Anda di halaman 1dari 51

ISOLASI DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI METABOLIT

SEKUNDER EKTRAK ETIL ASETAT DARI DAUN BRANGAN


(Castanopsis argantea (BL.) DC. DENGAN METODE DPPH

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
Ummi Habibah
1401061

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tumbuhan merupakan salah satu sumber obat-obatan yang dimanfaatkan

secara tradisional dan modern. Pengobatan secara tradisional sebagian besar

menggunakan ramuan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan baik berupa akar, kulit

batang, daun, bunga, atau bijinya. Agar pengobatan secara gtradisional dapat

dipertanggung jawabkan maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang

tumbuhan berkhasiat untuk mengetahui senyawa yang berfungsi sebagai obat

(Lenny, 2006).

Salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah

berangan dengan nama ilmiah Castanopsis argentea (BL) DC. Merupakan salah

satu famili fagaceae yang banyak tersebar Distribusinya meliputi Timur laut India

(Nepal, Bhutan, Assam), Burma, China. Sebarannya terbesar di Asia Tenggara

(Indochina dan Malesia). di Kawasan Malesia tercatat 34 jenis dan yang paling

banyak terdapat di Indonesia sekitar 24 jenis (71%). Sebaran jenis Castanopsis

terbesar adalah di Kalimantan kemudian disusul terbanyak di Sumatera dan Jawa.

2016)

Genus Castanopsis umumnya mengandung senyawa fenolik dan flavonoid

yang dapat ditemukan pada bagian kulit batang, buah, dan daunnya. Beberapa

spesies tumbuhan dari genus Castanopsis yang dilaporkan mengandung senyawa

fenolik dan flavonoid, dimana dari hasil penelitian dari Tuyen et al (2016) bahwa

ekstrak etanol kulit batang C. phuthoensis memiliki kandungan fenolik total

sebesar 35,47 mg GAE/g berat kering dan ekstrak etanol daun C. phuthoensis

mengandung fenolik total sebesar 28,27 mg GAE/g berat kering. Sedangkan


kandungan flavonoid total ekstrak etanol kulit batang C. phuthoensis ialah sebesar

2,23 mg RE/g berat kering, dan ekstrak etanol daun C. phuthoensis ialah sebesar

12,55 mg RE/g berat kering. Tuyen et al (2016) juga melakukan analisis

kandungan fenolik total dan flavonoid total dari ekstrak etanol kulit batang dan

daun C. grandicicatrica dengan hasil fenolik total ekstrak etanol kulit batang

sebesar 34,13 mg GAE/g berat kering dan fenolik total ekstrak etanol daun

sebesar 11,20 mg GAE/g berat kering. Sedangkan kadar flavonoid total ekstrak

etanol kulit batang C. grandicicatrica ialah sebesar 3,04 mg RE/g berat kering dan

kadar flavonoid total ekstrak etanol daun C. grandicicatrica ialah sebesar 7,91 mg

RE/g berat kering. Berdasarkan analisis dengan menggunakan HPLC, ekstrak

etanol daun dan kulit dari Castanopsis phuthoensis dan Castanopsis

grandicicatricata mengandung 7 senyawa asam fenolat termasuk gallic, p-

hydroxybenzoic, vanillic, sinapic, p-coumaric, ellagic acids, dan vanillin. Huang

et al (2011) melaporkan bahwa daun Castanopsis fissa mengandung polifenol,

yaitu flavonol glikosida, galloyl quinic acids, triterpenes hexahydroxydiphenoyl

esters, dan elagitanin.

Dari kandungan kimia yang dimiliki oleh beberapa tanaman dari genus

Castanopsis diatas, beberapa diantaranya telah dilaporkan memiliki aktivitas

antioksidan, antara lain Castanopsis indica (Roxb.) A.DC, Castanopsis

phuthoensis dan Castanopsis grandicicatricata. Castanopsis indica (Roxb.) A.DC

dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang disebabkan oleh senyawa fenolik

yang terkandung pada bagian buahnya (Lalrinzuali et al., 2016), sedangkan

Castanopsis phuthoensis dan Castanopsis grandicicatricata juga memiliki


aktivitas antioksidan yang disebabkan oleh senyawa fenolik yang terdapat pada

bagian daun dan kulitnya (Tuyen et al., 2016).

Dari beberapa hasil penelitian dan uraian diatas, maka peneliti tertarik

untuk melakukan isolasi metabolit sekunder dan uji aktivitas antioksidan dari

daun tumbuhan berangan (Castanopsis argantea (BL.) DC) dengan menggunakan

metode DPPH. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait

aktivitas antioksidan dari kulit batang tumbuhan berangan (Castanopsis argantea

(BL.) DC).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Tinjauan Umum Tumbuhan Castanopsis argantea (BL.) DC
2.1.1. Family Fagaceae

Fagaceae merupakan salah satu suku tanaman yang besar dengan jumlah

jenisnya lebih dari 700 jenis di seluruh dunia. Suku Fagaceae tergolong dalam 7

marga, yang sebagian besar jenisnya tumbuh di belahan bumi bagian utara . Hutan

Asia Tenggara memiliki pegunungan yang luas dengan keragaman hayati yang

tinggi. Fagaceae di Indonesia kebanyakan tumbuh di pegunungan rendah dengan

ketinggian dibawah 1300 m dpl., dan curah hujan >1000mm per tahun.

(Purwaningsih dan Polosakan, 2016 ).


Terdapat 5 marga tumbuhan Fagaceae di Indonesia, yaitu Lithocarpus (60

Jenis), Castanopsis (24 Jenis), Quercus (16 Jenis), Nothofagus (11 jenis), dan

Trigonobalanus. Persebaran Fagaceae yang cukup menonjol baik dari segi

populasi maupun jumlah jenisnya terdapat di Kalimantan sebesar 48,21% (54

jenis), Sumatera 44,64% (50 jenis), Jawa 18,75% (21 jenis), dan di daerah timur

Indonesia sebesar 22,32% (25 jenis). (Purwaningsih dan Polosakan, 2016 ).

Umumnya Fagaceae berbentuk pohon, letak daun alternate, bunga

uniseksual dan kecil, penyerbukan dengan bantuan angin (Soepadmo, 1972),

berakar banir atau akar gantung, jenis kayunya mempunyai guratan yang indah

sehingga bagus dijadikan sebagai bahan dasar furnitur. Di Indonesia, kayu

Fagaceae dipakai juga untuk bahan bangunan. Selain kayunya juga terdapat

beberapa produk minor non kayu dari Fagaceae seperti tanin dan chestnut (biji).

Karakteristik tandan bunga yang terkulai disebut “caltkin” dan nut (polong)

dibungkus dengan kulit keras yang disebut “cupule” atau cangkir kecil

(Purwaningsih dan Polosakan, 2016 ; Struwe, 2009).

2.1.2. Genus Castanopsis

Captanopsis adalah Pohon medium sampai pohon besar, dengan jumlah

jenis ±120 jenis. Distribusinya meliputi Timur laut India (Nepal, Bhutan, Assam),

Burma, China. Sebarannya terbesar di Asia Tenggara (Indochina dan Malesia) di

Kawasan Malesia tercatat 34 jenis dan terbanyak terdapat di Indonesia sekitar 24

jenis (71%). Sebaran jenis Castanopsis terbesar adalah di Kalimantan kemudian

disusul terbanyak di Sumatera dan Jawa. Castanopsis tumbuh di dataran rendah

sampai pegunungan dengan ketinggian antara 0-2500 m dpl. dan Castanopsis


terbanyak tumbuh di ketinggian 0-500 m. sedangkan pada ketinggian >2700m

tidak diketemukan lagi Castanopsis. (Purwaningsih dan Polosakan, 2016)

2.1.3. Klasifikasi Tumbuhan Castanopsis argantea (BL.) DC.

Klasifikasi tumbuhan berangan (Castanopsis argantea (BL.) DC.)

memiliki penggolongan sebagai berikut (Anonim, 2017) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Fagales

Keluarga : Fagaceae

Marga : Castanopsis (D. Don) Spach

Spesies : Castanopsis argantea (BL.) DC.

Sinonim : Castanopsis argantea (Blume) Blume, Castanopsis argyrophylla

H. Buek, Castanea divaricata Oerst, Castanea martabanica Wall

dan Fagus argantea Blume

2.1.4. Sinonim dan Nama Lain

Beberapa spesies dari genus Castanopsis memiliki nama lokal, seperti


berangan yang digunakan sebagai nama lokal untuk Castanopsis inermis,
Castanopsis wallichii, dan Castanopsis costata. Di Malaysia, Castanopsis
megacarpa Gamble dan Castanopsis ridleyi Gamble memiliki nama lokal
berangan duri. Castanopsis fulva memiliki nama lokal berangan minyak (Burkill,
1966).
Di daerah Sumatera sendiri tumbuhan ini dikenal dengan beberapa nama

seperti kandik kurus, pening-pening dan selasik. Sedangkan di daerah Jawa


tumbuhan ini dikenal pula dengan sebutan berangan, saninten, sarangan dan

wrakas. Di Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Inggris Castanopsis argentea

(BL.) DC ini dikenal dengan sebutan saninten, sedangkan di Malaysia dikenal

dengan berangan. Tumbuhan ini tersebar di daerah Sumatera Barat dan diseluruh

pulau Jawa (Martawijaya, 1989 ; Soepadmo, 1972).

2.1.5. Morfologi Tumbuhan Castanopsis argentea (BL.) DC

Tinggi pohon Castanopsis argentea (BL.) DC berkisar antara 15-30 m

dengan diameter 0,5-1 m, kulit batang berwarna abu-abu gelap (Soepadmo, 1972),

tidak beralur dan tidak mengelupas. Panjang batang bebas cabang 25 m, tidak

berbanir. Kayu teras berwarna coklat-kelabu sampai coklat-merah muda. Kayu

gubal berwarna putih, kuning muda atau coklat muda, kadang-kadang kemerah-

merahan, tebal 2-12 cm, umumnya 5-6 cm. Tekstur kayu agak kasar sampai kasar

dan tidak merata, permukaannya licin dan agak mengkilap. Arah serat

bergelombang panjang atau lurus, kadang-kadang berpadu. Castanopsis argentea

(BL.) DC berbuah hampir sepanjang tahun, terutama dalam bulan Oktober,

Desember dan Februari. Jumlah buah 250 butir per kg atau 158 butir per liter.

Buah tidak dapat disimpan lama, karena daya kecambahnya cepat hilang. Buah

segar mempunyai daya kecambah 75% (Martawijaya, 1989 ; Soepadmo, 1972).

2.1.6. Kandungan Kimia dan Manfaat Castanopsis argentea (BL.) DC

Genus Castanopsis umumnya mengandung senyawa fenolik dan flavonoid

yang dapat ditemukan pada bagian kulit batang, buah, dan daunnya. Beberapa

spesies tumbuhan dari genus Castanopsis yang dilaporkan mengandung senyawa

fenolik dan flavonoid antara lain : Castanopsis argentea, Castanopsis

phuthoensis, Castanopsis grandicicatricata, Castanopsis fissa, Castanopsis


tribuloides, Castanopsis eyrei Tutch, Castanopsis indica, dan lain-lain. Tuyen et

al (2016) melaporkan bahwa ekstrak etanol kulit batang C. phuthoensis memiliki

kandungan fenolik total sebesar 35,47 mg GAE/g berat kering dan ekstrak etanol

daun C. phuthoensis mengandung fenolik total sebesar 28,27 mg GAE/g berat

kering. Sedangkan kandungan flavonoid total ekstrak etanol kulit batang C.

phuthoensis ialah sebesar 2,23 mg RE/g berat kering, dan ekstrak etanol daun C.

phuthoensis ialah sebesar 12,55 mg RE/g berat kering. Tuyen et al (2016) juga

melakukan analisis kandungan fenolik total dan flavonoid total dari ekstrak etanol

kulit batang dan daun C. grandicicatrica dengan hasil fenolik total ekstrak etanol

kulit batang sebesar 34,13 mg GAE/g berat kering dan fenolik total ekstrak etanol

daun sebesar 11,20 mg GAE/g berat kering. Sedangkan kadar flavonoid total

ekstrak etanol kulit batang C. grandicicatrica ialah sebesar 3,04 mg RE/g berat

kering dan kadar flavonoid total ekstrak etanol daun C. grandicicatrica ialah

sebesar 7,91 mg RE/g berat kering. Berdasarkan analisis dengan menggunakan

HPLC, ekstrak etanol daun dan kulit dari Castanopsis phuthoensis dan

Castanopsis grandicicatricata mengandung 7 senyawa asam fenolat termasuk

gallic, p-hydroxybenzoic, vanillic, sinapic, p-coumaric, ellagic acids, dan vanillin.

Huang et al (2011) melaporkan bahwa daun Castanopsis fissa mengandung

polifenol, yaitu flavonol glikosida, galloyl quinic acids, triterpenes

hexahydroxydiphenoyl esters, dan elagitanin.

Dari kandungan kimia yang dimiliki oleh beberapa tanaman dari genus

Castanopsis diatas, beberapa diantaranya telah dilaporkan memiliki aktivitas

antioksidan, antara lain Castanopsis indica (Roxb.) A.DC, Castanopsis

phuthoensis dan Castanopsis grandicicatricata. Castanopsis indica (Roxb.) A.DC


dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang disebabkan oleh senyawa fenolik

yang terkandung pada bagian buahnya (Lalrinzuali et al., 2016), sedangkan

Castanopsis phuthoensis dan Castanopsis grandicicatricata juga memiliki

aktivitas antioksidan yang disebabkan oleh senyawa fenolik yang terdapat pada

bagian daun dan kulitnya (Tuyen et al., 2016).

2.2 . Tinjauan Metabolit Sekunder


2.2.1. Flavonoid

Senyawa flavonoid diturunkan dari unit C6-C3 (fenilpropana) yang

bersumber dari asam sikimat (melalui fenilalanin) dan unit C6 yang diturunkan

dari jalur poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari tiga molekul malonil Co-

A, yang bergabung dengan unit C6-C3 (sebagai Co-A tioester) untuk membentuk

unit awal triketida. Oleh karena itu, flavonoid yang berasal dari biosintesis

gabungan terdiri atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur

poliketia (Michael et al, 2009).

Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil, sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti, etanol, metanol,

butanol, aseton, air dan lain-lain. Adanya gula yang terkait pada flavonoid (bentuk

umum yang ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut

dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan

pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar

seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan flavanol yang termetoksilasi cenderung

lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).

Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, buah, bunga dan biji. Kebanyakan flavonoid

ini berada pada tumbuh-tumbuhan, kecuali alga (Doloksaribu, 2011).


Senyawa flavonoid dapat dideteksi dengan cara skrining fitokimia awal

yaitu sebanyak 2 gram simplisia dikocok dengan 30 ml diklorometan selama 15

menit, lalu disaring. Filtrat diuapkan hingga kering. Residu dilarutkan dalam 1-2

ml metanol 50%, jika perlu dengan pemanasan di atas penangas air, kemudian

ditambah sedikit logam magnesium dan 5-6 tetes asam klorida pekat, lalu

dipanaskan sebentar di atas penangas air dan warna yang timbul diamati (Hanani,

2015).

Gambar 2. Kerangka dasar flavonoid (Sitorus, 2010)

2.2.2. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder mengandung unsur nitrogen

(N) biasanya pada cincin heterosiklik dan bersifat basa. Senyawa alkaloid

kebanyakan berbentuk padatan dan berwarna putih, tetapi ada yang berupa cairan

yaitu nikotin, ada juga yang berwarna kuning seperti berberin dan serpentin.

Senyawa yang memiliki atom N, tetapi tidak termasuk dalam golongan alkaloid

antara lain asam amino, amina, dan asam nukleat (Hanani, 2015).

Senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan cara skrining fitokimia awal

yaitu serbuk simplisia 1 gram dikocok dengan 20 ml metanol dan 3 ml ammonia,

dipanaskan pada suhu 60oC sambil dikocok 15 menit. Larutan disaring, lalu

filtratnya dipekatkan hingga lebih kurang 3 ml, kemudian ditambah 5 ml asam

klorida 1 N. Kemudian, ditambahkan pereaksi Dragendroff, timbul warna merah

hingga jingga. Jika ditambahkan pereaksi Mayer akan terbentuk endapan putih

yang berarti postitif alkaloid (Hanani, 2015).


2.2.3. Tanin

Tanin merupakan senyawa yang sangat kompleks, biasanya terdapat

campuran polifenol yang sangat sulit dikristalkan. Tanin dengan air membentuk

larutan koloidal yang mempunyai reaksi asam dan rasanya sangat sepat. Makin

murni tanin, makin kurang kelarutannya dalam air dan makin mudah diperoleh

dalam bentuk Kristal.

Tanin larut pula dalam pelarut organik yang polar, setidaknya sampai

batas tertentu, tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar seperti benzen

dan kloroform. Larutan tanin dalam air dapat diendapkan dengan penambahan

asam mineral atau garam (Robinson, 1995).

Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu: tanin terkondensasi atau

flavolan dan tanin yang terhidrolisis.

1. Tanin terkondensasi atau flavolan

Tersebar luas dalam tumbuhan angiospermae, terutama pada tumbuhan

tumbuhan berkayu. Nama lainnya adalah proantosianidin karena bila direaksikan

dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus

dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan protoantosianidin adalah

prosianidin karena bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin.

Proantosianidin dapat dideteksi langsung dengan mencelupkan jaringan tumbuhan

ke dalam asam klorida 2M mendidih selama setengah jam yang akan

menghasilkan warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol.

2. Tanin yang terhidrolisi

Tanin ini terdapat pada tumbuhan yang berkeping dua. Terutama terdiri

atas dua kelas, yang paling sederhana adalah depsida dan galoiglukosa. Pada
senyawa ini glukosa dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Cara

deteksi tanin terhidrolisi adalah dengan mengidentifikasi asam galat atau asam

elagat dalam ekstrak eter atau etil asetat yang dipekatkan (Harborne, 1987).

Senyawa tanin dapat dideteksi dengan cara skrining fitokimia awal yaitu

ekstrak sampel ditambahkan metanol sampai sampel terendam semuanya.

Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1% . Hasil positif ditunjukkan

dengan terbentuk warna hitam kebiruan atau hijau (Sangi et al, 2008).

Gambar 3. Kerangka tanin

2.2.4. Steroid dan Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isopropena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang

diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu, skualena (Harborne, 1987).

Sterol atau steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil

pada C3. Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentana perhidrofenantren (Robinson, 1995).

Senyawa steroid ataupun triterpenoid dapat dideteksi dengan cara skrining

fitokimia awal yaitu sampel dilarutkan dengan kloroform, setelah itu ditambahkan
dengan asam asetat anhidrat sebanyak 0,5 ml, selanjutnya ditambahkan sebanyak

2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Adanya triterpenoid ditandai

dengan terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan,

sedangkan steroid ditandai dengan terbentuknya cincin biru kehijauan (Padmasari

dkk, 2013).

Gambar 4. Kerangka steroid (Sitorus, 2010)

2.2.5. Fenolik

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang berasal dari tumbuh-tumbuhan

yang mempunyai cincin aromatik, mengandung satu atau lebih gugus hidroksil

yang terikat langsung (Harborne, 2006). Senyawa fenolik cenerung mudah larut

dalam air karena umumnya seringkali berkaitan dengan gula sebagai glikosida.

Kelarutan senyawa fenolik dalam air bertambah bila gugus fungsi hidroksilnya

bertambah banyak. Senyawa fenolik umumnya larut baik dalam pelarut organik

yang polar (Robinson, 1995).

Gambar 5. Kerangka fenolik (Djamal, 1998)

2.2.6. Saponin

Saponin merupakan suatu glikosida yang memiliki berat molekul dan

kepolaran yang tinggi. Sebagai glikosida, saponin dapat dihidrolisis dengan asam
atau enzim untuk menghasilkan aglikon (sapogenin), gula, dan asam uronat.

Saponin merupakan surfaktan yang kuat yang menimbulkan busa bila dikocok

dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel

darah merah. Saponin tersebar luas pada tanaman tingkat tinggi dan merupakan

obat yang pahit menusuk. Saponin larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut

dalam eter (Robinson, 1995).

Senyawa saponin dapat dideteksi dengan cara skrining fitokimia awal

yaitu sampel ditambah aquadest. Kemudian dikocok kuat dan vertikal selama 10

detik. Hasil positif apabila timbul busa stabil selama 10 menit (Sukandar dkk,

2008).

2.3. Metode Isolasi Senyawa Bahan Alam


2.3.1. Metoda Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan yang diperoleh dengan mengekstrak zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Anonim, 1995). Ekstraksi merupakan suatu cara unutuk menarik komponen

kimia yang terdapat dalam bahan simplisia. Cara ekstraksi yang tepat tergantung

pada susunan jaringan, kandungan air, bahan tanaman dan jenis zat yang akan

diekstraksi (Herwandi, 1991).

Metode ekstraksi dapat digunakan dengan cara panas atau cara dingin.

Metode yang umum digunakan adalah cara dingin, yaitu maserasi. Maserasi bisa

disebut juga perendaman (Harboune, 1987). Metode-metode ekstraksi yang sering

digunakan diantaranya :
1. Maserasi

Maserasi merupakan proses penyarian sederhana dengan cara merendam

bahan alam atau tumbuhan dalam pelarut dan waktu tertentu. Maserasi ini

bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan

zat berkhasiat yang tidak tahan pemanasan maupun simplisia dengan zat

berkhasiat yang tahan pemanasan. Alat yang digunakan juga sederhana yaitu

dapat digunakan botol besar berwarna gelap atau Erlenmeyer yang sesuai, yang

penting tertutup rapat untuk menghindari penguapan pelarut (Djamal, 1998).

Prinsip maserasi adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk sampel ke dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari

pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke

dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang

konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan

konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama

proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari.

Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Anonim, 2010).

2. Perkolasi

Perkolasi merupakan suatu cara penarikan, memakai alat yang disebut

perkolator, yang simplisianya terendam dalam cairan penyari dimana zat-zatnya

terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan keluar sampai

memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan (Anonim, 2011). Keuntungan cara

ekstraksi ini adalah senyawa yang tersari lebih sempurna dibanding maserasi.
Sedangkan kerugiannya adalah memerlukan waktu lebih lama dan pelarut yang

lebih banyak (Hanani, 2015).

3. Sokhletasi

Sokhletasi merupakan teknik ekstraksi yang digunakan terhadap bahan

alam padat yang senyawa kimianya tahan panas. Prinsipnya yaitu menggunakan

suatu pelarut yang mengalami penguapan dan pendinginan secara berulang-ulang,

dan dapat melarutkan senyawa organik yang terdapat pada bahan alam tersebut.

Metode sokhletasi mempunyai keunggulan dari metode lainnya, karena

melalui metode ini penyarian dapat dilakukan berulang-ulang dan pelarut yang

digunakan relatif sedikit. Tetapi kelemahan utama pada sokhletasi adalah tidak

dapat digunakan pada senyawa termolabil karena sokhletasi merupakan teknik

dengan menggunakan pemanasan, membutuhkan waktu yang lama karena

menunggu pelarut terlihat jernih sebagai tanda penyarian sempurna dan

diperlukan pengawasan secara terus menerus, dan kapasitas soklet menjadi

kendala apabila sampel yang akan diekstraksi besar jumlahnya (Djamal, 1998).

Prinsip sokhletasi adalah penarikan komponen kimia yang dilakukan

dengan cara serbuk sampel ditempatkan dalam klonsong yang telah dilapisi kertas

saring sedemikian rupa, cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga

menguap dan dikondensasikan oleh kondensor bola menjadi molekul-molekul

cairan penyari yang jatuh ke dalam klonsong menyari zat aktif di dalam sampel

dan jika cairan penyari telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun

kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Ekstraksi

sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di
KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh

dikumpulkan dan dipekatkan (Anonim, 2010).

4. Digestasi

Proses penyarian yang sama dengan maserasi menggunakan pemanasan

pada suhu 30oC sampai 40oC. Cara ini dilakukan untuk simplisia pada suhu biasa

tidak tersari dengan baik. Jika pelarut yang dipakai mudah menguap pada suhu

kamar dapat digunakan alat pendingin tegak, sehingga penguapan bisa dicegah

(Sjahid, 2008).

5. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Djamal, 1998).

6. Dekokta

Dekokta adalah suatu proses penyarian yang hampir sama dengan infusa,

bedanya untuk dekokta dipanaskan selama 30 menit terhitung suhu mencapai

90oC. Dekokta dapat dilakukan untuk simplisia yang tidak mengandung minyak

atsiri atau simplisia yang mengandung bahan yang tidak tahan terhadap

pemanasan (Djamal, 1998).

7. Refluk

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel

dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu

dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi

molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat,

akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, sedemikian

seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna,


penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang

diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan (Anonim, 2010).

2.3.2. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan pada penelitian

fitokimia. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar metodenya

merupakan reaksi pengujian warna dengan satu pereaksi warna. Metode yang

digunakan atau dipilih untuk melakukan skrining fitokimia harus memenuhi

beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan

peralatan minimal, bersifat semikuantitatif yaitu memiliki kepekaan untuk

senyawa yang bersangkutan, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari

(Noerono, 1994).

Pendekatan skrining fitokimia meliputi analisa kuantitatif kandungan

kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah

dan biji), terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif seperti alkaloid,

antrakuinon, flavonoid, glikosida jantung, dan sebagainya. Adapun tujuan

pendekatan skrining fitokimia adalah untuk mengetahui tumbuhan yang

mengandung senyawa kimia yang berguna untuk pengobatan (Farnsworth, 1966).

2.3.3. Metoda Isolasi

Isolasi adalah proses pengambilan atau pemisahan suatu zat dari suatu

campuran menggunakan pelarut yang sesuai. Dalam melakukan isolasi atau

penyarian dari bahan alam dapat digunakan bahan-bahan tumbuhan, hewan segar

maupun yang telah dikeringkan, tergantung simplisia dan senyawa yang akan

diisolasi (Djamal, 1998).


Umumnya pemisahan dan pemurnian kandungan kimia pada ekstrak

tumbuhan dilakukan secara fisikokimia, terutama dilakukan dengan salah satu dari

empat teknik kromatografi, yaitu kromatografi kertas (KKT), kromatografi lapis

tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC) dan kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT/HPLC) (Hendrayana, 2006).

2.3.4. Metoda Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang didasarkan atas dua

fase yaitu menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile

phase). Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk

memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks,

baik komponen orgaik maupun komponen anorganik (Djamal, 1998).

2.3.4.1. Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi merupakan proses pemisahan yang didasarkan atas

perbedaan distribusi komponen diantara fase gerak dan fase diam (Vogel, 1978).

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisikokimia yang

didasarkan atas penyerapan, partisi, atau gabungannya. KLT merupakan salah satu

teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisi kualitatif senyawa

organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis

kuantitatif dan isolasi skala preparatif. Teknik KLT sangat bermanfaat untuk

analisis obat dan bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan

peralatan sederhana, waktu yang cukup singkat, dan jumlah yang diperiksa cukup

kecil (Stahl, 1969).

a. Fase Diam
Fase diam adalah lapisan tipis penyerap yang seragam atau media terpilih

digunakan sebagai media pembawa. Penjerap dilekatkan pada penyangga sebagai

pelapis untuk mendapatkan lapisan yang stabil dengan ukuran yang sesuai.

Penyangga yang sering digunakan terbuat dari bahan gelas, plastik dan

alumunium, sedangkan penjerap yang paling sering digunakan antara lain silika

gel, alumina, kieselguhr dan selulosa (Touchstone et al, 1983).

Ukuran standar untuk lempeng KLT adalah 20 x 20 cm. Ukuran lainnya

dari lempeng antara lain 5 x 20 cm, 10 x 20 cm dan 20 x 40 cm. Lempeng mikro

dapat dibuat dari slide mikroskop. Lapis tipis dapat mengandung indikator

fluorosensi yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tak berwarna

pada lapisan yang dikembangkan. Jadi, lapisan yang mengandung indikator

fluorosensi akan berpendar jika disinari pada panjang gelombang yang tepat. Jika

senyawa pada bercak yang akan ditampakkan mengandung ikatan rangkap

terkonjugasi atau mengandung cincin aromatik, maka sinar UV yang mengeksitasi

tidak akan mencapai indikator fluorosensi dan tidak ada cahaya yang dipancarkan.

Hasilnya berupa bercak gelap dengan latar belakang yang berfluorosensi.

Indikator terkandung pada penjerap dengan konsentrasi 1% (Gritter et al, 1991).

b. Fase Gerak

Sifat dan komposisi kimia fase gerak ditentukan oleh jenis zat yang

dipisahkan dan jenis penjerap yang digunakan untuk pemisahan. Komposisi fase

gerak dapat berupa pelarut murni maupun campuran kompleks dari beberapa

pelarut (Touchstone et al, 1983). Seluruh senyawa organik termasuk pelarut

digolongkan menurut kemampuan dasarnya untuk membuat ikatan hidrogen.

Terdapat pelarut yang merupakan donor atau aseptor pasangan elektron dan
mempunyai kemampuan untuk membentuk jembatan intermolekul (hidrofilik dan

pelarut polar) ataupun pelarut yang tidak mempunyai tersebut (lipofilik dan

pelarut non polar). Diantara perbedaan tersebut terdapat pelarut dengan polaritas

sedang (Gritter et al, 1991).

c. Metode Deteksi

Bercak yang terpisah dapat diamati dengan beberapa cara setelah lempeng

dikeringkan. Cara untuk mendeteksi bercak terdiri dari dua macam yaitu metode

kimia dan metode fisik. Dari kedua jenis tersebut, masing-masing dapat dibedakan

lagi menjadi dua macam metode destruktif dan non destruktif (tidak memberikan

perubahan permanen pada identifikasi). Contoh untuk metode kimia destruktif

adalah dengan asam sulfat, sedangkan metode non destruktif adalah dengan uap

iodine. Contoh untuk metode fisik adalah pengamatan di bawah sinar UV banyak

digunakan dan bersifat non destruktif terhadap sebagian besar zat, walaupun pada

beberapa vitamin dan steroid dapat bersifat destruktif.

Berdasarkan senyawa yang diperiksa, pemisahan pada lempeng

selanjutnya dapat diperiksa dengan beberapa teknik. Jika zat berupa radioaktif

atau dicurigai demikian maka bercak dapat dideteksi menggunakan scanner

radioisotope. Dalam kondisi yang memungkinkan, juga dimungkinkan untuk

mengukur daerah bercak dan menghitung densitasnya menggunakan

fotodensitometer (Touchstone et al, 1983). Derajat retensi dinyatakan dengan Rf

yang digunakan untuk menyatakan posisi dari zat setelah pengembangan, dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut (Harmita, 2006) :


Jarak yang tempuh noda
Rf =
Jarak yang tempuh eluen

Gambar 7. Metode Penentuan Nilai Rf

2.3.4.2. Kromatografi Kolom


Kromatografi kolom merupakan salah satu metode kromatografi dengan

fase gerak cair dan fase diam padat. Penggunaan fase gerak (eluen) disesuaikan

dengan kepolaran senyawa yang akan dipisahkan, baik menggunakan sistim

pelarut tunggal maupun pelarut campur secara Step Gradient Polarity (SGP),

dimana kepolaran eluen yang digunakan ditingkatkan secara bertahap.

Kromatografi kolom biasanya menggunakan fase diam seperti silika gel 60 (70-

230 μm, Merck®).

Fase diam yang akan digunakan ditempatkan dalam tabung kaca berbentuk

silinder, pada bagian bawah tertutup dengan katup atau kran dan fase gerak

dibiarkan mengalir ke bawah melaluinya dengan gaya berat atau gaya gravitasi

atau menggunakan tekanan yang didorong. Pada kondisi yang dipilih dengan baik,

eluen yang merupakan komponen campuran, komponen pada ekstrak turun berupa

pita dengan laju yang berlainan dan dengan demikian dipisahkan.


Komponen pada ekstrak biasanya dipisahkan dengan cara membiarkannya

mengalir keluar dari kolom dan mengumpulkannya sebagai fraksi dalam jumlah

tertentu. Jenis fase diam atau adsorben yang paling banyak digunakan dalam

kromatografi kolom dan mudah didapatkan berupa alumina dan silika gel (Gritter

et al, 1991).

2.4. Fraksinasi dan Pemekatan


Fraksinasi adalah proses untuk memisahkan kandungan senyawa bahan

alam atas perbedaan sifat kelarutannya dalam kondisi yang ditentukan. Umumnya

senyawa bahan alam dibedakan atas 3 kelompok, yaitu senyawa non polar seperti

lemak, terpen dan steroid. Senyawa semi polar seperti kumarin, fenolik tak

terglikosida dan alkaloid. Senyawa polar seperti flavonoid glikosida, alkaloid

kuartener dan lain-lain (Djamal, 2011).

Tujuan utama fraksinasi adalah untuk menyederhanakan komposisi dan

homogenitas sifat zat sehingga lebih mudah diisolasi menjadi senyawa tunggal

atau zat murni. Ekstrak total yang didapatkan melalui proses ekstraksi, biasanya

berupa larutan encer sebelum difraksinasi. Apabila sudah dikentalkan, perlu

penambahan air suling untuk membuat konsistensi ekstrak cukup encer dan tidak

menyulitkan atau mencegah terbentuknya emulsi (Djamal, 2011).

Untuk proses fraksinasi berdasarkan tingkat kepolaran umumnya

digunakan pelarut n-heksana untuk menarik zat yang bersifat non polar, etil asetat

atau kloroform untuk memisahkan senyawa yang bersifat semi polar dan senyawa

yang termasuk kelompok polar difraksinasi dengan butanol. Proses fraksinasi

harus berurutan dari non polar sampai dengan polar dan tidak boleh dibalik

(Djamal, 2011).
Pemekatan adalah peningkatan jumlah partial solute atau senyawa terlarut

dengan proses penguapan hasil ekstraksi yang masih mengandung banyak pelarut.

Tujuan pemekatan adalah agar konsentrasi senyawa lebih besar dan memudahkan

penyimpanan. Dalam proses pemekatan, suhu yang digunakan sebaiknya tidak

terlalu tinggi untuk mencegah peruraian senyawa dalam ekstrak (Hanani, 2015;

Anonim, 2000).

Pemekatan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti menggunakan

penangas air (waterbath). Proses pemekatan ini sederhana, sangat mudah dan

cocok untuk ekstrak dengan pelarut yang memiliki titik didih tidak terlalu tinggi.

Namun proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga kemungkinan

ada senyawa yang terurai (Hanani, 2015).

Pemekatan juga dapat dilakukan menggunakan penguap putar (vacuum

rotary evaporator), dilakukan pada suhu rendah sekitar 40-50oC dan dibantu

dengan alat vakum udara sehingga titik didih pelarut lebih rendah. Penguapan

berlangsung cepat sehingga kemungkinan terjadinya penguraian senyawa yang

termolabil dapat dihindari (Hanani, 2015).

Kelebihan dari alat vacuum rotary evaporator adalah diperoleh kembali

pelarut yang diuapkan. Penggunaan vacuum rotary evaporator meningkatkan

persentase pelarut yang terevaporasi dibanding dengan menggunakan waterbath.

Prinsip kerja alat ini, berdasarkan pada titik didih pelarut dan dengan adanya

tekanan menyebabkan pelarut tertarik dalam bentuk uap menuju kondensor.

Kondensor sebagai pendingin akan menyebabkan uap mengembun dan akhirnya

jatuh ke tabung penerima (receiver flask) (Mutairi, 2012).


2.5. Rekristalisasi dan Uji Kemurnian
Pengkristalan kembali (rekristalisasi) melibatkan pemurnian suatu zat

padat dengan jalan melarutkan zat padat tersebut, mengurangi volume larutannya

dengan pemanasan, dan kemudian mendinginkan larutan. Dengan memanaskan

larutan, pelarut akan menguap hingga larutan mencapai titik lewat jenuh. Saat

larutan mendingin, kelarutan akan berkurang secara cepat dan senyawa mulai

mengendap. Agar rekristalisasi berjalan dengan baik, kotoran setidak-tidaknya

harus dapat larut dalam pelarut untuk rekristalisasi atau mempunyai kelarutan

lebih besar dari senyawa yang diinginkan. Jika hal ini tidak terpenuhi, kotoran

akan ikut mengkristal bersama senyawa yang diinginkan (Bresnick, 2003).

Salah satu pengujian kemurnian senyawa hasil isolasi yaitu berdasarkan

titik leleh. Titik leleh dapat diukur dengan Melting Point Apparatus. Pada

penentuan titik leleh suatu senyawa, bila harga yang diperoleh memiliki selisih

angka yang lebih kecil dari 2oC, maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki

kemurnian yang lebih baik, tetapi jika selisihnya lebih besar dari 2oC maka

senyawa tersebut belum murni (Harborne, 1987).

Uji kemurnian dapat dilakukan dengan penentuan titik leleh suatu kristal.

Mulai dari kristal itu meleleh sampai kristal itu meleleh seluruhnya. Jika harga

antara titik mulai meleleh sampai meleleh seluruhnya tidak lebih dari 2 oC maka

dapat dikatakan senyawa tersebut murni (Sharp et al, 1989).

2.6. Identifikasi Senyawa Organik dengan Spektroskopi


Spektroskopi adalah teknik fisikokimia yang mengamati interaksi atom

atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Oleh karena itu teknik-teknik


spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak

diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan senyawa yang diketahui

(Fessenden et al, 1986).

2.6.1. Spektroskopi Ultraviolet

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang

sangat encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan

spektrofotometer yang merekam otomatis (Harborne, 1987). Spektrofotometri

UV-Vis merupakan suatu metode identifikasi yang didasarkan pada struktur

elektronik molekul, yang dikenal sebagai spektroskopi elektronik

(Sastrohamidjojo, 2013). Spektrofotometri UV adalah pengukuran panjang

gelombang dan intensitas sinar ultraviolet yang diabsorbsi oleh sampel. Sebagai

sumber cahaya biasanya digunakan lampu hidrogen. Panjang gelombang dari

sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah panjang gelombang seperti prisma atau

monokromator. Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi

tersebut akan menyebabkan elektron terluarnya tereksitasi ke tingkat energi yang

lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).

Energi keseluruhan dari suatu molekul adalah jumlah energi

elektroniknya, energi getar dan energi rotasi. Energi yang diserap dalam transisi

elektronik suatu molekul dihasilkan dari transisi elektron valensi dalam molekul-

molekul tersebut. Transisi ini terdiri dari eksitasi dari suatu elektron suatu orbital

yang ditempati ke orbital berikutnya yang berenergi lebih tinggi. Hubungan antara

energi yang diserap dalam transisi elektronik dinyatakan dengan:

ΔE = h.v = hc/λ

Keterangan :
ΔE = Energi yang diserap

v = Frekuensi (Hz)

h = Tetapan Planck (6.6 x 10-27J.s)

λ = Panjang gelombang

c = Kecepatan cahaya (3 x 108 m/s)

Energi yang diserap bergantung pada perbedaan energi antara tingkat dasar

dan tingkat tereksitasi. Semakin kecil perbedaan energi semakin besar panjang

gelombang dari serapan. Kelebihan energi dalam tingkat tereksitasi dapat

dihasilkan dalam disosiasi atau ionisasi dari molekul-molekul atau mungkin

dipancarkan sebagai panas atau cahaya (Silverstein, 1986).

Dalam spektroskopi, terdapat istilah-istilah yang sering digunakan,

diantaranya (Sjahid, 2008) :

1. Kromofor, adalah gugus tak jenuh kovalen yang dapat menyerap

radiasi dalam daerah UV-Vis.

2. Auksokrom, adalah gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor

mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum.

3. Pergeseran batokromik, adalah pergeseran serapan ke arah panjang

gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh

pelarut (pergeseran merah).

4. Pergeseran hipsokromik, adalah pergeseran serapan ke arah panjang

gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh

pelarut (pergeseran biru).

5. Efek hiperkromik, adalah kenaikan dalam intensitas serapan.

6. Efek hipokromik, adalah penurunan dalam intensitas serapan.


Spektroskopi UV-Vis dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi

jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Di samping itu, kedudukan

gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan

menambahkan pereaksi diagnostik ke dalam larutan cuplikan dan mengamati

pergeseran puncak serapan yang terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung

cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat pada

salah satu gugus hidroksi fenol (Markham, 1988).

2.6.2. Spektroskopi Inframerah

Spektroskopi inframerah (infrared, untuk selanjutnya disingkat dengan

spektroskopi IR) merupakan spektroskopi vibrasional (getaran). Spektroskopi IR

merupakan teknik analisis yang sangat popular untuk analisis berbagai jenis

sampel, baik sampel produk farmaseutik, makanan, cairan biologis, maupun

sampel lingkungan. Karena pada spektroskopi ini melibatkan cahaya (foton),

maka metode spektroskopi juga seringkali disebut dengan metode

spektrofotometri (Rohman, 2014). Sinar inframerah adalah spektrum

elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan spektrum radio, yaitu

antara bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Bila sinar inframerah dilewatkan

melalui suatu cuplikan senyawa organik maka sejumlah sinar dengan bilangan

gelombang tertentu diserap, sedangkan sinar dengan bilangan gelombang yang

lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap (Noerdin, 1986).

Bagi kimiawan organik sebagian besar kegunaannya terbatas antara

bilangan gelombang 4000 cm-1dan 666 cm-1. Letak pita di dalam spektrum

inframerah dinyatakan dengan ukuran bilangan gelombang (cm-1) yang secara

langsung berbanding lurus dengan energi getaran. Intensitas pita dinyatakan


dengan transmitan (T) atau absorbansi (A). Transmitan adalah perbandingan

antara kuat sinar yang ditransmisikan oleh sebuah cuplikan dan kuat sinar yang

diterima oleh cuplikan tersebut sedangkan absorban adalah kebalikan transmitan

(Silverstein, 1986).

Salah satu keunggulan utama spektroskopi IR dengan spektroskopi lainnya

adalah karena sifatnya sebagai spektrum sidik jari, yang mana tidak ada dua buah

senyawa atau sampel yang berbeda mempunyai spektrum IR yang sama.

Spektrum IR satu senyawa dengan spektrum IR senyawa lain dapat dibedakan

dari jumlah puncaknya, intensitasnya, atau bilangan gelombang eksak tiap-tiap

puncak. Oleh karena itu, spektrum IR kebanyakan digunakan untuk identifikasi

suatu senyawa kimia atau melakukan konfirmasi senyawa kimia melalui gugus

fungsionalnya (Rohman, 2014).

2.6.3. Spektrofotometri NMR

Spektrofotometri NMR merupakan jenis spektrofotometri absorbsi lainnya

selain UV dan IR. Spektrofotometri NMR tergantung dari kondisi medan magnet.

Sampel dapat menyerap radiasi elektromagnetik dalam daerah radio frekuensi

pada frekuensi yang diatur oleh karakteristik sampel (Silverstein, 2005). Dasar

dari metode spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR) ini adalah kajian

terhadap momen magnet dari inti atom dalam molekul yang timbul akibat

perputaran inti tersebut. Momen magnet dari satu inti atom dipengaruhi oleh

atom-atom yang ada di dekatnya, sehingga atom yang sama dapat mempunyai

momen magnet yang berbeda tergantung pada lingkungannya. Bila inti atom

diletakkan diantara kutub-kutub magnet yang sangat kuat maka inti akan
mensejajarkan medan magnetiknya (paralel) atau melawan (antiparalel) dengan

medan magnet (Hart, 2003).

Spektrofotometri proton atau 1H NMR memberikan informasi struktural

mengenai atom-atom hidrogen dalam sebuah molekul organik. Tidak semua inti
1
H membalikkan spinnya tepat sama dengan frekuensi radio karena inti-inti

tersebut mungkin berbeda dalam lingkungan kimianya. Kondisi ini menyebabkan

pergeseran kimia. Pergeseran kimia untuk beberapa jenis inti 1H ditunjukkan pada

tabel 2 berikut:

Tabel 2. Pergeseran kimia proton 1H yang khas (Relatif terhadap TMS)


(Achmadi, 2003).

Jenis 1H δ (ppm) Jenis 1H δ (ppm)


C – CH3 0,85 – 0,95 – CH2 – CH3 4,3 – 4,4
C – CH = C 5,2 – 5,7
1,40 – 1,65
C – CH– C
CH3 – C = C 1,6 – 1,9 Ar – H 0,5 – 5,5
CH3 – Ar 2,2 – 2,5 6,6 – 8,0
O O
10 – 13 9,5 – 9,7
– C –OH –C–H
CH3 – O – Ar – OH 4-8

2.7. Radikal Bebas


Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat

reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada

orbital telurnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas

akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron.

Radikal bebas yang banyak terbentuk didalam tubuh, dapat menimbulkan


kerusakan secara biomelekul yang berdampak pula pada kerusakan struktur dan

fungsi sel, yang akhirnya menimbulkan gangguan pada sistem kerja organ secara

keseluruhan (Winarsih, 2007).

Senyawa radikal yang berasal dari lingkungan misalnya radiasi, asap rokok,

senyawa pencemar lingkungan, makanan olahan, olahraga yang berlebihan, dan

obat-obatan. Konsumsi lemak yang berlebihan khususnya lemak tak jenuh sangat

berpotensi menimbulkan radikal bebas (Muchtadi, 2011)

2.7. Antioksidan
2.7.1. Antioksidan dan Fungsinya
Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan radikal bebas dengan

cara menerima atau mendonorkan satu elektron untuk menghilangkan kondisi

elektron tidak berpasangan. Hal ini berarti bahwa dalam proses menetralkan

molekul radikal bebas menjadi molekul stabil, molekul antioksidan tersebut akan

menjadi radikal. Akan tetapi biasanya molekul antioksidan radikal kurang reaktif

dibandingkan dengan radikal bebas yang dinetralkannya (Muchtadi, 2011).

Fungsi utama antioksidan sebagai berikut (Ramelan, 2003):

a) Mencegah atau menghambat proses penuaan diri

b) Mencegah terjadinya penyakit degeneratif

c) Memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak

d) Memperpanjang masa pemakaian suatu produk makanan

e) Memperkecil terjadinya proses kerusakan bahan makanan

2.7.2. Sumber – Sumber Antioksidan


Sumber–sumber antioksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok

(Mukhopadhayay, 2006) yaitu:


a. Antioksidan alami

Antioksidan alami adalah senyawa antioksidan yang diperoleh dari hasil

ekstraksi bahan alam. Ada banyak sumber pangan yang menjadi sumber

antioksidan alamai, misalnya rempah-rempah, teh, coklat, dedaunan, biji-bijian,

sayur-sayuran, enzim dan protein. Beberapa antioksidan alami antara lain :

polifenol, vitamin C, ß-karoten, flavonoid dan katekin.

b. Antioksidan sintetis

Antioksidan sintetis adalah senyawa antioksidan yang diperoleh dari hasil

sintesa reaksi kimia. Antioksidan ini merupakan senyawa antioksidan alami atau

senyawa turunan fenol yang telah diproduksi secara sintetis. Contohnya: Butil

Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propel galat dan Tersier

Butil Hidroksi Kuinon (TBHK).

2.8. Vitamin C

Gambar 1 Struktur Kimia Vitamin C


Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan

rumus molekul C6H8O6. Vitamin C dalam bentuk murni merupakan kristal putih,

tidak bewarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-192˚C. Senyawa ini

bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Vitamin C mudah larut dalam
air (1g dapat larut sempurna dalam 3 ml air), sedikit larut dalam alkohol (1g larut

dalam 50 ml alkohol absolut atau 100 ml gliserin) dan tidak larut dalam benzena,

eter, kloroform, minyak dan sejenisnya. Vitamin C tidak stabil dalam bentuk

larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu, Fe, dan cahaya

(Anonim,1979). Vitamin C dapat ditemukan di alam hampir pada semua

tumbuhan terutama sayuran dan buah-buahan, terutama buah-buahan segar

(Budianto, 2004).

Kebutuhan harian vitamin C bagi orang dewasa adalah sekitar 60 mg, untuk

wanita hamil 95 mg, anak-anak 45 mg, dan bayi 35 mg, namun karena banyaknya

polusi di lingkungan antara lain oleh adanya asap-asap kendaraan bermotor dan

asap rokok maka penggunaan vitamin C perlu ditingkatkan hingga dua kali

lipatnya yaitu 120 mg. Vitamin C dapat terserap sangat cepat dari alat pencernaan

masuk ke dalam saluran darah dan dibagikan ke seluruh jaringan tubuh. Pada

umumnya tubuh menahan vitamin C sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang

melalui air kemih. Karena itu bila seseorang mengkonsumsi vitamin C dalam

jumlah besar, sebagian besar akan dibuang keluar, terutama bila orang tersebut

biasa megkonsumsi makanan yang bergizi tinggi (Winarno, 2002)

2.9. Metode DPPH


Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan adalah

menggunakan radikal bebas DPPH (1,1-Diphenyl-2- picrylhydrazyl). DPPH

merupakan senyawa radikal bebas yang diperdagangkan, stabil pada suhu kamar

dengan bentuk serbuk violet kehitaman, cepat teroksidasi oleh tempertaur dan

udara, mudah larut dalam metanol, BM 393,3 Gg/ml. Disimpan pada suhu

dibawah 0 °C (Burda dan Oleszek, 2001).


Metode DPPH diperkenalkan oleh Blois (1958). Metode ini hanya

menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dan waktu pengukuran yang

singkat. Konsentrasi DPPH yang digunakan 50-100 µm. Panjang gelombang

maksimum DPPH berkisar antara 517-520 nm. Aktivitas antioksidan dari suatu

senyawa ditunjukkan oleh hambatan serapan DPPH pada panjang gelombang

serapan maksimum DPPH. Karena memiliki elektron sunyi menyebabkan DPPH

sangat raktif untuk menangkap elektron atau radikal hidrogen lainnya untuk

menjadi molekul yang stabil. Pada saat terjadi reaksi dengan agen reduksi,

elektron sunyi menjadi berpasangan dan menyebabkan pengurangan serapan yang

dapat diamati dengan perubahan warna larutan dari warna ungu ke warna kuning

(Molyneux,2004).

DPPH•(ungu) + AH DPPHH(kuning) + A•

O2N O2N
H

N N* NO2 + AH N N NO2 + A*

O2N O2N

Gambar 2. Mekanisme Reaksi DPPH dengan Antioksidan


2.10. Penentuan Nilai IC50
Tingkat kekuatan antioksidan senyawa uji menggunakan metode DPPH dapat

digolongkan menurut nilai IC50. Nilai IC50 merupakan bilangan yang

menunjukkan konsentrasi sampel uji (µg/ml) yang memberikan peredaman DPPH

sebesar 50% (mampu menghambat atau meredam proses oksidasi sebesar 50%).

Nilai 0% berarti tidak mempunyai aktivitas antiradikal bebas atau antioksidan,


sedangkan nilai 100% berarti peredaman total dan pengujian perlu dilanjutkan

dengan pengenceran larutan uji untuk melihat batas konsentrasi aktivitasnya.

Selanjutnya dibuat kurva liniear antara konsentrasi larutan uji dengan %

peredaman dan ditentukan harga IC50 (Surnani, 2005). Untuk lebih jelasnya

penentuan IC50 dapat dilihat dibawah ini. Tingkat kekuatan antioksidan dengan

metode DPPH.

Tabel 1 Tingkat kekuatan antioksidan dengan metode DPPH

Aktivitas Antioksidan Nilai IC50


Sangat kuat < 50 µg/ml

Kuat 50-100 µg/ml

Sedang 100-150µg/ml

Lemah >150µg/ml

Sumber : (Mustarichie, 2017)


BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan April sampai september 2018, bertempat

di Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau (STIFAR),

Laboratorium Farmasi Bahan Alam Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau (STIFAR),

Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Riau.

3.2. Metode Penelitian


3.2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

seperangkat alat destilasi (Gopal), satu unit rotary evaporator (Buchi),

lumpang, neraca analitik (Shimadzu), kolom kromatografi, plat KLT GF254,

chamber, lampu UV penampak noda (Camag), vial, pipa kapiler, alat penentu titik

leleh melting point apparatus SMP-11 (Stuart), spektrofotometer UV-VIS

(Shimadzu1800), spektrofotometer FT-IR (IR Prestige-21)dan peralatan gelas

yang umum digunakan.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun berangan

(Captanopsis Argentea .) sebanyak 2,5 kilogram sampel kering. Bahan yang

digunakan adalah pelarut n-heksana, etil asetat, metanol, aquadest, asam asetat

anhidrat, kloroform, kloroform amoniak, logam magnesium, larutan besi (III)

klorida, asam klorida 1%, asam sulfat 2N, pereaksi Liebermann-Burchard,

pereaksi Mayer, dan silika gel 60 (70-230 mesh).


3.2.2. Tahapan Penelitian

1. Pengambilan sampel

2. Identifikasi tanaman

3. Persiapan sampel

4. Uji fitokimia

5. Ekstraksi sampel dengan etil asetat

6. Pemekatan dengan rotary evaporator

7. Pemeriksaan profil KLT ekstrak kental metanol

8. Pemisahan dengan kromatografi kolom

9. Pengujian hasil fraksi kromatografi kolom dengan KLT

10. Pemurnian hasil isolasi

11. Uji kemurniaan hasil isolasi

12. Identifikasi senyawa murni hasil isolasi

13. Pengujian aktivitas antioksidan

3.3. Prosedur Kerja


3.3.1.Pengambilan Sampel

Sampel yang akan digunakan adalah daun dari tumbuhan

berangan(captanopsis argentea) yang diambil dari hutan larangan adat rumbio

3.3.2. Identifikasi Tanaman

Identifikasi tumbuhan berangan (captanopsis argantea) dilakukan di

Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Pekanbaru.


3.3.3. Persiapan Sampel

Kulit batang dari tumbuhan berangan (captanopsis argantea) terlebih

dahulu dibersihkan dari kotoran yang melekat. Kemudian dilakukan perajangan,

dikering anginkan selama satu bulan dan ditimbang (2,5 kg).

3.3.4. Uji Fitokimia

Sebanyak 5 g sampel dipotong sampai halus, lalu diekstraksi dengan

etanol, pada ekstrak kental ini ditambahkan masing-masing 5 ml air suling dan

kloroform (1:1) lalu dikocok kuat dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk

dua lapisan. Lapisan air digunakan untuk uji senyawa flavonoid, fenolik dan

saponin. Lapisan kloroform digunakan untuk uji senyawa terpenoid dan steroid.

Sedangkan untuk uji alkaloid memiliki prosedur tersendiri.

a. Uji Alkaloid

Sebanyak 0,5 g sampel ditambahkan 10 ml kloroform, kemudian

ditambahkan 10 ml larutan kloroform amoniak 0,05 M, diaduk kemudian disaring.

Kedalam tabung reaksi tambahkan 1 ml asam sulfat 2 N, kocok selama 2 menit,

biarkan hingga terbentuk dua lapisan dan terjadi pemisahan. Ambil lapisan asam

(atas) dan tambahkan 1–2 tetes pereaksi Mayer jika terbentuk endapan putih

dengan pereaksi Mayer menunjukkan hasil yang positif untuk alkaloid.

b. Uji Flavonoid

Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1-2 butir logam

magnesium dan beberapa tetes asam klorida pekat. Terjadinya warna jingga,

merah muda sampai merah menandakan adanya senyawa flavonoid.

c. Uji Fenolik
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1–2 tetes larutan besi

(III) klorida 1%. Bila terbentuk warna biru/ungu, berarti terdapat senyawa fenolik.

d. Uji Saponin

Lapisan air dalam tabung reaksi dikocok. Apabila terbentuk busa yang

bertahan selama 5 menit, berarti positif adanya saponin.

e. Uji Terpenoid dan Steroid

Lapisan kloroform disaring melalui pipet yang berisi norit. Hasil saringan

dipipet 2–3 tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering

ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard (2 tetes asam asetat anhidrat dan 1

tetes asam sulfat pekat). Terbentuknya warna merah berarti positif adanya

terpenoid dan warna hijau-biru berarti positif adanya steroid.

3.3.5. Ekstraksi Sampel

Sampel diekstraksi dengan metode maserasi bertingkat dengan cara

sampel terlebih dahulu dimaserasi dengan n-heksana selama 5 hari sambil sesekali

diaduk. Setelah 5 hari, sampel disaring dengan kertas saring untuk memisahkan

maserat dengan ampas sampel, dilakukan 3 kali pengulangan maserasi. Ampas

dimaserasi kembali dengan pelarut etil asetat selama 5 hari sambil sesekali

diaduk. Setelah 5 hari, sampel disaring dengan kertas saring untuk memisahkan

maserat dengan ampas, dilakukan 3 kali pengulangan maserasi. Selanjutnya

ampas dimaserasi kembali dengan pelarut metanol selama 5 hari sambil sesekali

diaduk. Setelah 5 hari, sampel disaring dengan kertas saring untuk memisahkan

maserat dengan ampas sampel, dilakukan 3 kali pengulangan dan didapat maserat

metanol.

3.3.7. Pemekatan dengan Rotary Evaporator


Masing-masing maserat dipekatkan dengan menggunakan rotary

evaporator. Maserat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu maserat metanol

sehingga didapatkan ekstrak kental metanol sebanyak (172, 1142 g) berwarna

coklat dan berbau khas.

3.3.8. Pemeriksaan Profil KLT Ekstrak Kental Metanol

Ekstrak kental metanol kemudian diuji dengan KLT. Pengujian dengan

KLT ini dielusikan dengan eluen n-heksana : etil asetat (2:8), etil asetat 100% dan

etil asetat : metanol (8:2). Untuk melihat noda yang terdapat pada plat KLT

tersebut dapat dilakukan dengan penyinaran lampu UV pada panjang gelombang

254 nm dan 366 nm, dan selanjutnya tentukan nilai Rf . Tujuan dari pemeriksaan

ini adalah untuk menggambarkan komponen senyawa metabolit sekunder yang

terkandung di dalam ekstrak.

3.3.9. Pemisahan dengan Kromatografi Kolom

Untuk memisahkan senyawa-senyawa yang ada di dalam ekstrak metanol

kulit batang keruing bulu ini dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom.

Ukuran diameter kolom yang digunakan yakni 3 cm dan panjang 52 cm,

Kromatografi kolom diisi dengan silika gel 60 (70-230 mesh) sebanyak 106 g.

Pengisian kolom dilakukan dengan membuat bubur silika terlebih dahulu, lalu

dimasukkan ke dalam kolom dengan menggunakan corong, kemudian dielusi

sampai kerapatan silika di dalam kolom maksimum. Ekstrak sebanyak 8 g yang

akan dipisahkan dibuat preadsorpsi dengan silika gel dan dimasukkan ke dalam

kolom. Kemudian dielusi secara bergradien menggunakan pelarut n-heksana, etil

asetat dan kemudian dengan metanol. Pemisahan dilakukan dengan bantuan gaya

gravitasi. Hasil pemisahan ditampung dalam botol vial dan diberi nomor.
3.3.10. Pengujian Hasil Fraksi Kromatografi Kolom dengan KLT

Hasil pemisahan kromatografi kolom dilakukan uji KLT. Vial-vial yang

akan diuji ini diambil secara acak setiap 5 vial, selanjutnya plat KLT diberi garis

0,4 cm di tepi atas dan 0,6 tepi bawahnya, lalu masing-masing fraksi ditotolkan

pada plat yang telah diberi nomor sesuai dengan nomor vial kemudian dielusi

dengan eluen yang sesuai sampai garis atas plat KLT, plat dikeluarkan dan

dikeringkan. Untuk melihat noda yang dihasilkan dapat dilakukan dengan

penyinaran lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Selanjutnya

tentukan Rf dari masing-masing noda. Vial yang mempunyai noda yang sama

dapat digabungkan menjadi satu fraksi.

3.3.11. Pemurnian Hasil Isolasi

Senyawa hasil isolasi yang didapat berupa kristal yaitu pada fraksi 10.

Senyawa dilakukan pemurnian dengan cara rekristalisasi. Rekristalisasi

dilakukan dengan cara melarutkan senyawa dengan pelarut yang mudah

melarutkan yaitu metanol kemudian ditambahkan dengan pelarut yang sukar

melarutkan yaitu etil asetat dan n-heksana. Lalu dibiarkan menguap sehingga

didapatkan senyawa murni terbentuk kristal. Pemurnian ini dilakukan berulang

hingga didapat senyawa murni.

3.3.12. Uji kemurnian Hasil Isolasi

Senyawa murni yang didapat diuji kemurniaannya dengan cara

pemeriksaan KLT dan titik leleh. Apabila noda pada plat KLT diamati dibawah

lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm menunjukkan satu

noda yang baik tanpa adanya noda lain yang menganggu berarti senyawa sudah
murni, pemeriksaan KLT dilakukan dengan menggunakan tiga eluen yang

berbeda yaitu etil 100% nilai Rf 0,13; etil asetat : metanol (8:2) nilai Rf 0,6 dan

eluen etil asetat : metanol (7:3) nilai Rf 0,67. Pemeriksaan kemurniaan juga dapat

dilakukan dengan menggunakan alat penentuan titik leleh Melting Point

Apparatus. Pembacaan titik leleh dimulai saat kristal mulai meleleh sampai

meleleh sempurna. Jika selisih harga titik lelehnya kecil atau sama dengan 2 C

maka senyawa tersebut sudah murni.

3.3.13. Identifikasi Senyawa Murni Hasil Isolasi

Identifikasi senyawa murni hasil isolasi dapat dilakukan berbagai macam

pemeriksaan yang meliputi:

1. Pemeriksaan organoleptis

Pemeriksaan ini dilakukan secara visual dengan mengamati sifat-sifat yang

dapat diketahui dengan bantuan indera seperti bentuk, warna dan bau senyawa

hasil isolasi. Bentuk senyawa murni hasil isolasi dapat dilihat dengan

menggunakan mikroskop pada perbesaran 10x40.

2. Pemeriksaan sifat fisika

Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kelarutan dan titik leleh senyawa

murni hasil isolasi. Pemeriksaan titik leleh dilakukan dengan menggunakan alat

Melting Point Apparatus. Beberapa butir kristal diletakakan diantara dua kaca

objek, kemudian diletakkan di bawah kaca pembesar dan diatur kenaikan

suhunya. Amati perubahan fisik zat, pencatatan suhu dilakukan saat kristal mulai

meleleh hingga meleleh sempurna.

3. Pemeriksaan sifat kimia


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mereaksikan senyawa murni hasil

isolasi dengan pereaksi tertentu yang menunjukkan golongan senyawa kimia (uji

fitokimia).

4. Identifikasi Senyawa Hasil Isolasi

Identifikasi struktur senyawa murni yang diperoleh dilakukan dengan

analisa spektroskopi UV, IR dan H1 NMR:

 Spektroskopi UV

Senyawa murni di timbangan ±1 mg kemudian dilarutkan 3-4 ml metanol.

Sampel dimasukkan dalam kuvet kemudian diukur menggunakan

spektrofotometer UV. Absobsi sinar UV pada panjang gelombang 200-400 nm.

 Spektrokopi IR

Senyawa dianalisa menggunakan teknik KBr pelet yaitu padatan sampel

digerus dalam mortal kecil bersamaan padatan kristal KBr kering dalam jumlah

sedikit. Prinsip kerja Spektrofotometri IR adalah sama dengan Spektrofotometer

yang lainnya yaitu interaksi antara energi dengan suatu materi. Spektofotometer

IR berfokus pada radiasi elektromagnetik pada rentang 400-4000 cm-1.

 Spektrokopi 1H Resonansi Magnet Inti (RMI)

Pada metoda analisis ini didasarkan pada penyerapan energi oleh partikel

yang sedang berputar didalam medan magnet yang kuat. Energi yang dipakai

dalam pengukuran dengan metode ini berada pada daerah gelombang radio 75-0,5

m atau pada frekuensi 4-600 MHz, yang bergantung pada jenis inti yang

diukurnya, NMR bermacam-macam ragamnya, misalnya NMR 1H, 13C, 19F.


Jumlah dan tempat proton dalam molekul senyawa organik menentukan bentuk

spektrum yang dihasilkan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Medan: Departemen Sumatera

Utara.

Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan 1,

Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat

dan Makanan.

Anonim, 2010, Prinsip-Prinsip Maserasi, Medan: Universitas Sumatera Utara.

Anonim, 2011, Ilmu Resep, Jakarta: K3S SMF.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

Aneri, G. 2016. Analisa Kandungan Fenolik Total, Flavonoid Total, Uji Aktivitas

Antioksidan dan Stitotoksik Ekstrak Metanol Daun Dan Batang Berangan

(Castanopsis argantea (BL.) DC.). Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi

Riau : Pekanbaru

Budianto, A. K. 2004. Gizi Pada Anak. Universitas Muhammadiyah Malang :

Malang

Burkill, I, H. 1966. A Dictionary of the Economic Products of the Malay

Peninsula Volume 1. Ministry Of Agriculture And Co Operative : Kuala

Lumpur, Malaysia.

Brensick, S., 2003, Inti Sari Kimia Organik, Jakarta: Hipokrates

Burda, S and Oleszek, W., 2001, Antioxidant And Antiradical Activities of

flavonoid.Jurnal Agric food chem.. vol. 49, 277-2779.

Dachriyanus, 2014, Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi,

Padang: Universiras Andalas Press.


Djamal, R., 1998, Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi, Padang:

Universitas Baiturrahman.

Doloksaribu, R., 2011, Isolasi Senyawa Flavonoid dari Daun Tumbuhan

Harimonting (Rhodomyrtus tementosa W. Art), Sumatera Utara:

Universitas Sumatera Utara Institusional Respiratory.

Fansworth, N.R., 1966, Biological and Phytochemical Screening of Plants,

Journal Pharm Science, 55(1): 225-276.

Fessenden, R.J and Fessenden, J.S., 1986, Organic Chemistry 6th Ed, California:

Brooks Cole Publishing, Pacific Grove.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M and Schwarting, A.E., 1991, Pengantar Kromatografi,

Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro, Bandung: Institut

Teknologi Bandung.

Hanani, E., 2015, Analisis Fitokimia, Jakarta: EGC.

Harborne, J.B., 2006, Metode Fitokimia Penuntun: Cara Modren Menganalisis

Tumbuhan, Cetakan ke-2, Terjemahan Padmawinata, K dan Iwang, S.,

Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Hendrayana, S., 2006, Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis

Modern, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Harmita, 2006, Buku Ajar Analisis Fisikokimia, Departemen Farmasi FMIPA,

Depok: Universitas Indonesia.

Hart, H., Craine, L.E and Hart, D.J., 2003, Kimia Organik Edisi 11, Jakarta:

Erlangga.
Herwandi, D., 1991, Telaah Fitokimia Daun Dysoxylum gaudichaudianum (Juss.)

Miq-Meliaceae, Skripsi, Jurusan Farmasi, Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Huang, Y. L. Tsujita, T. Tanaka, T. Matsuo, Y. Kouno, I. Li, D. P. Nonaka, G. I.

2011. Triterpene Hexahydroxydiphenoyl Esters and a Quinic Acid

Purpurogallin Carbonyl Ester from the Leaves of Castanopsis fissa.

Phytochemistry, 72 (2011) 2006–2014.

Lalrinzuali, K. Vabeiryureilai, M. Jagetia G.C. 2016. The Analysis of Antioxidant

Activity and Phenolic Contents of Selected Medicinal Plants of Mizoram.

An International Journal of Applied Biology for Genomic Era. ISSN : 1925-

1602.

Markham, K.R., 1988, Cara-Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Terjemahan K.

Padmawinata, Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.

Michael, H., Joanne, B., Simon, G., and Elizabeth M. Williamson, 2009,

Farmakologi dan Fitoterapi, Jakarta: EGC.

Muchtadi, D. 2011. Antioksidan Dan Kiat Sehat Diusia Produktif. Alfabeta :

Bandung.

Martawijaya, A. Kartasujana, I. Y. I. Mandang. Prawira, S. A. Kadir, K. 1989.

Atlas Kayu Indonesia Jilid 2. Balitbang.

Mukhopadhyay, A, K., 2006, Antioxidants Natural and Synthetic, Amani

International Publishers, Germany.

Molyneux, P. 2004. The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicryl-hydrazyl

(DPPH) for Esmitating Antioxidant Activity. Songklanakarin J.Sci.


Technol26 : 211–219.

Mustarichie, R., Runadi, D., Ramdhani, D. 2017. The Antioxidant Activity and

Phytochemical Screening of Ethanol Extract, Fractions of Water, Ethyl

Acetate, and N-Hexane from Mistelotoe Tea (Scurrula atropurpurea

BL.Dans). Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research10(2):

343–347.

Noerono, S., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada Press.

Noerdin, D., 1986, Elusidasi Struktur Senyawa Organik dengan Cara

Spektroskopi Ultralembayung dan Inframerah, Bandung: PT. Angkasa.

Purwaningsih, Polosakan, R. 2016. Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Fagaceae

di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengabdian M asy arakat, Vol 4, No.1,

85-92.

Padmasari, P.D., Astuti, K.W dan Warditiani, N.K., 2013, Skrining Fitokimia

Ekstrak Etanol 70% Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb), Jurnal

Farmasi Udayana. 2 (4): 1-4.

Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI, Hal 191-

216, Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Rohman, A., 2014, Spektroskopi Inframerah dan Kemometrika Untuk Analisi

Farmasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramelan. W. 2003. Antioksidan: Peranannya dalam Kedokteran. Jurnal

Kedokteran dan Farmasi. No. 6. 370-371.


Sitorus, M., 2010, Kimia Organik Umum, Edisi 1, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sangi, M., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I dan Makang, V.M.A., 2008,

Analisis Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara,

Chemistry Progress, 1(1): 47-53.

Sukandar, D., Hermanto, S dan Lestari, E., 2008, Uji Toksisitas Ekstrak Daun

Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) Dengan Metode Brine

Shrimp Lethality Test (BSLT), Jurnal Valensi 1(2): 63-70.

Sjahid, L.R., 2008, Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru

(Eugenia uniflora L.), Skripsi, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Stahl, E. and Michigan., 1969, Analisis Obat Secara Kromatografi dan

Mikroskopi, Terjemahan Padmawinata K, Bandung: Institut Teknologi

Bandung Press.

Silverstein, R.M., 1986, Penyelidikan Spektrofotometrik Senyawa Organik, Edisi

IV, Terjemahan Hartomo, Jakarta: Erlangga.

Soepadmo, E. 1972. Fagaceae. Flora Malesiana Ser. I, Vol. 7, part 2 : 265-403.

Struwe, L. 2009. Field Identification of the 50 Most Common Plant Families in

Temperate Regions (Including Agricultural, Horticultural, and Wild

Species). Rutgers : The State University of New Jersey.

Touchstone, J.C and Dobbins, M.F., 1983, Pratice of Thin Layer

Chromatography, John Wiley & Sons, Kanada.

Tuyen, P. T. Khang, D. T. Minh, L. T. Minh, T. N. Ha, P. T. T. Elzaawely, A. A.

Xuan, T. D. 2016. Phenolic Compounds and Antioxidant Activity of


Castanopsis phuthoensis and Castanopsis grandicicatricata. International

Letters of Natural Sciences. ISSN: 2300-9675, Vol. 55, pp 77-87.

Vogel, A.I., 1978, Textbook of Pratical Organic Chemistry, Revised By Furniss,

B. S., et al, 4th ed, New York: Longman Group Ltd.

Winarsi, H., 2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas, Yogyakarta, Cetakan

ke-5 Kanisiu.

Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai