiknya kebutuhan
oksigen untuk reaksi metabolisme dalam tubuh organisme.
Kecerahan adalah suatu parameter perairan yang merupakan suatu
kedalaman dari perairan atau lapisan perairan yang dapat ditembus
oleh sinar matahari. Kecerahan merupakan salah satu parameter
dari produktivitas perairan karena kecerahan perairan merupakan
hubungan langsung dengan zona fotik (Aby, 2012).
Suhu berpengaruh secara langsung dan tidak langsung
terhadap organisme perairan. Secara langsung suhu berpengaruh
pada fisiologi fotosintesis, sedangkan secara tak langsung suhu
menentukan terjadinya stratifikasi atau pencampuran struktur
perairan yang menjadi habitat organisme perairan (Aby, 2012).
Komunitas dapat dicatat dengan kategori utama dari
bentuk-bentuk pertumbuhan-pertumbuhan (pohon, semak, belikar,
lumut dan alga) yang menyusun struktur komunitas hewan dan
tumbuhan secara fisik (Odum, 1971).
b. Ekologi Fisiologi Hewan
a) Hukum minimum Leibig dan Hukum Toleransi
Satu prinsip yang sangat mendasar untuk mengawali
kajian ini adalah : “Hukum Minimum Liebig” dimana
pertumbuhan populasi akan di batasi oleh faktor-faktor kebutuhan
yang tersedia sangat terbatas. Secara lebih luas Hukum
Minimum Liebig dapat dinyatakan secara ekologi adalah :
“Fungsi suatu makhluk hidup dikendalikan atau dibatasi oleh
faktor lingkungan yang esensial atau gabungan faktor yang ada di
dalam jumlah yang paling tidak layak kecilnya (Fajri, 2012).
b) Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi Hewan
Menurut Odum (1971) faktor fisi yang menjadi faktor
pembatas dan kisaran toleransi:
1. Suhu
Suhu secara Universal adalah penting dan sering
merupakan faktor pembatas. Irama suhu, bersama-sama dengan
irama cahaya, irama lengas udara, serta irama pasang surut.
Hewan yang secara normal terkena suhu yang berbeda di alam
(misal hewan yang beriklim sedang) akan cenderung mengalami
depresi atau mengalami hambatan. Oleh karena itu, makhluk
hidup bersifat peka terhadap perubahan suhu dan karena suhu
mudah diukur maka suhu dilebih-lebihkan sebagai faktor
pembatas (Fajri, 2012).
2. Cahaya
Secara ekologi kualitas cahaya, intensitas cahaya dan
lama penyinaran adalah hal yang penting baik hewan maupun
tumbuhan. Penglihatan warna pada hewan secara sporadik.
Tanpa penglihatan warna berkembang dengan baik pada spesies
tertentu. Penglihatan berkembang baik hanya pada primata.
3. Air
Secara fisiologi air diperlukan oleh semua protoplasma.
Dari segi pandangan ekologi maka air merupakan faktor
pembatas dalam lingkungan daratan. Sedangkan di lingkungan
air jika salinitas tinggi dapat menyebabkan kehilangan air dari
tubuhnya dengan cara osmosis. Air tanah merupakan salah satu
sumber daya yang penting bagi kehidupan makhluk hidup. Di
daerah tropika dan di daerah subtropika pada umumnya curah
hujan cenderung terbagi tidak merata dalam setahun. Sering kali
tampak adanya musim kering dan musim penghujan yang batas-
batasnya jelas.
4. Gas Atmosfer
Gas oksigen adalah faktor pembatas yang terutama di
danau dan di perairan yang terbebani oleh bahan organik yang
banyak. Meskipun gas oksigen lebih mudah larut dalam air dari
pada gas nitrogen, maka kuantitas gas oksigen yang dapat
dikandung di dalam air pada kondisi yang paling layak. Suhu air
dan garam terlarut sangat mempengaruhi kemampuan air untuk
menahan oksigen. Kadar oksigen akan bertambah oleh suhu
yang rendah dan akan turun atau berkurang oleh slinitas yang
tinggi. Penyediaan kadar oksigen di dalam perairan berasal dari
dua sumber yaitu difusi dari udara dan fotosintesis oleh
tumbuhan.
5. Arus dan Tekanan
Arus di perairan tidak hanya mempengaruhi konsentrasi
gas dan zat hara tetapi juga bertindak secara langsung sebagai
faktor pembatas pada arah spesies dan sering sekali sebaga
subsidi energi yang menambah produktivitas pada spesies di
dalam sebuah sungai misalnya.
6. Tanah
Odum (1971) menyebutkan tanah terdiri dari anasir
biotik dan anasir abiotik. Tanah terdiri atas lapisan kerak bumi
yang mengalami pelapukan, kemudian tercampur dengan
makhluk hidup serta hasil pembusukkan yang berasal dari
makhluk hidup tersebut. Pada umunya tanah sebagai hasil
perubahan iklim dan makhluk hidup, terutama vegetasi dan
menjadi beban dari permukaan bumi.
Klasifikasi tanah merupakan subyek yang sangat perlu
diperhatikan dalam kajian ekologi. Keadaan tanah, tekstur tanah
menjadi salah satu pusat perhatian beberapa peneliti khususnya
peneliti ekologi, krena dengan memperhatikan keadaan tanah
kita dapat mengkaji berbagai aspek dalam sebuah penelitian
ekologi (Fajri, 2012).
c. Ordo Anura
Ordo Anura merupakan salah satu Ordo dari Kelas Amfibi.
Ordo ini hidup didaerah akuatik dan teresterial. Memiliki ekor saat
masih dalam fase juvenil (berudu), badan dan kepala bersatu,
extremitas depan lebih pendek dari extremitas belakang, memiliki
tuberkulum subtikuler dan selaput renang.
Ordo Anura dikelompokkan menjadi 3 subordo, yakni
archaeobatrachia (4 famili, 6 genus, 27 spesies), mesobatrachia (6
famili, 21 genus, 168 spesies), dan neobatrachia yang mencakup 21
famili dan lebih dari 5000 spesies (Frost, 2004). Di Indonesia,
terdapat sekitar 450 spesies yang tergolong ke dalam lima family
yaitu Ranidae, Bufonidae, Microhylidae, Rachoporidae dan
Dicroglossidae (Iskandar, 1998: 1). Spesies-spesies tersebut tersebar
dari pulau ujung Barat Indonesia sampai dengan pulau ujung Timur
Indonesia. Kekhasan spesies Anura di Indonesia tergantung letaknya
menurut garis Weber dan garis Wallace.
Ordo Anura, dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan
sebutan katak atau kodok, mudah dikenal oleh masyarakat umum
