Anda di halaman 1dari 24

DRAF PROPOSAL PENELITIAN

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU

JUDUL : Keanekaragaman Jenis Ordo Anura pada Berbagai


Habitat di Kawasan PT. Sipef Biodiversity Indonesia
Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu
NAMA : Syarifah Chairani
NPM : E1B016005
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Agus Susatya, M.Sc
Pembimbing Pendamping : Ir. Guswarni Anwar, MP., P.hD

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (Biodiversity) yang tinggi, selain
letaknya pada zone iklim tropis yang sepanjang tahun menerima cahaya matahari dan
hujan, kekayaan sumberdaya alam tersebut tidak terlepas dari berbagai komponen
ekosistem yang membentuk suatu habitat yang cocok bagi perkembangan berbagai
macam spesies salah satunya adalah jenis Amfibi (Nopriansyah, 2018). Keanekaragaman
jenis amfibi dan reptil di Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi di dunia.
Amfibi di Jawa dan Bali diketahui mencapai 41 jenis, jumlah ini lebih kecil dibandingkan
dari jumlah jenis di Pulau Sumatera 90 jenis, Kalimantan 148 jenis dan Semenanjung
Malaysia 101 jenis (Iskandar, 2008).
Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki
peranan sangat penting bagi kelangsungan proses-proses ekologi. Secara ekologis, amfibi
berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrate
lainnya (Iskandar, 1998) serta dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi lingkungan
(Stebbins dan Cohen, 1997). Amfibi merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang
menghuni habitat perairan dan daratan. Amfibi memiliki peran penting dalam ekosistem
terhadap rantai makanan, keseimbangan alam, dan beberapa jenis tertentu dapat menjadi
bio-indikator kerusakan lingkungan (Candra, 2018). Amfibi merupakan satwa yang
menyukai dan tinggal di daerah berhutan yang lembab dan bahkan beberapa spesies
seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar, 2003, Iskandar, 1998). Amfibi memiliki
peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, Amfibi cukup peka
terhadap perubahan lingkungan seperti pencemaran air, kerusakan habitat asli. Hal itu
menjadikan Amfibi sebagai indikator biologis kerusakan lingkungan. Tidak adanya
Amfibi di sebuah ekosistem baik perairan maupun darat menjadi indikator sederhana
kerusakan lingkungan yang bisa disebabkan oleh pemanasan global (Luthfia, 2019).
Amfibi di Indonesia yang memiliki jumlah jenis yang tinggi yaitu ordo Anura.
Anura terdiri dari katak dan kodok yang memiliki perbedaan, dimana katak mudah
dikenal dari tubuhnya yang khas dengan memiliki empat kaki, leher yang tidak jelas,
mata cenderung besar, permukaan kulit licin dan berlendir. Kodok tekstur kulit kasar dan
berbenjol yang diliputi bintil-bintil berduri, tangan dan kaki cenderung lebih pendek
dibandingkan dengan kaki katak yang lebih panjang. Katak seperti hewan lainnya
memiliki kisaran kebutuhan akan faktor-faktor lingkungan yang spesifik setiap jenisnya.
Keberadaan jenis-jenis katak dan kodok yang umum dijumpai pada habitat yang
terganggu, ini merupakan indikasi awal bahwa suatu habitat tersebut mulai mengalami
gangguan (Ario, 2010). Ordo Anura sangat menarik untuk diteliti. Ordo Anura tersebar
di seluruh bagian dunia diberbagai tipe habitat, mulai dari pemukiman sampai ke daerah
pegunungan. Penelitian terhadap ordo Anura dan pemetaan penyebarannya masih sangat
jarang dilakukan di Indonesia khususnya di Sumatera, sehingga data mengenai ordo
Anura masih kurang. Ordo Anura memiliki peranan yang sangat penting dalam
ekosistem baik sebagai predator dan pengendali populasi maupun sebagai mangsa bagi
satwa lain (rantai makanan). Ordo Anura sebagai indikator biologis dialam memiliki
kepekaanyang tinggi terhadap perubahanyang terjadi pada habitatnya (Nurcahyani dkk,
2009).
Penelitian Amfibi ordo Anura di Pulau Nias, Kepulauan Batu (P. Pini dan P.
Tanah Masa) dan Kepulauan Mentawai (P. Siberut dan P. Sipora) terdapat 23 jenis katak.
Berdasarkan kekayaan jenisnya maka jumlah jenis katak yang dapat ditemukan di Pulau
Sibe 12 rut sebanyak 17 jenis, Kepulauan Batu 10 jenis dan Pulau Nias 9 jenis (Inger dan
Voris 2001). Di Pulau Siberut terdapat jenis katak endemik, yakni Rana Siberu. Ul-
Hasanah (2006) menemukan 44 jenis amfibi dari Ordo Anura yang termasuk dalam 5
famili, yakni: Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae.
Sudrajat (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat
dan Musi Rawas Sumatera Selatan, terkusus di Bengkulu penelitian tentang
keanekaragaman ordo Anura sudah pernah dilakukan di Kawasan Hutan Pendidikan
Palak Siring Kemumu Bengkulu Utara dimana di temukan 14 jenis ordo Anura
(Rohadian, 2019). Revino 2012 juga meneliti ordo Anura di Taman Hutan Raya Rajo
Lelo Bengkulu.
Area IUPHHK-RE PT. Sipef Biodiversity Indonesia berada di dalam Hutan
Produksi Terbatas (HPT) Air Manjuto Reg 62, termasuk wilayah KPH Model
Mukomuko. Pada bagian Utara-Tenggara dari areal ini berbatasan dengan Kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Perusahan ini bergerak dalam bidang Restorasi
Ekosistem pengembalian ke habitat semulanya, wilayah di kawasan hutan produksi
terbatas merupakan kawasan hutan yang memiliki karaktersistik yang cocok bagi habitat
satwa Amfibi, namun belum banyak dilakukan penelitian mengenai Amfibi tentang
potensi ordo Anura yang tersebar di PT. Sipef Biodiversity Indonesia dan juga
mengetahui bagaimana lokasi habitat keberadaan Amfibi ordo Anura dengan
membandingkan di hutan sekunder dan sepadan sungai lokasi blok Sungai Kiang.

1.2 Rumusan Masalah


1. berapa kekayaan jenis katak dan kodok ordo Anura di areal blok kerja Sungai Kiang
PT. Sipef Biodiversity Indonesia?
2. Bagaimana perbandingan keanekaragaman jenis katak dan kodok ordo Anura
berdasarkan tipe habitat yang berbeda ?
3. Bagaimana kondisi habitat katak dan kodok di Kawasan PT. Sipef Biodiversity
Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui kekayaan jenis katak dan kodok ordo Anura di PT. Sipef Biodiversity
Indonesia.
2. Membandingkan keanekaragaman jenis katak dan kodok ordo Anura berdasarkan tipe
habitat yang berbeda.
3. Mengidentifikasi kondisi habitat katak dan kodok ordo Anura di PT. Sipef
Biodiversity Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian


Sebagai sumber data dan informasi bagi pengelola kawasan dan peneliti berikutnya.
Sebagai acuan dasar untuk pengelolaan dan tindakan konservasi satwa liar di Kawasan
PT. Sipef Biodiversity Indonesia Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Sebagai
data base kekayaan biodiversity (keanekaragaman hayati) yang ada di Kawasan PT. Sipef
Biodiversity Indonesia Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu.
1.5 Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian dilakukan pada 2 tipe habitat yaitu hutan sekunder dan sepadan sungai di
Blok Sungai Kiang PT. Sipef Biodiversity Indonesia Kab. Mukomuko.
2. Waktu penelitian dilakukan pada pagi pukul 6:00 – 08:30 wib dan malam pukul 18:00
– 20.30 wib merupakan waktu yang efektif selama pengamatan.
3. Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca yaitu cuaca cerah dan mendung
apabila pada saat penelitian hujan badai maka penelitian tidak dilakukan dan
dilanjutkan setelah hujan redah.
4. Sampel ordo Anura yang digunakan adalah katak dan kodok yang dijumpai pada saat
pengamatan mengunakan metode survey perjumpaan dan jalur transek.
II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi
Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika Amfibi adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Cordata
Sub Filum : Vertebrata
Klas : Amphibi
Ordo : Anura
Sub-Order : Salientia (katak dan kodok)
Amfibi adalah hewan bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil,
yaitu sekitar 4.000 jenis. Amfibi terdiri dari tiga bangsa (Ordo) yaitu Urodela (Caudata),
Anura dan Gymnophiona. Urodela (Caudata) (Gusman, 2010) dan memiliki famili dari
ordo Anura yang ada didunia sebagai berikut:
a) Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan teresterial)
b) Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan katak yang
melakukan penyesuaian terhadap lingkungan perairan)
c) Famili Discoglossidae
d) Famili Pelobatidae
e) Famili Brevicivitadae
f) Famili Ranidae (katak sejati)
g) Famili Rachoporidae
h) Famili Mycrohylidae
i) Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika Selatan)
j) Famili Bufonidae
k) Famili Hylidae
l) Famili Leptodactylidae

2.2. Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera


Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran
rendah hingga hutan pegunungan yang ektrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar,
2003). Amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae,
Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar dan Colijn 2000).
Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah
gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia memiliki kesamaan
jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak
di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa
dengan Kalimantan (Inger dan Voris 2001). Pulau Nias, Kepulauan Batu (P. Pini dan P.
Tanah Masa) dan Kepulauan Mentawai (P. Siberut dan P. Sipora) terdapat 23 jenis katak.
Berdasarkan kekayaan jenisnya maka jumlah jenis katak yang dapat ditemukan di
Pulau Sibe 12 rut sebanyak 17 jenis, Kepulauan Batu 10 jenis dan Pulau Nias 9 jenis
(Inger dan Voris 2001). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga menemukan
keanekaragaman amfibi 11 jenis ordo Anura (Mardinata, 2017). Sudrajat (2001)
menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas
Sumatera Selatan dan pada hutan pendidikan Kemumu Bengkulu Utara terdapat 14 jenis
amfibi ordo Anura (Rohadian, 2019).

2.3 Amfibi Sebagai Bio-Indikator


Amfibi dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena
amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Candra, 2018). Katak dan
Kodok merupakan amfibi dari ordo Anura yang sangat menyukai tempat-tempat kondisi
kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan air, katak dan kodok sangat peka
terhadap perubahan lingkungan, terutama saat stadium larva (berudu). Kerusakan hutan,
pencemaran sungai, maupun konversi lahan basah menjadi areal perkebunan, dapat
menjadi penyebab berkurang, atau bahkan hilangnya habitat alami katak dan kodok
(Kusrini, 2013). Apabila di suatu wilayah sudah tidak ditemukan katak/kodok, dapat
dikatakan kualitas lingkungan di wilayah tersebut sudah sangat buruk (Setiawan dkk,
2016).
Katak dan kodok merupakan amfibi dari ordo Anura. Amfibi merupakan anggota
dari herpetofauna. Menurut Fitri (2002), herpetofauna sangat menyukai tempat-tempat
yang kondisi kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan air. Menurut Mistar
(2008), amfibi dan reptil hidup di air dan darat, namun demikian kita harus memilih
tempat-tempat yang diduga sebagai habita tnya. Sungai-sungai besar maupun kecil,
kolam-kolam kecil, kubangan hewan, kayu lapuk, dan akar banir yang terakumulasi
dengan serasah daun. Namun lain halnya dengan spesies Bufo melanostictus, kodok jenis
ini merupakan spesies yang paling tahan dengan kondisi habitat yang terganggu, spesies
ini dapat digambarkan sebagai "generalis habitat", sehingga tidak bisa digolongkan
kedalam Bio-Indikator, hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Maskey (2002) dan
Kentwood, (2007) bahwa B. melanostictus sering terjadi kepadatannya lebih tinggi di
habitat terganggu sekitar pemukiman manusia daripada di hutan yang tidak terganggu.
Iskandar (1998) juga mengatakan bahwa habitat jenis ini 28 selalu berada di dekat hunian
manusia atau wilayah yang terganggu. Jenis ini tidak pernah terdapat di hutan hujan
tropis.

2.4 Tinjauan Umum ordo Anura


Ordo Anura merupakan anggota kelompok amfibi yang ciri khasnya adalah “tidak
memiliki ekor”, salah satu anggota ordo anura adalah yang secara umum kita sebut
kodok atau katak, terdapat sekitar 4000 spesies yang telah dikenali dalam ordo ini. Tubuh
ordo anura terdiri atas 3 bagian utama, yaitu kepala, badan dan anggota gerak berupa
kaki. Kepalanya berbentuk seperti segitiga pipih, mereka memiliki mulut lebar dan lidah
yang lengket. Giginya disebut gigi veormer yang terletak di langit-langit mulut. Memiliki
dua buah mata masing masing di kiri dan kanan kepalanya, setiap mata memiliki kelopak
atas dan bawah. Pada kelopak mata bawah terdapat selaput niktitans (selaput tidur) yang
berfungsi untuk melindungi mata dari gesekan ketika berada di dalam air. (Harya, 2016)
Anura hewan yang sering dijumpai dan menyebar luas di Indonesia. Anura itu
sendiri terdiri katak dan kodok (Iskandar, 1998). Kodok katak dalam bahasa inggrisnya
frog sedangkan kodok toad (Mardinata, 2017), saat ini terdapat lebih dari 6.260 jenis
Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 363 jenis, yang berarti mewakili sekitar
11 % dari seluruh Anura di dunia (Hidayah, 2018). Ordo Anura memiliki ciri ciri umum
sebagai berikut: tungakai depan lebih kecil dan lebih pendek dari pada tungkai belakang,
ukuran tubuhnya pendek, kepala dengan badan bersatu, lebar dan kaku. Posisinya
berjongkok tidak memiliki ekor saat dewasa (Nasaruddin, 2000). Umumnya ordo Anura
memiliki selaput (webbing) antara ruas-ruas jarinya, walaupun sebagian di dapatkan
tidak berselaput. Ordo Anura memiliki selaput yang digunakan untuk berenang, jadi ada
tidaknya selaput sangat sesuai dengan habitat yang ditempatinya dan juga ordo Anura ini
memiliki bermacam macam warna tergantung Familinya, seperti family Rhacophoridae
cendrung berwarna terang sedangkan family Megophrydae cendrung berwarna gelap
karna sering ditemukan diserasah daun ukuran SVL (Snouta Vent Length) anura berkisar
dari 1 – 35 cm, tetapi kebanyakan berkisar antara 2 – 12 cm (Mardinata, 2017).

2.5 Morfologi Tubuh katak dan kodok


Menurut Taufik (2010) katak dalam bahasa inggrisnya frog dan kodok toad
merupakan amfibi ordo Anura yang paling dikenal di Indonesia, meskipun di anggap
sama katak dan kodok memiliki perbedaan morfologi yang cukup signifikan. Katak
memiliki kulit licin dan halus, tubuh rampping, dan kaki yang kurus dan panjang. Warna
katak bervariasi dari jauh coklat, hitam, merah, hijau, orange kuning dan putih. Katak
mudah dikenali dengan tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan empat kaki,
dengan kaki belakang untuk melompat berukuran lebih panjang dari pada kaki depan,
leher tidak jelas dan tidak berekor. Matanya berukuran besar dengan pupil mata
horizontal dan vertikal, ada pula yang berbentuk berlian atau segitiga yang khas untuk
jenis-jenis tertentu. Ujung-ujung jari anura tidak berbentuk, hanaya silindris atau
berbentuk piringan yang pipih, kadang-kadang juga mempunyai kulit lateral lebar, dan
ada juga kelompok dengan ujung jari berbentuk ganda. Pada beberapa jenis katak, sisi
tubuhnya terdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang mata sampai di atas
pangkal paha, yang di sebut lipatan. Kodok memiliki tubuh yang lebih pendek dan
gemuk dengan kulit yang kasar tertutup bintil bintil, kulitnya lebih terlihat kering, kulit
kodok kebanyakan berwarna gelap (Hidayah, 2018).
Menurut Verma dan Srivastava (1979), amfibimempunyai ciri-ciri umum sebagai
berikut: Berdarah dingin (poikiloterm), Kulit halus dan kasar serta banyak mengandung
kelenjar, Sisik-sisik bila ada tersembunyi di dalam kulit Tengkorak berartikulasi dengan
tulang atlas melalui dua condylus occipitalis (sendi ellips), Tungkai bila ada bertipe
fentadactyla, Eritrosit bikonveks, oval, dan bernukleus, Jantung terdiri atas dua atrium,
satu ventrikel dan satu konus, Arcus artat simetris, Pada stadium awal, pernafasan
melalui insang, Telur-telur amfibi dibungkus oleh bahan gelatin.

Alur parletal
Kelenjar paratoid

Hidung

Timpanum Kaki belakang

Kaki depan

Gambar 1. Bagian dari tubuh kodok (Kusrini, 2013)


Gambar 2. Bagian dari tubuh katak (Kusrini, 2013)

2.5.1 Tekstur dan Warna Kulit ordo Anura

Kulit Anura umumnya polos dan halus, tanpa sisik atau rambut untuk
melindunginya. Kulit dapat ditembus air. Meskipun ada banyak kelenjar mukosa yang
membantu menjaga kulit tetap lembab, kebanyakan Anura cepat mengalami kekeringan
jika tidak berada di tempat lembab. Kulit katak dan kodok sangat beragam. Satu sisi,
kulit sebagian kodok sangat keras, dan digunakan sebagai pengganti kulit keras. Di sisi
lain, ada katak yang berkulit sangat tipis sehinggga organ dalamnya dapat terlihat dari
luar. Kodok biasanya memiliki kulit kasar dan kering yang tertutup bintil serta ada duri
kecil di beberapa spesies. Katak biasanya memiliki kulit yang lembab, halus dan licin.
Seperti yang terlihat pada (Gambar 3)

Gambar 3. Tekstur kulit ordo Anura (Ardian, 2019)


2.5.2 Tipe Kaki ordo Anura
Katak dan kodok memiliki 4 jari di kaki depan dan 5 jari di kaki belakang.
Umumnya ordo Anura memiliki 3 tipe pada kakinya, yaitu tipe cakar, tipe cakram dan
tipe selaput. Pada banyak spesies, khususnya yang banyak hidup di air, ada selaput kulit
di antara jari. Banyak katak yang tinggal di pohon memiliki bantalan perekat berbentuk
cakram di ujung jari, membuat mereka dapat kuat mencengkramkan kaki ke permukaan
vertikal yang licin. Spesies penggali liang memiliki tonjolan tanduk, disebut tuberkel,
pada kaki belakang yang berfungsi untuk menggali tanah. (Gambar 4).

Gambar 4. Tipe tipe kaki ordo Anura (Ardian, 2019)

2.6 Perilaku pakan


Sebagian besar katak adalah satwa Oportunistik dan pada umumnya katak dewasa
merupakan karnivora dan cenderung memakan mangsa yang lebih besar (Hofrichter,
2000). Kebanyakan katak memangsa serangga dan larva serangga, cacing, laba-laba,
siput, dan hama. Sebagian besar katak hanya memakan jenis serangga yang bergerak dan
beberapa katak memangsa jenis serangga yang pergerakannya lambat. Setiap jenis katak
memiliki cara yang berbeda dalam berburu mangsa tergantung dengan jenisnya. Katak
dengan perawakan gemuk dan bermulut lebar biasanya mencari mangsa dengan hanya
diam dan menunggu mangsa dan biasanya memanfaatkan jenis pakan yang berukuran
besar dan dalam jumlah sedikit. Katak-katak yang berperawakan ramping dan bermulut
meruncing, biasanya aktif dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam
jumlah banyak dengan ukuran mangsa kecil (Duelman dan Truebs 1994).
Beberapa jenis tertentu memiliki sifat karnivora dan tidak memerlukan makan
sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998).
Besarnya jumlah pakan yang dikonsumsi katak beragam sesuai dengan ukuran tubuh
katak itu sendiri, perbedaan jenis kelamin juga berpengaruh terhadap besarnya jumlah
pakan yang dimanfaatkan. Pada katak jenis Limnonectes blythi, individu jantan lebih
banyak memanfaatkan jenis pakan daripada betina, hal tersebut disebabkan karena pada
individu jantan lebih aktif dan lebih gesit dalam mencari mangsa dibandingkan dengan
individu betina (Sugiri, 1979).
Penelitian mengenai perilaku pakan beberapa jenis katak di Indonesia telah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pakan
utama yang dikonsumsi oleh Rana chalconota dan Mycrohylla achatina di Kebun Raya
Cibodas, Jawa Barat adalah Insekta dan Arthropoda. Penelitian pakan pada Rana
erythraea, Fejervarya limnocharis, Ranachalconota dan Occidozyga lima dilakukan oleh
(Atmowidjojo dan Boeadi, 1998) di daerah persawahan di Bogor. Hasil penelitian ters
ebut menyebutkan bahwa pakan utama Rana erythraea adalah insekta.

2.7 Perilaku reproduksi


Katak melakukan perkawinan eksternal dimana Fertilisasi berlangsung secara
eksternal (Duellman dan Trueb, 1994). Perkawinan pada katak disebut sebagai Amplexus
dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina.
Beberapa tipe-tipe amplexus yang umum terjadi pada Anura adalah:
a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada
posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan.
b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina.
Posisi kloaka pasangan berdekatan.
c. Cephalic: kaki depan jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina.
d. Straddle: katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina.
e. Glued: katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka
masing-masing.
f. Independent: terjadi pada beberapa jenis Dendrobatidae dimana kedua katak saling
membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan.
Duellman dan Trueb (1994), mengatakan ada empat hal yang dapat menjelaskan
pola-pola dari perilaku kawin katak:
a. Kompetisi antar jantan: jantan berkompetisi dalam mendapatkan perhatian betina,
dan umumnya jantan yang besar ukurannya adalah jantan yang memiliki kesempatan
lebih baik dari pada jantan berukuran kecil.
b. Pilihan betina: betina umumnya memilih jantan yang berukuran besar atau lebih baik
fisiologisnya.
c. Ukuran yang cocok untuk kawin: betina lebih memilih ukuran jantan yang
proporsional dengan tubuhnya.
d. Pilihan jantan: betina yang berukuran besar lebih disukai oleh jantan.

Gambar 5. Prilaku kawin katak (Kusrini, 2013)

2.8 Habitat
Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik
maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang
dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Mistar (2003) menjelaskan bahwa
habitat yang paling disukai oleh amfibi adalah daerah berhutan karena membutuhkan
kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama
sekali. Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat
kelompok, yakni :
a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan,
jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan air atau di
kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun yang tidak berair tetapi
mempunyai kelembaban tinggi dan stabil untuk meletakkan telur. Contohnya
Megophrys aceras, M. nasuta dan Leptobracium sp.
b. Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang biak di
genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang pohon, kolam, da
nau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa spesies arbor
eal mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa untuk menja
ga kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat
air. Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii.
c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada badan
air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan mulai
dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana dan
Rana siberut.
d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang
dijumpai. Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku Microhyli
dae yaitu Kaloula sp dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).
Hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan
sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah terganggu
seperti hutan sekunder, kebun dan pemukiman penduduk Mardinata, (2017) Gillespie et
al.(2005). Hal yang sama juga terlihat dari penelitian Ul-Hasanah (2006). Katak yang
terd apat di habitat yang tidak terganggu memiliki jumlah jenis yang lebih banyak. Ul-
Hasanah (2006) menemukan 37 jenis katak di habitat yang tidak terganggu dan 31 jenis
katak di habitat yang terganggu. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat sungai tidak
terganggu didominasi oleh Leptophryne borbonica, Ranachalconota dan Limnonectes
blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo asper, Limnonectes blythii,
Rana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Leptophryne borbonica
dan Limnonectes microdiscus. Habitat sungai terganggu didominasi oleh Rana
chalconota, Bufo asper dan Ranahosii, sedangkan habitat darat terganggu didominasi
oleh Rana chalconota, Ranahosii, Fejervarya spp, Bufo biporcatus dan Bufo
melanostictus.

2.9 Manfaat dan peranan


Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni
peranan ekologis maupun ekonomis, secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting
dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Amfibi memakan serangga sehingga
dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam pengendalian populasi
serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai bioindikator bagi kondisi
lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins dan
Cohen, 1997).
Berkurangnya amfibi atau pertumbuhan mereka yang terganggu merupakan
pertanda lingkungan yang buruk. Faktor penyebab penurunan populasi amfibi adalah
penangkapan lebih, hilangnya hutan dan lahan basah, pencemaran, penyakit, spesies
introdusir dan kecatatan pada katak (Kusrini, 2013). Peranan Amfibi dari segi ekonomis
dapat ditinjau dari pemanfaatan Amfibiuntuk kepentingan konsumsi. Beberapa jenis dari
Ordo Anuradiketahui memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti Fejervarya cancrivora,
Fejervaryalimnocharis, dan Limnonectes macrodon (Kusrini, 2013).
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini akan dilakukan pada hutan produkdi terbatas Blok Sungai Kiang,
yang membandingkan Habitat Hutan Sekunder dan sepadan sungai, pengambilan data
akan dilakukan pada bulan Januari- Febuari 2020 di PT. Sipef Biodiversity Indonesia
Register 62 Air Manjunto Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu.

Gambar 6. Peta lokasi penelitian


3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu disajikan pada Tabel 1
sebagai berikut :
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
No Alat Dan Bahan Kegunaan
1. GPS, plastik/kantong spesimen, Pengambilan data jenis (ordo
buku panduan (Mirza D. Kusrini), Anura) katak dan kodok di lokasi
headlamp/senter, baterai, spidol pengamatan
permanen, kertas label, jam tangan,
mistar/pita ukur
2. Hygrometer Pengukuran kelebaban udara
3. Thermometer Pengukuran suhu udara
4. Soil tester Mengukur pH dan Kelembaban tanah
5. Jaring Alat bantu untuk menangkap katak dan
kodok pada saat di lokasi
6. Kamera, tally sheet, dan alat tulis. Dokumentasi pengamatan jenis katak
dan kodok
7. Gunting/pisau bedah, suntik, Preservasi atau pengawetan spesimen
alkohol 70%, kapas, kertas label, yang belum diketahui jenisnya (jika
kotak specimen, formalin 4% dan diperlukan)
kloroform.

3.3 Metode Penelitian


Pengambilan data keanekaragaman jenis dari ordo Anura dilakukan dengan
menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) (Heyer, 1994). Metode ini dipakai
untuk menentukan kekayaan jenis suatu daerah, untuk menyusun suatu daftar jenis, serta
untuk memperhatikan kelimpahan relatif jenis-jenis yang ditemukan. Visual Encounter
Survey berbeda dengan Sampling Transek. Cara ini biasa dilakukan pada sepanjang
suatu jalur, didalam suatu plot, sepanjang sisi sungai, sekitar tepi kolam, dan seterusnya
selama seluruh sampel amfibi bisa terlihat.

3.4 Jenis Data


1. Data Primer
Data Primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan
meliputi:
a. Data satwa amfibi
Data terkait jenis amfibi ini meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran
Snout Vent Length (SVL) yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka (Gambar 7)
tiap jenis, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya, data
terkait habitat yang diambil berdasarkan checklist Heyere (1994), meliputi: tanggal dan
waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan.

Gambar 7. Ukuran SVL pada katak (garis hijau : a - b) (Sholihat, 2007).

b. Data habitat
Adapun data komponen habitat yang yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu
udara, kelembaban udara, pH tanah, jenis vegetasi. Data kondisi habitat yang diambil
berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi
yang dekat sehingga diasumsikan bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang
sama, hal ini dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan
berubah dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban dan cuaca
diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan.
2. Data Sekunder
Data sekunder meliputi Peta Administrasi PT. Sipef Biodiversity Indonesia, letak
geografis lokasi penelitian, tipe iklim, data potensi kawasan, data curah hujan dan data
pendukung lainnya untuk penelitian.

3.5 Prosedur Penelitian


a. Survei pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data dimana kegiatan ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat disetiap lokasi penelitian
sehingga mempermudah penentuan lokasi pengamatan dan memperbesar peluang
menemukan Amfibi ordo Anura.
b. Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi sepanjang 1 km seperti pada
(Gambar 8)

1. 2.
Gambar 8. (1). Jalur transek di sepadan sungai, (2). Jalur transek di hutan sekunder.

c. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur


pengamatan pada pagi dan malam hari selama 2 kali pengulangan untuk setiap jalur.
Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 06.00-08.30 WIB, sedangkan pengamatan
malam hari dilakukan pada pukul 18.00-20.30 WIB. Pengamatan dilakukan pada habitat
hutan sekunder dan sepadan sungai yang ada di Blok Sungai Kiang PT. Sipef Biodiversiti
Indonesia yang telah ditentukan untuk pengamatan. kemudian mencatat perjumpaan
katak dan kodok ordo Anura Parameter yang diukur yaitu jenis, jumlah, dan waktu
pengamatan (Agoes, 2013).
d. Pengumpulan Spesimen
Setiap jenis katak dan kodok ordo Anura yang ditemukan akan dicatat dalam tally
sheet dan lokasi penemuan dicatat koordinatnya dengan menggunakan GPS. Untuk jenis
yang belum diketahui harus ditangkap lalu dimasukan ke dalam kantong spesimen dan
dilakukan identifikasi dengan menggunakan buku panduan lapangan, internet. Setelah
diamati dan sudah ditemukan jenisnya maka katak dan kodok di lepaskan kembali
kehabitatnya, apabila tidak bisa diidentifikasi maka bisa dilakukan pengawetan specimen
di identifikasi dilaboratorium kehutanan dan bisa juga di ambil dokumentasi gambarnya
yang jelas maka nanti bisa di identifikasi lebih lanjut smpai nama jenisnya diketahui.
3.6 Analisis Data
Analisis Data Keanekaragaman Jenis dari ordo Anura
1. Keanekaragaman Jenis
Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon – Wienner (Krebs, 1989) dengan rumus :

Dimana

Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wienner (Krebs, 1989)
Pi = Perbandingan jumlah individu jenis dengan total individu
ni = Jumlah individu jenis
N = Total individu

Dengan kriteria hasil keanekaragaman (H’) berdasarkan Shannon-Wiener adalah:

H’ < 1 : Keanekaragaman rendah

1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

2. Kemerataan jenis
Kemerataan jenis kodok dan katak dihitung dengan menggunakan rumus (Brower
dan Zar, 1977):
Rumus:

Keterangan:
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragama n jenis Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis
Ln = Logaritma natural

Dengan kriteria sebagai berikut:


e ≤ 0,4 : Kemerataan rendah
0,4 ≤ e ≤0,6 : Kemerataan sedang
e ≥ 0,6 : Kemerataan tinggi (Otaviani, 2012 dalam Setianingsih, 2016)
3. Peluang perjumpaan
Peluang perjumpaan ditentukan dengan cara membagi jumlah individu jenis ke-i
dengan waktu pengamatan. Peluang perjumpaan Jenis dari ordo Anura dihitung dengan
rumus:

Keterangan :
Pp = Peluang perjumpaan
ni = Jumlah jenis ke-i
t = Waktu pengamatan

4. Indeks kesamaan komunitas (Indeks of Similarity)


Indeks kesamaan komunitas diperlakukan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan komposisi jenis amfibi berdasarkan dua tipe habitat. Indeks kesamaan
komunitas dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993)
Rumus:
IS= 2C/(A+B)
Keterangan :
C = Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua tipe habitat
A = Jumlah spesies yang dijumpai pada plot 1
B = Jumlah spesies yang dijumpai pada plot 2
Kriteria nilai indeks kesamaan komunitas (Odum, 1971; Prita, Riniartih dan Ario, 2014)
1% - 30% = kategori rendah
31% - 60% = kategori sedang
61% - 90% = kategori tinggi
91% - 100% = kategori sangat tinggi
3.7 Tahapan Penelitian

Tahapan persiapan

Survey Lokasi Penentuam judul penelitian

Tahap penelitian

Pengamatan jenis katak dan kodok ordo Anura

Habitat

Tumbuhan invasif hutan Sepadan sungai kiang


sekunder

Visual Encounter Survey

Identifikasi :
Jenis Suhu
Panjang tubuh Kelembaban
Prilaku saat ditemukan Tipe Vegetasi

Aanalisis data

1. Keanekaragaman ( indeks Shannon-Wiener)


2. Kemerataan jenis katak dan kodok ( rumus Brower dan
Zar)
3. Peluang perjumpaan
4. Indeks kesamaan komunitas (Indeks of Similarity)

Gambar 8. Alur Penelitian jenis dari ordo Anura


DAFTAR PUSTAKA

Ardian, I. 2019. Karakteristik Amfibia (ordo Anura) yang Terdapat di Kawasan Pucoek
Krueng Alue Seulaseh Kabupaten Aceh Barat Daya Sebagai Penunjang
Praktikum Zoologi Vertebrata. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi.
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam-Banda Aceh. Aceh. Vol. 6 No.1, 58-65.
Ario, A. 2010. Panduan Lapangan Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Jakarta: Consevation International Indonesia.
Candra, M.K. 2018. Studi Jenis Katak dan Kodok di Kapuas Hulu. Fakultas Pertanian
Univ Kapuas
D Kusrini, Mirza. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Fakultas
Pertanian IPB. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayuati. Bogor.
Duellman, W. E dan Trueb, L. 1994. Biology of Amphibians. Buku. Johns Hopkins Univ
Press. London.
Goin C.J dan Goin O.B. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San
Francisco: Freeman.
Hidayah, A . 2018. Keanekaragaman herpetofauna di kawasan wisata alam coban putri
desa tlekung kecamatan junrejo batu jawa timur. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim. Malang
Halliday, T dan Adler, K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Buku.
Oxford University Press.
Heyer, W.R., Donnelly, M.A., Diarmid, M.C., Haek, L.C dan Foster, M.S. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for
Amfibians. Smithsonia Institution Press. Washington. 152p.
Inger RF dan Stuebing RB. 2005. A Field Guide to The Frogs of Borneo. Second
Edition. Kota Kinabalu: Natural History Publications (Borneo).
Iskandar D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Bogor. Puslitbang
LIPI
Iskandar D.T. 2008. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan LIPI. Bogor.
Kusrini MD. 2003. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan, Institut Petanian Bogor.
Kusrini MD. 2007. Konservasi Amfibi Di Indonesia: Masalah Global Dan Tantangan
(Conservation of Amphibian in Indonesia: Global Problems and Challenges).
Media Konservasi Vol. XII, No. 2 Agustus 2007
Kusrini MD. 2008. Pengenalan Herpetofauna. Disampaikan pada Pekan Ilmiah
Kehutanan Nasional, Jum’at 24 Oktober 2008.
Kusrini, M. D. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Fahutan IPB
dan Direktorat KKH. Bogor. 3
Mardinata, R. 2017. Keanakaragaman amfibi ordo anura di tipe habitat berbeda resort
balik bukit taman nasional bukit barisan selatan. Skripsi. Universitas Lampung.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor.
Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Area Mawas Propinsi Kalimantan
Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). The Gibbon Foundation and PILI
NGO Movement. Indoneia.
Nichols, J.D., dan B.K.Williams 1998. Estimating ratesof local species extinction,
colonization and turnover in animal communities. Ecological Application.
Nopriansyah,S . 2018. Jenis jenis Anura yang terdapat di kawasan Desa Padang Tepong
kecamatan ulumusi kabupaten Empat Lawang. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Biologi. Universitas Muhamadya Bengkulu. Bengkulu
Nurcahyani, N.M., Kanedi., dan Kurniawan, E.S. 2009. Inventarisasi Jenis Anura Di
Kawasan HutanSekitar Waduk Batutegi, Tanggamus, Lampung. Jurusan Biologi
FMIPA. Universitas Lampung.
Rohadian. A. R. 2019. Keanekargaman ampibi ordo Anura diberbagai habitat di kawasan
hutan pendidikan kemumu palak siring Bengkulu utara. Skripsi. Universitas
Bengkulu. Bengkulu.
Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan ekologi herpetofauna (reptile dan ampibi ) di
sumetera selatan. Skripsi. Institute pertanian bogor. Bogor. 247p.
Stebbins, R.C. dan Cohen, N. W. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey:
Princenton University Press.
Stuarte, S.N., Hoffmann, M., Chanson, J.S., Cox, N.A., Berridge, R.J., Ramani, P., dan
Young, B.E. 2008. Threatened Amphibians of The World. USA: Conservation
International.
Sutoyo. 2010. Keanekaragaman Hayati Indonesia. Suatu Tinjauan: Masalah dan
Pemecahannya. Buana Sains.
Peta Lokasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai