Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

TAKSONOMI HEWAN VERTEBRATA


IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN KUNCI DETERMINASI
KELAS AMPHIBI

OLEH :
NURJATMI PUTERI MAYANG SARI (1310421043)
KELOMPOK : 1 C GANJIL
ANGGOTA KELOMPOK :
1. MUHAMMAD ARIF (1310421083)
2. INTAN RIEZA SATIOVA (1310422011)
3. SUCI MAYASTIK KASTIKA (1310422015)
4. NISSA ARIFA (1310422023)
ASISTEN PENDAMPING : 1. FAUZIAH
2. ROZA PUSPITA

LABORATURIUM TAKSONOMI HEWAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2015
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke serta terletak antara dua samudera dan
dua benua. Kondisi tersebut membuat kekayaan hayati baik flora maupun
faunanya menjadi tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya spesies yang
ditemukan pada berbagai wilayah dengan karakter yang khas. Salah satu kekayaan
hayati di Indonesia adalah dari kelompok amphibi. Jumlah amphibi di Indonesia
sekitar 489 spesies, di Sumatera sekitar 90 spesies (Mistar, 2003).
Sumatera merupakan pulau ketiga terbesar di Indonesia setelah Papua dan
Kalimantan. Sumatera merupakan bagian dari Kawasan Oriental, karena sebagian
besar fauna berada di kawasan ini tidak dapat dijumpai di kawasan lain. Sebagai
pulau besar, sumatera memiliki peranan yang penting karena memiliki penyebaran
zoogeografi yang unik seperti amphibi. Secara geografis pulau Sumatera terdiri
dari wilayah pegunungan, lembah dan dataran rendah atau kawasan pantai,
sehingga besar kemungkinan terjadi perbedaan pola adaptasi pada masing-masing
daerah, kejadian ini akan menimbulkan tingginya variasi dan diferensiasi pada
masing-masing populasi, sehingga sangat menarik untuk diteliti (Nurcahyani, N,
M. Kanedi dan E.S Kurniawan, 2009).
Perbedaan posisi geografis dan kondisi ekologis serta adanya barier-barier
fisik pada suatu wilayah merupakan faktor penting yang diduga kuat dapat
memicu spesifikasi terhadap ekspresi dari gen yang akan menyebabkan
munculnya variasi dan diferensiasi karakter antar populasi. Kondisi ini dapat
terjadi melalui mekanisme isolasi antar populasi, keterbatasan migrasi dan
perbedaan tekanan faktor lingkungan terhadap spesies sehingga populasi yang
terpisah atau memiliki ekotifik yang berbeda akan memperlihatkan variasi dan
diferensiasi karakter. Variasi dan diferensiasi ini pada dasarnya merupakan cikal
bakal dari rangkaian mekanisme perubahan yang lebih besar dan spesifik menuju
ke arah spesiasi (Hill dan Wiens, 2000).
Menurut Iskandar (1998), beberapa jenis amphibi dikhawatirkan akan
punah karena manusia banyak memperjualbelikan dan juga mengkonsumsinya
terutama jenis Limnonectes macrodon. Salah satu kendala yang menghambat
upaya konservasi amfibi adalah minimnya data tentang status populasi dan
penyebaran distribusinya sehingga belum satu pun jenis amfibi di Sumatera yang
masuk dalam daftar satwa terancam punah dalam IUCN. Di dalam Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1999 juga belum terdaftar satu jenis amfibi pada lampiran
jenis-jenis satwa yang dilindungi. Dengan tidak diketahuinya status populasi dan
distribusi spesies-spesies amfibi maka hilangnya satu spesies maupun laju
penyusutan populasi menjadi sulit dipantau sedangkan laju kerusakan dan alih
fungsi hutan sangat cepat.
Morfometri merupakan salah satu cara untuk mengetahui keanekaragaman
dari suatu spesies dengan melakukan pengujian terhadap karakter fenetik
(morfologi) secara umum. Data morfometri dapat digunakan untuk menjelaskan
ada atau tidaknya variasi dan diferensiasi antar populasi. Setiap karakter yang
diamati umumnya merupakan akibat adanya interaksi gen-gen yang eksprasinya
dipengaruhi oleh lingkungan (Munshi and Dutta, 1996).
Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan
sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan. Meskipun deskripsi
secara kualitatif dapat dianggap cukup memadai, namun seringkali diperlukan
untuk mengekspresikan perbedaan tersebut secara kuantitatif dengan mengambil
berbagai ukuran dari individu-individu dan menyatakan dalam statistik (misalnya
rata-rata, kisaran, ragam, dan korelasi dari ukuran-ukuran tersebut). Hal yang
sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik (ciri-ciri yang bisa dihitung) misalnya
jari-jari sirip. Terdapat perbedaan mendasar antara ciri morfometrik dan meristik,
yaitu ciri meristik bersifat stabil jumlahnya selama masa pertumbuhan setelah
ukuran tubuh yang mantap tercapai, sedangkan karakter morfometrik berubah
secara kontinu seiring dengan bertambahnya ukuran dan umur (Strauss dan Bond,
1990 dalam Imron, 1998).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian morfometrik dan meristik


