Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
secara alami hanyalah Pinus merkusii dan terdapat di tiga tempat Sumatera yaitu Kerinci, Tapanuli, dan Aceh, dan oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan strain, sedangkan Cooling (1968) menyebutnya sebagai provenansi, dan Armizon et al. (1995) menamakannya sebagai galur. P. merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya pada dataran tinggi di Bukit Tapan, Pungut Mudik, Pungut Ilir, Pungut Tengah, Gunung Tebakar, dan tempat tumbuh alami lainnya yang belum diketahui secara pasti, dan jumlah individu pohon dalam populasinya sangat sedikit. Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi kehutanan, dan kondisi hutannya nampak sudah terancam keberadaannya karena permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan. Tindakan konservasi, baik in-situ maupun ex-situ sangat diperlukan dan sifatnya mendesak. Kata kunci : Pinus merkusii strain Kerinci, permudaan alam, permudaan buatan, konservasi I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah Pinus merkusii Jungh et De Vriese di tiga tempat Sumatera, yaitu di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci, dan oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"; sedangkan Cooling (1968) menyebutnya sebagai "provenansi". Untuk strain Kerinci, Armizon et al. (1995) menyebutnya sebagai "galur" Kerinci. P. merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.375.934 hektar, yang memanjang hampir 350 km dengan lebar sekitar 50 km dari barat laut ke tenggara meliputi empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Kompas, 9 September 2005). Sebaran alam yang "sangat sedikit" didapatkan untuk strain Kerinci, sedangkan sebaran alam yang "sedikit" diperoleh untuk strain Tapanuli dan sebaran alam yang "paling luas dan banyak" ditemukan untuk strain Aceh. Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi Kehutanan. Untuk strain Tapanuli, hutan tanaman dalam skala kecil pernah dibuat oleh masyarakat di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar (keduanya masuk dalam Kabupaten Tapanuli Utara) dengan menggunakan bibit/anakan alam yang diambil secara cabutan, dan sekarang hampir habis karena pengusahaan oleh rakyat dialihkan
Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. 2 Peneliti pada Kelti Silvikultur, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
A. Daerah Persebaran P. merkusii merupakan satu-satunya jenis konifer di daerah tropika yang daerah persebarannya luas di Asia Tenggara, dari 9530'-12130' Bujur Timur dan 22 Lintang Utara hingga 2 Lintang Selatan, meliputi Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kepulauan Hainan, Pulau Mindoro dan Luzon di Filipina, serta Sumatera di Indonesia (Cooling, 1968). Di Sumatera, populasi P. merkusii tumbuh secara alami pada tiga tempat yaitu Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Populasi ini oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"', sedangkan Cooling (1968) menyebutnya "provenansi" dan Armizon et al. (1995) menamakannya "galur". Daerah persebaran alami strain Kerinci adalah "sangat sedikit", sedangkan daerah persebaran alami strain Tapanuli adalah "sedikit" dan daerah persebaran alami strain Aceh adalah "paling luas dan banyak". Dalam bentuk tanaman, P. merkusii strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh instansi kehutanan maupun rakyat. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi hampir semua tanaman tersebut mati (Dawliwanto, komunikasi pribadi). Untuk strain Tapanuli, pernah dibuat oleh rakyat dengan menggunakan anakan alam yang diambil secara cabutan di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, tapi sekarang masyarakat/ rakyat mengubah pemanfaatan strain Tapanuli menjadi pertanaman kopi (Suhaendi, 2005). Untuk strain Aceh, hutan tanaman telah dibuat di hampir seluruh provinsi di Indonesia karena persebarannya paling luas dan benihnya sangat banyak dan mudah diperoleh. P. merkusii strain Kerinci diketemukan oleh Cordes (1867) dengan nama daerah "sigi" pada ketinggian 11.000 feet di atas permukaan laut (dpl.), dan paling rendah 3.000-4.000 feet dpl. Pada nama-nama daerah saat pengkajian diadakan pada bulan Agustus 2005 adalah "kayu kasigi" di Kecamatan Air Hangat Timur yang terdiri dari Desa Pungut Mudik, Desa Pungut Ilir, dan Desa Pungut Tengah;
100
dan "kayu sigi" di Bukit Tapan, Koto Limau Sering, Kecamatan Sungai Penuh; yang semuanya termasuk dalam Kabupaten Kerinci. Lamb dan Cooling (1967) serta Cooling (1968) menyatakan bahwa strain Kerinci diketemukan pada ketinggian 1.500-2.000 m dpl. Letak tempat tumbuh alami kurang diketahui secara jelas, tapi Radja (1971) dapat menemukannya di Gunung Tebakar Pungut (2.197 m dpl.), Gunung Patah Bukit Sangko (2.206 m dpl.), Bukit Kulit Manis, dan Bukit Sigi. Selanjutnya, Armizon et al. (1995) menyatakan bahwa strain Kerinci juga ditemukan pada ketinggian 1.010 m sampai 1.492 m dpl. di hutan hujan pengunungan Cagar Alam Bukit Tapan, kawasan TNKS. B. Sifat-sifat Fenotipa Perbedaan sifat-sifat fenotipa antara strain Tapanuli dan strain Aceh berupa bentuk batang, daun, sistem percabangan, ruas batang, kulit batang, kandungan getah, produksi getah, pembijian, dan kepekaan terhadap serangan Millionia basalis telah dikaji oleh Van de Veer dan Goves (1953) serta Soerianegara dan Djamhuri (1979). Menurut Cordes (1867), sifat-sifat morfologi P. merkusii strain Kerinci adalah: berbatang lurus, percabangan sangat tinggi, daun jarum sebanyak dua buah (hampir sama dengan jenis Pinus sylvestris), daun licin dan bagian dalamnya agak cekung dan kasar. Armizon et al. (1995) mendapatkan perbedaan sifat-sifat morfologi antara strain Kerinci dengan strain Aceh. Dibandingkan dengan strain Aceh, sifat-sifat strain Kerinci adalah : bentuk batang umumnya lebih lurus dan lebih silindris, kulit batang umumnya lebih tipis (1 cm) dengan warna lebih terang (putih keabu-abuan) dan alur yang lebih dangkal, sedangkan daunnya relatif lebih jarang, dan diduga kerentanan terhadap kebakaran lebih rentan karena kulitnya yang lebih tipis. Selanjutnya, Mukhtar dan Santoso (1987) menyebutkan bahwa strain Kerinci secara morfologis memiliki banyak kesamaan dengan strain Tapanuli. C. Sifat-sifat Genetika Dengan memperhatikan hubungan linier aditif antara nilai-nilai fenotipa (p), genotipa (g), dan lingkungan (l) di mana p = g + l, karena P. merkusii itu menyerbuk silang (cross pollinated) maka nilai genotipa yang memberikan kontribusi kepada nilai fenotipa suatu sifat tertentu adalah heterozigot (heterozygote). Dengan demikian, nilai genotipa dari suatu sifat tertentu juga terdiri dari macammacam genotipa karena jenis ini menyerbuk bebas (open pollinated). Keragaman geografis diduga lebih kecil kemungkinan terjadinya di daerah dengan sebaran alami yang sempit dibandingkan dengan sebaran alami yang lebih luas pada Pinus sylvestris (Wright, 1981), sedangkan pada Pinus clausa keragaman geografis tersebut ditemukan cukup besar dalam daerah dengan sebaran alami yang sempit (Harahap, 1984). Dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler melalui penanda (marker) isoenzim, Munawar (2002) menunjukkan bahwa keragaman genetik hutan alam strain Kerinci adalah yang paling kecil dibandingkan keragaman genetik hutan alam strain Tapanuli maupun strain Aceh.
101
Konservasi genetik in-situ yang paling umum adalah cagar alam dan taman nasional. Berdasarkan pengamatan di hutan pengunungan Cagar Alam Bukit Tapan, kawasan TNKS, Armizon et al. (1995) menyatakan bahwa eksistensi P. merkusii strain Kerinci di masa yang akan datang terancam karena sedikit sekali permudaan yang terdapat di kawasan hutan tersebut. Menurut Munawar (2002), populasi alam strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit. Sebagai akibatnya, angka koefisien inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam ini. Selanjutnya Munawar (2002) menyatakan bahwa populasi alam strain Kerinci sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit (kurang dari satu hektar) dengan jumlah pohon yang hanya sedikit. Tindakan konservasi in-situ dan ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksanakan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan pohon di masa mendatang. Suatu tinjauan tentang status konservasi ex-situ telah dikaji oleh Suhaendi et al. (1993). Selanjutnya, Suhaendi (1997) menjelaskan jenis-jenis konservasi genetik ex-situ, yaitu: 1. Konservasi genetik dengan benih/bibit. 2. Konservasi genetik melalui metode penyimpanan pada suhu sangat rendah (80 sampai -196C), atau disebut cryopreservasi. 3. Konservasi genetik dengan tepung (serbuk) sari. 4. Konservasi genetik dengan kultur jaringan, termasuk konservasi DNA. Yang paling banyak dilakukan untuk kepentingan praktis adalah konservasi genetik ex-situ melalui bibit cabutan yang berasal dari hutan alam, baik di Cagar Alam Bukit Tapan maupun kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. III. METODOLOGI A. Deskripsi Obyek Kajian Ada dua kawasan dalam Taman Nasional Kerinci Seblat yang dijadikan obyek kajian, yaitu Bukit Tapan (Kecamatan Sungai Penuh) dan Pungut Mudik (Kecamatan Air Hangat Timur), Kabupaten Kerinci. 1. Bukit Tapan Kelompok hutan P. merkusii strain Kerinci di Bukit Tapan terdapat di sepanjang jalan darat antara Sungai Penuh dan Tapan, terletak antara 101 1' Bujur Timur dan 29' Lintang Selatan. Nama Bukit Tapan dikenal pula dengan nama Koto Limau Sering. Topografi lapangan berbukit berat dengan kelerengan antara 80% sampai 85%, pada ketinggian 900 m dpl. P. merkusii strain Kerinci secara alami tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning dan di tanah Podsol, Latosol dan Litosol. Iklim termasuk tipe A dan B dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.945-2.027 mm (Cooling, 1968).
103
104
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Eksplorasi dan Identifikasi Salah satu kesempatan yang dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh yang diadakan di Paris pada tanggal 17-29 September 1991 adalah adanya tiga unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam program perbenihan pohon hutan yang terintegrasi, yaitu konservasi sumberdaya genetik (gene resource conservation), pengadaan benih (seed procurement), dan pemuliaan pohon (tree improvement). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (P3H&KA) terlibat secara penuh dan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya genetik, yang terdiri dari kegiatan eksplorasi dan identifikasi sumberdaya genetik yang terancam punah, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, dan pemanfaatan sumberdaya genetik. Dari hasil wawancara dengan berbagai instansi kehutanan khususnya TNKS dan masyarakat sekitar, strain Kerinci memang terdapat secara alami di kawasan TNKS khususnya di Bukit Tapan dan Pungut Mudik. Di Cagar Alam (CA) Bukit Tapan dan Pungut Mudik dalam kawasan TNKS, strain Kerinci tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil di antara jenis-jenis pohon lainnya, yang berarti pula bahwa strain ini tidak terdapat dalam tegakan murni melainkan tercampur dalam bentuk asosiasi dengan jenis-jenis pohon lainnya. Keberadaan suatu tegakan pohon ditentukan oleh kondisi permudaannya. Dalam kajian bulan Agustus 2005, di CA Bukit Tapan ditemukan 60 batang anakan alam strain Kerinci sedangkan di Pungut Mudik satu anakan pun tidak ditemukan. Anakan alam ditemukan letaknya jauh dari posisi pohon induknya, dan ini disebabkan karena penyerbukan genus Pinus dilakukan dengan bantuan angin (anemogamy). Dalam hal tidak ditemukannya anakan alam strain Kerinci di Pungut Mudik juga disebabkan biji yang jatuh ke lantai hutan sangat jarang karena terbawa angin dan seandainya tumbuh pun tidak lama kemudian mati karena adanya naungan berat sehingga cahaya langsung tidak diperoleh. Dan oleh karena itu, Suhaendi (2005) menyatakan bahwa cagar alam harus dibuka secara terkendali untuk memungkinkan tumbuhnya permudaan alam. Di samping kegiatan eksplorasi pohon strain Kerinci, juga diperlukan kegiatan identifikasi untuk menentukan keragaman genetiknya. Keragaman genetik strain Tapanuli telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika kuantitatif (Suhaendi, 1988a; 2000), sedangkan keragaman genetik strain Kerinci telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika molekuler dengan penanda isoenzim (Munawar, 2002). Menurut Wright (1981), keragaman geografis (provenansi) pada daerah sebaran alami yang sempit adalah kecil. Pendapat ini sejalan dengan Munawar (2002) untuk P. merkusii strain Kerinci. Keragaman geografis monoterpen pada genus Pinus dapat dijadikan penanda gen (gene marker) karena komposisinya berbeda sangat besar, baik antar jenis, antar asal benih maupun antar pohon dalam satu asal benih. Harahap (1989) menyatakan terdapatnya kecenderungan kadar delta -3carene menaik dari Aceh (strain Aceh 42,8 %) ke Kerinci (strain Kerinci 73,4 %) dan paling kecil di Tapanuli (strain Tapanuli 6,4 %).
105
bahwa pohon strain Kerinci di Pungut Mudik hanya menghasilkan 2-9 benih per kerucut. Demikian pula produksi buah per pohon untuk strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan strain Aceh asal Jawa. Kenyataannya di lapangan, populasi alam P. merkusii strain Kerinci di KerinciSeblat jumlah individunya sudah sangat sedikit dengan kondisi pembuahan yang tidak bagus. Akibatnya, sudah beberapa tahun diadakan kegiatan eksplorasi benih P. merkusii strain Kerinci oleh Fakultas Kehutanan UGM tetapi hasilnya tidak pernah memuaskan, sehingga upaya untuk mengadakan konservasi ex-situ selalu mengalami kesulitan. Siregar (2000) melaporkan bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih kecil daripada strain Aceh. Juga telah dideteksi bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci sudah hilang. Menurut petugas lapangan di Resort Bukit Tapan TNKS, cara untuk mendapatkan anakan alam strain Kerinci dalam rangka konservasi ex-situ adalah dengan cara membersihkan semua tanaman pengganggu sehingga yang tertinggal hanyalah pohon-pohon besar dan kecil di sekitar pohon induk strain Kerinci pada bulan Juni sampai Juli di mana strobili akan mekar bulan Juli dan strobili akan pecah pada bulan Juli sampai Agustus. D. Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh tahun 1991 di Paris telah dinyatakan dengan tegas dan jelas tentang adanya tiga unsur yang saling terkait antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon. Konservasi sumberdaya genetik adalah semua kegiatan yang dirancang untuk melindungi dan mempertahankan keragaman genetik untuk dimanfaatkan secara lestari. Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon dapat dinyatakan pada Gambar 1.
Tinggi Populasi Perbanyakan
Nilai Genetik
Populasi Pemuliaan
Rendah
Jumlah individu
Keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci merupakan populasi konserva-si (populasi dasar) yang menjadi bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon. Dengan demikian, pemuliaan pohon harus selalu meningkatkan keragaman
107
3.
4. 5.
6.
7. 8.
9.
108
B. Saran 1. Perlu adanya keputusan dari pengambil kebijakan tentang pentingnya eksplorasi pohon strain Kerinci dan strain Tapanuli dengan metode sensus di seluruh kawasan konservasi di Sumatera. Perlu dilakukan pertemuan formal antar pengambil kebijakan lingkup Departemen Kehutanan tentang wacana perlunya pembukaan tajuk untuk menstimulir pembungaan dan pembijian dalam cagar alam. Untuk meningkatkan keragaman genetik strain Kerinci dan strain Tapanuli perlu adanya kegiatan infusi genetik dari seluruh populasi alam yang ada, dan diperluas dengan populasi land race yang sekarang tersebar di berbagai daerah.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1991. Proceedings of the 10th World Forestry Congress, Paris, 17-26 September 1991, Vol. I-VI. Armizon, C. Sukmana dan S. Manan. 1995. Okurasi Pinus merkusii Junghn et de Vries Galur Kerinci Berdasarkan Ketinggian Tempat di Hutan Pegunungan Cagar Alam Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat. Rimba Indonesia 30 (4): 2-9. Cooling, E.N.G. 1968. Fast Growing Timber Trees of the Lowland Tropics No.4. Pinus merkusii. Department of Forestry, University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England. Cordes, J.A.H. 1867. Het Gescaht Pinus in Het Zuidelijk Hatt Rond. Natuurk Tijdschr, Med. Indie 29: 130-135. Danarto, S. 1983. Studi Fenologi Pembungaan, Pembuahan dan Penyerbukan Terkendali Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di Sempolan, Jember. Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Dorman, K.W. 1976. The Genetics and Breeding of Southern Pines. Agriculture Handbook No. 471. Forest Service USDA, Washington, D.C. Harahap, R.M.S. 1984. Geographic Variation in Monoterpene Composition of Pinus clausa. Magister Thesis, University of Florida. _____. 1989. Variasi Komposisi Monoterpene Pinus merkusii di Suma-tera. Buletin Penelitian Kehutanan 4(4): 79-86. _____. 2000. Uji Asal Benih Pinus Merkusii di Sumatera Utara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Wanagama I, 1-2 Desember 1999, p. 228-232. Kingmuangkow, S. 1974. Flowering and Seed Formation of Pinus merkusii in Northern Thailand. Dalam: Ann. Rept. Thai-Danish Pine Project 1969-1974: 49-56, Chiangmai, Thailand. Lamb, A.F.A. dan E.N.G. Cooling. 1967. Exploration, Utilization and Conservation of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources. Department of Forestry, University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England. Laumonier, Y. 1994. The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National Park, Sumatera. SEAMEO, BIOTROP. Tropical Biodiversity 2(1). Bogor. Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi Pinus merkusii Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi. Buletin Penelitian Hutan 489. Bogor.
109
110