Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan adalah suatu areal yang luas dikuasai oleh pohon, tetapi hutan bukan hanya
sekedar pohon. Termasuk di dalamnya tumbuhan yang kecil seperti lumut, semak
belukar dan bunga-bunga hutan.Di dalam hutan juga terdapat beranekaragam
burung, serangga dan berbagai jenis binatang yang menjadikan hutan sebagai
habitatnya. Terutama terdapat berbagai macam vegetasi (Whitmore, 1975).
Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat
baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan
organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta
dinamis. Hutan merupakan komponen habitat terpenting bagi kehidupan oleh
karenanya kondisi masyarakat tumbuhan di dalam hutan baik komposisi jenis
tumbuhan, dominansi spesies, kerapatan nmaupun keadaan penutupan tajuknya
perlu diukur (Natassa dkk, 2010).
Salah satu metode untuk mendeskripsikan suatu vegetasi yaitu analisis
vegetasi. Analisa vegetasi merupakan cara untuk mempelajari susunan (komposisi
jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh. Pada suatu kondisi
hutan yang luas, kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling
sehingga cukup ditempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat
tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengerjaan analisis vegetasi
antara lain bentuk, luas dan jumlah unit sampel yang digunakan, metode dan
teknik pengambilan sampel, cara pengambilan sampel dilapangan, objek yang
akan diobservasi dan didata, parameter vegetasi yang digunakan serta teknik dan
metode analisis vegetasi yang digunakan. Sesuai dengan fungsinya, analisis
vegetasi terutama digunakan untuk mempelajari struktur atau susunan dan bentuk
vegetasi masyarakat tumbuh-tumbuhan, misalnya mempelajari tegakan hutan,
yaitu tingkat pohon dan anakannya atau mempelajari tegakan tumbuhan bawah
(vegetasi dasar di bawah tegakan hutan, kecuali dari anakan), padang rumput atau
padang alang-alang dan vegetasi semak belukar (Indriyanto, 2006).
Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun
komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan
kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal
dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang
sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis
dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan
faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Kehadiran vegetasi pada suatu landscape akan memberikan dampak positif
bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan
vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon
dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah,
pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi
pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi
tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.
Sebagai contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi
besarnya bergantung struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi
vegetasi daerah tersebut (Setiadi, 1984).
Kuliah Lapangan ekologi merupakan penerapan dari teori yang telah kita
dapatkan selama kuliah dan praktikum Ekologi. Kuliah lapangan ini dilaksankan
di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi, Universitas Andalas. Hutan ini
terletak di sebelah timur kota padang dan berjarak ±12 km dari pusat kota.
Kawasan hutan ini di sebelah selatan berbatasan dengan sungai kecil Air Naras,
sebelah utara dengan Air Sekayan, sebelah timur bersambungan dengan hutan
milik penduduk dan sebelah barat bersambungan dengan lokasi kampus.
Topografi HPPB adalah berbukit-bukit dengan kemiringan 10-30%, terletak pada
ketinggian 200-500 m dari permukaan laut. Suhu udara di HPPB berkisar antara
24-29 0C dan kelembaban relatif 68- 90% (Rahman et al. 1994). HPPB menurut
Schmidt dan Ferguson untuk tipe iklim tergolong pada Tipe A (sangat basah)
dengan curah hujan tahun 1980 sampai tahun 1984 rata-rata tahunan Kuranji
5.546 mm/tahun, dan terakhir curah hujan tahun 1992 sampai dengan 2002 rata-
rata sebesar 3.723,9 mm/tahun. HPPB juga memiliki kesuburan tanah yang
tergolong cukup tinggi (Yasin et al. 2010).
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dilakukanlah kuliah lapangan

mengenai analisis vegetasi. Hal ini betujuan untuk untuk memahami proses

pengerjaan analisis vegetasi. Selain itu dapat memahami pengolahan data yang

diperoleh di lapangan dan diketahui struktur serta komposisi komunitas pada

lokasi HPPB.

1.2 Tujuan
II. TINJAUAN PUSTAKA

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa


jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan
bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu
penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Analisis vegetasi
merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebaran
berbagai spesies dalam suatu area melalui pengamatan langsung (Marsono, 1977).
Mulyana et al., (2005) mengemukakan bahwa struktur suatu
vegetasimerupakan organisasi dalam ruang, tegakan, tipe vegetasi atau
asosiasitumbuhan dengan unsur utamanya adalah bentuk pertumbuhan,
stratifikasi,dan penutupan tumbuhan. Lebih jauh, struktur vegetasi hutan dapat
dibagimenjadi tiga komponen, yaitu struktur vertikal (stratifikasi
berdasarkanlapisan tajuk), struktur horizontal (stratifikasi berdasarkan
penyebaranspasial individu suatu jenis dalam populasi), dan kelimpahan
jenis.Disamping ketiga komponen tersebut, masih terdapat struktur didalam
satuanwaktu, yaitu suksesi dan klimaks yang hanya dipusatkan pada struktur
spasialyang merupakan struktur yang berhubungan dengan waktu.
Analisa vegetasi merupakan cara untuk mempelajari susunan (komposisi
jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada
suatu kondisi hutan yang luas, kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan
sampling sehingga cukup ditempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili
habitat tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam sampling ini, yaitu
jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang
digunakan (Soerianegara, 2005).
Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Analisis data memerlukan data-data jenis, diameter dan tinggi
untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut.
Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan (Michael,1994).
Pada suatu wilayah yang berukuran luas atau besar, vegetasinya terdiri
dari beberapa bagian vegetasi atau komunitas tumbuhan yang menonjol. Hal ini
menyebabkan adanya berbagai tipe vegetasi. Vegetasi terdiri dari semua spesies
tumbuhan dalam suatu wilayah dan memperlihatkan pola distribusi menurut ruang
dan waktu. Tipe-tipe vegetasi sendiri dicirikan oleh bentuk pertumbuhan
tumbuhan dominan atau paling besar atau paling melimpah dan tumbuhan
karakteristik atau paling khas (Harjosuwarno, 1990).
Menurut Syafei (1990), dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai
metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam
mendeskripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini, suatu
metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam
bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai
kendala yang ada. Macam-macam metode analisis vegetasi yaitu metode
destruktif (metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik
yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan),metode nondestruktif
(berdasarkan penelaahan organism hidup), metode floristik (metode ini didasarkan
pada penelaahan organisme tumbuhan secara taksonomi), dan metode nonfloristik
(dunia tumbuhan dibagi berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran,
fungsi daun, bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan penutupan).
Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui
kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Beberapa rumus yang penting
diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu kerapatan (density),
dominansi, frekuensi dan indeks nilai penting. Kerapatan merupakan jumlah
individu dari satu jenis pohon dan tumbuhanlain yang besarnya dapat ditaksir atau
dihitung.Dominasi dapat diartikan sebagai penguasaan dari satu jenis terhadap
jenis lain (bisa dalam hal ruang,cahaya dan lainnya Frekuensi merupakan ukuran
dari uniformitas atau regularitas terdapatnya suatu jenis frekuensi memberikan
gambaran bagimana pola penyebaran suatu jenis,apakah menyebar keseluruh
kawasan atau kelompok. Indeks nilai penting Merupakan gambaran lengkap
mengenai karakter sosiologi suatu spesies dalam komunitas (Odum, 1993).
Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan
secaravertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan.
Stratifikasi merupakan ciri dari suatu hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis
memiliki stratifikasi disebabkan karena masing-masing tumbuhan penyususn
hutan hujan trropis memiliki karakteristik pertumbuhan sendiri. Pada
tipeekosistem hutan hujan tropis stratifikasi biasanya tersusun secara
lengkapterdiri dari lima strata (storey). Tiap lapisan di dalam stratifikasi disebut
stratumatau strata. Stratifikasi disebabkan oleh dua faktor yaitu persaingan dan
semi toleransi spesies (Soerianegara, 2005).
Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung dalam suatu
masyarakat tumbuhan antar spesies pohon yang ada. Akibat dari
kompetisi ini akan muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki
pertumbuhan yang kuat dan menjadi spesies yang dominan atau lebih
berkuasa dari individu lain. Individu pohon-pohon dominan yang terbentuk
tersebut akan mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Indriyanto, 2006).
Semi toleransi sifat-sifat spesies spesiesnya sangat dipengaruhi oleh
intensitas matahari. Spesies-spesies pohon yang intoleran mendapatkan
kesempatan ruang tumbuh dengan radiasi matahari penuh, sehingga proses
pertumbuhannya akan lebih cepat dan menjadi lebih tinggi.jenis individu intoleran
tidak tahan berada dibawah naungan, karena menyebabkan pertumbuhannya
menjadi lambat bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada individu pohon
dengan sifat toleran akan bertahan di bawah naungan jenis intoleran
(Soerianegara, 2005).
Stratifikasi terdiri atas lima lapisan, yaitu lapisan A, B C, D, dan E. Di
bawah lapisan A ada lapisan B. lapisan B merupakan penyusun utama ekosistem
hutan hujan tropis dengan tinggi rata-rata 30 m. Tajuk pohon pada lapisan B
saling bersambungan dengan pohon lainnya membentuk atap hutan. Pada lapisan
ini sinar matahari banyak tertahan untuk tidak sepenuhnya masuk ke dalam lantai
hutan.Begitu juga dengan air hujan yang jatuh di atas hutan. Lapisan C dan D
merupakan pohon-pohon yang lebih rendah. Dua lapisan ini merupakan
kelompok pohon yang belum sepenuhnya menjadi pohon dewasa. Pohon-pohon
pada lapisan ini pada akhirnya yang akan menggantikan pohon-pohon pada
lapisan B. Sementara itu, lapisan E merupakan lapisan lantai hutan berupa anakan
pohon dan herba (Indrawan, 2003).
III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Kuliah lapangan Ekologi Tumbuhan mengenai Analisis Vegetasi dan Stratifikasi


dilaksanakan pada Sabtu, 27 April 2019 di Hutan Pendidikan dan Penelitian
Biologi, Universitas Andalas.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini antara lain meteran,
pancang, tali rafia, cat phylox, alat tulis, aplikasi Auto Distance, dan kertas
milimeter.

3.3 Cara Kerja


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Vegetasi


Tabel 1.
No
Plot Spesies Diameter
Pohon
29 220 Milletia artopurpurea BENTH. 10,5 cm
30 228 Castanopsis hulleti KING. 11,6 cm
31 241 Macaranga triloba ARG. 8,5 cm
245 Aglaia trichostemon C.DC. 18,4 cm
246 Elateriospermum tapus BL. 15,5 cm
247 Lasianthus oblongus 17,2 cm
32 250 Elateriospermum tapus BL. 12, 8 cm
251 Elateriospermum tapus BL. 13,2 cm
252 Elateriospermum tapus BL. 16,8 cm
253 Elateriospermum tapus BL. 16,1 cm
254 Elateriospermum tapus BL. 12,6 cm
256 Croton argyratum HOOK F. 12,5 cm
34 268 Baringtonia sp1 34,8 cm
36 275 Pternandra echinata JACK 10,8 cm
Berdasarkan tabel 1, didapatkan 14 pohon dengan 9 spesies yang berada di dalam
6 plot berbeda. Pohon dengan diameter paling besar berada pada plot 34, yaitu
Baringtonia sp. dengan diameter sebesar 34,8 cm. Sedangkan pohon dengan
diameter paling kecil berada pada plot 31, yaitu Macaranga triloba dengan
diameter sebesar 8,5 cm.
Tabel 2. Analisis Data
No Spesies Diam Diam K KR F FR D DR NP
Pl
Poh eter eter
ot
on (m) (cm)
0,
Milletia 0,001 2,197 6,87 1,44 3,1 12,16
29 220 artopurpur 0,105 10,5 16
-5
6m % % x10 % 7%
ea BENTH. m
0,
Castanopsi 0,001 2,197 6,87 1,76 3,8 12,86
30 228 s hulleti 0,116 11,6 16
-5
6m % % x10 % 7%
KING. m
0,
Macarang 0,001 2,197 6,87 9,45 2,04 11,10
31 241 a triloba 0,085 8,5 16
-6
6m % % x10 % 7%
ARG. m
0,
Aglaia 0,001 2,197 6,87 4,42 9,5 18,56
245 trichostem 0,184 18,4 16
-5
6m % % x10 % 7%
on C.DC. m
Elateriosp 0,01 13,73 42,9 3,14 6,7 92,51
246 ermum 0,155 15,5 1
m 6% % x10-5 % 6%
tapus BL.
0,
0,001 2,197 6,87 1,64 3,5 12,56
Lasianthus 0,112 11,2 16
247
oblongus 6m % % x10-5 % 7%
m
Elateriosp 2,14 4,6 13,47
32 250 ermum 0,128 12,8
x10-5 % 7%
tapus BL.
Elateriosp 2,27 4,9
251 ermum 0,132 13,2
-5
x10 %
tapus BL.
Elateriosp 3,69 7,9
252 ermum 0,168 16,8
-5
x10 %
tapus BL.
Elateriosp 3,39 7,3
253 ermum 0,161 16,1
-5
x10 %
tapus BL.
Elateriosp 2,07 4,48
254 ermum 0,126 12,6
x10-5 %
tapus BL.
0,
Croton 0,001 2,197 6,87 2,04 4,41 13,47
256 argyratum 0,125 12,5 16
6m % % x10-5 % 7%
HOOK F. m
0,
0,001 2,197 6,87 1,58 43,06
Baringtoni 0,348 34,8 16 34%
34 268
a sp1 6m % % x10-5 7%
m
0,
Pternandr 0,001 2,197 6,87 1,52 3,2 12,26
36 275 a echinata 0,108 10,8 16
6m % % x10-5 % 7%
JACK m
Jumlah 99,98 97,3 99,4 228,6
Total % 6% 3% 02%
Berdasarkan tabel 2, didapatkan hasil analisis data
Berdasarkan tabel 2 pengamatan analisa vegetasi yang dilakukan dengan metode
belt transek tersebut didapatkan hasil bahwa pada transek yang diamati didapatkan
nilai kerapatan total sebesar 0,0061 m dengan kerapatan relatifnya 99,98%,
sedangkan nilai frekuensi total 0,16 dengan frekuensi relatifnya 97,36%. Nilai
total Densitas yang didapatkan adalah 19066.832 x 10-5 dengan densitas relative
99,43%. Indeks nilai penting yang didapatkan memiliki 470,672
Nilai kerapatan total sebesar 0,0144 dari transek tersebut menandakan
bahwa tingkat kerapatan total pada transek ini adalah rendah. Ini didapatkan
berdasarkan jumlah suatu spesies per luas daerah transek. Hal ini sesuai dengan
pendapat Arrijani (2006) yang mengatakan bahwa kerapatan suatu spesies
menunjukkan jumlah individu spesies dengan satuan luas tertentu, maka nilai
kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada lokasi
pengamatan. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana distribusi dan pola penyebarannya.
Sedangkan nilai frekuensi total 2,28 dari transek tersebut menandakan
bahwa keberadaan tumbuhan didaerah ini cukup tinggi. hal ini sesuai dengan
pendapat Raunkiser dalam shukla dan Chandel (1977) yang mengatakan bahwa
frekuensi merupakan ukuran dari regularitas terdapatnya suatu jenis. Frekuensi
memberikan gambaran pola penyebaran suatu jenis, dan menyebar keseluruh
kawasan atau kelompok. Hal ini menunjukan daya penyebaran dan adaptasinya
terhadap lingkungan. Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan
jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat.
Nilai total dominansi yang didapatkan adalah 40,55 x 10-5 dari transek
tersebut menandakan bahwa tingkat distribusi dari tanaman yang ada disekitar
transek sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat (Umar, 2013) yang
mengatakan bahwa kriteria indeks dominansi dibagi dalam 3 kategori yaitu 0,01 -
0,30 yang berarti tingkat dominansi rendah, 0,31 – 0,60 berarti dominansi sedang
dan 0,61 – 1,0 berarti tingkat dominansi tinggi. Syafei (1990) yang mengatakan
bahwa dominansi ditentukan berdasarkan penutupan daerah cuplikan oleh
populasi jenis tumbuhan. Menurut Greig-Smith (1983) pola distribusi dari
tanaman dipengaruhi oleh nilai frekuensi suatu jenis secara langsung. Nilai
distribusi dapat memberikan informasi tentang keberadaan tumbuhan tertentu
dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu
pada masing-masing plot.
Indeks nilai penting yang didapatkan pada transek ini adalah 470,672.
Nilai ini didapatkan dari hasil perhitungan total kerapatan relatif, dominansi
relatif, dan frekuensi relatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerianegara dan
Indrawan (2005) yang mengatakan bahwa Nilai Penting dihitung berdasarkan
penjumlahan nilai Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Dominansi Relatif.
Menurut Soegianto (1994) nilai penting digunakan untuk menetapkan dominasi
suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting
menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai
Penting jenis tumbuhan pada suatu komunitas merupakan salah satu parameter
yang menunjukkan peranan jenis tumbuhan tersebut dalam komunitasnya
tersebut. Kehadiran suatu jenis tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan
kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan. Semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat
penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya. Penguasaan spesies tertentu
dalam suatu komunitas apabila spesies yang bersangkutan berhasil menempatkan
sebagian besar sumberdaya yang ada dibandingkan dengan spesies yang lainnya
(Saharjo dan Cornelio, 2011).
Indeks keanekaragaman dari transek tersebut adalah 2.9067. Angka ini
mendekati angka tiga. Ini menandakan bahwa tingkat keanekaragaman di transek
ini sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Krebs (1989) yang mengatakan
bahwa jika indeks keanekaragamannya bernilai >1 maka tingkat
keanekaragamannya rendah, jika indeks keanekaragamannya berkisar ntara 1-3
maka tingkat keanekaragamannnya sedang dan jika >3 maka tingkat
keanekaragamannya tinggi.
Kenekaragaman cenderung jadi tinggi di dalam komunitas yang lebih tua
dan rendah dalam komunitas yang baru tertbentuk. Sementara produktivitas atau
arus energi seluruhnya jelas mempengaruhi keanekaragaman jenis, kedua kualitas
itu tidak berhubungan dalam cara linier yang sederhana manapun (Odum, 1993).
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa komunitas
memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas terjadi interaksi jenis yang
tinggi pula. Jumlah spesies dalam komunitas sangat penting dari segi ekologi,
karena keanekaragaman jenis akan bertambah bila komunitas menjadi stabil.
Gangguan parah menyebabkan penurunan yang nyata dalam keanekaragaman.
Keanekaragaman yang besar juga mencirikan sejumlah besar corak
(Michael,1994).

4.2 Stratifikasi
Tabel 3. Tabel Stratifikasi Plot 10x10 m
Tinggi Bebas
No Nama Spesies Tinggi Total Diameter (m)
Cabang
1. Swietenia mahagoni 10,3 m 3,81 m 0,438 m
2. Swietenia mahagoni 11,2 m 2,3 m 0,468 m
3. Leucaena glauca 8,4 m 4,7 m 0,21 m
4. Leucaena glauca 8,2 m 2,5 m 0,23 m
5. Leucaena glauca 8,2 m 2,4 m 0,175 m
6. Sp 1 4,7 m 3,5 m 0,13 m
Berdasarkan tabel 3 diatas, didapatkan 3 jenis pohon dengan jumlah total 6 pohon
dalam plot 10x10 m. Pohon nomor 1, yaitu Swietenia mahagoni memiliki tinggi
total 10,3 m, tinggi bebas cabang 3,81 m, dan diameter pohon sebesar 0,438 m.
Pohon nomor 2, yaitu Swietenia mahagoni memiliki tinggi total 11,2 m, tinggi
bebas cabang 2,3 m, dan diameter pohon sebesar 0,468 m. Pohon nomor 3, yaitu
Leucaena glauca memiliki tinggi pohon 8,4 m, tinggi bebas cabang 4,7 m, dan
diameter 0,21 cm. Pohon nomor 4, yaitu Leucaena glauca memiliki tinggi pohon
8,2 m, tinggi bebas cabang 2,5 m, dan diameter sebesar 0,23 m. Pohon nomor 5,
yaitu Leucaena glauca memiliki tinggi pohon 8,2 m, tinggi bebas cabang 2,4 m,
dan diameter 0,175 cm. Yang terakhir adalah pohon Sp 1 memiliki tinggi pohon
4,7 m, tinggi bebas cabang 3,5 m, dan diameter 0,13 cm.
Menurut Indriyanto (2006), stratifikasi merupakan distribusi tetumbuhan
dalam ruangan vertikal. Semua spesies tumbuhan dalam komunitas tidak sama
ukurannya, serta secara vertikal tidak menempati ruang yang sama. Dalam
ekosistem hutan, stratifikasi terbentuk dari susunan tajuk pohon-pohon menurut
arah vertikal dan terjadi karena adanya pohon pohon yang menduduki kelas pohon
dominan, pohon kodominan, pohon tengahan, pohon tertekan, dan pohon
bawah/mati (Indriyanto, 2006).
Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan
antar individu pohon yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat mineral.
Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan
diantara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang
kuat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau rawang menghasilkan
pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dan pendek. Suatu hutan
yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat
optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar
matahari dan zat hara mineral dalam tanah. Dengan demikian hutan yang tajuknya
kurang rapat berfungsi kurang efisien kecuali bila areal terbuka, di isi dengan
permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut
biasanya ditumbuhi gulma yang menganggu pertumbuhan jenis pohon utama atau
tanaman pokok (Indriyanto, 2008).
Kanopi dari hutan hujan tropis seringkali terdiri atas berbagai lapisan
tajuk. Formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan strata yang berbeda pula.
Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-
individu dari suatu jenis atau beberapa jenis, apabila tumbuh-tumbuhan tersebut
mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral, air, cahaya dan
ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan adalah mengakibatkan jenis-jenis
tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada yang lain, sehingga terbentuk
stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi pada
stratumteratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-
jenis yangmencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan
Indrawan, 1988).
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Pada analisis vegetasi didapatkan 14 pohon dengan 9 spesies yang berada di


dalam 6 plot berbeda. Pohon dengan diameter paling besar berada pada plot 34,
yaitu Baringtonia sp. dengan diameter sebesar 34,8 cm. Sedangkan pohon
dengan diameter paling kecil berada pada plot 31, yaitu Macaranga triloba
dengan diameter sebesar 8,5 cm.
2. Dari pengolahan data analisis vegetasi didapatkan hasil bahwa pada transek
yang diamati didapatkan nilai kerapatan total sebesar 0,0061 m dengan
kerapatan relatifnya 99,98%, sedangkan nilai frekuensi total 0,16 dengan
frekuensi relatifnya 97,36%. Nilai total Densitas yang didapatkan adalah
19066.832 x 10-5 dengan densitas relative 99,43%. Indeks nilai penting yang
didapatkan memiliki 470,672
3. Pada stratifikasi didapatkan 3 jenis pohon dengan jumlah total 6 pohon dalam
plot 10x10 m. Pohon nomor 1, yaitu Swietenia mahagoni dengan tinggi total
10,3 m, tinggi bebas cabang 3,81 m, dan diameter pohon sebesar 0,438 m.
Pohon nomor 2, yaitu Swietenia mahagoni dengan tinggi total 11,2 m, tinggi
bebas cabang 2,3 m, dan diameter pohon sebesar 0,468 m. Pohon nomor 3,
yaitu Leucaena glauca dengan tinggi pohon 8,4 m, tinggi bebas cabang 4,7 m,
dan diameter 0,21 cm. Pohon nomor 4, yaitu Leucaena glauca dengan tinggi
pohon 8,2 m, tinggi bebas cabang 2,5 m, dan diameter sebesar 0,23 m. Pohon
nomor 5, yaitu Leucaena glauca memiliki tinggi pohon 8,2 m, tinggi bebas
cabang 2,4 m, dan diameter 0,175 cm. Yang terakhir adalah pohon Sp 1
memiliki tinggi pohon 4,7 m, tinggi bebas cabang 3,5 m, dan diameter 0,13 cm.

5.2 Saran
Adapun saran yang dibutuhkan untuk kuliah lapangan yang lebih baik kedepannya
yaitu agar praktikan memahami materi yang dipraktekkan dan lebih serius dalam
melakukan kuliah lapangan.
DAFTAR PUSTAKA

Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Studies in Ecology. Volume


9. Oxford:Blackwell Scientific Publications.
Harjosuwarno, S. 1990. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Yogyakarta.
Indrawan. 2013. Ekologi Hutan Indonesia. LaboratoriumEkologi. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Michael, P.E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. Universitas Indonesia. Jakarta.
Mulyana, M., T.Hardjanto dan G.Hardiansyah. 2005. Membangun Hutan
Tanaman. Meranti. Membedah Mitos Kegagalan Melanggengkan
TradisiPengusahaan Hutan. Wana Aksara Serpong Tangerang.
Natassa, dkk. 2010. Analisa Vegetasi dengan Metode Kuadran.
(http://riyantilathyris.wordpress.com/2010/11/26/laporan-analisis-
vegetasi/) (Diaskses pada 28 April 2019): Makasssar.
Naughton.1973. Ekologi Umum edisi Ke 2. UGM Press : Yogyakarta
Odum, E. 1993. Fundamentals Of Ecology. W.B.Saunder Company Philadelphia.
London, Toronto.
Setiadi, D. 1984. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan Bawah dalam Hubungannya
dengan Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di Daerah Hutan Jati
Cikampek, KPH Purwakarta, Jawa Barat. Bogor: Bagian Ekologi,
Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB.
Syafei, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB. Bandung.

Yasin S, Fadilah R, Darfis I. 2010. Perbedaan tingkat kesuburan tanah lapisan


atas (top soil) pada berbagai topografi Hutan Penelitian dan Pendidikan
Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jerami 3(1): 58-62
Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East (Chapter Two Forest
Structure) 1st Edition. Oxford University Press. Oxford.
Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Buku.
Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 103 p.
LAMPIRAN

1. Analisa Vegetasi
Plot Nomor pohon Spesies Diameter
29 220 Milletia artropurpurea BENTH 10,5 cm

30 228 Castanopsis hulleti 11,6 cm

31 241 Macaranga triloba 8,5 cm


245 Aglaia trichoctemon 18,4 cm

246 Elasteriospermum tapus L 15,5 cm

247 Laisanthus oblongus 11,2 cm


32 250 Elateriuspermum tapus BL 12,8 cm

251 Elateriuspermum tapus BL 13,2 cm


252 Elateriuspermum tapus BL 16,8 cm
253 Elateriuspermum tapus BL 16,1 cm
254 Elateriuspermum tapus BL 12,6 cm
256 Croton argyantum HOOK F 12,5 cm

34 268 Baringtonia Sp. 34,8 cm

36 275 Pternandra echinata JACK 10,8 cm

A. Kerapatan
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 (𝑚𝑐)
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 =
𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑎𝑠 (𝑚2 )
1
1. 𝑁𝑜. 220 = 600 = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
𝑚
1
2. 𝑁𝑜. 228 = 600 = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
𝑚
1
3. 𝑁𝑜. 241 = 600 = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
𝑚
1
4. 𝑁𝑜. 245 = = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
600 𝑚
6
5. 𝑁𝑜. 246 = 600 = 0,01 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
𝑚
1
6. 𝑁𝑜. 247 = = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
600 𝑚
1
7. 𝑁𝑜. 256 = = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
600 𝑚
1
8. 𝑁𝑜. 268 = = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
600 𝑚
1
9. 𝑁𝑜. 275 = = 0,0016 𝑖𝑛𝑑⁄ 2
600 𝑚
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 0,000216
B. Kerapatan Relatif
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 (𝑖𝑛𝑑⁄𝑚)
𝐾𝑅 = × 100%
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 (𝑖𝑛𝑑⁄𝑚)
0,0016
1. 𝑁𝑜. 220 = × 100% = 7,017 %
0,0228
0,0016
2. 𝑁𝑜. 228 = × 100% = 7,017 %
0,0228
0,0016
3. 𝑁𝑜. 241 = × 100% = 7,017 %
0,0228
0,0016
4. 𝑁𝑜. 245 = 0,0228
× 100% = 7,017 %
0,01
5. 𝑁𝑜. 246 = × 100% = 43,85 %
0,0228
0,0016
6. 𝑁𝑜. 247 = × 100% = 7,017 %
0,0228
0,0016
7. 𝑁𝑜. 256 = 0,0228
× 100% = 7,017 %
0,0016
8. 𝑁𝑜. 268 = 0,0228
× 100% = 7,017 %
0,0016
9. 𝑁𝑜. 275 = 0,0228
× 100% = 7,017 %

C. Dominansi
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟
𝐷= × 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑏 𝑝𝑙𝑜𝑡

1. Milletia artropurpurea BENTH


𝜋𝑟 2 (𝑚2 )
𝐷=
6 (10 × 10) (𝑚2 )
3,14 × 0,00275625
=
600
0,008654625
=
600
= 0,0000144
2. Castanopsis hulleti
0,01056295
=
600
= 0,0000176
3. Macaranga triloba
0,005671625
=
600
= 0,00000945
4. Aglaia trichoctemon
0,02657696
=
600
= 0,0000442
5. Elasteriospermum tapus L
0,018859625
=
600
= 0,0000314
6. Laisanthus oblongus
0,00984704
=
600
= 0,0000164
7. Elateriuspermum tapus BL
0,01286144
=
600
= 0,0000214
8. Elateriuspermum tapus BL
0,01367784
=
600
= 0,0000207
9. Elateriuspermum tapus BL
0,02215584
=
600
= 0,0000369
10. Elateriuspermum tapus BL
0,020347985
=
600
= 0,0000339
11. Elateriuspermum tapus BL
0,01246266
=
600
= 0,0000207
12. Croton argyantum HOOK F
0,012265625
=
600
= 0,0000204
13. Baringtonia Sp.
0,09506664
=
600
= 0,000158
14. Pternandra echinata JACK
0,00915624
=
600
= 0,0000152
D. Dominansi Relatif
1. Milletia artropurpurea BENTH
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
0,0000144
= × 100%
0,000462

= 3,1 %
2. Castanopsis hulleti
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1,76 ×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 3,8 %
3. Macaranga triloba
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
9,45 ×10−6
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 2,04 %
4. Aglaia trichoctemon
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
4,42 ×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 9,5 %
5. Elasteriospermum tapus L
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
3,14 ×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 6,7 %
6. Laisanthus oblongus
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1,64×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 3,5 %
7. Elateriuspermum tapus 2
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
2,14×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 4,6 %
8. Elateriuspermum tapus 3
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
2,27×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 4,9 %
9. Elateriuspermum tapus 4
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
3,69 ×10−5
= × 100%
4,62 ×10−4

= 7,9 %
10. Elateriuspermum tapus 5
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
3,39×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

=7,3 %
11. Elateriuspermum tapus 6
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
2,07×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 4,18 %
12. Croton argyantum
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
2,04×10−5
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 4,41 %
13. Baringtonia Sp.
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1,58×10−4
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 34 %
14. Pternandra echinata
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
9.52×10−3
= 4,62 ×10−4 × 100%

= 3,2 %

∑ Dominansi relatif = 3,1% + 3,8% + 2,04 % + 9,5% + 6,7%


+ 3,5% + 4,6% + 4,9% + 7,9% + 7,3% + 4,48%
+ 4,41% + 34% + 3,2%

= 99,43 %
E. Frekuensi
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 (𝑖𝑛𝑑)
𝐷=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 (𝑝𝑙𝑜𝑡)

1
1. Milletia artropurpurea BENTH = 6 = 0,16 ind⁄plot
1
2. Castanopsis hulleti = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
3. Macaranga triloba = 6 = 0,16 ind⁄plot
1
4. Aglaia trichoctemon = 6 = 0,16 ind⁄plot

6
5. Elasteriospermum tapus L = 6 = 1 ind⁄plot

1
6. Laisanthus oblongus= 6 = 0,16 ind⁄plot

1
7. Elateriuspermum tapus BL = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
8. Elateriuspermum tapus BL = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
9. Elateriuspermum tapus BL = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
10. Elateriuspermum tapus BL = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
11. Elateriuspermum tapus BL = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
12. Croton argyantum HOOK F = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
13. Baringtonia Sp. = 6 = 0,16 ind⁄plot

1
14. Pternandra echinata JACK = 6 = 0,16 ind⁄plot

F. Frekuensi Relatif

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐹𝑅 = × 100%
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

0,16
1. Milletia artropurpurea BENTH = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
2. Castanopsis hulleti = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
3. Macaranga triloba = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
4. Aglaia trichoctemon = 2,33 × 100% = 6,87%
1
5. Elasteriospermum tapus L = 2,33 × 100% = 42,9%
0,16
6. Laisanthus oblongus = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
7. Elateriuspermum tapus BL = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
8. Elateriuspermum tapus BL = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
9. Elateriuspermum tapus BL = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
10. Elateriuspermum tapus BL = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
11. Elateriuspermum tapus BL = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
12. Croton argyantum HOOK F = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
13. Baringtonia Sp. = 2,33 × 100% = 6,87%
0,16
14. Pternandra echinata JACK = × 100% = 6,87%
2,33

G. INP (Indeks Nilai Penting)

Np = Kr+fr+Dr

1. Milletia artropurpurea BENTH = 2,197% + 6,87% + 3,1% = 12,167 %


2. Castanopsis hulleti = 2,197% + 6,81% + 3,8% = 12,867 %
3. Macaranga triloba = 2,197% + 6,87% + 2,04% = 11,107 %
4. Aglaia trichoctemon = 2,197% + 6,87% + 9,5% = 18,567 %
5. Elasteriospermum tapus L = 13,736% + 42,9% + 6,7% = 63,336 %
6. Laisanthus oblongus = 2,197% + 6,87% + 3,5% = 12,567 %
7. Elateriuspermum tapus BL = 13,736% + 42,9% + 35,88% = 92,516 %
8. Croton argyantum HOOK F = 2,197% + 6,87% + 4,41% = 13,447 %
9. Baringtonia Sp. = 2,197% + 6,87% + 34% = 42,067 %
10. Pternandra echinata JACK= 2,197% + 6,87% + 3,2% = 12,267 %
2. Stratifikasi

Anda mungkin juga menyukai