sangat penting untuk mengenal dan melestarikan amphibi serta menghindari
kepunahannya, sehingga praktikum mengenai identikasi morfologi dan kunci
determinasi amphibi sangat penting untuk dilakukan.
I.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum taksonomi hewan vertebrata kelas Amphibi adalah
mengetahui karakter dan sifat-sifat kelas Amphibi, untuk pengidentifikasian dan
pengklasifikasian serta mengetahui jenis-jenis dari kelas Amphibi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Herpetofauna berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Dahulu, sebelum
ilmu taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi satu
kelompok hewan karena dianggap sama-sama melata. Dengan berkembangnya
ilmu, mereka kini menjadi dua kelompok terpisah. Kedua kelompok ini masuk ke
dalam satu bidang yaitu ilmu herpetologi karena mereka mempunyai cara hidup
dan habitat yang hampir serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal
(membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk pengamatan dan
koleksi yang serupa (Kusrini, et al., 2008).
Herpetofauna Sumatera kurang diteliti dibandingkan Pulau Jawa. Hal ini
terlihat dari tabulasi Amphibi dari ordo Anura yang hanya berjumlah 90 spesies,
ini jauh lebih kecil jika dibandingkan Anura yang telah diketahui di Kalimantan
yaitu 148 spesies dengan luas daerah yang lebih besar dan Semananjung Malaysia
dengan seratus satu spesies dengan luas area yang lebih kecil (Inger and Voris,
2001). Menurut David and Vogel (1996) dengan tingginya proporsi dari hewan
endemik di Sumatera yaitu sebesar 20,3% menjadikan pulau Sumatera menempati
peringkat pertama dalam hal kekayaan spesies dari hewan-hewan herpetofauna
untuk kawasan Asia.
Amphibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti
hidup. Secara harfiah amphibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam,
yakni dunia darat dan air. Amphibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang
yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan
berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan
jari (Zug, 1993).
Amphibi merupakan hewan poikilotermik yang memiliki metabolisme
darah rendah atau dapat dikatakan hewan berdarah dingin. Oleh karena itu hewan
ini tidak mampu makan dalam waktu yang relatif lama. Amphibi sangat peka
terhadap perubahan lingkungan. Kepekaan ini dapat dijadikan sebagai indikator
terjadinya perubahan lingkungan disekitarnya. Dampak perubahan lingkungan
terlihat pula pada penurunan populasi yang disertai turunnya keanekaragaman
jenis kodok (Jasin, 1992).
Kelas Amphibi memiliki tiga ordo yaitu Gymnophiona, Caudata dan
Anura. Ordo Caudata memang tidak terdapat di Indonesia dan hanya ditemukan
didaerah temperata. Daerah terdekat yang dihuni oleh anggota ordo ini adalah
Vietnam Utara, Laos, dan Thailand Utara. Ordo Gymnophiona sulit ditemukan
karena kebiasaan hidup mereka di dalam liang-liang tanah (fossorial) dan hanya
keluar dari tanah ketika hujan lebat terjadi. Perairan yang keruh menyebabkan
sulitnya menemukan spesies dari ordo ini. Bentuk morfologinya yang menyerupai
cacing dan aktif pada malam hari dan membutuhkan perairan yang bersih
membuat spesies dari ordo ini sulit ditemukan (Mistar, 2003).
Ordo Anura secara morfologi mudah dikenal, karena struktur tubuhnya
seperti berjongkok di mana ada empat kaki untuk melompat, bentuk tubuh
pendek, leher yang tidak jelas, tanpa ekor, mata melotot dan memiliki mulut yang
lebar. Tungkai belakang selalu lebih panjang dibanding tungkai depan. Tungkai
depan memiliki 4 jari sedangkan tungkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya
bervariasi dari yang halus hingga kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang
ditemukan seperti pada famili Bufonidae. Ukuran katak di Indonesia bervariasi
mulai dari yang terkecil yakni 10 mm hingga yang terbesar mencapai 280 mm
(Iskandar, 1998). Katak di Sumatera diketahui berukuran antara 20 mm – 300 mm
(Mistar, 2003).
Anura sebagai indikator biologi di alam memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap perubahan yang terjadi pada habitatnya. Penurunan populasi Anura di alam
mengakibatkan keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem terganggu
(Nurcahyani, Kanedi dan Kurniawan, 2009). Keberadaan amphibi sangat dipengaruhi
kondisi iklim, tanah, topografi dan vegetasi, baik dalam areal yang sempit ataupun
luas, dimana semua akan saling berhubungan dan membentuk komunitas biotik.
Salah satu ordo Anura yang umum ditemukan dari famili Bufonidae. Penyebaran dari
famili Bufonidae dengan spesies B. melanostictus dimulai dari India, Indocina sampai
ke Indonesia, sedangkan penyebaran B. asper dimulai dari Indocina sampai ke
Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Barat kedua spesies tersebut ditemukan
dari 384-1500 mdpl dan belum diketahui lebih jelas mengenai filogenetik khususnya
sungai barat dan timur serta Bukit Barisan seperti yang ada di pulau Sumatera
(Alikodra, 1979; Iskandar, 1998; Mistar dan Iskandar, 2003).
Ordo Gymnophiona (sesilia) merupakan satu-satunya ordo dari amfibi
yang tidak mempunyai tungkai. Sesilia sangat mirip dengan cacing tapi
mempunyai mulut dan mata yang jelas, biasanya terdapat garis kuning pada sisi
bagian tubuhnya. Kemudian ordo ketiga adalah ordo Caudata (salamander)
mempunyai empat tungkai, mempunyai mata yang jelas dan mulut yang jelas
(Mistar, 2003).
Amphibi adalah kelas dari vertebrata yang dianggap setingkat lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas Pisces, hal ini dikarenakan sebagai bentuk peralihan
dari kehidupan air ke kehidupan darat. Ciri-ciri dari hewan amphibi ini yaitu
berdarah dingin (poikilotermik), mempunyai kulit yang lunak tanpa ditutupi oleh
rambut atau bulu, membutuhkan air di dalam siklus hidupnya, habitatnya
mencakup mulai dari dekat perairan payau, pemukiman penduduk, hutan
belantara, sampai kepada ketinggian 2.500 meter dari permukaan laut, dan hewan
dari kelompok ini dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan (Djuanda, 1974).
Adapun ciri-ciri umum anggota amphibia adalah sebagai berikut,
memilliki anggota gerak yang secara anamotis pentadactylus, kecuali pada apoda
yang anggota geraknya tereduksi, tidak memiliki kuku dan cakar, tetapi ada
beberapa anggota amphibia yang pada ujung jarinya mengalami penandukan
membentuk kuku dan cakar, contoh Xenopus sp, kulit memiliki dua kelenjar yaitu
kelenjar mukosa dan atau kelenjar berbintil (biasanya beracun) (Jafnir, 1984).
Ada beberapa karakteristik dari amphibi, diantaranya amphibia
berkembang biak dengan menghasilkan telur, kecuali pada genus Oreophryne dan
keempat jenis Philautus. Amphibia melakukan metamorfosis dengan tahapan
telur, larva (berudu), katak muda, dan katak dewasa. Selama perkembangannya,
amphibia hidup di dua tempat, di air dan tempat yang lembab dari daratan. Telur-
telur individu yang belum matang hidup di dekat air dan dewasa mulai aktif di
darat namun tidak pernah jauh dari air. Dewasa ditemukan di tanah dekat kolam-
kolam, aliran sungai, serasah, goa dan bagian lain dari air segar atau ditempat-
tempat lain yang lembab seperti dibawah pohon atau dibawah batu, di kayu-kayu
yang agak lembab. Amphibia daratan yang agak terkenal adalah katak khususnya,
sangat aktif saat malam ketika kelembaban relatif tinggi (Bartlett, 1988).
Menurut Iskandar (1998), kelompok amfibi ini hidup tersebar luas di mana
amfibi dapat hidup di tempat yang beragam, mulai dari hutan primer sampai
tempat yang ekstrim sekali. Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat
dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni 1). Teresterial, spesies-spesies
yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan, jarang sekali berada pada tepian
sungai, memanfaatkan genangan air atau di kolam di lantai hutan serta di antara
serasah daun yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil
untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan
Leptobracium sp. 2). Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan
berkembang biak di genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang
pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa
spesies arboreal mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa
untuk menjaga kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya
terdapat air. Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes
hosii. 3).Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada
badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan
mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana
dan Rana siberut. 4).Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah,
spesies ini jarang dijumpai.
III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum identifikasi morfologi dan kunci determinasi Amphibi dilaksanakan
pada hari Selasa, tanggal 10 Maret dan 17 Maret 2015 di Laboratorium
Pendidikan I, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Andalas, Padang.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kamera, bak bedah,
penggaris, dan pinset. Bahan yang digunakan adalah Dutaphrynus melanotictus,
Phrynoidis asper, Leptobrachium abbotti, Ichthyophis glutinosus, Fejerfarya
cancrivora, Huia sumatrana, Hylarana rufipes, Hylarana nicobariensis,
Limnonectes kuhlii, Hylarana picturata, Polypedates otilophus, Hylarana
erythraea, Hylarana parvacolla, Odorrana hosii, dan Polypedates leucomistax.

3.3 Cara Kerja

Objek diletakkan pada bak bedah dengan posisi kepala di sebelah kiri. Objek
diamati morfologinya dan kemudian digambar. Kemudian dilakukan pengukuran
serta perhitungan terhadap karakteristiknya, yaitu sebagai berikut: panjang badan
(PB), panjang kaki depan (PKD), panjang kaki belakang (PKB), diameter mata
(DM), urutan panjang jari kaki depan (UPJKD), lebar kepala (LK), panjang tibia
fibula (PTF), panjang moncong (PM), jarak inter orbital (JIO), urutan panjang jari
kaki belakang (UPJKB), panjang kepala (PK), panjang femur (PF), diameter
tympanum (DT), jarak inter nares (JIN) dan juga karakter meristik berupa ada atau
tidak alur supra orbital, gigi fomer, processus odontoid, selaput renang, bentuk
kelenjer paratoid bentuk kaki ujung jari, ada atau tidak lipatan dorsal lateral fold
dan warna kulit. Setelah dilakukan pengukuran, kunci determinasi pun dapat
dibuat berdasarkan deskripsi atau ciri khas yang kita lihat pada pengamatan
praktikum.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi
4.1.1 Bufonidae
4.1.1.1 Dutaphrynus melanotictus Schneider, 1799
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Amphibi
Ordo : Anura
Familia : Bufonidae
Genus : Dutaphrynus
Species : Dutaphrynus melanotictus
Inger dan Stuebing, 1997
Gambar 1. Dutaphrynus
melanotictus
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 6: 4= 0,67 mm, berarti
diameter matanya 0,67 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 15:22= 1,47 mm, berarti panjang kepalanya 1,47 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 57:44= 0,77 mm, berarti panjang badannya 0,77 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki banyak tubercle, warna thympanum kuning,
warna webbing coklat muda dan kelenjar paratoid membulat.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini memiliki banyak tubercle atau bintik-bintik besar dan kecil di
permukaan tubuhnya, diatas kepala terdapat gigir keras berwarna kehitaman
menonjol yang bersambungan. Memiliki sepasang kelenjar parotoid (kelenjar
racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk. Telapak tangan dan kaki
dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan
selaput renang yang sangat pendek.
Menurut Iskandar (2006), spesies ini memiliki bintil-bintil kasar di
punggung dengan ujung kehitaman dan tidak memiliki selaput renang. Warna
punggung bervariasi antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai
kehitaman. Pada tubuh terdapat garis supraorbital berwarna hitam, alur-alur supra-
orbital dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal.
Hewan ini tersebar di daerah Kawasan ekosistem Leuser, Bukit Lawang,
Medan, Belawan, Jawa, Kalimantan dan beberapa daerah lainnya hewan ini
sering dijumpai dengan hunian manusia, tidak terdapat di hutan hujan tropis atau
primer (Mistar, 2003).

4.1.1.2 Phrynoidis asper


Gravenhorst, 1829
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Bufonidae
Genus : Phrynoidis
Spesies : Phrynoidis asper Inger dan Stuebing, 1997
Gambar 2. Phrynoidis asper
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 6:2= 0,33 berarti diameter
matanya 0,33 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala (PK) 17:16=
0,94 berarti panjang kepalanya 0,94 dari lebar kepala. Indeks panjang badan (PB)
55:80, berarti panjang badannya 1,45 kali dari panjang kaki belakang. Memiliki
banyak tubercle, warna thympanum kuning, warna webbing coklat kehitaman dan
kelenjar paratoid membulat.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini berukuran besar dan kuat. Tekstur kulit berbintil kasar dengan
warna coklat tua sampai kehitaman. Kelenjar racun kecil. Jari kaki berselaput
renang penuh sampai ujung kecuali jari ke empat. Kodok ini dapat dijumpai di
sepanjang sungai dan anak sungai. Keluar pada malam hari dan siang hari
bersembunyi.
Menurut Iskandar (1998), kodok ini berwarna coklat tua kehitaman,
keabu-abuan, atau kehitam-hitaman. Memiliki kelenjar parotoid yang berbentuk
lonjong. Tangan dan kaki dapat berputar. Jari kaki berselaput renang atau
memiliki webbing sampai ke ujung atau penuh.
Kodok ini berukuran besar, alur supraorbital dihubungkan dengan
kelenjar paratiroid oleh alur supratimpatik tekstur kulit sangat kasar dan
menomjol,dilipu bintil-bintil berduri. Warna tubuh biasanya coklat tua yang
kusam, keabu-abuan, atau kehitaman. Bagian bawah terdapat bintil-bintil hitam,
jantan biasanya memiiki kulit dagu kehitaman. Ukuran tubuh jantan 70-100 mm,
dan betina 95-120 mm. Umumnya hewan ini dijumpai sepanjang sungai, sekitar
air terjun, hutan, dataran rendah sampai pegunungan, pada katinggian 1.440 mdpl.
Persebarannya terdapat di kawasan ekosistem leuser, kerinci, alahan panjang,
andalas, solok dan beberapa tempat lainnya (Mistar, 2003).

4.1.2 Megophryidae
4.1.2.1 Leptobrachium abbotti Tschudi, 1838
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas :Amphibi
Ordo :Anura
Famili : Megophryidae
Genus :Leptobrachium
Spesies : Leptobrachium abbotti Gambar 3. Leptobrachium abbotti
Inger and Stuebing, 1997
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 7:5= 0,28, berarti diameter
matanya 0,28 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala (PK) 29:30=
1,03, berarti panjang kepalanya 1,03 dari lebar kepala. Indeks panjang badan (PB)
70:58= 0,82 mm, berarti panjang badannya 0,82 kali dari panjang kaki belakang.
Tidak memiliki tubercle, warna thympanum hitam dan kelenjar paratoid
membulat.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini memiliki tubuh yang berwarna kehitaman, tubuh berukuran
kecil, hidup di serasah daun-daun yang kering. Ciri khas yang paling menonjol
adalah terdapatnya bangunan seperti tanduk di atas matanya, yang merupakan
modifikasi dari kelopak matanya.
Pada umumnya spesies ini berukuran tubuh kecil. Tungkai relatif pendek
sehingga pergerakannya lambat dan kurang lincah. Gelang bahu bertipe
firmisternal. Biasanya ditemukan hidup di hutan dataran tinggi. Pada fase berudu
terdapat alat mulut seperti mangkuk untuk mencari makan di permukaan air
( Eprilurahman, 2007).

4.1.3 Ichthyopiidae
4.1.3.1 Ichthyophis glutinosus
Fitzinger, 1826
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Gymnophiona
Famili : Ichthyopiidae
Genus : Ichthyopis
Spesies : Ichthyophis glutinosus
Inger dan Stuebing (1997) Gambar 4.
Ichthyophis glutinosus
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil yaitu tubuh
memiliki segmen, tidak memiliki lipatan dorsoventral, garis lateral line jelas dan
berwarna kuning, mata tereduksi dan bentuk kepala oval pipih.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah sampel awetan. Ciri morfologi yang diamati adalah
bertubuh licin, berbentuk seperti ular atau cacing dan memiliki garis tepi
berwarna merah atau kuning. Warna menjadi putih karena proses pengawetan.
Di Indonesia jenis famili dari Caecilia atau Gymnophiona adalah
Ichtyopiidae. Anggota famili ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik, ekornya
pendek, mata relatif berkembang. Reproduksi dengan oviparous. Larva berenang
bebas di air dengan tiga pasang insang yang bercabang yang segera hilang
walaupun membutuhkan waktu yang lama di air sebelum metamorphosis.
Anggota famili ini yang ditemukan di indonesia adalah Ichtyophis sp., yaitu di
propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Duellman and Trueb, 1986).

4.1.4 Ranidae
4.1.4.1 Fejerfarya cancrivora
Gravenhorst, 1829
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Fejervarya
Spesies : Fejervarya concrivora (Inger and Stuebing, 1997) Gambar 5.
Fejervarya concrivora
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 8:3= 0,38 mm, berarti
diameter matanya 0,38 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 24:27=1,13 mm, berarti panjang kepalanya 1,13 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 69:52= 0,75 mm, berarti panjang badannya 0,75 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum hijau kecoklatan
dan warna webbing putih pucat.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini memiliki tubuh berwarna coklat cerah dengan bintil-bintil hitam
di punggungnya. Memiliki web setengah, memiliki gigi former dan prosesus
odontoid.
Menurut Kurniati (2003), spesies jantan dewasa memiliki ukuran tubuh ±
67-69 mm, sedangkan betina dewasa berukuran ± 51-75 mm. Tubuh pendek
gemuk dan berotot. Tungkai belakang sedikit pendek. Lebih dari setengah jari
kaki berselaput renang dengan ujung yang tidak berselaput. Jari tangan tidak
berselaput renang. Ujung jari tangan dan kaki lancip. Tympanum terlihat jelas
Kulit dorsal (punggung) halus dengan lipatan longitudinal yang tidak teratur;
beberapa individu memiliki garis vertebral yang sangat menonjol. Kulit ventral
(perut) halus. Bagian dorsal berwarna coklat pucat atau coklat kehijauan dengan
bintil hitam, bagian bibir terdapat garis vertikal berwarna coklat tua, permukaan
dorsal lengan berwarna coklat tua atau bergaris kehitaman yang lebar. Bagian
ventral berwarna keputihan dan beberapa terdapat bintik-bintik hitam.
Diesmos et al (2006) menyatakan Fejervarya cancrivora memiliki bintil
dikepala, memiliki lipatan kelenjar, mempunyai lipatan dorsaventral yang
terputus-putus, permukaan ventral halus, moncong yang berbentuk oval. Tuberkel
Subarticular berbentuk bulat. Jari-jari kaki yang panjang dan memiliki anyaman
dan dermal pinggiran.
Habitat Fejervarya cadncrivora adalah dataran rendah hingga ketinggian
1200 dpl. Banyak ditemukan di sawah. Fejervarya cancrivora juga berhabitat tidak
jauh dari sungai, namun jarang ditemukan di sepanjang sungai. Selain sawah,
Fejervarya cancrivora juga banyak ditemukan di rawa atau bahkan di dalam
daerah berair asin, misalnya tambak atau hutan bakau. Spesies ini dapat
mentoleransi salinitas hingga 2,8 %. Spesies ini hidup dengan baik bersama
Fejervarya limnocharis (Iskandar, 1988).

