SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Hutan Harapan merupakan kawasan hutan produksi yang saat ini menjadi
hutan hujan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Saat ini, Hutan
Harapan dikelola oleh PT REKI dengan skema restorasi ekosistem (IUPHHK-RE).
Tercatat sekitar ±17.000 hektar kawasan Hutan Harapan telah digarap (dirambah)
oleh masyarakat dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dengan pola
monokultur. Saat ini, terdapat dua kontestasi kepentingan utama terhadap kawasan
Hutan Harapan, yaitu PT REKI dengan kepentingan ekologi dan masyarakat lokal
dengan kepentingan ekonomi. Adanya konflik kepentingan antara masyarakat
lokal dengan perusahaan (PT REKI) membuat kegiatan restorasi ekosistem tidak
berjalan dengan efektif dan efisien. Belajar dari keberhasilan penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit yang diinisiasi oleh CRC-990/EFForTS,
penelitian ini memberikan pertimbangan untuk mempromosikan agroforestri
berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik di Hutan Harapan. Penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan
ekonomi dan ekologi pada kontestasi di kawasan Hutan Harapan.
Tujuan dalam penelitian ini, meliputi: 1) menganalisis dan membandingkan
kelayakan ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa sawit, dan pola kelapa sawit
monokultur; 2) mengidentifikasi keberterimaan masyarakat yang berada di dalam
kawasan Hutan Harapan terhadap pola agroforestri berbasis kelapa sawit
(kelayakan sosial); dan 3) menganalisis faktor pemungkin (enabling factor) yang
diperlukan guna mendukung jalannya pola agroforestri berbasis kelapa sawit
sebagai upaya resolusi konflik di kawasan Hutan Harapan. Penelitian ini
mengevaluasi kelayakan finansial dari pola agroforestri berbasis kelapa sawit
dibandingkan dengan kelapa sawit monokultur. Penelitian ini juga melakukan
analisis kelayakan sosial dan faktor pemungkin dari pola agroforestri berbasis
kelapa sawit, yang dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi
keberterimaan masyarakat terhadap MoU untuk menanam tanaman sela di kebun
kelapa sawit yang berada di dalam kawasan Hutan Harapan, alasan masyarakat
memilih usaha kebun kelapa sawit, serta preferensi masyarakat terhadap hutan.
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pola agroforestri berbasis
kelapa sawit layak secara finansial dan berpotensi mencukupi kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, secara ekonomi pola agroforestri berbasis kelapa
sawit layak untuk diterapkan sebagai upaya resolusi konflik. Namun faktanya,
masyarakat Hutan Harapan tidak mau menerapkan pola agroforestri karena
berbagai alasan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa saat ini pola agroforestri
berbasis kelapa sawit tidak layak secara sosial. Guna mengimplementasikan
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik, dibutuhkan
berbagai faktor pemungkin agar agroforestri berbasis kelapa sawit dapat diterima
oleh masyarakat Hutan Harapan. Keberadaan pasar dan akses pasar yang mudah
menjadi faktor pemungkin yang paling utama. Selain itu, ketersediaan dan
kemudahan memperoleh bibit tanaman sela untuk penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit juga menjadi faktor pemungkin yang lain.
Harapan Rainforest is a production forest which is the only one lowland rain
forest still remaining on the Sumatera, Indonesia. Currently, Harapan Rainforest
managed by PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) with an ecosystem
restoration scheme (IUPHHK-RE). Around ±17.000 hectares of Harapan
Rainforest area have been encroached by the community and converted into oil
palm plantations. Based on that situation, it can be said that today there are two
conflict of interests in Harapan Rainforest area which are PT REKI with
ecological interests and local community with economic interests. Conflicts of
interest between local communities and companies make ecosystem restoration
activities ineffective and inefficient. Learning from the successful implementation
of oil palm-based agroforestry initiated by CRC-990/EFForTS, we are considering
to promote oil palm-based agroforestry as a conflict resolution effort in Harapan
Rainforest. The application of oil palm-based agroforestry is expected to be able
to reconcile economic and ecological interests in the contestation in the Harapan
Rainforest area.
The objectives in this study are: 1) analyzing and comparing the economic
feasibility of oil palm-based agroforestry patterns, and monoculture oil palm
patterns (economic feasibility); 2) identifying the acceptance of the local
community towards oil palm-based agroforestry (social feasibility); 3) analyzing
the enabling factors needed to support the implementation of oil palm-based
agroforestry patterns as a conflict resolution effort. This study evaluates financial
feasibility of oil palm based agroforestry compared to oil palm monoculture
patterns. Then, this study also evaluates social feasibility analysis and enabling
factor of oil palm-based agroforestry patterns, which was carried out in a
descriptive qualitative approach by looking at local community's acceptance
towards MoU to plant intercrops in oil palm plantations in the Harapan Rainforest
area, the reasons of local community for choosing oil palm business, and the local
community preferences towards forests.
The results of financial analysis show that oil palm-based agroforestry
patterns are financially feasible, also has the potential to meet the needs of the
local community. Therefore, oil palm-based agroforestry patterns are
economically feasible. But, in fact, the local community is unwilling to implement
oil palm-based agroforestry patterns for several reasons. So that it can be said that
today the oil palm-based agroforestry patterns is not socially feasible. To
implement oil palm-based agroforestry as a conflict resolution, various enabling
factors are needed so that oil palm-based agroforestry can be accepted by the
Harapan Rainforest local community. The existence of markets and easy market
access are the main enabling factors. In addition, the availability and ease of
obtaining intercropping seeds for the application of oil palm-based agroforestry is
also another enabling factor.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MULTIUSAHA KEHUTANAN UNTUK
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DAN RESOLUSI KONFLIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Penguji pada Ujian Tesis: Mi Sun Park, BS, MA, Ph.D
Judul Tesis : Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan
Masyarakat dan Resolusi Konflik
Nama : Tabah Arif Rahmani
NIM : E151180198
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berupa tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2019
sampai bulan Maret 2020 ini ialah agroforestri berbasis kelapa sawit, dengan judul
“Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan Masyarakat dan
Resolusi Konflik”.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada beasiswa PMDSU yang diinisiasi
oleh Kemendikbud-Dikti. Tak lupa, saya ucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua saya yang telah memberikan dukungan atas studi yang sedang saya
laksanakan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik
Ridho Nurrochmat, MScFTrop dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop selaku
komisi pembimbing yang telah dengan sabar dalam membimbing saya, sehingga
saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir
Bambang Irawan, MSc (UNJA), seluruh staf jajaran CRC-990/EFForTS, seluruh
staf jajaran PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), masyarakat lokal di
Desa Bungku yang telah menerima saya dengan baik dalam rangka melaksanakan
penelitian untuk tesis ini. Selain itu saya juga menyampaikan terima kasih kepada
segenap individu dan instansi lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,
yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Saya berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan berkontribusi
dalam khasanah ilmu pengetahuan dalam lingkup kehutanan di Indonesia.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6
State of The Art Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Multiusaha Kehutanan 7
Agroforestri 8
Konflik 9
Resolusi Konflik 11
3 METODE 13
Kerangka pemikiran 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Alat 16
Bahan 17
Jenis Data 17
Metode Pengumpulan Data 18
Responden Penelitian 19
Prosedur Analisis Data 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Kondisi Umum 23
Kelayakan Ekonomi Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit 35
Kelayakan Sosial Pola Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit 43
Faktor Pemungkin (enabling factor) yang Diperlukan Guna Mendukung
Jalannya Resolusi Konflik dengan Pola Agroforestri Berbasis Kelapa
Sawit 46
5 SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 56
DAFTAR TABEL
1 Data komponen biaya dan pendapatan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit dan kelapa sawit monokultur yang dikumpulkan 17
2 Data dan atribut masyarakat yang diperlukan untuk analisis dalam upaya
resolusi konflik 18
3 Kelompok masyarakat Batin Sembilan di Hutan Harapan 29
4 Kelompok masyarakat Melayu di Hutan Harapan 30
5 Kelompok masyarakat Migran di Hutan Harapan 30
6 Hasil wawancara kondisi sosial-ekonomi masyarakat Hutan Harapan 32
7 Motivasi masyarakat dalam melakukan penggarapan lahan di Hutan
Harapan 32
8 Kelompok tani yang telah melakukan MoU dengan PT REKI dengan
skema kemitraan kehutanan 33
9 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola kelapa sawit monokultur 35
10 Produktivitas masing-masing jenis tanaman 36
11 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola agroforestri berbasis kelapa
sawit Plot B11 36
12 Karakteristik dan jarak tanam ideal dari jenis yang digunakan untuk
tanaman sela 38
13 Kombinasi jenis dan jumlah tanaman sela pada simulasi agroforestri
berbasis kelapa sawit dengan mempertimbangkan jarak tanam ideal 39
14 Perbandingan kelayakan finansial dari masing-masing pola tanam 40
15 Alasan masyarakat memilih usaha kelapa sawit 47
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase luas tutupan lahan di Provinsi Jambi dari tahun 1990-2019
(BPS-Jambi 2020; Drescher et al. 2016; Kementan 2019; KLHK 2019) 2
2 Diagram alir kerangka pemikiran 13
3 Lokasi penelitian 16
4 Desain plot agroforestri berbasis kelapa sawit yang diterapkan oleh CRC-
990/EFForTS (Gérard et al. 2017) 25
5 Jumlah dan tingkat keragaman tiap plot penelitian yang dibangun oleh
CRC-990/EFForTS diadaptasi dari Teuscher et al. (2016) 26
6 Peta areal kerja (PAK) PT REKI, dan lokasi kelompok masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan (Sumber: Dokumen digital PT REKI) 28
7 Kondisi kebun campuran (plot agroforestri) di dalam kawasan Hutan
Harapan 29
8 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola kelapa sawit monokultur 35
9 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola agroforestri berbasis
kelapa sawit Plot B11 37
10 Ilustrasi a) penerapan agroforestri dengan unit-based approach b)
penerapan agroforestri dengan landscape-based approach. 40
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit adalah salah satu tumbuhan penghasil minyak nabati yang
umumnya tumbuh di negara tropis. Kelapa sawit memiliki produktivitas 3 sampai
8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya
(Barcelos et al. 2015; Corley 2009). Saat ini kelapa sawit menjadi salah satu
tanaman dari komoditas pertanian yang paling banyak digunakan di Indonesia,
bahkan di dunia (Corley 2009; Koh dan Wilcove 2008; Purnomo et al. 2020).
Peningkatan permintaan kelapa sawit sebagai bahan baku untuk makanan, energi,
dan proses industri lainnya menyebabkan meningkatnya permintaan tandan buah
segar (TBS) kelapa sawit guna keperluan tersebut. Tidak dipungkiri, bahwa
komoditas kelapa sawit berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan
perekonomian di Indonesia. Menurut Purnomo et al. (2020), peran industri kelapa
sawit di negara Indonesia, antara lain: sebagai penghasil devisa terbesar
kedaulatan energi, pendorong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan tenaga
kerja.
Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau
Sumatera dan di pulau Kalimantan (Kehati 2019; Kiswanto et al. 2008). Sekitar
90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau tersebut. Pulau
Sumatera dan Kalimantan menghasilkan sekitar 95% produksi minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia (Kementan 2019). Saat ini, Pulau
Sumatera menjadi pulau dengan luas kebun kelapa sawit dan produksi tandan
buah segar (TBS) terbesar di Indonesia (Kementan 2019). Salah satu provinsi di
Pulau Sumatera yang cukup banyak menunjukkan kecenderungan peningkatan
luas kebun kelapa sawit yang cukup besar adalah Provinsi Jambi (Widayati et al.
2012). Masuknya tanaman kelapa sawit di Provinsi Jambi, mengakibatkan
penambahan luas perkebunan kelapa sawit dengan pola monokultur semakin
besar. Hal tersebut terjadi karena rekomendasi teknis dalam pengelolaan kebun
kelapa sawit dengan pola monokultur (Widayati et al. 2012). Sampai dengan
tahun 2019 luas areal perkebunan kelapa sawit milik masyarakat di Jambi sudah
mencapai 576.142 ha dengan jumlah produksi 1.226.256 ton/tahun, perkebunan
kelapa sawit milik perusahaan swasta nasional mencapai 287.612 ha dengan
jumlah produksi sebesar 507.021 ton/tahun, dan perkebunan kelapa sawit milik
negara (BUMN) mencapai 24.041 ha dengan total produksi 76.693 ton/tahun
(Kementan 2019).
Namun, dalam beberapa dekade belakangan ini kelapa sawit sering
diidentifikasi sebagai pendorong utama deforestasi nasional dan global, karena
pembangunan perkebunan kelapa sawit yang bersifat ekspansif dan cenderung
tidak terkontrol (Hansen et al. 2009; Koh dan Wilcove 2009). Tidak dipungkiri
bahwa banyak hutan baik itu hutan produksi, lindung, dan konservasi baik yang
bertanah mineral ataupun lahan gambut, banyak yang dialihfungsikan menjadi
kebun kelapa sawit (Cooper et al. 2019; Sumarga dan Hein 2016; Vijay et al.
2016). Sejalan dengan hal tersebut, Drescher et al. (2016) menyatakan bahwa
masuknya tanaman kelapa sawit mengakibatkan luas hutan di Provinsi Jambi
menjadi menurun (Gambar 1). Gambar 1 menunjukkan bahwa luas pertanian dan
2
100% Lainnya
90% Pemukiman
80%
70%
Persentase (%)
60%
Pertanian dan Perkebunan
50%
40%
30%
20% Hutan
10%
0%
2017
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2018
2019
Tahun
Gambar 1 Persentase luas tutupan lahan di Provinsi Jambi dari tahun 1990-2019
(BPS-Jambi 2020; Drescher et al. 2016; Kementan 2019; KLHK 2019)
Salah satu kawasan hutan yang saat ini banyak dikonversi menjadi kebun
kelapa sawit oleh masyarakat yang berada di Provinsi Jambi adalah kawasan
Hutan Harapan. Hutan Harapan merupakan kawasan hutan produksi yang saat ini
dikelola oleh PT REKI dengan skema restorasi ekosistem (IUPHHK-RE).
Sebelum izin restorasi ekosistem dipegang oleh PT REKI, izin pemanfaatan
kawasan hutan dimiliki oleh PT Asialog dengan izin Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) atau sekarang ini disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Alam (IUPHHK-HA). Sebagian besar kawasan hutan di wilayah tersebut
memiliki fungsi sebagai hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dilakukan oleh
PT REKI dilakukan sejak tahun 2007, yang bertujuan untuk mengembalikan
ekosistem hutan mendekati seperti kondisi semula (REKI 2008). Hal tersebut
dilakukan karena Hutan Harapan merupakan satu-satunya hutan hujan tropis yang
saat ini masih tersisa di Pulau Sumatera.
Luas kawasan Hutan Harapan yaitu sekitar 98.555 hektar, berada di wilayah
Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, dan Kabupaten
Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Tercatat sekitar ±17.000 hektar
kawasan Hutan Harapan telah digarap (dirambah) oleh masyarakat, dengan
dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dengan pola monokultur.
Penggarapan lahan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dilatarbelakangi
3
Perumusan Masalah
banyak kawasan Hutan Harapan yang terdeforestasi. Oleh karena itu, langkah
yang tepat untuk meminimalisir aktivitas perambahan hutan tersebut adalah
dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat hutan, atau dalam kata lain
mencukupi kebutuhan masyarakat.
Pengembangan multiusaha kehutanan dengan pola agroforestri berbasis
kelapa sawit dinilai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Muryunika
2015; Yuniati 2018) dan juga dapat mengakomodir kepentingan ekologi (Gérard
et al. 2017; Teuscher et al. 2016). Penerapan agroforestri dapat menjadi jalan
tengah (win-win soultion) untuk mengatasi konflik kepentingan antara PT REKI
dengan masyarakat lokal di kawasan Hutan Harapan. Namun tentunya pola
agroforestri berbasis kelapa sawit tersebut harus layak secara ekonomi dan dapat
menghasilkan manfaat yang lebih besar dari pola kelapa sawit monokultur agar
dapat diterima oleh masyarakat. Di sisi lain, pola agroforestri berbasis kelapa
sawit tersebut juga harus dapat mengakomodir kepentingan ekologi yang dimiliki
oleh PT REKI selaku pengelola Hutan Harapan. Penerapan pengaturan
pengelolaan (management regime) tertentu, seperti pemilihan jenis tanaman sela,
jarak tanam tanaman sela, dan jumlah tanaman sela juga dibutuhkan agar
agroforestri berbasis kelapa sawit tersebut juga menjadi langkah untuk
“menghutankan kembali” wilayah hutan harapan yang telah dirambah oleh
masyarakat tersebut (tanpa menebang seluruh batang kelapa sawit).
Saat ini beberapa kelompok tani di dalam kawasan Hutan Harapan telah
menjalin kerja sama dengan PT REKI melalui skema kemitraan kehutanan,
perhutanan sosial. Tercatat telah ada sekitar 8 kelompok tani yang sudah mau
berkolaborasi dengan PT REKI untuk bekerja sama dalam mengelola kawasan
Hutan Harapan. Perjanjian kerja sama antar kelompok tani dengan PT REKI
tertuang pada MoU (memorandum of understanding) yang disepakati mulai dari
tahun 2015, 2016, dan 2017 (masing-masing kelompok tani berbeda). Secara
hukum kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan Hutan Harapan yang
dilakukan oleh delapan (8) kelompok tani yang telah berMoU dengan PT REKI
tersebut menjadi legal (apabila dilakukan sesuai dengan isi MoU). Meskipun
demikian, masih ada sekitar empat belas (14) kelompok tani yang ada di dalam
kawasan Hutan Harapan yang belum berMoU dengan PT REKI.
Isi MoU dari delapan (8) kelompok tani tersebut masing-masing berbeda,
meskipun secara garis besar substansinya kurang lebih sama. Salah satu poin yang
ada pada seluruh naskah MoU, menyatakan bahwa lahan di areal kemitraan
kehutanan yang sudah diusahakan oleh masyarakat dengan telah ditanami kelapa
sawit, akan dilakukan penanaman tanaman sela dengan 100 tanaman hasil bukan
kayu (HHBK), atau dalam hal ini disebut sebagai masyarakat harus menerapkan
agroforestri berbasis kelapa sawit pada kebun kelapa sawit miliknya. Meninjau
dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa secara kelembagaan (aturan main),
penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan sudah ada. Namun, partisipasi dari masyarakat dalam pelaksanaan
penanaman tanaman sela, dengan 100 tanaman hasil hutan bukan kayu di dalam
kebun kelapa sawit perlu diidentifikasi lebih lanjut. Identifikasi tersebut perlu
dilakukan guna menilai tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan MoU
yang sudah disepakati. Ketika tingkat partisipasi masyarakat tinggi, maka dapat
dikatakan bahwa agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara sosial.
5
Selain itu, diperlukan juga faktor pemungkin (enabling factor) yang perlu
dipersiapkan sehingga dapat mendukung jalannya penerapan agroforestri berbasis
kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik. Faktor pemungkin tersebut juga dapat
menjadi penawaran/kekuatan (bargain power) tersendiri agar masyarakat tertarik
dan menerima upaya resolusi konflik tersebut. Faktor pemungkin (enabling
factor) tersebut dapat berupa kebijakan, sarana, fasilitas pendukung, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan identifikasi faktor pemungkin yang dapat mendukung
jalannya resolusi konflik dengan pengembangan multiusaha kehutanan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit.
Berdasarkan uraian di atas, maka fokus dari penelitian ini berusaha
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah pola agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara ekonomi dan
menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari kebutuhan masyarakat
(kelayakan ekonomi)?
2. Apakah pola agroforestri berbasis kelapa sawit dapat diterima terutama oleh
masyarakat Hutan Harapan (kelayakan sosial)?
3. Faktor pemungkin (enabling factor) apa saja yang dibutuhkan guna
mendukung jalannya dan diterimanya penerapan pola agroforestri berbasis
kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik khususnya di kawasan Hutan
Harapan?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang lingkup dan batasan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Kesejahteraan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
terpenuhinya kebutuhan finansial dari masyarakat sekitar hutan di wilayah
Hutan Harapan.
2. Resoulusi konflik yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu diterimanya pola
agroforestri berbasis kelapa sawit oleh masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
3. Kelayakan ekonomi pola-pola pengelolaan lahan dinilai dengan analisis
kelayakan finansial (kelayakan investasi), dan kemampuannya terhadap
pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar hutan di wilayah Hutan Harapan.