dari bentuk tubuhnya. Hewan vertebrata ini tidak memiliki ekor,
tubuh pendek, tungkai belakang lebih panjang dibandingkan dengan
tungkai depan, mata menonjol dan tipe mulut sangat bervariasi
(Inger and Stuebing, 2005: 1). Secara anatomi, Anura memiliki
kelenjar penghasil mucus (cairan) yang terletak pada bagian kulit
(Delfino et al., 1998). Cairan tersebut berfungsi sebagai salah satu
bentuk pertahanan diri (Daly et al., 1987).
Handrigan and Wassersug (2006) menambahkan bahwa
Anura (katak, kodok dan larvanya) mempunyai morfologi yang
cukup mudah dapat dibedakan dengan vertebrata lainnya. Kelompok
ini “kehilangan” ekor selama proses perkembangan dalam siklus
hidupnya. Hal tersebut merupakan bentuk dari adaptif, ontogenik
dan perubahan secara genetik yakni (1) tidak adanya sejumlah tulang
ekor, (2) munculnya skeleton aksial dan (3) terjadinya pemanjangan
pada alat gerak. Faktor ini berkaitan erat dengan kehidupan dari
Anura dengan habitat akuatik dan terrestrial.
a) Morfologi Anura
Ordo Anura (jenis katak-katakan) secara morfologi mudah
dikenal karena tubuhnya seperti berjongkok dimana ada empat
kaki untuk melompat, bentuk tubuh pendek, leher yang tidak
jelas, tanpa ekor, mata lebar dan memiliki mulut yang lebar (Inger
& Stuebing, 1997). Tungkai belakang selalu lebih panjang
dibanding tungkai depan. Tungkai depan memiliki 4 jari
sedangkan tunkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya bervariasi
dari halus hingga kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang
ditemukan seperti pada famili Bufonidae. Ukuran katak di
Indonesia bervariasi mulai dari yang terkecil yakni 10 mm hingga
yang terbesar mencapai 280 mm (Iskandar, 1998).
Tekstrur kulit secara umum dibedakan menjadi dua
macam yaitu kulit kasar, berbintil, cenderung terlihat kering; dan
kulit licin, tidak berbintil, cenderung terlihat basah. Tungkai
depan seluruhnya tidak memiliki selaput, sedangkan tungkai
belakang biasanya berselaput renang. Spesies-spesies yang
aktivitasnya lebih banyak dilakukan di lingkungan akuatik
umumnya memiliki selaput yang penuh, sedangkan spesies-
spesies yang lebih banyak beraktivitas di terrestrial, memiliki
selaput renang yang tidak penuh. Fenomena ini berkaitan erat
dengan fungsi dari selaput renang tersebut, yakni memudahkan
bergerak di air.
b) Reproduksi Anura
Reproduksi Anura dilakukan dengan cara bertelur
(ovipar). Fertilisasi dilakukan secara eksternal, umumnya di
badan air yang tenang. Prosesnya diawali dengan calling oleh
individu jantan untuk memanggil betina yang sudah siap
memijah. Durasi dan frekuensi calling tergantung pada ukurannya
(Owen and Gordon, 2005). Vokalisasi Anura jantan bersifat
interspesifik. Suara jantan spesies tertentu secara spesifik dikenali
oleh betina dari spesies yang sama (Leary, 2001). Betina yang
datang akan langsung dinaiki oleh jantan, ini disebut amplexus.
Jantan yang berada di punggung akan merangsang betina untuk
mengeluarkan telurnya dengan mengelus-elus pinggang betina.
Sel telur yang keluar dan mengapung di badan air dibuahi oleh
sperma yang dikeluarkan oleh jantan begitu telur dikeluarkan.
c) Habitat Anura
Masing-masing spesies Anura menyukai substrat yang
berbeda-beda. Spesies-spesies katak pohon lebih suka di atas
pohon seperti di daun pisang dan tumbuhan-tumbuhan berdaun
lebar lainnya. Umumnya spesies Anura menyukai substrat tanah,
batu, air dangkal, rawa dan ada juga di kayu atau daun lapuk
untuk menyamarkan keberadaannya melalui mekanisme mimikri.
Walaupun demikian habitat yang paling disukai adalah daerah
berhutan karena membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada
juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama sekali
(Mistar, 2003).
4. Jenis Ordo Anura pada Kawasan Penelitian
Secara Geografis TWA Kerandangan terletak pada 8° 20' 13"
Lintang Utara - 8° 20' 15" Lintang Selatan, dan 116° 04' 00" Bujur Timur
– 116° 04' 03". Menurut administratif pemerintahan terletak di Desa
senggigi kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Wewenang pengelolaan berada di bawah Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat. Batas-batas TWA
Kerandangan: Sebelah Barat Selat Lombok (dusun Kerandangan, Mangsit
dan Kluwi). Sebelah Timur Hutan Lindung Rinjani. Sebelah Utara Hutan
Lindung Rinjani. Sebelah Selatan Hutan Lindung Rinjani.
TWA Kerandangan terletak pada ketinggian antara 10 m - 600
meter dpl. Topografi secara umum merupakan dataran bergelombang 10 -
30 % dan berbukit 30 – 50 % dengan kemiringan tanah sangat curam
hingga mencapai ± 64,13 % luas kawasan dan hanya sebagian kecil
bertografi datar 0 – 5 % serta berombak 5 – 10 % khususnya yang terletak
di kiri kanan sungai. Jika masuk ke TWA Kerandangan lewat Dusun
Kerandangan mengikuti arah alur sungai ke arah timur maka seolah kita
masuk ke dalam perangkap raksasa dimana di bagian kanan (selatan) dan
kiri (utara) serta di depan (timur) merupakan lereng-lereng bukit yang
curam, terjal dan berbatu. (BKSDA, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian di Kawasan Taman Wisata Alam
Kerandangan ditemukan satu (1) spesies amfibi yang tergolong ke dalam
satu (1) famili, yaitu famili Bufonidae. Satu spesies yang dimaksud adalah
Bufo melanostictus dengan jumlah individu sebanyak lima belas (15)
individu. Bufo melanostictus sebagian besar ditemukan di wilayah
terrestrial walaupun terdapat 1 individu yang berada di bebatuan sungai
dengan aktivitas berbunyi.
Adapun tabel penemuan spesies dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Spesies yang ditemukan selama pengamatan

