Anda di halaman 1dari 5

Suksesi Wanagama

Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya
yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan
ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi
ekologis atau suksesi. Menurut Michael (1994) suksesi adalah cara umum perubahan
progresif dalam komposisi spesies suatu komunitas yang sedang berkembang. Hal tersebut
secara bertahap disebabkan oleh reaksi biotik dan berlangsung melalui sederetan tahapan dari
tahapan pelopor menuju tahapan klimaks.
Suksesi dibedakan menjadi dua, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Adalah
formasi suatu komunitas baru pada suatu daerah yang diawali oleh suatu daerah yang kosong
atau gundul, tahap-tahap awal suksesi biasanya melibatkan sedikit spesies atau belum
melibatkan biota apapun. Beberapa spesies terlibat dalam hubungan simbiosis seperti
mutualisme dan komensalisme. Sedangkan suksesi sekunder merupakan pembentukan
kembali suatu komunitas ke bentuk kondisi awal setelah daerah tersebut rusak. Suksesi
sekunder disebabkan oleh gempa bumi, banjir, kebakaran hutan, aktivitas manusia, atau
faktor kerusakan lainnya tetapi komposisi biotik yang sudah ada sebelumnya mempengaruhi
proses. Suksesi dapat terulang dalam beberapa waktu sampai munculnya variasi organisme
yang besar.
Salah satu contoh suksesi yang berhasil adalah Hutan Pendidikan Wanagama yang
ada pada wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta dimana pada tahun 1960-an masih berupa lahan
kritis, hanya berupa tanah tandus bebatuan yang kering dan gersang, tidak bertanaman,
kehidupan binatang maupun mikroorganisme sehingga menyebabkan erosi yang tidak
terkontrol pada musim hujan karena tidak dapat menampung air serta berdampak kekeringan
pada musim kemarau. Kondisi hutan yang semakin memprihatinkan, menggugah jiwa para
rimbawan Universitas Gadjah Mada untuk segera menyelamatkan hutan. Sekarang nyatanya
lahan tandus tersebut telah berubah menjadi hutan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh
berbagai masyarakat.
Melihat pada sejarahnya, setelah Indonesia merdeka, wilayah kolonial Belanda
diserahkan kembali kepada pemerintah Indonesia. Kawasan hutan Gunung Sewu yang masuk
dalam wilayah kewenangan Jawatan Kehutanan yang sebagian besar wilayahnya berada
dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunung Kidul. Sempat dilakukan penanaman pohon
jati dan pohon mahoni kembali dilakukan di daerah Gunung Kidul oleh Jawatan Kehutanan
pada tahun 1950-1952. Namun, setelah enam tahun, hutan tanaman jati ternyata gagal dan
hutan mahoni banyak dicuri penduduk setempat. Hutan di Gunung Kidul menjadi sasaran
penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup, dari mengambil pakan ternak, pohon pohon
ditebang untuk kayu bakar serta untuk bangunan dan kandang ternak. Sementara itu,
penduduk enggan menanam pohon karena lahan dibutuhkan untuk menanam bahan makanan.
Penghasilan penduduk Gunung Kidul hanya dari bercocok tanam ubi kayu (Manihot
utilissima). Sayangnya, tanaman ubi kayu tumbuh merana karena tanah Gunung Kidul sangat
kurus akibat erosi yang berkepanjangan. Jawatan Kehutanan kemudian menanami lahan
kembali dengan sistem tumpang sari setiap kali hutan sudah kosong ditebangi penduduk.
Penduduk diijinkan menanam tanaman palawija disela-sela tanaman pokok hutan selama
masa kontrak. Akan tetapi, setelah pohon tumbuh besar, hutan kembali menjadi sasaran
penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pohon-pohon ditebang lagi untuk dijual
kayunya. Akibatnya, hutan Gunung Kidul tidak pernah terbentuk dan lestari. Persepsi
penduduk sekitar Gunung Kidul masih menganggap bahwa hutan adalah bentang alam yang
dikuasai negara, bukan sebagai bentang alam yang perlu dirawat bersama-sama sehingga
pada tahun 1960-an lahan di Gunung Kidul dalam kondisi kritis. Erosi dan kekeringan parah
menyebabkan penduduk harus berjalan kaki berkilo-kilometer ke sumber air untuk memenuhi
kebutuhan air di musim kemarau. Pada masa ini, hilangnya hutan di Gunung Sewu
menyebabkan penduduk Gunung Kidul menjadi penduduk termiskin di Jawa, menderita
kelaparan dan kekurangan air (Ernawati,2016).
Usaha menghijaukan kembali lahan kritis Wanagama dimulai dengan melibatkan
penduduk dengan memberi manfaat langsung dalam waktu yang singkat. Salah satu caranya
adalah melibatkan penduduk dalam pembuatan terasering, jalan, bangunan, dan saluran air,
dengan imbalan uang lelah yang layak dan diberikan tepat waktu. Bagi penduduk yang
kekurangan lahan untuk menanam tanaman pakan ternak, ditananam rumput pakan ternak
jenis kolonjono (Brachiaria mutica) di sela-sela tanaman pohon. Penduduk diijinkan
mengambil rumput kolonjono dan dedaunan di lahan Wanagama dengan imbal balik ke
Wanagama berupa pupuk kandang. Pupuk kandang tersebut selanjutnya digunakan untuk
memupuk persemaian di lahan Wanagama. Jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan padi gogo di
sela-sela tanaman pohon di lahan Wanagama sebagai pengahsilan tambahan atausumber
kebutuhan masyarakat setempat. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, perintis Wanagama
membangun bak penampung di mata air yang tersedia di lahan kritis Wanagama. Petugas
lapangan dan penduduk sekitar Wanagama memperoleh air bersih dari bak air tersebut .
Keberhasilan langkah-langkah perintis Wanagam menumbuhkan tanaman kembali di lahan
kritis Wanagama, ditiru penduduk Gunung Kidul untuk memperbaiki lahan kritis di sekitar
mereka.Penduduk minta diajari menanam pohon di pekarangannya. Misalnya, cara menanam
tanaman lamtoro sebagai tanaman pagar, atau menanam pohon jati di dekat rumah.
Menghijaukan kembali lahan kritis Wanagama memerlukan rangkaian proses secara
berurutan (suksesi). Secara alami, proses suksesi dimulai di tanah tipis sengkedan dan di
celah
batuan. Biji dari jenis tanaman perintis (pioneer), yang jatuh terbawa angin atau terbawa
hewan, akan tumbuh di lapisan-lapisan tanah tipis tersebut. Biji-biji tersebut mampu tumbuh
di atas batu jika kondisi iklim mikronya cocok. Jika berhasil tumbuh, biji tanaman perintis
tersebut dapat menjadi belukar dan gulma. Proses pembelukaran ini penting untuk
menyediakan jalan bagi kehidupan tanaman lain.
Sayangnya, proses suksesi secara alami memerlukan waktu yang sangat panjang. Lahan yang
kritis mengharuskan Wanagama memerlukan campur tangan manusia dalam mempercepat
proses pembelukaran. Kondisi awal Wanagama hanya memiliki tanah tipis disengkedan dan
celah batuan. Lahan berbatu tersebut memiliki iklim mikro yang belum baik sehingga
memerlukan jenis tanaman perintis berakar dangkal, yang mampu hidup di batuan bertanah
tipis. Kesesuaian jenis dengan tempat tumbuhnya merupakan suatu kunci sukses dalam
pertumbuhan suatu jenis tanaman. Hal ini mengakibatkan tanah yang kritis sulit untuk dapat
ditanami. Tidak bisa dipungkiri bahwa tumbuhan memerlukan tanah tanah sebagai media
tumbuh, memperoleh pasokan hara dan air demi kelangsungan hidupnya. Supriyo, H (2009)
menyatakan bahwa Petak-petak di Wanagama semuanya memiliki perbedaan dalam hal
kondisi lingkungannya termasuk kondisi vegetasi penyusunnya. Perbedaan vegetasi penyusun
ini dapat berdampak pada perbedaan akumulasi biomassa yang ada di lantai hutan. Adanya
perbedaan akumulasi biomassa seresah ini tentunya akan menyebabkan perbedaan kandungan
unsurunsur hara yang ada di dalam tanah karena kandungan bahan organik dan unsur hara
tanah berasal dari dekomposisi seresah. Dengan adanya perbedaan kandungan unsur hara
antar lokasi maka terjadilah perbedaan tingkat kesuburan antara petak yang satu dengan yang
lainnya. Perbedaan yang ada ini dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap kemampuan
tumbuhan untuk dapat tumbuh di lokasi tersebut, sehingga kemungkinankondisi tanah dan
unsur hara yang ada dapat menjadi faktor pembatas dalam penyebaran suatu jenis tumbuhan
di hutan Wanagama. Campur tangan manusia tersebut harus dilakukan sejalan dengan hukum
alam serta siasat cara seperti :
1. mempercepat proses pembelukaran dengan memilih jenis tanaman perintis berupa
leguminosa dan rumput
2. melakukan uji tumbuh spesies dari beberapa keluarga tanaman di lahan yang miskin
hara
3. menanam tanaman komersial di lahan yang memiliki kedalaman tanah agak tebal
Berdasarkan gambaran sejarahnya tersebut, Hutan Wanagama dapat dikategorikan
mengalami suksesi sekunder, karena pembentukan kembali suatu komunitas yang ada
dalamnya ke bentuk kondisi awal setelah daerah tersebut rusak akibat aktivitas manusia
masih dipengaruhi oleh komposisi biotik yang sebelumnya sudah ada, walaupun jumlahnya
sangat sedikit (lahan sangat rusak).

Daftar Pustaka

Ernawati, Johanna. 2016. Jejak Hijau Wanagama : Sebuah Perjalanan Menghijaukan


Lahan Kritis. Jakarta : Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit
(GIZ) GmbH Forests and Climate Change Programme (FORCLIME)
Supriyo, H, Eny Faridah, Winastuti D.A, Arom Figyantika dan Ahmad Khairil. 2009.
Kandungan C-Organik Dan N-Total Pada Seresah dan Tanah pada 3 Tipe Fisiognomi
(Studi Kasus Di Wanagama I, Gunung Kidul, DIY). Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. Vol. 9 No. 1 (2009) p: 49-57
Michael, P. 1994. Metode Ekologi. Jakarta : Universitas Indonesia Press
TUGAS EKOLOGI HUTAN

Nama : Alfi Nurul Hidayah


NIM : 15/377790/KT/07908

Anda mungkin juga menyukai