Anda di halaman 1dari 99

PENGEMBANGAN MULTIUSAHA KEHUTANAN UNTUK

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN


RESOLUSI KONFLIK

TABAH ARIF RAHMANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan


Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2020

Tabah Arif Rahmani


NIM E151180198
RINGKASAN

TABAH ARIF RAHMANI. Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk


Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik. Dibimbing oleh DODIK RIDHO
NURROCHMAT dan YULIUS HERO.

Hutan Harapan merupakan kawasan hutan produksi yang saat ini menjadi
hutan hujan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Saat ini, Hutan
Harapan dikelola oleh PT REKI dengan skema restorasi ekosistem (IUPHHK-RE).
Tercatat sekitar ±17.000 hektar kawasan Hutan Harapan telah digarap (dirambah)
oleh masyarakat dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dengan pola
monokultur. Saat ini, terdapat dua kontestasi kepentingan utama terhadap kawasan
Hutan Harapan, yaitu PT REKI dengan kepentingan ekologi dan masyarakat lokal
dengan kepentingan ekonomi. Adanya konflik kepentingan antara masyarakat
lokal dengan perusahaan (PT REKI) membuat kegiatan restorasi ekosistem tidak
berjalan dengan efektif dan efisien. Belajar dari keberhasilan penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit yang diinisiasi oleh CRC-990/EFForTS,
penelitian ini memberikan pertimbangan untuk mempromosikan agroforestri
berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik di Hutan Harapan. Penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan
ekonomi dan ekologi pada kontestasi di kawasan Hutan Harapan.
Tujuan dalam penelitian ini, meliputi: 1) menganalisis dan membandingkan
kelayakan ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa sawit, dan pola kelapa sawit
monokultur; 2) mengidentifikasi keberterimaan masyarakat yang berada di dalam
kawasan Hutan Harapan terhadap pola agroforestri berbasis kelapa sawit
(kelayakan sosial); dan 3) menganalisis faktor pemungkin (enabling factor) yang
diperlukan guna mendukung jalannya pola agroforestri berbasis kelapa sawit
sebagai upaya resolusi konflik di kawasan Hutan Harapan. Penelitian ini
mengevaluasi kelayakan finansial dari pola agroforestri berbasis kelapa sawit
dibandingkan dengan kelapa sawit monokultur. Penelitian ini juga melakukan
analisis kelayakan sosial dan faktor pemungkin dari pola agroforestri berbasis
kelapa sawit, yang dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi
keberterimaan masyarakat terhadap MoU untuk menanam tanaman sela di kebun
kelapa sawit yang berada di dalam kawasan Hutan Harapan, alasan masyarakat
memilih usaha kebun kelapa sawit, serta preferensi masyarakat terhadap hutan.
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pola agroforestri berbasis
kelapa sawit layak secara finansial dan berpotensi mencukupi kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, secara ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa
sawit layak untuk diterapkan sebagai upaya resolusi konflik. Namun faktanya,
masyarakat Hutan Harapan tidak mau menerapkan pola agroforestri karena
berbagai alasan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa saat ini pola agroforestri
berbasis kelapa sawit tidak layak secara sosial. Guna mengimplementasikan
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik, dibutuhkan
berbagai faktor pemungkin agar agroforestri berbasis kelapa sawit dapat diterima
oleh masyarakat Hutan Harapan. Keberadaan pasar dan akses pasar yang mudah
menjadi faktor pemungkin yang paling utama. Selain itu, ketersediaan dan
kemudahan memperoleh bibit tanaman sela untuk penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit juga menjadi faktor pemungkin yang lain.

Kata kunci: agroforestri, kelapa sawit, kesejateraan masyarakat, resolusi konflik


SUMMARY

TABAH ARIF RAHMANI. The Development of Multi-Forestry Business


Scheme towards Community Welfare and Conflict Resolution. Supervised by
DODIK RIDHO NURROCHMAT and YULIUS HERO.

Harapan Rainforest is a production forest which is the only one lowland rain
forest still remaining on the Sumatera, Indonesia. Currently, Harapan Rainforest
managed by PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) with an ecosystem
restoration scheme (IUPHHK-RE). Around ±17.000 hectares of Harapan
Rainforest area have been encroached by the community and converted into oil
palm plantations. Based on that situation, it can be said that today there are two
conflict of interests in Harapan Rainforest area which are PT REKI with
ecological interests and local community with economic interests. Conflicts of
interest between local communities and companies make ecosystem restoration
activities ineffective and inefficient. Learning from the successful implementation
of oil palm-based agroforestry initiated by CRC-990/EFForTS, we are considering
to promote oil palm-based agroforestry as a conflict resolution effort in Harapan
Rainforest. The application of oil palm-based agroforestry is expected to be able
to reconcile economic and ecological interests in the contestation in the Harapan
Rainforest area.
The objectives in this study are: 1) analyzing and comparing the economic
feasibility of oil palm-based agroforestry patterns, and monoculture oil palm
patterns (economic feasibility); 2) identifying the acceptance of the local
community towards oil palm-based agroforestry (social feasibility); 3) analyzing
the enabling factors needed to support the implementation of oil palm-based
agroforestry patterns as a conflict resolution effort. This study evaluates financial
feasibility of oil palm based agroforestry compared to oil palm monoculture
patterns. Then, this study also evaluates social feasibility analysis and enabling
factor of oil palm-based agroforestry patterns, which was carried out in a
descriptive qualitative approach by looking at local community's acceptance
towards MoU to plant intercrops in oil palm plantations in the Harapan Rainforest
area, the reasons of local community for choosing oil palm business, and the local
community preferences towards forests.
The results of financial analysis show that oil palm-based agroforestry
patterns are financially feasible, also has the potential to meet the needs of the
local community. Therefore, oil palm-based agroforestry patterns are
economically feasible. But, in fact, the local community is unwilling to implement
oil palm-based agroforestry patterns for several reasons. So that it can be said that
today the oil palm-based agroforestry patterns is not socially feasible. To
implement oil palm-based agroforestry as a conflict resolution, various enabling
factors are needed so that oil palm-based agroforestry can be accepted by the
Harapan Rainforest local community. The existence of markets and easy market
access are the main enabling factors. In addition, the availability and ease of
obtaining intercropping seeds for the application of oil palm-based agroforestry is
also another enabling factor.

Keywords: agroforestry, community welfare, conflict resolution, oil palm


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2020
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MULTIUSAHA KEHUTANAN UNTUK
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DAN RESOLUSI KONFLIK

TABAH ARIF RAHMANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Penguji pada Ujian Tesis: Mi Sun Park, BS, MA, Ph.D
Judul Tesis : Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan
Masyarakat dan Resolusi Konflik
Nama : Tabah Arif Rahmani
NIM : E151180198

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MScFTrop Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Ir Budi Kuncahyo, MS Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Ujian: 27 Agustus 2020 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berupa tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2019
sampai bulan Maret 2020 ini ialah agroforestri berbasis kelapa sawit, dengan judul
“Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan Masyarakat dan
Resolusi Konflik”.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada beasiswa PMDSU yang diinisiasi
oleh Kemendikbud-Dikti. Tak lupa, saya ucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua saya yang telah memberikan dukungan atas studi yang sedang saya
laksanakan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik
Ridho Nurrochmat, MScFTrop dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop selaku
komisi pembimbing yang telah dengan sabar dalam membimbing saya, sehingga
saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir
Bambang Irawan, MSc (UNJA), seluruh staf jajaran CRC-990/EFForTS, seluruh
staf jajaran PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), masyarakat lokal di
Desa Bungku yang telah menerima saya dengan baik dalam rangka melaksanakan
penelitian untuk tesis ini. Selain itu saya juga menyampaikan terima kasih kepada
segenap individu dan instansi lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,
yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Saya berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan berkontribusi
dalam khasanah ilmu pengetahuan dalam lingkup kehutanan di Indonesia.

Bogor, November 2020

Tabah Arif Rahmani


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6
State of The Art Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Multiusaha Kehutanan 7
Agroforestri 8
Konflik 9
Resolusi Konflik 11
3 METODE 13
Kerangka pemikiran 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Alat 16
Bahan 17
Jenis Data 17
Metode Pengumpulan Data 18
Responden Penelitian 19
Prosedur Analisis Data 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Kondisi Umum 23
Kelayakan Ekonomi Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit 35
Kelayakan Sosial Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit 43
Faktor Pemungkin (enabling factor) yang Diperlukan Guna Mendukung
Jalannya Resolusi Konflik dengan Pola Agroforestri Berbasis Kelapa
Sawit 46
5 SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 56
DAFTAR TABEL
1 Data komponen biaya dan pendapatan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit dan kelapa sawit monokultur yang dikumpulkan 17
2 Data dan atribut masyarakat yang diperlukan untuk analisis dalam upaya
resolusi konflik 18
3 Kelompok masyarakat Batin Sembilan di Hutan Harapan 29
4 Kelompok masyarakat Melayu di Hutan Harapan 30
5 Kelompok masyarakat Migran di Hutan Harapan 30
6 Hasil wawancara kondisi sosial-ekonomi masyarakat Hutan Harapan 32
7 Motivasi masyarakat dalam melakukan penggarapan lahan di Hutan
Harapan 32
8 Kelompok tani yang telah melakukan MoU dengan PT REKI dengan
skema kemitraan kehutanan 33
9 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola kelapa sawit monokultur 35
10 Produktivitas masing-masing jenis tanaman 36
11 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola agroforestri berbasis kelapa
sawit Plot B11 36
12 Karakteristik dan jarak tanam ideal dari jenis yang digunakan untuk
tanaman sela 38
13 Kombinasi jenis dan jumlah tanaman sela pada simulasi agroforestri
berbasis kelapa sawit dengan mempertimbangkan jarak tanam ideal 39
14 Perbandingan kelayakan finansial dari masing-masing pola tanam 40
15 Alasan masyarakat memilih usaha kelapa sawit 47

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase luas tutupan lahan di Provinsi Jambi dari tahun 1990-2019
(BPS-Jambi 2020; Drescher et al. 2016; Kementan 2019; KLHK 2019) 2
2 Diagram alir kerangka pemikiran 13
3 Lokasi penelitian 16
4 Desain plot agroforestri berbasis kelapa sawit yang diterapkan oleh CRC-
990/EFForTS (Gérard et al. 2017) 25
5 Jumlah dan tingkat keragaman tiap plot penelitian yang dibangun oleh
CRC-990/EFForTS diadaptasi dari Teuscher et al. (2016) 26
6 Peta areal kerja (PAK) PT REKI, dan lokasi kelompok masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan (Sumber: Dokumen digital PT REKI) 28
7 Kondisi kebun campuran (plot agroforestri) di dalam kawasan Hutan
Harapan 29
8 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola kelapa sawit monokultur 35
9 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola agroforestri berbasis
kelapa sawit Plot B11 37
10 Ilustrasi a) penerapan agroforestri dengan unit-based approach b)
penerapan agroforestri dengan landscape-based approach. 40
DAFTAR LAMPIRAN

1 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela


jengkol, petai, meranti, dan sungkai 56
2 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
durian. 56
3 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
jelutung. 57
4 Cash flow pola kelapa sawit monokultur 58
5 Cash flow pola agroforestri berbasis kelapa sawit Plot B11 61
6 Cash flow agroforestri kelapa sawit jengkol 67
7 Cash flow agroforestri kelapa sawit petai 70
8 Cash flow agroforestri kelapa sawit durian 73
9 Cash flow agroforestri kelapa sawit sungkai 76
10 Cash flow agroforestri kelapa sawit meranti 79
11 Cash flow agroforestri kelapa sawit jelutung 82
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit adalah salah satu tumbuhan penghasil minyak nabati yang
umumnya tumbuh di negara tropis. Kelapa sawit memiliki produktivitas 3 sampai
8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya
(Barcelos et al. 2015; Corley 2009). Saat ini kelapa sawit menjadi salah satu
tanaman dari komoditas pertanian yang paling banyak digunakan di Indonesia,
bahkan di dunia (Corley 2009; Koh dan Wilcove 2008; Purnomo et al. 2020).
Peningkatan permintaan kelapa sawit sebagai bahan baku untuk makanan, energi,
dan proses industri lainnya menyebabkan meningkatnya permintaan tandan buah
segar (TBS) kelapa sawit guna keperluan tersebut. Tidak dipungkiri, bahwa
komoditas kelapa sawit berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan
perekonomian di Indonesia. Menurut Purnomo et al. (2020), peran industri kelapa
sawit di negara Indonesia, antara lain: sebagai penghasil devisa terbesar
kedaulatan energi, pendorong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan tenaga
kerja.
Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau
Sumatera dan di pulau Kalimantan (Kehati 2019; Kiswanto et al. 2008). Sekitar
90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau tersebut. Pulau
Sumatera dan Kalimantan menghasilkan sekitar 95% produksi minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia (Kementan 2019). Saat ini, Pulau
Sumatera menjadi pulau dengan luas kebun kelapa sawit dan produksi tandan
buah segar (TBS) terbesar di Indonesia (Kementan 2019). Salah satu provinsi di
Pulau Sumatera yang cukup banyak menunjukkan kecenderungan peningkatan
luas kebun kelapa sawit yang cukup besar adalah Provinsi Jambi (Widayati et al.
2012). Masuknya tanaman kelapa sawit di Provinsi Jambi, mengakibatkan
penambahan luas perkebunan kelapa sawit dengan pola monokultur semakin
besar. Hal tersebut terjadi karena rekomendasi teknis dalam pengelolaan kebun
kelapa sawit dengan pola monokultur (Widayati et al. 2012). Sampai dengan
tahun 2019 luas areal perkebunan kelapa sawit milik masyarakat di Jambi sudah
mencapai 576.142 ha dengan jumlah produksi 1.226.256 ton/tahun, perkebunan
kelapa sawit milik perusahaan swasta nasional mencapai 287.612 ha dengan
jumlah produksi sebesar 507.021 ton/tahun, dan perkebunan kelapa sawit milik
negara (BUMN) mencapai 24.041 ha dengan total produksi 76.693 ton/tahun
(Kementan 2019).
Namun, dalam beberapa dekade belakangan ini kelapa sawit sering
diidentifikasi sebagai pendorong utama deforestasi nasional dan global, karena
pembangunan perkebunan kelapa sawit yang bersifat ekspansif dan cenderung
tidak terkontrol (Hansen et al. 2009; Koh dan Wilcove 2009). Tidak dipungkiri
bahwa banyak hutan baik itu hutan produksi, lindung, dan konservasi baik yang
bertanah mineral ataupun lahan gambut, banyak yang dialihfungsikan menjadi
kebun kelapa sawit (Cooper et al. 2019; Sumarga dan Hein 2016; Vijay et al.
2016). Sejalan dengan hal tersebut, Drescher et al. (2016) menyatakan bahwa
masuknya tanaman kelapa sawit mengakibatkan luas hutan di Provinsi Jambi
menjadi menurun (Gambar 1). Gambar 1 menunjukkan bahwa luas pertanian dan
2

perkebunan di Provinsi Jambi selalu meningkat seiring berjalannya waktu,


sedangkan luas hutannya semakin menurun. Di sisi lain, ekspansi kelapa sawit ke
dalam kawasan hutan juga menimbulkan dampak sosial seperti konflik lahan,
perampasan tanah, dan penurunan kesejahteraan di beberapa tempat di Indonesia
(Gellert 2015). Ekspansi kelapa sawit terutama pada kegiatan pembukaan lahan
(land clearing), juga dianggap ikut bertanggung jawab atas kejadian kebakaran
hutan dan lahan, degragasi lahan gambut, serta emisi karbon yang menjadi isu
nasional dan global (Nurrochmat et al. 2019).

100% Lainnya
90% Pemukiman

80%

70%
Persentase (%)

60%
Pertanian dan Perkebunan
50%

40%

30%

20% Hutan
10%

0%

2017
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016

2018
2019
Tahun

Gambar 1 Persentase luas tutupan lahan di Provinsi Jambi dari tahun 1990-2019
(BPS-Jambi 2020; Drescher et al. 2016; Kementan 2019; KLHK 2019)
Salah satu kawasan hutan yang saat ini banyak dikonversi menjadi kebun
kelapa sawit oleh masyarakat yang berada di Provinsi Jambi adalah kawasan
Hutan Harapan. Hutan Harapan merupakan kawasan hutan produksi yang saat ini
dikelola oleh PT REKI dengan skema restorasi ekosistem (IUPHHK-RE).
Sebelum izin restorasi ekosistem dipegang oleh PT REKI, izin pemanfaatan
kawasan hutan dimiliki oleh PT Asialog dengan izin Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) atau sekarang ini disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Alam (IUPHHK-HA). Sebagian besar kawasan hutan di wilayah tersebut
memiliki fungsi sebagai hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dilakukan oleh
PT REKI dilakukan sejak tahun 2007, yang bertujuan untuk mengembalikan
ekosistem hutan mendekati seperti kondisi semula (REKI 2008). Hal tersebut
dilakukan karena Hutan Harapan merupakan satu-satunya hutan hujan tropis yang
saat ini masih tersisa di Pulau Sumatera.
Luas kawasan Hutan Harapan yaitu sekitar 98.555 hektar, berada di wilayah
Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, dan Kabupaten
Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Tercatat sekitar ±17.000 hektar
kawasan Hutan Harapan telah digarap (dirambah) oleh masyarakat, dengan
dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dengan pola monokultur.
Penggarapan lahan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dilatarbelakangi
3

karena masyarakat membutuhkan lahan untuk bercocok tanam guna memenuhi


kebutuhan hidupnya. Masyarakat mengembangkan kebun kelapa sawit karena
menurut pengetahuan mereka kelapa sawit secara finansial lebih menguntungkan
daripada menanam pohon atau komoditas kehutanan lainnya. Di sisi lain,
perusahaan selaku perpanjangan tangan dari pemerintah, memiliki kepentingan
untuk mengelola kawasan hutan tersebut dengan dengan konsep pengelolaan
hutan skema restorasi ekosistem. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi yang ada
saat ini, terdapat konflik kepentingan antara masyarakat dan perusahaan di dalam
kawasan Hutan Harapan. Adanya konflik kepentingan antara masyarakat dengan
perusahaan menimbulkan kegiatan restorasi ekosistem tidak berjalan dengan
efektif dan efisien.
Adanya keterlanjuran kebun kelapa sawit milik masyarakat di dalam
kawasan Hutan Harapan perlu diatasi dengan langkah yang tepat, agar mandat
restorasi ekosistem hutan dapat tercapai, serta hajat hidup masyarakat tetap dapat
terpenuhi. Belajar dari keberhasilan CRC990/EFForTS, yang mengembangkan
agroforestri berbasis kelapa sawit, kami mempertimbangkan untuk
mempromosikan agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik
pada konflik kepentingan di wilayah Hutan Harapan tersebut. Agroforestri
merupakan salah satu bentuk kegiatan multiusaha kehutanan (KLHK 2020).
Penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit pada areal yang telah terlanjur
ditanam kelapa sawit oleh masyarakat, diharapkan dapat menyelaraskan
kepentingan ekologi dan ekonomi terhadap kawasan Hutan Harapan.

Perumusan Masalah

Perbedaan kepentingan terhadap sumber daya hutan mengakibatkan konflik


kepentingan di kawasan Hutan Harapan terus berlangsung hingga saat ini. PT
REKI yang memiliki izin untuk merestorasi kawasan Hutan Harapan tidak dapat
melaksanakan mandat restorasi ekosistem dengan efektif dan efisien karena
adanya konflik kepentingan dengan masyarakat lokal. Upaya resolusi konflik
tentu sangat diperlukan agar mandat yang diberikan kepada PT REKI untuk
merestorasi hutan hujan tropis yang satu-satunya masih tersisa di Pulau Sumatera
dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan suatu jalan tengah yang
dapat mengakomodir kepentingan PT REKI dan masyarakat agar dapat berjalan
beriringan.
Akar masalah dari adanya perambahan hutan di dalam kawasan Hutan
Harapan untuk dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit oleh masyarakat
dinilai karena rendahnya perekonomian masyarakat. Masyarakat menilai bahwa
komoditas kelapa sawit lebih menguntungkan daripada usaha kehutanan.
Meskipun demikian, faktanya usaha kebun kelapa sawit pada tahun 2019 juga
mengalami penurunan. Tercatat bahwa pada bulan Oktorber 2019, harga TBS
kelapa sawit di Kabupaten Batanghari pada tataran petani, hanya dihargai Rp
950/kg (data hasil observasi). Jatuhnya harga TBS kelapa sawit tentu akan
mengurangi pendapatan masyarakat, pada kondisi tertentu hasil dari aktivitas
berkebun dengan komoditas kelapa sawit tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarkat. Kondisi tersebut sangat berpotensi mendorong masyarakat
untuk memperluas lahan garapan masyarakat di hutan, yang artinya semakin
4

banyak kawasan Hutan Harapan yang terdeforestasi. Oleh karena itu, langkah
yang tepat untuk meminimalisir aktivitas perambahan hutan tersebut adalah
dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat hutan, atau dalam kata lain
mencukupi kebutuhan masyarakat.
Pengembangan multiusaha kehutanan dengan pola agroforestri berbasis
kelapa sawit dinilai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Muryunika
2015; Yuniati 2018) dan juga dapat mengakomodir kepentingan ekologi (Gérard
et al. 2017; Teuscher et al. 2016). Penerapan agroforestri dapat menjadi jalan
tengah (win-win soultion) untuk mengatasi konflik kepentingan antara PT REKI
dengan masyarakat lokal di kawasan Hutan Harapan. Namun tentunya pola
agroforestri berbasis kelapa sawit tersebut harus layak secara ekonomi dan dapat
menghasilkan manfaat yang lebih besar dari pola kelapa sawit monokultur agar
dapat diterima oleh masyarakat. Di sisi lain, pola agroforestri berbasis kelapa
sawit tersebut juga harus dapat mengakomodir kepentingan ekologi yang dimiliki
oleh PT REKI selaku pengelola Hutan Harapan. Penerapan pengaturan
pengelolaan (management regime) tertentu, seperti pemilihan jenis tanaman sela,
jarak tanam tanaman sela, dan jumlah tanaman sela juga dibutuhkan agar
agroforestri berbasis kelapa sawit tersebut juga menjadi langkah untuk
“menghutankan kembali” wilayah hutan harapan yang telah dirambah oleh
masyarakat tersebut (tanpa menebang seluruh batang kelapa sawit).
Saat ini beberapa kelompok tani di dalam kawasan Hutan Harapan telah
menjalin kerja sama dengan PT REKI melalui skema kemitraan kehutanan,
perhutanan sosial. Tercatat telah ada sekitar 8 kelompok tani yang sudah mau
berkolaborasi dengan PT REKI untuk bekerja sama dalam mengelola kawasan
Hutan Harapan. Perjanjian kerja sama antar kelompok tani dengan PT REKI
tertuang pada MoU (memorandum of understanding) yang disepakati mulai dari
tahun 2015, 2016, dan 2017 (masing-masing kelompok tani berbeda). Secara
hukum kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan Hutan Harapan yang
dilakukan oleh delapan (8) kelompok tani yang telah berMoU dengan PT REKI
tersebut menjadi legal (apabila dilakukan sesuai dengan isi MoU). Meskipun
demikian, masih ada sekitar empat belas (14) kelompok tani yang ada di dalam
kawasan Hutan Harapan yang belum berMoU dengan PT REKI.
Isi MoU dari delapan (8) kelompok tani tersebut masing-masing berbeda,
meskipun secara garis besar substansinya kurang lebih sama. Salah satu poin yang
ada pada seluruh naskah MoU, menyatakan bahwa lahan di areal kemitraan
kehutanan yang sudah diusahakan oleh masyarakat dengan telah ditanami kelapa
sawit, akan dilakukan penanaman tanaman sela dengan 100 tanaman hasil bukan
kayu (HHBK), atau dalam hal ini disebut sebagai masyarakat harus menerapkan
agroforestri berbasis kelapa sawit pada kebun kelapa sawit miliknya. Meninjau
dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa secara kelembagaan (aturan main),
penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan sudah ada. Namun, partisipasi dari masyarakat dalam pelaksanaan
penanaman tanaman sela, dengan 100 tanaman hasil hutan bukan kayu di dalam
kebun kelapa sawit perlu diidentifikasi lebih lanjut. Identifikasi tersebut perlu
dilakukan guna menilai tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan MoU
yang sudah disepakati. Ketika tingkat partisipasi masyarakat tinggi, maka dapat
dikatakan bahwa agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara sosial.
5

Selain itu, diperlukan juga faktor pemungkin (enabling factor) yang perlu
dipersiapkan sehingga dapat mendukung jalannya penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik. Faktor pemungkin tersebut juga dapat
menjadi penawaran/kekuatan (bargain power) tersendiri agar masyarakat tertarik
dan menerima upaya resolusi konflik tersebut. Faktor pemungkin (enabling
factor) tersebut dapat berupa kebijakan, sarana, fasilitas pendukung, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan identifikasi faktor pemungkin yang dapat mendukung
jalannya resolusi konflik dengan pengembangan multiusaha kehutanan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit.
Berdasarkan uraian di atas, maka fokus dari penelitian ini berusaha
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah pola agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara ekonomi dan
menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari kebutuhan masyarakat
(kelayakan ekonomi)?
2. Apakah pola agroforestri berbasis kelapa sawit dapat diterima terutama oleh
masyarakat Hutan Harapan (kelayakan sosial)?
3. Faktor pemungkin (enabling factor) apa saja yang dibutuhkan guna
mendukung jalannya dan diterimanya penerapan pola agroforestri berbasis
kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik khususnya di kawasan Hutan
Harapan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki 3 tujuan utama, diuraikan sebagai berikut:


1. Menganalisis dan membandingkan kelayakan ekonomi pola agroforestri
berbasis kelapa sawit, dan pola kelapa sawit monokultur.
2. Mengidentifikasi keberterimaan masyarakat (studi kasus) yang berada di dalam
Hutan Harapan terhadap pola agroforestri berbasis kelapa sawit.
3. Menganalisis faktor pemungkin (enabling factor) yang diperlukan guna
mendukung jalannya pola agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya
resolusi konflik khususnya di kawasan Hutan Harapan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai


berikut:
1. Memberikan alternatif pola pengelelolaan lahan terbaik yang dapat
memberikan hasil ekonomi terbesar kepada masyarakat di dalam kawasan
Hutan Harapan, sehingga masyarakat tidak terus menerus menambah lahan
garapan di dalam kawasan hutan.
2. Menjadi pertimbangan terkait memungkinkan atau tidaknya penerapan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya menyelaraskan kepentingan
ekologi dan ekonomi khususnya dalam pengelolaan hutan di kawasan Hutan
Harapan (resolusi konflik).
3. Memberikan masukan/saran bagi perusahaan untuk menyiapkan berbagai
faktor pemungkin seperti sarana, kebijakan, dan lain-lain agar dapat
6

terlaksananya penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya


resolusi konflik di kawasan Hutan Harapan.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup dan batasan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Kesejahteraan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
terpenuhinya kebutuhan finansial dari masyarakat sekitar hutan di wilayah
Hutan Harapan.
2. Resoulusi konflik yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu diterimanya pola
agroforestri berbasis kelapa sawit oleh masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
3. Kelayakan ekonomi pola-pola pengelolaan lahan dinilai dengan analisis
kelayakan finansial (kelayakan investasi), dan kemampuannya terhadap
pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar hutan di wilayah Hutan Harapan.
4. Keberterimaan masyarakat dinilai berdasarkan secara lisan dan sikap
masyarakat terhadap agroforestri berbasis kelapa sawit.

State of The Art Penelitian

Agroforestri berbasis kelapa sawit menjadi sebuah konsep baru dalam


konteks pengelolaan lahan. Banyaknya kebun kelapa sawit ilegal yang berada di
dalam kawasan hutan di Indonesia menjadi salah satu pemicu munculnya pola
agroforestri berbasis kelapa sawit untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari
dan pengelolaan kelapa sawit lestari. Penelitian mengenai penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit atau dalam kata lain penanaman pengayaan (enrichment
planting) di sela kelapa sawit telah beberapa kali dilakukan (Gérard et al. 2017;
Muryunika 2015; Teuscher et al. 2016; Yuniati 2018). Muryunika (2015) telah
melakukan studi mengenai strategi pengelolaan dan pengembangan agroforestri
berbasis kelapa sawit di Jambi. Menurut Muryunika (2015), strategi prioritas
dalam pengelolaan dan pengembangan agroforestri berbasis kelapa sawit di Jambi
perlu untuk dilakukannya pendidikan dan pelatihan penyuluh, agar menciptakan
penyuluh-penyuluh yang professional, sehingga mampu menjembatani hubungan
antara kepentingan pemerintah dengan harapan masyarakat dan berbagai elemen
yang terkait.
Selanjutnya, Teuscher et al. (2016) melakukan studi mengenai dampak
ekologi dari penerapan penanaman pengayaan di sela kelapa sawit (agroforestri
berbasis kelapa sawit) pada plot eksperimen yang dibuat di salah satu HGU
perusahaan kebun kelapa sawit di Jambi. Penerapan penanaman pengayaan di sela
kelapa sawit berdampak positif pada lingkungan (ekologi), ditandai dengan
kehadiran burung dan serangga yang lebih beragam pada plot penanaman
pengayaan, bila dibandingkan dengan kelapa sawit monokultur (Teuscher et al.
2016). Selain itu, Gérard et al. (2017) yang melakukan penelitian pada lokasi yang
sama, mendapatkan hasil studi bahwa pada kurun waktu satu sampai dua tahun
setelah penerapan penanaman pengayaan di sela kelapa sawit, tidak terjadi
penurunan hasil panen kelapa sawit yang berada di dalam plot eksperimen.
7

Selain itu, penelitian mengenai kelayakan ekonomi pola agroforestri


berbasis kelapa sawit telah dilakukan salah satunya oleh Yuniati pada tahun 2018.
Penelitian tersebut menilai kelayakan finansial pola agroforestri berbasis kelapa
sawit dalam upaya restorasi hutan lindung gambut (HLG) Sungai Bram Itam,
Provinsi Jambi. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pola agroforestri
berbasis kelapa sawit lebih menguntungkan secara ekonomi daripada pola kelapa
sawit monokultur (Yuniati 2018).
Berdasarkan penelitian-penelitian terkait penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini berusaha
berkontribusi terhadap kajian mengenai kelayakan finansial penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela multi purpose tree species
(MPTS), meninjau dari plot eksperimen agroforestri milik CRC-990/EFForTS.
Selain itu, penelitian ini juga berusaha berkontribusi terhadap kajian mengenai
memungkinkan atau tidaknya penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit
sebagai upaya resolusi konflik kepentingan, terkait konflik kepentingan ekonomi
dan ekologi yang terjadi di Hutan Harapan, serta kajian mengenai faktor
pemungkin yang diperlukan guna mendukung penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Multiusaha Kehutanan

“Multiusaha kehutanan adalah kegiatan usaha selain pemanfaatan hasil


hutan kayu pada areal IUPHHK berupa usaha pemanfaatan kawasan, usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, dan/atau usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu”
(KLHK 2020). Multiusaha kehutanan menjadi sebuah pola pengelolaan baru
dalam pengelolaan sumber daya hutan. Secara umum, multiusaha kehutanan dapat
dikatakan sebagai sebuah pola pengelolaan sumber daya hutan multi (banyak)
guna (multiple goals forest management/MUFM). Başkent (2018) menyatakan
bahwa MUFM memiliki tujuan untuk menyelaraskan berbagai barang dan jasa
ekosistem, serta berbagai kepentingan pengelolaan sumber daya hutan ke dalam
program pengelolaan dengan mengkarakterisasi dan mengendalikan ekosistem
hutan untuk mencapai berbagai tujuan secara berkelanjutan.
Penerapan multiusaha kehutanan diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan sekitar
kawasan hutan. Hal tersebut terjadi karena dengan diterapkannya multiusaha
kehutanan, memungkinkan terwujudnya optimalisasi pemanfaatan sumber daya
hutan sesuai dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, serta budaya
masyarakatnya. Adanya diversifikasi produk dalam suatu unit manajemen hutan,
berpotensi meningkatkan keuntungan dari segi ekonomi. Selain itu, multiusaha
kehutanan juga dapat menyelaraskan berbagai kepentingan diantara pemangku
kepentingan (stakeholder) yang terkait terhadap pengelolaan hutan tersebut.
8

Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem atau pola penggunaan lahan yang


mengkombinasikan kegiatan kehutanan, pertanian, dan peternakan secara
bersama-sama (Hairiah et al. 2003). Agroforestri atau dikenal juga sebagai sistem
wanatani adalah sistem penggunaan lahan secara spasial, dengan menerapkan
berbagai teknologi yang ada melalui pemanfaatan tanaman semusim, tanaman
tahunan dan/atau ternak yang dilakukan secara bersamaan atau bergiliran pada
suatu periode waktu tertentu (Nair 1993), sehingga adanya pola penggunaan lahan
tersebut diharapkan terbentuk interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi di dalamnya
(Latumahina dan Sahureka 2006). Menurut Subagyono et al. (2003), agroforestri
memiliki beberapa ciri khas dibandingkan pola penggunaan lahan lain, adalah
sebagai berikut:
1. Adanya interaksi yang kuat antara komponen pepohonan dan bukan
pepohonan;
2. Integrasi dua atau lebih jenis tanaman (salah satunya tanaman berkayu);
3. Memberikan dua atau lebih hasil;
4. Siklusnya lebih dari satu tahun;
5. Dapat digunakan pada lahan berlereng curam, berbatu, berawa, ataupun tanah
marginal di mana pola pengelolaan lahan lain kurang cocok.

Pola pengelolaan lahan dengan agroforestri dapat dipandang sebagai


pengembangan teknologi yang tepat dalam praktek kehutanan masyarakat.
Agroforestri terlahir dari praktek tradisional pengelolaan hutan yang
dikembangkan secara terus menerus oleh masyarakat. Keberadaan agroforestri
bukan merupakan hasil proyek-proyek atau perhutanan kembali yang
dilaksanakan oleh pemerintah (Hairiah et al. 2003), melainkan hasil dari daya
adaptasi dan pilihan petani dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya
dengan melakukan pengaturan pengelolaan lahan serta pemulihan sumber daya
hutan dan lahan (Andayani 2005). Agroforestri terbagi menjadi dua macam yaitu
sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (Andayani 2005;
Hairiah et al. 2003). Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan
konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur tanaman, menggambarkan apa
yang saat ini dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Salah satu contoh sistem
agroforestri sederhana yaitu pola tumpang sari antara jati dengan palawija, yang
banyak ditemui di Pulau Jawa. Sedangkan, sistem agroforestri kompleks memliki
perpaduan unsur yang lebih banyak, misalnya terdiri dari unsur pepohonan,
tanaman musiman, rumput, dan perdu.
Agroforestri sendiri telah menjadi bagian dari sistem pertanian masyarakat
khususnya di dalam kawasan Hutan Harapan. Uniknya, masyarakat tidak
menganggap agroforestri sebagai “hutan‟ melainkan sebagai ladang atau kebun.
Masyarakat Hutan Harapan biasanya menyebut agroforestri sebagai kebun
campur. Masyarakat Hutan Harapan hanya menerapkan pola kebun campur
tersebut pada pekarangan yang ada di sekitar rumahnya. Meskipun agroforestri
tidak selalu menerapkan perpaduan antara tanaman pertanian yang sifatnya
musiman dan pohon-pohon hutan dengan ciri investasinya berjangka panjang,
akan tetapi agroforestri tetap menyentuh inti dari paradigma agroforestri itu
sendiri (Andayani 2005; Foresta et al. 2000). Inti dari paradigma agroforestri
9

yaitu mempertemukan/menggabungkan antara hutan dan pertanian, dengan


pengelolaan di mana struktur hutan dipadukan dengan logika-logika pertanian
(Foresta et al. 2000).
Andayani (2005) berpendapat bahwa, agroforestri juga dapat diartikan
sebagai sebuah bentuk collective name dari berbagai pola pengelolaan lahan yang
telah ada di dalam masyarakat itu sendiri, dan berkaitan dengan model-model
penggunaan lahan lestari (sustainable land use). Oleh karena itu, agroforestri
dalam bentuk implementasinya dapat memiliki bentuk sebagai berikut:
1. Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan dengan pertimbangan memproduksi
hasil pertanian dan hasil hutan secara bersama-sama dan terus menerus.
2. Sylvopastural, merupakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola guna
menghasilkan kayu dan juga memelihara ternak secara bersama-sama dalam
satu unit pengelolaan.
3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan guna memproduksi hasil
pertanian, hasil kehutanan dan juga sekaligus memelihara hewan ternak secara
bersamaan dalam satu unit pengelolaan.
4. Multipurpose forest tree production system, merupakan sistem pengelolaan
lahan dengan berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola dengan tujuan tidak
hanya untuk menghasilkan kayu, tetapi juga hasil lain yang dapat dimanfaatkan
seperti daun, akar, buah, dan lain-lain.

Konflik

Konflik secara asal-asal usul kata (entimologi) berasal dari Bahasa Latin
yaitu configure, yang berarti saling memukul (Deutsch et al. 2000; Hunt dan
Metcalf 1996). Konflik merupakan sebuah tindakan yang dilakukan salah satu
pihak yang berakibat menghambat, menghalangi, atau mengganggu pihak lain
(Antonius 2002). Antonius (2002) menambahkan bahwa konflik dapat terjadi
antar individu, ataupun kelompok (masyarakat, negara, dan lain-lain). Hal ini
sejalan dengan pendapat Deutsch et al. (2000) yang menyatakan bahwa dalam
terjadinya suatu konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih
banyak dipengaruhi oleh perbedaan daripada oleh persamaan. Selain itu Scanell
(2010) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal alami dan normal yang
timbul akibat adanya perbedaan persepsi, tujuan atau nilai/norma dalam
sekelompok individu.
Menurut Surono (2016) secara umum ada 3 penyebab utama terjadinya
konflik sumber daya hutan yang terjadi di Indonesia. Pertama, adanya tumpang
tindih peraturan di bidang Kehutanan dalam suatu kawasan hutan. Penyebab
terjadinya tumpang tindih aturan dalam suatu kawasan hutan tersebut adalah
akibat dari kurang jelasnya (clear) proses penunjukan kawasan hutan khususnya
di luar Pulau Jawa yang dahulu dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Proses
penunjukan kawasan hutan yang hanya dilakukan di atas peta, mengakibatkan
beberapa wilayah kawasan hutan tumpang tindih dengan area yang telah ditempati
masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan legitimasi (pengakuan atau
keberterimaan) masyarakat sekitar 88,2% dari hutan yang belum selesai
ditetapkan menjadi kecil. Akibatnya, tidak sedikit sengketa lahan hutan yang
terjadi mengakibatkan rusaknya hutan dan terganggunya kegiatan pengelolaan
10

hutan, sehingga mengakibatkan kerugian baik dari segi ekonomi, ekologi, dan
sosial.
Kedua, ada asumsi yang salah dari pemerintah (selaku pihak pengurus
hutan) dan/atau pihak perusahaan swasta di bidang kehutanan (selaku pihak
pengelola hutan) tentang keberadaan masyarakat di lokal atau adat. Masyarakat
lokal sering dianggap sebagai kelompok yang dapat mengganggu proses
pengelolaan hutan. Tidak jarang masyarakat lokal diposisikan sebagai seorang
musuh, sehingga keberadaan masyarakat akan tergusur dengan sendirinya karena
sejatinya pemerintah dan perusahaan memiliki kekuatan (power) yang lebih besar
daripada masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal yang tidak terima, biasanya
melakukan upaya-upaya represif seperti membakar, merusak, dan mengganggu
kegiatan pengelolaan hutan, karena mereka merasa tidak menerima keuntungan
dari adanya kegiatan pengelolaan hutan yang ada di sekitarnya. Di sisi lain, pada
kasus tertentu masyarakatlah yang dirugikan akibat adanya aktivitas pengelolaan
hutan.
Ketiga, adanya perbedaan kondisi dalam pengelolaan hutan antara di Pulau
Jawa dan di luar Pulau Jawa. Aspek kelangkaan lahan di Pulau Jawa menjadi
dimensi yang paling menonjol dari konflik yang timbul. Tidak dipungkiri bahwa
kelangkaan lahan menjadi penyebab utama timbulnya konflik sumber daya hutan
di Pulau Jawa. Masyarakat yang membutuhkan lahan garapan sering
berkonfrontasi dengan Perum Perhutani selaku pengelola hutan di Pulau Jawa.
Pertempuran karena pelanggaran mendominasi berbagai manajemen konflik hutan
di Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa, aspek kelangkaan lahan belum menjadi
masalah utama konflik. Namun, konflik yang terjadi timbul akibat dari kesalahan
pertama di atas, sehingga timbul klaim adat dan masyarakat lokal atas hak
pengelolaan suatu hutan tersebut.
Selain itu, meningkatnya konflik sektor kehutanan di Indonesia juga
disebabkan karena krisis ekonomi sejak awal pertengahan tahun 1997-1998
(Wulan et al. 2004). Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakat semakin
terdorong untuk melakukan penjarahan dan atau perambahan hutan yang dianggap
sebagai cara termudah untuk mendapatkan uang (Ambarwati et al. 2018; Wulan
et al. 2004). Tidak dipungkiri bahwa kecenderungan rendahnya ekonomi
masyarakat lokal (sekitar hutan) juga menjadi faktor utama banyaknya konflik
hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia. Masuknya perusahaan
(swasta/nasional) untuk mengelola suatu kawasan hutan sering menjadi penyebab
kesenjangan sosial meningkat antara pengelola hutan dan masyarakat lokal.
Dalam kondisi tertentu tingginya tingkat kesenjangan sosial tersebut
mempengaruhi masyarakat lokal untuk melakukan tindakan-tindakan
pengerusakan hutan seperti pencurian kayu (illegal logging), perambahan
(penggarapan) hutan untuk fungsi lain, pembakaran, dan lain-lain.
Konflik sumberdaya hutan dapat disebabkan oleh benturan kepentingan
berbagai pihak terhadap hutan. Konflik dalam konteks pengelolaan sumber daya
hutan yang paling sering terjadi yaitu antara masyarakat sekitar hutan dengan
pengelola hutan, dalam hal ini adalah pemerintah atau swasta, ataupun bisa
dengan sesama masyarakat itu sendiri (Surono 2012). Berbagai penyebab konflik
tersebut berdampak pada tidak efektif dan efisiennya kegiatan pengelolaan hutan,
bahkan pada kondisi tertentu tujuan dari kegiatan pengelolaan hutan menjadi tidak
tercapai. Ancaman utama yang timbul akibat adanya konflik kehutanan yang
11

terjadi adalah kelestarian hutan itu sendiri. Menurut (Wollenberg et al. 2005),
semakin besar frekuensi konflik sumber daya hutan maka akan semakin
meningkatkan peluang kerusakan pada hutan yang ada di sekitarnya. Hal tersebut
terjadi karena tidak jarang, konflik yang terjadi justru membuat masyarakat
merusak hutan dengan cara membakar atau melakukan tindakan lain yang bersifat
merusak ekosistem hutan (Wollenberg et al. 2005; Wulan et al. 2004).

Resolusi Konflik

Resolusi konflik memliki makna yang berbeda-beda menurut beberapa ahli


beberapa ahli. Scanell (2010) menyatakan bahwa, resolusi konflik merupakan
suatu kajian tentang bagaimana upaya dalam menghadapi konflik,
menyelesaikannya, mengatasinya, mengelolanya dan mungkin bagaimana cara
menghilangkan konflik. Deutsch et al. (2000) dalam bukunya menyatakan bahwa,
resolusi konflik dapat dikatakan sebagai tindakan analisis dan penyelesaian
masalah yang juga mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan/atau
kelompok seperti identitas, kepentingan, dan pengakuan, juga perubahan-
perubahan kebijakan/regulasi dari pemerintah yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan resolusi konflik tersebut. Lain halnya dengan Fisher et al.
(2000), yang menyatakan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-
sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama
diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Meninjau dari beberapa pendapat ahli tersebut mengenai definisi resolusi
konflik, maka dapat dikatakan bahwa resolusi konflik merupakan suatu upaya
untuk menyelesaikan konflik dengan mempertimbangkan berbagai kondisi yang
ada, sehingga dapat menciptakan hubungan baru yang lebih kondusif dan
harmonis diantara para pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik sumber daya
hutan atau konflik lain dapat diselesaikan melalui penyelesaian pengadilan
(litigasi) dan penyelesaian non-pengadilan (non-litigasi) (Surono 2012).
Penyelesaian konflik melalui pengadilan dapat dilakukan oleh administrasi pidana,
sipil dan negara. Sedangkan, penyelesaian konflik non-pengadilan dapat
dilakukan melalui konsensus, mediasi, dan juga penyelesaian secara kemitraan
(kerjasama). Namun, dalam konteks penyelesaian konflik sumber daya hutan,
penyelesaian konflik melalui penyelesaian non-pengadilan lebih
direkomendasikan untuk diterapkan (Surono 2012).
Penyelesaian konflik kehutanan di Indonesia sering diselesaikan dengan
tekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah, terutama di
masa lalu sebelum era reformasi (Wulan et al. 2004). Pihak yang lebih kuat
biasanya cenderung lebih dominan untuk meredam dan menyelesaikan konflik
seperti ancaman, tindakan suap, dan lain-lain. Tidak jarang upaya penyelesaian
konflik tersebut justru akan menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian
hari. Oleh karena itu, sangat diperlukan sebuah skema untuk mengatasi berbagai
konflik kehutanan dengan baik, dan juga dapat meminimalisir timbulnya konflik
kehutanan di masa yang akan datang.
Penelitian mengenai resolusi konflik sumber daya hutan di Indonesia
dengan berbagai pendekatan telah banyak dilakukan. Harun dan Dwiprabowo
(2014) membuat sebuah model resolusi konflik di kesatuan pemangkuan hutan
12

produksi (KPH-P) model Banjar, dengan menggunakan pendekatan kemitraan


yang sejajar. Hafrida et al. (2014) melakukan studi pendekatan resolusi konflik
dengan mediasi dan penyuluhan hukum di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Selanjutnya, Gamin et al. (2014) melakukan studi penyelesaian konflik kawasan
hutan melalui pendekatan gaya sengketa para pihak di KPH Lakitan.
13

3 METODE

Kerangka pemikiran

Kawasan Hutan Harapan, yang menjadi satunya hutan hujan


tropis yang masih tersisa di Pulau Sumatera

Masyarakat Hutan
Perusahaan (PT REKI) Harapan

Interest (kepentingan) merestorasi Interest (kepentingan) ekonomi,


kawasan Hutan Harapan, dengan menggarap hutan dengan kelapa sawit
tanaman kehutanan (pohon) karena dinilai lebih menguntungkan

Konflik
kepentingan

Resolusi konflik dengan pendekatan pola pengelolaan lahan


agroforestri berbasis kelapa sawit

Kelayakan Ekonomi Kelayakan Sosial

Analisis finansial pola agroforestri Analisis Keberterimaan dan


berbasis kelapa sawit Partisipasi Masyarakat

Penerimaan resolusi konflik dengan pola


agroforestri oleh sebagian besar aktor

Diterima Ditolak

Analisis faktor pemungkin yang dibutuhkan Perlu dilakukan penyuluhan pada tiap
untuk berjalannya resolusi konflik aktor yang menjadi key player bahwa
resolusi konflik diperlukan

Melakukan aksi/kajian lanjutan agar hasil


penelitian dapat diimplementasikan di Ditolak
kawasan Hutan Harapan

Mencari alternatif resolusi konflik lain


yang memungkinkan untuk diterapkan.