Data Dasar
No. Nama Spesies
Substrat Aktivitas SVL Berat Badan
1. Bufo Tanah Diam 3,46 cm 0,4 gram
melanostictus
2. Bufo Tanah Diam 5,06 cm 0,9 gram
melanostictus
3. Bufo Tanah Diam 6.16 cm 2,4 gram
melanostictus
4. Bufo Tanah Diam 5,56 cm 2 gram
melanostictus
5. Bufo Tanah Diam 6,24 cm 2,5 gram
melanostictus
6. Bufo Tanah Diam 5,96 cm 2,2 gram
melanostictus
7. Bufo Tanah Diam 7,4 cm 4,1 gram
melanostictus
8. Bufo Tanah Diam 9,22 cm 102 gram
melanostictus
9. Bufo Batu Berbunyi 6,36 cm 4 gram
melanostictus
10. Bufo Tanah Diam 6,42 cm 2,5 gram
melanostictus
11. Bufo Tanah Diam 4,14 cm 0,6 gram
melanostictus
12. Bufo Tanah Diam 7,44 cm 4,6 gram
melanostictus
13. Bufo Tanah Diam 6,36 cm 4 gram
melanostictus
14. Bufo Tanah Diam 5,44 cm 2,3 gram
melanostictus
15. Bufo Tanah Diam 6,36 cm 2,7 gram
melanostictus
Adapun karakteristik dari genus Bufo dan deskripsi spesies
diuraikan sebagai berikut.

Genus bufo

Genus ini beranggotakan lebih dari 200 spesies kodok yang


tersebar diseluruh belahan dunia kecuali di daerah Australo
Australo-papuan dan
Maluku dimana spesies yang ada merupakan hasil introduksi dari
daerah lain. Tubuh selalu gempal (pendek gemuk), dan tekstur kul
kulit
sangat kasar, ditutupi oleh bintil yang besar dan kecil. Ukuran
bervariasi mulai dari yang relative kecil (40 mm) sampai dengan yang
sangat besar (300 mm). Tungkai belakang tidak teradaptasi untuk
melompat. Sehingga kodok ini bergerak dengan cara berjal
berjalan atau
melompat pendek. Walaupun beberapa spesies bersifat semi akuatik,
kebanyakan spesies pada umumnya lebih banyak melakukan aktivitas
di darat (terrestrial) atau pada liang tertentu. Telur-telur
Telur telur selalu tersusun
pada benang, ada yang sendiri atau berkelompok.
berke
Adapun klasifikasi dan karakteristik Bufo melanostictus
Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Amphibia

Ordo : Anura

Familia : Bufonidae

Genus : Bufo
Gambar Bufo melanostictus
Species : Bufo melanostictus

Karakteristik khusus dari Bufo melanostictus adalah memiliki


ukuran tubuh sedang, pematang parietal yang terdapat dibagian atas
membrane tympanum menyatu. Jari pendek-pendek.
pendek pendek. Terdapat bintil
hitam yang menutupi seluruh tubuh bagian dorsal. Sedangkan
eristik khusus dari Bufo biporcatus adalah memiliki ukuran tubuh
karakteristik
sedang, terdapat sepasang pematang parietal di atas mata dan membran
tympanum. Jari pendek-pendek. Pematang parietal tersusun seperti
bulan sabit.
5. Keanekaragaman Amfibi (Ordo Anura) di Kawasan TWA
Kerandangan
a. Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Berdasarkan analisis data, didapatkan bahwa indeks

keanekaragaman spesies Amfibi (H’) di TWA Kerandangan sebesar

0,186. Indeks keanekaragaman ini tergolong rendah.

b. Indeks Dominansi Simpson

Berdasarkan hasil analisis data didapatkan bahwa harga indeks

dominansi Simpson (C) pada penelitian ini sebesar 0,0044. Oleh

karena harga indeks dominansinya kurang dari 0,5 (C > 0,5) maka ini

berarti bahwa tidak ada satupun spesies Amfibi di TWA Kerandangan

yang dominan terhadap spesies yang lain. Hasil ini menunjukkan

bahwa perubahan lingkungan yang terjadi mempengaruhi Amfibi

secara keseluruhan, namun proporsi jumlahnya relatif tetap sama.

c. Kelimpahan Relatif

Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa kelimpahan

relatif Bufo melanostictus sangat rendah yaitu sebesar 6,7%. Hal ini

karena Bufo melanostictus hidup pada habitat yang intensitas

gangguan manusianya tinggi, maka habitat di TWA Kerandangan

terindikasi terganggu.
d. Kepadatan (Densitas)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa densitas Bufo

melanostictus sebesar 1 individu /100 m. Penurunan densitas yang

mencapai lebih dari setengah ini setidaknya disebabkan oleh

berkurangnya luasan habitat yang dapat dihuni oleh Bufo

melanostictus.

e. Indeks kemerataan/kesamaan

Berdasarkan hasil hasil analisis data, didapatkan inedeks

kemarataan/kesamaan spesies Amfibi sebesar 0,0686 menandakan

bahwa keseragaman merata atau tidak ada sebaran spesies tertentu

yang dominan.

F. RANGKUMAN
Komunitas ialah beberapa kelompok makhluk yang hidup bersama-sama
dalam suatu tempat yang bersamaan, misalnya populasi semut, populasi kutu
daun, dan pohon tempat mereka hidup membentuk suatu masyarakat atau
suatu komunitas.
Macam-macam komunitas
1. Komunitas akuatik
2. Komunitas terrestrial
Ordo Anura merupakan salah satu Ordo dari Kelas Amfibi. Ordo ini
hidup didaerah akuatik dan teresterial. Memiliki ekor saat masih dalam fase
juvenil (berudu), badan dan kepala bersatu, extremitas depan lebih pendek
dari extremitas belakang, memiliki tuberkulum subtikuler dan selaput renang.
Ordo Anura dikelompokkan menjadi 3 sub ordo yaitu:
1. Archaeobatrachia
2. Mesobatrachia
3. Neobatrachia
G. TES FORMATIF
Soal
1. Tuliskan pengertian dari komunitas! (15)
2. Tulis dan jelaskan macam-macam dari komunitas. (20)
3. Sebut dan jelaskan faktor pembatas dan kisaran toleransi hewan! (25)
4. Bagaimana cara mengenali Anura dari ciri morfologinya? (20)
5. Jelaskan proses reproduksi Anura! (20)
GLOSARIUM

Abiotik : semua benda mati di permukaan bumi yang


bermanfaat dan berpengaruh dalam kehidupan
manusia serta mahluk hidup lainnya.
Air : Senyawa yang penting bagi semua bentuk
kehidupan dan mengandung berbagai jenis
unsur atau senyawa kimia dalam jumlah
bervariasi.
Akuatik : Sebuah aktivitas dengan menggunakan media
air.
Anura : Salah satu jenis Amfibi yang tidak memiliki
ekor pada fase dewasa.
Autekologi : suatu kajian yang membahas tentang suatu
makhluk hidup dengan lingkungannya, makhluk
hidup disini adalah spesies/individu makhluk
hidup.
Biotik : semua lingkungan yang terdiri dari komponen-
komponen mahluk hidup di permukaan bumi.
Bufo : Bahasa latin yang berarti katak.
Cahaya : Terdiri dari partikel-partikel ringan berukuran
sangat kecil yang dipancarkan oleh sumbernya
ke segala arah dengan kecepatan yang sangat
tinggi.
Ekologi : cabang ilmu yang membahastentang interaksi
antara memberi dan menerima, antara stimulus
serta tanggapan dan antara stimulasi dan umpan
balik antara hewan/tumbuhan dan lingkungan
(biotik dan abiotik).
Gas atmosfer : Gas oksigen adalah faktor pembatas yang
terutama di danau dan di perairan yang
terbebani oleh bahan organik yang banyak.
Genus : Takson paling rendah daripada famili yang
menunjukkan marga dan terdiri atas satu kata
Habitat : Tempat suatu makhluk hidup tinggal dan
berkembang biak.
Komunitas : kumpulan populasi yang terdiri dari spesies
yang berlainan, yang menempati suatu daerah
tertentu.
Morfologi : Studi biologis mengenai bentuk dan struktur
makhluk hidup baik itu struktural eksternal dan
internal organisme.
Ordo : Suatu tingkat atau takson antara kelas dan famili
yang menujukkan bangsa dari makhluk hidup.
Reproduksi : Dasar mempertahankan diri yang dilakukan oleh
semua makhluk hidup untuk menghasilkan
generasi selanjutnya.
Sintesis : Proses perubahan dalam komunitas yang
berlangsung menuju ke satu arah yang
berlangsung lambat secara teratur pasti terarah
dan dapat diramalkan.
Spesies : Sekelompok individu atau makhluk hidup yang
menunjukkan beberapa karakteristik penting
berbeda dari kelompok-kelompok lain baik
secara morfologi, fisiologi atau biokimia.
Suhu : Derajat energi panas yang berasal dari radiasi
sinar, terutama yang bersumber dari matahari.
Synekologi : kajian ilmu yang membahas makhluk hidup dan
lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA

Aby. 2012. Ekologi dan Distribusi Hewan. http://abybiologi.blogspot.com/2012/


12/ekologi-dan-distribusi-hewan.html. diakses pada hari Senin, tanggal 19
Mei 2014, pukul 08.30 WIB.

Annisa, Zantedhescha. 2013. Makalah Komunitas Hewan. http://zantedescia.blog


spot.com/2013/01/makalah-komunitas-hewan.html. Diakses pada hari
Senin, tanggal 19 Mei 2014, pukul 08.15 WIB.

Anonim.2012. Komunitas Ekologi. Website: http://queenichmiracle.blogs


pot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Diakses pada hari Senin,
tanggal 19 Mei 2014, pukul 09.10 WIB.

Daly, J.W., Myers, C.W., and Whittaker, N. 1987. Further classification of skin
alkaloids from Neotropical poison frogs (Dendrobatidae), with a general
survey of toxic/noxious substances in the Amphibia. Toxicon, 25: 1023-
1095.

Delfino, G., Alvarez, B.B., Brizzi, R., and Cespedez, J.A. 1998. Serous Cutaneous
Glands of Argentine Phyllomedusa Wagler 1830 (Anura Hylidae):
Secretory Polymorphism and Adaptive Plasticity. Tropical Zoology, 11:
333-351.
Endang, T. 2010. Panduan Wisata Alam di Kawasan Konservasi Nusa Tenggara.
BKSDA-NTB.

Fajri. 2012. Modul Ekologi II. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Mataram.

Inger, R.F & Stuebing, R.B. 1997. Frog of Borneo. Natural History Publications
& Science and Technology Unit. Sabah.

Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang
Biologi LIPI. Bogor.

Leary, C.J. 2001. Evidence of Convergent Character Displacement in Release


Vocalizations of Bufo fowleri and Bufo terrestris (Anura; Bufonidae).
Animal Behaviour, 61: 431-438.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Luser. Cetakan
Pertama. The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement: Bogor.

Odum, Eugene P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ke 3. Universitas Gajah


Mada: Yogyakarta.
Owen, P.C., and Gordon, N.M. 2005. The Effect of Perceived Intruder Proximity
and Resident Body Size on the Aggressive Responses of Male Green Frogs,
Rana clamitans (anura: ranidae). Behave. Ecol. Sociobiol., 446-455.

Resosoedarmo, Soedjiran. 1990. Pengantar Ekologi. Jakarta:PT Remaja


Rosdakarya.

Umar, M. Ruslan. 2004. Ekologi Umum Dalam Praktikum. Makassar: Universitas


Hasanuddin.
RIWAYAT PENULIS

Penulis bernama lengkap Sarwenda, lahir di


Kota Jayapura Propinsi Papua pada tanggal
01 Nopember 1991 merupakan anak kelima
dari lima bersaudara. Penulis sekarang
bertempat tinggal di Jln Malomba Asrama
TNI-AD Ajenrem 162 W/B Ampenan Kota
Mataram. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Negeri Dok IX Kota
Jayapura lulus pada tahun 2004, SMP
Negeri 1 Jayapura lulus pada tahun 2007, SMA Mandala Trikora Jayapura lulus
pada tahun 2010. Penulis masuk di IKIP Mataram pada tahun 2012 dan mulai
berkuliah pada tahun 2012 sampai dengan penulisan skripsi ini penulis masih
terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan) IKIP Mataram.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Sarwenda
Tempat/Tanggal Lahir : Jayapura, 01 Nopember 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Malomba Asrama TNI-AD Ajenrem 162 W/B
Ampenan
Nomor Handphone : 087848977238/082247114857
Riwayat Pendidikan : - SD Negeri Dok IX
- SMP Negeri 1 Jayapura
- SMA Mandala Trikora
Data Orang Tua Wali
Nama : Jamaluddin
Tempat/Tanggal Lahir : Sumbawa, 04 Agustus 1967
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI-AD
Alamat : Jl. Malomba Asrama TNI-AD Ajenrem 162 W/B
Ampenan

Anda mungkin juga menyukai