4. Keberterimaan masyarakat dinilai berdasarkan secara lisan dan sikap
masyarakat terhadap agroforestri berbasis kelapa sawit.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Multiusaha Kehutanan
Agroforestri
Konflik
Konflik secara asal-asal usul kata (entimologi) berasal dari Bahasa Latin
yaitu configure, yang berarti saling memukul (Deutsch et al. 2000; Hunt dan
Metcalf 1996). Konflik merupakan sebuah tindakan yang dilakukan salah satu
pihak yang berakibat menghambat, menghalangi, atau mengganggu pihak lain
(Antonius 2002). Antonius (2002) menambahkan bahwa konflik dapat terjadi
antar individu, ataupun kelompok (masyarakat, negara, dan lain-lain). Hal ini
sejalan dengan pendapat Deutsch et al. (2000) yang menyatakan bahwa dalam
terjadinya suatu konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih
banyak dipengaruhi oleh perbedaan daripada oleh persamaan. Selain itu Scanell
(2010) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal alami dan normal yang
timbul akibat adanya perbedaan persepsi, tujuan atau nilai/norma dalam
sekelompok individu.
Menurut Surono (2016) secara umum ada 3 penyebab utama terjadinya
konflik sumber daya hutan yang terjadi di Indonesia. Pertama, adanya tumpang
tindih peraturan di bidang Kehutanan dalam suatu kawasan hutan. Penyebab
terjadinya tumpang tindih aturan dalam suatu kawasan hutan tersebut adalah
akibat dari kurang jelasnya (clear) proses penunjukan kawasan hutan khususnya
di luar Pulau Jawa yang dahulu dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Proses
penunjukan kawasan hutan yang hanya dilakukan di atas peta, mengakibatkan
beberapa wilayah kawasan hutan tumpang tindih dengan area yang telah ditempati
masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan legitimasi (pengakuan atau
keberterimaan) masyarakat sekitar 88,2% dari hutan yang belum selesai
ditetapkan menjadi kecil. Akibatnya, tidak sedikit sengketa lahan hutan yang
terjadi mengakibatkan rusaknya hutan dan terganggunya kegiatan pengelolaan
10
hutan, sehingga mengakibatkan kerugian baik dari segi ekonomi, ekologi, dan
sosial.
Kedua, ada asumsi yang salah dari pemerintah (selaku pihak pengurus
hutan) dan/atau pihak perusahaan swasta di bidang kehutanan (selaku pihak
pengelola hutan) tentang keberadaan masyarakat di lokal atau adat. Masyarakat
lokal sering dianggap sebagai kelompok yang dapat mengganggu proses
pengelolaan hutan. Tidak jarang masyarakat lokal diposisikan sebagai seorang
musuh, sehingga keberadaan masyarakat akan tergusur dengan sendirinya karena
sejatinya pemerintah dan perusahaan memiliki kekuatan (power) yang lebih besar
daripada masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal yang tidak terima, biasanya
melakukan upaya-upaya represif seperti membakar, merusak, dan mengganggu
kegiatan pengelolaan hutan, karena mereka merasa tidak menerima keuntungan
dari adanya kegiatan pengelolaan hutan yang ada di sekitarnya. Di sisi lain, pada
kasus tertentu masyarakatlah yang dirugikan akibat adanya aktivitas pengelolaan
hutan.
Ketiga, adanya perbedaan kondisi dalam pengelolaan hutan antara di Pulau
Jawa dan di luar Pulau Jawa. Aspek kelangkaan lahan di Pulau Jawa menjadi
dimensi yang paling menonjol dari konflik yang timbul. Tidak dipungkiri bahwa
kelangkaan lahan menjadi penyebab utama timbulnya konflik sumber daya hutan
di Pulau Jawa. Masyarakat yang membutuhkan lahan garapan sering
berkonfrontasi dengan Perum Perhutani selaku pengelola hutan di Pulau Jawa.
Pertempuran karena pelanggaran mendominasi berbagai manajemen konflik hutan
di Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa, aspek kelangkaan lahan belum menjadi
masalah utama konflik. Namun, konflik yang terjadi timbul akibat dari kesalahan
pertama di atas, sehingga timbul klaim adat dan masyarakat lokal atas hak
pengelolaan suatu hutan tersebut.
Selain itu, meningkatnya konflik sektor kehutanan di Indonesia juga
disebabkan karena krisis ekonomi sejak awal pertengahan tahun 1997-1998
(Wulan et al. 2004). Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakat semakin
terdorong untuk melakukan penjarahan dan atau perambahan hutan yang dianggap
sebagai cara termudah untuk mendapatkan uang (Ambarwati et al. 2018; Wulan
et al. 2004). Tidak dipungkiri bahwa kecenderungan rendahnya ekonomi
masyarakat lokal (sekitar hutan) juga menjadi faktor utama banyaknya konflik
hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia. Masuknya perusahaan
(swasta/nasional) untuk mengelola suatu kawasan hutan sering menjadi penyebab
kesenjangan sosial meningkat antara pengelola hutan dan masyarakat lokal.
Dalam kondisi tertentu tingginya tingkat kesenjangan sosial tersebut
mempengaruhi masyarakat lokal untuk melakukan tindakan-tindakan
pengerusakan hutan seperti pencurian kayu (illegal logging), perambahan
(penggarapan) hutan untuk fungsi lain, pembakaran, dan lain-lain.
Konflik sumberdaya hutan dapat disebabkan oleh benturan kepentingan
berbagai pihak terhadap hutan. Konflik dalam konteks pengelolaan sumber daya
hutan yang paling sering terjadi yaitu antara masyarakat sekitar hutan dengan
pengelola hutan, dalam hal ini adalah pemerintah atau swasta, ataupun bisa
dengan sesama masyarakat itu sendiri (Surono 2012). Berbagai penyebab konflik
tersebut berdampak pada tidak efektif dan efisiennya kegiatan pengelolaan hutan,
bahkan pada kondisi tertentu tujuan dari kegiatan pengelolaan hutan menjadi tidak
tercapai. Ancaman utama yang timbul akibat adanya konflik kehutanan yang
11
terjadi adalah kelestarian hutan itu sendiri. Menurut (Wollenberg et al. 2005),
semakin besar frekuensi konflik sumber daya hutan maka akan semakin
meningkatkan peluang kerusakan pada hutan yang ada di sekitarnya. Hal tersebut
terjadi karena tidak jarang, konflik yang terjadi justru membuat masyarakat
merusak hutan dengan cara membakar atau melakukan tindakan lain yang bersifat
merusak ekosistem hutan (Wollenberg et al. 2005; Wulan et al. 2004).
Resolusi Konflik
3 METODE
Kerangka pemikiran
Masyarakat Hutan
Perusahaan (PT REKI) Harapan
Konflik
kepentingan
Diterima Ditolak
Analisis faktor pemungkin yang dibutuhkan Perlu dilakukan penyuluhan pada tiap
untuk berjalannya resolusi konflik aktor yang menjadi key player bahwa
resolusi konflik diperlukan
tipe stakeholder dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, antara lain
(Brugha dan Varvasovsky 2000; Enserink et al. 2010; Freeman 1984; Reed et al.
2009): 1) seseorang yang memiliki formal power untuk membuat
keputusan/kebijakan, biasanya dalam hal ini adalah pemerintah ataupun lembaga
negara; 2) mereka yang memiliki kekuasaan untuk menghalangi suatu keputusan;
3) mereka yang memiliki efek dari adanya keputusan (terpengaruh atau terdampak
dari adanya kebijakan); 4) mereka yang memiliki keahlian, teknologi, dan
informasi yang relevan.
Masing-masing aktor bersaing untuk mendapatkan akses dalam mengelola
sumberdaya hutan untuk mencapai kepentingan masing-masing (Schusser et al.
2015). Adanya persaingan diantara para aktor dapat memicu terjadinya konflik
(Deutsch et al. 2000; Scanell 2010). Konflik yang ada dapat menyebabkan
kegiatan pengelolaan hutan menjadi terkendala dan dapat menyebabkan kerusakan
pada wujud biofisik hutan (pembakaran, ilegal logging, dan lain-lain), sehingga
dalam kondisi tertentu menyebabkan tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan
yang telah direncanakan. Oleh karena itu, konflik yang terjadi pada konteks
sumberdaya hutan harus segera diselesaikan, agar kegiatan pengelolaan hutan
dapat terlaksana dengan baik dan tujuan pengelolaan hutan dapat tercapai.
Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Hutan Harapan terbagi menjadi
tiga kelompok besar berdasarkan asalnya, yaitu Kelompok Masyarakat Migran
(Jawa dan Batak), Kelompok Masyarakat Batin Sembilan (Suku Anak
Dalam/SAD), dan Kelompok Masyarakat Melayu. Kelompok Masyarakat Migran
dan Batin Sembilan menempati kawasan Hutan Harapan di wilayah Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi. Kelompok Masyarakat Melayu menempati kawasan
Hutan Harapan di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera
Selatan. Secara umum Kelompok masyarakat Migran dan Melayu memanfaatkan
Hutan Harapan dengan cara bertani (berkebun) karet, kelapa sawit, dan lain-lain
baik secara komersil maupun subsisten. Sedangkan, Kelompok Masyarakat Batin
Sembilan memanfaatkan Hutan Harapan dengan cara mengambil atau memungut
HHBK yang ada di dalam Hutan Harapan, meskipun ada sebagian kecil yang
berkebun dan bertani namun belum memiliki pola pengelolaan sebaik masyarakat
Migran.
Aktivitas penggarapan lahan di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dengan tanaman kelapa sawit dan karet sudah lebih dahulu ada
sebelum PT REKI masuk sebagai pengelola hutan. Kebun kelapa sawit milik
masyarakat yang sudah terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan, menjadi satu-
satunya penghidupan masyarakat setempat. Meskipun demikian, saat ini masih
terjadi fenomena munculnya kebun kelapa sawit baru di dalam kawasan Hutan
Harapan. Penggarapan (perambahan) hutan yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan dilatarbelakangi karena masyarakat tidak memiliki
lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat memilih
menggarap lahan dengan kebun kelapa sawit, karena menilai kelapa sawit lebih
menguntungkan dan mudah dipasarkan, daripada komoditas kehutanan. Tentunya,
tindakan masyarakat tersebut menyalahi aturan karena menurut peraturan yang
berlaku di Indonesia, kawasan hutan harus dikelola dengan skema pengelolaan
hutan yang berlaku di wilayah tersebut (dalam hal ini skema restorasi ekosistem).
Meninjau dari fakta yang ada, penelitian ini berusaha mempertimbangkan
untuk mempromosikan agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya untuk
15
beberapa jenis tindakan individu atau kelompok (Gilmore 2013). Analisis faktor
pemungkin penting untuk dilakukan guna dapat terlaksananya penerapan
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik. Analisis faktor
pemungkin dilakukan dengan mengidentifikasi alasan masyarakat dalam memilih
kelapa sawit sebagai tanaman yang dikembangkan untuk memenuhi
kehidupannya. Hasil yang teridentifikasi dari alasan tersebut dapat dijadikan
sebagai informasi dan pertimbangan untuk menciptakan “iklim” yang sama seperti
kelapa sawit, sehingga meningkatkan potensi masyarakat untuk menerima pola
agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi konflik.
Penelitian ini berlokasi di Plot CRC B11 dan di sekitarnya, serta kawasan
Hutan Harapan yang berlokasi di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi (Gambar 3). Penelitian ini dilaksanakan mulai dari
bulan Oktober 2019 sampai dengan bulan April 2020.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini, antara lain: peta areal kerja
PT REKI, alat tulis, papan jalan, seperangkat komputer (laptop) yang terintegrasi
software Microsoft Office Excel dan SPSS, serta kuesioner.
17
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data hasil wawancara,
laporan perusahaan, dokumen RKU perusahaan, dan data pendukung lain yang
diperoleh dari literatur lain seperti artikel ilmiah (jurnal, prosiding), buku, dan
berita.
Jenis Data
Secara umum terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara
lain: 1) data komponen biaya (cost) dan pendapatan (revenue) penerapan pola
agroforestri berbasis kelapa sawit, dan kelapa sawit monokultur (Tabel 1); 2) data
kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam Hutan Harapan (Tabel 2); 3) data
preferensi masyarakat terhadap hutan; 4) data persepsi dan keberterimaan
masyarakat terhadap MoU penanaman tanaman kehutanan di sela kelapa sawit
(agroforestri berbasis kelapa sawit). Data sekunder yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu seluruh data yang menunjang dan berkaitan dalam penelitian
ini yang bersumber dari dokumen, laporan, dan data lain milik perusahaan (PT
REKI), instansi lain yang terkait (CRC-990/EFForTS), serta dari berbagai literatur
seperti jurnal, prosiding, buku, makalah, tesis, tesis, artikel di internet, dan lain-
lain.
Tabel 1 Data komponen biaya dan pendapatan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit dan kelapa sawit monokultur yang dikumpulkan
Tabel 2 Data dan atribut masyarakat yang diperlukan untuk analisis dalam upaya
resolusi konflik
Data Atribut
Nama
Umur
Suku
Jenis kelamin
Identitas responden Agama
Pekerjaan
Pendapatan per bulan
Pengeluaran per bulan
Tingkat pendidikan
Tidak memiliki lahan garapan
Motivasi masyarakat melakukan Menambah lahan garapan
penggarapan Mengikuti arus masyarakat lain
Diwariskan ke anak cucu
Lahan di luar kawasan hutan
Lahan di dalam kawasan hutan
Kepemilikan lahan garapan
Luas Pekarangan
Jenis yang dikelola
Faktor ekonomi
Alasan memilih usaha kebun kelapa sawit Faktor sosial
Faktor budaya
Keberterimaan secara lisan
Keberterimaan terhadap MoU
Keberterimaan secara sikap
Persepsi dan pengetahuan terhadap hutan Mengetahui/tidak mengetahui
dan restorasi ekosistem hutan Mendukung/tidak mendukung
Tempat tinggal
Tempat pelestarian flora dan
fauna
Tempat bekerja dan kegiatan
Preferensi terhadap hutan
perekonomian lain (bekerja,
berkebun, bercocok tanaam)
Sarana keagamaan dan
kebudayaan
dilakukan guna melihat secara langsung kondisi saat ini (existing) terkait lokasi
studi. Wawancara dengan responden terkait dilakukan guna menggali data dan
informasi yang berkaitan dengan penelitian. Pencatatan data sekunder seperti
dokumen, dan laporan dilakukan untuk menggali data dan informasi yang tidak
dapat dilakukan secara observasi atau pengamatan langsung di lapangan terkait
lokasi studi. Studi literatur dilakukan guna menggali landasan teori dan hasil-hasil
riset sebelumnya yang berkaitan dengan lingkup penelitian.
Responden Penelitian
Responden yang dipilih dalam penelitian ini, antara lain: manajer lapangan
dan beberapa staf pengelola Plot B11 CRC-990/EFForTS, masyarakat yang
memiliki kebun kelapa sawit dan para pedagang sayur di sekitar plot B11, 36
orang masyarakat Hutan Harapan (30 orang terbagi ke dalam 5 pengurus
kelompok tani yang telah MoU dengan PT REKI, dan 6 orang yang belum MoU
dengan PT REKI). Responden masyarakat Hutan Harapan yang total berjumlah 36
orang tersebut terpilih dengan teknik purposive sampling, dengan kriteria
masyarakat yang memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan Hutan Harapan,
dan merupakan pengurus dari kelompok tani baik yang telah berMoU, maupun
yang belum berMoU dengan PT REKI. Jumlah responden masyarakat Hutan
Harapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kendala, antara lain: akses ke lokasi
masyarakat yang sulit, kendaraan yang minim, adanya penolakan dari beberapa
kelompok masyarakat, dan sedang berlangsungnya konflik dengan masyarakat di
daerah tertentu sehingga kondisi tidak kondusif untuk dilaksanakan wawancara
(alasan keamanan). Selain itu, guna keperluan data pendukung juga dilakukan
wawancara kepada staf jajaran PT REKI, antara lain: Direktur Operasional PT
REKI, Wakil Manajer Community Partnership (CP) PT REKI dan beberapa
stafnya.
berbasis kelapa sawit dan pola kelapa sawit monokultur. Seluruh komponen biaya
dan pendapatan yang ada disusun menjadi sebuah aliran kas (cashflow) dengan
periode pengelolaan selama 25 tahun, kemudian aliran kas tersebut didiskontokan
pada tahun ini atau yang biasa disebut sebagai arus kas terdiskonto (discounted
cash flow) (Kadariah et al. 1999). Parameter analisis kelayakan finansial
(investment criteria) meliputi parameter Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah et al. 1999). Masing-
masing parameter tersebut digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu
pola pengelolaan lahan, juga dapat digunakan untuk memberi urutan (ranking)
atas berbagai pola pengelolaan menurut tingkat keuntungan.
Keterangan:
NPV = Net Present Value (Rp)
Bt = seluruh pendapatan pada tahun ke-t (Rp/tahun)
Ct = seluruh biaya pada tahun ke-t (Rp/tahun)
i = suku bunga yang digunakan sebagai social discount factor (%)
t = lamanya periode pengelolaan (tahun) tahun ke-0 sampai tahun
ke-n
Layak apabila NPV > 0
Keterangan:
IRR = Internal Rate of Return
i1 = suku bunga yang menghasilkan NPV positif
i2 = suku bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV positif
NPV2 = NPV negatif
Layak apabila IRR > i
21
Keterangan:
BCR = Benefit Cost Ratio
Bt = seluruh pendapatan pada tahun ke-t (Rp/tahun)
Ct = seluruh biaya pada tahun ke-t (Rp/tahun)
i = suku bunga yang digunakan sebagai social discount factor (%)
t = lamanya periode pengelolaan (tahun) tahun ke-0 sampai
tahun ke-n
Layak apabila nilai >1
Kondisi Umum
yang digunakan untuk tanaman sela yaitu menggunakan kombinasi antara kelapa
sawit dengan petai (Parkia skimoasa), jengkol (Archidendron pauciflorum),
durian (Durio zibethinus), sungkai (Peronema canescens), meranti (Shorea
leprosula), dan jelutung (Dyera lowii). Tanaman sela ditanam pada saat kelapa
sawit berumur sekitar 7–8 tahun. Terdapat 56 plot contoh yang dibangun oleh tim
CRC-900/EFForTS dengan variasi luas plot antara lain: 40x40 meter, 20x20
meter, 10x10 meter, dan 5x5 meter (Gambar 4). Masing-masing plot memiliki
berbagai tingkat keragaman jenis (tanaman sela) yang berbeda-beda seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan informasi pada Gambar 5, plot
eksperimen milik CRC-990/EFForTS tidak hanya memiliki plot agroforestri, akan
tetapi juga memiliki plot monokultur. Plot tersebut dibuat dengan tujuan untuk
melihat perbandingan respon tanaman sela pada pola monokultur dan pola
agroforestri.
Jumlah pokok kelapa sawit pada plot agroforestri buatan CRC-
990/EFForTS berjumlah rata-rata 13 pokok kelapa sawit, pada plot berukuran
40x40m. Selanjutnya, jarak tanam tanaman sela pada plot agroforestri yaitu 2x2
meter. Artinya, apabila dikonversikan pada luas 1 hektar terdapat sekitar 81 pokok
kelapa sawit, dan sekitar 2500 tanaman sela pada lahan dengan luas 1 hektar.
Proporsi jumlah jenis tanaman sela yang digunakan untuk tanaman sela bervariasi
pada masing-masing plot. Plot dengan tingkat keragaman tertinggi menanam
seluruh jenis tanaman sela dengan proporsi jumlah jenis yang kurang lebih sama
rata.
Salah satu plot agroforestri milik CRC-990/EFForTS yaitu Plot B11,
berlokasi di Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Plot B11
dibangun sejak tahun 2014. Jenis tanah yang dominan di wilayah ini adalah
acrisol liat (Allen et al. 2015). Secara umum, wilayah plot CRC-990/EFForTS
masuk pada ekosistem hutan hujan dataran rendah. Wilayah tersebut sebagian
besar didominasi oleh jenis pada famili Dipterocarpaceae, yang menjadi vegetasi
asli (Laumonier et al. 2010). Plot agroforestri yang dibangun oleh CRC-
900/EFForTS berlokasi di dalam wilayah hak guna usaha (HGU) PT Humusindo
Makmur Sejati (PT HMS). Perusahaan tersebut menerapkan pola kelapa sawit
monokultur dengan jarak tanam 9x9 meter dengan pola segitiga sama sisi,
sehingga dalam satu hektar berisi sekitar 135–140 pokok kelapa sawit.
Berdasarkan hasil observasi lapang pada Plot B11, didapatkan informasi
bahwa jenis yang digunakan untuk tanaman sela pada plot agroforestri dapat
tumbuh, meskipun tidak seluruh individu tanaman sela dapat seluruhnya tumbuh.
Selain itu, kelapa sawit yang ada di dalam plot juga dapat tetap berbuah dan
dipanen. Pertumbuhan sungkai, jengkol, dan petai dapat dikatakan baik, karena
diameter batang dari ketiga tanaman tersebut sudah cukup besar hanya dalam
kurun waktu 5 tahun. Tercatat jengkol sudah mengalami dua kali panen sampai
pada tahun 2019. Apabila dibandingkan dengan jenis lain, tanaman jengkol
cenderung memiliki diameter lebih besar diantara tanaman lain.
Selain jengkol, sungkai juga cenderung memiliki pertumbuhan yang cukup
bagus bila dibandingkan dengan jenis lain. Sungkai yang ada pada plot
agroforestri memiliki diameter yang hampir sama besarnya dengan jengkol,
namun sedikit lebih kecil. Apabila dilihat dari stratifikasi tajuk, sungkai
cenderung mendominasi karena memiliki tinggi pohon yang paling tinggi
dibandingkan jenis lain. Selain sungkai, petai juga memiliki ukuran tinggi pohon
25
yang hampir menyamai jengkol. Namun, kondisi diameter batang petai lebih kecil
daripada jengkol dan sungkai. Petai juga cenderung menggugurkan sebagian besar
daunnya pada saat musim kemarau. Sampai pada tahun 2019, petai masih belum
pernah berbuah.
Jenis meranti dan jelutung cenderung memiliki pertumbuhan tinggi pohon
yang sedikit lebih kecil daripada jengkol. Meskipun meranti (famili
Dipterocarpaceae) tergolong jenis semi intoleran (Setiawan et al. 2015),
pertumbuhan ukuran tinggi jenis meranti hampir menyamai ukuran tinggi jengkol.
Jelutung juga memiliki ukuran tinggi dan diameter yang kurang lebih sama
dengan tinggi meranti pada saat observasi lapang dilakukan. Pertumbuhan meranti
dan jelutung dapat dikatakan cukup baik, meskipun tidak sedikit tanaman sela
meranti dan jelutung yang mati di dalam plot. Penyebab kematian tanaman sela
yang ada di dalam plot cenderung karena akibat aktivitas manusia, yaitu terinjak
dan tertimpa tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pada saat kegiatan pemanenan
TBS dilakukan.
Lain halnya dengan durian, durian pada Plot B11 cenderung banyak yang
mati. Meskipun demikian, tetap ada durian yang hidup, namun pertumbuhannya
cenderung tidak sebaik tanaman sela lainnya. Pertumbuhan durian pada plot
agroforestri terlihat tertekan, diindikasikan dengan diameter yang kecil dan
ukuran tinggi tanaman yang paling kecil daripada jenis lain. Saat musim kemarau
panjang (pada saat observasi dilakukan), durian menggugurkan hampir sebagian
besar daunnya. Sampai pada waktu penelitian dilakukan, pohon durian belum ada
yang berbuah. Hasil temuan pada observasi lapang didapatkan informasi bahwa
durian yang ada pada Plot B11 dapat tumbuh dengan baik pada plot monokultur.
Pertumbuhan durian jauh lebih baik pada plot monokultur dibandingkan dengan
plot agroforestri.
Gambar 4 Desain plot agroforestri berbasis kelapa sawit yang diterapkan oleh
CRC-990/EFForTS (Gérard et al. 2017)
26
Gambar 5 Jumlah dan tingkat keragaman tiap plot penelitian yang dibangun oleh
CRC-990/EFForTS diadaptasi dari Teuscher et al. (2016)
perbaikan lingkungan, pelestarian tumbuhan, dan satwa liar (REKI 2009). Areal
yang dijadikan sebagai prioritas restorasi ekosistem yaitu lokasi yang masih
memiliki peluang untuk diperbaiki kondisi keanekaragaman hayatinya dalam
skala lanskap, dan mempunyai nilai konservasi tinggi atau high conservation
value (HCV), lokasi yang mengalami degradasi, serta lokasi yang berpotensi
mendukung perbaikan kesejahteraan masyarakat (lokasi yang masih mengandung
nilai sosial dan peluang ekonomi tinggi) (REKI 2008; 2009).
Areal restorasi ekosistem tersebut secara keseluruhan merupakan ekosistem
hutan dataran rendah kering bekas tebangan HPH/IUPHHK-HA PT Asialog.
Kawasan hutan harapan juga dinyatakan sebagai Important Bird Area (daerah
penting burung) yang secara Internasional telah diketahui sebagai kawasan
penting keanekaragaman hayati (REKI 2009). Berdasarkan hasil interpretasi Citra
Landsat dan survei lapangan, areal Hutan Harapan memiliki tiga tipe tutupan
hutan yaitu hutan produktif (19.747 ha), kurang produktif (8.522 ha), dan tidak
produktif (18.116 ha) (REKI 2008). Hasil pengamatan yang dilakukan oleh PT
REKI melaporkan bahwa di dalam area Hutan Harapan terdapat habitat mamalia
yang terancam punah seperti gajah dan harimau sumatera, serta lebih dari 302
jenis burung, 50 jenis mamalia dan 74 jenis amfibi dan reptil (REKI 2009).
Sebelum PT REKI masuk sebagai pengelola kawasan hutan tersebut, sudah
ada beberapa kelompok masyarakat yang mendiami di dalam kawasan Hutan
Harapan. Tercatat hingga saat ini terdapat sekitar 22 kelompok masyarakat yang
mendiami di dalam kawasan Hutan Harapan (Gambar 6). Sebagian besar
kelompok masyarakat melakukan kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan
Hutan Harapan dengan menanam kelapa sawit. Berdasarkan hasil informasi dari
beberapa sumber terkait, tercatat sekitar ±17.000 hektar kawasan Hutan Harapan
telah digarap (dirambah) oleh masyarakat. Adanya penggarapan lahan yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut dilatarbelakangi karena faktor ekonomi.
Masyarakat memanfaatkan areal Hutan Harapan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan usaha kebun kelapa sawit, karet, dan lain-lain. Saat ini
perusahaan masih terus berusaha untuk melakukan upaya restorasi dengan
menanam bibit pohon di kawasan Hutan Harapan yang berada di wilayah
administrasi Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Menurut informasi dari
beberapa pihak terkait, perusahaan telah menanam ± 1.550.000 bibit pohon
dengan luas wilayah sekitar ± 4.850 hektar.
28
Gambar 6 Peta areal kerja (PAK) PT REKI, dan lokasi kelompok masyarakat di
dalam kawasan Hutan Harapan (Sumber: Dokumen digital PT REKI)
Di dalam areal Hutan Harapan telah ada plot agroforestri atau lebih dikenal
dengan nama plot kebun campuran yang berlokasi di Desa Kunangan Jaya 1.
Kebun campuran tersebut digunakan sebagai kebun percontohan untuk
pengembangan tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di sela kelapa sawit.
Pengembangan kebun campuran tersebut diinisiasi oleh pihak manajemen Hutan
Harapan. Sebanyak 3 plot kebun campuran telah dibuat, dengan tanaman yang
dikembangkan pada kebun campuran tersebut antara lain: kelapa sawit, durian,
mangga, petai, alpukat, karet dan jengkol. Luas plot kebun campuran tersebut
masing-masing 1 ha. Plot kebun campuran tersebut, pengelolaannya diserahkan
kepada kelompok masyarakat yang berada di sekitar Desa Kunangan Jaya 1. Saat
observasi di lapangan dilakukan, plot kebun campuran tersebut telah berumur 3
tahun.
Kondisi kebun campuran yang dikembangkan sebagai eksperimen
pengembangan HHBK di sela kelapa sawit tidak dapat berjalan sesuai dengan
tujuan. Banyaknya tanaman mati dan hilang akibat hama babi maupun penyebab
lain, menyebabkan kebun campuran tidak dapat tumbuh dan berkembang seperti
pada Plot B11 yang dibangun oleh CRC-990/EFForTS (Gambar 7). Hal tersebut
terjadi karena rendahnya intensitas pengelolaan dan pemeliharaan. Tidak adanya
peraturan yang jelas terkait kewajiban untuk menjaga dan mengelola kebun
campuran, menjadi faktor yang menyebabkan tidak dapat tercapainya tujuan
pengembangan kebun campuran tersebut. Selain itu, kurangnya engagement
antara perusahaan dan masyarakat yang tidak saling bahu-membahu menjadi
kunci tidak berhasilnya pengembangan kebun campuran.
29
dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berasal bukan dari Suku Batin
Sembilan maupun Suku Melayu Jambi atau Sumatera Selatan. Suku dari
masyarakat Migran yang banyak berada di dalam kawasan Hutan Harapan
didominasi Suku Jawa dan Suku Batak. Masyarakat Migran memiliki tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan bercocok tanam yang lebih baik
daripada masyarakat Batin Sembilan. Masyarakat Migran sudah memiliki
pengetahuan dalam bercocok tanam, mengelola lahan, dan memasarkan hasil
pertanian dengan baik. Namun, adanya modal sosial tersebut justru membuat
masyarakat Migran melakukan kegiatan penggarapan (perambahan) lahan di
dalam kawasan Hutan Harapan dengan tanaman kelapa sawit. Selain itu, ada juga
masyarakat Migran yang memanfaatkan lahan hutan dengan menanam karet untuk
disadap getahnya.
Kelompok masyarakat Melayu adalah kelompok masyarakat yang bersuku
Melayu, yang menempati kawasan Hutan Harapan di wilayah Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Jambi. Berdasarkan informasi dari beberapa pihak terkait,
didapatkan informasi bahwa masyarakat Melayu yang sebagian besar berada di
Desa Sako Suban memiliki ketergantungan terhadap sungai dan hutan. Adanya
hutan yang berada di dekat dengan pemukiman dimanfaatkan dengan cara
memungut hasil kayu dan non-kayu seperti madu, buah-buahan, hewan buruan,
tanaman obat-obatan dan lain-lain. Seperti pada umumnya masyarakat adat yang
ada di Pulau Sumatera, masyarakat Desa Sako Suban memiliki latar belakang
sejarah sebagai petani peladang berpindah. Seiring dengan bertambahnya populasi
penduduk dan keterbatasan lahan, pola pertanian ladang berpindah ini suda mulai
ditinggalkan oleh masyarakat Desa Sako Suban, terlebih lagi sejak masuknya izin
konsesi yang diberikan kepada perusahaan di bidang kehutanan (REKI 2009).
Saat ini masyarakat Desa Sako Suban sudah mengenal pertanian (perkebunan)
subsisten, meskipun ada sebagian kecil yang sudah secara komersil (pertanian
belum terlalu intensif).
Guna keperluan analisis kelayakan ekonomi dan kelayakan sosial dari pola
agroforestri berbasis kelapa sawit, maka dipilihlah aktor kunci (key actor) sebagai
responden. Responden yang terpilih untuk diwawancara pada penelitian ini
berjumlah 36 orang. Responden yang terpilih merupakan masyarakat yang
memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan Hutan Harapan. Responden yang
terpilih merupakan beberapa perwakilan dari pengurus kelompok tani (KT) yang
bersedia untuk diwawancara, antara lain: KT Bungin Mandiri, KT Berkah Jaya,
KT Hijau Alam Lestari, KT Tani Jaya, KT Lambang Jernang, Kelompok
Gelinding, KT Mekar Jaya Indah (Kelompok Irwan Simatupang). Karakteristik
dan kondisi sosial-ekonomi responden yang terpilih dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 6.
Masing-masing masyarakat memiliki motivasi tersendiri dalam melakukan
penggarapan lahan di dalam kawasan Hutan Harapan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden yang terpilih, secara umum ada 3 motivasi yang
membuat masyarakat tergerak untuk melakukan penggarapan lahan (perambahan)
di dalam kawasan Hutan Harapan. Motivasi tersebut antara lain: tidak memiliki
lahan garapan, dorongan pihak lain, dan untuk diwariskan kepada anak/cucu.
Persentase motivasi responden dalam melakukan penggarapan lahan di dalam
kawasan Hutan Harapan dapat dilihat pada Tabel 7. Pemilihan jenis tanaman
untuk dikelola sebagai tanaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
32
Permen LHK No.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, bahwa “Kemitraan
Kehutanan (KK) adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola
hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai
kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan”. Seluruh
kelompok tani yang telah berMoU dengan manajemen hutan harapan, saat ini juga
telah menerima SK KULIN KK atau surat keputusan pengakuan perlindungan
kemitraan kehutanan. SK KULIN KK menjadi bukti yang juga memperkuat
legalnya penggarapan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, karena KULIN KK
tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tabel 8 Kelompok tani yang telah melakukan MoU dengan PT REKI dengan
skema kemitraan kehutanan
Meninjau dari isi MoU tersebut, dapat dikatakan bahwa aspek legal formal
dari penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit telah ada pada kelembagaan
kelompok tani masyarakat Hutan Harapan. Namun, dorongan untuk
pengembangan agroforestri berbasis kelapa sawit ini hanya dirasakan oleh
kelompok tani yang telah berMoU dengan manajemen Hutan Harapan. Tidak ada
peraturan yang mengikat bagi kelompok tani yang belum melakukan MoU untuk
menerapkan agroforestri berbasis kelapa sawit. Adanya perbedaan kewajiban ini
menimbulkan kelompok tani yang telah berMoU menjadi enggan untuk
melaksanakan apa yang telah tertulis pada naskah MoU. Hal itu terjadi karena
belum ada tindakan yang tegas pada kelompok tani yang belum berMoU dengan
manajemen Hutan Harapan, sehingga kelompok tani yang telah berMoU merasa
tidak memiliki keistimewaan dibandingkan yang belum berMoU.
Sebanyak 14 kelompok masyarakat yang belum MoU dengan PT REKI
tersebut, antara lain: Kelompok Eko, Kelompok Irwan S, KT Simpang Macan
Dalam (SMD), Kelompok Masyarakat Alam Sakti, Kelompok Masyarakat
Tanjung Mandiri, Kelompok Masyakarakat Dampingan SPI, Kelompok Jupri,
Kelompok Burhan, Kelompok Masyarakat Sako Suban, Kelompok Masyarakat
Rompok Baginde, Kelompok Masyarakat Rompok Landai, Kelompok Masyarakat
Rompok Aur, dan Kelompok Masyarakat Rompok Bato. Kelompok masyarakat
(kelompok tani) yang belum MoU ini cenderung resisten (menolak) bekerja sama
dengan skema kemitraan kehutanan dengan PT REKI, dengan kata lain kelompok
masyarakat tersebut juga tidak mau mengikuti kebijakan dari PT REKI untuk
menanam tanaman kehutanan di sela kelapa sawit. Selain itu kelompok yang
belum MoU tersebut cenderung menginginkan lahan yang digarap atau ditempati
untuk lepas dari kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL). MoU yang
belum menyeluruh kepada kelompok tani yang berada di dalam kawasan Hutan
Harapan menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan pengelolaan hutan lestari
berdasarkan prinsip restorasi ekosistem. Selain itu, MoU yang belum menyeluruh
juga mengakibatkan keterikatan (engagement) antara manajemen Hutan Harapan
dengan kelompok tani yang telah berMoU menjadi renggang. Hal tersebut
mengakibatkan MoU yang telah disepakati tidak dijalankan dengan sepenuhnya
oleh kelompok tani yang telah berMoU.
35
Kriteria Nilai
NPV Rp 62.644.836
BCR 1,39
IRR 20,77%
Gambar 8 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola kelapa sawit
monokultur
36
Tabel 11 Hasil perhitungan NPV, BCR, dan IRR pola agroforestri berbasis kelapa
sawit Plot B11
Kriteria Nilai
NPV Rp 228.344.740
BCR 1,86
IRR 24,60%
37
Gambar 9 Grafik total biaya dan pendapatan per tahun pola agroforestri berbasis
kelapa sawit Plot B11
Hasil analisis menunjukkan bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit
layak secara finansial, karena nilai NPV>0, BCR>1, dan IRR>i (Tabel 11)
(Gittinger et al. 1993; Kadariah et al. 1999; Sutojo 2000). Pendapatan terbesar
dari pola ini akan didapatkan pada tahun ke-25 atau akhir periode perencanaan
(Gambar 9). Pola agroforestri berbasis kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata
potensi pendapatan per tahun sebesar Rp 105.519.905/ha, atau rata-rata potensi
pendapatan per bulan sebesar Rp 8.793.325/ha. Biaya yang dikeluarkan untuk
penerapan pola ini cukup besar dengan rata-rata biaya per tahun sebesar Rp
42.404.307/ha, atau biaya rata-rata per bulan sebesar Rp 3.533.692/ha. Oleh
karena itu, potensi keuntungan bersih dari penerapan agroforestri berbasis kelapa
sawit pada plot B11 adalah sebesar Rp 5.259.633/ha/bulan.
Hasil observasi menunjukkan bahwa tidak semua tanaman sela dapat
tumbuh dengan baik pada plot agroforestri berbasis kelapa sawit. Tanaman sela
yang dapat tumbuh dengan baik pada plot agroforestri antara lain jengkol, petai,
dan sungkai. Saat observasi dilakukan, hanya tanaman sela jengkol yang sudah
berbuah dan dipanen. Di sisi lain, terdapat tanaman yang sela yang cenderung
tidak dapat tumbuh dengan baik pada plot agroforestri, yaitu durian. Durian dapat
tumbuh dengan baik pada plot dengan keragaman rendah (hanya menanam satu
jenis tanaman sela) yang tidak ada pokok kelapa sawit di dalamnya.
Selain itu, pertumbuhan jelutung juga dapat dikatakan tidak sebaik tanaman
sela yang lain. Terlalu sempitnya penerapan jarak tanaman sela juga diindikasikan
berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dan pertumbuhan
dari tanaman sela. Di samping itu, tidak jarang kegiatan pemanenan tandan buah
segar kelapa sawit yang ada di dalam plot jatuh menimpa tanaman sela, sehingga
mengakibatkan tanaman sela mati. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan
penentuan jarak tanam yang ideal dari tiap jenis tanaman sela, serta pemilihan
jenis yang sesuai untuk meningkatkan peluang keberhasilan pola agroforestri
berbasis kelapa sawit.
Pola agroforestri berbasis kelapa sawit secara umum lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan pola kelapa sawit monokultur. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Yuniati (2018), yang menyatakan bahwa
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit lebih menguntungkan secara
38
ekonomi, daripada kelapa sawit monokultur, pada studi kasus kelayakan restorasi
di hutan lindung gambut (HLG) Sungai Bram Itam, Provinsi Jambi. Penerapan
agroforestri secara umum akan menghasilkan diversifikasi produk dari suatu
pengelolaan lahan, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan yang akan
diterima oleh pengelolanya (Muryunika 2015; Phimmavong et al. 2019; Wanderi
et al. 2019). Pemilihan jenis yang digunakan untuk agroforestri menjadi faktor
utama yang dapat meningkatkan pendapatan, selain dari pola pengelolaan yang
diterapkan (Phimmavong et al. 2019; Wanderi et al. 2019; Yuniati 2018). Oleh
karena itu, dalam memilih jenis yang digunakan untuk penerapan agroforestri,
perlu mempertimbangkan kesesuaian jenis tanaman sela, kondisi pasar, dan resiko
bisnis.
Tabel 13 Kombinasi jenis dan jumlah tanaman sela pada simulasi agroforestri
berbasis kelapa sawit dengan mempertimbangkan jarak tanam ideal
Komposisi Jenis (batang)
Pola Kombinasi
Kelapa Jengkol Petai Durian Sungkai Meranti Jelutung
Tanam jenis
Sawit (3x3m) (3x3m) (5x5m) (3x3m) (3x3m) (3x4m)
Sawit
I 140
Monokultur
II Sawit Jengkol 81 1.023
III Sawit Petai 81 1.023
IV Sawit Durian 81 341
V Sawit Sungkai 81 1.023
VI Sawit Meranti 81 1.023
VII Sawit Jelutung 81 769
(a)
(b)
Gambar 10 Ilustrasi a) penerapan agroforestri dengan unit-based approach
b) penerapan agroforestri dengan landscape-based approach.
Hasil analisis finansial seperti yang dapat dilihat pada Tabel 14,
menunjukkan bahwa seluruh pola agroforestri berbasis kelapa sawit yang
disimulasikan secara finansial layak untuk diimplementasikan, karena
menghasilkan nilai NPV>0, BCR>1, dan IRR>i (Gittinger et al. 1993; Kadariah
et al. 1999; Sutojo 2000). Hasil yang tercantum tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Yuniati (2018), bahwa agroforestri berbasis kelapa sawit akan
41
menghasilkan potensi pendapatan per bulan yang lebih tinggi daripada pola kelapa
sawit monokultur. Namun, tentunya diperlukan pemilihan jenis tanaman yang
sesuai untuk dijadikan sebagai tanaman sela. Selain itu, menurut Paul et al. (2017)
juga menyatakan bahwa pola agroforestri secara langsung akan dapat
menghasilkan nilai ekonomi dan ekologi yang lebih baik bila dibandingkan
dengan pola monokultur mosaic (mosaic system).
Berdasarkan hasil penghitungan yang disajikan pada Tabel 14, potensi
keuntungan yang dihasilkan dari masing-masing simulasi pola agroforestri lebih
tinggi daripada potensi keuntungan pola kelapa sawit monokultur. Pola
agroforestri dengan campuran kelapa sawit dan jengkol menghasilkan potensi
keuntungan per bulan tertinggi daripada pola lain. Selain itu, pola kelapa sawit
dan durian juga berpotensi untuk dipilih sebagai tanaman campuran pada
agroforestri berbasis kelapa sawit. Namun, diperlukan pemilihan jenis durian yang
tepat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan baik. Durian yang digunakan pada
plot B11 CRC-990/EFForTS merupakan jenis durian bermutu rendah, sehingga
ada kemungkinan mengakibatkan durian yang ada pada plot B11 tidak dapat
tumbuh dengan baik.
Pola agroforestri yang direkomendasikan masih jauh lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan pola kelapa sawit monokultur. Namun, potensi
pendapatan dari pola agroforestri yang dipromosikan ini terpaut cukup jauh bila
dibandingkan dengan pola agroforestri yang diterapkan oleh CRC-990/EFForTS
pada plot B11. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pola agroforestri yang diterapkan
pada plot B11 dianalisis dengan mengasumsikan semua tanaman sela dapat
tumbuh dan berbuah dengan baik, dan tidak memasukkan/mempertimbangkan
jumlah tanaman yang mati. Penentuan jarak tanam akan berpengaruh pada biaya
dan pendapatan dari pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Oleh karena itu,
dengan memasukkan jarak tanam ideal sebagai faktor pembatas untuk tanaman
sela, maka pola agroforestri yang direkomendasikan ini diharapkan dapat jauh
lebih realistis untuk direalisasikan.
dapat disisipi dengan tanaman HHBK. Selain itu, terdapat 5 responden yang telah
berMoU namun secara lisan menolak untuk melakukan penanaman HHBK di sela
kelapa sawit. Alasan responden yang telah berMoU namun tetap menolak secara
lisan untuk mengembangkan agroforestri berbasis sawit adalah karena memiliki
persepsi bahwa kelapa sawit tidak dapat dicampur dengan tanaman lain dalam
satu hamparan. Selain itu, sebagian besar responden juga beralasan bahwa tidak
adanya modal untuk membeli bibit tanaman HHBK sebagai tanaman sisipan.
Demplot agroforestri/kebun campuran yang tidak tumbuh dengan baik karena
tidak adanya perawatan di areal MoU (Dusun Kunangan Jaya 1), juga menjadi
alasan masyarakat enggan untuk melakukan penanaman sisipan di sela kelapa
sawit. Tentunya dari hasil wawancara tersebut, dapat dijustifikasi bahwa
masyarakat yang telah MoU pun tidak seluruhnya menerima anjuran untuk
menanam tanaman sela (HHBK) di sela kelapa sawit.
Sebanyak 26 responden yang secara lisan menerima untuk melaksanakan
penanaman tanaman HHBK di sela kelapa sawit diidentifikasi lebih lanjut terkait
kondisi kebun kelapa sawitnya. Secara keseluruhan, keberterimaan secara sikap
dari responden yang merepresentasikan kelompok masyarakat yang telah berMoU
untuk menanam tanaman HHBK di sela kelapa sawit sangatlah kecil. Hal tersebut
dapat dilihat dengan kondisi kebun kelapa sawit milik responden, yang hingga
saat ini tidak ada tanaman sela hingga 100 batang. MoU yang disepakati sejak 3
sampai dengan 5 tahun yang lalu tidak dilaksanakan sesuai dengan perjanjian awal
untuk melakukan penanaman tanaman HHBK di sela kelapa sawit dengan
tanaman HHBK (kehutanan) sebanyak seratus (100) batang dalam setiap hektar
kebun kelapa sawit masyarakat. Masyarakat hanya menanam tanaman HHBK
(karet) pada lahan garapan yang masih kosong (belum ditanami atau baru dibuka).
Tingginya potensi keuntungan dari penerapan pola agroforestri berbasis kelapa
sawit tidak membuat masyarakat tertarik untuk menerapkannya. Di sisi lain, tidak
sedikit juga lahan yang baru dibuka tersebut ditanami kelapa sawit. Alasan
beberapa masyarakat tersebut menanam kelapa sawit pada lahan garapan mereka
setelah MoU dilakukan adalah karena mudahnya akses pasar kelapa sawit, dan
sawit dapat berbuah setiap bulan sehingga masyarakat dapat memperoleh uang
setiap bulannya.
Meninjau dari hasil identifikasi tersebut, tentunya dapat dikatakan bahwa
MoU yang sudah disepakati tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi, hal tersebut terjadi karena beberapa penyebab,
antara lain: kurangnya pengawasan dari perusahaan, kurangnya engagement
antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat yang kesulitan dalam
pengadaan bibit tanaman berkayu, dan pasar komoditas kehutanan (kayu dan
bukan kayu) yang tidak sebesar kelapa sawit, serta sulitnya akses pasar pada
komoditas lain selain kelapa sawit. Rendahnya legitimasi masyarakat terhadap
MoU yang sudah disepakati, secara langsung dapat menjawab terkait kelayakan
sosial pola agroforestri berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit saat ini tidak layak secara sosial.
45
Faktor pemungkin
Faktor pemungkin adalah faktor-faktor atau variabel-variabel yang menjadi
syarat cukup dan syarat perlu, atau memungkinkan untuk memfasilitasi perilaku
seseorang dan/atau sekelompok orang (Gilmore 2013; Notoatmodjo dan Soekidjo
2003). Faktor ini mencakup banyak hal, yaitu ketersediaan sarana/prasarana atau
fasilitas bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha kehutanan dalam konteks
penelitian ini. Fasilitas ini pada hakikatnya akan mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku atau sikap masyarakat untuk menerima pola agroforestri
berbasis kelapa sawit, dengan kata lain faktor-faktor ini disebut juga faktor
pendukung. Menurut (Handoko et al. 2012) faktor pendukung dalam terwujudnya
usaha kehutanan adalah adanya kelembagaan masyarakat secara formal (seperti
kelompok tani), dan kelembagaan usaha (seperti koperasi), dan jaringan dengan
pasar, serta sarana/prasana yang menunjang guna akses menuju pasar.
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis faktor pemungkin, pasar menjadi
faktor pemungkin yang paling penting pada penerimaan masyarakat terhadap
pengembangan jenis lain selain tanaman kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan. Kondisi pasar kelapa sawit yang begitu mudah dijangkau oleh
masyarakat yang mendiami kawasan Hutan Harapan, menjadi bargaining power
tersendiri bagi masyarakat untuk mengelola dan menggantungkan hidupnya dari
usaha kebun kelapa sawit. Meskipun harga TBS yang fluktuatif, masyarakat tetap
48
memilih kelapa sawit karena merasa sangat dimanjakan dengan akses pasar kelapa
sawit yang begitu mudah. Ketersediaan bibit tanaman sela juga menjadi faktor
pemungkin agar pola agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi
konflik dapat terlaksana. Tidak dipungkiri bahwa untuk mendapatkan dan
menyediakan bibit tanaman sela tidaklah mudah dan murah. Selain itu, adanya
mind-set masyarakat terkait belum adanya kepastian akan keberhasilan dari
penerapan agroforestri, juga memengaruhi masyarakat untuk tidak mau
berinvestasi dengan membeli bibit tanaman sela guna penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, dapat
dikatakan bahwa faktor pemungkin yang diperlukan guna dapat terlaksananya
penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit, antara lain: 1) keberadaan pasar dan
akses pasar yang mudah terhadap produk tanaman sela; 2) ketersediaan bibit
untuk tanaman sela; serta 3) plot contoh penerapan agroforestri dengan tanaman
sela yang sesuai dengan diversifikasi yang optimal, sehingga dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Selain itu, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan sebelum
mempromosikan agroforestri berbasis kelapa sawit di dalam kawasan Hutan
Harapan sebagai upaya resolusi konflik. Upaya-upaya tersebut, dapat dilakukan
oleh pemerintah selaku aktor/stakeholder pengurus hutan dan/atau perusahaan
selaku aktor pengelola hutan. Harapannya, upaya yang dilakukan dapat
mendukung implemetasi agroforestri berbasis kelapa sawit sebagai upaya resolusi
konflik khususnya di lokasi studi (kawasan Hutan Harapan). Secara umum ada 3
upaya yang perlu dilakukan, antara lain: 1) perlu adanya kajian lanjutan mengenai
kesesuaian jenis tanaman sela dan diversifikasi yang sesuai dalam penerapan
agoroforestri berbasis kelapa sawit; 2) perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai
penguatan kelembagaan masyarakat Hutan Harapan untuk implementasi pola
agroforestri berbasis kelapa sawit; 3) perlu adanya kajian lanjutan mengenai
kondisi pasar (harga, supply, demand, dll), peta pasar, serta resiko bisnis pada
komoditas yang dikembangkan pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit.
Pemilihan jenis tanaman sela (sisipan) menjadi salah satu faktor
keberhasilan penerapan pola agroforestri berbasis kelapa sawit dari sisi produksi.
Jenis yang dipilih untuk tanaman sela, harus dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik dengan kelapa sawit. Diversifikasi jenis tanaman yang dikembangkan
pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit juga penting dipertimbangkan agar
pola agroforestri yang diterapkan nantinya memberi dampak positif terhadap
ekologi dan ekonomi di dalam kawasan Hutan Harapan, sesuai dengan tujuan
dipromosikannya pola agroforestri sebagai upaya resolusi konflik tersebut.
Adanya kepastian jenis tanaman sela yang dapat tumbuh dengan kelapa sawit, dan
proporsi diversifikasi tanaman yang sesuai diharapkan dapat meningkatkan
keberhasilan perapan agroforestri berbasis kelapa sawit. Oleh karena itu,
diperlukan kajian mengenai kesesuaian jenis tanaman sela dan diversifikasi yang
sesuai dalam penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit.
Kajian lanjutan mengenai penguatan kelembagaan masyarakat Hutan
Harapan untuk implementasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit sangat
diperlukan, agar hasil kajian ini dapat diimplementasikan di lokasi studi.
Penguatan kelembagaan seperti membentuk koperasi, menjalin kerjasama dengan
badan usaha lain, sehingga kegiatan produksi dan pemasaran dapat dilakukan
dengan baik. Tidak dipungkiri bahwa kolaborasi dalam kegiatan pengelolaan
49
hutan dengan pihak di luar kepentingan terhadap kawasan hutan itu sendiri perlu
diperlukan (Wondolleck dan Yaffee 2000). Kolaborasi dengan perusahaan atau
industri di luar kontestasi kepentingan di dalam kawasan Hutan Harapan sangat
diperlukan, misalnya kolaborasi dengan perusahaan atau industri lain yang dapat
berperan sebagai off-taker produk hasil penerapan agroforestri, sehingga tercipta
rantai bisnis yang dapat menjamin terjualnya produk dari penerapan pola
agroforestri tersebut. Di sisi lain, pendampingan untuk mengubah mind-set
masyarakat yang saat ini masih berpikir bahwa kelapa sawit tidak bisa ditanam
bersamaan dengan tanaman HHBK sangat diperlukan.
Adanya kepastian pasar dan peta distribusi pasar yang jelas dari komoditas
yang dikembangkan pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit, menjadi hal
penting yang perlu dikaji lebih dalam. Tidak dipungkiri bahwa ketersediaan pasar,
kepastian pasar, dan kemudahan akses pasar menjadi faktor utama yang
menyebabkan masyarakat memilih usaha kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tentunya, agar masyarakat tertarik untuk menerapkan agroforestri
berbasis kelapa sawit, maka tanaman sela yang dipilih harus memiliki “iklim”
pasar yang minimal sama dengan kelapa sawit. Selain itu, informasi mengenai
kondisi pasar seperti angka permintaan (demand), penawaran (supply), dan harga
juga penting untuk dikaji lebih dalam agar pengembangan pola agroforestri
berbasis kelapa sawit dapat disesuaikan juga dengan kondisi pasar yang ada.
Sejalan dengan hal tersebut, maka resiko bisnis dari penerapan agroforestri
berbasis kelapa sawit juga dapat diminimalisir agar tidak mengalami kegagalan
yang berdampak besar bagi pengelolanya.
Simpulan
Pola agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara finansial dan berpotensi
mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Hutan Harapan, dengan demikian pola
agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara ekonomi untuk dipromosikan
sebagai upaya resolusi konflik pada konflik kepentingan di kawasan Hutan
Harapan. Berdasarkan hasil perhitungan, pola agroforestri berbasis kelapa sawit
dengan tanaman sela jengkol menghasilkan potensi keuntungan terbesar, sehingga
sangat berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Hutan Harapan.
Selain itu, tanaman sela jengkol pada Plot B11 juga dapat tumbuh dan berbuah
dengan baik. Di sisi lain, keberterimaan masyarakat Hutan Harapan terhadap
agroforestri berbasis kelapa sawit sangatlah kecil. Masyarakat masih belum
melaksanakan MoU untuk menanam tanaman HHBK di sela kelapa sawit. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa pola agroforestri berbasis kelapa sawit saat ini
dapat dikatakan tidak layak secara sosial. Terdapat tiga faktor pemungkin yang
diperlukan guna dapat terlaksananya penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit,
antara lain: 1) keberadaan pasar dan akses pasar yang mudah terhadap produk
tanaman sela; 2) ketersediaan bibit untuk tanaman sela; serta 3) plot contoh
50
penerapan agroforestri dengan tanaman sela yang sesuai dengan diversifikasi yang
optimal, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Saran
1. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai kepastian kesesuaian jenis tanaman sela
dan diversifikasi yang sesuai dalam penerapan agoroforestri berbasis kelapa
sawit;
2. Perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai penguatan kelembagaan masyarakat
Hutan Harapan agar pola agroforestri berbasis kelapa sawit dapat
diimplementasikan di lokasi studi;
3. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai kondisi pasar (harga, supply, demand,
dll), serta resiko bisnis pada komoditas hasil dari jenis yang dikembangkan
pada pola agroforestri berbasis kelapa sawit.
4. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai dampak (positif) ekologi yang
dihasilkan dari penerapan agroforesti berbasis kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 1 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
jengkol, petai, meranti, dan sungkai
Lampiran 2 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
durian.
57
Lampiran 3 Ilustrasi pola agroforestri berbasis kelapa sawit dengan tanaman sela
jelutung.
Lampiran 4 Cash flow pola kelapa sawit monokultur
58
Lampiran 5 (lanjutan)
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 22.494.857 21.595.063
b. Penjualan jengkol kg 6.000 30.024.000 35.028.000 40.032.000 45.036.000 50.040.000 55.044.000
c. Penjualan petai papan 1.000 18.765.000 20.850.000 22.935.000
d. Penjualan durian buah 15.000
e. Penjualan kayu sungkai m3 1.800.000
f. Penjualan kayu meranti m3 1.000.000
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 53.456.143 58.460.143 63.464.143 87.233.143 93.384.857 99.574.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 17.219.689 17.135.227 16.926.249 21.169.770 20.621.174 20.007.161
Lampiran 5 (lanjutan)
Biaya/ satuan Tahun ke-
Rincian Satuan
(Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Penyiapan peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Ppembersihan lahan) paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasional paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jengkol batang 12.000
- Petai batang 17.000
- Durian batang 30.000
- Sungkai batang 10.000
- Meranti batang 8.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sela
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida (hanya untuk sawit)
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
d. Biaya panen jengkol paket 11.094.000 10.635.300 10.199.535 9.785.558 9.392.280 9.018.666 8.663.733 8.326.546
e. Biaya panen petai paket 5.673.000 6.298.500 6.298.500 5.985.750 5.547.900 5.172.600 4.859.850 4.672.200
f. Biaya panen durian paket 36.075.000 42.330.000 46.500.000 46.500.000 46.500.000 46.500.000 42.330.000 40.245.000
g. Biaya panen sungkai paket 2.986.920 21.399.075
h. Biaya panen meranti paket 2.975.616 21.399.075
i. Biaya panen jelutung paket 15.066.857 15.066.857 15.066.857 15.066.857 14.985.514 14.908.239 14.834.827 14.765.085
TOTAL BIAYA 86.807.603 87.128.659 90.730.214 89.876.114 88.841.365 87.897.789 82.874.002 122.884.391
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 15.870.818 14.494.555 13.734.033 12.379.205 11.134.379 10.023.768 8.599.510 11.602.576
65
Lampiran 5 (lanjutan)
66
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 6 (lanjutan)
68
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 26.421.182 22.873.544 19.802.526 17.144.059 14.842.692 12.850.433 11.125.740 9.632.658
Lampiran 7 Cash flow agroforestri kelapa sawit petai
70
TOTAL PENDAPATAN 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 23.432.143 69.467.143 73.644.857 77.860.063
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 16.858.311 16.262.202 15.644.222
Lampiran 7 (lanjutan)
72
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 1,0000 0,9099 0,8280 0,7534 0,6855 0,6238 0,5676 0,5164 0,4699
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 0 0 0 9.000.859 12.889.901 14.435.390 15.597.839 17.180.705 10.603.276
Lampiran 8 (lanjutan)
74
TOTAL PENDAPATAN 148.606.260 173.352.010 189.605.930 188.841.692 188.108.025 187.403.704 169.677.556 160.503.453
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 27.169.312 28.838.504 28.701.069 26.010.359 23.575.347 21.371.315 17.606.774 15.154.516
Lampiran 9 Cash flow agroforestri kelapa sawit sungkai
76
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 9 (lanjutan)
78
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 6.237.196 3.310.860 2.892.107 2.526.317 2.206.792 1.927.680 1.683.870 23.709.263
Lampiran 11 Cash flow agroforestri kelapa sawit jelutung
82
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,4276 0,3891 0,3540 0,3221 0,2931 0,2667 0,2427 0,2208 0,2009
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 10.019.194 9.116.646 8.295.401 7.548.136 6.868.185 6.249.486 5.686.521 4.967.297 4.339.040
Lampiran 11 (lanjutan)
84
Volume Biaya/Volume
Rincian
(satuan) (Rp/satuan) 18 19 20 21 22 23 24 25
A. BIAYA/COST
1. Biaya Tetap
a. Pembuatan Pondok paket 5.000.000
2. Biaya Investasi
a. Peralatan kerja paket 750.000
b. Penyiapan lahan
- Pembersihan lahan paket 9.000.000
- Pembuatan Jalan operasinal paket 5.500.000
- Penjarangan kelapa sawit HOK
c. Penyiapan bibit
- Kelapa Sawit batang 40.000
- Jelutung batang 7.000
d. Penanaman kelapa sawit
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
e. Penanaman tanaman sisipan
- Ajir batang 600
- Pemancangan, pembuatan lubang tanam HOK 160.000
- Penanaman HOK 80.000
- Penyulaman HOK 80.000
2. Biaya operasional
a. Pembelian pupuk dan herbisida
- KCl (januari) 1,5 kg/pokok kg 7.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000 854.000
- Urea (April) 1,5 kg/pokok kg 4.500 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000 549.000
- TSP (Juli) 1.5 kg/pokok kg 8.500 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000 1.037.000
- Dolomit (Oktober) 1,5 kg/pokok kg 5.500 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000 671.000
- Herbisida liter 70.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000 210.000
b. Pemeliharaan
- Upah Penyiangan Gulma HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Pembuatan Piringan dan Pemupukan HOK 80.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000 160.000
- Upah Penyemperotan Herbisida HOK 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
c. Biaya panen kelapa sawit paket 9.215.210 9.077.002 8.944.322 8.816.949 8.694.671 8.577.284 8.464.593 8.356.409
i. Biaya panen jelutung paket 12.734.679 12.734.679 12.734.679 12.734.679 12.433.945 12.148.247 11.876.835 11.618.993
TOTAL BIAYA 25.670.889 25.532.680 25.400.000 25.272.627 24.849.615 24.446.531 24.062.428 23.696.402
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL BIAYA pada DF 9,9% 4.693.345 4.247.567 3.844.854 3.480.959 3.114.372 2.787.856 2.496.864 2.237.382
B. PENDAPATAN/REVENUE
a. Penjualan TBS kelapa sawit kg 1.250 20.731.260 19.902.010 19.105.930 18.341.692 17.608.025 16.903.704 16.227.556 15.578.453
g. Penjualan getah jelutung kg 4.000 48.117.429 48.117.429 48.117.429 48.117.429 45.711.557 43.425.979 41.254.680 39.191.946
TOTAL PENDAPATAN 68.848.689 68.019.439 67.223.358 66.459.121 63.319.582 60.329.683 57.482.236 54.770.400
Discount Factor/DF = 9,9% (0,099) 0,1828 0,1664 0,1514 0,1377 0,1253 0,1140 0,1038 0,0944
TOTAL PENDAPATAN pada DF 9,9% 12.587.434 11.315.582 10.175.748 9.153.834 7.935.765 6.879.932 5.964.706 5.171.346
85
RIWAYAT HIDUP