4.1.4.2 Huia sumatrana Yang, 1991


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Huia
Spesies : Huia sumatrana (Inger and Stuebig, 1997)
Gambar 6. Huia sumatrana
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 5:5= 1 mm, berarti diameter
matanya sama dengan diameter thympanium yaitu 1. Indeks panjang kepala (PK)
15:11= 0,73 mm, berarti panjang kepalanya 0,73 dari lebar kepala. Indeks panjang
badan (PB) 31:29= 0,93 mm, berarti panjang badannya 0,93 kali dari panjang kaki
belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum putih kecoklatan dan warna
webbing hitam.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah web penuh, warnanya coklat kehitaman, punya gigi
former dan memiliki prosesus odontoid. Spesies ini merupakan hewan asli dari
sumatera.
Menurut Darmawan (2008), katak ini merupakan katak yang berukuran
sedang dengan kaki yang ramping dan panjang bila dibandingkan dengan jenis
katak lain. Tekstur kulit halus berwarna coklat pada bagian atas. Habitat dari
katak ini biasanya hidup di sungai yang berarus deras, berbatu dan berair jernih
pada ketinggian 200-1200 mdpl. Katak ini merupakan katak Endemik Sumatera.
Spesies ini merupakan hewan endemik di gunung yang ada di Sumatera
barat, Aceh, Bengkulu, Lampung, kawasan hutan lindung Gunung Kerinci, dan
Taman Nasional Bukit barisan . Hidap di sungai berarus serta bersih, di hutan
terbuka dan berkembang biak disungai. Ancaman utama adalah pendangkalan
sungai dan polusi kimia yang dihasilkan dari pestisida pertanian (sawah)
( Iskandar, 2004).

4.1.4.3 Hylarana rufipes Frost 2006


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Hylarana
Spesies :Hylarana rufipes (Inger
dan Iskandar, 2005) Gambar 7. Hylarana rufipes
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 6:4= 0,67 mm, berarti
diameter matanya 0,67 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 16:16= 1 mm, berarti panjang kepalanya sama dengan lebar kepala yaitu 1.
Indeks panjang badan (PB) 40:37= 0,84 mm, berarti panjang badannya 0,84 kali
dari panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum coklat,
warna webbing merah dan dorsolateral fold berwarna hitam kehijauan.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan Hylarana rufipes memiliki warna
coklat kehitaman. Webnya penuh dengan jari-jari yang panjang.Webingnya
berwarna merah. Punggungnya lembab dan licin. Hylarana rufipes adalah nama
lain dari Hylarana chalconota, katak ini biasanya terlihat pada batu dan vegetasi
di sepanjang sungai kecil hutan dataran rendah, tetapi juga terlihat keberadaannya
jauh dari sungai di hutan, atau di daerah dataran tinggi. Katak dewasa menyebar
secara luas di hutan dan bahkan dapat ditemukan di kebun dekat hutan.
Perkembangbiakannya terjadi di perairan yang tenang. Di Sumatera juga
berkembang biak di kolam dan di sawah (IUCN, 2015).

4.1.4.4. Hylarana nicobariensis Stolizka, 1870


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famil : Ranidae
Genus : Hylarana
Spesies : Hylarana
nicobariensis (Inger and Stuebing, 1997) Gambar 8. Hylarana
nicobariensis
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 4:4= 1 mm, berarti diameter
matanya sama dengan diameter thympanium yaitu 1. Indeks panjang kepala (PK)
18:14= 0,77 mm, berarti panjang kepalanya 0,77 dari lebar kepala. Indeks panjang
badan (PB) 40:36= 0,9 mm, berarti panjang badannya 0,9 kali dari panjang kaki
belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum hitam, warna webbing hitam
dan dorsolateral fold berwarna hitam kecoklatan.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini yaitu memiliki warna hitam kecoklatan, dengan bintil yang
halus, mempunya web setengah, mempunyai gigi former. Habitanya biasanya di
hutan yang lembab atau sungai.
Menurut Djuhanda (1982), katak ini merupakan katak yang berukuran
kecil, tubuh ramping, kaki panjang dan ramping, jari kaki setengah berselaput.
Biasanya jantan dewasa berukuran 35-45mm dan betina dewasa 45-50mm.
Tekstur kulit halus tanpa adanya bintil atau tonjolan, lipatan dorsolateral yang
halus. Habitatnya terdapat di perbatasan hutan di daerah yang terganggu,
sekeliling air yang mengalir lambat atau yang mengenang dan tidak terdapat di
permukaan laut.
Spesies ini tersebar dari Bali sampai ke Semenanjung Malaya serta
Borneo. Permukaan tubuhnya memiliki bintik yang tidak jelas, daerah
temporalnya berwarna gelap, dan warna coklat di permukaan punggungnya (Inger,
1954).

4.1.4.5 Hylarana picturata Boulenger, 1920


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Hylarana
Spesies : Hylarana picturata (Inger and Stuebing, 1997)
Gambar 9. Hylarana picturata
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 5:2= 0,4 mm, berarti
diameter matanya 0,4 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala (PK)
18:13= 0,72 mm, berarti panjang kepalanya 0,72 dari lebar kepala. Indeks panjang
badan (PB) 45:32= 0,71 mm, berarti panjang badannya 0,71 kali dari panjang kaki
belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum hitam, warna webbing hitam
bercak keorenan dan dorsolateral fold berwarna orange.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah memiliki bentuk yang sangat menarik dengan warna
hitam pekat dan dipenuhi bintik-bintik warna merah keorenan. Spesies ini
memiliki mata yang besar, kulitnya licin dan terdapat garis lateral berwarna oren
dipunggungnya. Menurut Inger R. dkk ( 2004), spesies Hylarana picturata
tersebar luas di sepanjang pulang sumatera kalimantan dan Semenajung Malaya.
Sebuah populasi juga di temukan di Pulau Tioman. Secara umum banyak dari
genus ini belum teridentifikasi.

4.1.4.6 Hylarana erythraea Schegel,


1837
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae Genus : Hylarana
Spesies : Hylarana erythraea (Inger and Stuebing, 1997) Gambar 10.
Hylarana erythraea
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 7:6= 0,85 mm, berarti
diameter matanya 0,85 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 23:22= 0,96 mm, berarti panjang kepalanya 0,96 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 62:55= 0,89 mm, berarti panjang badannya 0,89 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, memiliki disk, warna thympanum
hijau dengan lingkaran merah, warna webbing kuning dan dorsolateral fold
berwarna kuning.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan Hylarana erythraea memiliki
tubuh yang kecil dan kurus dengan warna hijau yang agak keemasan, memiliki
web setengah, mempunyai gigi former dan tidak memiliki prosesus odontoid.
Inger and Greenberg (1963) menyatakan Hylarana erythraea mempunyai
warna hijau gelap, ventralnya berwrna putih, tungkai berwarna kuning dengan
bercak yang tidak teratur, memiliki kulit yang halus serta betinanya jauh lebih
besar dari jantan.
Spesies ini ditemukan di sebagian besar Asia tenggara, pada ketinggian
sampai 1.200 m di atas permukaan laut. R. erythraea banyak tersebar di Brunei
Darussalam, Malaysia (Semenanjung Malaysia, Sabah, Sarawak), Kamboja,
Republik Demokratik Rakyat Laos, Thailand, Vietnam, dan Singapura. R.
erythraea juga telah diperkenalkan ke Indonesia (Jawa, Kalimantan atau Borneo,
Sulawesi dan Filipina (Diesmos et al 2006.). Spesies ini melimpah di habitat yang
cocok dan stabil dalam populasi. Spesies ini mampu beradaptasi dan dapat
ditemukan di dekat tempat tinggal manusia (Inger dan Greenberg 1963).

4.1.4.7 Hylarana parvacolla Inger, Stuart dan Iskandar, 2009


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Hylarana
Spesies : Hylarana parvacolla
(Inger and Stuebing, 1997) Gambar.11 Hylarana parvacolla
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 5:4= 0,8 mm, berarti
diameter matanya 0,8 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala (PK)
19:13= 0,68 mm, berarti panjang kepalanya 0,68 dari lebar kepala. Indeks panjang
badan (PB) 48:32= 0,67 mm, berarti panjang badannya 0,67 kali dari panjang kaki
belakang. Memiliki gigi fermer, memiliki disk, warna thympanum coklat, warna
webbing coklat muda dan dorsolateral fold berwarna hijau.
Hylarana parvaccola adalah katak relatif kecii. Ukuran katak jantan
dewasa 28-38 mm dan betina 38-43 mm. Tubuh ramping dan kaki yang panjang.
Biasanya ditemukan di hutan dataran rendah dari berbagai jenis, dari berbukit
(tapi dataran rendah) hutan hujan primer untuk rawa hutan sekunder hutan. Hal ini
dapat dilihat dalam jumlah rendah selama pencarian yang paling tepi sungai
malam hari. Tubuh berwarna hijau di atas dan putih atau berwarna krem di bawah
ini dan bibir atas biasanya jelas lebih ringan dari daerah sekitarnya (Inger dan
Greenberg, 1963).

4.1.4.8 Odorrana hosii Bounger 1891


Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Odorrana
Spesies : Odorrana hosii Gambar 12. Odorrana hosii
IUCN Red List, 2015
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 6:5= 083, mm, berarti
diameter matanya 0,83 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 1,5:1,4= 0,93 mm, berarti panjang kepalanya 0,93 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 55:30= 0,54 mm, berarti panjang badannya 0,54 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum hitam, warna
webbing hitam dan memiliki disk.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan Odorrana hosii berwarna hijau
kekuningan. Mocongnya terlihat sangat ringan dan meruncing. Mempunyai kaki
yang sangat panjang. Memiliki disk seperti segitiga dan kaki memiliki warna
bercak-bercak kecoklatan.Menurut Manthey dan Grossmann (1997), spesies ini
berwarna hijau, moncong ringan dan menunjuk, mempunyai garis-garis gelap
pada moncong perutnya berwarna abu-abu, pada jantan memiliki timpanium yang
lebih besar dari pada betinanya.
4.1.5 Dicroglossidae
4.1.5.1 Limnonectes kuhlii Tschudi, 1838
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Dicroglossidae
Genus : Limnonectes
Spesies : Limnonectes kuhlii (Inger and Stuebing, 1997)
Gambar 13. Limnonectes kuhlii
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 6:4= 0,67 mm, berarti
diameter matanya 0,67 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 20:25= 1,25 mm, berarti panjang kepalanya 1,25 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 60:36= 0,6 mm, berarti panjang badannya 0,6 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, warna thympanum hitam, warna
webbing hitam, memiliki processus odontoid dan dorsolateral fold berwarna putih.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah berwarna hijau tua, berbentuk gemuk dengan mulut
runcing dan mata yang besar. Permukaan punggung mempunyai bintil hitam dan
terlihat kasar.
Menurut Peter (2004) spesies ini hidup pada wilayah perbukitan pada
sungai-sungai kecil, berkembang biak pada air yang tenang. Ancaman utama bagi
spesies ini adalah penggundulan hutan, dan untuk konsumsi di Cina sehingga
spesies ini mungkin akan terancam punah. Tindakan Konservasi terjadi di banyak
kawasan lindung, dan diprioritaskan untuk menjaga spesies . Klasifikasi status dan
studi biologi konservasi dan panen tingkat yang taksonomi yang diperlukan. Hal
ini dilindungi oleh undang-undang nasional di India.
Katak ini merupakan katak yang memiliki ukuran gemuk, kepala lebar,
pelipis berotot, terutama pada yang jantan dan jari berselaput sampai ke ujung jari.
Katak ini memiliki kaki yang sangat pendek dan berotot. Tekstur kulit sangat
berkerut, tertutup rapat oleh bintil-bintil berbentuk bintang yang tersebar di
seluruh permukaan tubuh. Lipatan supratimpanik pada katak ini sangat jelas.
Warna hitam marmer di seluruh bagian dorsum sampai kehitaman. Habitat dari
katak ini biasanya hidup di perairan yang mengalir perlahan atau tenang
(Darmawan, 2008).

4.1.5 Rhacophoridae
4.1.5 1 Polypedates otilophus Boulenger 1893
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Rhacophoridae
Genus : Polypedates
Spesies : Polypedates otilophus (Inger
and Stuebing, 1997) Gambar 14. Polypedates otilophus
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil perbandingan
ukuran tubuh antara lain, indeks diameter mata (DM) 10:8= 0,8 mm, berarti
diameter matanya 0,67 kali dari diameter thympanium. Indeks panjang kepala
(PK) 20:34= 1,7 mm, berarti panjang kepalanya 1,7 dari lebar kepala. Indeks
panjang badan (PB) 62:49= 0,79 mm, berarti panjang badannya 0,79 kali dari
panjang kaki belakang. Memiliki gigi fermer, memiliki disk, warna thympanum
putih tapai, warna webbing putih tapai dan dorsolateral fold berwarna kuning.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah memiliki warna coklat krem dengan bintik warna coklat
tua di punggungnya. Tubuhnya pipih dan memiliki gigi former.
Inger dan Stuebing (1997), meyatakan katak ini termasuk katak berukuran
besar, betinanya mempunyai ukuran 64mm sampai 80mm dan jantan memiliki
ukuran 82mm sampai 97mm, memiliki titik yang tajam pada rahang, gigi former
miring, tubuhnya kuat dengan kaki yang ramping, kepalanya berbentuk segitiga,
memiliki web setengah.
Polypedates otilophus tersebar di wilayah Kalimantan, Sabah, dan
Sarawak, dan di Sumatera. Katak pohon ini hidup di hutan sekunder pertumbuhan,
di tepi hutan primer, serta di desa-desa, hutan tanaman, daerah, dan habitat lain
yang dimodifikasi oleh manusia login.Hewan ini adalah spesies dataran rendah,
yang banyak dari permukaan laut sampai 500 m dan jarang lebih tinggi (Malkmus
2002), tetapi ternyata juga telah tercatat sampai dengan 1000 m di atas permukaan
laut (IUCN 2006). Biasanya ditemukan pada vegetasi di sekitar kolam. Ditemukan
di daerah seperti Kalabakan dan Sabah pada beberapa pohon-pohon tinggi.
Spesies jantan memiliki bantalan kawin atau noctual pad dan aktif selama musim
kawin yaitu bulan April, Mei, dan Juni. Spesies betina akan mengalami ovulasi,
sehingga sarang busa dan larva berbagai tahapan dapat diamati selama periode
yang sama (Malkmus 2002).
4.1.5.2 Polypedates leucomistax
Gravenhorst, 1829
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Ordo : Anura
Famili : Rhacophoridae
Genus : Polypedates
Spesies : Polypedates leucomystax (Inger and Stuebing, 1997)
Gambar 15. Polypedates leucomystax
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan didapatkan pengukuran
marfometrik, Perbandingan rasio diameter mata berbanding dengan diameter
timpanum adalah 5:3 mm, perbandingan rasio panjang kepala berbanding lebar
kepala adalah 15:14 mm, dan perbandingan rasio antara panjang badan
berbandingtotal panjang kaki belakang adalah 50:50 mm.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diamati
bahwa spesies ini adalah memiliki warna coklat kemerahan dengan bintil-bintil
warna yang halus disekitaran dorsalnya. Memiliki web setengah dan mempunyai
gigi former.
Menurut McKay (2006), Polypedates leucomystax merupakan katak pohon
yang berwarna coklat kemerahan. Spesies ini pada jantan memiliki rata-rata 50
mm panjang total dan perempuan rata-rata 80 mm panjang total. Daerah persebaran
Bangladesh, China, India, Indonesia, Japan, Lao People's Democratic Republic,
Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam.
Menurut Darmawan (2008), katak ini merupakan katak berukuran sedang,
jari melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari
tangan setengahnya berselaput, sedangkan jari kaki hampir sepenuhnya
berselaput. Katak ini memiliki tekstur kulit yang halus tanpa bintil dan lipatan.
Bagian bawah berbintil granular yang jelas. Warna biasanya coklat keabu-abuan,
satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan garis yang jelas memanjang dari
kepala sampai ujung tubuh. Habitat dari katak ini biasanya hidup di antara
tetumbuhan atau sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa :
1. Dutaphrynus melanotictus memiliki tubuh yang terdiri dari banyak tubercle,
warna thympanum kuning, warna webbing coklat muda dan kelenjar
paratoid membulat.
2. Phrynoidis asper memiliki warna yang tubuh yang gelap atau hitam,
webbingnyapun memiliki warna yang hitam, warna thympanum kuning
sedangkan webbing berwarna coklat kehitaman dan kelenjar paratoid
membulat.
3. Leptobrachium abbotti memiliki warna yang tubuh yang hitam, tidak
memiliki tubercle, warna thympanum hitam dan kelenjar paratoid
membulat.
4. Ichthyopis glutinosus memiliki bentuk yang seperti cacing berwarna kuning,
tidak memiliki lipatan dorsoventral, mata tereduksi dan bentuk kepala oval
pipih.
5. Fejervarya cancrivora memiliki warna coklat cerah dengan bintil-bintil
hitam di punggungnya tetapi tidak kasar thympanum berwarna hijau
kecoklatan dan memiliki gigi former.
6. Huia sumatrana memiliki warna coklat kehitaman, memiliki gigi fermer,
warna thympanum putih kecoklatan dan warna webbing hitam.
7. Hylarana rufipes memiliki warna coklat kehitaman, memiliki gigi fermer,
warna thympanum coklat, warna webbing merah dan dorsolateral fold
berwarna hitam kehijauan.
8. Hylarana nicobariensis memiliki warna hitam kecoklatan, memiliki gigi
fermer, warna thympanum hitam, warna webbing hitam dan dorsolateral fold
berwarna hitam kecoklatan.
9. Hylarana picturata memiliki warna hitam pekat, memiliki gigi fermer,
warna thympanum hitam, warna webbing hitam bercak keorenan dan
dorsolateral fold berwarna orange.
10. Hylarana erythraea memiliki warna yang identik dengan kuning baik
webbing maupun dorsolateral fold, namun thympanum berwarna hijau
dengan lingkaran merah.
11. Odorrana hosii berwarna hijau kekuningan. Mocongnya memiliki bentuk
seperti meruncing.
12. Limnonectes kuhlii memiliki warna kehitaman, memiliki gigi fermer, warna
thympanum hitam, warna webbing hitam, memiliki processus odontoid dan
dorsolateral fold berwarna putih.
13. Polypedates otilophus memiliki kepala yang meruncing atau seperti
segitiga, warna thympanum dan webbing putih tapai.
14. Polypedates leucomystax memiliki warna coklat kemerahan dengan bintil-
bintil yang halus dan mempunyai gigi fermer.
15. Hylarana parvacolla Memiliki gigi fermer, memiliki disk, warna
thympanum coklat, warna webbing coklat muda dan dorsolateral fold
berwarna hijau.

5.2 Saran
Untuk praktikum selanjutnya disarankan agar membawa objek yang berukuran
representatif agar identifikasi terhadap suatu sampel dapat berjalan dengan
maksimal serta karakter dapat diamati dengan mudah dan lebih teliti lagi dalam
mengamati objek agar sesuai dengan literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra,. H. S. 1979. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa. Bagian III


(Pengelolaan Margasatwa). Jurusan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Biologi FMIPA. Universitas Lampung. Lampung.

Bartlett, R. D. 1988. Frogs, Toads and Treefrogs, Barron's. New York.


Darmawan, B. 2008.Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat : Studi
Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi. IPB. Bogor.
David, P. And D. Vogel. 1996. The Snakes of Sumatra:An Annotated Checklist
and Key with Natural History Notes. Edition Chimaira, Frankfurt-Ann-
Main. Germany.
Diesmos, A. C., Diesmos, M. L., and Brown, R. (2006). ''Status and distribution
of alien invasive frogs in the Philippines.'' Journal of Environmental
Science and Management, 9(2), 41-53.  
Djuhanda, T. 1974. Analisa Struktur Vertebrata. Armico. Bandung.
Djuhanda, T. 1982. Anatomi dari empat Hewan Vertebrata_Armico. Bandung.
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw Hill
BookCompany. New York

Eprilurahman. 2007. Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta,


Indonesia. International Seminar Advances in Biological Science.
Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.
Hillis, D. M. Hillis, J. J. Wiens. 2000. Molecules Versus Morphology in
Systematics.In: J. Wiens (ed) Phylogenetic Analysis of Morphological
Data. Smitshonian Institution Press. Philadelpia
Imron. 1998. Keragaman Morfologis dan Biokimiawi Beberapa Stok Keturunan
Induk Udang Windu (Penaeus monodon) Asal Laut yang
Dibudidayakan di Tambak. IPB. Bogor. Tesis.
Inger, R. F. (1954). ''The systematics and zoogeography of the Amphibi of
Borneo.'' Fieldiana Zoology, 52, 1-402
Inger, R. F. and H. K. Voris, 2001. The Biogeographical Relations of The Frogs
and Snakes of Sundaland. Journal of Biogeography. 28: 863-891.
Inger, R. F. and Stuebing, R. B. (2005). A Field Guide to the Frogs of Borneo,
2nd edition. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu.
Inger, R. F., and Greenberg, B. (1963). ''The annual reproductive pattern of the
frog Rana erythraea in Sarawak.'' Physiological Zoology, 36, 21-33.  
Inger RF. 1969. Organization of communities of frogs along small rain forest
streams in Sarawak. Journal of Animal Ecology 38: 123–148.
Inger, R. F., and Stuebing, R. B. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo.
Natural History Publications (Borneo) Limited, Kota Kinabalu.
Inger,R., Iskandar,D., Peter, P., Norsham, Y. 2004. Hylarana picturata. In: IUCN
2013
Iskandar, D. T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi LIPI. Jakarta.
Iskandar, D.T. and D.Y. Setyanto. 1996. The Amphibins and Reptiles of
Anai. IPB. Bogor.
Iskandar, D.T. and W. R. Erdelen. 2006. Conservation of Amphibins and Reptiles
in Indonesia: Issues and Problems. Amphibin and Reptile Conservation.
Iskandar, J. 2004. Huia sumatrana. In: IUCN 2013
IUCN, Conservation International, and NatureServe. (2006). Global Amphibin
Assessment: Polypedates otilophus. www.globalamphibins.org.
Accessed on 13 May 2008.  
IUCN, Conservation International, and NatureServe. (2015). Global Amphibin
Assessment: Hylarana rufipes. www.globalamphibins.org. Accessed on
20 Maret 2015.  
Jafnir. 1984. Kemungkinan Pembudidayaan Kodok Rana macrodon di
Payakumbuh. Unand. Padang.
Jasin, M. 1992. Zoologi Vertebrata untuk Perguruan Tinggi. CV Sinar Wijaya.
Surabaya.
Kurniati, Hellen. 2003. Amphibins & Reptiles of Gunung Halimun National Park,
West Java, Indonesia (Frogs, Lizards and Snakes). Research Center for
Biology-LIPI. Cibinong.
Kusrini, M. D., L. F. Skerratt, S. Garland, L. Berger, and W. Endarwin. 2008.
Chytridiomycosis in frogs of Mount Gede Pangrango, Indonesia. Diseases
of Aquatic Organisms.
Malkmus, R., Manthey, U., Vogel, G., Hoffmann, P., and Kosuch, J. (2002).
Amphibins and Reptiles of Mount Kinabalu (North Borneo). Koeltz
Scientific Books, Koenigstein, Germany.
Manthey, U. and Grossmann, W. 1997. Amphibien & Reptilien Südostasiens.
Natur und Tier Verlag, Münster, Germany
McKay, J.L. 2006. A Field Guide to the Amphibins and Reptiles of Bali. Krieger
Publishing Company. Malabar. Florida.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amphibi Kawasan Ekosistem Leuser. PILI-NGO
Movement. Jakarta.
Munshi, J. S. D., H. M. Duta. 1996. Fish Morphology: Horizon of New Research.
Valley ,West Sumatera. Annual Report of FBRT Project no.2. Science
Publishers, Inc. New York.
Nurcahyani, N, M. Kanedi dan E.S Kurniawan. 2009. Inventarisasi Jenis Anura Di
Kawasan Hutan Sekitar Waduk Batutegi, Tanggamus, Lampung.
Universitas Lampung. Lampung

Peter, P. 2004. Limnonectes kuhlii. In: IUCN 2013

Zug, G R. 1993. Herpetology: An Introduction Biology of Amphibians and


Reptiles. Academic Press.

Anda mungkin juga menyukai