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran


Hutan merupakan sumber daya alam yang sifatnya multidimensi, beragam
aktor tertarik untuk mengelola dan menguasainya (Krott 2005; Maryudi 2016).
Masing-masing aktor mungkin memiliki kepentingan (interest) yang berbeda,
bahkan berlawanan satu sama lain terhadap hutan (Hubo dan Krott 2013; Susanti
dan Maryudi 2016). Enserink et al. (2010) menyatakan bahwa aktor didefinisikan
sebagai entitas sosial, individu, atau organisasi, yang dapat bertindak atau
memberikan pengaruh pada suatu keputusan atau kebijakan. Aktor juga biasa
disebut sebagai pemangku kepentingan (stakeholder). Secara umum terdapat 4
14

tipe stakeholder dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, antara lain
(Brugha dan Varvasovsky 2000; Enserink et al. 2010; Freeman 1984; Reed et al.
2009): 1) seseorang yang memiliki formal power untuk membuat
keputusan/kebijakan, biasanya dalam hal ini adalah pemerintah ataupun lembaga
negara; 2) mereka yang memiliki kekuasaan untuk menghalangi suatu keputusan;
3) mereka yang memiliki efek dari adanya keputusan (terpengaruh atau terdampak
dari adanya kebijakan); 4) mereka yang memiliki keahlian, teknologi, dan
informasi yang relevan.
Masing-masing aktor bersaing untuk mendapatkan akses dalam mengelola
sumberdaya hutan untuk mencapai kepentingan masing-masing (Schusser et al.
2015). Adanya persaingan diantara para aktor dapat memicu terjadinya konflik
(Deutsch et al. 2000; Scanell 2010). Konflik yang ada dapat menyebabkan
kegiatan pengelolaan hutan menjadi terkendala dan dapat menyebabkan kerusakan
pada wujud biofisik hutan (pembakaran, ilegal logging, dan lain-lain), sehingga
dalam kondisi tertentu menyebabkan tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan
yang telah direncanakan. Oleh karena itu, konflik yang terjadi pada konteks
sumberdaya hutan harus segera diselesaikan, agar kegiatan pengelolaan hutan
dapat terlaksana dengan baik dan tujuan pengelolaan hutan dapat tercapai.
Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Hutan Harapan terbagi menjadi
tiga kelompok besar berdasarkan asalnya, yaitu Kelompok Masyarakat Migran
(Jawa dan Batak), Kelompok Masyarakat Batin Sembilan (Suku Anak
Dalam/SAD), dan Kelompok Masyarakat Melayu. Kelompok Masyarakat Migran
dan Batin Sembilan menempati kawasan Hutan Harapan di wilayah Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi. Kelompok Masyarakat Melayu menempati kawasan
Hutan Harapan di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera
Selatan. Secara umum Kelompok masyarakat Migran dan Melayu memanfaatkan
Hutan Harapan dengan cara bertani (berkebun) karet, kelapa sawit, dan lain-lain
baik secara komersil maupun subsisten. Sedangkan, Kelompok Masyarakat Batin
Sembilan memanfaatkan Hutan Harapan dengan cara mengambil atau memungut
HHBK yang ada di dalam Hutan Harapan, meskipun ada sebagian kecil yang
berkebun dan bertani namun belum memiliki pola pengelolaan sebaik masyarakat
Migran.
Aktivitas penggarapan lahan di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dengan tanaman kelapa sawit dan karet sudah lebih dahulu ada
sebelum PT REKI masuk sebagai pengelola hutan. Kebun kelapa sawit milik
masyarakat yang sudah terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan, menjadi satu-
satunya penghidupan masyarakat setempat. Meskipun demikian, saat ini masih
terjadi fenomena munculnya kebun kelapa sawit baru di dalam kawasan Hutan
Harapan. Penggarapan (perambahan) hutan yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan dilatarbelakangi karena masyarakat tidak memiliki
lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat memilih
menggarap lahan dengan kebun kelapa sawit, karena menilai kelapa sawit lebih
menguntungkan dan mudah dipasarkan, daripada komoditas kehutanan. Tentunya,
tindakan masyarakat tersebut menyalahi aturan karena menurut peraturan yang
berlaku di Indonesia, kawasan hutan harus dikelola dengan skema pengelolaan
hutan yang berlaku di wilayah tersebut (dalam hal ini skema restorasi ekosistem).
Meninjau dari fakta yang ada, penelitian ini berusaha mempertimbangkan
untuk mempromosikan agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya untuk
15

menyelaraskan kepentingan ekologi dan ekonomi yang terjadi dalam kontesasi di


wilayah Hutan Harapan. Penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit pada lahan
yang telah digarap (dirambah) oleh masyarakat dengan ditanam kelapa sawit,
diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan ekonomi yang dimiliki masyarakat
dan kepentingan ekologi yang dimiliki perusahaan. Tentunya, agroforestri
berbasis kelapa sawit harus layak secara ekonomi dan sosial untuk bisa diterapkan
sebagai upaya resolusi konflik. Saat ini ada 8 kelompok tani (KT) yang telah
berMoU dengan PT REKI melalui skema kemitraan kehutanan. MoU tersebut
berisi mengenai perjanjian kerja sama antara kelompok tani dengan perusahaan.
Salah satu poin yang terdapat dalam MoU tersebut adalah kesediaan masyarakat
untuk menanam seratus (100) tanaman sela HHBK di sela tanaman kelapa sawit,
atau dalam penelitian ini disebut penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit.
Kelayakan ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dinilai dengan
analisis kelayakan finanasial dan analisis kemampuannya dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Penelitian ini menggunakan analisis finansial metode arus
kas terdiskonto (discounted cash flow) untuk menilai kelayakan finansial
penerapan suatu pola pengelolaan lahan. Terdapat 6 parameter kelayakan
(investment criteria), antara lain: nett present value (NPV), benefit cost ratio
(BCR), internal rate of return (IRR), payback period, dan profitability ratio
(Gittinger et al. 1993; Kadariah et al. 1999; Sutojo 2000). Parameter kelayakan
yang digunakan pada penelitian yaitu nett present value (NPV), benefit cost ratio
(BCR), dan internal rate of return (IRR). Analisis kemampuan agroforestri
berbasis kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dilakukan secara
kuantitatif dengan membandingkan antara potensi pendapatan/keuntungan dari
penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit, dengan besarnya kebutuhan
hidup masyarakat yang dinilai dari pengeluaran per bulan tiap kepala keluarga.
Analisis kelayakan sosial agroforestri berbasis kelapa sawit dilakukan secara
deskriptif kualitatif. Kelayakan sosial dinilai dengan mengidentifikasi
keberterimaan masyarakat (legitimasi) terhadap penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit. Menurut Aneta (2010), salah satu bentuk keberterimaan masyarakat
terhadap kebijakan adalah berdasarkan dengan pemahaman masyarakat akan suatu
kebijakan, dan keberterimaanya dimanifestasikan dengan ucapan (lisan). Selain
itu, bentuk keberterimaan masyarakat juga dapat dilihat berdasarkan sikapnya,
dengan ikut berpartisipasi melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan (Aneta
2010). Data mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat, persepsi masyarakat
terhadap MoU untuk menanam tanaman sela (HHBK) di sela kelapa sawit
dijadikan sebagai indikator untuk menjawab kelayakan sosial pola agroforestri
berbasis kelapa sawit. Sikap masyarakat yang terwujud pada kondisi kebun kelapa
sawit yang dimiliki juga menjadi indikasi akan ada atau tidaknya partisipasi
masyarakat dalam penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit sesuai dengan
yang telah disepakati di dalam MoU.
Faktor pemungkin guna mendukung jalannya resolusi konflik dengan
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit dilakukan dengan analisis deskriptif
kualitatif. Menurut Gilmore (2013), faktor pemungkin adalah suatu kondisi yang
dapat memfasilitasi tindakan individu, atau kelompok, untuk mewujudkan sesuatu
sesuai dengan kesediaannya. Secara keseluruhan, akan sangat membantu untuk
melihat faktor pemungkin sebagai komponen kombinasi dari kekuatan-kekuatan
yang secara bersama-sama, mempengaruhi tingkat inisiasi dan kelanjutan dari
16

beberapa jenis tindakan individu atau kelompok (Gilmore 2013). Analisis faktor
pemungkin penting untuk dilakukan guna dapat terlaksananya penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik. Analisis faktor
pemungkin dilakukan dengan mengidentifikasi alasan masyarakat dalam memilih
kelapa sawit sebagai tanaman yang dikembangkan untuk memenuhi
kehidupannya. Hasil yang teridentifikasi dari alasan tersebut dapat dijadikan
sebagai informasi dan pertimbangan untuk menciptakan “iklim” yang sama seperti
kelapa sawit, sehingga meningkatkan potensi masyarakat untuk menerima pola
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Plot CRC B11 dan di sekitarnya, serta kawasan
Hutan Harapan yang berlokasi di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi (Gambar 3). Penelitian ini dilaksanakan mulai dari
bulan Oktober 2019 sampai dengan bulan April 2020.

Gambar 3 Lokasi penelitian

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini, antara lain: peta areal kerja
PT REKI, alat tulis, papan jalan, seperangkat komputer (laptop) yang terintegrasi
software Microsoft Office Excel dan SPSS, serta kuesioner.
17

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data hasil wawancara,
laporan perusahaan, dokumen RKU perusahaan, dan data pendukung lain yang
diperoleh dari literatur lain seperti artikel ilmiah (jurnal, prosiding), buku, dan
berita.

Jenis Data

Secara umum terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara
lain: 1) data komponen biaya (cost) dan pendapatan (revenue) penerapan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit, dan kelapa sawit monokultur (Tabel 1); 2) data
kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam Hutan Harapan (Tabel 2); 3) data
preferensi masyarakat terhadap hutan; 4) data persepsi dan keberterimaan
masyarakat terhadap MoU penanaman tanaman kehutanan di sela kelapa sawit
(agroforestri berbasis kelapa sawit). Data sekunder yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu seluruh data yang menunjang dan berkaitan dalam penelitian
ini yang bersumber dari dokumen, laporan, dan data lain milik perusahaan (PT
REKI), instansi lain yang terkait (CRC-990/EFForTS), serta dari berbagai literatur
seperti jurnal, prosiding, buku, makalah, tesis, tesis, artikel di internet, dan lain-
lain.
Tabel 1 Data komponen biaya dan pendapatan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit dan kelapa sawit monokultur yang dikumpulkan

No Komponen Biaya Uraian


1 Biaya Tetap - Biaya pembuatan pondok
- Pembelian peralatan kerja
- Biaya penyiapan lahan
2 Biaya Investasi
- Biaya penyiapan bibit
- Biaya penanaman
3 Biaya Operasional - Pembelian pupuk dan herbisida
- Biaya pemeliharaan
- Biaya panen
No Komponen Pendapatan Uraian
- Penjualan TBS kelapa sawit
- Penjualan petai
- Penjualan jengkol
1 Penjualan hasil panen - Penjualan durian
- Penjualan kayu sungkai
- Penjualan kayu meranti
- Penjualan getah jelutung
18

Tabel 2 Data dan atribut masyarakat yang diperlukan untuk analisis dalam upaya
resolusi konflik

Data Atribut
Nama
Umur
Suku
Jenis kelamin
Identitas responden Agama
Pekerjaan
Pendapatan per bulan
Pengeluaran per bulan
Tingkat pendidikan
Tidak memiliki lahan garapan
Motivasi masyarakat melakukan Menambah lahan garapan
penggarapan Mengikuti arus masyarakat lain
Diwariskan ke anak cucu
Lahan di luar kawasan hutan
Lahan di dalam kawasan hutan
Kepemilikan lahan garapan
Luas Pekarangan
Jenis yang dikelola
Faktor ekonomi
Alasan memilih usaha kebun kelapa sawit Faktor sosial
Faktor budaya
Keberterimaan secara lisan
Keberterimaan terhadap MoU
Keberterimaan secara sikap
Persepsi dan pengetahuan terhadap hutan Mengetahui/tidak mengetahui
dan restorasi ekosistem hutan Mendukung/tidak mendukung
Tempat tinggal
Tempat pelestarian flora dan
fauna
Tempat bekerja dan kegiatan
Preferensi terhadap hutan
perekonomian lain (bekerja,
berkebun, bercocok tanaam)
Sarana keagamaan dan
kebudayaan

Metode Pengumpulan Data

Secara umum metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian


ini ada 4 teknik, antara lain: (1) observasi atau pengamatan langsung di lapangan,
(2) wawancara secara langsung dengan responden yang terpilih secara semi
terstruktur dengan kuesioner, (3) pencatatan semua data sekunder dari dokumen
maupun laporan milik instansi atau perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan
penelitian, (4) studi literatur dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber
antara lain jurnal, buku, hasil penelitian, prosiding atau tulisan ilmiah lainnya, dan
media digital (berita dari internet). Observasi atau pengamatan di lapangan
19

dilakukan guna melihat secara langsung kondisi saat ini (existing) terkait lokasi
studi. Wawancara dengan responden terkait dilakukan guna menggali data dan
informasi yang berkaitan dengan penelitian. Pencatatan data sekunder seperti
dokumen, dan laporan dilakukan untuk menggali data dan informasi yang tidak
dapat dilakukan secara observasi atau pengamatan langsung di lapangan terkait
lokasi studi. Studi literatur dilakukan guna menggali landasan teori dan hasil-hasil
riset sebelumnya yang berkaitan dengan lingkup penelitian.

Responden Penelitian

Responden yang dipilih dalam penelitian ini, antara lain: manajer lapangan
dan beberapa staf pengelola Plot B11 CRC-990/EFForTS, masyarakat yang
memiliki kebun kelapa sawit dan para pedagang sayur di sekitar plot B11, 36
orang masyarakat Hutan Harapan (30 orang terbagi ke dalam 5 pengurus
kelompok tani yang telah MoU dengan PT REKI, dan 6 orang yang belum MoU
dengan PT REKI). Responden masyarakat Hutan Harapan yang total berjumlah 36
orang tersebut terpilih dengan teknik purposive sampling, dengan kriteria
masyarakat yang memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan Hutan Harapan,
dan merupakan pengurus dari kelompok tani baik yang telah berMoU, maupun
yang belum berMoU dengan PT REKI. Jumlah responden masyarakat Hutan
Harapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kendala, antara lain: akses ke lokasi
masyarakat yang sulit, kendaraan yang minim, adanya penolakan dari beberapa
kelompok masyarakat, dan sedang berlangsungnya konflik dengan masyarakat di
daerah tertentu sehingga kondisi tidak kondusif untuk dilaksanakan wawancara
(alasan keamanan). Selain itu, guna keperluan data pendukung juga dilakukan
wawancara kepada staf jajaran PT REKI, antara lain: Direktur Operasional PT
REKI, Wakil Manajer Community Partnership (CP) PT REKI dan beberapa
stafnya.

Prosedur Analisis Data

Analisis kelayakan ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa sawit


Analisis kelayakan ekonomi agroforestri berbasis kelapa sawit dilakukan
dengan analisis finansial dan analisis kemampuan agroforestri berbasis kelapa
sawit dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Analisis finansial dilakukan pada
pola kelapa sawit monokultur, dan pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan
metode arus kas terdiskonto (discounted cash flow). Analisis kemampuan pola
pengelolaan lahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dilakukan secara
kuantitatif dengan membandingkan antara estimasi potensi pendapatan dari pola
agroforestri berbasis kelapa sawit dan pola kelapa sawit monokultur, dengan
besarnya kebutuhan hidup masyarakat yang dinilai dari pengeluaran per bulan tiap
kepala keluarga. Pola agroforestri berbasis kelapa sawit dinyatakan layak secara
ekonomi, apabila layak secara finansial dan mampu memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat.
Data yang digunakan untuk analisis kelayakan finansial berupa seluruh
komponen biaya (cost) dan pendapatan (revenue) yang dari pola agroforestri
20

berbasis kelapa sawit dan pola kelapa sawit monokultur. Seluruh komponen biaya
dan pendapatan yang ada disusun menjadi sebuah aliran kas (cashflow) dengan
periode pengelolaan selama 25 tahun, kemudian aliran kas tersebut didiskontokan
pada tahun ini atau yang biasa disebut sebagai arus kas terdiskonto (discounted
cash flow) (Kadariah et al. 1999). Parameter analisis kelayakan finansial
(investment criteria) meliputi parameter Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah et al. 1999). Masing-
masing parameter tersebut digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu
pola pengelolaan lahan, juga dapat digunakan untuk memberi urutan (ranking)
atas berbagai pola pengelolaan menurut tingkat keuntungan.

a. Net Present Value (NPV)


Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value dari
pemasukan/pendapatan (benefit) dan present value dari biaya/pengeluaran (cost).
NPV juga dapat dikatakan sebagai arus kas yang diperkirakan pada masa yang
akan datang yang didiskontokan pada saat ini. Persamaan untuk menghitung nilai
NPV adalah sebagai berikut:

Keterangan:
NPV = Net Present Value (Rp)
Bt = seluruh pendapatan pada tahun ke-t (Rp/tahun)
Ct = seluruh biaya pada tahun ke-t (Rp/tahun)
i = suku bunga yang digunakan sebagai social discount factor (%)
t = lamanya periode pengelolaan (tahun) tahun ke-0 sampai tahun
ke-n
Layak apabila NPV > 0

b. Internal Rate of Return (IRR)


Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat pengembalian dari modal
pada pola pengelolaan lahan yang dianalisis, pada nilai discount rate (i) yang
membuat NPV dari suatu pola pengelolaan sama dengan 0 (NPV=0). Artinya
adalah nilai i yang membuat suatu pola pengelolaan memiliki NPV=0. Persamaan
untuk menghitung nilai IRR adalah sebagai berikut:

Keterangan:
IRR = Internal Rate of Return
i1 = suku bunga yang menghasilkan NPV positif
i2 = suku bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV positif
NPV2 = NPV negatif
Layak apabila IRR > i
21

c. Benefit Cost Ratio (BCR)


Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara nilai manfaat
(pendapatan) terhadap nilai biaya dilihat pada kondisi nilai sekarang (present
value). Adapun persamaan untuk menghitung BCR adalah sebagai berikut:

Keterangan:
BCR = Benefit Cost Ratio
Bt = seluruh pendapatan pada tahun ke-t (Rp/tahun)
Ct = seluruh biaya pada tahun ke-t (Rp/tahun)
i = suku bunga yang digunakan sebagai social discount factor (%)
t = lamanya periode pengelolaan (tahun) tahun ke-0 sampai
tahun ke-n
Layak apabila nilai >1

Asumsi-asumsi yang dibangun untuk analisis finansial pada pola kelapa


sawit monokultur, pola agroforestri yang diterapkan Plot B11 CRC-990/EFForTS,
dan pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang direkomendasikan adalah sebagai
berikut:
1. Analisis finansial dilakukan pada luas lahan 1 hektar;
2. Umur produktif kelapa sawit 25 tahun, sehingga periode investasi (periode
pengelolaan) ditetapkan selama 25 tahun;
3. Tidak memperhitungkan biaya investasi lahan dan pajak lahan;
4. Komponen biaya pembukaan lahan, pengadaan bibit, penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan diduga dengan upah pegawai/karyawan harian
yang berlaku di lokasi penelitian;
5. Penanaman tanaman tanaman sela dilakukan pada saat kelapa sawit berumur
8 tahun;
6. Jumlah tanaman kelapa sawit pada pola monokultur yaitu 140 pokok hingga
akhir periode investasi. Sedangkan, jumlah tanaman kelapa sawit pada pola
agroforestri berbasis kelapa sawit pada plot B11 dan pola agroforestri yang
dipromosikan/direkomendasikan sebelum tahun ke-8 yaitu 140 pokok, dan
pada tahun ke-8 (setelah dilakukan penanaman tanaman sela) hingga akhir
periode pengelolaan yaitu menjadi 81 pokok;
7. Jumlah tanaman sela pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang
diterapkan pada Plot B11 CRC-990/EFForTS yaitu 2500 batang (jarak tanam
2x2 meter), dengan proporsi jumlah batang pada masing-masing jenis sama
besar yaitu sekitar 416–417 batang tiap jenis tanaman sela;
8. Jumlah tanaman sela pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang
dipromosikan untuk diterapkan di kawasan Hutan Harapan (Tabel 13),
mengikuti jarak tanaman ideal dari masing-masing jenis tanaman (Tabel 12);
9. Seluruh tanaman sela dan kelapa sawit, dapat tumbuh dan berbuah dengan
normal hingga akhir periode pengelolaan;
22

10. Jadwal pemupukan dan pupuk yang digunakan mengikuti perusahaan


perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian;
11. Pemupukan hanya dilakukan pada kelapa sawit;
12. Penyemperotan herbisida serta herbisida yang digunakan mengikuti
perusahaan perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian;
13. Harga jual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sebesar Rp 1.500/kg;
14. Panen TBS kelapa sawit dilakukan satu bulan sekali;
15. Harga petai mengikuti rata-rata harga di pasar Desa Bungku, Kecamatan
Bajubang Rp 1.000/papan, dan petai mulai berbuah pada umur 7 tahun;
16. Harga jengkol mengikuti rata-rata harga di pasar Desa Bungku, Kecamatan
Bajubang Rp 5.000/kg (belum dikupas), dan jengkol mulai berbuah umur 5
tahun;
17. Harga durian mengikuti rata-rata harga di pasar Desa Bungku, Kecamatan
Bajubang Rp 20.000/buah, dan durian mulai berbuah umur 10 tahun;
18. Harga log kayu sungkai mengikuti rata-rata harga yang dikeluarkan oleh
APHI sebesar Rp 1.800.000/m3 log, dipanen pada saat akhir periode investasi;
19. Harga log kayu meranti mengikuti rata-rata harga yang dikeluarkan oleh
APHI sebesar Rp 1.000.000/m3 log, dipanen pada saat akhir periode investasi;
20. Harga getah jelutung mengikuti rata-rata harga jual yang ada di wilayah
Kabupaten Batanghari yaitu Rp 4000/kg;
21. Produktivitas masing-masing tanaman sela mengikuti literatur pada Tabel 3;
22. Panen petai, jengkol, dan durian dilakukan satu tahun sekali;
23. Penjarangan meranti dan sungkai dilaksanakan pada tahun ke-18 (umur
pohon 10 tahun) sebesar 25% dari jumlah total jenis masing-masing tanaman;
24. Suku Bunga yang berlaku sebagai discount factor (i) adalah sebesar 9.9%;
25. Kurva produktivitas kelapa sawit mengikuti literatur (Sufriadi 2015).

Analisis kelayakan sosial pola agroforestri berbasis kelapa sawit


Mengacu pada teori multi-aktor (Enserink et al. 2010) dan strategi kebijakan
pembangunan hutan (Nurrochmat et al. 2016), program multiusaha kehutanan
dengan pola agroforestri berbasis kelapa sawit dinyatakan diterima oleh para
stakeholder atau layak secara sosial, apabila opsi kebijakan tersebut memiliki
penolakan terendah dari para aktor. Secara umum metode yang digunakan untuk
analisis kelayakan sosial pola agroforestri berbasis kelapa sawit adalah metode
deskriptif kualitatif. Metode tersebut dipilih karena peneliti ingin menggambarkan
atau melukiskan fakta-fakta atau keadaan ataupun gejala yang tampak pada
sebagian kecil kontestasi di kawasan Hutan Harapan. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan atau melukiskan objek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya
(Mukhtar 2013; Sugiyono 2005). Penelitian deskriptif kualitatif berusaha
mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala
menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Mukhtar 2013).
Analisis kelayakan sosial pola agroforestri berbasis kelapa sawit dilakukan
dengan mengidentifikasi keberterimaan masyarakat terhadap MoU melakukan
penanaman tanaman sela di sela kelapa sawit. Keberterimaan aktor didefinisikan
dengan kemauan aktor untuk menjalankan suatu program ataupun kebijakan, dan
mewujudkannya dengan membangun minat bersama (Nurrochmat et al. 2017).
Kemauan yang memanifestasikan keberterimaan tersebut diwujudkan baik secara
23

ucapan dan sikap. Keberterimaan aktor khususnya masyarakat terhadap pola


agroforestri berbasis kelapa sawit menjadi kunci penting akan tercapainya resolusi
konflik dengan multiusaha kehutanan.
Analisis keberterimaan masyarakat terhadap MoU untuk menerapkan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit dilakukan dengan mengidentifikasi
keberterimaan aktor baik secara lisan dan sikap. Keberterimaan aktor secara lisan
digali dengan wawancara dengan kuesioner (semi terstruktur) secara langsung
dengan masyarakat. Selanjutnya, keberterimaan aktor secara sikap digali dengan
meninjau (observasi) secara langsung ke kebun kelapa sawit milik masyarakat
yang berada di dalam kawasan Hutan Harapan. Apabila sebagian besar responden
(>80%) sudah melakukan penanaman sisipan minimal 100 tanaman berkayu di
sela kelapa sawit, berarti penanaman sisipan di sela kelapa sawit sudah terlaksana.
Keterlaksanaan penanaman sisipan tersebut menjadi indikator keberterimaan
masyarakat secara sikap, atau layaknya pola agroforestri berbasis kelapa sawit
secara sosial.

Analisis faktor pemungkin (enabling factor) yang diperlukan guna


mendukung terlaksananya agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya
resolusi konflik
Pelaksanaan suatu program atau kegiatan memerlukan adanya kondisi
pendukung untuk memastikan jalannya program tersebut. Kondisi pendukung
tersebut perlu disiapkan sebelum menjalankan suatu program atau kebijakan.
Kondisi pendukung dapat menjadi sebuah faktor pemungkin yang menjadi kunci
terkait dapat dijalankan atau diterimanya suatu program atau kebijakan. Faktor
pemungkin yang dimaksud dapat berupa peraturan (payung hukum), atau kondisi
tertentu agar peluang penerimaan masyarakat akan program atau kebijakan
tersebut besar. Implementasi pola pengelolaan lahan untuk resolusi konflik pada
kawasan Hutan Harapan yang dirambah masyarakat dengan teknik penanaman
tanaman sela dengan jenis kehutanan tersebut membutuhkan faktor pemungkin
yang dapat mendukung jalannya program tersebut. Faktor pemungkin berupa
peraturan sebagai payung hukum sudah ada, yaitu berupa MoU yang sudah
disahkan antara kelompok tani dengan perusahaan. Faktor pemungkin lain,
dianalisis dengan melihat persepsi dan harapan masyarakat terhadap MoU, serta
alasan memilih usaha kebun kelapa sawit.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Plot B11 CRC-990 (plot agroforestri berbasis kelapa sawit)


Agroforestri berbasis kelapa sawit telah diterapkan salah satunya yaitu oleh
riset konsorsium CRC-990/EFForTS. CRC-990/EFForTS merupakan kolaborasi
riset antara IPB University, Universitas Jambi, University of Göttingen dan
Universtias Tadulako. Teknik agroforestri diterapkan dengan menggunakan teknik
penanaman pengayaan (enrichment planting) di sela pokok kelapa sawit. Jenis
24

yang digunakan untuk tanaman sela yaitu menggunakan kombinasi antara kelapa
sawit dengan petai (Parkia skimoasa), jengkol (Archidendron pauciflorum),
durian (Durio zibethinus), sungkai (Peronema canescens), meranti (Shorea
leprosula), dan jelutung (Dyera lowii). Tanaman sela ditanam pada saat kelapa
sawit berumur sekitar 7–8 tahun. Terdapat 56 plot contoh yang dibangun oleh tim
CRC-900/EFForTS dengan variasi luas plot antara lain: 40x40 meter, 20x20
meter, 10x10 meter, dan 5x5 meter (Gambar 4). Masing-masing plot memiliki
berbagai tingkat keragaman jenis (tanaman sela) yang berbeda-beda seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan informasi pada Gambar 5, plot
eksperimen milik CRC-990/EFForTS tidak hanya memiliki plot agroforestri, akan
tetapi juga memiliki plot monokultur. Plot tersebut dibuat dengan tujuan untuk
melihat perbandingan respon tanaman sela pada pola monokultur dan pola
agroforestri.
Jumlah pokok kelapa sawit pada plot agroforestri buatan CRC-
990/EFForTS berjumlah rata-rata 13 pokok kelapa sawit, pada plot berukuran
40x40m. Selanjutnya, jarak tanam tanaman sela pada plot agroforestri yaitu 2x2
meter. Artinya, apabila dikonversikan pada luas 1 hektar terdapat sekitar 81 pokok
kelapa sawit, dan sekitar 2500 tanaman sela pada lahan dengan luas 1 hektar.
Proporsi jumlah jenis tanaman sela yang digunakan untuk tanaman sela bervariasi
pada masing-masing plot. Plot dengan tingkat keragaman tertinggi menanam
seluruh jenis tanaman sela dengan proporsi jumlah jenis yang kurang lebih sama
rata.
Salah satu plot agroforestri milik CRC-990/EFForTS yaitu Plot B11,
berlokasi di Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Plot B11
dibangun sejak tahun 2014. Jenis tanah yang dominan di wilayah ini adalah
acrisol liat (Allen et al. 2015). Secara umum, wilayah plot CRC-990/EFForTS
masuk pada ekosistem hutan hujan dataran rendah. Wilayah tersebut sebagian
besar didominasi oleh jenis pada famili Dipterocarpaceae, yang menjadi vegetasi
asli (Laumonier et al. 2010). Plot agroforestri yang dibangun oleh CRC-
900/EFForTS berlokasi di dalam wilayah hak guna usaha (HGU) PT Humusindo
Makmur Sejati (PT HMS). Perusahaan tersebut menerapkan pola kelapa sawit
monokultur dengan jarak tanam 9x9 meter dengan pola segitiga sama sisi,
sehingga dalam satu hektar berisi sekitar 135–140 pokok kelapa sawit.
Berdasarkan hasil observasi lapang pada Plot B11, didapatkan informasi
bahwa jenis yang digunakan untuk tanaman sela pada plot agroforestri dapat
tumbuh, meskipun tidak seluruh individu tanaman sela dapat seluruhnya tumbuh.
Selain itu, kelapa sawit yang ada di dalam plot juga dapat tetap berbuah dan
dipanen. Pertumbuhan sungkai, jengkol, dan petai dapat dikatakan baik, karena
diameter batang dari ketiga tanaman tersebut sudah cukup besar hanya dalam
kurun waktu 5 tahun. Tercatat jengkol sudah mengalami dua kali panen sampai
pada tahun 2019. Apabila dibandingkan dengan jenis lain, tanaman jengkol
cenderung memiliki diameter lebih besar diantara tanaman lain.
Selain jengkol, sungkai juga cenderung memiliki pertumbuhan yang cukup
bagus bila dibandingkan dengan jenis lain. Sungkai yang ada pada plot
agroforestri memiliki diameter yang hampir sama besarnya dengan jengkol,
namun sedikit lebih kecil. Apabila dilihat dari stratifikasi tajuk, sungkai
cenderung mendominasi karena memiliki tinggi pohon yang paling tinggi
dibandingkan jenis lain. Selain sungkai, petai juga memiliki ukuran tinggi pohon
25

yang hampir menyamai jengkol. Namun, kondisi diameter batang petai lebih kecil
daripada jengkol dan sungkai. Petai juga cenderung menggugurkan sebagian besar
daunnya pada saat musim kemarau. Sampai pada tahun 2019, petai masih belum
pernah berbuah.
Jenis meranti dan jelutung cenderung memiliki pertumbuhan tinggi pohon
yang sedikit lebih kecil daripada jengkol. Meskipun meranti (famili
Dipterocarpaceae) tergolong jenis semi intoleran (Setiawan et al. 2015),
pertumbuhan ukuran tinggi jenis meranti hampir menyamai ukuran tinggi jengkol.
Jelutung juga memiliki ukuran tinggi dan diameter yang kurang lebih sama
dengan tinggi meranti pada saat observasi lapang dilakukan. Pertumbuhan meranti
dan jelutung dapat dikatakan cukup baik, meskipun tidak sedikit tanaman sela
meranti dan jelutung yang mati di dalam plot. Penyebab kematian tanaman sela
yang ada di dalam plot cenderung karena akibat aktivitas manusia, yaitu terinjak
dan tertimpa tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pada saat kegiatan pemanenan
TBS dilakukan.
Lain halnya dengan durian, durian pada Plot B11 cenderung banyak yang
mati. Meskipun demikian, tetap ada durian yang hidup, namun pertumbuhannya
cenderung tidak sebaik tanaman sela lainnya. Pertumbuhan durian pada plot
agroforestri terlihat tertekan, diindikasikan dengan diameter yang kecil dan
ukuran tinggi tanaman yang paling kecil daripada jenis lain. Saat musim kemarau
panjang (pada saat observasi dilakukan), durian menggugurkan hampir sebagian
besar daunnya. Sampai pada waktu penelitian dilakukan, pohon durian belum ada
yang berbuah. Hasil temuan pada observasi lapang didapatkan informasi bahwa
durian yang ada pada Plot B11 dapat tumbuh dengan baik pada plot monokultur.
Pertumbuhan durian jauh lebih baik pada plot monokultur dibandingkan dengan
plot agroforestri.

Gambar 4 Desain plot agroforestri berbasis kelapa sawit yang diterapkan oleh
CRC-990/EFForTS (Gérard et al. 2017)
26

Gambar 5 Jumlah dan tingkat keragaman tiap plot penelitian yang dibangun oleh
CRC-990/EFForTS diadaptasi dari Teuscher et al. (2016)

Kawasan Hutan Harapan


Hutan Harapan merupakan kawasan hutan yang saat ini dikelola oleh PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) dengan izin konsesi restorasi ekosistem
(IUPHHK-RE). Secara administratif, Hutan Harapan terletak di tiga Kabupaten
dan dua Provinsi, yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, Provinsi
Jambi, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Izin
pengelolaan hutan dalam rangka kegiatan restorasi ekosistem (IUPHHK-RE)
diberikan kepada PT REKI seluas 52.170 hektar melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No. SK.293/Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007 pada kelompok
hutan Sungai Meranti dan Sungai Kapas, yang berlokasi di Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya, Kementerian Kehutanan
memberikan izin kembali pada tahun 2010 kepada PT REKI untuk merestorasi
kawasan hutan seluas 46.385 hektar. Izin tersebut tertuang pada Surat Keputusan
Menteri No. SK.327/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010. Izin yang diberikan
mencakup areal Kelompok Hutan Hulu Sungai Meranti-Kapas seluas 6.477 ha
selanjutnya disebut Blok II (Mandiangin-Pauh) dan Kelompok Hutan Hulu Sungai
Lalan-Kandang seluas 39.908 hektar.
Tujuan utama dari PT REKI selaku pemegang izin restorasi ekosistem
adalah untuk memulihkan serta memanfaatkan kesatuan ekosistem hutan alam
produksi secara lestari yang memiliki daya dukung ekonomi dan sosial pada hutan
kritis dataran rendah Sumatera (REKI 2008). Hal itu dilakukan karena kawasan
Hutan Harapan merupakan hutan hujan dataran rendah (lowland rainforest) yang
satu-satunya masih tersisa di Pulau Sumatera. Model pengelolaan hutan dengan
skema restorasi ekosistem ini dapat dikatakan sebagai paradigma baru dalam
kegiatan pengelolaan hutan produksi. Kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan
oleh PT REKI mengikuti paradigma pengelolaan hutan berbasis ekosistem untuk
27

perbaikan lingkungan, pelestarian tumbuhan, dan satwa liar (REKI 2009). Areal
yang dijadikan sebagai prioritas restorasi ekosistem yaitu lokasi yang masih
memiliki peluang untuk diperbaiki kondisi keanekaragaman hayatinya dalam
skala lanskap, dan mempunyai nilai konservasi tinggi atau high conservation
value (HCV), lokasi yang mengalami degradasi, serta lokasi yang berpotensi
mendukung perbaikan kesejahteraan masyarakat (lokasi yang masih mengandung
nilai sosial dan peluang ekonomi tinggi) (REKI 2008; 2009).
Areal restorasi ekosistem tersebut secara keseluruhan merupakan ekosistem
hutan dataran rendah kering bekas tebangan HPH/IUPHHK-HA PT Asialog.
Kawasan hutan harapan juga dinyatakan sebagai Important Bird Area (daerah
penting burung) yang secara Internasional telah diketahui sebagai kawasan
penting keanekaragaman hayati (REKI 2009). Berdasarkan hasil interpretasi Citra
Landsat dan survei lapangan, areal Hutan Harapan memiliki tiga tipe tutupan
hutan yaitu hutan produktif (19.747 ha), kurang produktif (8.522 ha), dan tidak
produktif (18.116 ha) (REKI 2008). Hasil pengamatan yang dilakukan oleh PT
REKI melaporkan bahwa di dalam area Hutan Harapan terdapat habitat mamalia
yang terancam punah seperti gajah dan harimau sumatera, serta lebih dari 302
jenis burung, 50 jenis mamalia dan 74 jenis amfibi dan reptil (REKI 2009).
Sebelum PT REKI masuk sebagai pengelola kawasan hutan tersebut, sudah
ada beberapa kelompok masyarakat yang mendiami di dalam kawasan Hutan
Harapan. Tercatat hingga saat ini terdapat sekitar 22 kelompok masyarakat yang
mendiami di dalam kawasan Hutan Harapan (Gambar 6). Sebagian besar
kelompok masyarakat melakukan kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan
Hutan Harapan dengan menanam kelapa sawit. Berdasarkan hasil informasi dari
beberapa sumber terkait, tercatat sekitar ±17.000 hektar kawasan Hutan Harapan
telah digarap (dirambah) oleh masyarakat. Adanya penggarapan lahan yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut dilatarbelakangi karena faktor ekonomi.
Masyarakat memanfaatkan areal Hutan Harapan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan usaha kebun kelapa sawit, karet, dan lain-lain. Saat ini
perusahaan masih terus berusaha untuk melakukan upaya restorasi dengan
menanam bibit pohon di kawasan Hutan Harapan yang berada di wilayah
administrasi Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Menurut informasi dari
beberapa pihak terkait, perusahaan telah menanam ± 1.550.000 bibit pohon
dengan luas wilayah sekitar ± 4.850 hektar.
28

Gambar 6 Peta areal kerja (PAK) PT REKI, dan lokasi kelompok masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan (Sumber: Dokumen digital PT REKI)
Di dalam areal Hutan Harapan telah ada plot agroforestri atau lebih dikenal
dengan nama plot kebun campuran yang berlokasi di Desa Kunangan Jaya 1.
Kebun campuran tersebut digunakan sebagai kebun percontohan untuk
pengembangan tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di sela kelapa sawit.
Pengembangan kebun campuran tersebut diinisiasi oleh pihak manajemen Hutan
Harapan. Sebanyak 3 plot kebun campuran telah dibuat, dengan tanaman yang
dikembangkan pada kebun campuran tersebut antara lain: kelapa sawit, durian,
mangga, petai, alpukat, karet dan jengkol. Luas plot kebun campuran tersebut
masing-masing 1 ha. Plot kebun campuran tersebut, pengelolaannya diserahkan
kepada kelompok masyarakat yang berada di sekitar Desa Kunangan Jaya 1. Saat
observasi di lapangan dilakukan, plot kebun campuran tersebut telah berumur 3
tahun.
Kondisi kebun campuran yang dikembangkan sebagai eksperimen
pengembangan HHBK di sela kelapa sawit tidak dapat berjalan sesuai dengan
tujuan. Banyaknya tanaman mati dan hilang akibat hama babi maupun penyebab
lain, menyebabkan kebun campuran tidak dapat tumbuh dan berkembang seperti
pada Plot B11 yang dibangun oleh CRC-990/EFForTS (Gambar 7). Hal tersebut
terjadi karena rendahnya intensitas pengelolaan dan pemeliharaan. Tidak adanya
peraturan yang jelas terkait kewajiban untuk menjaga dan mengelola kebun
campuran, menjadi faktor yang menyebabkan tidak dapat tercapainya tujuan
pengembangan kebun campuran tersebut. Selain itu, kurangnya engagement
antara perusahaan dan masyarakat yang tidak saling bahu-membahu menjadi
kunci tidak berhasilnya pengembangan kebun campuran.
29

Gambar 7 Kondisi kebun campuran (plot agroforestri) di dalam kawasan Hutan


Harapan
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Hutan Harapan
Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Hutan Harapan terdiri atas 3
kelompok besar, antara lain: kelompok masyarakat Batin Sembilan, kelompok
masyarakat Melayu, dan kelompok masyarakat Migran. Kelompok Masyarakat
Batin Sembilan terdiri atas 7 kelompok (Tabel 3), Kelompok Masyarakat Melayu
terdiri atas 6 kelompok (Tabel 4), dan Kelompok Masyarakat Migran terdiri atas 9
kelompok (Tabel 5). Kelompok besar tersebut terbagi lagi menjadi 22 kelompok
kecil yang berbentuk kelompok tani (KT) dan dipimpin (diketuai) oleh satu orang
laki-laki. Sebagian besar masyarakat yang berada di kawasan Hutan Harapan
menggantungkan hidupnya dari keberadaan Hutan Harapan. Masyarakat
memanfaatkan hutan dengan caranya masing-masing sesuai dengan preferensi dan
pengetahuannya. Secara umum ada 3 jenis pemanfaatan hutan yang dilakukan
oleh masyarakat Hutan Harapan, yaitu pemanfaatan hasil hutan (kayu dan bukan
kayu), pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan kawasan. Uniknya, ada
kecenderungan pola pemanfaatan yang dilakukan masing-masing kelompok
masyarakat dalam memanfaatkan Hutan Harapan.
Tabel 3 Kelompok masyarakat Batin Sembilan di Hutan Harapan

No Kelompok Lokasi Provinsi


1 Kelompok Simpang Macan Luar Simpang Macan Luar Jambi
2 Kelompok Simpang Macan Dalam Simpang Macan Dalam Jambi
3 Kelompok Tanding Simpang Tanding Jambi
4 Kelompok Gelinding Sungai Kelompang Jambi
5 KT Lamban Jernang Sungai Kelompang Jambi
6 Kelompok Burhan Hulu Badak Jambi
7 Kelompok Jupri Batin Sembilan Sei Jerat Jambi
30

Tabel 4 Kelompok masyarakat Melayu di Hutan Harapan

No Kelompok Lokasi Provinsi


1 Sako Suban DAS Kapas Sumsel
2 Rompok Baginde DAS Kapas Sumsel
3 Rompok Aur DAS Kapas Sumsel
4 Rompok Landai DAS Kapas Sumsel
5 Rompok Kapas Tengah DAS Kapas Sumsel
6 Rompok Bato DAS Kapas Sumsel

Tabel 5 Kelompok masyarakat Migran di Hutan Harapan

No Kelompok Lokasi Provinsi


1 KT Bungin Mandiri Kunangan Jaya 1 Jambi
2 KT Berkah Jaya Kunangan Jaya 1 Jambi
3 KT Mekar Jaya Indah (Irwan S) Kunangan Jaya 1 Jambi
4 KT Hijau Alam Lestari Kunangan Jaya 2 Jambi
5 KT Tani Jaya Kunangan Jaya 2 Jambi
6 Kelompok Alam Sakti Alam Sakti Jambi
7 Kelompok Tanjung Mandiri Tanjung Mandiri Jambi
8 Kelompok SPI Sei Jerat Jambi
9 Kelompok Jupri Pangkalan Ranjau Jambi

Kelompok masyarakat Batin Sembilan menempati wilayah Hutan Harapan


yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kabupaten Batanghari, Provinsi
Jambi. Masyarakat Batin Sembilan cenderung memanfaatkan hutan dengan cara
memungut hasil hutan kayu maupun bukan kayu. Namun, saat ini masyarakat
hanya dibolehkan memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK) saja. HHBK yang
banyak diambil oleh masyarakat Suku Batin Sembilan antara lain: madu sialang,
buah-buahan (durian hutan, rambutan hutan, dll), damar batu, dan lain-lain.
Namun, karena adanya aktivitas perkebunan kelapa sawit dan melihat masyarakat
sekitar yang sudah terlanjur menanam kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan, kelompok masyarakat Batin Sembilan juga memanfaatkan lahan hutan
dengan menanam kelapa sawit. Bagaimanapun, pengetahuan masyarakat Batin
Sembilan akan bercocok tanam masih sangatlah rendah. Hal tersebut terlihat dari
jarak tanam kelapa sawit yang tidak beraturan. Kelompok masyarakat Batin
Sembilan saat ini juga sedang dalam proses pendampingan oleh PT REKI untuk
mengembangkan karet. Hal ini dilakukan agar masyarakat Batin Sembilan dapat
beralih dari menanam tanaman kelapa sawit menjadi menanam tanaman hasil
hutan bukan kayu (HHBK). Secara umum masyarakat Batin Sembilan memiliki
tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan bercocok tanam yang rendah.
Masyarakat Batin Sembilan hanya mengadopsi apa yang ada disekitarnya dan
menerapkannya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, perlu pendampingan yang
baik untuk mengarahkan masyarakat Batin Sembilan agar kegiatan mereka di
dalam kawasan Hutan Harapan tidak mengarah ke kegiatan perambahan hutan.
Berbeda dengan kelompok masyarakat Batin Sembilan, kelompok
masyarakat Migran cenderung memanfaatkan hutan dengan memanfaatkan
lahannya untuk berkebun (bercocok tanam). Masyarakat Migran yang dimaksud
31

dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berasal bukan dari Suku Batin
Sembilan maupun Suku Melayu Jambi atau Sumatera Selatan. Suku dari
masyarakat Migran yang banyak berada di dalam kawasan Hutan Harapan
didominasi Suku Jawa dan Suku Batak. Masyarakat Migran memiliki tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan bercocok tanam yang lebih baik
daripada masyarakat Batin Sembilan. Masyarakat Migran sudah memiliki
pengetahuan dalam bercocok tanam, mengelola lahan, dan memasarkan hasil
pertanian dengan baik. Namun, adanya modal sosial tersebut justru membuat
masyarakat Migran melakukan kegiatan penggarapan (perambahan) lahan di
dalam kawasan Hutan Harapan dengan tanaman kelapa sawit. Selain itu, ada juga
masyarakat Migran yang memanfaatkan lahan hutan dengan menanam karet untuk
disadap getahnya.
Kelompok masyarakat Melayu adalah kelompok masyarakat yang bersuku
Melayu, yang menempati kawasan Hutan Harapan di wilayah Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Jambi. Berdasarkan informasi dari beberapa pihak terkait,
didapatkan informasi bahwa masyarakat Melayu yang sebagian besar berada di
Desa Sako Suban memiliki ketergantungan terhadap sungai dan hutan. Adanya
hutan yang berada di dekat dengan pemukiman dimanfaatkan dengan cara
memungut hasil kayu dan non-kayu seperti madu, buah-buahan, hewan buruan,
tanaman obat-obatan dan lain-lain. Seperti pada umumnya masyarakat adat yang
ada di Pulau Sumatera, masyarakat Desa Sako Suban memiliki latar belakang
sejarah sebagai petani peladang berpindah. Seiring dengan bertambahnya populasi
penduduk dan keterbatasan lahan, pola pertanian ladang berpindah ini suda mulai
ditinggalkan oleh masyarakat Desa Sako Suban, terlebih lagi sejak masuknya izin
konsesi yang diberikan kepada perusahaan di bidang kehutanan (REKI 2009).
Saat ini masyarakat Desa Sako Suban sudah mengenal pertanian (perkebunan)
subsisten, meskipun ada sebagian kecil yang sudah secara komersil (pertanian
belum terlalu intensif).
Guna keperluan analisis kelayakan ekonomi dan kelayakan sosial dari pola
agroforestri berbasis kelapa sawit, maka dipilihlah aktor kunci (key actor) sebagai
responden. Responden yang terpilih untuk diwawancara pada penelitian ini
berjumlah 36 orang. Responden yang terpilih merupakan masyarakat yang
memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan Hutan Harapan. Responden yang
terpilih merupakan beberapa perwakilan dari pengurus kelompok tani (KT) yang
bersedia untuk diwawancara, antara lain: KT Bungin Mandiri, KT Berkah Jaya,
KT Hijau Alam Lestari, KT Tani Jaya, KT Lambang Jernang, Kelompok
Gelinding, KT Mekar Jaya Indah (Kelompok Irwan Simatupang). Karakteristik
dan kondisi sosial-ekonomi responden yang terpilih dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 6.
Masing-masing masyarakat memiliki motivasi tersendiri dalam melakukan
penggarapan lahan di dalam kawasan Hutan Harapan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden yang terpilih, secara umum ada 3 motivasi yang
membuat masyarakat tergerak untuk melakukan penggarapan lahan (perambahan)
di dalam kawasan Hutan Harapan. Motivasi tersebut antara lain: tidak memiliki
lahan garapan, dorongan pihak lain, dan untuk diwariskan kepada anak/cucu.
Persentase motivasi responden dalam melakukan penggarapan lahan di dalam
kawasan Hutan Harapan dapat dilihat pada Tabel 7. Pemilihan jenis tanaman
untuk dikelola sebagai tanaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
32

hidup juga berbeda-beda setiap masyarakat. Meskipun demikian, sebagian besar


masyarakat memilih tanaman kelapa sawit untuk dijadikan sebagai tanaman yang
dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tabel 6 Hasil wawancara kondisi sosial-ekonomi masyarakat Hutan Harapan

Karakteristik Responden Jumlah (persentase)


Umur
- 20 s/d 35 tahun 6 orang (17%)
- 36 s/d 45 tahun 16 orang (44%)
- 45 s/d 60 tahun 13 orang (36%)
- > 60 tahun 1 orang (3%)
Suku
- Jawa 25 orang (69%)
- Batin Sembilan 6 orang (17%)
- Batak 5 orang (14%)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 35 orang (97%)
- Perempuan 1 orang (3%)
Rata-rata pendapatan per bulan Rp 5.300.000/kk
Rata-rata pengeluaran per bulan Rp 4.100.000/kk
Luas rata-rata Kepemilikan Kebun di dalam Kawasan
Hutan Harapan
- Kelapa sawit 4,85 Hektar/kk
- Karet 1,8 Hektar/kk

Tabel 7 Motivasi masyarakat dalam melakukan penggarapan lahan di Hutan


Harapan

Motivasi masyarakat Jumlah Persentase


Tidak memiliki lahan garapan 27 orang 75%
Mengikuti arus masyarakat lain 6 orang 17%
Diwariskan kepada anak cucu 3 orang 8%

Kelembagaan kelompok tani masyarakat Hutan Harapan


Kelembagaan masyarakat yang memiliki lahan garapan di dalam kawasan
Hutan Harapan sudah terbentuk, ditandai dengan adanya kelompok tani (KT) yang
telah berMoU atau bermitra dengan manajemen Hutan Harapan. Saat ini, terdapat
delapan (8) kelompok tani yang telah berMoU dengan manajemen Hutan Harapan
(PT REKI) (Tabel 8). Secara umum, MoU tersebut berisi perjanjian kerjasama
antara kelompok masyarakat dan perusahaan untuk melakukan kerjasama yang
saling menguntungkan. MoU yang telah disepakati oleh masing-masing kelompok
tani dengan PT REKI, menjadi dasar hukum legalnya penggarapan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani yang telah
berMoU tersebut.
Saat ini seluruh kelompok tani yang telah berMoU juga telah memiliki
naskah kesepakatan kerja sama (NKK) dengan skema kemitraan kehutanan yang
telah disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut
33

Permen LHK No.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, bahwa “Kemitraan
Kehutanan (KK) adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola
hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai
kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan”. Seluruh
kelompok tani yang telah berMoU dengan manajemen hutan harapan, saat ini juga
telah menerima SK KULIN KK atau surat keputusan pengakuan perlindungan
kemitraan kehutanan. SK KULIN KK menjadi bukti yang juga memperkuat
legalnya penggarapan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, karena KULIN KK
tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tabel 8 Kelompok tani yang telah melakukan MoU dengan PT REKI dengan
skema kemitraan kehutanan

No Kelompok Lokasi Tahun MoU


1 KT Simpang Macan Luar Simpang Macan
2015
Luar
2 KT Bungin Mandiri Kunangan Jaya 1 2016
3 KT Berkah Jaya Kunangan Jaya 1 2016
4 KT Hijau Alam Lestari Kunangan Jaya 2 2017
5 Kelompok Tanding Simpang Tanding 2015
6 KT Lamban Jernang Sungai Kelompang 2015
7 Kelompok Gelinding Sungai Kelompang 2015
8 Kelompok Rompok Kapas Tengah Sako Suban 2017

Naskah MoU masing-masing kelompok tani tidak sama persis, namun


secara substansi sama. Beberapa poin penting dari MoU yang telah disepakati
oleh masing-masing kelompok tani yang berkaitan dengan kajian penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bahwa di areal kerja manajemen Hutan Harapan telah ada penggarapan lahan
dan pemukiman sebelum diterbitkan izinnya oleh Kementerian Kehutanan;
2. Pihak kelompok tani mengakui bahwa lahan garapan yang diusahakan
merupakan kawasan hutan negara yang izin pengelolaannya dimiliki oleh
pihak manajemen Hutan Harapan;
3. Kemitraan Kehutanan (KK) dalam kesepakatan bersama ini bermaksud
memberikan akses kepada pihak kelompok masyarakat dan manajemen Hutan
Harapan untuk bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dan saling
menguntungkan;
4. Kemitraan Kehutanan dalam kesepakatan bersama (MoU) ini bertujuan untuk
mendapatkan manfaat secara ekonomis dan lingkungan (ekologis) dalam
upaya mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari berdasarkan prinsip
restorasi ekosistem;
5. Kemitraan Kehutanan dalam kesepakatan bersama (MoU) ini dilakukan untuk
menyelesaikan konflik lahan harapan masyarakat yang berada di dalam
kawasan Hutan Harapan dan diketahui oleh instansi pemerintah;
6. Kemitraan Kehutanan dalam kesepakatan bersama (MoU) ini diperuntukkan
terhadap komoditi tanaman yang sudah dikelola oleh masyarakat, HHBK
lainnya, serta tanaman unggulan setempat;
34

7. Objek Kemitraan Kehutanan dalam kesepakatan bersama (MoU) ini adalah


lahan yang antara lain ditanami tanaman karet, palawija, kelapa sawit, dan
tanah kosong, serta belukar yang sudah dikelola oleh masyarakat;
8. Lahan Kemitraan Kehutanan bukan merupakan lahan milik dan tidak boleh
diperjualbelikan dan dipindahtangankan kepada pihak lain, namun dapat
diwariskan kepada garis keturunan asli/kandung;
9. Lahan di areal kemitraan kehutanan yang sudah diusahakan oleh masyarakat
dengan telah ditanami kelapa sawit, akan dilakukan pengayaan dengan 100
tanaman hasil bukan kayu;
10. Lahan di areal kemitraan kehutanan yang belum diusahakan oleh masyarakat
akan ditanami dengan tanaman hasil hutan bukan kayu.

Meninjau dari isi MoU tersebut, dapat dikatakan bahwa aspek legal formal
dari penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit telah ada pada kelembagaan
kelompok tani masyarakat Hutan Harapan. Namun, dorongan untuk
pengembangan agroforestri berbasis kelapa sawit ini hanya dirasakan oleh
kelompok tani yang telah berMoU dengan manajemen Hutan Harapan. Tidak ada
peraturan yang mengikat bagi kelompok tani yang belum melakukan MoU untuk
menerapkan agroforestri berbasis kelapa sawit. Adanya perbedaan kewajiban ini
menimbulkan kelompok tani yang telah berMoU menjadi enggan untuk
melaksanakan apa yang telah tertulis pada naskah MoU. Hal itu terjadi karena
belum ada tindakan yang tegas pada kelompok tani yang belum berMoU dengan
manajemen Hutan Harapan, sehingga kelompok tani yang telah berMoU merasa
tidak memiliki keistimewaan dibandingkan yang belum berMoU.
Sebanyak 14 kelompok masyarakat yang belum MoU dengan PT REKI
tersebut, antara lain: Kelompok Eko, Kelompok Irwan S, KT Simpang Macan
Dalam (SMD), Kelompok Masyarakat Alam Sakti, Kelompok Masyarakat
Tanjung Mandiri, Kelompok Masyakarakat Dampingan SPI, Kelompok Jupri,
Kelompok Burhan, Kelompok Masyarakat Sako Suban, Kelompok Masyarakat
Rompok Baginde, Kelompok Masyarakat Rompok Landai, Kelompok Masyarakat
Rompok Aur, dan Kelompok Masyarakat Rompok Bato. Kelompok masyarakat
(kelompok tani) yang belum MoU ini cenderung resisten (menolak) bekerja sama
dengan skema kemitraan kehutanan dengan PT REKI, dengan kata lain kelompok
masyarakat tersebut juga tidak mau mengikuti kebijakan dari PT REKI untuk
menanam tanaman kehutanan di sela kelapa sawit. Selain itu kelompok yang
belum MoU tersebut cenderung menginginkan lahan yang digarap atau ditempati
untuk lepas dari kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL). MoU yang
belum menyeluruh kepada kelompok tani yang berada di dalam kawasan Hutan
Harapan menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan pengelolaan hutan lestari
berdasarkan prinsip restorasi ekosistem. Selain itu, MoU yang belum menyeluruh
juga mengakibatkan keterikatan (engagement) antara manajemen Hutan Harapan
dengan kelompok tani yang telah berMoU menjadi renggang. Hal tersebut
mengakibatkan MoU yang telah disepakati tidak dijalankan dengan sepenuhnya
oleh kelompok tani yang telah berMoU.
35

Kelayakan Ekonomi Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit

Analisis Kelayakan Finansial Pola Kelapa Sawit Monokultur


Analisis kelayakan finansial dilakukan pada pola kelapa sawit monokultur
yang dengan meninjau kebun kelapa sawit yang berada di sekitar lokasi Plot B11
CRC-990/EFForTS dan kebun kelapa sawit milik masyarakat Hutan Harapan.
Umumnya, di lokasi tersebut kelapa sawit ditanam dengan jarak 9x9 meter dengan
pola segitiga sama sisi, sehingga dalam satu hektar terdapat sekitar 135–145
pokok kelapa sawit. Kelapa sawit tersebut dapat mulai berbuah pada tahun ketiga.
Namun, buah pada tahun ketiga tersebut merupakan buah pasir sehingga tidak
laku apabila dijual ke pabrik. Buah kelapa sawit sudah dapat dijual ke pabrik
maupun tengkulak/pedagang perantara (toke) ketika pokok kelapa sawit sudah
berumur 4 tahun, atau ketika masa buah pasir sudah dilewati.
Berdasarkan hasil perhitungan, secara finansial pola kelapa sawit
monokultur layak untuk diterapkan, karena nilai NPV>0, BCR>1, dan nilai IRR>i
(Tabel 9) (Gittinger et al. 1993; Kadariah et al. 1999; Sutojo 2000). Pendapatan
terbesar dari kelapa sawit monokultur tercapai pada umur 9 hingga 15 tahun, yang
menandakan puncak produktivitas kelapa sawit berada pada rentang umur tersebut
(Gambar 8). Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan besarnya potensi
pendapatan pola kelapa sawit monokultur rata-rata per tahun sebesar Rp
28.452.833/ha, yang artinya potensi pendapatan per bulan rata-rata sebesar Rp
2.371.069/ha. Sedangkan, untuk biaya rata-rata per tahun sebesar Rp
16.610.350/ha, yang artinya biaya rata-rata per bulan sebesar Rp 1.384.195/ha.
Oleh karena itu, potensi keuntungan bersih dari pola kelapa sawit monokultur
hanya sebesar Rp 986.874/ha/bulan.
Tabel 9 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola kelapa sawit monokultur

Kriteria Nilai
NPV Rp 62.644.836
BCR 1,39
IRR 20,77%

Grafik Biaya dan Pendapatan Pola Kelapa Sawit Monokultur


45,000,000
40,000,000
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tahun ke-

TOTAL BIAYA TOTAL PENDAPATAN

Gambar 8 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola kelapa sawit
monokultur
36

Analisis Kelayakan Finansial Pola Agroforestri berbasis Kelapa Sawit


Analisis kelayakan finansial dilakukan pada pola agroforestri berbasis
kelapa sawit yang diterapkan oleh CRC-990/EFForTS pada Plot B11. Umur
produktif, umur berbuah/dipanen, produktivitas, dan kurva pertumbuhan tiap jenis
tanaman sela mengacu pada berbagai literatur (Tabel 10). Plot yang dipilih untuk
dijadikan sebagai dasar analisis finansial adalah plot dengan luas 40x40 meter
yang memiliki tingkat keragaman tertinggi dengan kondisi yang paling baik.
Meskipun demikian, observasi juga dilakukan pada plot lain guna melihat respon
pertumbuhan tanaman sela dan kelapa sawit, pada masing-masing tingkat
keragaman jenis dari masing-masing plot. Hasil analisis finansial agroforestri
berbasis kelapa sawit yang diterapkan pada Plot B11 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 10 Produktivitas masing-masing jenis tanaman
Estimasi
Umur
Umur Umur mulai persentase
mulai Produktivitas
Jenis produktif penurunan penurunan Sumber
dipanen per pohon
(tahun) produktivitas produksi
(tahun)
per tahun
60 (Sunanto 1999;
Petai 7 25 15 2%
keris/tahun Susilo 2012)
Jengkol 5 20 20 kg/tahun 12 5% (Pitojo 1992)
(Sobir 2009; Sobir
25
Durian 10 25 18 3% dan Napitupulu
buah/tahun
2010)
(Wahyudi 2016;
Sungkai 30 30 0,47 m3/daur - - Wahyudi et al.
2018)
(Hadi dan
Meranti 35 35 0,47 m3/daur - -
Napitupulu 2011)
18,31
Jelutung 10 30 15 5% (Tata et al. 2015)
kg/tahun
(Lubis dan
Widanarko 2012;
Kelapa
4 25 180 kg/tahun 15 4% Sufriadi 2015;
sawit
Wijayanti dan
Mudakir 2013)

Tabel 11 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola agroforestri berbasis kelapa
sawit Plot B11

Kriteria Nilai
NPV Rp 228.344.740
BCR 1,86
IRR 24,60%
37

Grafik Biaya dan Pendapatan Pola Agroforestri pada Plot B11


450,000,000
400,000,000
350,000,000
300,000,000
250,000,000
200,000,000
150,000,000
100,000,000
50,000,000
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tahun ke-

Total Cost Total Revenue

Gambar 9 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola agroforestri berbasis
kelapa sawit Plot B11
Hasil analisis menunjukkan bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit
layak secara finansial, karena nilai NPV>0, BCR>1, dan IRR>i (Tabel 11)
(Gittinger et al. 1993; Kadariah et al. 1999; Sutojo 2000). Pendapatan terbesar
dari pola ini akan didapatkan pada tahun ke-25 atau akhir periode perencanaan
(Gambar 9). Pola agroforestri berbasis kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata
potensi pendapatan per tahun sebesar Rp 105.519.905/ha, atau rata-rata potensi
pendapatan per bulan sebesar Rp 8.793.325/ha. Biaya yang dikeluarkan untuk
penerapan pola ini cukup besar dengan rata-rata biaya per tahun sebesar Rp
42.404.307/ha, atau biaya rata-rata per bulan sebesar Rp 3.533.692/ha. Oleh
karena itu, potensi keuntungan bersih dari penerapan agroforestri berbasis kelapa
sawit pada plot B11 adalah sebesar Rp 5.259.633/ha/bulan.
Hasil observasi menunjukkan bahwa tidak semua tanaman sela dapat
tumbuh dengan baik pada plot agroforestri berbasis kelapa sawit. Tanaman sela
yang dapat tumbuh dengan baik pada plot agroforestri antara lain jengkol, petai,
dan sungkai. Saat observasi dilakukan, hanya tanaman sela jengkol yang sudah
berbuah dan dipanen. Di sisi lain, terdapat tanaman yang sela yang cenderung
tidak dapat tumbuh dengan baik pada plot agroforestri, yaitu durian. Durian dapat
tumbuh dengan baik pada plot dengan keragaman rendah (hanya menanam satu
jenis tanaman sela) yang tidak ada pokok kelapa sawit di dalamnya.
Selain itu, pertumbuhan jelutung juga dapat dikatakan tidak sebaik tanaman
sela yang lain. Terlalu sempitnya penerapan jarak tanaman sela juga diindikasikan
berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dan pertumbuhan
dari tanaman sela. Di samping itu, tidak jarang kegiatan pemanenan tandan buah
segar kelapa sawit yang ada di dalam plot jatuh menimpa tanaman sela, sehingga
mengakibatkan tanaman sela mati. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan
penentuan jarak tanam yang ideal dari tiap jenis tanaman sela, serta pemilihan
jenis yang sesuai untuk meningkatkan peluang keberhasilan pola agroforestri
berbasis kelapa sawit.
Pola agroforestri berbasis kelapa sawit secara umum lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan pola kelapa sawit monokultur. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Yuniati (2018), yang menyatakan bahwa
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit lebih menguntungkan secara
38

ekonomi, daripada kelapa sawit monokultur, pada studi kasus kelayakan restorasi
di hutan lindung gambut (HLG) Sungai Bram Itam, Provinsi Jambi. Penerapan
agroforestri secara umum akan menghasilkan diversifikasi produk dari suatu
pengelolaan lahan, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan yang akan
diterima oleh pengelolanya (Muryunika 2015; Phimmavong et al. 2019; Wanderi
et al. 2019). Pemilihan jenis yang digunakan untuk agroforestri menjadi faktor
utama yang dapat meningkatkan pendapatan, selain dari pola pengelolaan yang
diterapkan (Phimmavong et al. 2019; Wanderi et al. 2019; Yuniati 2018). Oleh
karena itu, dalam memilih jenis yang digunakan untuk penerapan agroforestri,
perlu mempertimbangkan kesesuaian jenis tanaman sela, kondisi pasar, dan resiko
bisnis.

Mempromosikan Pola Agroforestri berbasis Kelapa Sawit di Kawasan Hutan


Harapan
Belajar dari beberapa temuan pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit
yang diterapkan oleh CRC-990/EFForTS di Plot B11, mengenai banyak tanaman
sela yang mati akibat jarak tanam yang terlalu sempit, dan beberapa jenis yang
tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah simulasi pola
agroforestri berbasis kelapa sawit pada lahan satu hektar, dengan
mempertimbangkan jarak tanam ideal dari masing-masing jenis tanaman sela yang
digunakan. Penerapan jarak tanam ideal dapat memperkecil resiko kematian dan
meningkatkan peluang tanaman tumbuh dengan baik (Mawazin dan Suhaendi
2008; Setiawan et al. 2015). Pertimbangan penerapan jarak tanam ideal juga
dipilih guna mempermudah proses pemeliharaan dan pemanenan. Data jarak
tanam ideal dari masing-masing tanaman sela yang dikumpulkan dari beberapa
publikasi, dapat dilihat pada Tabel 12. Terdapat 6 simulasi pola agroforestri
dengan masing-masing menggunakan satu jenis tanaman sela (Tabel 13).
Harapannya dengan menerapkan jarak tanam ideal dan satu jenis tanaman sela,
dapat meningkatkan peluang dapat tumbuh dan berkembangnya tanaman sela,
sehingga dapat meningkatkan peluang keberhasilan penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit.
Tabel 12 Karakteristik dan jarak tanam ideal dari jenis yang digunakan untuk
tanaman sela
Umur mulai Umur
Jarak Tanam
Jenis dipanen Produktif Sumber
Ideal (meter)
(tahun) (tahun)
Petai 3x3 s/d 5x5 7 25 (Sunanto 1999; Susilo 2012)
Jengkol 3x3 s/d 5x5 5 20 (Pitojo 1992)
Durian 5x5 s/d 8x8 10 25 (Sobir 2009; Sobir dan Napitupulu 2010)
Sungkai 3x3 30 30 (Wahyudi 2016; Wahyudi et al. 2018)
Meranti 3x3 35 35 (Hadi dan Napitupulu 2011)
Jelutung 3x4 10 30 (Tata et al. 2015)
Kelapa (Lubis dan Widanarko 2012; Wijayanti
8x9 4 25
sawit dan Mudakir 2013)
39

Tabel 13 Kombinasi jenis dan jumlah tanaman sela pada simulasi agroforestri
berbasis kelapa sawit dengan mempertimbangkan jarak tanam ideal
Komposisi Jenis (batang)
Pola Kombinasi
Kelapa Jengkol Petai Durian Sungkai Meranti Jelutung
Tanam jenis
Sawit (3x3m) (3x3m) (5x5m) (3x3m) (3x3m) (3x4m)
Sawit
I 140
Monokultur
II Sawit Jengkol 81 1.023
III Sawit Petai 81 1.023
IV Sawit Durian 81 341
V Sawit Sungkai 81 1.023
VI Sawit Meranti 81 1.023
VII Sawit Jelutung 81 769

Pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang diterapkan sebagai upaya


resolusi konflik di Hutan Harapan menggunakan unit-based approach bukan
menggunakan landscape-based approach. Perbedaan antara unit-based approach
dan landscape-based approach dapat dilihat pada Gambar 10. Unit-based
approach yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu agroforestri berbasis kelapa
sawit hanya diterapkan pada areal Hutan Harapan yang telah digarap/dirambah
oleh masyarakat dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Unit-based
approach dipilih karena sebagian besar areal Hutan Harapan merupakan kawasan
hutan produksi yang secara Undang-undang harus dikelola dengan konsep
pengelolaan hutan produksi lestari. Skema perizinan penggarapan lahan oleh
masyarakat di dalam kawasan Hutan Harapan, yang saat ini sudah ada yaitu
dengan skema kemitraan kehutanan (yang termasuk ke dalam perhutanan sosial),
juga merupakan unit-based forest management. Oleh karena itu, pola agroforestri
berbasis kelapa sawit yang dipromosikan sebagai upaya resolusi konflik di Hutan
Harapan juga dipromosikan dengan unit-based approach.
Pola agroforestri yang dipromosikan berusaha semaksimal mungkin untuk
memenuhi kriteria hutan, yang merujuk pada definisi hutan menurut Peraturan
Menteri Kehutanan Indonesia No. 14/2004, yaitu “hutan didefinisikan sebagai
suatu areal/lahan yang membentang lebih dari 0,25 hektar, dengan pepohonan
yang tingginya lebih dari 5 meter pada waktu dewasa dan tutupan kanopi lebih
dari 30%, atau pepohonan dapat mencapai ambang batas ini di lapangan”.
Meninjau dari hal tersebut, maka pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang
dipromosikan ini menggunakan tanaman sela komoditas kehutanan yang
merupakan penghasil HHBK dan HHK. Selain itu, proporsi tanaman sela dari
pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang dipromosikan juga memiliki proporsi
tanaman sela ≥75% daripada jumlah pokok kelapa sawit dalam satu hektar,
dengan distribusi yang menyebar. Distribusi dipilih secara menyebar agar kriteria
persentase tutupan tajuk/kanopi dapat terpenuhi sebagaimana kriteria hutan.
40

(a)

(b)
Gambar 10 Ilustrasi a) penerapan agroforestri dengan unit-based approach
b) penerapan agroforestri dengan landscape-based approach.

Tabel 14 Perbandingan kelayakan finansial dari masing-masing pola tanam


Kriteria Kelayakan Ekonomi
Pola Kombinasi Potensi Potensi
Tanam jenis IRR
NPV (Rp) BCR pendapatan keuntungan
(%)
(Rp/ha/bulan) (Rp/ha/bulan)
Sawit
I 62.644.836 1,39 20,77 2.371.069 986.874
Monokultur
II Sawit Jengkol 217.931.850 2,08 25,91 6.079.748 3.993.828
III Sawit Petai 90.300.572 1,53 22,77 3.589.390 2.019.147
IV Sawit Durian 143.491.614 1,76 23,80 5.613.531 3.514.956
V Sawit Sungkai 48.522.610 1,31 19,06 2.874.370 1.549.159
VI Sawit Meranti 33.376.750 1,22 18,01 2.367.420 1.038.868
VII Sawit Jelutung 51.529.575 1,32 19,54 2.730.050 1.258.214

Hasil analisis finansial seperti yang dapat dilihat pada Tabel 14,
menunjukkan bahwa seluruh pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang
disimulasikan secara finansial layak untuk diimplementasikan, karena
menghasilkan nilai NPV>0, BCR>1, dan IRR>i (Gittinger et al. 1993; Kadariah
et al. 1999; Sutojo 2000). Hasil yang tercantum tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Yuniati (2018), bahwa agroforestri berbasis kelapa sawit akan
41

menghasilkan potensi pendapatan per bulan yang lebih tinggi daripada pola kelapa
sawit monokultur. Namun, tentunya diperlukan pemilihan jenis tanaman yang
sesuai untuk dijadikan sebagai tanaman sela. Selain itu, menurut Paul et al. (2017)
juga menyatakan bahwa pola agroforestri secara langsung akan dapat
menghasilkan nilai ekonomi dan ekologi yang lebih baik bila dibandingkan
dengan pola monokultur mosaic (mosaic system).
Berdasarkan hasil penghitungan yang disajikan pada Tabel 14, potensi
keuntungan yang dihasilkan dari masing-masing simulasi pola agroforestri lebih
tinggi daripada potensi keuntungan pola kelapa sawit monokultur. Pola
agroforestri dengan campuran kelapa sawit dan jengkol menghasilkan potensi
keuntungan per bulan tertinggi daripada pola lain. Selain itu, pola kelapa sawit
dan durian juga berpotensi untuk dipilih sebagai tanaman campuran pada
agroforestri berbasis kelapa sawit. Namun, diperlukan pemilihan jenis durian yang
tepat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan baik. Durian yang digunakan pada
plot B11 CRC-990/EFForTS merupakan jenis durian bermutu rendah, sehingga
ada kemungkinan mengakibatkan durian yang ada pada plot B11 tidak dapat
tumbuh dengan baik.
Pola agroforestri yang direkomendasikan masih jauh lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan pola kelapa sawit monokultur. Namun, potensi
pendapatan dari pola agroforestri yang dipromosikan ini terpaut cukup jauh bila
dibandingkan dengan pola agroforestri yang diterapkan oleh CRC-990/EFForTS
pada plot B11. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pola agroforestri yang diterapkan
pada plot B11 dianalisis dengan mengasumsikan semua tanaman sela dapat
tumbuh dan berbuah dengan baik, dan tidak memasukkan/mempertimbangkan
jumlah tanaman yang mati. Penentuan jarak tanam akan berpengaruh pada biaya
dan pendapatan dari pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Oleh karena itu,
dengan memasukkan jarak tanam ideal sebagai faktor pembatas untuk tanaman
sela, maka pola agroforestri yang direkomendasikan ini diharapkan dapat jauh
lebih realistis untuk direalisasikan.

Potensi pola agroforestri berbasis kelapa sawit terhadap kebutuhan


masyarakat Hutan Harapan
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa ketergantungan
masyarakat akan Hutan Harapan sangat tinggi. Mata pencaharian masyarakat di
sekitar Hutan Harapan sebagian besar bergantung pada pemanfaatan hutan.
Meskipun cara pemanfaatan masing-masing kelompok masyarakat berbeda-beda.
Secara umum, pendapatan masyarakat berasal dari kegiatan pertanian lahan kering,
khususnya perkebunan kelapa sawit dan karet, yang sebagian besar dikelola
dengan pola monokultur. Pendapatan rata-rata masyarakat yang menjadi
responden dalam penelitian ini rata-rata mencapai Rp 5.300.000/kk/bulan dan luas
rata-rata kepemilikan kebun masyarakat di dalam kawasan Hutan Harapan cukup
besar, yaitu sekitar ± 4,85 ha/kk kebun kelapa sawit, dan sekitar ± 1,8 ha/kk kebun
karet. Berdasarkan hal tersebut, maka estimasi penghasilan masyarakat dari kebun
kelapa sawit monokultur adalah sekitar Rp 1.060.000/ha/bulan. Namun demikian,
kondisi tersebut dapat tercapai apabila harga TBS sebesar lebih dari Rp 1.100/kg
(antara Rp 1.100/kg hingga Rp 1.500/kg) dan kelapa sawit sedang dalam kondisi
normal (tidak sedang dalam kondisi trek).
42

Di sisi lain, apabila ditinjau dari produktivitas kebun kelapa sawit


masyarakat Hutan Harapan, rata-rata produktivitas kebun kelapa sawit masyarakat
di sekitar Hutan Harapan hanya sekitar 900–1.500 kg/hektar/bulan. Rendahnya
produktivitas kebun kelapa sawit milik masyarakat terjadi karena kelapa sawit
tidak rutin dipupuk. Masyarakat hanya akan memupuk sesuai dengan kondisi
keuangan keluarganya, sehingga pemupukan tidak terjadwal dan tidak sesuai
dengan takaran. Oleh karena itu, apabila harga TBS sedang dalam kondisi turun
dan kelapa sawit sedang dalam kondisi trek maka pendapatan masyarakat akan
semakin kecil.
Meninjau dari pengeluaran rata-rata masyarakat Hutan Harapan per bulan
(Tabel 6), maka dapat dikatakan bahwa masyarakat memerlukan sekitar 4 sampai
dengan 5 hektar/kk kebun kelapa sawit untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, apabila pendapatan utama keluarganya dari hasil kebun kelapa sawit
saja. Hal ini menjadi masalah yang sangat krusial, mengingat harga TBS kelapa
sawit yang sangat fluktuatif. Apabila harga TBS sedang dalam kondisi turun dan
kelapa sawit sedang dalam kondisi trek maka akan berpotensi tidak tercukupinya
kebutuhan masyarakat, dalam kondisi tertentu dapat memicu masyarakat untuk
memperluas lahan garapan di dalam Hutan Harapan. Artinya, pada kondisi
tertentu masyarakat akan merambah lebih luas lahan hutan untuk dijadikan lahan
bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, pemerintah
secara tegas menuliskan peraturan pada Permen LHK No.83 tahun 2016, bahwa
jatah tiap kepala keluarga (KK) dalam melakukan penggarapan hutan maksimal 5
hektar/KK. Oleh karena itu, perluasan lahan garapan yang dilakukan oleh
masyarakat yang telah memiliki lahan garapan seluas 5 hektar di dalam kawasan
hutan adalah tindakan yang menyalahi peraturan.
Potensi keuntungan dari pola agroforestri berbasis kelapa sawit jauh lebih
tinggi daripada pola kelapa sawit monokultur (Tabel 14). Secara kuantitatif, pola
agroforestri dengan tanaman sisipan jengkol sudah dapat mencukupi rata-rata
kebutuhan masyarakat (ditinjau dari pengeluaran rata-rata per bulan) dengan
memiliki kebun seluas 2–3 hektar saja. Selain itu, apabila meninjau dari
pengamatan lapang yang dilakukan di plot B11 CRC990/EFForTS, jenis jengkol
juga dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, potensi pola agroforestri berbasis
kelapa sawit dengan tanaman sisipan jengkol memiliki peluang yang besar untuk
berhasil dikembangkan sebagai upaya meningkatkan pendapatan masyarakat dari
kegiatan penggarapan hutan.
Berdasarkan hasil analisis dan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
pola agroforestri berbasis kelapa sawit secara ekonomi layak, namun perlu
mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman sela, dan jarak tanam ideal dari jenis
tanaman sisipan yang digunakan. Harapannya dengan menerapkan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sisipan jengkol, durian ataupun
petai, dapat meningkatkan produktivitas lahan. Adanya peningkatan produktivitas
lahan juga akan mendorong meningkatnya pendapatan masyarkat, sehingga
diharapkan dapat mencegah terjadinya munculnya kebun-kebun kelapa sawit baru
akibat perluasan kebun kelapa sawit yang dilakukan masyarakat. Selain itu,
dengan diterapkannya agroforestri berbasis kelapa sawit tersebut, dapat
“menghutankan kembali” wilayah yang telah digarap masyarakat dengan tanpa
menebang seluruh tanaman kelapa sawit milik masyarakat yang berada di dalam
kawasan Hutan Harapan.
43

Kelayakan Sosial Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit

Keberterimaan masyarakat terhadap agroforestri berbasis kelapa sawit


Pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi penentu bagi seseorang untuk
menerima atau menolak pola agroforestri berbasis kelapa sawit. Kondisi tersebut
sesuai dengan teori Maslow (1975), yang menyatakan bahwa kebutuhan paling
dasar setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik. Mengacu kembali pada Maslow (1975),
tentunya yang tergolong ke dalam kebutuhan fisiologi manusia, yaitu sandang,
pangan dan papan. Sehubungan dengan hal tersebut, pola agroforestri berbasis
kelapa sawit yang lebih menguntungkan dari pola kelapa sawit monokultur, akan
menjadi sejalan dengan dapat tercapainya pemenuhan kebutuhan fisiologis untuk
memenuhi sandang, pangan dan papan. Tentunya, meninjau dari teori dan
justifikasi tersebut, pola agroforestri berbasis kelapa sawit berpotensi untuk dapat
diterima masyarakat Hutan Harapan, karena potensi keuntungan dari pola tersebut
melebihi keuntungan yang didapatkan dari pola kelapa sawit monokultur.
Keberterimaan masyarakat atau biasa disebut legitimasi masyarakat
merupakan salah satu faktor terpenting sebagai penilaian kelayakan sosial dari
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit. Legitimasi merupakan suatu kondisi
yang terkait dengan penerimaan seorang individu, kelompok (organisasi/lembaga)
terhadap keputusan, perjanjian, ketetapan ataupun peraturan yang telah ditetapkan
dan disesuaikan terhadap berbagai prosedur yang diberlakukan di tengah
masyarakat umum (Septiana 2012). Keberterimaan masyarakat terhadap suatu
kebijakan ataupun peraturan dapat dinilai dari lisan (ucapan) dan sikap (tindakan)
masyarakat terhadap kebijakan ataupun peraturan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kelompok masyarakat
(kelompok tani) di dalam kawasan Hutan Harapan, berdasarkan aspek legalitas
terhadap kebun kelapa sawit yang dimilikinya terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok masyarakat yang telah MoU dan belum MoU dengan manajemen Hutan
Harapan. Sebanyak 22 kelompok masyarakat yang tercatat berada di dalam
kawasan Hutan Harapan, hanya 8 kelompok masyarakat yang telah melakukan
MoU dengan perusahaan (Tabel 8). Kelompok Tanding, Gelinding, Sei
Kelompang, dan Simpang Macan Luar yang merupakan kelompok masyarakat
Suku Batin Sembilan melakukan MoU dengan perusahaan pada tahun 2015.
Kelompok tani Berkah Jaya dan Bungin Mandiri yang berada di Dusun Kunangan
Jaya 1, Desa Bungku melakukan MoU dengan perusahaan pada tahun 2016.
Kelompok tani Hijau Alam Lestari yang berada di Dusun Kunangan Jaya 2, Desa
Bungku melakukan MoU dengan perusahaan pada tahun 2017. Selanjutnya,
kelompok masyarakat Rompok Kapas Tengah yang merupakan Suku Melayu
yang bertempat di wilayah bagian Sumatera Selatan, melakukan MoU dengan
perusahaan pada tahun 2017. MoU yang telah dibentuk oleh masing-masing
kelompok masyarakat dan perusahaan digunakan sebagai upaya menyelesaikan
konflik melalui pola kemitraan hutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 36 responden, terdapat 10 responden
yang secara lisan menolak untuk melakukan penanaman tanaman HHBK di sela
kelapa sawit. Seluruh repsonden yang belum berMoU yaitu sebanyak 5 orang,
menolak secara lisan melakukan penanaman tanaman HHBK di sela kelapa sawit.
Seluruh responden tersebut menolak dengan alasan tanaman kelapa sawit tidak
44

dapat disisipi dengan tanaman HHBK. Selain itu, terdapat 5 responden yang telah
berMoU namun secara lisan menolak untuk melakukan penanaman HHBK di sela
kelapa sawit. Alasan responden yang telah berMoU namun tetap menolak secara
lisan untuk mengembangkan agroforestri berbasis sawit adalah karena memiliki
persepsi bahwa kelapa sawit tidak dapat dicampur dengan tanaman lain dalam
satu hamparan. Selain itu, sebagian besar responden juga beralasan bahwa tidak
adanya modal untuk membeli bibit tanaman HHBK sebagai tanaman sisipan.
Demplot agroforestri/kebun campuran yang tidak tumbuh dengan baik karena
tidak adanya perawatan di areal MoU (Dusun Kunangan Jaya 1), juga menjadi
alasan masyarakat enggan untuk melakukan penanaman sisipan di sela kelapa
sawit. Tentunya dari hasil wawancara tersebut, dapat dijustifikasi bahwa
masyarakat yang telah MoU pun tidak seluruhnya menerima anjuran untuk
menanam tanaman sela (HHBK) di sela kelapa sawit.
Sebanyak 26 responden yang secara lisan menerima untuk melaksanakan
penanaman tanaman HHBK di sela kelapa sawit diidentifikasi lebih lanjut terkait
kondisi kebun kelapa sawitnya. Secara keseluruhan, keberterimaan secara sikap
dari responden yang merepresentasikan kelompok masyarakat yang telah berMoU
untuk menanam tanaman HHBK di sela kelapa sawit sangatlah kecil. Hal tersebut
dapat dilihat dengan kondisi kebun kelapa sawit milik responden, yang hingga
saat ini tidak ada tanaman sela hingga 100 batang. MoU yang disepakati sejak 3
sampai dengan 5 tahun yang lalu tidak dilaksanakan sesuai dengan perjanjian awal
untuk melakukan penanaman tanaman HHBK di sela kelapa sawit dengan
tanaman HHBK (kehutanan) sebanyak seratus (100) batang dalam setiap hektar
kebun kelapa sawit masyarakat. Masyarakat hanya menanam tanaman HHBK
(karet) pada lahan garapan yang masih kosong (belum ditanami atau baru dibuka).
Tingginya potensi keuntungan dari penerapan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit tidak membuat masyarakat tertarik untuk menerapkannya. Di sisi lain, tidak
sedikit juga lahan yang baru dibuka tersebut ditanami kelapa sawit. Alasan
beberapa masyarakat tersebut menanam kelapa sawit pada lahan garapan mereka
setelah MoU dilakukan adalah karena mudahnya akses pasar kelapa sawit, dan
sawit dapat berbuah setiap bulan sehingga masyarakat dapat memperoleh uang
setiap bulannya.
Meninjau dari hasil identifikasi tersebut, tentunya dapat dikatakan bahwa
MoU yang sudah disepakati tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi, hal tersebut terjadi karena beberapa penyebab,
antara lain: kurangnya pengawasan dari perusahaan, kurangnya engagement
antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat yang kesulitan dalam
pengadaan bibit tanaman berkayu, dan pasar komoditas kehutanan (kayu dan
bukan kayu) yang tidak sebesar kelapa sawit, serta sulitnya akses pasar pada
komoditas lain selain kelapa sawit. Rendahnya legitimasi masyarakat terhadap
MoU yang sudah disepakati, secara langsung dapat menjawab terkait kelayakan
sosial pola agroforestri berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit saat ini tidak layak secara sosial.
45

Faktor yang mempengaruhi keberterimaan masyarakat terhadap


implementasi agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi
konflik
Meninjau dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesepakatan untuk
menerapkan agroforestri berbasis kelapa sawit belum sepenuhnya dilaksanakan
oleh masyarakat. Secara umum, terdapat empat faktor yang mempengaruhi
keberterimaan masyarakat terhadap pola agroforestri berbasis kelapa sawit di
Hutan Harapan, antara lain: 1) persepsi dan pengetahuan masyarakat terhadap
agroforestri berbasis kelapa sawit; 2) kondisi dan pengetahuan masyarakat
terhadap pemasaran produk hasil hutan (kayu dan bukan kayu); 3) preferensi
masyarakat terhadap hutan; 4) MoU yang belum merata. Persepsi masyarakat
terhadap agroforestri berbasis kelapa sawit menjadi faktor utama yang
mempengaruhi keberterimaan dari masyarakat. Masyarakat memiliki persepsi
bahwa tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh apabila ditanam bersamaan
dengan tanaman kelapa sawit. Persepsi masyarakat tersebut semakin diperkuat
dengan adanya kegagalan dari plot kebun campur yang ada di wilayah Desa
Kunangan Jaya 1. Persepsi masyarakat juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat
pengetahuan pengelolaan lahan secara intensif dengan pola agroforestri. Secara
umum masyarakat sudah mengenal agroforestri atau kebun campur. Namun,
masyarakat belum memiliki formula penerapan pola pengelolaan agroforestri
yang sesuai, yang dapat meningkatkan keberhasilan dari penerapan pola
agroforestri tersebut. Masyarakat hanya menanam tanaman sela yang didapatkan
dari hasil cabutan, dengan kualitas bibit yang tidak terjamin, dengan pola tanam
yang sesuai dengan keinginan mereka.
Langkanya pasar dan sulitnya akses pasar produk hasil hutan (kayu dan
bukan kayu), juga menjadi alasan masyarakat enggan dalam menerapkan
agroforestri berbasis kelapa sawit. Tidak dipungkiri bahwa pasar dan akses pasar
untuk memasarkan hasil hutan tidak semudah memasarkan hasil kelapa sawit.
Mudahnya pemasaran hasil panen kelapa sawit semakin memanjakan masyarakat
Hutan Harapan untuk mengembangkan kebun kelapa sawit di dalam hutan. Selain
itu, karakteristik masyarakat Hutan Harapan juga cenderung konservatif dan
enggan untuk berinvestasi pada kegiatan pengelolaan lahan yang belum dapat
dipastikan akan keberhasilannya dan ketersediaan pasarnya. Hal tersebut, secara
langsung mempengaruhi keengganan masyarakat untuk mengembangkan
agroforestri berbasis kelapa sawit.
Preferensi masyarakat terhadap hutan juga menjadi faktor yang
memengaruhi masyarakat untuk tidak mau menerapkan agroforestri berbasis
kelapa sawit. Secara umum, masyarakat Hutan Harapan menginginkan usaha
pengelolaan lahan hutan yang dapat menghasilkan uang setiap bulannya, dengan
jangka investasi yang tidak terlalu panjang. Tentunya hal tersebut bertolak
belakangan dengan karakteristik usaha kehutanan yang memiliki jangka investasi
yang cukup panjang dan tidak dapat menghasilkan uang setiap bulannya (apabila
tanpa pengelolaan yang tepat). Preferensi masyarakat tersebut yang mendorong
masyarakat untuk memilih usaha kebun kelapa sawit. Hal tersebut terjadi karena
karakteristik usaha kelapa sawit yang paling mendekati dengan preferensi
masyarakat Hutan Harapan.
Terakhir, belum meratanya MoU antara perusahaan dengan kelompok-
kelompok masyarakat (kelompok tani) menjadi faktor penyebab enggannya
46

masyarakat yang telah berMoU untuk menerapkan agroforestri berbasis kelapa


sawit. Meninjau dari uraian sebelumnya bahwa terdapat dua puluh dua (22)
kelompok masyarakat (kelompok tani) yang berada di dalam kawasan Hutan
Harapan, namun hanya delapan (8) kelompok masyarakat yang telah berMoU
dengan perusahaan. Selebihnya, empat belas (14) kelompok tani belum berMoU
dengan perusahaan. Masyarakat yang telah berMoU belum merasakan perbedaan
“keistimewaan” yang signifikan dibandingkan dengan masyarakat yang belum
berMoU. Belum tegasnya langkah sanksi terhadap masyarakat yang belum
berMoU mengakibatkan masyarakat yang telah berMoU enggan untuk
melaksanakan MoU yang telah disepakati. Hal tersebut menimbulkan
kecemburuan sosial kelompok masyarakat yang telah berMoU terhadap
masyarakat yang belum berMou. Selain itu, kecemburuan tersebut juga
mengakibatkan renggangnya keterikatan antara perusahaan dengan masyarakat
yang telah berMoU.

Faktor Pemungkin (enabling factor) yang Diperlukan Guna Mendukung


Jalannya Resolusi Konflik dengan Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit

Faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih kelapa sawit


Alasan yang menyebabkan masyarakat menanam kelapa sawit perlu
diketahui untuk dijadikan sebagai faktor pemungkin untuk penerapan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit. Alasan-alasan dari masyarakat dalam memilih
tanaman kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi para
pengambil keputusan (pemerintah) maupun pengelola hutan (perusahaan), untuk
mempersiapkan “iklim” yang sama dengan komoditas kelapa sawit, pada
komoditas yang diharapkan oleh pemerintah dan perusahaan untuk dikelola oleh
masyarakat dengan skema kemitraan kehutanan khususnya di kawasan Hutan
Harapan. Harapannya dengan menciptakan iklim yang sama dengan komoditas
kelapa sawit, masyarakat dapat menerima untuk mengembangkan komoditas lain
selain kelapa sawit.
Secara umum, terdapat 6 alasan yang menyebabkan masyarakat memilih
tanaman kelapa sawit untuk dikembangkan pada lahan Hutan Harapan guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Alasan tersebut diantaranya: harga komoditas
(kelapa sawit), akses pasar, ketersediaan bibit, pengetahuan pengelolaan dan
mengikuti arus masyarakat. Alasan masyarakat yang paling dominan dalam
memilih tanaman kelapa sawit untuk dikembangkan adalah karena akses pasar
yang dekat. Hal tersebut terjadi karena di sekitar kawasan Hutan Harapan banyak
terdapat pasar tandan buah segar (TBS) dan adanya beberapa pabrik pengolah
CPO. Selain itu, dua alasan lain yang cukup banyak dijadikan alasan oleh
masyarakat dalam memilih tanaman kelapa sawit adalah karakteristik kelapa sawit
yang dapat berbuah setiap bulan, dan harga jual TBS yang masih dapat diterima
oleh masyarakat.
Masyarakat di dalam kawasan Hutan Harapan cenderung memilih usaha
yang dapat menghasilkan uang (fresh money) setiap bulan dengan jumlah yang
tidak terlalu besar, daripada memilih usaha yang menghasilkan uang yang besar
tetapi hanya didapatkan satu tahun sekali. Hal tersebut terbukti dari sebagian besar
responden enggan memilih tanaman durian untuk dikembangkan, padahal
47

faktanya pasar durian di wilayah Kabupaten Batanghari cukup banyak tersedia


dan harga durian yang cukup tinggi. Harga TBS kelapa sawit yang masih dapat
diterima oleh masyarakat dan mudahnya pengelolaan kebun kelapa sawit
(pengetahuan pengelolaan) juga menjadi alasan yang cukup dominan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa alasan masyarakat memilih tanaman kelapa sawit
adalah cenderung karena ketersediaan akses pasar yang mudah dijangkau,
karakteristik kelapa sawit yang dapat berbuah setiap bulan, dan harga komoditas
kelapa sawit yang cukup bersaing.
Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang memiliki alasan dalam menanam
tanaman kelapa sawit adalah karena mengikuti arus masyarakat. Kelompok
masyarakat yang memilih alasan tersebut sebagian besar adalah kelompok
masyarakat Batin Sembilan. Secara umum, pengetahuan masyarakat Batin
Sembilan dalam mengelola kelapa sawit didapatkan dari melihat kondisi
sekitarnya. Lokasi tempat tinggal masyarakat Batin Sembilan yang dekat dengan
kebun milik perusahaan swasta dan kebun kelapa sawit milik masyarakat Migran,
membuat masyarakat Batin Sembilan terdorong untuk ikut mengelola kelapa sawit.
Namun, rendahnya pengetahuan masyarakat Batin Sembilan tentang bercocok
tanam, membuat kebun kelapa sawit yang dikelola memiliki produktivitas yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebun milik masyarakat Migran.
Tabel 15 Alasan masyarakat memilih usaha kelapa sawit

Alasan masyarakat memilih kelapa sawit Jumlah pemilih (orang) Ranking


Harga komoditas 25 2
Akses pasar 32 1
Ketersediaan bibit 14 4
Pengetahuan pengelolaan 23 3
Mengikuti arus masyarakat 5 5

Faktor pemungkin
Faktor pemungkin adalah faktor-faktor atau variabel-variabel yang menjadi
syarat cukup dan syarat perlu, atau memungkinkan untuk memfasilitasi perilaku
seseorang dan/atau sekelompok orang (Gilmore 2013; Notoatmodjo dan Soekidjo
2003). Faktor ini mencakup banyak hal, yaitu ketersediaan sarana/prasarana atau
fasilitas bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha kehutanan dalam konteks
penelitian ini. Fasilitas ini pada hakikatnya akan mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku atau sikap masyarakat untuk menerima pola agroforestri
berbasis kelapa sawit, dengan kata lain faktor-faktor ini disebut juga faktor
pendukung. Menurut (Handoko et al. 2012) faktor pendukung dalam terwujudnya
usaha kehutanan adalah adanya kelembagaan masyarakat secara formal (seperti
kelompok tani), dan kelembagaan usaha (seperti koperasi), dan jaringan dengan
pasar, serta sarana/prasana yang menunjang guna akses menuju pasar.
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis faktor pemungkin, pasar menjadi
faktor pemungkin yang paling penting pada penerimaan masyarakat terhadap
pengembangan jenis lain selain tanaman kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan. Kondisi pasar kelapa sawit yang begitu mudah dijangkau oleh
masyarakat yang mendiami kawasan Hutan Harapan, menjadi bargaining power
tersendiri bagi masyarakat untuk mengelola dan menggantungkan hidupnya dari
usaha kebun kelapa sawit. Meskipun harga TBS yang fluktuatif, masyarakat tetap
48

memilih kelapa sawit karena merasa sangat dimanjakan dengan akses pasar kelapa
sawit yang begitu mudah. Ketersediaan bibit tanaman sela juga menjadi faktor
pemungkin agar pola agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi
konflik dapat terlaksana. Tidak dipungkiri bahwa untuk mendapatkan dan
menyediakan bibit tanaman sela tidaklah mudah dan murah. Selain itu, adanya
mind-set masyarakat terkait belum adanya kepastian akan keberhasilan dari
penerapan agroforestri, juga memengaruhi masyarakat untuk tidak mau
berinvestasi dengan membeli bibit tanaman sela guna penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, dapat
dikatakan bahwa faktor pemungkin yang diperlukan guna dapat terlaksananya
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit, antara lain: 1) keberadaan pasar dan
akses pasar yang mudah terhadap produk tanaman sela; 2) ketersediaan bibit
untuk tanaman sela; serta 3) plot contoh penerapan agroforestri dengan tanaman
sela yang sesuai dengan diversifikasi yang optimal, sehingga dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Selain itu, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan sebelum
mempromosikan agroforestri berbasis kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan sebagai upaya resolusi konflik. Upaya-upaya tersebut, dapat dilakukan
oleh pemerintah selaku aktor/stakeholder pengurus hutan dan/atau perusahaan
selaku aktor pengelola hutan. Harapannya, upaya yang dilakukan dapat
mendukung implemetasi agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi
konflik khususnya di lokasi studi (kawasan Hutan Harapan). Secara umum ada 3
upaya yang perlu dilakukan, antara lain: 1) perlu adanya kajian lanjutan mengenai
kesesuaian jenis tanaman sela dan diversifikasi yang sesuai dalam penerapan
agoroforestri berbasis kelapa sawit; 2) perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai
penguatan kelembagaan masyarakat Hutan Harapan untuk implementasi pola
agroforestri berbasis kelapa sawit; 3) perlu adanya kajian lanjutan mengenai
kondisi pasar (harga, supply, demand, dll), peta pasar, serta resiko bisnis pada
komoditas yang dikembangkan pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit.
Pemilihan jenis tanaman sela (sisipan) menjadi salah satu faktor
keberhasilan penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit dari sisi produksi.
Jenis yang dipilih untuk tanaman sela, harus dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik dengan kelapa sawit. Diversifikasi jenis tanaman yang dikembangkan
pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit juga penting dipertimbangkan agar
pola agroforestri yang diterapkan nantinya memberi dampak positif terhadap
ekologi dan ekonomi di dalam kawasan Hutan Harapan, sesuai dengan tujuan
dipromosikannya pola agroforestri sebagai upaya resolusi konflik tersebut.
Adanya kepastian jenis tanaman sela yang dapat tumbuh dengan kelapa sawit, dan
proporsi diversifikasi tanaman yang sesuai diharapkan dapat meningkatkan
keberhasilan perapan agroforestri berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu,
diperlukan kajian mengenai kesesuaian jenis tanaman sela dan diversifikasi yang
sesuai dalam penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit.
Kajian lanjutan mengenai penguatan kelembagaan masyarakat Hutan
Harapan untuk implementasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit sangat
diperlukan, agar hasil kajian ini dapat diimplementasikan di lokasi studi.
Penguatan kelembagaan seperti membentuk koperasi, menjalin kerjasama dengan
badan usaha lain, sehingga kegiatan produksi dan pemasaran dapat dilakukan
dengan baik. Tidak dipungkiri bahwa kolaborasi dalam kegiatan pengelolaan
49

hutan dengan pihak di luar kepentingan terhadap kawasan hutan itu sendiri perlu
diperlukan (Wondolleck dan Yaffee 2000). Kolaborasi dengan perusahaan atau
industri di luar kontestasi kepentingan di dalam kawasan Hutan Harapan sangat
diperlukan, misalnya kolaborasi dengan perusahaan atau industri lain yang dapat
berperan sebagai off-taker produk hasil penerapan agroforestri, sehingga tercipta
rantai bisnis yang dapat menjamin terjualnya produk dari penerapan pola
agroforestri tersebut. Di sisi lain, pendampingan untuk mengubah mind-set
masyarakat yang saat ini masih berpikir bahwa kelapa sawit tidak bisa ditanam
bersamaan dengan tanaman HHBK sangat diperlukan.
Adanya kepastian pasar dan peta distribusi pasar yang jelas dari komoditas
yang dikembangkan pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit, menjadi hal
penting yang perlu dikaji lebih dalam. Tidak dipungkiri bahwa ketersediaan pasar,
kepastian pasar, dan kemudahan akses pasar menjadi faktor utama yang
menyebabkan masyarakat memilih usaha kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tentunya, agar masyarakat tertarik untuk menerapkan agroforestri
berbasis kelapa sawit, maka tanaman sela yang dipilih harus memiliki “iklim”
pasar yang minimal sama dengan kelapa sawit. Selain itu, informasi mengenai
kondisi pasar seperti angka permintaan (demand), penawaran (supply), dan harga
juga penting untuk dikaji lebih dalam agar pengembangan pola agroforestri
berbasis kelapa sawit dapat disesuaikan juga dengan kondisi pasar yang ada.
Sejalan dengan hal tersebut, maka resiko bisnis dari penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit juga dapat diminimalisir agar tidak mengalami kegagalan
yang berdampak besar bagi pengelolanya.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pola agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara finansial dan berpotensi
mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Hutan Harapan, dengan demikian pola
agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara ekonomi untuk dipromosikan
sebagai upaya resolusi konflik pada konflik kepentingan di kawasan Hutan
Harapan. Berdasarkan hasil perhitungan, pola agroforestri berbasis kelapa sawit
dengan tanaman sela jengkol menghasilkan potensi keuntungan terbesar, sehingga
sangat berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Hutan Harapan.
Selain itu, tanaman sela jengkol pada Plot B11 juga dapat tumbuh dan berbuah
dengan baik. Di sisi lain, keberterimaan masyarakat Hutan Harapan terhadap
agroforestri berbasis kelapa sawit sangatlah kecil. Masyarakat masih belum
melaksanakan MoU untuk menanam tanaman HHBK di sela kelapa sawit. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit saat ini
dapat dikatakan tidak layak secara sosial. Terdapat tiga faktor pemungkin yang
diperlukan guna dapat terlaksananya penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit,
antara lain: 1) keberadaan pasar dan akses pasar yang mudah terhadap produk
tanaman sela; 2) ketersediaan bibit untuk tanaman sela; serta 3) plot contoh
50

penerapan agroforestri dengan tanaman sela yang sesuai dengan diversifikasi yang
optimal, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Saran

1. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai kepastian kesesuaian jenis tanaman sela
dan diversifikasi yang sesuai dalam penerapan agoroforestri berbasis kelapa
sawit;
2. Perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai penguatan kelembagaan masyarakat
Hutan Harapan agar pola agroforestri berbasis kelapa sawit dapat
diimplementasikan di lokasi studi;
3. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai kondisi pasar (harga, supply, demand,
dll), serta resiko bisnis pada komoditas hasil dari jenis yang dikembangkan
pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit.
4. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai dampak (positif) ekologi yang
dihasilkan dari penerapan agroforesti berbasis kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Allen K, Corre MD, Tjoa A, Veldkamp E. 2015. Soil nitrogen-cycling responses


to conversion of lowland forests to oil palm and rubber plantations in Sumatra,
Indonesia. PLOS ONE. 10(7):1–21.
Ambarwati ME, Sasongko G, Therik WMA. 2018. Dinamika konflik tenurial
pada kawasan hutan negara. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(2):112–120.
Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Yogyakarta (ID): Debut Press.
Aneta A. 2010. Implementasi kebijakan program penanggulangan kemiskinan
perkotaan (P2KP) di Kota Gorontalo. Jurnal Administrasi Publik. 1(1):54–65.
Antonius. 2002. Empowerment, Stress dan Konflik. Jakarta (ID): Ghalian
Indonesia.
Barcelos E, Rios SA, Cunha RNV, Lopes R, Motoike SY, Babiychuk E, Skirycz
A, Kushnir S. 2015. Oil palm natural diversity and the potential for yield
improvement. Frontiers in plant science. 6(190):1–16.
Başkent EZ. 2018. A review of the development of the multiple use forest
management planning concept. International Forestry Review. 20(10):1–18.
[BPS-Jambi] Badan Pusat Statistika Jambi. 2020. Provinsi Jambi dalam Angka
2019. Jambi (ID): BPS Provinsi Jambi.
Brugha R, Varvasovsky Z. 2000. Stakeholder analysis: A review. Health Policy
and Planning. 15:239–246.
Cooper HV, Vane CH, Evers S, Paul Apline, Girkina NT, Sjögersten S. 2019.
From peat swamp forest to oil palm plantations: The stability of tropical
peatland carbon. Geoderma. 342:109–117.
Corley RHV. 2009. How much palm oil do we need? Environmental Science.
12:134–139.
51

Deutsch M, Coleman PT, Marcus EC. 2000. The Handbook of Conflict


Resolution: Theory and Practice. San Francisco (US): Jossey Bass.
Drescher J, Rembold K, Allen K, Beckschäfer P, Buchori D, Clough Y, Faust H,
Fauzi A, Gunawan D, Hertel D, Irawan B, Jaya IN, Klarner B, Kleinn C, Knohl
A, Kotowska M, Krashevska V, Krishna V, Leuschner C, Scheu S. 2016.
Ecological and socio-economic functions across tropical land use systems after
rainforest conversion. Philosophical Transactions of the Royal Society B:
Biological Sciences. 371:1–8.
Enserink B, Hermans L, Kwakkel J, Thissen W, Koppenjan J, Bots P. 2010.
Policy Analysis of Multi-Actor Systems. The Hague (NET): Lemma.
Fisher S, Matovic V, Mathews D, Walker BA. 2000. Working with Conflict: Skills
and Strategies for Action. Birmingham (UK): Zed Books Ltd.
Foresta HD, Kusworo A, Michon G, Djatmiko W. 2000. Ketika Kebun Berupa
Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Jakarta
(ID): World Agroforestry.
Freeman RE. 1984. Strategic Management: a Stakeholder Approach. New York
(USA): Basic Book.
Gamin, Nugroho B, Kartodihardjo H, Kolopaking L, Boer R. 2014.
Menyelesaikan konflik kawasan hutan melalui pendekatan gaya sengketa para
pihak di KPH Lakitan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 11(1):721–790.
Gellert PK. 2015. Palm Oil Expansion in Indonesia: Land Grabbing as
Accumulation by Dispossession. Dalam: States and Citizens: Accommodation,
Facilitation and Resistance to Globalization. Bingley (UK): Emerald Group
Publishing Limited.
Gérard A, Wollni M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Teuscher M, Kreft H.
2017. Oil-palm yields in diversified plantations: Initial results from a
biodiversity enrichment experiment in Sumatra, Indonesia. Agriculture,
Ecosystems and Environment. 240:253–260.
Gilmore GD. (2013). Enabling Factors. Oxford Bibliographies.
https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-
9780199756797/obo-9780199756797-0081.xml. (22 Februari 2020)
Gittinger, Price J, Hans AA. 1993. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian.
Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta.
Hadi AQ, Napitupulu RM. 2011. 10 Tanaman Investasi Pendulang Rupiah.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Hafrida, Haryadi, Yahya T, Kusniati R, Idris I. 2014. Penyuluhan hukum resolusi
konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari. Jurnal Pengabdian pada
Masyarakat. 29(4):59–63.
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor
(ID): World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia.
Handoko C, Yudilastiantoro C, Sukito A. 2012. Identifikasi tahapan dan faktor-
faktor sosial pembangunan hutan rakyat di sekitar kawasan hutan lindung.
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 1(2):135–148.
Hansen MC, Stehman SV, Potapov PV, Arunarwati B, Stolle F, Pittman K. 2009.
Quantifying changes in the rates of forest clearing in Indonesia from 1990 to
2005 using remotely sensed data sets. Environmental Research Letters. 4(3):1–
16.
52

Harun MK, Dwiprabowo H. 2014. Model resolusi konflik lahan di kesatuan


pemangkuan hutan produksi model Banjar. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 11(4):265–280.
Hubo C, Krott M. 2013. Conflict camouflaging in public administration: A case
study in nature conservation policy in Lower Saxony. Forest Policy and
Economics. 33:63–70.
Hunt MP, Metcalf L. 1996. Ration and Inquary on Society's Closed Areas, in
Educating The Democratic Mind. New York (US): State University of New
York Press.
Kadariah, Karline L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID):
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Kehati. 2019. Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan
Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan. Jakarta (ID): Yayasan KEHATI.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia:
Kelapa Sawit 2018-2020. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Kiswanto, Hadipurwanta J, Wijayanto B. 2008. Teknologi budidaya Kelapa Sawit.
Bogor (ID): Balai Besar pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Rekalkulasi
Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2018. Jakarta (ID): Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2020. Peraturan
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor:
P.1/PHPL/SET/KUM.1/5/2020 tentang Tata Cara Permohonan, Penugasan
dan Pelaksanaan Model Multiusaha Kehutanan Bagi Pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Jakarta (ID): Direktorat
Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is oil palm agriculture really destroying tropical
biodiversity? Conservation Letters. 1:60–64.
Koh LP, Wilcove DS. 2009. Oil palm: disinformation enables deforestation.
Trends in Ecology & Evolution. 24(2):67–80.
Krott M. 2005. Forest Policy Analysis. Dordrecht (NET): Springer.
Latumahina F, Sahureka M. 2006. Agroforestri: Alternatif Pembangunan
Pertanian dan Kehutanan Berkelanjutan di Maluku. Jurnal Agroforestri.
1(3):6–10.
Laumonier Y, Uryu Y, Stüwe M, Budiman A, Setiabudi B, Hadian O. 2010. Eco-
floristic sectors and deforestation threats in Sumatra: Identifying new
conservation area network priorities for ecosystem-based land use planning.
Biodiversity Conservation. 19:1153–1174.
Lubis RE, Widanarko A. 2012. Buku Pintar Kelapa Sawit. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
Maryudi A. 2016. Choosing legality verification as a policy instrument to tackle
illegal logging in Indonesia. Forest Policy and Economics. 68:99–104.
Maslow AH. 1975. Motivation and Personality. New York (USA): Harper & Row.
Mawazin, Suhaendi H. 2008. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan
diameter Shorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. 5(4):381–388.
53

Mukhtar. 2013. Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta (ID): GP Press


Group.
Muryunika R. 2015. Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri
Berbasis Kelapa Sawit di Jambi [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Nair PK. 1993. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht (NET): Kluwer
Academic Publisher.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta
(ID): PT Rineka Cipta.
Nurrochmat DR, Darusman D, Ekayani M. 2016. Kebijakan Pembangunan
Kehutanan dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press.
Nurrochmat DR, Massijaya MY, Jaya INS, Ekayani M, Kuncahyo B, Prawira T.
2019. Assessing factors to influence the willingness of smallholders to
participate in a replanting zonation scheme in Pelalawan District, Riau
Province, Indonesia. IOP Earth Environment Science. 285(1):4–22.
Nurrochmat DR, Nugroho IA, Hardjanto, Purwadianto A, Maryudi A, Erbaugh JT.
2017. Shifting contestation into cooperation: Strategy to incorporate different
interest of actors in medicinal plants in Meru Betiri National Park, Indonesia.
Forest Policy and Economics. 83:162–168.
Paul C, Weber M, Knoke T. 2017. Agroforestry versus farm mosaic systems –
Comparing land-use efficiency, economic returns and risks under climate
change effects. Science of the Total Environment. 587–588:22–35.
Phimmavong S, Maraseni T, Keenan R, Cockfield G. 2019. Financial returns from
collaborative investment models of Eucalyptus agroforestry plantations in Lao
PDR. Land Use Policy. 87:1–11.
Pitojo S. 1992. Jengkol, Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta (ID): Kanisius.
Purnomo H, Okarda B, Dermawan A, Ilham QP, Pacheco P, Nurfatriani F,
Suhendang E. 2020. Reconciling oil palm economic development and
environmental conservation in Indonesia: A value chain dynamic approach.
Forest Policy and Economics. 111:1–12.
Reed M, A AG, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn C,
Stringer L. 2009. Who's in and why? A typology of actor analysis methods for
natural resources management. Journal of Environmental Management.
90:1933–1949.
[REKI] PT Restorasi Ekosistem Indonesia. 2008. Proposal Teknis Permohonan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem pada Kawasan
Hutan Produksi Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Sarolangun Provinsi
Jambi. Tidak dipublikasikan
[REKI] PT Restorasi Ekosistem Indonesia. 2009. Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi Periode Tahun 2011–2020. Tidak dipublikasikan
Scanell M. 2010. The Big Book of Conflict Resolution Game. New York (US):
McGraw-Hill.
Schusser C, Krott M, Movuh MCY, Logami J, Devkota RR, Maryudi A, Salla M,
Bach ND. 2015. Powerful stakeholders as drivers of community forestry:
Results of an international study. Forest Policy and Economics. 58:92–101.
Septiana AM. 2012. Penanggulangan krisis legitimasi hukum melalui hukum
progresif. Jurnal Masalah-masalah Hukum. 41(4):564–571.
54

Setiawan A, Mardhiansyah M, Sribudiani E. 2015. Respon pertumbuhan semai


meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.) pada medium campuran topsoil dan
kompos dengan berbagai tingkat naungan. JOM Faperta. 2(2):5–6.
Sobir. 2009. Buku Pintar Budi Daya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Jakarta
(ID): AgroMedia Pustaka.
Sobir, Napitupulu RM. 2010. Bertanam Durian Unggul. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Subagyono K, Marwanto S, Kurnia U. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah.
Sufriadi. 2015. Analisis Produksi dan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat di Kabupaten Aceh Selatan [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung (ID): Alfabeta.
Sumarga E, Hein L. 2016. Benefits and costs of oil palm expansion in Central
Kalimantan, Indonesia, under different policy scenarios. Regional
Environmental Change. 16:1011–1021.
Sunanto H. 1999. Seri Budidaya Petai. Jakarta (ID): Kanisius.
Surono A. 2012. Pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya hutan dalam
mewujudkan hak masyarakat lokal. Jurnal Hukum dan Pembangunan.
42(1):54–91.
Surono A. 2016. Collaborative (partnership) as a form of "restorative justice" in
conflict resolution forest resources management. Jurnal Dinamika Hukum.
16(3):332–340.
Susanti A, Maryudi A. 2016. Development narratives, notions of forest crisis, and
boom of oil palm plantations in Indonesia. Forest Policy and Economics.
73:130–139.
Susilo J. 2012. Budidaya Petai Prospek Pasar Terbuka Lebar. Bandung (ID):
Pustaka Baru Press.
Sutojo S. 2000. Studi Kelayakan Proyek,Teori dan Praktek. Jakarta (ID):
Gramedia.
Tata HL, Bastoni, Sofiyuddin M, Mulyoutami E, Perdana A, Janudianto. 2015.
Jelutung Rawa Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. Bogor (ID): World
Agroforestry Centre (ICRAF).
Teuscher M, Gérard A, Brose U, Buchori D, Clough Y, Ehbrecht M, Hölscher D,
Irawan B, Sundawati L, Wollni M, Kreft H. 2016. Experimental Biodiversity
Enrichment in Oil-Palm-Dominated Landscapes in Indonesia. Frontiers in
plant science. 7:1538–1538. doi:10.3389/fpls.2016.01538
Vijay V, Pimm SL, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The impacts of oil palm on
recent deforestation and biodiversity loss. PLoS One. 11(7):1–19.
Wahyudi. 2016. Analisis pertumbuhan dan finansial tanaman sungkai (Peronema
canescens) di Kapuas, Kalimantan Tengah. Jurnal Hutan Tropika. 11(2):56–64.
Wahyudi, Damiri M, Christopheros, Pahawang. 2018. Kualitas kayu sungkai
(Peronema canescens) dan sengon (Paraserianthes falcataria) pada hutan
rakyat di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropika.
13(1):10–18.
Wanderi, Qurniati R, Kaskoyo H. 2019. Kontribusi tanaman agroforestri terhadap
pendapatan dan kesejahteraan petani. Jurnal Sylva Lestari. 7(1):118–127.
55

Widayati A, Johana F, Zulkarnain M, Mulyoutami E. 2012. Perubahan


Penggunaan Lahan, Faktor Pemicu dan Pengaruhnya terhadap Emisi CO2 di
Tanjung Jabung Barat, Jambi. Bogor (ID): World Agroforestry Center -
ICRAF SEA Regional Office.
Wijayanti RT, Mudakir B. 2013. Analisis keuntungan dan skala usaha perkebunan
kelapa sawit gerbang serasan. Diponegoro Journal of Economics. 2(1):1–7.
Wollenberg E, Edmunds D, Buck L, Fox J, Brodt S. 2005. Pembelajaran Sosial
dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor (ID): CIFOR.
Wondolleck JM, Yaffee SL. 2000. Making Collaboration Work: Lessons from
Innovation in Natural Resource Management. Conecticut (US): Island Press.
Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997–2003. Jakarta (ID): Center for International
Forestry Research.
Yuniati D. 2018. Analisis Kelayakan Restorasi Hutan Lindung Gambut Berbasis
Masyarakat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
56

LAMPIRAN

Lampiran 1 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
jengkol, petai, meranti, dan sungkai

Lampiran 2 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
durian.
57

Lampiran 3 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
jelutung.
Lampiran 4 Cash flow pola kelapa sawit monokultur
58

Biaya/satuan Tahun ke-


Rincian Satuan
(Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Penyulaman HOK 80.000 160.000
d. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 12.027.857
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.246.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 17.954.357
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.683.803 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 8.437.005
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 37.607.143
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 37.607.143
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 17.672.126
Lampiran 4 (lanjutan)
Biaya/satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Penyulaman HOK 80.000
d. Biaya panen kelapa sawit paket 12.268.929 12.268.929 12.268.929 12.268.929 12.268.929 12.268.929 12.268.929 12.008.571 11.758.629
TOTAL BIAYA 18.195.429 18.195.429 18.195.429 18.195.429 18.195.429 18.195.429 18.195.429 17.935.071 17.685.129
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 7.780.062 7.079.219 6.441.510 5.861.246 5.333.254 4.852.825 4.415.673 3.960.409 3.553.427
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 37.491.429 35.991.771
TOTAL PENDAPATAN 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 39.053.571 37.491.429 35.991.771
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 16.698.656 15.194.410 13.825.668 12.580.226 11.446.976 10.415.810 9.477.534 8.278.829 7.231.734
59
Lampiran 4 (lanjutan)
60

Biaya/satuan Tahun ke-


Rincian Satuan
(Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Penyulaman HOK 80.000
d. Biaya panen kelapa sawit paket 11.518.683 11.288.336 11.067.203 10.854.915 10.651.118 10.455.473 10.267.654 10.087.348
TOTAL BIAYA 17.445.183 17.214.836 16.993.703 16.781.415 16.577.618 16.381.973 16.194.154 16.013.848
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 3.189.459 2.863.827 2.572.374 2.311.410 2.077.652 1.868.182 1.680.404 1.512.006
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 34.552.101 33.170.017 31.843.216 30.569.487 29.346.708 28.172.839 27.045.926 25.964.089
TOTAL PENDAPATAN 34.552.101 33.170.017 31.843.216 30.569.487 29.346.708 28.172.839 27.045.926 25.964.089
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 6.317.074 5.518.100 4.820.178 4.210.529 3.677.987 3.212.800 2.806.450 2.451.494
Lampiran 5 Cash flow pola agroforestri berbasis kelapa sawit Plot B11
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Ppembersihan lahan) paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Jengkol batang 12.000 6.000.000
- Petai batang 17.000 8.500.000
- Durian batang 30.000 15.000.000
- Sungkai batang 10.000 5.000.000
- Meranti batang 8.000 3.976.000
- Jelutung batang 7.000 3.479.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600 1.500.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida (hanya untuk sawit)
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
d. Biaya panen jengkol paket
e. Biaya panen petai paket
f. Biaya panen durian paket
g. Biaya panen sungkai paket
h. Biaya panen meranti paket
i. Biaya panen jelutung paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 58.616.714
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 27.544.820
61
Lampiran 5 (lanjutan)
62

Biaya/ satuan Tahun ke-


Rincian Satuan
(Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
b. Penjualan jengkol kg 6.000
c. Penjualan petai papan 1.000
d. Penjualan durian buah 15.000
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 5 (lanjutan)
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Ppembersihan lahan) paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jengkol batang 12.000
- Petai batang 17.000
- Durian batang 30.000
- Sungkai batang 10.000
- Meranti batang 8.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida (hanya untuk sawit)
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
d. Biaya panen jengkol paket 6.924.000 7.758.000 8.592.000 9.426.000 10.260.000 11.094.000
e. Biaya panen petai paket 4.734.750 5.047.500 5.360.250
f. Biaya panen durian paket
g. Biaya panen sungkai paket
h. Biaya panen meranti paket
i. Biaya panen jelutung paket
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 20.310.357 21.144.357 21.978.357 27.547.107 28.537.643 29.534.427
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 6.542.523 6.197.613 5.861.753 6.685.142 6.301.661 5.934.277
63
64

Lampiran 5 (lanjutan)
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
b. Penjualan jengkol kg 6.000 30.024.000 35.028.000 40.032.000 45.036.000 50.040.000 55.044.000
c. Penjualan petai papan 1.000 18.765.000 20.850.000 22.935.000
d. Penjualan durian buah 15.000
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 53.456.143 58.460.143 63.464.143 87.233.143 93.384.857 99.574.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 17.219.689 17.135.227 16.926.249 21.169.770 20.621.174 20.007.161
Lampiran 5 (lanjutan)
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Ppembersihan lahan) paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jengkol batang 12.000
- Petai batang 17.000
- Durian batang 30.000
- Sungkai batang 10.000
- Meranti batang 8.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida (hanya untuk sawit)
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
d. Biaya panen jengkol paket 11.094.000 10.635.300 10.199.535 9.785.558 9.392.280 9.018.666 8.663.733 8.326.546
e. Biaya panen petai paket 5.673.000 6.298.500 6.298.500 5.985.750 5.547.900 5.172.600 4.859.850 4.672.200
f. Biaya panen durian paket 36.075.000 42.330.000 46.500.000 46.500.000 46.500.000 46.500.000 42.330.000 40.245.000
g. Biaya panen sungkai paket 2.986.920 21.399.075
h. Biaya panen meranti paket 2.975.616 21.399.075
i. Biaya panen jelutung paket 15.066.857 15.066.857 15.066.857 15.066.857 14.985.514 14.908.239 14.834.827 14.765.085
TOTAL BIAYA 86.807.603 87.128.659 90.730.214 89.876.114 88.841.365 87.897.789 82.874.002 122.884.391
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 15.870.818 14.494.555 13.734.033 12.379.205 11.134.379 10.023.768 8.599.510 11.602.576
65
Lampiran 5 (lanjutan)
66

Biaya/ satuan Tahun ke-


Rincian Satuan
(Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
b. Penjualan jengkol kg 6.000 55.044.000 52.291.800 49.677.210 47.193.350 44.833.682 42.591.998 40.462.398 38.439.278
c. Penjualan petai papan 1.000 25.020.000 29.190.000 29.190.000 27.105.000 24.186.000 21.684.000 19.599.000 18.348.000
d. Penjualan durian buah 15.000 93.825.000 112.590.000 125.100.000 125.100.000 125.100.000 125.100.000 112.590.000 106.335.000
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000 11.869.200 148.788.900
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000 6.269.952 82.660.500
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000 26.029.714 26.029.714 26.029.714 26.029.714 24.728.229 23.491.817 22.317.226 21.201.365
TOTAL PENDAPATAN 238.789.127 240.003.524 249.102.854 243.769.756 236.455.935 229.771.519 211.196.180 431.351.496
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 43.657.221 39.926.520 37.707.249 33.575.948 29.634.731 26.202.895 21.914.998 40.727.617
Lampiran 6 Cash flow agroforestri kelapa sawit jengkol
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Jengkol batang 12.000 14.731.200
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600 613.800
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
d. Biaya panen jengkol paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 30.506.714
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 14.335.535
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
b. Penjualan jengkol kg 6.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
67

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 6 (lanjutan)
68

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jengkol batang 12.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
d. Biaya panen jengkol paket 14.196.000 16.242.000 18.288.000 20.334.000 22.380.000 24.426.000
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 27.582.357 29.628.357 31.674.357 33.720.357 35.610.143 37.506.177
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 8.885.033 8.684.355 8.447.732 8.183.268 7.863.405 7.536.020
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
b. Penjualan jengkol kg 6.000 67.518.000 78.771.000 90.024.000 101.277.000 112.530.000 123.783.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 90.950.143 102.203.143 113.456.143 124.709.143 135.024.857 145.378.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 29.297.535 29.956.719 30.259.401 30.264.459 29.816.087 29.210.441
Lampiran 6 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jengkol batang 12.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
d. Biaya panen jengkol paket 24.426.000 23.300.700 22.231.665 21.216.082 20.251.278 19.334.714 18.463.978 17.636.779
TOTAL BIAYA 37.362.210 36.098.702 34.896.987 33.754.030 32.666.948 31.632.998 30.649.571 29.714.188
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 6.830.840 6.005.310 5.282.434 4.649.156 4.094.108 3.607.393 3.180.386 2.805.573
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
b. Penjualan jengkol kg 6.000 123.783.000 117.593.850 111.714.158 106.128.450 100.822.027 95.780.926 90.991.879 86.442.286
TOTAL PENDAPATAN 144.514.260 137.495.860 130.820.087 124.470.142 118.430.052 112.684.629 107.219.435 102.020.739
69

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 26.421.182 22.873.544 19.802.526 17.144.059 14.842.692 12.850.433 11.125.740 9.632.658
Lampiran 7 Cash flow agroforestri kelapa sawit petai
70

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Petai batang 17.000 20.869.200
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600 666.600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida\
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
e. Biaya panen petai paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 36.697.514
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 17.244.679
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
c. Penjualan petai papan 1.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 7 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Petai batang 17.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida\
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan
HOK 80.000
Pemupukan 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
e. Biaya panen petai paket 8.825.250 9.592.500 10.359.750
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 22.211.607 22.822.643 23.439.927
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 4.312.113 3.923.669 3.570.218 5.390.321 5.039.679 4.709.724
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
c. Penjualan petai papan 1.000 46.035.000 51.150.000 56.265.000
71

TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 69.467.143 73.644.857 77.860.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 16.858.311 16.262.202 15.644.222
Lampiran 7 (lanjutan)
72

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Petai batang 17.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida\
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
e. Biaya panen petai paket 11.127.000 12.661.500 12.661.500 11.894.250 10.820.100 9.899.400 9.132.150 8.671.800
TOTAL BIAYA 24.063.210 25.459.502 25.326.822 24.432.199 23.235.771 22.197.684 21.317.743 20.749.209
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 4.399.417 4.235.393 3.833.777 3.365.201 2.912.110 2.531.400 2.212.058 1.959.112
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
c. Penjualan petai papan 1.000 61.380.000 71.610.000 71.610.000 66.495.000 59.334.000 53.196.000 48.081.000 45.012.000
TOTAL PENDAPATAN 82.111.260 91.512.010 90.715.930 84.836.692 76.942.025 70.099.704 64.308.556 60.590.453
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 15.012.197 15.223.760 13.731.871 11.685.093 9.643.049 7.994.094 6.673.046 5.720.868
Lampiran 8 Cash flow agroforestri kelapa sawit durian
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Durian batang 30.000 12.276.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600 204.600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 480.000
- Penanaman HOK 80.000 240.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
f. Biaya panen durian paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 26.442.314
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 12.425.616
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
d. Penjualan durian buah 15.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
73

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 8 (lanjutan)
74

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Durian batang 30.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
f. Biaya panen durian paket
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.230.143 13.080.177
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 4.312.113 3.923.669 3.570.218 3.248.606 2.921.470 2.628.166
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
d. Penjualan durian buah 15.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 8 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Durian batang 30.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan
HOK
Pemupukan 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
f. Biaya panen durian paket 30.375.000 35.490.000 38.900.000 38.900.000 38.900.000 38.900.000 35.490.000 33.785.000
TOTAL BIAYA 43.311.210 48.288.002 51.565.322 51.437.949 51.315.671 51.198.284 47.675.593 45.862.409
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 7.918.481 8.033.098 7.805.557 7.084.873 6.431.330 5.838.597 4.947.109 4.330.266
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
d. Penjualan durian buah 15.000 127.875.000 153.450.000 170.500.000 170.500.000 170.500.000 170.500.000 153.450.000 144.925.000
75

TOTAL PENDAPATAN 148.606.260 173.352.010 189.605.930 188.841.692 188.108.025 187.403.704 169.677.556 160.503.453
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 27.169.312 28.838.504 28.701.069 26.010.359 23.575.347 21.371.315 17.606.774 15.154.516
Lampiran 9 Cash flow agroforestri kelapa sawit sungkai
76

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Sungkai batang 10.000 12.276.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600 613.800
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan
HOK 80.000
Pemupukan 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
g. Biaya panen sungkai paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 28.051.514
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 13.181.802
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 9 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Sungkai batang 10.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
g. Biaya panen sungkai paket
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.230.143 13.080.177
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 4.312.113 3.923.669 3.570.218 3.248.606 2.921.470 2.628.166
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
77

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 9 (lanjutan)
78

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Sungkai batang 10.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
g. Biaya panen sungkai paket 7.009.488 40.832.241
TOTAL BIAYA 19.945.698 12.798.002 12.665.322 12.537.949 12.415.671 12.298.284 12.185.593 52.909.650
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 3.646.622 2.129.051 1.917.178 1.726.931 1.556.041 1.402.483 1.264.451 4.995.657
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000 25.094.880 381.986.888
TOTAL PENDAPATAN 45.826.140 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 397.565.341
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 8.378.279 3.310.860 2.892.107 2.526.317 2.206.792 1.927.680 1.683.870 37.537.574
Lampiran 10 Cash flow agroforestri kelapa sawit meranti
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Meranti batang 8.000 9.820.800
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600 613.800
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan
HOK 80.000
Pemupukan 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
h. Biaya panen meranti paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 25.596.314
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 12.028.069
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000
79

TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286


Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 10 (lanjutan)
80

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Meranti batang 8.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
h. Biaya panen meranti paket
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.230.143 13.080.177
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 4.312.113 3.923.669 3.570.218 3.248.606 2.921.470 2.628.166
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 10 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Meranti batang 8.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
h. Biaya panen meranti paket 7.009.488 44.329.416
TOTAL BIAYA 19.945.698 12.798.002 12.665.322 12.537.949 12.415.671 12.298.284 12.185.593 56.406.825
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 3.646.622 2.129.051 1.917.178 1.726.931 1.556.041 1.402.483 1.264.451 5.325.855
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000 13.383.936 235.529.438
TOTAL PENDAPATAN 34.115.196 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 251.107.891
81

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 6.237.196 3.310.860 2.892.107 2.526.317 2.206.792 1.927.680 1.683.870 23.709.263
Lampiran 11 Cash flow agroforestri kelapa sawit jelutung
82

Volume Biaya/Volume Tahun ke-


Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000 6.480.000
- Jelutung batang 7.000 7.000.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600 81.000
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 640.000
- Penanaman HOK 80.000 320.000
- Penyulaman HOK 80.000 160.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600 461.400
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000 1.280.000
- Penanaman HOK 80.000 640.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 1.421.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 913.500 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.725.500 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 1.116.500 671.000
- Herbisida liter 70.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 350.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan
HOK
Pemupukan 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 7.751.250 8.893.929 9.617.143 10.340.357 11.304.643 9.520.714
i. Biaya panen jelutung paket
TOTAL BIAYA 27.771.000 6.086.500 5.926.500 13.677.750 14.820.429 15.543.643 16.266.857 17.231.143 22.623.114
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 27.771.000 5.538.217 4.906.851 10.304.373 10.159.445 9.695.369 9.232.461 8.898.775 10.630.920
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000
TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 11.947.500 18.803.571 23.142.857 27.482.143 33.267.857 22.564.286
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 11 (lanjutan)
Volume Biaya/Volume Tahun ke-
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000 320.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.665.357 9.509.143 9.359.177
i. Biaya panen jelutung paket
TOTAL BIAYA 13.706.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.386.357 13.230.143 13.080.177
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 5.860.610 5.208.174 4.739.012 4.312.113 3.923.669 3.570.218 3.248.606 2.921.470 2.628.166
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
83

Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 11 (lanjutan)
84

Volume Biaya/Volume
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
i. Biaya panen jelutung paket 12.734.679 12.734.679 12.734.679 12.734.679 12.433.945 12.148.247 11.876.835 11.618.993
TOTAL BIAYA 25.670.889 25.532.680 25.400.000 25.272.627 24.849.615 24.446.531 24.062.428 23.696.402
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 4.693.345 4.247.567 3.844.854 3.480.959 3.114.372 2.787.856 2.496.864 2.237.382
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000 48.117.429 48.117.429 48.117.429 48.117.429 45.711.557 43.425.979 41.254.680 39.191.946
TOTAL PENDAPATAN 68.848.689 68.019.439 67.223.358 66.459.121 63.319.582 60.329.683 57.482.236 54.770.400
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 12.587.434 11.315.582 10.175.748 9.153.834 7.935.765 6.879.932 5.964.706 5.171.346
85

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 30 Oktober 1995 dari pasangan


Sutomo, SPd (Ayah) dan Susah Hatiningrum, SPd (Ibu) serta merupakan anak
kedua dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah menengah atas
pada tahun 2010 di SMA Negeri 1 Bumiayu, dan lulus pada tahun 2013.
Selanjutnya, pada tahun yang sama (2013), penulis melanjutkan studi S1 di
Institut Pertanian Bogor, masuk melalui jalur Ujian Talenta Masuk IPB (UTM
IPB) pada Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan. Sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kahutanan di Fakultas Kehutanan IPB,
penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengujian Keakuratan Tabel Tegakan
Wolf von Wulfing dalam Pendugaan Volume Tegakan Jati di KPH Ciamis, Jawa
Barat” di bawah bimbingan Bapak Ir Budi Prihanto, MS dan Bapak Dr Ir Muhdin,
MSc. Penulis meraih gelar sarjana pada tahun 2017, dengan predikat Cumlaude.
Selanjutnya, pada tahun 2018 penulis mendapatkan beasiswa Pendidikan
Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) dan melanjutkan studi
S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Magister Ilmu Pengelolaan
Hutan, Fakultas Kehutanan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian dengan
judul “Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan Masyarakat
dan Resolusi Konflik.” di bawah bimbingan Bapak Prof Dr Ir Dodik Ridho
Nurrochmat, MScFTrop dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop. Penulis meraih
gelar Magister Sains pada tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai