Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

PERKEMBANGAN HEWAN

Regenerasi Planaria

Oleh:

Kelompok 3

Anisatus Sholihah 150210103043

Erna Kristiana Dewi 150210103051

Lidiya Praktika Rosa 150210103058

Whenni Milasari 150210103066

Angki Tri Agustina 150201013073

Saiful Nizzam 150210103085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum
Perkembangan Hewan yang berjudul Regenerasi Planaria dengan baik dan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan praktikum ini adalah hasil diskusi kelompok menggunakan
metode observasi secara langsung dan tidak langsung yakni melalui eksperimen
dan melalui telaah pustaka. Laporan praktikum ini disertai dengan pembahasan
dan kesimpulan serta hal yang lain sesuai dengan tugas. Semoga laporan
praktikum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca serta dengan
adanya penyusunan laporan seperti ini, observasi yang dilaksanakan dapat tercatat
dengan rapi dan dapat dipelajari kembali pada kesempatan yang lain untuk
kepentingan proses belajar.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya tugas ini, terutama kepada asisten praktikum
mata kuliah Perkembangan Hewan yang telah memberikan banyak saran,
petunjuk, dan dorongan dalam melaksanakan tugas ini, serta teman-teman yang
telah memberi dukungan terhadap pengerjaan tugas ini. Semoga segala yang telah
dikerjakan merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini
dan untuk pelajaran dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang.
Semoga dengan adanya tugas ini, dapat menjadi pembelajaran bersama demi
kemajuan ilmu pengetahuan.

Jember, 24 April 2017


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2


DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa ..?
1.2.2 Apa ..?

1.3 Tujuan
1.3.1 Diisi di sini
1.3.2 Diisi di sini
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Planaria


Planaria merupakan anggota dari cacing pipih (Platyhelminthes) yang
hidup bebas. Planaria mempunyai 3 lapis benih (ectoderm, mesoderm dan
entoderm). Berdasarkan hierarkhi taksonomi, termasuk dalam Class Turbellaria,
Ordo Tricladida (dilihat dari jumlah percabangan saluran digesti) dan Familia
Planariidae (Susintowati, 2012: 110).

Planaria sp. merupakan contoh kelas turbellaria pada filum


plathyhelmintes. Tubuh Planaria berbentuk pipih dorsoventral, bagian kepala
berbentuk segitiga dengan tonjolan seperti dua keping yang terletak di sisi lateral
yang disebut aurikel, bagian ekor meruncing. Panjang tubuh sekitar 5-25 mm,
bagian tubuh sebelah dorsal warnanya lebih gelap daripada warna tubuh sebelah
ventral (Rusyana, 2011: 53). Kepala planaria dilengkapi dengan sepasang bintik
mata yang sensitif cahaya dan kelepak lateral yang terutama berfungsi untuk
mendeteksi zat-zat kimia tertentu. Sejumlah percobaan menunjukkan bahwa
planaria dapat belajar memodifikasi responnya terhadap stimuli.

Beberapa planaria dapat bereproduksi secara aseksual melalui fisi


(Campbell, et al., 2012: 247). Kekuatan regenerasi yang besar pada planaria telah
memberikan sistem yang menarik untuk studi eksperimental pembangunan.
Misalnya, potongan yang dipotong dari tengah planarian dapat meregenerasi
kepala baru dan ekor baru. Namun, potongan mempertahankan polaritas aslinya:
kepala tumbuh pada ujung anterior dan ekor di ujung posterior (Hickman, et al.,
2008: 296).

Planaria sp. memiliki habitat relung ekologi di perairan yang mengalir


deras sehingga menunjukkan adaptasi untuk mempertahankan posisi pada air yang
mengalir serta melekat permanen pada substrat yang kokoh seperti batu. Selain itu
pula air yang mengalir jernih dan berada terlindung oleh pepohonan merupakan
relung ekologi Planaria sp. (Surtikanti dan Ulfah, 2013: 66).
2.2 Regenerasi Planaria
Peristiwa regenerasi bagi organisme merupakan hal yang sangat penting
karena proses yang esensial selama perjalanan hidup organisme. Adanya bagian
tubuh yang lepas akibat kecelakaan dengan proses regenerasi bagian tubuh yang
lepas akan diganti kembali dengan jaringan baru kembali. Beberapa proses
regenerasi organisme merupakan hal yang sangat penting dalam reproduksi secara
aseksual (Philip, 1978) dalam (Lukman, 2009: 44).

Regenerasi pada planaria melalui 2 macam proses yaitu "epimorfosis" dan


"morfalaksis". Pertama, regenerasi morfalaksis yakni suatu proses perbaikan yang
melibatkan reorganisasi bagian tubuh yang masih tersisa untuk memulihkan
kembali bagian tubuh yang hilang. Jadi dalam jenis regenerasi ini pemulihan
bagian yang hilang itu sepenuhnya diganti oleh jaringan lama yang masih
tertinggal. Kedua, epimorfosis yaitu rekonstruksi bagian-bagian yang hilang
melalui proliferasi dan diferensiasi jaringan dari permukaan luka. Namun
regenerasi dapat pula berupa penimbunan sel-sel yang nampaknya belum
terdiferensiasi pada luka dan sering disebut, blastema, yang akan berproliferasi
dan secara progresif membentuk bagian yang hilang (Lukman, 2009: 44).

Baik morfalaksis (morfalaksis) maupun epimorfis (epimorfosis) terjadi


pada proses Regenerasi Planaria (Morgan, 1901 dalam Reddien & Alvarado,
2004). Morfalaksis cenderung menerangkan saat planaria mengalami reorganisasi
(remodeling) jaringan lama, sedangkan epimorfis menerangkan saat planaria
mengalami proliferasi neoblast dalam pembentukan blastema di permukaan luka
(Susintowati, 2012: 111).

Regenerasi pada planaria melibatkan interaksi yang benar-benar rumit dari


beberapa sistem pada tingkat organisme. Setelah mengalami luka, sel induk di
cacing berkembang biak dan bermigrasi untuk membentuk massa pelindung sel
baru (blastema) di lokasi luka. Proliferasi sel ini dikoordinasikan dengan ketat
dengan penghancuran selektif beberapa sel tua (apoptosis), yang secara efektif
mengubah bentuk jaringan baru dan lama untuk menciptakan kembali daerah dan
organ cacing yang hilang, menyesuaikan dengan proporsi daerah dan organ yang
tersisa ke yang baru. Interaksi kompleks ini dikendalikan oleh serangkaian sinyal
yang beragam, termasuk jalur molekuler, komunikasi junctional gap, fluks ion,
dan sinyal sistem saraf (Lobo, et al., 2012: 2).

Kemampuan regenerasi planaria sangat tinggi. Kecepatan penyembuhan


luka hampir sama pada semua bagian tubuh planaria (30 menit setelah pelukaan),
namun pembentukan jaringan yang hilang (reorganisasi) tergantung pada daerah
yang mengalami luka ataupun amputasi. Kecepatan regenerasi pada planaria
setelah pelukaan/amputasi tergantung pada lokasi luka. Termasuk dalam hal ini
adalah, kecepatan penutupan luka, dan pembentukan organ yang hilang. Daerah
kepala mempunyai kemampuan regenerasi paling tinggi dibandingkan daerah
yang lainnya. Daerah ujung caudal/ekor mempunyai kemampuan regenerasi
paling rendah. Plastisitas regenerasi planaria juga berkaitan dengan polaritas yang
sangat tinggi. Tiap potongan amputasi tidak kehilangan polaritas selama
regenerasi terjadi. Bagian anterior akan tetap membentuk kepala, dan bagian
posterior akan tetap membentuk ekor. Walaupun segmen potongan merupakan
bagian median atau lateral tubuh, polaritas tetap sangat signifikan. Eksperimen
dengan transplantasi juga dapat meningkatkan kecepatan regenerasi pada Planaria
(Newmark & Alvarado, 2001; Reddien & Alvarado, 2004; Estves & Sal, 2010)
dalam (Susintowati, 2012: 111-112).

Merujuk pada Newmark & Alvarado (2010) bahwa otak (ganglia serebral)
planaria terkonsentrasi di sekitar kepala terutama di belakang auricle. Jika daerah
tersebut ikut teramputasi dan hilang, kemungkinan besar peran saraf dalam proses
regenerasinya juga hilang. Namun jika bagian gangli serebral masih terbawa
potongan maka regenerasi akan segera dapat terjadi dengan lebih cepat. Reddien
& Alvarado (2004) menyebutan bahwa salah satu peran dari saraf planaria adalah
untuk kontraksi dan relaksasi otot terutama dalam penyebaran nutrisi ke seluruh
bagian tubuh. Sehingga jika potongan tubuh planaria yang mengalami regenerasi
mengandung sedikit serabutserabut saraf maka hal terbeut akan mempengaruhi
kemampuan/kecepatan regenerasinya (Susintowati, 2012: 112).
Beberapa faktor yang mempengaruhi regenerasi planaria adalah suhu.
Semakin tinggi suhu air maka sel-sel yang ada dalam tubuh akan mengalami
kematian, sehingga kurang mampu melakukan penggandaan sel untuk regenerasi.
Demikian juga untuk suhu semakin rendah, sel-sel akan mengalami penyempitan
sehingga menghambat regenerasi. Planaria dalam beregenerasi selain dipengaruhi
oleh faktor suhu, juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan yang cukup agar
Planaria dalam beregenerasi dapat tumbuh terus sampai ukuran maksimum yang
bisa dicapai.
DAFTAR PUSTAKA

Rusyana, Adun. 2011. Zoologi Invertebrata (Teori dan Praktik). Bandung:


alfabeta.

Susintowati. 2012. Regenerasi dan Respons Gerak Planaria. Jurnal Saintek Vol. 9
(2) hal. 110-114

Campbell, Neil A., et al. 2012. BIOLOGI Edisi Kedelapan Jilid 2. Diterjemahkan
oleh Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Erlangga.

Hickman, Cleveland P., et al. 2008. INTEGRATED PRINCIPLES OF ZOOLOGY,


FOURTEENTH EDITION. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Surtikanti, Hertien Koosbandiah dan Ulfah Bahabazi. 2013. Studi Tentang


Ekologi dan Habitat Planaria, Sp. di Subang: Kelimpahan dan Biomassa
Merupakan Indikator Kualitas Air Bersih. Jurnal Biosfera Vol. 30 (2)
hal. 66-72

Lobo, Daniel, et al. 2012. Modeling Planarian Regeneration: A Primer for


Reverse-Engineering the Worm. Jurnal PLoS Computational Biology
Vol. 8 (2) hal. 1-12

Lukman, Aprizal. 2009. Mekanisme Regenerasi Anggota Tubuh Hewan. Jurnal


Biospecies Vol. 2 (2) hal. 43-47

Anda mungkin juga menyukai