Anda di halaman 1dari 111

RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HUTAN

PADA KLUSTER HWD PITU DS


KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS UNIVERSITAS GADJAH MADA
UNTUK PERIODE : 2023 s.d. 2032

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 14
1. Dyah Ayu Lailatul Fitria (21/482146/KT/09703)
2. Fajar Ramadhan (21/481576/KT/09666)
3. Hafidha Hana Rosyidha (21/474813/KT/09506)
4. Hilmi Nur Persada (21/481883/KT/09681)
5. Rafindra Putra Pratama (21/474939/KT/09513)
6. Raihan Pramdini Budiharsi (21/473790/KT/09469)
7. Maria Evivani Yonanda Kurnianto (21/482081/KT/09698)
8. Tazkia Nafilaturrosyida (21/481573/KT/09665)

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2023
HALAMAN PERSETUJUAN

Dokumen Rencana Pemanfaatan Hutan pada kluster Pitu-DS ini telah diajukan sebagai
prasyarat untuk menempuh ujian pertanggungjawaban Praktik Rencana Usaha Kehutanan yang
telah disetujui dan disahkan pada:
Hari : Jumat
Tanggal : 28 Juli 2023

Yogyakarta, 28 Juli 2023

Mengetahui,

Co-assistant Dosen Pembimbing Lapangan

Anna Khoirul Lutfia, S. Hut Dr.rer.silv. Ir. Sandy Nurvianto, S.Hut., M.Sc.

i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pada Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan Pada kluster HWD Pitu Ds dalam pengelolaan
periode 2023-2032 dalam rencana kerja usaha pemanfaatan juga berisi mulai dari organisasi
pengelolaan,rencana tata batas, Rencana kelola produksi, Rencana usaha pemanfaatan hasil hutan.
Pada Kluster Pitu DS akan diterapkan basis pola tanam yaitu tumpangsari dengan tanaman pokok
berupa Jati konvensional, tanaman pagar berupa secang, tanaman tepi berupa mahoni dan kayu
putih, tanaman pengisi berupa kesambi, dan tanaman sela berupa kemlandingan. Tumpangsari di
pilih karenakan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan beberapa jenis
komoditas pertanian seperti tebu dan jagung. Berdasarkan data diatas dibuktikan adanya lahan
hutan yang didominasi oleh tanaman pertanian milik masyarakat. Selain itu tumpang sari juga
memiliki kelebihan dari sisi ekonomi adalah petani akan berusaha memaksimalkan pendapatannya
berupa hasil dari tanaman yang ditanam (tanaman pertanian), Tanaman lebih terkontrol karena
masyarakat berdampingan langsung dengan lokasi tersebut dan ikut serta dalam menjaga hutan
yang sudah ada. Kelembagaan yang ada di klaster pitu DS adalah LMDH dan karang taruna.
Namun, pada beberapa HWD di kluster Pitu-DS masih ada yang tidak memiliki kelembagaan tani,
kemudian kelembagaan tersebut terkadang kurang rutin dalam menjalankan program-programnya.
Penggunaan lahan paling umum pada kawasan hutan yang dilakukan oleh KHDTK UGM dan
masyarakat sekitar yaitu lahan dengan tegakan Jati, Lahan basah, Tegakan Mahoni, Tanah Kosong,
dan beberapa tanaman agrikultur seperti jagung dan tebu. Berdasarkan data citra terlihat bahwa
kawasan Pitu Ds memiliki lahan dengan tegakan jati dan mahoni serta banyak lahan yang tidak
produktif. Pada pengorganisasian pengelolaan hutan kluster pitu ds terdapat planning unit yang
terbagi dalam beberapa working circle yaitu pekerja teknis penanaman, pemeliharaan, dan
penebangan. Dalam Perawatannya menggunakan teknik Silvikultur intensif dan perbanyakan
menggunakan stek pucuk dikarenakan menghasilkan bibit yang baik sehingga mempermudah
dalam proses penanaman serta proses-proses kedepannya. Pada perencanaan pemanenan dengan
teknik yang sama dengan JPP tetapi JK memiliki total 10 tahun pada 1 jangkanya. Sebelum
melakukan pemanenan diperlukan pengaturan hasil hutan yang meliputi taksiran potensi produksi,
perhitungan etat, perhitungan JWP, dan BTHSD. Kemudian pada perencanaan pemanenan akan
dibuat perencanaan penebangan dan perencanaan teresan. Terdapat potensi HHNK yang dapat
dimanfaatkan sebagai UMKM seperti industri penyulingan minyak kayu putih, usaha kerupuk
singkong, pemanfaatan buah dari tanaman alpukat, nangka, bambu, dan kolonjono.. Sumber daya

ii
alam yang terdapat di Pitu yaitu DAS Bengawan Solo yang memiliki keindahan alam dan memiliki
potensi daya tarik wisatawan. Dengan adanya potensi wisata tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
potensi perjalanan wisata ditambah dengan potensi flora dan fauna yang melengkapinya seperti
terdapat berbagai jenis burung dan berbagai jenis tanaman.

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh nikmat, rahmat, dan
kuasa-Nya sehingga Dokumen Rencana Usaha Kehutanan ini dapat terselesaikan. Dokumen ini
disusun sebagai syarat dalam Praktik Rencana Usaha Kehutanan yang diselenggarakan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dalam proses pembuatannya, penulisan laporan diberi
bantuan melalui bimbingan dan dukungan, baik secara spiritual maupun material dari banyak
pihak. Dengan demikian, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Bapak Dr.rer. Silv. Sandy Nurvianto, S.Hut., M.Sc. selaku dosen pembimbing dan penguji
yang telah membimbing kami dalam kegiatan praktik hingga penyusunan laporan ini.
3. Orang tua yang memberikan dukungan secara doa, dukungan, dan motivasi yang tak kunjung
padam.
4. Seluruh Co-Assisten dalam Praktik Rencana Usaha Kehutanan yang telah membimbing kami
dalam pelaksanaan kegiatan hingga penyusunan laporan ini.
5. Rekan-rekan kelompok 14 dalam kegiatan Praktik Rencana Usaha Kehutanan yang telah
bekerjasama dalam pelaksanaan kegiatan praktik hingga penyusunan laporan ini.
6. Pihak-pihak lain yang turut berkontribusi dalam praktik yang tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Penyusun sadar bahwa penulisan laporan masih jauh dari kata sempurna sehingga masih
perlu koreksi dalam bentuk kritik dan saran dari pembaca, Akhir kata, penyusun mengucapkan
banyak terima kasih kepada seluruh elemen pembantu dan pendukung semoga laporan yang telah
ditulis dapat memberikan manfaat terhadap pembaca dan pihak-pihak yang memanfaatkan.

Yogyakarta, 18 Juli 2023

Kelompok 14

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................................................... i
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................ix
BAB I............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
1.2 Sejarah Usaha Pemanfaatan ................................................................................................... 3
1.3 Maksud dan Tujuan ............................................................................................................... 4
1.4 Ruang Lingkup....................................................................................................................... 5
1.4.1 Lokasi Perencanaan ......................................................................................................... 6
1.4.2 Waktu Pelaksanaan ......................................................................................................... 6
1.4.3 Substansi .......................................................................................................................... 6
BAB II ............................................................................................................................................. 7
DATA POKOK UNIT PENGELOLAAN ........................................................................................ 7
2.1 Pemegang Hak ........................................................................................................................ 7
2.2 Kondisi Areal Kerja ............................................................................................................... 7
2.2.1 Luas ................................................................................................................................. 7
2.2.2 Letak Geografis dan Astronomis ...................................................................................... 8
2.2.3 Topografi ......................................................................................................................... 8
2.2.4 Jenis Tanah ...................................................................................................................... 9
2.2.5 Geologi ............................................................................................................................. 9
2.2.6 Hidrologi .......................................................................................................................... 9
2.2.7 Iklim .............................................................................................................................. 10
2.2.8 Pembagian Blok dan Petak ............................................................................................ 10
2.2.9 Keadaan Hutan (Tutupan Lahan) .................................................................................. 11
2.3 Aksesibilitas .......................................................................................................................... 13
2.4 Sosial Ekonomi ..................................................................................................................... 14

v
2.4.1 Kondisi Demografi ......................................................................................................... 15
2.4.2 Penggunaan Lahan Desa ................................................................................................ 16
2.4.3 Adat Istiadat Masyarakat Sekitar Areal Kerja .............................................................. 17
2.4.4 Kelembagaan Kondisi LMDH ........................................................................................ 18
BAB III .......................................................................................................................................... 19
ANALISIS SITUASI DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN ............................................. 19
3.1 Analisis Kebijakan ............................................................................................................. 19
3.2 Analisis Situasi dan Strategi Pengelolaan ............................................................................. 21
3.2.1 Situasi dan strategi Kelola Produksi (Kayu/Non Kayu/Jasa Lingkungan) ...................... 21
3.2.2 Situasi dan Strategi Kelola Sosial dan Kelembagaan...................................................... 36
3.2.3 Situasi dan Strategi Pemasaran ...................................................................................... 38
3.2.4 Situasi dan Strategi Pendanaan ...................................................................................... 40
BAB IV .......................................................................................................................................... 42
RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HUTAN UNTUK JANGKA WAKTU SEPULUH
TAHUN ......................................................................................................................................... 42
4.1 Rencana Prasyarat ............................................................................................................... 42
4.1.1 Rencana Organisasi Pengelolaan Hutan Kluster Pitu DS ............................................... 42
4.1.2 Rencana Tata Batas ....................................................................................................... 45
4.1.3 Rencana Penataan Areal Kerja ...................................................................................... 47
4.1.4 Rencana Inventarisasi .................................................................................................... 49
4.1.5 Rencana Pengadaan Sarana dan Prasarana ................................................................... 49
4.2 Rencana Kelola Produksi ..................................................................................................... 51
4.2.1 Sistem dan Teknik Silvikultur ........................................................................................ 51
4.2.2 Pengaturan Hasil Hutan ................................................................................................. 53
4.2.3 Rencana Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ........................................................... 57
4.2.4 Rencana Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu ............................................................... 72
4.2.5 Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan ........................................................................ 75
4.2.6 Rencana Perlindungan dan Pengamanan Hutan ............................................................ 77
4.2.7 Rencana Kelola Sosial .................................................................................................... 78
BAB V ........................................................................................................................................... 80
RENCANA BISNIS USAHA KEHUTANAN ................................................................................. 80
5.1 Jenis Komoditas yang diusahakan ........................................................................................ 80
5.1.1 Hasil Hutan Kayu .......................................................................................................... 82

vi
5.1.2 Hasil Hutan Non Kayu ................................................................................................... 83
5.1.3 Jasa Lingkungan ............................................................................................................ 85
5.2 Rencana Pemasaran ............................................................................................................. 86
5.3 Proyeksi Keuangan ............................................................................................................... 86
5.4 Kelayakan Usaha .................................................................................................................. 88
BAB VI .......................................................................................................................................... 91
PENUTUP ..................................................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 92
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 94

vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sebaran Kelerengan KHDTK UGM Kluster Pitu DS
Tabel 2. Luas Hutan Berdasarkan Blok Pengelolaan di Kluster Pitu DS
Tabel 3. Keadaan Hutan Pada Areal Kerja Unit Pitu DS Berdasarkan Peta Hasil Penafsiran Citra
Tabel 4. Luas Hutan Berdasarkan Kelas Hutan di Kluster Pitu DS.
Tabel 5. Data Demografi Kluster Pitu Desa Dumplengan
Tabel 6. Data Pembagian Blok Kluster Pitu DS
Tabel 7. Analisis SWOT Kluster Pitu DS
Tabel 8. IFAS Kluster Pitu DS
Tabel 9. Rencana Tata Batas Areal Kerja
Tabel 10. BTHSD dengan Luas Tetap Berdasarkan I’74
Tabel 11. BTHSD dengan Luas Tetap Berdasarkan I’74
Tabel 12. Perhitungan Etat
Tabel 13. Taksiran Potensi Produksi Berdasarkan I’74
Tabel 14. JWP Kumulatif
Tabel 15. Volume UAD Pengujian Angka Penebangan Terakhir
Tabel 16. BTHSD dengan Luas Tetap
Tabel 17. BTHSD dengan Volume Tetap
Tabel 18. PDE-10 JPP
Tabel 19. PDE 11-11 Rencana Teresan JPP
Tabel 20. PDE-10 JK
Tabel 21. PDE-11 JK
Tabel 22. PDE-12 JPP
Tabel 23. PDE-12 JK

viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Jaringan Jalan Kluster Pitu DS
Gambar 2. Grafik Pengorganisasian Kawasan
Gambar 3. Peta Evaluasi Pengorganisasian Kawasan

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan merupakan sekumpulan tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pohon atau
tanaman berkayu yang menempati suatu wilayah (Spurr & Barners, 1980). Berdasarkan
fungsinya, tipe hutan terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi
(Mulyani, 2016). Terdapat 2 kategori hutan yaitu hutan normal dan hutan tidak normal. Hutan
normal merupakan tegakan dengan persebaran kelas umur yang merata dan riap yang
maksimal. Tebangan tahunan atau tebangan periodik pada hakikatnya harus sama dengan riap
untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian hasil kayu yang maksimal dapat
diperluas sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil dimasa yang akan datang. dan oleh
karena itu kelestarian hutan dapat dipertahankan. Karena kelestarian hasil dapat berarti
tebangan hutan atau periodik sama dengan riap tahunan, maka besarnya tebangan dapat
dihitung sama dengan riap tahunan pada saat sekarang (current increment). Pandangan ini
merupakan landasan metode pengaturan hasil berdasarkan riap saja. Masalahnya adalah
bagaimana riap pada saat sekarang ditaksir atau diukur. Melalui cara ini penaksir hanya
melihat pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon dan ukuran diameter. Dengan cara ini
akan mudah diidentifikasi apakah pohon tersebut telah lestari. (Simon, 2006: 28).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) adalah kawasan hutan yang ditetapkan
untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan
religi dan budaya setempat, dengan tanpa mengubah fungsi kawasan dimaksud. Kemudian
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. SK.632/
Menlhk/ Setjen/ PLA.0/ 8/ 2016 telah menetapan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
untuk Hutan Pendidikan dan Pelatihan Universitas Gadjah Madaa di Kabupaten Blora
Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur Seluas ± 10. 901 Ha
(Sepuluh Ribu Sembilan Ratus Satu Hektar). Sejarah kawasan ini dijadikan sebagai
pengembangan infrastruktur dari program Koridor Ekonomi Jawa dalam Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025. Menurut
Yuwono (2008) dampak penjarahan kayu di masa itu menjadi permasalahan pada Getas dan
Ngandong seperti pencurian kayu, 8 perusakan areal rehabilitasi, dan alih fungsi lahan

1
menjadi pertanian mendorong kerusakan kawasan tersebut. Ditambah dengan permasalahan
sosial, seperti kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan juga memperkeruh pengelolaan
hutan di wilayah tersebut. Perum Perhutani pada waktu itu mengelola hutan yang berorientasi
pada pemanfaatan hasil kayu saja sehingga diperlukan usaha keras untuk dapat dijadikan
kawasan tersebut menjadi hutan yang berbasis ekosistem. Pada 9 Agustus 2016 melalui Surat
Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor
632/Menlhk/Sejen/PLA.0/8/2016, UGM diberikan hal untuk mengelola hutan seluas kurang
lebih 11 ribu hektar dengan harapan permasalahan yang ada dapat diatasi.
Rencana usaha adalah ringkasan tertulis dari usulan wirausahawan dalam membuat
perusahaan yang berisi rincian kegiatan dan rencana keuangan, peluang pasar dan strategi
(Widhari, 2022). Sama halnya dengan rencana usaha kehutanan, bedanya disini fokusnya
adalah sektor kehutanan. Artinya adalah, rencana usaha kehutanan akan berfokus pada hasil
hutan kayu, hasil hutan non-kayu, jasa lingkungan, dan sebagainya. Dalam menyusun rencana
usaha harus dimuat secara mendetail dan jelas. Selain itu, juga memuat apa yang melatar
belakangi usaha yang akan dijalankan. Perlu sekali ditekankan faktor-faktor yang diperlukan
dalam kegiatan bisnis tersebut, visi, misi, tujuan, serta sasaran yang ingin dicapai (Widhari,
2022). Contoh sasaran dari rencana usaha kehutanan adalah para pengusaha dan masyarakat
sekitar kawasan hutan. Rencana usaha kehutanan sangat diperlukan dan menjadi dasar
pemanfaatan pengelolaan suatu kawasan hutan. Rencana usaha sangat berguna untuk
mengidentifikasi kebutuhan konsumen, atribut produk yang paling diinginkan dan
memastikan rencana perusahaan di berbagai aspek seperti produksi, distribusi, penentuan
harga dan pemasaran. Jika ada kendala dalam memulai usaha, rencana bisnis sangat berguna
untuk memeriksa kembali tujuan dan sumber daya yang dimiliki unit usaha sehingga dapat
mengatasi masalah tersebut. Lebih dari itu rencana usaha yang tertulis merupakan legitimasi
dari sebuah usaha yang akan didirikan. Rencana usaha yang baik, membuat investor atau
rekanan meyakini potensi usaha tersebut sehingga tertarik untuk bekerja sama (Yohana,
2015).
Salah satu tujuan pengelolaan hutan KHDTK UGM ini untuk mewujudkan upaya
penyelamatan hutan di Jawa yang masih tersisa sekarang ini. 10 Kawasan ini sebelum
ditunjuk sebagai KHDTK UGM merupakan kawasan hutan tanaman jati yang dikelola oleh
Perhutani, tetapi seiring berjalan waktu terjadi perubahan penggunaan lahan. Selain itu,

2
kondisi potensi hutannya tanaman yang ada juga mengalami degradasi yang menyebabkan
struktur hutannya menjadi tidak lagi normal dilihat dari sustained yield. Transformasi
penggunaan dan penutupan lahan menunjukkan bahwa pengelolaan KHDTK dihadapkan
dengan konflik yang berkaitan dengan ketergantungan masyarakat terutama terhadap tebu dan
jagung.
Pada kluster HWD Pitu Ds, penutupan lahan yang ada berupa hutan, perkebunan, sawah,
dan pemukiman. Penutupan lahan didominasi oleh lahan pertanian berupa tanaman tebu dan
jagung, hal tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan lahan yang ada menguntungkan
bagi masyarakat di sekitar baik dari segi ekonomi maupun sosial. Hal ini dibuktikan juga
dengan hasil pengamatan lapangan dan hasil dari foto citra satelit, jika dibandingkan dengan
data evapot awal, dimana hampir seluruh kawasan di dominasi oleh tegakan jati. Tanpa
perencanaan pengelolaan yang baik, kawasan KHDTK tersebut akan kehilangan salah satu
fungsinya, yakni aspek ekologis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyusunan dokumen
rencana pengelolaan hutan yang berisikan strategi pengelolaan pengaturan hasil hutan lestari
dalam bentuk dokumen Rencana Usaha Kehutanan. Dokumen Rencana Usaha Kehutanan ini
diharapkan dapat menjadi informasi dasar, sehingga menjadi perangkat penting dalam
pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan yang dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

1.2 Sejarah Usaha Pemanfaatan


Pada tahun 1989, didirikan kampus lapangan dengan fungsi pusat pendidikan dan
pelatihan mahasiswa di Desa Getas yang merupakan kawasan perhutani. KHDTK Getas-
Ngandong memiliki sejarah pilu sebagai konsekuensi pengembangan infrastruktur dari
program Koridor Ekonomi Jawa dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Permasalahan yang terjadi pada KHDTK UGM
yaitu pencurian kayu, perusakan area rehabilitasi, dan alih fungsi lahan menjadi pertanian
mendorong kerusakan kawasan tersebut. Selain itu, metode pengelolaan hutan yang dilakukan
Perum Perhutani dirasa kurang tepat sasaran karena berorientasi pada pemanfaatan hasil kayu
saja sehingga diperlukan usaha yang keras untuk dapat menjadikan kawasan tersebut menjadi
hutan yang berbasis ekosistem.

3
Dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam pembangunan
berkelanjutan , pada bulan Agustus 2016 Universitas Gadjah Mada mendapatkan mandat hak
pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk Hutan Pendidikan dan
Pelatihan. Lokasi KHDTK tersebut sebelumnya merupakan wilayah kelola Perum Perhutani
di Bagian Hutan Getas dan Bagian Hutan Ngandong, KPH Ngawi. Sebelum turunnya Surat
Keputusan yang dibuat oleh Menteri LHK, hutan di kawasan tersebut hanya ditanami jati dan
hasilnya belum dirasakan oleh masyarakat sekitar sehingga banyak warga desa melakukan
tindakan illegal. Atas dasar itu, dengan penetapan sebagai KHDTK tersebut, UGM mengajak
seluruh masyarakat untuk mengelola hutan. Untuk meningkatkan pendapatan, masyarakat
desa hutan dilibatkan melalui program LMDH yakni menanam pohon jati pada 50% luasan
kawasan dan sisanya ditanami komoditas lain. Program pengelolaan KHDTK yang lain
berupa, Pertanian Intensif berbasis Integrated Forest Farming System, pembuatan persemaian
bibit unggul, penataan batas areal KHDTK, Capacity Building Petani Hutan, Perbaikan Tata
Kelola Hutan dan Peningkatan Akses Masyarakat serta Pemerintah Daerah dalam mengelola
hutan. Peningkatan kapasitas dan pemahaman masyarakat desa hutan tentang konservasi
lahan dan pengembangan ekowisata juga dilakukan dalam upaya kegiatan pengabdian. Atas
izin kelola yang diberikan Fakultas Kehutanan UGM telah merencanakan 5 model blok
pengelolaan di KHDTK Getas, yaitu blok model kelola jati berkelanjutan bersama dengan
Perum Perhutani, blok model kelola rehabilitasi hutan dan lahan, blok model kelola
agroforestri ketahanan pangan, blok model kelola perlindungan, dan blok are peruntukan lain.

1.3 Maksud dan Tujuan


Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya disingkat RKUPH adalah
rencana kerja untuk seluruh areal kerja PBPH dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahunan.
RKUPHHK dan RKT merupakan dasar pelaksanaan kegiatan IUPHHK, baik Hutan Alam
maupun Hutan Tanaman, harus menyusun RKUPHHK paling lambat satu tahun setelah
mendapatkan IUPHHK. RKUPHHK disusun sebagai rencana kerja untuk seluruh areal kerja
IUPHHK untuk jangka waktu 10 tahunan yang dalam penyusunannya harus memperhatikan
rencana pengelolaan jangka panjang KPH. Dokumen tersebut antara lain memuat aspek

4
kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan pembangunan
sosial ekonomi masyarakat setempat.
Tujuan dari kegiatan penyusunan dokumen Rencana Usaha Kehutanan (RUK) adalah
memberikan panduan pengelolaan jangka panjang bagi KHDTK UGM Getas Pitu untuk
tercapainya asas pengelolaan hutan secara berkelanjutan (Sustainable Forest Management)
dan asas kelestarian hasil (Sustainable yield).

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup merupakan fokus pembahasan dalam penyusunan sebuah dokumen. Dalam
dokumen ini terdapat beberapa ruang lingkup yang dijabarkan dalam beberapa poin berikut :
1. Pendahuluan, berisi : latar belakang, sejarah pemanfaatan, maksud, tujuan dan ruang
lingkup yang menjadi batasan-batasan peristilahan yang menyangkut KHDTK UGM
Getas-Ngandong.
2. Data Pokok Unit Pengelolaan, berisi : pemegang hak, kondisi areal kerja, sosial ekonomi
3. Analisis Situasi dan Strategi Pengelolaan Hutan, berisi : arah kebijakan, analisis situasi
dan strategi pengelolaan yang menyajikan analisis SWOT dan strategi yang terkait
dengan pengelolaan aspek produksi.
4. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan Untuk Jangka Waktu 10 (sepuluh) Tahun,
berisi : rencana prasyarat dan rencana kelola produksi.
5. Rencana Bisnis Usaha Kehutanan yang berisi dokumen rencana usaha dalam
pengambilan keputusan terkait kehutanan. Maksud dokumen RUK adalah untuk
memberikan informasi yang digunakan sebagai dasar pada proses pengambilan keputusan
kehutanan sehingga ditemukan kombinasi input dan output yang paling sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan untuk pengelolaan dan pengusahaan hutan.
6. Penutup.
7. Lampiran-lampiran.

5
1.4.1 Lokasi Perencanaan
Lokasi kegiatan penelitian Praktik Rencana Usaha Kehutanan terletak di
Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur.

1.4.2 Waktu Pelaksanaan


Pelaksanaan pengambilan data penelitian Praktik Rencana Usaha Kehutanan
berlangsung pada tanggal 3 – 15 Juli 2023.

1.4.3 Substansi
Substansi pada dokumen RPJP ini adalah Perencanaan Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) UGM Blora-Ngawi yang berada dalam wilayah definitif
sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia nomor SK.632/Menlhk/Setjen/PLA.0/8/2016 dan SK.373/MENLHK-PKTL/
KUH/PLA.2/2021. Dokumen perencanaan ini disusun berdasarkan seluruh karakteristik
biofisik yang mencakup sebaran karakter lahan, tegakan, kondisi biofisik lainnya, dan
karakteristik sosial-ekonomi- budaya masyarakat sekitarnya. Berdasarkan karakteristik-
karakteristik ini, kemudian diformulasikan strategi pengelolaan yang mendasarkan pada
prinsip optimisasi dengan mempertimbangkan seluruh peraturan yang berlaku terkait
dengan KHDTK dan tata kelolanya.

6
BAB II
DATA POKOK UNIT PENGELOLAAN

2.1 Pemegang Hak


Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) UGM Blora-Ngawi merupakan
hutan yang terletak diantara dua wilayah administratif yaitu Blora, Jawa Tengah dan Ngawi,
Jawa Timur. Berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI nomor 632/Menlhk/Setjen/PLA.0/8/2016 yang dikeluarkan pada tanggal 9
Agustus 2016 lalu, Universitas Gadjah Mada (UGM) diberikan hak kelola hutan seluas 10.901
di wilayah BKPH Getas-Ngandong KPH Ngawi dengan harapan permasalahan yang ada
dapat diatasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr.
Budiadi, S.Hut., M. Agr.Sc., bahwasanya Hutan Getas dan Ngandong akan menjadi referensi
konsep penyelamatan hutan di Jawa.
Hutan seluas itu berada di 16 desa, 9 desa masuk wilayah Kecamatan Kradenan,
Randublatung dan Jati (Blora, Jateng) dan 7 desa di wilayah Kecamatan Pitu (Ngawi, Jatim).
Dimana hutan tersebut ditetapkan oleh Kementerian LHK sebagai Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola oleh UGM, khususnya Fakultas Kehutanan sebagai
hutan pendidikan dan pelatihan.

2.2 Kondisi Areal Kerja

2.2.1 Luas
Pengerjaan dokumen Rencana Usaha Kehutanan adalah berbasis kluster.
Berdasarkan SK.373/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/2021 luas kluster Pitu Ds adalah
2,260.5 ha yang terbagi ke dalam 6 desa yaitu Pitu, Dumplengan, Cantel, Papungan,
Ngancar, dan Kalang. Ditinjau dari administratif pemerintahan wilayah KHDTK UGM
Kluster Pitu Ds termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi,
Provinsi Jawa Timur. Luas kawasan hutan pangkuan desa pada 6 desa hutan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1.

7
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Wengkon Desa

2.2.2 Letak Geografis dan Astronomis


KHDTK UGM yang secara geografis terletak di antara 111°19'25” - 111°27'43”
Bujur Timur dan 7°15'16” - 7°22'55” Lintang Selatan. KHDTK UGM sendiri memiliki
luas sebesar ±10.867,19 ha yang secara administratif terbagi menjadi dua kabupaten dan
dua provinsi, yaitu kabupaten Blora, Jawa Tengah seluas ±8.825,51 ha dan kabupaten
Ngawi, Jawa Timur seluas ±2.041,68 ha. KHDTK UGM memiliki beberapa batas
kawasan, antara lain BH Randublatung KPH Randublatung pada bagian utara; Areal
Non Hutan Kecamatan Pitu Kabupaten Ngawi pada bagian selatan; serta BH Ngraho
KPH Padangan dan BH Kedawak KPH Ngawi pada bagian timur. Pada kesempatan
yang telah diberikan, dilakukan survei di Desa Dumplengan untuk menganalisis kondisi
sosial ekonomi serta dampak pengelolaan hutan. Kawasan KHDTK Getas-Ngandong
Kluster Pitu DS HWD Dumplengan secara geografis dilintasi oleh garis lintang -
7.3800000 dan garis bujur 111.4344400 serta berjarak 12 km dari kota kecamatan, 3 km
dari kota kabupaten, dan 184 km dari ibukota provinsi. Dan secara administratif berada
di Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi.

2.2.3 Topografi
Kelerengan lahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap arah kebijakan
rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah KHDTK UGM. Pada kluster Pitu Ds memiliki
topografi yang bervariasi mulai dari datar, landai, hingga agak curam dengan ketinggian
<100 mdpl. Sebaran kelerengan Kluster Pitu DS ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Kelerengan KHDTK UGM Kluster Pitu DS

No Jenis Kelerengan Luas (ha)

1 Agak Curam 686.3

2 Curam 59.9

3 Datar 930.6

8
No Jenis Kelerengan Luas (ha)

4 Landai 1415.6

2.2.4 Jenis Tanah


KHDTK UGM Blora-Ngawi Kluster Pitu DS didominasi oleh jenis tanah margalit
(kompleks aluvial kelabu dan aluvial keabuan). Tanah margalit dibentuk dari bantuan
dasar yang terdiri atas gamping ,tanah pasir, dan lempung (liat). Sifat tanah margalit
adalah subur dan terdapat di sekitar perbukitan dataran rendah. Tanah ini dimanfaatkan
untuk pertanian lahan kering, tebu, dan hutan jati. Jenis tanah margalit memiliki sifat
lekat kalau basah, plastisitas sedang dan berupa blok-blok yang keras bila mengering
dan umumnya mempunyai solum dangkal. Tanah yang diidentifikasi bertekstur
lempung, dan memiliki struktur mulai dari remah, agak liat, hingga liat dan memiliki 2
klasifikasi kesuburan yaitu kritis dan sedang.

2.2.5 Geologi
Secara regional Kabupaten Ngawi memiliki struktur geologi yang mengelompok
pada sisi selatan dan utara. Sisi selatan terindikasi berupa struktur patahan yang berada
pada wilayah yang masih terpengaruh dari kelompok patahan di sekitar Gunungapi
Lawu. Sisi utara didominasi oleh struktur regional berupa lipatan dan terdapat sesar
geser dan sesar naik. Kondisi tersebut tidak lepas dari kondisi fisiografi sisi utara
kabupaten ini yang berupa deretan perbukitan yang merupakan bagian dari
Antiklinarium .

2.2.6 Hidrologi
Hidrologi hutan merupakan suatu ilmu fenomena yang berkaitan dengan air yang
dipengaruhi oleh penutupan hutan. Aspek hidrologi merupakan salah satu aspek penting
dalam pengelolaan hutan. Aspek hidrologi meliputi hal-hal yang terkait dengan tata air.
Aspek hidrologi berupa air adalah tipe sumber air, ketersediaan sumber air, kualitas
kejernihan sumber air, pencemaran di sumber air, jarak dengan sumber air terdekat, serta
pengamatan terhadap erosi, tutupan tajuk, dan tumbuhan bawah. Kawasan KHDTK

9
UGM Blora Ngawi termasuk dalam DAS Bengawan Solo yang terbagi menjadi dua
yaitu Sub DAS Bengawan Solo Hulu dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. KHDTK
UGM Blora-Ngawi merupakan wilayah kelola BPDASHL Solo. Sungai yang terdapat
di area KHDTK UGM Blora-Ngawi ini, sebagian masih berfungsi sebagai prasarana
perhubungan, sumber air bersih, dan budidaya ikan.

2.2.7 Iklim
Sebagaimana halnya Kabupaten Blora dan Kabupaten Ngawi, KHDTK UGM
Blora-Ngawi memiliki iklim tropis dengan tipe monsoon (Am) yang memiliki
perbedaan musim yang disebabkan oleh pergerakan angin monsoon, yaitu musim
penghujan dan musim kemarau.

2.2.8 Pembagian Blok dan Petak


Penataan kawasan hutan yang baik merupakan salah satu poin penting dalam
pengelolaan hutan lestari. Salah satu syarat dalam pengelolaan hutan lestari yaitu
adanya penataan kawasan hutan yang jelas dan pasti di lapangan dan diakui oleh semua
stakeholder yang terkait. Berdasarkan peta data citra penginderaan jauh yang telah
diolah, diketahui bahwa penutupan lahan di Kluster Pitu DS KHDTK UGM
mempunyai luas areal sebesar 2,260.5 ha dan memiliki 375 anak petak yang terbagi
lagi menjadi beberapa blok. Pembagian setiap blok akan dikembangkan sebuah model
pengelolaan SDH sesuai dengan karakteristik Capability, Availability, Suitability,
Manageability (CASM) dan struktur permasalahannya. Proses identifikasi dan
optimalisasi ini menghasilkan 5 blok pendidikan dan pelatihan yaitu :
a. Blok I adalah Model Kelola Hutan Jati Berkelanjutan
b. Blok II adalah Blok Model Kelola Rehabilitasi Hutan dan Lahan
c. Blok III adalah Model Agroforestri untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan
Energi
d. Blok IV adalah Model Kelola Perlindungan
e. Blok V adalah Areal Peruntukan lain.
Pada areal kerja kawasan Kluster Pitu DS terdapat tiga model blok yaitu Blok
Model Kelola Jati Berkelanjutan Bekerjasama dengan Perhutani, Model Agroforestri

10
ketahanan pangan, Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Luas areal per blok dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Hutan Berdasarkan Blok Pengelolaan di Kluster Pitu DS

No Blok Pengelolaan Peruntukan/Bentuk Luas (Ha)


Pemanfaatan

1 Model Kelola Jati Kayu dan non-kayu 1671.8


Berkelanjutan
Bekerjasama dengan
Perhutani

2 Model Agroforestri Kayu dan non-kayu 458.9


Ketahanan Pangan

3 Model Rehabilitasi Kayu dan non-kayu 961.7


Hutan dan Lahan

Total 3092.4

2.2.9 Keadaan Hutan (Tutupan Lahan)


Pengorganisasian kawasan hutan di Kluster Pitu terbagi menjadi beberapa
tingkatan yaitu planning unit, working circle, compartment. Pada tahun 2023 jenis
tanaman yang ada di kluster Pitu meliputi JPP, jati, dan mahoni sebagai tanaman
kehutanan serta jagung, padi, dan tebu sebagai tanaman pertanian. Sementara itu,
berdasarkan hasil survei lapangan (ground check) yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa penutupan lahan ada beberapa yang berubah dengan hasil peta citra
penginderaan jauh misalnya dulunya jati sekarang menjadi jagung . Berdasarkan hasil
identifikasi dan evaluasi struktur pengorganisasian kawasan hutan mulai dari unit
kelestarian hingga unit lahan terkecil di HWD Pitu DS, diketahui bahwa penggunaan
lahan pertanian terbanyak dimiliki oleh tebu dan jagung. Hal ini terjadi karena
masyarakat sudah terbiasa dengan pertanian jagung sehingga perawatannya lebih
mudah dan lebih menjanjikan. Informasi-informasi tersebut dapat diketahui dengan
menggunakan survei langsung, peta tutupan lahan (Lampiran…), dan data citra.
Keadaaan tutupan lahan KHDTK UGM Blora-Ngawi Kluster Pitu DS ditunjukkan
pada Tabel 3. berikut.

11
Tabel 3. Keadaan Hutan Pada Areal Kerja Unit Pitu DS Berdasarkan Peta Hasil
Penafsiran Citra

No Blok Evapot 2016 Kondisi Terkini Ket


Pengelolaan
Areal Tak Areal Tak
Berhutan Berhutan Berhutan Berhutan
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha)

1 Kelola Jati 1393.1 278.7 294,16


bersama
Perhutani

2 Agroforestri 311.2 147.7


Ketahanan
Pangan

3 Rehabilitasi 740.5 221.2 200,08


Hutan dan
Lahan

Tabel 4. Luas Hutan Berdasarkan Kelas Hutan di Kluster Pitu DS.

No. Tutupan Lahan Kelas Hutan Luas (Ha) Luas Total

1. Berhutan KUI 1826 2444.8

KUII 355.6

KUIII 137.6

KUIV 24

KUV 96.4

KUVI 5.2

2 Tak Berhutan KPKh 2.6 647.6

KPS 62.9

12
LDTI 2

TBK 357.8

TJKL 83.2

TK 107.8

TKL 14.1

TKTBKP 11

Total 3092.4

2.3 Aksesibilitas
Infrastruktur hutan berupa jaringan jalan merupakan bentuk dari Pembukaan Wilayah
Hutan (PWH) sebagai aspek pendukung pengelolaan hutan yang lestari. Untuk menjamin
pengelolaan hutan lestari dan pemanfaatan hasil hutan yang maksimal dapat tercapai, maka
aksesibilitas keluar masuk hutan harus tersedia dengan baik sehingga kegiatan-kegiatan
penanaman, pembinaan hutan, perlindungan hutan, pemanenan hasil hutan, monitoring,
evaluasi, dan pengawasan dapat dilakukan dengan lancar dan mudah.
Akses untuk menuju ke petak di kluster Pitu DS terdapat beberapa jalan seperti jalan
ranting, cabang, dan utama. Rata-rata jalan tersebut berbatu dan kondisinya ada yang kurang
baik/tidak layak, yang diakibatkan karena bahan baku pembuatan jalan yang kurang bagus
serta sering dilalui oleh truk-truk bermuatan, serta tidak adanya kegiatan perawatan jalan.
Dengan kondisi jalan yang sempit dan buruk agak sulit untuk dilalui dengan kendaraan mobil.
Terdapat beberapa rute yang dapat dilalui dari berbagai arah antara lain : (1) dari arah utara
Randublatung - Kradenan - Pitu ; (2) dari arah selatan Ngawi - Paron - Pitu ; (3) dari arah
barat Mantingan - Widodaren - Pitu ; (4) dari arah timur Ngawi - Kradenan - Pitu. Terdapat 3
jalan yang diperhitungkan yaitu jalan utama, jalan ranting, dan jalan cabang. Informasi
mengenai jalan utama, jalan ranting, dan jalan cabang ditunjukkan pada peta jaringan jalan
berikut.

13
Gambar 1. Peta Jaringan Jalan Kluster Pitu DS
Berdasarkan data yang dihasilkan, pada kluster Pitu DS memiliki panjang total jalan
sepanjang 75.754,75 meter dengan luasan 2288,27 Ha. Selain itu, buffer yang dihasilkan
sebesar 1565,36 Ha. Kemudian predikat keringanan jalan (E%) yang dihasilkan sebesar 68,4%
(termasuk kategori sedang menguntungkan).

2.4 Sosial Ekonomi


Pada pembuatan dokumen Rencana Usaha Kehutanan ini, dilakukan pada unit kelestarian
Kluster Pitu DS. Partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan dalam kluster Pitu Ds
adalah pengelolaan lahan hutan untuk sistem tumpangsari dan tenaga kerja. Pada Kluster Pitu
Ds kelembagaan yang ada adalah Kelompok Tani, sebelumnya kelembagaan masyarakat pada
Kluster Pitu Ds terdapat LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang mengelola hutan
namun pada beberapa HWD yang terdapat di Kluster Pitu DS, LMDH-nya sudah tidak berjalan
karna satu dan lain hal. Pada Kluster Pitu Ds memiliki potensi konflik yang terjadi antara
masyarakat desa hutan dengan pemilik lahan dalam hal ini adalah Perhutani dan Kampus
Kehutanan UGM. Potensi konflik tersebut berkaitan dengan kebijakan, pencurian, dan sudut
pandang yang berbeda.

14
2.4.1 Kondisi Demografi
Kondisi demografi adalah informasi kependudukan suatu wilayah atau kondisi
masyarakat dalam suatu wilayah yang meliputi ukuran, struktur, distribusi penduduk,
serta bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian,
migrasi, serta penuaan. Data ini menunjukkan intensitas interaksi antara masyarakat
dengan kawasan hutan. Interaksi tersebut dalam bentuk pemanfaatan lahan untuk
budidaya tanaman pangan, pemanfaatan kayu (pertukangan dan kayu bakar),
penggembalaan ternak, dan hijauan pakan ternak (daun-daun hutan dan rumput)
Berdasarkan data dari survey yang dilakukan secara terstruktur, masyarakat Desa
Dumplengan memiliki kecenderungan bekerja sebagai petani dibanding peternak. Hal ini
dilihat dari beberapa narasumber dimana kami melakukan survey memiliki pekerjaan
pokok sebagai petani. Data demografi mengenai informasi kependudukan masyarakat
Desa Dumplengan ditunjukkan pada Tabel 2.5
Tabel 5. Data Demografi Kluster Pitu DS Desa Dumplengan.

Jumlah Penduduk (Jiwa)

a. Jumlah KK 1105

b. Jumlah Laki-Laki 1711

c. Jumlah Perempuan 1637

d. Komposisi Umur Laki-laki Perempuan

i. < 14 Tahun 207 150

ii. 15-65 tahun - usia 248 235


produktif

iii. > 65 tahun 116 241

e. Mata Pencarian Laki-laki Perempuan


Pokok

i. Petani 547 121

ii. Buruh Tani 113

15
iii. PNS/TNI/Polisi 28 11

iv. Pedagang 142 47

v. Mahasiswa 323

f. Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan


Sampingan

i. Petani 547

ii. Buruh Tani 531

iii. PNS/TNI/Polisi 142

iv. Pedagang -

v. Mahasiswa -

2.4.2 Penggunaan Lahan Desa


Penggunaan lahan di Klaster Pitu DS memiliki pola penggunaan lahan yang beragam
A. Blok I adalah Model Kelola Hutan Jati Berkelanjutan
Blok bertujuan untuk mengelola tegakan jati yang tersisa, maka pada
kawasan ini ditetapkan sebagai blok model kelola hutan jati berkelanjutan
B. Blok II adalah Blok Model Kelola Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Blok ini bertujuan untuk merehabilitasi hutan dan lahan untuk
meningkatkan tutupan lahan,yang sebelumnya di dominasi oleh lahan
pertanian terutama komoditas jagung dan tebu, sehingga dibutuhkan blok
model kelola rehabilitasi hutan dan lahan untuk meni
C. Blok III adalah Model Agroforestri untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan
Energi
Tujuan utama blok ini adalah untuk meningkatkan tutupan lahan serta
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sekitar kawasan melalui budidaya komoditas pertanian.

16
D. Blok IV adalah Model Kelola Perlindungan
Blok model kelola perlindungan tersebut memiliki fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Pada blok
tersebut, juga dapat dikembangkan sebagai kawasan pariwisata, dan perikanan
yang tidak mengganggu fungsi lindung serta memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
E. Blok V adalah Areal Peruntukan lain.
Blok areal peruntukan lain adalah area di kawasan hutan yang digunakan
untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan. Pada blok
tersebut dapat dibangun sarana infrastruktur untuk mendukung pengelolaan
seperti gudang penyimpanan dan pengolahan hasil hutan kayu, hasil hutan non
kayu, hasil agroforestri, gudang alat, persemaian, asrama rumah peneliti,
laboratorium lapangan, gedung pelatihan, gedung kemitraan, kantor KHDTK,
dan sentra pemasaran produk-produk .
Tabel 6. Data Pembagian Blok Kluster Pitu Ds

HWD Blok

I II III IV V Areal Sunga Total


non i luas
Kehut (ha)
anan

Pitu DS 294,16 200,08 525,1 - 1,17 0,53 3,41 1.271,


2 71

2.4.3 Adat Istiadat Masyarakat Sekitar Areal Kerja


Masyarakat desa hutan di kluster Pitu DS merupakan masyarakat yang religius dan
memegang adat istiadat. Keseharian masyarakat menjalani kehidupan yang dengan
berpedoman pada nilai-nilai agama dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, serta
tata aturan formal yang berlaku. Lebih dari 99% masyarakat desa hutan memeluk agama

17
Islam, dengan berbagai tingkat pemahaman dan implementasinya dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat memiliki rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dan saling
bahu membahu dalam kehidupan sosial mereka. Gotong royong dalam berbagai acara
masih berlangsung dengan baik, seperti: membersihkan lingkungan, memperbaiki sarana
prasarana umum, memperbaiki rumah, hajatan, merayakan hari besar nasional dan
keagamaan, dll.

2.4.4 Kelembagaan Kondisi LMDH


Pada kluster Pitu-DS mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang telah
ditetapkan oleh petugas desa yang diringkas dalam AD-ART Lembaga Masyarakat Desa
Hutan. Berdasarkan pengamatan yang ada di Desa Dumplengan hanya didapati (KTH)
Kelompok Tani Hutan, sedangkan LMDH sudah tidak beroperasi lagi. KTH berperan
dalam pengelolaan lahan berupa perawatan, pemanfaatan, dan penanaman. Struktur
lembaga KTH terdiri atas kegiatan konservasi tanah dan air pada setiap model kelola hutan
yang dibangun. Ketua: Pak Wagio, Sekretaris: Pak Syamsudin, dan Bendahara: Pak
Bambang Susilo. Kelompok tani hutan (KTH) merupakan bagian dari masyarakat, sebagai
sasaran utama penyuluhan kehutanan saat ini menjadi pelaku utama pembangunan
kehutanan di tingkat bawah.
Metode yang digunakan yaitu dengan wawancara dengan Kepala Desa, Ketua
LMDH, dan warga sekitar Kluster Pitu. Data hasil wawancara tersebut meliputi preferensi
masyarakat desa hutan terhadap usaha yang basisnya sumberdaya hutan dapat
dikembangkan, dan kalender musim yang akan dijabarkan dalam matriks analisis SWOT

18
BAB III
ANALISIS SITUASI DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN

3.1 Analisis Kebijakan


Dalam pengelolaan kluster Pitu-DS mengarah pada kebijakan yang telah dibentuk oleh
pihak UGM. Hal ini berdasarkan visi, misi, tujuan pengelolaan, kondisi biofisik dan sosial,
serta peraturan perundangan yang berlaku. KHDTK Blora-Ngawi berpacu dalam visi misi
yang telah dibentuk sebagai berikut :
Visi
“Menjadi fasilitas dan media aktualisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi UGM dalam
penerapan pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan hutan monsoon lestari dan
inklusif.”
Misi
Visi akan direalisasikan atau diimplementasikan melalui misi pengelolaan KHDTK UGM
Blora-Ngawi sebagai berikut:
1. Menjadi sistem pendukung dan fasilitasi kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian,
pengembangan, dan penerapan pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan
hutan monsoon lestari.
2. Membangun sinergi dan kerjasama antar departemen di Universitas Gadjah Mada
dalam pengembangan keilmuan terkait pembangunan berkelanjutan melalui
pengembangan hutan monsoon lestari.
3. Membangun sinergi dan kerjasama antar institusi dan instansi dalam mendukung
pembangunan KHDTK UGM pada khususnya maupun pembangunan
berkelanjutan di tingkat daerah dan/atau nasional.
4. Mewujudkan model-model rujukan pengelolaan hutan monsoon lestari dan inklusif
yang mandiri dan mampu berkontribusi pada pengembangan institusi Universitas
Gadjah Mada, pembangunan wilayah, pembangunan sektor kehutanan dan
pembangunan Nasional yang berkelanjutan.
5. Mengembangkan penelitian baik mono, multi maupun interdisiplin yang
diperlukan untuk mendukung pengembangan model-model pengelolaan hutan
monsoon lestari dan inklusif.

19
6. Menerapkan teori dan hasil penelitian merujuk pada poin ke-2 untuk pengelolaan
hutan monsoon lestari dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitar KHDTK UGM.

Adapun tujuan pengelolaan KHDTK sebagai berikut:


1. Membangun dan mengembangkan KHDTK UGM agar menjadi sistem pendukung
implementasi Tri Dharma dalam pengembangan, dan penerapan pembangunan
berkelanjutan melalui pengelolaan hutan monsoon lestari.
2. Membangun dan mengembangkan model-model rujukan yang mandiri dan mampu
berkontribusi pada pengembangan institusi Universitas Gadjah Mada,
pembangunan wilayah, pembangunan sektor kehutanan dan pembangunan nasional
yang berkelanjutan.
3. Meningkatkan kekayaan inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan monsoon lestari dan inklusif secara mandiri melalui
penerapan Tri Dharma di KHDTK UGM.
4. Memulihkan dan meningkatkan potensi SDH di KHDTK UGM melalui
pengembangan model-model rujukan pengelolaan hutan monsoon lestari dan
inklusif.
5. Meningkatkan modal sosial dari para pihak yang mendukung pengelolaan KHDTK
UGM dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga dapat
diterapkan pada ruang lingkup yang lebih luas

Berdasarkan visi, misi, tujuan pengelolaan, kondisi biofisik dan sosial serta
pengaturan perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan kluster Pitu ds KHDTK UGM
akan diarahkan pada pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang
menunjukkan jati diri UGM sebagai perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang
mengabdi kepada kepentingan bangsa dan kemanusiaan berdasarkan Pancasila. Penelitian
di KHDTK UGM Blora-Ngawi diarahkan untuk menghasilkan karya yang berdampak
positif terhadap kesejahteraan umat manusia.

20
3.2 Analisis Situasi dan Strategi Pengelolaan

3.2.1 Situasi dan strategi Kelola Produksi (Kayu/Non Kayu/Jasa Lingkungan)


Terdapat lima aspek yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dalam rangka
pengelolaan hutan yang lestari yaitu aspek kepastian dan keamanan sumber daya hutan,
aspek kesinambungan produksi, aspek konservasi flora fauna dan keanekaragaman
hayati serta fungsi dari hutan, aspek manfaat ekonomi, dan aspek kelembagaan. Hal ini
akan berhubungan dengan strategi kelola produksinya. Strategi kelola produksi akan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor internal dan faktor eksternal dari hasil
analisis SWOT. Berdasarkan hasil ground check, komoditas utama pada kluster Pitu ds
adalah Jati (Tectons grandis) dan tanaman pertanian berupa jagung dan tebu. Hal ini
berarti pola tanam pada kluster Pitu ds mengarah ke sistem agroforestry dimana tanaman
pokoknya adalah jati. Berdasarkan hasil analisis SWOT terdapat 15 poin standar
penilaian internal dan 13 poin standar penilaian eksternal. Berdasarkan evaluasi
lapangan dan data yang diolah berdasarkan data primer dan sekunder memperoleh hasil
bahwa pola tanam yang digunakan sebagai alternatif adalah pola tanam tumpangsari
dengan tetap mempertahankan dari potensi yang ada. Pola tanam yang ingin kami
terapkan yaitu tanaman pokok berupa JPP dengan tanaman pagar pisang, tanaman tepi
berupa mahoni dan kayu putih, untuk tanaman pengisi adalah alpukat, dan tanaman
selanya adalah kemladingan. Ditambah dengan pengolahan teknik yang memperhatikan
jarak tanam dan kondisi tegakan dengan monitoring secara berkala sehingga hasil
produktivitasnya akan berkembang lebih baik dan dapat sesuai dengan harapan yaitu
sesuai dengan struktur tegakan dari hutan lestari. Dalam menciptakan sebuah kawasan
yang lebih kondusif dan efektif dalam kegiatan rencana usaha kehutanan ini, perlu
adanya penataan area kerja yang mampu diterapkan prinsip pengaturan kelestarian hutan
melalui penetapan blok, petak, anak petak yang permanen. Pada penataan kawasan hutan
dilakukan mulai dari unit kelestarian terbesar hingga unit pengelolaan terkecil. Kluster
Pitu ds akan lebih menguntungkan jika melanjutkan usaha pertanaman jati. Hal ini juga
mempertimbangkan kondisi lokasi kluster Pitu DS yang dekat dengan pusat kota
(kabupaten ngawi) sehingga memudahlan mobilitas dan akomodas

21
Tabel 7. Analisis SWOT Kluster Pitu DS

HWD STRENGTHS WEAKNESS OPORTUNITIES THREATS

Papungan 1. Masyarakat sebagian 1. Sarana aksebilitas yang 1. Relasi dan kerjasama 1. Perubahan regulasi dari
besar di usia produkti kurang baik 2.Modal usaha yang terbuka 2.Kepastian pemerintah 2.Serangan hama
2.Hasil panen pertanian yang tinggi 3.Peralatan kawasan yang jelas dan penyakit 3.Harga pasar
melimpah 3.Ketersediaan masih minim dalam 3.Adanya peluang ekspor berfluktuatif
lahan yang luas terutama menunjang produksi jagung dan produk
lahan untuk menanam olahannya
jagung 4.Terdapat LMDH

22
Cantel 1.Komunikasi dan kerjasama 1. Belum terdapat kerja 1.Memiliki peluang lebih 1.Harga pupuk untuk tanaman
antara pihak desa dengan sama yang jelas dengan untuk dapat bekerja sama mahal, sehingga sulit untuk
internal sudah baik 2.LMDH pihak eksternal. 2. dengan pihak KLHK dalam didapatkan. 2. Aksesbilitas
di Desa Cantel sudah AD/ART belum jelas pemanfaatan hutan 2.Desa untuk ke lokasi masih belum
kooperatif 3.Kualitas SDM terkait pengaturannya Cantel menjadi desa yang memadai karena jalanan yang
dalam LMDH Desa Cantel karena masih menunggu dilewati oleh transportasi rusak
sudah bagus 4.Hampir 70% keterangan lebih lanjut dari besar 3.Komunikasi antar
penduduk desa berada di pihak UGM dan warga Desa Cantel berjalan
usia yang produktif. pemerintah setempat 3. dengan baik dan kompak
5.Terdapat lahan yang luas Masyarakat menjadi sangat
untuk dapat dimanfaatkan ketergantungan dengan
menanam tanaman pertanian LMDH sehingga apabila
dan tanaman kehutanan tidak ada arahan yang
jelas, masyarakat hanya
akan diam tidak berinisiatif
sendir 4. Penduduk yang
tidak diikuti oleh
keterampilan serta
pengetahuan yang cukup
untuk mengelola serta
mengembangkan usaha

23
yang berbasis kehutanan
5.Masyarakat hanya
bergantung pada hutan dan
tebu sehingga tidak
memiliki penghasilan tetap
yang membuat daya beli
masyarakat rendah

24
Pitu 1.Sekitar 60% penduduk 1. AD/ART tertulis belum 1.Antara triwulan 1 dan 2 1.Harga jual komoditas di pasar
desa berada di usia ada, karena masih beberapa komoditas masuk fluktuatif 2.Biaya perawatan
produktif.2.Kas LMDH dari menunggu surat masa panen 2.Peluang kerja seperti pupuk dan bahan
iuran rutin.3.Sudah terdapat keterangan dari pihak sama dengan KLHK dan semprot untuk penyiapan lahan
dukungan dari KHDTK pengelola UGM 2.Belum pihak swasta yang ramah lingkungan
Getas dan Dinas sekitar. ada kerja sama dengan lain.3.Komoditas pertanian cenderung tinggi 3.Banyaknya
4.Proses pemeliharaan pihak lain 3.Birokrasi yang banyak berpeluang tengkulak menghambat inovasi
dilakukan secara mandiri. kelembagaan yang kurang besar pemanfaatan petani untuk mengolah
5.Banyak kegiatan ormas tertata. 4.Komunikasi antar pengolahan produk-produk komoditas lebih 4.Kurangnya
yang merupakan aset desa pengurus kurang baik. bervariasi 4.Pengintensifan pendampingan terkait
yang bermanfaat untuk 5.Aksesibilitas lokasi sulit sistem agroforestri pengolahan lanjutan komoditas.
dijadikan media karena banyak jalan rusak 5.Penguatan usaha kecil
penyampaian informasi untuk memperluas
dalam setiap proses penguatan pekerjaan
pembangunan desa bersama
masyarakat

25
Dumplenga 1.Luas lahan yang tersedia 1.Meski luas lahan tersedia 1.Terbukanya kerja sama 1.Luas lahan yang tersedia
n sangat banyak, bisa untuk dimanfaatkan, dengan pihak luar terancam dijadikan kebun tebu
dimanfaatkan sedemikian namun terdapat beberapa dikarenakan status lahannya oleh beberapa pihak, untuk
rupa untuk sumber halangan seperti sistem adalah KHDTK (Kawasan mencegah hal tersebut terjadi,
kehidupan 2.Ketersediaan hidrologi yang kurang Hutan dengan Tujuan diperlukan koordinasi dan
sumber daya manusia yang 2.Terdapat ketersediaan Khusus). Sehingga para komunikasi oleh perangkat desa
cukup 3.Adanya partisipasi Sumber Daya Manusia, peneliti kemungkinan besar dan lembaga-lembaga yang
masyarakat mengenai namun ilmu pengetahuan akan hadir di pengelolaan berhubungan dengan
lembaga untuk menaungi dan teknis kehutanan yang HWD 2.Adanya pengelolaan hutan 2.
kelompok petani 4.Adanya kurang 3.Terdapat pengetahuan mengenai Kurangnya ilmu pengetahuan
pengalaman petani yang beberapa sumber daya pengolahan sumber daya akan membuat masyarakat
dilakukan dalam manusia yaitu petani, hutan yang maksimal mudah termanipulasi mengenai
pengelolaan hutan tetapi tetapi lembaga yang membuat peluang proses pengolahan hingga
menggunakan teknis menaungi sudah tidak pemenuhan kebutuhan pemanenan 3.Tidak berjalannya
tradisional 5.Ketersediaan berjalan 4.Terdapat konsumen pasar lembaga yaitu lembaga
sumber daya hutan, ketersediaan sumber daya 3.Berjalannya lembaga masyarakat desa hutan
membuat pemanenan manusia, namun kurang membuat peluang membuat jalan penghubung
dilakukan oleh masyarakat adanya ilmu dan teknis kerjasama oleh pihak ketiga mengenai sosialisasi serta
untuk memperoleh mengenai teknk sebgai penghubung keada penerapan teknik pengelolaan
keuntungan finansia pemeliharaan hutan yang anggota kelompok hutan tehambat 4.Kurangnya
baik 5.Pemanenan yang 4.Adanya hasil hutan yang pengetahuan mengenai teknik

26
dilakukan masyarakat desa maksimal membuat pengolahan hutan yang baik
menggunakan penguasaan terbukanya peluang membuat hasil hutan yang akan
dan pengetahuan kerjasama antara pihak luar dihasilkan kurang maksimal
teknologinya masih dalam pengelolaan hutan 5.Kurangnya biaya, tenaga, dan
tradisional dan turun 5.Pemanenan yang baik fasilitas terbatas, membuat
temurun menghasilkan hasil hutan proses pemanenan sudah lama
kayu yang maksimal tidak dilakukan.
sehingga membuat peluang
kerjasama dengan
erusahaan kayu untuk
memenuhi pasar

27
Ngancar 1.Luas lahan cukup untuk 1. Meski luas lahan 1. Terbukanya kerja sama 1. Beberapa lahan yang ada
memulai suatu usaha tersedia untuk dengan pihak luar berkemungkinan besar
pertanian maupun dimanfaatkan, namun dikarenakan status lahannya dijadikan lahan tebu oleh
perkebunan 2.Ketersediaan terdapat beberapa halangan adalah KHDTK (Kawasan beberapa pihak 2.Kurangnya
sumber daya manusia yang seperti sistem hidrologi Hutan dengan Tujuan ilmu pengetahuan membuat
cukup 3.Ada kontribusi yang kurang 2.Terdapat Khusus). Sehingga para masyarakat mudah mendapat
masyarakat mengenai ketersediaan Sumber Daya peneliti kemungkinan besar informasi yang keliru oleh
lembaga untuk menaungi Manusia, namun ilmu akan hadir di pengelolaan beberapa pihak luar 3.Belum
kelompok petani 4.Adanya pengetahuan dan teknis HWD 2.Adanya ada penanganan tegas mengenai
pengalaman petani yang kehutanan yang kurang pengetahuan mengenai pencurian tanaman perhutani
dilakukan dalam 3.Terdapat beberapa pengolahan sumber daya khusunya jati 4.Mininmnya
pengelolaan hutan tetapi sumber daya manusia yaitu hutan yang maksimal pengetahuan mengenai larangan
menggunakan metode petani, tetapi lembaga membuat peluang penebangan maupun pencurian
tradisional 5.Ketersediaan yang menaungi berjalan pemenuhan kebutuhan tanaman perhutani di kawasan
sumber daya hutan, secara lamba 4.Terdapat konsumen pasar 3.Adanya HWD 5. Kurangnya biaya,
membuat pemanenan ketersediaan sumber daya lembaga membuat peluang tenaga, dan fasilitas terbatas,
dilakukan oleh masyarakat manusia, namun kurang adanya kerjasama 4.Adanya membuat proses pemanenan
untuk memperoleh adanya ilmu dan teknis hasil hutan yang maksimal sudah lama tidak dilakukan.
keuntungan finansial mengenai teknk membuat terbukanya
pemeliharaan hutan yang peluang kerjasama antara
baik 5.Pemanenan yang pihak luar dalam

28
dilakukan masyarakat desa pengelolaan hutan
menggunakan penguasaan 5.Pemanenan yang baik
dan pengetahuan menghasilkan hasil hutan
teknologinya masih kayu yang maksimal
tradisional dan turun sehingga membuat peluang
temurun kerjasama dengan
erusahaan kayu untuk
memenuhi pasar

29
Kalang 1. Terdapat LMDH yang 1. Kepala desa yang 1. Terdapat peluang 1. Belum adanya kestabilan dan
diketahui oleh seorang tokoh menjabat saat ini dirasa pemasaran secara online ketentuan yang jelas untuk
masyarakat bernama Bapak kurang memahami dan untuk menjangkau pengelolaan hutan setelah
Istoni 2.Masyarakat Desa mengakomodir keinginan konsumen lebih luas, baik pengalihan hak kelola hutan
Kalang mayoritas usia dan kebijakan yang melalui E-Commerce untuk (saat ini dipegang oleh UGM),
angkatan kerja sehingga digagas oleh LMDH penjualan produk ataupun yaitu tidak adanya peraturan
SDM penggerak usaha karena kurangnya media sosial untuk jelas mengenai pembagian luas
(sebagai pekerja) banyak, pengetahuan mengenai mempromosikan Desa lahan setiap petani di hutan
serta jarang sekali yang pengelolaan lahan Kalang sebagai sentra buah sehingga saat ini batas lahan
merantau ke luar kota karena sehingga cenderung pasif 2. Terdapat peluang kelola masyarakat menjadi bias
keetrbatasan dana sheingga dalam pengembangan kerjasama dengan Dinas dan timbul banyak kericuhan.
siap digunakan jika usaha produktif berbasis Kehutanan, KHDTK UGM, Pihak LMDH Desa Kalang
dikembangkan suatu usaha kehutanan. Kepala desa pemilik industri, maupun sudah mencoba menyampaikan
produktif di desa tersebut yang menjabat juga antar HWD untuk gagasan untuk penataan lahan
3.Lahan yang tersedia cukup merupakan lawan dari penyediaan modal awal dan kepada UGM dengan membuat
luas yaitu sekitar 95,8 Ha, Bapak Istoni ketika pelatihan keterampilan surat resmi kepemilikan lahan
lahan juga sangat produktif pemilihan dan diduga SDM 3.Terdapat peluang bermaterai oleh setiap
untuk menumbuhkan menyuap sebagian berkembangnya koperasi penduduk yang terdaftar pada
tanaman buah terutama masyarakat mendekati hari MDH yang sudah berjalan LMDH namun belum ada
nangka, alpukat, jeruk pemilihan sehingga dapat di Desa Kalang untuk kepastian yang jelas mengenai
pamelo, jambu kristal, dan terpilih. 2.SDM yang menambah jumlah anggota kelanjutannya 2. Belum adanya

30
durian. Selain itu juga tanah banyak tidak diikuti oleh dan memperluas jaringan ke panduan maupun instruksi yang
masih baik walaupun sudah keterampilan yang cukup HWD lainnya agar jelas dari pengelola untuk pola
digunakan untuk pertanian untuk mengelola lahan dan masyarakat dapat penanaman lahan skema
padi, jagung, dan tanaman mengembangkan usaha meminjam uang sebagai agoroforestri untuk memotivasi
semusim lainnya karena produktif berbasis modal awal, serta LMDH masyarakat membuat hutan
minimnya penggunaan obat kehutanan, sehingga mendapatkan dana untuk kembali 3.Belum adanya
semprot dan pupuk kimia lapangan kerja menjadi operasional dari sebagian penegasan dari pihak KHDTK
4.LMDH memiliki koperasi sempit dan banyak bunga pengembalian. UGM untuk meringkus
yang aktif memberikan pengangguran. Mindset Kemudian koperasi tersebut pencurian kayu dan buah di
pinjaman bagi masyarakat masyarakat muda yang juga dapat menjadi pusat Desa Kalang 4. Belum adanya
yang membutuhkan modal kurang termotivasi pengepulan hasil penegasan dari pihak KHDTK
untuk melakukan menjadi petani dan lebih pengelolaan lahan UGM untuk meringkus
pengelolaan lahan, serta ingin bekerja di pabrik 3. masyarakat dalam jumlah pencurian kayu dan buah di
aktif memberikan SHU pada Lahan tidak besar untuk penyediaan Desa Kalang 5.Harga panen
setiap tutup buku sehingga dimaksimalkan untuk bahan baku di industri lokal yang fluktuatif untuk komoditas
perputaran modal di Desa penanaman tanaman buah sehingga industri dapat pertanian 6.Persaingan pasar
Kalang cukup lancar dan kayu, hanya digunakan berkembang lebih cepat dengan produk luar Desa
walaupun tidak ada bantuan untuk pertanian karena 4.Terdapat peluang untuk Kalang terutama untuk industri
dari pihak luar. 5. Sarana mindset masyarakat yang bekerja sama dengan dinas meubel dan minyak kayu putih
dan prasarana umum di Desa belum menuju ke arah kehutanan untuk 6. Minimnya bantuan modal
Kalang sangat baik, seperti agroforestri dan sangat dikembangkan menjadi
tersedianya jalan yang halus kurangnya keamanan ekowisata sentral buah

31
baik jalan utama, cabang, terhadap pohon kayu dan dengan daya tarik buah- maupun pelatihan dari pihak
dan ranting. Kemudian buah. 4. Perputaran modal buahan dan keramahan luar
terdapat banyak masjid, dari koperasi hanya cukup masyarakat serta kentalnya
musholla, dan lapangan untuk operasional budaya masyarakat di Desa
untuk tempat berkumpul penanaman pertanian saja, Kalang 5. Harga yang tetap
masyarakat. Listrik dan air belum cukup untuk sampai untuk buah-buahan karena
juga sangat berlimpah di ke pengembangan usaha 5. persaingan yang masih
desa ini. 6.Masyarakat Desa Kas desa terlalu minim terutama untuk buah
Kalang sangat ramah dan difokuskan pada alpukat, sedangkan
senang berkumpul bersama, pembangunan sarana dan permintaan tinggi
prasana sehingga sangat
minimal digunakan untuk
pengembangan usaha
produktif berbasis
kehutanan, padahal
masyarakat yang mayoritas
merupakan petani hutan
belum sejahtera.
5.Masyarakat Desa Kalang
sebagian besar masih
sangat pesimis bahwa
hutan bisa dikembalikan

32
dan dapat menguntungkan
lewat pengembangan
usaha produktif karena
banyak sekali oknum dari
internal masyarakat yang
mencuri kayu dan buah-
buahan dan belum ada
tindak penegasan baik dari
LMDH maupun KHDTK
UGM selaku pengelola

33
34
Pada Kluster Pitu ds, memiliki potensi HHBK berupa industri penyulingan minyak
kayu putih, usaha kerupuk singkong, pemanfaatan buah dari tanaman alpukat, nangka,
bambu, dan kolonjono. Minyak kayu putih dapat dijadikan komoditas utama di kluster Pitu,
hal ini dapat dilihat dari masyarakat di desa Dumplengan tampak antusias dengan adanya
praktik penanaman kayu putih. Tetapi persoalannya mereka belum berpengalaman dalam
mengelola lahan dan kayu putih memerlukan luas lahan yang besar karena rendemennya
kecil. Masyarakat desa Dumplengan juga menanam tanaman pertanian di samping tanaman
kehutanan seperti jagung, tebu, dan palawija. Pola tanam tanaman pertanian memiliki jarak
yang rapat sehingga dapat menutupi tanah. Dengan adanya topografi yang didominasi datar
hingga landai membuat dampak adanya erosi juga semakin kecil karena erosi (permukaan)
banyak terjadi di daerah dengan topografi yang cukup curam.
Dari berbagai jenis fauna yang ada di KHDTK Getas UGM, terdapat beberapa jenis
satwa liar yang dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
nomor 106 tahun 2018. Jenis-jenis yang dilindungi tersebut antara lain: burung elang-ular
bido (Spilornis cheela), burung alap alap capung (Microhie fringillarius), burung merak
hijau (Pavo muticus), dan kijang (Muntiacus muntjak).
Struktur tegakan yang terdapat pada Desa Pitu ini didominasi oleh tegakan Jati dan
Jati Plus Perhutani (JPP). Sedangkan tanaman komoditas seperti jagung dan tebu juga
kerap ditemui pada Kluster Pitu DS. Potensi HHBK disini berupa tebu dan jagung. Potensi
yang dimiliki lahan kluster Pitu Ds adalah adanya pohon kayu putih kemudian ditanami
pula pohon penghasil buah dengan bukti pola tanam bersamaan dengan kayu putih dan jati.
Selain dikarenakan adanya bukti pola tanam yang menunjukkan adanya potensi HHBK
kayu putih disana, masyarakat di Desa Dumplengan juga tampak antusias dengan adanya
praktik penanaman kayu putih. Namun masyarakat belum berpengalaman dalam
mengelola lahan kayu putih. Selain itu, lahan kayu putih juga memerlukan luas lahan yang
besar dikarenakan rendemennya terbilang kecil.
Pada potensi jasa lingkungan, desa Dumplengan memiliki potensi yang sangat
penting untuk lingkungan sekitarnya. Setiap tegakan tanaman tentunya memiliki jasa
berupa penyerap dan penyimpanan karbon termasuk pohon Jati. Selain itu, bentang alam
yang disajikan juga cukup menarik dengan pola-pola tanam yang diterapkan masyarakat.
Untuk Jasa lingkungan lainnya yaitu adanya perlindungan terhadap 29 daerah aliran sungai

35
dan perlindungan terhadap adanya bencana alam seperti banjir dan longsor. Terlihat bahwa
jasa tersebut menunjukkan hasil yang baik bagi Desa Dumplengan karena tidak terdapat
kerawanan terhadap bencana alam sehingga tidak terdapat bendungan dan waduk.

3.2.2 Situasi dan Strategi Kelola Sosial dan Kelembagaan


Penyusunan strategi kelola sosial dan kelembagaan dilakukan berdasarkan kondisi
lapangan dan persepsi masyarakat. Analisis faktor strategi meliputi analisis faktor internal
dan faktor eksternal. Analisis faktor internal menggunakan matriks faktor strategi internal
(internal factor analysis summary/IFAS). Sedangkan untuk analisis faktor eksternal
menggunakan faktor strategi eksternal (external factor analysis summary/EFAS).
Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS selanjutnya dibuat diagram SWOT (Rangkuti, 2014
dalam Davinsy, 2015). Analisis SWOT adalah salah satu identifikasi yang bersifat
sistematis dari faktor kekuatan dan kelemahan suatu organisasi ataupun suatu objek serta
peluang dan ancaman lingkungan luar strategi (Hamali, 2016 dalam Suryani et al., 2020).
Analisis SWOT dilakukan untuk menyusun faktor-faktor strategi
organisasi/lembaga/institusi. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan
alternatif strategis. Berikut tabel analisis SWOT yang diperoleh dari Kluster Pitu DS yaitu:
Tabel 8. IFAS Kluster Pitu-DS

IFAS/EFAS STRENGTHS WEAKNESS


Optimalisasi produktivitas lahan
Membentuk sistem hidrologi terpadu
yang tersedia dengan menjalin
dengan bantuan pihak lain. Misalnya
kerja sama dan diskusi dengan
bekerja sama dengan pihak balai DAS
OPORTUNITIES berbagai pihak untuk
Bengawan Solo. Kemudian memberikan
meningkatkan produktivitas lahan
sosialisasi lebih agar lahan dapat
dan nilai ekonomi dari lahan serta
dimanfaatkan secara maksimal
tegakan .

36
Peningkatan kualitas SDM dengan cara
Dibentuk kebijakan yang
pendampingan/monitoring penggunaan
mengatur penggunaan lahan dan
lahan oleh pihak yang bertugas.
diperkuat sanksi serta
THREATS Kemudian membentuk suatu lembaga
pemantauan/monitoring
yang menaungi masyarakat sekitar desa
penggunaan lahan oleh pihak
agar masyarakat mendapat fasilitas
yang bertugas
terkait pengolahan lahan.

Berdasarkan hasil inventarisasi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat desa


hutan, permasalahan dari kluster Pitu-DS yaitu ketergantungan masyarakat terhadap hutan
hanya untuk lahan pertanian saja. Hal tersebut dikarenakan masa panennya cepat, dalam
satu tahun dapat melakukan penanaman dan pemanenan sebanyak dua kali, serta mudah
dalam pemeliharaan dan perawatannya. Selain itu, masyarakat juga belum memahami
sistem pemasaran hasil panen. Masyarakat hanya melakukan penjualan jagung untuk pakan
ternak dan penjualan hanya dilakukan di sekitar desa. Selain tingginya tekad masyarakat
terhadap pemanfaatan lahan yang digunakan untuk menanam tebu juga menjadi sebuah
permasalahan terhadap kluster Pitu-DS. Masyarakat juga belum memiliki inovasi untuk
membuat usaha baru dan masih memiliki pemikiran yang terbatas mengenai perekonomian
yang dilakukan. Dari permasalahan tersebut, maka strategi kelola sosial dan kelembagaan
yang dapat dilakukan yaitu optimalisasi produktivitas lahan dengan melakukan penanaman
sistem agroforestri pola tumpangsari jati dengan tanaman buah-buahan seperti kedondong
untuk meningkatkan output yang dihasilkan. Selain itu, masyarakat juga diberikan
sosialisasi terkait teknik penanaman, pemanfaatan lahan, kesesuaian jenis tanam, serta
pemasaran hasil hutan kemudian dilakukan pelatihan untuk melakukan kerjasama dengan
pihak lain misalnya kerjasama dengan pihak balai DAS Bengawan Solo dalam membentuk
sistem hidrologi terpadu. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap kelembagaan seperti
LMDH dan Karang Taruna cukup tinggi. Namun, pada beberapa HWD di kluster Pitu-DS
masih ada yang tidak memiliki kelembagaan tani, kemudian kelembagaan tersebut
terkadang kurang rutin dalam menjalankan program-programnya. Sumber daya manusia di
sini cukup tersedia namun untuk kemampuan dalam teknik kehutanan, seperti penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan, masih kurang. Perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat

37
lebih lanjut agar program-program kelembagaan dapat terlaksana dan berjalan dengan baik,
misalnya melalui kegiatan sosialisasi.
Kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh KHDTK untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Pitu-DS yaitu membentuk mentalitas dan pola pikir masyarakat
yang mengedepankan pengelolaan hutan secara lestari. Program riil yang dapat dilakukan
yaitu program penanaman Multi Purpose Tree Species (MPTS) yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat itu sendiri, selain sebagai lahan konservasi. Selain itu, dapat juga
dilakukan pendampingan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
memberikan beberapa luas lahan untuk ditanami komoditas lain bernilai tinggi supaya
mendukung peningkatan kondisi ekonomi masyarakat. Setelah itu, program
pengembangan usaha desa, misalnya KHDTK UGM bekerja sama dengan pemerintah
membantu memasarkan hasil pertanian atau komoditas lainnya melalui kemitraan dengan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Selanjutnya, untuk hal perlindungan dan
pengamanan kawasan, di sini termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan pemaparan
salah satu warga, hal tersebut dikarenakan akses jalan yang sulit sehingga pencurian kayu
mudah dilakukan serta penyemprotan insektisida oleh warga masih banyak dilakukan.
Sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pencurian yaitu dengan
dibentuk kebijakan yang mengatur penggunaan lahan dan diperkuat sanksi serta
pemantauan atau monitoring penggunaan lahan oleh pihak yang bertugas.

3.2.3 Situasi dan Strategi Pemasaran


Strategi Pemasaran diperlukan dengan adanya SDM sebagai penggerak kegiatan
usaha yang telah dirancang dan dikelola secara profesional. Pengelolaan SDM yang paling
penting dalam menjalankan kegiatan usaha pada Lembaga khususnya di Kluster Pitu DS
dimulai dari :
1. Perencanaan tenaga kerja yang membutuhkan jumlah tenaga kerja yang diinginkan.
2. Pengadaan tenaga kerja
3. Pelatihan tenaga kerja
4. Perencanaan pegawai dalam menentukan karir
5. Kebijakan dalam pengelolaan SDM

38
Adanya strategi pemasaran dapat bertujuan mempercepat pertumbuhan suatu usaha
kehutanan, sasaran pasar tepat atau sesuai dengan target, dan mampu memaksimalkan
sumber yang dimiliki dalam sebuah perusahaan. Target pasar dari sebuah usaha kehutanan
yang akan dikembangkan terdiri dari masyarakat sekitar lokasi pengembangan usaha
kehutanan, kelembagaan masyarakat hutan (Kelompok masyarakat desa hutan pengelola
hutan, kelompok masyarakat pengelola usaha produktif berbasis sumberdaya hutan, dan
warga masyarakat pengelola usaha produktif berbasis sumberdaya hutan), anggota HKm,
beberapa pihak di bidang kehutanan hingga masyarakat umum.
Setelah penentuan SDM maka tahapan dalam pemasaran yaitu menentukan tujuan
dan anggaran untuk pemasaran yang nanti akan dikelola oleh SDM. tujuan dari strategi
pemasaran adalah untuk meningkatkan hasil komoditi yang ada di Kluster Pitu DS dimana
komoditi menyesuaikan dengan produk atau barang yang ada di Kluster Pitu DS. Dengan
fungsi untuk meningkatkan conversion atau meningkatkan revenue di Kluster Pitu DS.
Kemudian anggaran yang menyesuaikan perencanaan kondisi produk dan planning yang
ada.
Pada Kluster Pitu DS masyarakat umum menjual hasil pertanian pada pengepul
baik itu jagung maupun tebu. untuk itu pada strategi pemasaran dapat ditargetkan terlebih
dahulu untuk konsumen yang dituju, kemudian jika sudah menentukan target maka dapat
dilakukan strategi pemasaran dengan melalui penjualan produk melalui UMKM, dan
bermitra pada suatu pengelola usaha yang ada. Kemudian pengoptimalisasian bahan baku
yang akan dipasarkan dengan harga yang tidak turun secara drastis sehingga dalam
penjualan produk para masyarakat setempat mempunyai keuntungan yang dapat dirasakan.
Pada pemasaran UMKM tentu produk yang akan dijual haruslah produk yang sudah jadi
sehingga dalam pemasaran nanti akan ada nilai tambah jual sehingga akan meningkatkan
harga bahan baku yang ada. Lalu pada mitra di sebuah perusahan tentu harus memiliki
kesepakatan dalam menjual bahan baku sehingga harga yang akan disepakati tidak akan
turun secara cepat namun pemasaran bahan baku yang ada akan mendapatkan keuntungan
dalam strategi pemasaran. Dalam strategi pemasaran memiliki cakupan yaitu :
● Posisi pasar yang ditargetkan,
● Strategi penetapan harga dan pemilihan kemasan.
● Strategi pemasaran

39
● Respon konsumen sebagai bentuk evaluasi
Sehingga pada 4 cakupan tersebut Segmentasi Pasar akan terlihat dimana setiap
konsumen memiliki kebutuhan dan kebiasaan berbeda. Hal ini dapat memicu dalam
pemasaran akan terdapat banyak kebutuhan konsumen yang akan diminta yang nantinya
pada Kluster Pitu DS akan membuat inovasi pemasaran produk yang mereka punya nanti,
sehingga Kluster Pitu DS akan melakukan klasifikasi pasar yang awal mulanya bersifat
heterogen akan menjadi sebuah kesatuan pasar bersifat homogen.

3.2.4 Situasi dan Strategi Pendanaan


Strategi pendanaan dibutuhkan dalam usaha kehutanan sehingga dapat diketahui
modal yang dibutuhkan, asal dana, dan bagaimana siklus dana yang bekerja. Adapun
strategi pendanaan untuk rencana kehutanan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mitra Bisnis
Strategi dengan mencari partner bisnis dalam hal ini dapat bekerja sama dengan pemerintah
dan pengusaha-pengusaha lokal maupun mancanegara. Kemampuan tanaman Jati yang
dapat tumbuh dan berkembang di tanah kluster Pitu-DS menjadikan peluang tinggi kluster
Pitu-DS untuk mendapatkan dana, mengingat kayu Jati memiliki nilai jual tinggi yang
dapat digunakan pada perusahaan mebel dan perusahaan pertukangan kayu.
2. Keikutsertaan Program UMKM
Bertumbuhnya UMKM dapat memperluas untuk kerjasama kepada UMKM, dengan
adanya perjanjian kerja sama dapat mendapatkan dana dari kerjasama tersebut. Contohnya
adalah dukungan modal UMKM briket arang, dengan perjanjian bahan pasok dibeli dari
usaha kehutanan, maka hal ini dapat menjadi strategi pendanaan.
3. Dana Pinjaman
Dana pinjaman terdiri dari hutang bank dan obligasi. Perolehan dana dapat berasal dari
pinjaman kepada Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa. Pinjaman
dari pemerintah akan mendapatkan kucuran dana yang sangat besar, tetapi karena statusnya
pinjaman modal perlu diperhitungkan untuk target penghasilan yang didapatkan sehingga
tidak terjadi kolaps, karena tidak mampu untuk menutup hutang tersebut.
4. Serta modal dari diri sendiri

40
Modal sendiri dapat didapatkan dari dana pemilik usaha yang mendukung kesejahteraan
masyarakat khususnya masyarakat kluster Pitu-DS. Modal sendiri terdiri dari laba ditahan
dan saham atau bisa juga dari investor.

41
BAB IV
RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HUTAN UNTUK JANGKA WAKTU
SEPULUH TAHUN

4.1 Rencana Prasyarat

4.1.1 Rencana Organisasi Pengelolaan Hutan Kluster Pitu DS


Pengelolaan lingkungan dan hutan diperlukan adanya pengaturan dan perencanaan
yang didasari oleh pengaturan secara hukum. Pemerintah mengeluarkan kebijakan
mengenai pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan yang disebut dengan KPH.
Kesatuan Pengelolaan Hutan atau disebut dengan KPH merupakan organisasi yang
bekerja di tingkat tapak dan diusahakan menjadi litigasi agar terlaksana sistem
pengelolaan hutan yang lestari secara fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan serta dapat
mewujudkan kesejahteraan masyarakat di dalamnya (Rahmadanty dkk., 2021).
Pengelolaan kawasan hutan ditata dalam bentuk pengorganisasian dengan tujuan
kesejahteraan dan kelestarian hingga unit terkecil yaitu petak. Dalam pengorganisasian
kawasan hutan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi struktur pengorganisasian
seperti pembangunan dan pemeliharaan lahan, topografi, fasilitas transportasi,
aksesibilitas, karakter hutan, inventarisasi hutan, dan lain-lain. Pada praktik yang
dilakukan dalam rencana usaha kehutanan dilakukan untuk menjamin kelestarian yang
dilakukan pada Hutan Wengkon Desa (HWD). Hutan Wengkon Desa (HWD)
merupakan kawasan hutan yang masuk dalam wilayah administrasi desa.
Pada pengorganisasian pengelolaan hutan kluster pitu ds terdapat planning unit
yang terbagi dalam beberapa working circle yaitu pekerja teknis penanaman,
pemeliharaan, dan penebangan. Dengan berbagai pertimbangan faktor, working circle
dapat terbagi menjadi beberapa blok karena terdapat pertimbangan faktor geografis
yaitu working circle dapat terbagi menjadi beberapa petak. Tujuan pembagian dalam
wilayah petak adalah untuk menjalankan kegiatan teknis pengelolaan secara efektif
tingkat tapak yang harus diselesaikan pada periode tertentu. Pada penentuan pembagian
petak didasarkan kemampuan beban kerja yang disesuaikan oleh luas areal penanaman
berdasarkan kemampuan beban kerja dan pengawasan. Tetapi pada suatu kasus petak
dibagi lagi menjadi anak petak dikarenakan terdapat perbedaan kondisi tegakan,

42
topografi, dan lain sebagainya, sehingga harus disesuaikan dengan perlakuan
silvikulturnya.
Pada penataan kawasan hutan perlu adanya lembaga kemasyarakatan yang menjadi
salah satu lembaga pegangan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan tersebut memiliki
peran dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat guna
meningkatkan kesejahteraan, keterampilan SDM, meningkatkan peran masyarakat
dalam bidang sosial-ekonomi, serta meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
sumber daya alam yang terdapat di dalam hutan. Pada pengamatan praktik yang telah
dilakukan di Desa Dumplengan terdapat Kelompok Tani Hutan. Kelompok tani hutan
merupakan suatu kelompok yang berisikan masyarakat yang memiliki pekerjaan utama
sebagai tani yang mengelola di lahan hutan dan sebagai sasaran utama penyuluhan
kehutanan, hal tersebut dikarenakan kelompok masyarakat tersebut sebagai pelaku
utama pembangunan kehutanan di tingkat bawah. Menurut Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor.P.57/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani
Hutan, KTH merupakan kumpulan petani atau perorangan warga negara Indonesia
beserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang kehutanan baik di dalam maupun
di luar kawasan hutan yang berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu
serta jasa lingkungan (Kemenhut, 2014). KTH yang berusaha di bidang kehutanan
seperti pembibitan, agroforestry, silvopasture, silvofishery, pemanfaatan jasa
lingkungan, jamur tiram, ulat sutra, lebah madu, dan lain sebagainya. Pada pengamatan
di Desa Dumplengan KTH didominasi bergerak di bidang agroforestry yang
memadukan kegiatan penanaman atau pengelolaan hutan dengan tanaman kehutanan
berkayu dan tanaman jangka pendek atau tanaman pertanian (Manggala dkk., 2018).
Dalam struktur lembaga kelompok tani hutan desa dumplengan terdapat ketua yaitu
Bambang Suselo, Sekretaris yaitu Bapak Jan, Bendahara yaitu Bapak Syamsudin, serta
anggota KTH yang berperan aktif dalam sistem pengelolaan hutan dan lahan desa.
Kelembagaan yang ada di klaster pitu DS adalah LMDH yang terdapat disetiap
HWD, tetapi pada hasil inventarisasi sosial ekonomi yang berada di Desa Dumplengan
ditemukan LMDH Dumplengan yang sudah tidak aktif lagi. Ketidak aktifan LMDH
tersebut dikarenakan struktur organisasi yang mati dan perlu adanya reorganisasi
struktural terutama di bagian ketua LMDH. Permasalahan konflik yang menyebabkan

43
LMDH tersebut tidak aktif berada di ketua LMDH yang kurang hingga tidak
mengarahkan atau mengayomi anggota, oleh sebab itu diperlukan adanya reorganisasi
struktur LMDH agar LMDH dapat berjalan lebih aktif dan sebagai wadah
pengembangan masyarakat desa hutan. Tidak hanya berfokus dalam satu LMDH, guna
tujuan pengembangan masyarakat perlu dilakukan kerja sama dan koordinasi yang baik
antar LMDH. Kecamatan Pitu memiliki beberapa LMDH yang terletak di Desa Pitu,
Dumplengan, Cantel, Kalang, Ngancar, dan Papungan, LMDH yang berada di desa-desa
tersebut untuk mewujudkan adah pengembangan masyarakat diperlukan koordinasi
dengan cara focus group discussion secara berkala. Kemudian diperlukan adanya
monitoring secara berkala terkait keaktifan LMDH sehingga agar tetap aktif berjalan.
Mendukung LMDH yang berperan aktif dan saling berkoordinasi satu sama lain
diperlukan peran dari pemerintah kabupaten atau kecamatan untuk monitoring dan
pengawasan terhadap program kerja setiap LMD. Pemerintah kecamatan Pitu dapat
memberikan program yang mendukung adanya kerja sama setiap LMDH yang ada
setiap desa, dengan program yang diselengarakan diahrapkan dapat memabngun
kekerabatan dan persaudaraan yang lebih kuat setiap LMDH. Program yang dapat
diselenggarakan seperti pasar UMKM yang menyajikan dan menawarkan setiap produk
dari LMDH. Program tersebut selain menambah relasi setiap LMDH juga dapat
mengenalkan kepada masyarakat luas terhadap potensi yang terdapat di setiap LMDH
dan meningkatkan ekonomi masyarakat desa.

Gambar 2. Grafik Pengorganisasian Kawasan

44
4.1.2 Rencana Tata Batas
Penataan batas kawasan hutan merupakan kegiatan yang meliputi proyeksi batas,
pemancangan patok batas, inventarisasi, penyelesaian hak-hak pihak ketiga,
pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan, serta berita acara tatabatas. Tidak
adanya batas spasial yang jelas antara Kawasan hutan dan wilayah perhutanan sosial
yang dapat mereka kelola membuat petani mengekspansi hutan karena ketidaktahuan
mereka (Amirudin, 2019). Untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat desa hutan
serta mendukung usaha rehabilitas lahan dan mencegah atau menekan laju perambahan
hutan maka perlu adanya perencanaan pengaturan hasil hutan kayu. Dalam praktik
Perencanaan Pengaturan Hasil Hutan Kayu diperlukan tahapan yang sistematis untuk
pengelolaan hutan yang lestari. Tahap pertama yang perlu dilakukan yaitu evaluasi tata
batas areal kerja dan pengoorganisasian kawan yang dilakukan dengan pengamatan
kondisi aktual setiap pal batas di lapangan beserta koordinat geografisnya. Dalam
melakukan evaluasi tata batas diperlukan beberapa metode yang meliputi tiga bagian,
yaitu evaluasi penataan batas areal kerja atau unit kelestarian, evaluasi pengorganisasian
pengelolaan lahan dan tegakan hutan, serta evaluasi infrastruktur jaringan jalan atau
pembukaan wilayah hutan.
Penataan batas izin pemanfaatan hutan dilakukan dengan tahapan persiapan,
kemudian pelaksanaan tata batas, dan terakhir penetapan areal kerja. Kegiatan
pelaksanaan tata batas kawasan hutan di lapangan dilaksanakan dengan melibatkan
panitia tata batas yang terdiri dari perwakilan BKPH, Dinas Kehutanan Provinsi, Badan
yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Penataan Ruang di tingkat Kab./kota,
Kantor Pertanahan ART/BPN Kab./Kota, Bagian Tata Pemerintahan Setda Kab./Kota,
UPT lingkup Kementerian, Camat setempat, instansi yang membidangi kelautan, pesisir
dan pulau kecil apabila di wilayah kawasan konservasi perairan. Batas kawasan pada
wilayah daratan terdiri dari tiga bentuk, yaitu batas alam, batas buatan, dan batasan
menurut garis lintang dan bujur. Dalam rencana tata batas areal kerja kawasan hutan
diukur berdasarkan batas alam dan batas buatan yang didalamnya mencakup batas
sendiri dan batas persekutuan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor.P.19/Menhut-II/2011 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan
Hutan, menyatakan bahwa batas sendiri merupakan batas areal kerja izin pemanfaatan

45
hutan yang tidak berbatasan dengan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan lainnya.
Sedangkan batas persekutuan merupakan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan yang
berbatasan dengan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan lainnya. Batas alam dan
batas buatan yang berada di lalam kawasan hutan di Kluster Pitu Ds sangat beragam,
yaitu terdapat batas alam dengan Sungai Bengawan Solo dan batas buatan dengan
pemukiman warga serta Waduk Asmoro Pentuk Mbamban yang terletak di dusun
Watugudel, Kecamatan Pitu.
Tata batas kawasan hutan yang terpelihara akan memperjelas kepastian hukum
kawasan hutan dan meminimalkan terjadinya konflik dengan area di luar atang yang
berbatasan langsung dengan hutan. Pemeliharaan tanda batas kawasan hutan dilakukan
dengan memperbaiki tanda batas dalam keadaan rusak ringan, mengembalikan posisi
tanda batas yang bergeser ke posisi semula, dan mengganti tanda batas yang hilang.
Pada kawasan hutan di kluster Pitu Ds setidaknya 30% kondisi pal batas pada setiap
HWD mengalami kondisi rusak atau hilang. Sehingga perlu adanya perbaikan untuk pal
yang rusak dan mengganti pal yang hilang. Selain itu, pada kondisi pal yang dinyatakan
baik cukup dilakukan pengecatan ulang pada nomor pal serta perlu dilakukan
monitoring secara berkala untuk memastikan kondisi pal tetap baik.
Tabel 9. Rencana Tata Batas Areal Kerja

NO URAIAN PANJANG KETERANGAN


BATAS

KM (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Batas Alam

a. Batas Sendiri (dengan non Kawasan) 1.046 1.34% Rekonstruksi


Tata Batas BKPH
Wilayah XI
Yogyakarta

b. Batas Persekutuan dengan Perhutani - - -

2. Batas Buatan

46
a. Batas Sendiri (dengan non Kawasan) 28.734 36.11% Rekonstruksi
Tata Batas BKPH
Wilayah XI
Yogyakarta

b. Batas Persekutuan dengan Perhutani 49.793 62.57% Rekonstruksi


Tata Batas BKPH
Wilayah XI
Yogyakarta

4.1.3 Rencana Penataan Areal Kerja


Penataan Areal Kerja adalah serangkaian kegiatan dalam perencanaan untuk
mengatur dan membuat batas-batas bagian hutan serta blok dan petak atau anak petak,
yang ditujukan untuk mengetahui lokasi, aksebilitas, dan luas areal yang direncanakan
akan ditebang. Selain itu, penataan areal kerja juga ditujukan untuk mengatur alokasi
pemanfaatan areal kerja guna membuat perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
pengawasan kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja menurut pertimbangan
perlindungan dan produksi. Areal Kerja ditetapkan berdasarkan hasil dari pelaksanaan
penataan batas yang memuat letak, batas, luas, fungsi tertentu dan titik koordinat batas
yang dituangkan dalam bentuk peta.
Penataan areal kerja diperlukan untuk memudahkan pengelolaan unit pengelolaan
hutan dengan tujuan untuk mengatur areal kerja sehingga pengelolaan hutan dapat
efisien. Penataan ini penting untuk meningkatkan kualitas kawasan dan kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Pengambilan keputusan penataan kawasan dirangkum dalam
dokumen Rencana Usaha Kehutanan yang didasari oleh kondisi biofisik (kondisi dan
potensi tegakan serta kondisi ekologi) dan sosial ekonomi dalam kawasan yang dikelola.
Penataan yang baik dapat memperbaiki kondisi fisik lingkungan, meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman tepi sungai, dan pengembangan sarana prasarana kawasan yang
dapat menunjang perkembangan wisata dan pemanfaatan kawasan lainnya. Pada
penataan kawasan hutan dilakukan mulai dari unit kelestarian terbesar hingga unit
pengelolaan terkecil. Petak hutan adalah unit manajemen dan unit administrasi terkecil
dari implementasi asas kelestarian hasil dengan luasan tertentu dan permanen yang
mendapat perlakuan pengelolaan dan silvikultur yang sama. Sementara itu, acuan petak-

47
petak perhutani dapat diartikan sebagai petak-petak hutan yang dikelola oleh Perum
Perhutani. Petak-petak tersebut memiliki nomor dan batas-batas tertentu yang
digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan hutan. Kemudian adanya penetapan blok
kerja tahunan berdasarkan daur yang diperkirakan mempunyai produktifitas hampir
sama serta mempertimbangkan bentang alam.
Pada rencana penataan areal kerja kawasan hutan Kluster Pitu Ds, terdapat banyak
petak yang tersebar di dalam 6 HWD sehingga pengorganisasian dan penggunaan lahan
pada areal kerja tersebut sangat beragam. Penggunaan lahan paling umum pada kawasan
hutan yang dilakukan oleh KHDTK UGM dan masyarakat sekitar yaitu lahan dengan
tegakan Jati, Lahan basah, Tegakan Mahoni, Tanah Kosong, dan beberapa tanaman
agrikultur seperti jagung dan tebu. Berdasarkan data citra terlihat bahwa kawasan Pitu
Ds memiliki lahan dengan tegakan jati dan mahoni serta banyak lahan yang tidak
produktif. Sehingga perlu adanya perbaikan terhadap penataan areal kerja karena
banyak perubahan pada kondisi suatu petak yang dapat dilihat dari citra maupun hasil
ground check di lapangan.

Gambar 3. Peta Evaluasi Pengorganinasian Kawasan

48
4.1.4 Rencana Inventarisasi
Inventarisasi hutan perlu dilakukan sebagai bentuk usaha untuk menguraikan
kuantitas dan kualitas potensi hutan yang kemudian hasilnya digunakan sebagai bahan
perencanaan pengelolaan hutan agar memperoleh hasil kelestarian (Suryanto dan
Asyari, 2022). KPH semestinya memiliki tenaga lapangan serta kapasitas yang baik atau
memadai untuk melakukan kegiatan praktik pengelolaan hutan lestari dan kemampuan
dalam melakukan penilaian maupun inventarisasi sumberdaya hutan seperti penilaian
pada potensi jasa lingkungan, penilaian karbon, penilaian biodiversity, dan penilaianan
sumberdaya hutan lainnya. Sehingga dalam hal ini perlu perhatian dan pengelolaan serta
perencanaan secara khusus terkait dari pengelolaan hutan lestari pada aspek penilaian
atau inventarisasi sumberdaya hutan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor.P.33/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB) Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada hutan Produksi,
menetapkan bahwa Pedoman IHMB digunakan sebagai pedoman pelaksanaan IHMB di
lapangan oleh pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT dan Pengelola Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Di Perum Perhutani IHMB dilakukan tiap 10
tahun dalam rangka penyusunan dokumen RPKH. Inventarisasi pada hutan alam
dilakukan pada semua jenis pohon, sedangkan pada hutan tanaman dilakukan pada
pohon hasil tanaman pada tanaman pokok. Hasil inventarisasi menjadi dasar
perhitungan Annual Alowable Cut (AAC) untuk IUPHHK-HA dan dasar perhitungan
etat untuk IUPHHK-HT kayu pertukangan. Hasil inventarisasi memperlihatkan bahwa
sediaan tegakan yang merupakan aset Perhutani, apabila terjaga dan dikelola dengan
menerapkan prinsip sustain yield akan dapat diperoleh hasil yang prospektif dan
berkelanjutan.

4.1.5 Rencana Pengadaan Sarana dan Prasarana


Pengelolaan kawasan hutan ditata dalam bentuk organisasi kawasan mulai dari satu
unit kelestarian hingga unit pengelolaan terkecil berupa petak. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi struktur pengorganisasian kawasan, di antaranya yaitu pembangunan
dan pemeliharaan lahan, area pemasaran, topografi, fasilitas transportasi, karakter hutan,

49
dan lain-lain. Sarana dan prasarana yang berada di suatu wilayah memberikan landasan
terhadap kelancaran perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah (Ramadhani,
2017). Keterbatasan aksesibilitas, ketersediaan sarana prasarana, dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi tingkat
kesadaran masyarakat untuk menempuh pendidikan formal. Kondisi ini banyak terjadi
di desa-desa sekitar KHDTK UGM Blora-Ngawi sehingga pengetahuan dan
kemampuan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan masih kurang. Pada
pengelolaan KHDTK UGM Blora-Ngawi perlu dikembangkan tata ruang yang dapat
mendukung integrasi usaha dalam rangka optimalisasi pemberdayaan potensi pertanian,
industri dan perdagangan secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam bentuk struktur ruang dan pola ruang serta kawasan
strategis yang didukung oleh fasilitas, sarana dan prasarana pendukung yang merata di
seluruh wilayah sesuai dengan kebutuhan setiap kawasan.
Untuk menjamin pengelolaan hutan lestari serta memaksimalkan pemanfaatan hasil
hutan, maka adanya prasarana aksen keluar masuk hutan harus tersedia dengan baik
sehingga kegiatan-kegiatan penanaman, pembinaan hutan, perlindungan hutan,
pemanenan hasil hutan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan dapat dilakukan dengan
lancar dan mudah. Jaringan jalan merupakan bentuk dari Pembukaan Wilayah Hutan
(PWH) yang merupakan salah satu pendukung pengelolaan hutan yang lestari
(Sustainable Forest Management). PWH meliputi tersedianya akses jaringan jalan hutan
dan sarana-prasarana yang mendukungnya.
Kawasan KHDTK UGM Blora-Ngawi termasuk dalam DAS Bengawan Solo yang
terbagi menjadi dua yaitu Sub DAS Bengawan Solo Hulu dan Sub DAS Bengawan Solo
Hilir. Sungai yang terdapat di area KHDTK UGM Blora-Ngawi ini, sebagian masih
berfungsi sebagai prasarana perhubungan, sumber air bersih, dan budidaya ikan. Selain
itu, kawasan hutan yang dibutuhkan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang
mendukung pengelolaan KHDTK UGM Blora-Ngawi. Pada pengelolaan KHDTK
UGM Blora-Ngawi perlu direncanakan pembangunan sarana infrastruktur yang
mendukung seperti gudang penyimpanan dan pengolahan hasil hutan kayu, hasil hutan
non kayu, hasil agroforestri, gudang alat, persemaian, asrama rumah peneliti,
laboratorium lapangan, gedung pelatihan, gedung kemitraan, kantor KHDTK, dan

50
sentra pemasaran produk-produk KHDTK UGM Blora-Ngawi. Lokasi yang dipilih
adalah area yang paling mudah diakses oleh masyarakat (Desa Pitu).
Peningkatan sarana dan prasarana pendukung model pengelolaan hutan lestari yang
sesuai untuk RUK dimana melihat dari Kluster Pitu DS yang dekat dengan perkotaan
hal ini menambah nilai potensi dari Kluster Pitu DS sendiri yang dimana jika jalan
diperbaiki lebih baik akan meningkatkan potensi dari wisatawan atau pembeli untuk
datang ke Kluster Pitu DS, selain itu dengan mendirikan shalter atau tempat tinggal
untuk para pekerja sehingga akan meningkatkan nilai kekeluargaan dari warga yang ada.
Dalam rangka peningkatan sarana prasarana ini dilakukan pada setiap tahunnya dengan
monitoring juga secara berkala.

4.2 Rencana Kelola Produksi

4.2.1 Sistem dan Teknik Silvikultur


Silvikultur intensif (SILIN) merupakan salah satu dari kegiatan yang dapat
membantu dalam peningkatan mutu tanaman dimana sistem silvikultur sendiri adalah
proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga
menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Tanaman yang tumbuh dengan baik
dapat dilakukan dengan pemuliaan tanaman, manipulasi lingkungan, serta dengan
melakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit. Pemuliaan tanaman sendiri dapat
dimulai dengan perbenihan tanaman yangmana hal ini melihat sumberdaya serta potensi
dari genetik yang ada sehingga jika memilih genetik yang baik akan menghasilkan
jaminan mutu yang baik pula pada benih. Perbenihan tentunya dimulai dari persermaian.
Pada kluster Pitu-DS sendiri pemanfaatan lahan dilakukan dengan menanam Jati,
sehingga untuk persemaian Jati sendiri akan lebih baik menggunakan metode stek
pucuk. Hal ini karena metode stek pucuk Jati sendiri menghasilkan bibit yang baik
sehingga mempermudah dalam proses penanaman serta proses-proses kedepannya.
Keberhasilan stek ditentukan oleh kondisi lingkungan yang baik bagi keberhasilan
proses fotosintesis yang maksimal dan respirasi yang seimbang (Fitriani, et al., 2017).
Oleh karena itu, persemaian sendiri tentunya memerlukan manipulasi lingkungan

51
dengan tujuan untuk menghasilkan keadaan sementara yang tidak menguntungkan bagi
beberapa serangga sehingga kesehatan tanaman dapat terjaga.
Pengelolaan tanaman jati menggunakan sistem silvikultur intensif. Menurut
Nai’em (2005), terdapat serangkaian kegiatan yang perlu diperhatikan dalam penerapan
silvikultur intensif, antara lain:
1. Penggunaan bibit unggul akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan
berbatang lurus
2. Penentuan jarak tanam yang tepat
3. Pemangkasan cabang (prunning) pada saat jati berumur muda akan menghasilkan
batang tanpa cacat mata kayu dan batang bebas cabang tinggi;
4. Penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antar pohon dalam
memperoleh makanan (hara) dari tanah dan cahaya matahari sehingga
mempercepat pertumbuhan diameter pohon;
5. Pemupukan dengan jenis dan dosis yang tepat pada tanaman jati akan mempercepat
petumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar;
6. Pengendalian gulma secara efektif, perlindungan dari gangguan hama dan penyakit,
kebakaran, penggembalaan, dan satwa liar akan menjamin pohon tumbuh sehat dan
normal sehingga menghasilkan kayu berukuran besar dan bebas dari cacat.
Pola tanam agroforestri yang diterapkan di klaster Pitu-DS yaitu kombinasi
tanaman kehutanan berupa Jati dan lamtoro dengan tanaman semusim atau pertanian
berupa jagung. Jagung dipilih atas dasar preferensi masyarakat sekitar hutan. Jagung
yang ditanam memiliki produktivitas tinggi sehingga menjadi sumber pendapatan utama
masyarakat sekitar. Lalu untuk mengurangi dampak negatif penanaman monokultur Jati,
dipilih juga tanaman lamtoro sebagai tanaman pengisi. Lamtoro merupakan tumbuhan
fast growing yang memiliki banyak manfaat, antara lain sebagai hijauan pakan ternak,
penghasil kayu bakar, tanaman penghijauan yang mampu memperbaiki kesuburan
tanah, dan pencegah erosi (Departemen Pertanian, 1983).
Selain pola tanam agroforestri jati dan jagung yang difokuskan untuk hasil hutan
kayu dan hasil pertanian, di kawasan Kluster Pitu-DS juga dikembangkan budidaya hasil
hutan bukan kayu yaitu alpukat. Tanaman buah yang dipilih yaitu alpukat. Alpukat
dipilih karena masyarakat sudah memahami bagaimana cara penanaman hingga

52
pemanenannya serta memiliki nilai jual yang tinggi. Pohon alpukat yang ditanam
dengan jarak tanam 12 x 9 meter menyisakan ruang yang cukup untuk dapat ditanami
tanaman bawah seperti kacang, jahe, dan kencur. Masa berbuah Alpukat sendiri cukup
cepat dimana umur empat tahun sudah dapat berbuah 2 kali dalam setahun. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam penanaman dan perawatan pohon alpukat yang pertama yaitu
persiapan bibit. Sebelum penanaman, kondisi lahan dan iklim perlu diperhatikan,
kecocokan kondisi lingkungan ini sangat mempengaruhi bagaimana pertumbuhan dan
produktivitas alpukat itu sendiri. Dalam proses perawatan tanaman, hal-hal yang perlu
diperhatikan yaitu ketersediaan air, terutama ketika tanaman alpukat masih berada pada
tahap awal penanaman, perlu dilakukan penyiraman secara rutin. Pemberian pupuk di
tahap awal penanaman juga perlu dilakukan, akan lebih baik jika diberikan pupuk
kandang seperti kotoran kambing dan kompos dari buah busuk. Perawatan lainnya yaitu
melakukan pemangkasan supaya konsentrasi air dan hara tidak tersebar untuk
pertumbuhan tunas baru, tetapi untuk pertumbuhan buah agar dihasilkan buah dengan
kualitas yang tinggi. Selain itu, proses pembersihan dari rumput liar juga perlu dilakukan
di sekitar tanaman alpukat, hal ini sangat dianjurkan agar mengurangi persaingan nutrisi.
Pola tanam agroforestry ini selain dimanfaatkan secara pribadi juga prospek harga
pasarnya cukup tinggi. Sehingga, dengan pengembangan budidaya hasil hutan bukan
kayu diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sehari-hari dari masyarakat sekitar
hutan.

4.2.2 Pengaturan Hasil Hutan


Pengaturan hasil hutan dilakukan karena untuk tujuan mencapai kelestarian
pengelola hutan dan kelompok masyarakat pengelola usaha produktif berbasis
sumberdaya hutan. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasan seperti: a)
penyediaan bagi konsumen di mana penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis,
ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar; b) pemeliharaan growing stock
untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang
baik secepat mungkin; c) penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih
sesuai dengan tujuan pengelolaan; d) penebangan, perlindungan terutama dipergunakan

53
dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan, dan
sebagainya. Salah satu bagian dari Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPJP)
atau Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) pada dalam pengelolaan hutan
level tapak pada hutan dengan tujuan untuk produksi hasil hutan kayu adalah pengaturan
hasil hutan kayu. Pengaturan hasil hutan kayu memerlukan tiga tahap kegiatan, yaitu
perhitungan stock tegakan, perhitungan jumlah yang dapat dipanen dalam suatu periode
(etat), dan pengaturan waktu dan tempat pemanenan.
Tahap pertama yang dilakukan untuk menyusun pengaturan hasil hutan adalah
Perhitungan stok tegakan dilakukan melalui kegiatan inventarisasi hutan yang
menyeluruh di seluruh petak/anak petak/areal kerja (dan umumnya dilakukan berkala)
sehingga dikenal dengan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB). Di Perum
Perhutani IHMB dilakukan tiap 10 tahun dalam rangka penyusunan dokumen RPKH.
Stok tegakan hasil IHMB dapat disajikan dalam jumlah pohon, jumlah pohon kelas
diameter, kelas hutan, volume kayu, karbon, dan lain-lain. Untuk pengaturan hasil hutan
kayu di hutan tanaman disajikan stok volume kayu pada masing-masing kelas hutan.
Untuk mendapatkan stok tegakan (volume) yang dihitung berdasarkan data hasil
IHMB, dapat didekati dengan dua cara yaitu (1) dengan menghitung volume pohon per
pohon dari hasil pengukuran dalam petak ukur (sampel) dengan rumus V = ¼πd2*t*f
dengan d = diameter pohon, t = tinggi pohon bebas cabang, dan f = faktor bentuk pohon.
(2) dengan bantuan tabel hasil normal (Tabel Normal WvW untuk tanaman Jati
Konvensional atau Tabel Normal JPP untuk tanaman JPP), dengan rumus V =
L*Vst*KBD*fk, dengan L = Luas suatu petak atau kelas hutan, Vst = volume kayu
batang pada Tabel Normal WvW pada umur dan bonita tertentu, KBD = Kerapatan
Bidang Dasar (diperoleh dari perbandingan luas bidang dasar tegakan (lbds) per hektar
hasil IHMB dengan lbds dalam Tabel Normal, dan fk = faktor koreksi (perbandingan
antara realisasi panenan dengan rencana dalam beberapa periode di suatu Bagian Hutan
(BH) atau Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH).
Tahap selanjutnya yang dilakukan yaitu menentukan daur berapa tahun yang akan
dipakai serta etat yang akan digunakan. Etat yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu
berupa etat luas dan etat volume. Daur yang akan digunakan pada pengaturan hasil hutan
Kluster Pitu DS ini relatif bervariasi dengan pertimbangan pada periode tahun

54
pengelolaan awal dilakukan tebangan dengan skala kecil agar tetap mendapatkan
keuntungan secara finansial, serta membiarkan stock tegakan dengan skala cukup besar
agar tetap mendapatkan keuntungan secara ekologis. Pengaturan hasil dengan dasar etat
volume dan etat luas bersifat penyederhanaan dimana semua areal yang ditebang akan
tumbuh dengan laju yang sama dan tidak ada faktor eksternal yang mempengaruhi.
Menurut Simon (2007) hutan dianggap dimanfaatkan secara lestari bila tebangan
tahunan atau tebangan periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah
penebangan dilakukan di seluruh kawasan hutan, potensi tegakan di lapangan tidak
berkurang dengan sebelum dilakukan penebangan. Dari hal tersebut dapat dikatakan
bahwa kelestarian hasil hutan adalah penyediaan yang teratur dan kontinyu hasil hutan
yang diperuntukkan sesuai dengan kapasitas kemampuan maksimum dari hutan
tersebut.
Pada hasil pengolahan data pengaturan hasil hutan Kluster Pitu Ds didapatkan nilai
etat luas sebesar 16.492 Ha/tahun dan etat volume sebesar 764.945 m3/tahun untuk
tanaman JK. Sedangkan pada tanaman JPP didapatkan hasil etat luas sebesar 8.66
ha/tahun dan etat volume sebesar 523.14 m3/tahun. Dari hasil perhitungan tersebut perlu
dilakukan pengujian jangka waktu penebangan (JWP) atau uji cutting time test. Jangka
waktu penebangan (JWP) merupakan lama waktu (dalam satuan tahun) yang diperlukan
untuk menghabiskan stok tebangan pada satu unit kawasan hutan. Sedangkan, Pengujian
jangka waktu penebangan adalah pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur
berdasarkan luas tegakan produksi yang ada serta berdasarkan potensi produksi dari
masing-masing petak atau anak anak petak (Patiwiri, 2004). Bila jumlah kumulatif tahun
penebangan selama daur terdapat perbedaan nyata terhadap daur yang ditetapkan, maka
etat yang telah didapat dari pengujian pertama dikoreksi menjadi etat baru untuk diuji
lagi pada pengujian kedua. Namun bila etat yang dikoreksi masih ada perbedaan yang
lebih dari 2 tahun, maka etat dikoreksi kembali berturut-turut sampai perbedaan
akhirnya maksimum 2 tahun. Setelah tahapan-tahapan pengujian JWP selesai akan
diperoleh etat yang teruji, dan tahapan berikutnya dalam penyusunan buku RPKH
adalah mengambarkan pelaksanaan kegiatan pemanenan selama satu daur tegakan
dalam bentuk pembuatan bagan tebang habis selama daur (BTHSD) dan ini merupakan
etat tahap kedua.

55
Tabel 10. BTHSD dengan Luas Tetap Berdasarkan I’74

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh data BTHSD dengan luas tetap dan
volume tetap untuk spesies jati konvensional (JK) yang disusun sebanyak 4 jangka
dengan masing-masing jangka selama 10 tahun. Hal ini sesuai dengan Jati Konvensional
itu sendiri yang berdaur 40 Tahun. Jumlah luas total produktif sebesar 659.68 ha
sehingga diperoleh luas tetap sebesar 164.920 ha per jangka. Output yang diperoleh
sebagai implikasi dari luas itu sendiri, volume penebangan terus mengalami fluktuatif
selama 4 jangka; yakni 9966.276 m3 ; 7818.430 m3 ; 7206.127 m3 ; dan 6746.449 m3.
Begitu juga untuk BTHSD dengan jumlah volume total produktif sebesar 31737.28 m3,
diperoleh volume tetap sebesar 8191.66 m3. Nilai luas tebangan selama 4 jangka
mengalami naik turun, yakni secara berurutan sebesar 128.26 ha; 169.51 ha; 187.47 ha ;
dan 174.44 ha. Adanya kondisi fluktuatif di awal jangka tersebut bertujuan agar di akhir
jangka seluruh tebangan baik luas maupun volume stabil.
Tabel 11. BTHSD dengan Luas Tetap Berdasarkan I’74

56
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh data BTHSD dengan luas tetap dan
volume tetap untuk spesies plus perhutani (JPP) yang disusun sebanyak 4 jangka dengan
masing-masing jangka selama 5 tahun. Hal ini sesuai dengan Jati Konvensional itu
sendiri yang berdaur 20 Tahun. Jumlah luas total produktif sebesar 43.289 ha sehingga
diperoleh luas tetap sebesar 173.154 ha per jangka. Output yang diperoleh sebagai
implikasi dari luas itu sendiri, volume penebangan stabil pada jangka 1 hingga 3 yakni
2556.131 m3, sedangkan pada jangka 4 mengalami kenaikan menjadi sebesar 2794.350
m3. Begitu juga untuk BTHSD dengan jumlah volume total produktif sebesar 2763.71
m3, diperoleh volume tetap sebesar 10467.74 m3. Nilai luas tebangan stabil pada jangka
1 dan 2, yakni 46.80 ha. Sedangkan pada jangka 3 dan 4 mengalami penurunyan yaitu
secara berurutan sebesar, 46.56 ha dan 32.99 ha. Adanya kondisi fluktuatif di awal
jangka tersebut bertujuan agar di akhir jangka seluruh tebangan baik luas maupun
volume stabil.
Pada pengaturan hasil hutan, data BTHSD didapatkan penentuan luas dan volume
tebangan yang lebih diarahkan untuk membangun tegakan sesuai dengan keadaan yang
diharapkan, yakni terciptanya kondisi mendekati hutan normal yang mana telah
mencapai (dan dapat dipertahankan) keadaan yang hampir sempurna. Dicirikan dengan
distribusi umur normal, riap normal, dan sediaan tegakan normal. Apabila struktur hutan
normal dipertahankan dalam jangka yang panjang, hasil yang diperoleh juga akan
konstan dalam jangka panjang pula sehingga terciptanya kelestarian hasil (Rohman,
dkk., 2013).

4.2.3 Rencana Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu


1. Rencana Pemanenan

57
Pemanenan hasil hutan merupakan komponen penting dalam kegiatan pengelolaan
hutan. Pemanenan merupakan suatu langkah awal dalam pemanfaatan hasil hutan,
dikarenakan dari kegiatan pemanenan dari kayu dikeluarkan dari hutan hingga sampai
kepada konsumen. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi
jika hasil hutan tersebut dieksploitasi secara terus menerus maka akan mengalami
kerusakan baik kualitas, kuantitas, maupun fungsi. Apabila terjadi kerusakan atau terjadi
kekosongan lahan maka untuk mengembalikan hutan membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Maka dari itu diperlukan perencanaan pemanenan untuk mencegah terjadinya
kerusakan hutan atau kegundulan hutan. Menurut Dykstra dan Heinrich 91992) bahwa
kegiatan pemanenan mencangkup kegiatan perencanaan, penerapan teknik pemanenan,
dan adanya teknik setelah pemanenan. Perencanaan pemanenan diperlukan agar tidak
terjadi over cutting yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Pemanenan dapat
dilaksanakan pada umur daur atau umur rata-rata tebangan dengan disesuaikan kondisi
di lapangan. Kegiatan pemanenan hasil hutan pada hutan jati terdiri dari perencanaan,
teresan, tebangan, pembagian batang, dan angkutan serta administrasi kayu. Peneresan
pohon merupakan aktivitas pengelupasan kulit batang dan kambium pada pangkal
batang dengan tujuan kambium dan kulit batang terpisah dari pohon yang akan ditebang
(Suranto, 2011). Peneresan dilakukan dua tahun sebelum penebangan yang sebelumnya
telah diketahui kegiatan penentuan batas teresan dan pembagian blok. Pada saat
peneresan dilakukan kegiatan klemstat yaitu pengukuran diameter masing-masing
pohon dengan diukur pada ketinggian 1,3 meter kemudian dicatat dan dilakukan
penaksiran volume menggunakan TVL (Tarif Volume Lokal) guna menentukan target
tebangan.
Pengolahan data JPP (Jati Perhutani Plus) dengan tahap awal taksiran potensi
produksi dengan menggunakan instruksi 1974 didapatkan umur tebang rata-rata sebesar
22,46, hasil UTR yang melebihi umur akhir daur mengakibatkan instruksi 1974 dengan
menggunakan UTR tidak bisa digunakan sehingga menggunakan instruksi 1938 yang
menggunakan umur akhir daur. Pada JPP umur akhir daur yang digunakan adalah 20
tahun dengan 1 jangka selama 5 tahun dan didapatkan etat luas sebesar 8,66 Ha/tahun
dan etat volume sebesar 523,14 m3/tahun.
Tabel 12. Perhitungan Etat

58
Tabel 13. Taksiran Potensi Produksi Berdasarkan I’74

Setelah didapatkan hasil taksiran potensi dilakukan pengujian JWP atau Jangka
Waktu Penebangan. JWP tersebut digunakan untuk melakukan pengujian terhadap
kelestarian hutan selama produksi menurut luas tegakan produksi yang ada. Pengujian
JWP JPP dilakukan hingga masuk toleransi, didapatkan hasil JWP kumulatif sebesar 20
yang masuk dalam batas rentang toleransi 19,5 - 20,5.
Tabel 14. JWP Kumulatif

Kemudian langkah selanjutnya menentukan volume UAD pada pengujian angka


penebangan terakhir sehinggga didapatkan etat luas sebesar 8,658 ha/tahun dan etat
volume sebesar 552,743 ha/tahun.
Tabel 15. Volume UAD Pengujian Angka Penebangan Terakhir

59
Selanjutnya pada rencana pemanenan diperlukan adanya bagan tebangan hasil
selama daur atau BTHSD, pada perencanaan pemanenan digunakan BTHSD luas dan
BTHSD volume dengan areal tidak produktif sebesar 429,54 ha dan atp mandor sebesar
250.
Tabel 16. BTHSD dengan Luas Tetap

Dari tabel BTHSD luas diatas didapatkan pada setiap jangka yaitu 5 tahun, etat luas
yang digunakan adalah 8,66 Ha, sehingga untuk mendapatkan jumlag tebangan dalam 1
jangka harus dikali 5 dikarenakan 1 jangka terdiri dari 5 tahun dan didapatkan jumlag
tebangan dalam 1 jangka sebesar 43,29 Ha. Pada jangka 1 dilakukan penebangan pada
KU III dengan jumlah penebangan sebesar 43,289 ha dan 2556,131 m3 dengan luas
ATP sebesar 206,71 ha dan luas total penanaman sebesar 250 ha. Pada jangka ke-2
dilakukan penebangan pada KU III dengan jumlah luas penebangan sebesar 43,289 ha
dan volume sebesar 2556,131 m3 dengan luas ATP sebesar 206,71 ha dan luas total
penanaman sebesar 250 ha. Pada jangka waktu ke-3 dilakukan penebangan di KU-III
didapatkan jumlah luas penebangan sebesar 43,289 ha dan volume sebesar 2556,131 m3
dengan luas ATP sebesar 16,12 Ha dan luas total penanaman sebesar 59,048 Ha.
Kemudian pada jangka ke-4 dilakukan penebangan pada KU III dan KU II pada KU III
jumlah luas penebangan sebesar 8,13 Ha dan jumlah volume penebangan sebesar 480,31
m3 dan pada KU II didapatkan jumlah luas penebangan sebesar 35,15 Ha dan jumlah
volume penebangan sebesar 2314,04 m3, dengan luas ATP sebesar 0 dan luas total
penanaman sebesar 43,289 Ha. Perencanaan pemanenan diawali dengan KU yang paling

60
tua karena diperkirakan KU tua adalah KU yang paling siap untuk ditebang dan kondisi
yang fluktuatif di jangka awal bertujuan agar di akhir jangka seluruh tebangan baik luas
dan volume dapat stabil. Pada perencanaan pemanenan tidak cukup hanya mengacu
pada BTHSD luas saja namun harus dipadukan dan disesuaikan dengan BTHSD
volume. Berikut disajikan hasil dari BTHSD Volume
Tabel 17. BTHSD dengan Volume Tetap

Pada BTHSD volume pada jangka pertama dan kedua dilakukan penebangan pada KU-
III dengan volume penebangan sebesar 2763,71 dan luas penebangan sebesar 46,8
dengan luas ATP sebesar 203,2 Ha dan luas total penanaman sebesar 250 Ha. Kemudian
pada jangka ke-3 dilakukan penebangan pada KU-III dan KU-II, pada KU-III
didapatkan penebangan volume sebesar 2621,28 dan luas penebangan sebesar 44,39
sedangkan pada KU II didapatkan volume penebangan sebesar 142,44m3 dan luas
penebangan sebesar 2,16 Ha, pada jangka ke-3 didapatkan total volume penebangan
sebesar 2763,71 dan luas penebangan sebesar 46,56 dengan luas ATP sebesar 23,15 Ha
dan luas total penanaman 69,71 Ha. Selanjutnya pada jangka ke-IV dilakukan
penebangan pada KU II dengan luas volume total penebangan sebesar 2171,62 m3 dan
luas penebangan seluas 32,99 Ha. Hasil output dari BTHSD adalah RTWT atau Rencana
TebanganWaktu Tahunan. Berikut disajikan hasil RTWT

61
Tabel 18. PDE-10 JPP

62
Berdasarkan hasil RTWT didapatkan rencana penebangan selama 2 jangka.
Perencanaan dalam 2 jangka ini diakibatkan harus memundurkan waktu untuk
menebang JPP di jangka berikutnya dikarenakan umur JPP yang masih KU III, sehingga
pada jangka pertama dilakukan penebangan pada KU yang tidak produktif sehingga
tidak ada penebangan. Pada jangka ke-2 penebangan dilakukan dilakukan dengan
kondisi yang fluktuatif setiap tahunnya dengan maksud tujuan agar tebangan tidak
mengalami over cutting dan menjaga kelestarian. Sehingga pada jangka berikutnya JPP
sudah memasuki KU-IV dan siap untuk ditebang. Pada jangka kedua tahun pertama
dilakukan penebangan dengan luasan sebesar 48,2 Ha dengan areal produktif yaitu KU
IV pada petak 31C dengan volume tebangan sebesar 76,39. Kemudian pada tahun kedua
mengalami peningkatan volume penebangan yaitu sebesar 462,39 m3 dengan luasan
total sebesar 53,1Ha dengan areal produktif yang ditebang yaitu KU IV pada petak 30A.
Pada tahun ketiga terjadi peningkatan volume penebangan yaitu sebesar 557,88 m3
dengan luas total penebangan sebesar 38,5 Ha dengan areal produktif yang ditebang
berada pada KU IV di petak 81B, 63A, dan 32A pembagian volume setiap petak secara
berturut-turut sebagai berikut 326,01m3;115,37m3;126,5m3. Kemudian pada tahun ke-
4 terjadi peningkatan volume penebangan sebesar 581,86 m3 dengan luasan total
sebesar 46,6 Ha dengan penebangan terjadi di KU IV di petak 82A. Kemudian pada
tahun ke-5 dilakukan penebangan pada areal produktif KU IV di petak 153A dengan
volume tebangan yang menurun yaitu 441,24 m3 dengan luasan total sebesar 51,5 Ha.
Adanya peningkatan dan penurunan penebangan dimaksudkan agar terjadi
keseimbangan penebangan.
Kemudian setelah dilakukan rencana penebangan dilakukan pembuatan
perencanaan peneresan. Peneresan dan klemstat dilakukan setahun sebelum
penebangan. Penyusunan rencana teresan dilakukan pada tiap petak yang akan ditebang
sesuai dengan rencana pada PDE-10.
Tabel 19. PDE-11 Rencana Teresan JPP

63
Sesuai dengan PDE-10 pada perencanaan penebangan pada peneresan di jangka
pertama tidak dilakukan peneresan dikarenakan tidak ada areal yang produktif dan
belum memasuki KU yang cukup untuk ditebang. Peneresan dilakukan pada tahun 2026
hingga 2030 dengan mengikuti penebangan pada PDE-10 didaptkan peneresan dan
klemstat total yaitu sebesar 52,7 Ha dan 360,9m3.
Pada Jati Konvensional dilakukan perencanaan pemanenan dengan teknik yang
sama dengan JPP tetapi JK memiliki total 10 tahun pada 1 jangkanya. Sebelum
melakukan pemanenan diperlukan pengaturan hasil hutan yang meliputi taksiran potensi
produksi, perhitungan etat, perhitungan JWP, dan BTHSD. Kemudian pada perencanaan
pemanenan akan dibuat perencanaan penebangan dan perencanaan teresan. Output dari
hasil BTHSD adalah RTWT yang diatur dalam PDE-10 kemudian diikuti dengan
perencanaan teresan pada PDE-11. Perencanaan teresan dilakukan satu tahun sebelum
kegiatan penebangan dan petak pada peneresan mengikuti perencanaan penebangan
yang mengacu pada PDE-10.
Tabel 20. PDE-10 JK

64
Penebangan diprioritaskan pada KU tua hingga KU muda. Perencanaan penebangan
dimulai pada tahun 2023. Pada hasil penebangan kluster Pitu DS penebangan dilakukan
pada KU IX, KU VIII, KU VI, KU V, KU IV, dan KU III. Dari hail RTWT tampak pada
tahun pertama dan tahun kedua yang dilakukan penebangan pada KU IX memiliki total
volume penebangan yang sama yaitu 108,282 dengan luasan produktif yaitu 9,3 Ha.
Pada tahun ke-3 dilakukan penebangan pada KU IX dan KU III dengan volume tebangan
sebesar 232,007m3 dan luasan 16,9 Ha. tahun ke-4 dilakukan penebangan pada KU V
dan KU III dengan volume total sebesar 139,801m3 dan luasan sebesar 22,6 Ha. Pada
tahun ke-5 dilakukan penebangan pada KU-IV dengan volume tebangan sebesar
66,1539M3 dan luasan sebesar 15,1 Ha. Pada tahun ke-6 dilakukan penebangan pada
KU IV dan KU VIII dengan volume tebangan sebesar 181,18 m3 dan luasan total
sebesar 17,5Ha. Pada tahun ke-7 dilakukan penebangan pada KU VI dengan luasan total
sebesar 14,1 Ha dan volume tebangan sebesar 69,36m3. Pada tahun ke VIII dilakukan
penebangan pada KU VI dan V dengan luasan total sebesar 16,9 Ha dan volume
tebangan sebesar 163,35m3. pada tahun ke-9 dilakukan penebangan pada KU V adn KU

65
III dengan volume tebangan sebesar 208,25m3 dan luasan total sebesar 21,7 Ha. Pada
tahun ke 10 dilakukan penebangan pada KU IV dan III dengan volume tebangan sebesar
192,205 m3 dan luasan tebangan sebesar 23Ha. Pada penebangan juga dapat dilihat
dilakukan pada petak-petak yang berdekatan, tujuan penempatan petak yang berdekatan
yaitu untuk menghemat biaya dalam aksesibilitas. Sebelum dilakukan adanya kegiatan
penebangan dilakukan kegiatan peneresan, peneresan dilakukan dalam waktu satu tahun
sebelum kegiatan penebangan. Perencanaan peneresan mengacu pada perencanaan
penebangan yaitu mengacu pada PDE-10. Pada kegiatan peneresan juga dilakukan
klemstat atau pengukuran diameter pohon. Peneresan dilakukan pada kelas hutan yang
produktif dan mengacu pada kelas hutan produktif penebangan
Tabel 21. PDE-11 JK

66
2. Rencana Penanaman
Perencanaan penanaman merupakan aspek yang mendukung keberlanjutan dan
kelestarian hutan. Dalam pengaturan hasil hutan perencanaan penanaman harus
dilakukan pada area tidak produktif dan area yang telah dilakukan penebangan. Rencana
penanaman (PDE-12) dapat membantu mengatur penanaman yang akan dilakukan
selama jangka. Perencanaan penanaman dilakukan menyesuaikan kelas hutan dan tahun
penebangannya. Pada areal produktif (kelas hutan produktif) direncanakan penanaman
satu tahun setelah penebangan (Et+1). Perencanaan penanaman mengutamakan areal
yang tidak produktif terlebih dahulu kemudian areal yang telah dilakukan penebangan.
Perencanaan penanaman pertama dapat ditinjau dalam BTHSD untuk mengetahui areal
yang tidak produktif dan total penanaman. Pada JPP dalam BTHSD luas diketahui luas
areal tidak produktif seluas 429,54 Ha dengan ATP mandor 250 serta luas total
penanaman sebesar 602,697 Ha. Perencanaan penanaman dimaksimalkan pada jangka
pertama dengan cara memaksimalkan nilai ATP mandor. Pada jangka pertama dan
jangka kedua luas ATP adalah sebesar 206,71 Ha dengan luas total penanaman sebesar
250 Ha kemudian pada jangka ketiga total areal tidak produktif sebesar 16,12 Ha dengan
luas total penanaman sebesar 59,408. Kemudian pada jangka ke-4 luas area tidak
produktif sudah habis sehingga tersisa luas total penanaman sebesar 43,29 Ha. Jika pada
BTHSD JPP menurut volume menggunakan konsep yang sama yaitu luas areal yang
tidak produktif menjadi prioritas pertama dalam penanaman dan memaksimalkan ATP
mandor. Pada jangka pertama dan kedua didapati luas ATP sebesar 203,2 Ha dengan
luas total penanaman sebesar 250. Pada jangka ke-3 luas areal tidak produktif bersisa
23,15 dengan luas total penanaman 69,71 Ha. pada jangka ke-4 luas area tidak produktif
sudah habis sehingga bersisa luas total penanaman sebesar 32,99 Ha. Pada JK memiliki
area tidak produktif seluas 773,97 Ha dengan ATP mandor 500. Dengan dilakukan
menggunakan teknik yang sama pada jangka pertama dan jangka kedua luas area tidak
produktif sebesar 335,08 Ha dengan luas total penanaman 500 Ha. Pada jangka ketiga
luas ATP bersisa 103,81 Ha dengan luas total penanaman sebesar 268,728Ha. Pada
jangka keempat luas ATP sudah habis sehingga hanya tersisa luas total penanaman
sebesar 1433,648 Ha. Kemudian dalam JK dengan menggunakan BTHSD volume juga
menggunakan teknik yang sama mendapatkan hasil pada jangka pertama luas ATP

67
sebesar 373,58 dengan luas total penanaman sebesar 500 Ha, jangka kedua memiliki
luas ATP sebesar 339,56 Ha dengan luas total penanaman 500 Ha, jangka ketiga luas
ATP bersisa 60,83 Ha dengan luas total penanaman 241,54 Ha, dan pada jangka
keempat luas area tidak produktif sudah habis sehingga tersisa luas total penanaman
seluas 191,11 Ha. Kemudian dari hasil BTHSD disusun rencana penebangan pada PDE-
10 dan kemudian disusun rencana penanaman pada PDE-12.
Tabel 22. PDE-12 JPP

Pada PDE 12 JPP mengacu pada PDE 10 dan PDE 11. Rencana kelola penanaman
diutamakan pada area yang tidak produktif kemudian pada bekas penebangan. Pada JPP
pohon ditebang pada jangka ke-2 dan pada jangka pertama difokuskan pada penanman.
Penanaman pada jangka pertama terdiri dari lahan tidak produktif dengan luasan yang
cenderung stabil dnegan luasan antara 40 sampai 43,7 Ha. Kemudian pada jangka ke-2
mulai dilakukan penebangan dengan tetap diprioritaskan lahan yang tidak produktif
terlebih dahulu selanjutnya pada lahan yang mengalami penebangan dengan luasan yang
cenderung stabil antara 46 sampai 54,8. Penanaman dilakukan pada petak yang dekat
setiap tahunnya dengan maskud tujuan untuk menekan anggaran.
Tabel 23. PDE-12 JK

68
Pada PDE-12 JK mengacu pada PDE-10 dengan mengutamakan penanaman pada areal
yang tidak produktif. Perencanaan penanaman pada bekas areal tebangan menyesuaikan
dengan luasan penebangan yang berada pada PDE-10. Kemudian dapat dilihat
perencanan penanaman pada areal yang tidak produktif dilakukan pada petak yang
berdekatan untuk menghemat biaya. Penanaman pada areal yang tidak produktif
cenderung stabil pada tahu pertama hingga tahun ke-10 serta terjadi penanaman tertinggi
pada tahun keempat dengan total penanaman area tidak produktif sebesar 42,1.

Pada Kluster Pitu DS sendiri baik JK maupun JPP menggunakan teknik Silvikultur
Intensif dimana sediaan yang akan ditanam disesuaikan dengan kondisi tanah setempat
agar dapat tumbuh kembang dengan baik dan cepat. Teknik ini dikombinasikan dengan
sistem Agroforestry atau metode tumpangsari dimana terdapat tanaman-tanaman
pertanian yang menjadi tanaman sela diantara tanaman pokok. Untuk persiapan awal
terdapat patok-patok tanaman seluas petak tanaman yangmana batasannya berdasarkan
SPK. Dalam hal ini sudah direncanakan terdapat jalan pemeriksaan dan pal andil.
Kemudian terdapat acir digunakan untuk tanda tanaman pokok dimana dalam hal ini

69
terdapat 5 komponen tanaman (dari ujung kedalam) dengan urutan tanaman pagar-tepi-
sela-pokok-pengisi. Untuk membedakannya ditandai dengan warna acir yang berbeda.
Setelah acir dipasang, karena menggunakan metode Sivikultur Intensif maka pembuatan
lubang tanam berukuran 40x40x30 cm dengan pupuk kandang sebanyak 3kg. Jarak
tanam yang digunakan disesuaikan dengan SOP Perhutani yaitu 6x3m. Untuk jumlah
bibit yang diperlukan perhitungan dengan cara luas petak/jarak tanam yang kemudian
ditambah 10% dari perhitungan jumlah bibit untuk menganggulangi kemungkinan-
kemungkinan terburuk dalam proses penanaman. Sumber bibitnya sendiri berasal dari
persemaian yangmana dalam hal ini untuk jati sendiri diperbanyak dengan sistem stek
pucuk. Untuk proses penanamannya sebisa mungkin dilakukan pada saat musim
penghujan yaitu antara November-Desember.
3. Rencana Pemeliharaan
Hutan sering mengalami suatu kerusakan yang disebabkan banyak faktor yang
berpengaruh bagi hutan dan tanaman penyusunnya. Faktor-faktor penyebab kerusakan
terdiri atas organisme hidup atau faktor-faktor lingkungan fisik seperti patogen, serangan
hama, serangga dan penyakit, faktor lingkungan abiotik, tumbuhan pengganggu,
kebakaran, satwa liar, penggembalaan ternak dan aktivitas manusia yang dapat merugikan
tanaman (Pertiwi, et al., 2019). Suatu tanaman dikatakan sehat jika memiliki pertumbuhan
yang baik dan tidak mengalami penyimpangan kesehatan pada seluruh atau sebagian dari
organ-organnya, yang dapat menimbulkan kerugian bagi tanaman tersebut (Pracaya, 2003).
Kerusakan pada suatu tumbuhan dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. Penyakit
pada tanaman merupakan penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan tanaman
tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal dengan sebaik-baiknya
(Semangun, 2001). Kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal yang ditunjukkan
oleh tumbuhan atau tanaman tersebut disebut dengan gejala. Suatu penyakit dapat
menimbulkan gejala yang berbeda atau dapat pula sama dari tanaman-tanaman yang
berbeda. Apabila beberapa penyakit bersama-sama menyerang satu tanaman maka gejala
yang ditunjukkan oleh tanaman akan sangat sulit untuk dipisahkan atau ditentukan
penyebab utama karena gejala yang timbul merupakan suatu campuran (Sutarman, 2017).
Pada kerusakan biotik, infeksi yang terjadi terdiri dari inang, pathogen dan lingkungan.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dalam timbulnya penyakit tanaman hutan.

70
Adanya penyakit pada tanaman dapat menyebabkan beberapa dampak yang mengganggu
kelangsungan hidup tanaman dan aktivitas manusia. Perekonomian masyarakat dapat
terkena dampak apabila penyakit menyerang tanaman dengan nilai ekonomi yang tinggi
(Semangun, 2001 dalam Rahmiyah, et al., 2021). Faktor kerusakan lainnya yaitu adanya
kebakaran dan human error yang salah satunya dari kegiatan penggembalaan. Karena
banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan hutan maka perlu tindakan-
tindakan pemeliharaan hutan sendiri.
Dalam teknik Silvikultur Intensif (SILIN), penanaman dapat dilakukan dengan
mengatur jarak tanam yang tepat serta penggunaan bibit unggul sehingga menghasilkan
pohon yang tumbuh cepat dan berbatang lurus. Hal ini juga disesuaikan dengan kondisi
tanah dan lingkungan. Kemudian pemangkasan cabang (prunning) pada saat Jati berumur
muda akan menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu dan batang bebas cabang tinggi,
lalu penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antar pohon dalam memperoleh
makanan (hara) dari tanah dan cahaya matahari sehingga mempercepat pertumbuhan
diameter pohon kemudian pemupukan dilakukan dengan jenis dan dosis yang tepat pada
tanaman jati akan mempercepat pertumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran
besar, kemudian untuk pengendalian gulma secara efektif, perlindungan dari gangguan
hama dan penyakit, kebakaran, penggembalaan, dan satwa liar akan menjamin pohon
tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu berukuran besar dan bebas dari
cacat.

Pada kluster Pitu-DS sendiri masih banyak kegiatan-kegiatan menyimpang


sehingga dapat merusak hutan. Hal ini diperkuat dengan dijumpainya masyarakat yang
membakar lahan Jagung pasca panen, melakukan penggembalaan di dalam hutan,
pemberian zat-zat terlarang pada tanaman, serta perilaku-perilaku yang menyimpang
seperti mencabut semai bahkan melakukan penebangan secara liar. Rencana pemeliharaan
yang dapat dilakukan khususnya kluster Pitu-DS yaitu dengan mengidentifikasi gejala dan
tanda yang dapat dilakukan di lapangan dengan tujuan untuk menentukan penggolongan
penyakit tanaman biotik atau abiotik. Pada penyakit, biotik ditemukan tanda berupa adanya
patogen atau hama pada bagian yang terserang, sedangkan pada penyakit abiotik tidak
ditemukan tanda. Apabila telah dilakukan penggolongan maka tentunya dapat
mempermudah dalam hal pemeliharaannya serta eksekusi untuk menangani penyakit yang

71
ada. Untuk kebakaran sendiri upaya yang dapat dilakukan dengan tidak memicu
munculnya api baik dari puntung rokok, pembukaan lahan dengan pembakaran, membakar
sisa hasil pertanian dan lain sebagainya. Sosialisasi baik dari pengelola atau pemerintah
kepada masyarakat umum tentang bahaya kebakaran secara luas dimana pemerintah juga
bisa menguatkan aturan atau kebijakan tentang pembakaran hutan serta
mensosialisasikannya kepada masyarakat dan pengusaha. Antisipasi jika terjadinya
kebakaran juga harus dilakukan oleh pihak pengelola salah satunya pembuatan sekat untuk
mengurangi dampak luasan terjadinya kebakaran (Dako dkk., 2019). Sedangkan upaya
untuk mengurangi dampak negatif penggembalaan dalam hutan yaitu dapat dengan
melakukan usaha manajemen penggembalaan dengan menyesuaikan musim dimana
penggembalaan terikat dilakukan pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan semak belukar
tumbuh sedikit sehingga ditakutkan jika hewan ternak nantinya merusak tanaman
kehutanan. Kemudian kebalikannya pengembalaan tidak terikat dilakukan pada musim
hujan karena HMT tersedia berlimpah. Kemudian cara lain dapat juga dengan pengaturan
Hijauan Makan Ternak (HMT) dengan cara pergantian lokasi penggembalaan untuk
menjaga ketersediaan HMT. Kemudian sosialisasi kepada masyarakat secara rutin juga
diperlukan guna mencegah masyarakat akan tindakan-tindakan yang dapat merusak hutan,
hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi terkait pengaruh zat-zat kimia yang dapat
merusak tanaman serta proses pemeliharaan seperti proses pemupukan, penyulaman,
pendaringan, pengendalian gulma, serta penjarangan.

4.2.4 Rencana Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu


Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) memiliki nilai yang tinggi dalam arti sosial dan
ekonomi bagi masyarakat terutama di negara berkembang. HHNK tidak memiliki
perbedaan jauh dibanding hasil hutan kayu. Secara umum definisi HHNK dirumuskan
dalam Permenhut 35/MENHUT-II/2007, HHNK merupakan hasil hutan baik nabati
maupun hewani serta produk turunannya yang dimanfaatkan kecuali kayu. HHNK
memiliki peran ekosistem yang besar untuk hutan dan menunjang keberlangsungan
ekosistem. Kemudian dalam pengelolaan HHNK dapat menjadi salah satu sarana
meningkatkan ekonomi masyarakat karena pengolahan HHNK dapat menyerap tenaga
kerja yang cukup besar. Salah satu keunggulan dari HHNK adalah pengolahan yang

72
membutuhkan modal dari kecil, menengah, hingga besar dibanding modal yang
dibutuhkan pengolahan hasil hutan kayu yang besar (Salak dkk., 2012). Berdasarkan
praktik yang telah dilakukan di kluster Pitu DS terdapat potensi HHNK yaitu seperti
tanaman pertanian dan tanaman kehutanan, tanaman pertanian meliputi padi, jagung,
dan ubi kayu, sedangkan tanaman kehutanan meliputi kayu putih dan srikaya. Masa
tanam pada padi dan jagung berada pada bulan pertama dan bulan ke-8 sedangkan pada
ubi kayu berada pada bulan pertama dan kedua. Padi dan jagung dipanen pada bulan ke-
4 dan bulan ke-12. Kemudian pada ubi kayu dipanen pada bulan ke-7 dan 8. Kemudian
pada HHNK tanaman kehutaann seperti kayu putih ditanam pada bulan pertama, ke-11,
dan ke-12. Pada srikaya ditanam pada bulan ke-7. Waktu pemanenan pada kayu putih
dilaksanakan pada bulan ke-6,7,8,dan 9. Pada tanaman srikaya mengalami masa
pemanenan pada bulan ke-8. Tanaman jagung merupakan tanaman yang cocok ditanam
di lahan kering. Beberapa alasan masyarakat menanam jagung adalah memiliki nilai
ekonomis yang tinggi dan merupakan jenis makanan pokok setelah beras (Dewanto
dkk., 2013). Pendapatan masyarakat secara umum berasal dari sumber pertanian.
Pada pengamatan yang telah dilakukan penanaman HHNK dilakukan dengan
sistem agroforestri, pada hasil panen jagung dan padi dapat dimanfaatkan sebagai
makanan pokok utama dan disalurkan ke pasar dan sebagian dimanfaatkan pribadi.
Kemudian pada pemanfaatan jagung dan padi dapat digunakan sebagai bahan pokok
makanan, kemudian untuk sisa dari bahan yang tidak digunakan seperti janggel, kulit
jagung, dan rambut jagung, dan gabah padi dapat digunakan sebagai pupuk yang dapat
menyuburkan tanah. Selain itu janggel jagung dapat digunakan sebagai bahan bakar dan
pakan ternak yang dapat meningkatkan nilai ekonomi. Kemudian untuk pengembangan
UMKM masyarakat desa di bidang kerajinan dapat memanfaatkan janggel dan kulit
jagung sebagai bahan kerajinan seperti dapat digunakan sebagai tas anyaman dan lain
sebagainya yang memiliki nilai ekonomi. Pada pemanfaatan gabah padi dan janggel
jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar arang, briket arang, dan pupuk organik.
Pada pemanfaatan ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan makanan yang dapat juga
disalurkan ke pasar. Pada pemanfaatan dalam bidang ternak ubi kayu dapat digunakan
sebagai bahan konsentrat untuk sapi. Tanaman kehutanan yang dapat dimanfaatkan
sebagai hasil hutan non kayu seperti srikaya dan kayu putih yang memiliki nilai

73
ekonomi. Pada tanaman srikaya dapat dimanfaatkan buahnya yang bisa dijadikan
berbagai olahan makanan dan dapat juga disalurkan dan diperjualbelikan ke pasaran,
kemudian pada daun srikaya dari segi herbal kaya akan manfaat yaitu sebagai obat.
Dengan adanya sosialisasi tentang pemanfaatan bagian-bagian tanaman seperti daun
srikaya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan obat-obatan bagian yang tidak
terpakai menjadi termanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi, sehingga dapat
meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pada pemanfaatan kayu putih
yang dimanfaatkan daunnya untuk diambil minyaknya, masyarakat klaster pitu DS
hanya menanam saja tetapi pengolahan dan pemanfaatan akan disalurkan ke pabrik
pengolah minyak kayu putih untuk diambil minyaknya. Pada kondisi tanaman minyak
kayu putih yang berasal di desa Pitu termasuk subur dan terdapat pabrik minyak kayu
putih yang berada di Desa Pitu serta memiliki kapasitas pemasakan sebesar 5 ton/unit.
Terdapat potensi HHNK yang dapat dimanfaatkan sebagai UMKM seperti
singkong dan pisang. Singkong dan pisang yang terdapat di klaster pitu cukup banyak
dan cukup baik, hasil singkong yang cukup baik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
usaha keripik yang didukung adanya pabrik usaha di Desa Pitu. Potensi selanjutnya
adalah pisang, berdasarkan pengamatan yang ditemui pisang banyak digunakan sebagai
tanaman pagar dan sebagian besar memiliki hasil buah yang cukup bagus. Hasil yang
cukup bagus tersebut dapat dimanfaatkan sebagai usaha kuliner seperti keripik pisang,
olahan pisang sale, kemudian beragam gorengan pisang, tak hanya buah saja namun
pisang juga memiliki jantung pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai sayuran.
Pembuatan keripik pisang selama ini masih belum ada dan belum berkepmbang di
kecamatan Pitu, Ngawi, oleh karena itu diperlukan sosialisasi dan pengarahan terkait
pengolahan pisang agar memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman buah yang
terdapat di klaster pitu lainnya adalah alpukat dan nangka. Pohon alpukat dan nangka
dapat dimanfaatkan buahnya, selain dapat dijual langsung ke pasaran diperlukan
pengolahan untuk meningkatkan harga jual. Buah alpukat dan buah nangka umumnya
dimanfaatkan sebagai bahan kuliner es, disamping itu dapat dikembangkan secara
inovatif seperti menjadi bahan kue seperti untuk brownies dan nugget alpukat. Dengan
adanya pendampingan secara berkala kepada masyarakat terkait pengolahan bahan buah

74
tersebut menjadi produk makanan lainnya diharapkan dapat meningkatkan nilai jual dari
alpukat dan nangka.
HHNK lainnya yang ditemui adalah bambu. Bambu merupakan suatu komoditas
hasil hutan non kayu yang merupakan jenis dari anggota rerumputan dan sering kali
dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kerajinan, acir, dan lain sebagainya. Bambu
banyak ditemukan di sekitar klaster Pitu, tetapi sejauh ini pemanfaatan bambu belum
berkembang, sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai acir. Guna meningkatkan nilai
ekonomi dari bambu diperlukan pengolahan lebih lanjut. Pengolahan bambu untuk
kerajinan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, bambu dapat digunakan sebagai bahan
bangunan, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sosialisasi
tentang pemanfaatan bambu dan pengolahan bambu, mendukung hal ini diperlukan
sinergi dari pemerintah untuk mengembangkan potensi alam dan masyarakat yang ada
guna meningkatkan nilai jual potensi alam. HHNK yang banyak dijumpai lainnya
terdapat rumput kolonjono yang sering dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Rumput kolonjono juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan perbaikan struktur dan
tekstur tanah.
Pertumbuhan hasil HHNK yang baik diperlukan nutrisi yang baik, nutrisi sebagian
besar berasal dari tanah. Tanah yang memiliki struktur dan tekstur yang baik dan cocok
untuk tumbuhan yang akan ditanam. Perbaikan struktur tanah dapat dengan memberikan
pengolahan tanah seperti menggemburkan tanah, penambahan humus dapat digunakan
dengan memanfaatkan seresah yang ada dan kotoran dari ternak. Jenis tanah yang
terdapat di Klaster Pitu adalah mornmorilonit sehingga saat musim kemarau memiliki
keadaan tanah yang kering dan retak. Jenis mornmorilonit memerlukan air yanh cukup
banyak dan irigasi yang baik agar kebutuha akan air terpenuhi. Perbaikan tanah tersebut
dapat dilakukan dengan mengadakan sistem irigasi dan sumber air yang terpenuhi untuk
tanah dan didukung pengolahan tanah serta penggemburan tanah.

4.2.5 Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan


Hutan memiliki fungsi ekologi yang penting bagi makhluk hidup. Menurut Agrubi
dan Hendra (2018) bahwa kementerian kehutanan telah mengeluarkan kebijakan
mengenai hutan kemasyarakatan yang bertujuan untuk membukakan askes bagi

75
masyarakat di dalam hutan untuk mengelola hutan secara lestari demi kepentingan
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Terdapat strategi pengelolaan hutan untuk
melestarikan hutan dan tercapai kesejahteraan masyarakat yaitu dengan memanfaatkan
jasa lingkungan yang disediakan hutan. Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan
kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
Hutan menyediakan tujuh jenis jasa lingkungan yaitu biodiversitas, cadangan
karbon, watershed, services, konservasi tanah, nilai budaya, dan rekreasi yang memiliki
manfaat ekonomi bagi masyarakat dan nilai konservasi biotik (Dirawan & Muhdar,
2022). Selain pengelolaan hutan, pengembangan wisata yang memanfaatkan jasa
lingkungan diharapkan mampu memberikan nilai positif dan meningkatkan ekonomi
masyarakat. Pada saat pengamatan di Kecamatan Pitu DS terutama di Desa Dumplengan
terdapat berbagai burung yang menarik. Hal tersebut akan menarik bagi pecinta burung.
Kemudian dari potensi alam yang dapat dikembangkan dan dapat menjadi menarik bila
dikelola lebih lanjut, yaitu keindahan tersebut dikelola menjadi jelajah alam.
Pada Desa Dumplengan yang sudah kami survei ditemukan pemandangans sawah
yang menarik dan pemandangan yang bagus, untuk hal tersebut dapat digunakan jelajah
alam seperti wisata alam dengan mengajak wisatawan untuk bertani atau permainan di
tempat tersebut. Kemudian dengan topografi yang menarik untuk melihat pemandangan
sekitar Dengan segi kontur yang menarik untuk jelajah alam dapat digunakan sebagai
aspek dalam konservasi tanah dengan cara mengajak wisatawan untuk mengenalkan
jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam dan cara menanam yang benar. Sumber
daya alam yang terdapat di Pitu yaitu DAS Bengawan Solo yang memiliki keindahan
alam dan memiliki potensi daya tarik wisatawan. Dengan adanya potensi wisata tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai potensi perjalanan wisata ditambah dengan potensi flora
dan fauna yang melengkapinya seperti terdapat berbagai jenis burung dan berbagai jenis
tanaman. Kemudian letak klaster Pitu DS yang termasuk dalam wilayah hutan Getas
Ngawi dimana dengan izin pengelola UGM dapat digunakan sebagai sarana penelitian
atau pendidikan.

76
4.2.6 Rencana Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan,
perlindungan hutan bertujuan utama untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan
dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari. Secara teknis, kegiatan perlindungan hutan
merupakan upaya untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam (antara lain: banjir, tanah
longsor, gunung berapi), hama serta penyakit dan gulma. Gangguan utama terhadap
hutan dan kawasan di KHDTK UGM bersumber dari gangguan manusia yaitu
pembalakan liar, perambahan kawasan dan kebakaran. Selain mengakibatkan degradasi
hutan, gangguan ini tergolong pelanggaran hukum yang serius dan dapat melemahkan
ketahanan nasional di kawasan ini. Permasalahan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan dan lemahnya kesadaran hukum ditengarai menjadi penyebab utamanya.
Berhadapan dengan permasalahan ini, perlindungan hutan dan ekosistemnya di KHDTK
dilakukan melalui strategi berikut:
1) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui pelibatan secara aktif pada
pembangunan dan pengembangan model-model kelola SDH di KHDTK melalui
skema kolaborasi.
2) Peningkatan kesadaran hukum terutama yang berkaitan dengan tata kelola hutan
melalui penerapan Tri Dharma yang melibatkan CGR.
3) Bekerja sama dengan instansi penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap
pelanggar hukum terutama kepada para pelaku perusakan hutan yang berintensitas
tinggi dan sistemik, dalam kerangka pendidikan dan penguatan kesadaran hukum.
4) Membangun sistem pemantauan gangguan hutan dan ekosistem yang melibatkan
CGR dan masyarakat sekitar.
5) Memasukkan agenda perlindungan hutan di dalam strategi pembangunan dan
pengembangan CGR KHDTK UGM.
6) Mendorong dan mendampingi pemerintah desa untuk menerapkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam tata kelolanya, melalui kegiatan-kegiatan
penerapan Tri Dharma.

77
7) Melakukan resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan sebagai upaya
pencegahan gangguan.
8) Mengembangkan sistem pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, melalui
penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
9) Mengintegrasikan kegiatan konservasi tanah dan air pada setiap model kelola hutan
yang dibangun.

4.2.7 Rencana Kelola Sosial


KHDTK UGM Getas-Ngandong merupakan kawasan yang dikelola oleh UGM
sejak tahun 2016, dulunya kawasan ini merupakan lahan Perum Perhutani yang
kemudian ditunjuk pemerintah menjadi KHDTK. Seluruh desa yang berada pada
Kluster Pitu Ds telah terjalin kerjasama dengan pihak UGM, hal itu bisa terlihat dari
adanya insentif baik berupa materi maupun non materi yang sudah diberikan oleh pihak
UGM, selain dalam bentuk pendanaan pihak UGM lebih lanjut pada KHDTK Getas-
Ngandong UGM sudah membuka penelitian untuk mengembangkan desa tersebut, lalu
ditambah dengan lahan yang luas bisa menjadi pertimbangan. Namun kelemahan dari
masyarakat di Kluster Pitu Ds khususnya pada Desa Dumplengan adalah kurangnya
potensi SDM sekitar, walaupun sudah terdapat Lembaga Masyarakat Desa Hutan di
Desa Dumplengan, namun kondisi LMDH tersebut terbengkalai atau sudah tidak
berjalan semenjak tahun 2021 dan adanya aktivitas kolaborasi terakhir pada tahun 2019.
Dengan kondisi LMDH yang sudah tidak berjalan lagi, tetapi terdapat adanya
pengorganisasian dalam bentuk kelompok tani hutan di beberapa dusun yang mampu
menguasai konsep dasar dari pola tanam agroforestry. Kelompok tani hutan (KTH)
sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pengelolaan lahan berupa
perawatan, pemanfaatan, dan penanaman. Namun kenyataannya kelompok tani disana
kurang memiliki kegiatan guna mendukung dari kelancaran kegiatan pada fungsi
produksi kayu. Ketersediaan sumber daya manusia di Desa Dumplengan walaupun
tersedia namun masih kurangnya kapabilitas dalam kemampuan mengeksploitasi secara
baik sumber daya dalam pengorganisasian serta potensi diri untuk menjalankan aktivitas
tertentu ataupun serangkaian aktivitas. Sehingga perlu adanya tindak lanjut dari pihak

78
pengelola kawasan hutan tersebut yaitu pihak UGM pada masyarakat dan stakeholder
yang berada di desa tersebut untuk meluruskan permasalahan yang ada serta adanya
sosialisasi baik materi maupun teknis untuk menunjang kemampuan masyarakat dalam
mengelola kawasan hutan tersebut.

79
BAB V
RENCANA BISNIS USAHA KEHUTANAN

5.1 Jenis Komoditas yang diusahakan


Praktik Rencana Usaha Kehutanan (PRUK) pada tahun 2023 ini dilaksanakan di
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus UGM. KHDTK ini merupakan kawasan
pelestarian alam yang memiliki potensi keanekaragaman yaitu tumbuhan, satwa yang
dimanfaatkan sebagai media pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Rencana usaha ini dilakukan pada Kluster Pitu DS yang terbagi menjadi beberapa Hutan
Wengkon Desa yaitu Pitu, Dumplengan, Cantel, Papungan, Ngancar, dan Kalang.
Pengamatan yang dilakukan di beberapa desa di atas dengan cara pengumpulan data primer
baik secara langsung mengamati dan pengumpulan data sekunder melalui wawancara
didapatkan beberapa jenis komoditas yaitu minyak kayu putih, singkong, alpukat, nangka,
bambu, serta kolonjono. Selain itu, ditemukan komoditas pertanian seperti tebu dan jagung.
Berdasarkan data diatas dibuktikan adanya lahan hutan yang didominasi oleh tanaman
pertanian milik masyarakat. Dalam rencana bisnis kehutanan ini terdapat jenis komoditas
yang dapat diusahakan yaitu hasil hutan non kayu serta budidaya tanaman pertanian seperti
tanaman yang telah ditemukan di atas. Mengacu pada peraturan PerMenLHK nomor 8
tahun 2021 tentang pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pada KHDTK UGM terdapat
hasil hutan bukan kayu yang diperoleh dari tanaman kehutanan dan dari budidaya tanaman
pertanian (pangan) oleh masyarakat di kawasan ini.
Dari adanya lahan hutan yang didominasi oleh tanaman pertanian milik
masyarakat, sehingga dibutuhkan strategi pola tanam yang sesuai untuk diterapkan di
daerah tersebut. Pola tanam adalah usaha yang dilakukan dengan melaksanakan
penanaman pada sebidang lahan dengan mengatur susunan tata letak dari tanaman dan tata
urutan tanaman selama periode waktu tertentu, termasuk masa pengolahan tanah dan masa
tidak ditanami selama periode tertentu (Setjanata, 1983). Strategi pola tanam terbagi
menjadi dua cara, yakni sistem tanam banjar harian dan tumpangsari. Sistem banjar harian
merupakan sistem yang memberikan upah kepada pesanggem, tetapi pesanggem tidak
diperbolehkan untuk melakukan penanaman dengan jenis tanaman pertanian di lokasi
bersangkutan. Sedangkan pada sistem tumpang sari, pesanggem tidak diberi upah, tetapi

80
diberi hak untuk menanami lokasi tersebut dengan tanaman pertanian. Pola persiapan
tanaman tumpangsari apabila jarak dari desa nol hingga 2,5 km, sedangkan banjar harian
apabila jarak dari desa lebih dari 2,5 km. Tujuan pola tanam optimal yaitu keuntungan
maksimal mempunyai nilai kuantitatif sehingga dalam perencanaan pola tanam optimal
tersebut diperlukan pendekatan secara kuantitatif dengan pertimbangan bahwa pendekatan
kuantitatif selalu didasarkan pada seperangkat analisis empiris yang terukur sifatnya,
sebaliknya pendekatan kualitatif didasarkan pada pertimbangan judgement pembuat
keputusan. Pertanian berkelanjutan sebagai pengelolaan sumberdaya pertanian untuk
memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam, dengan memperhatikan input-
input pertanian yang ramah lingkungan (Reijntjes,et al .2006).
Berdasarkan data yang sudah diolah, pola tumpangsari yang diterapkan di Kluster
Pitu Ds lebih dominan dibanding dengan pola lainnya sehingga didapatkan strategi
alternatif pola tanam terbaik untuk pengembangan usaha berbasis lahan adalah
tumpangsari. Kelebihan dari pola tanam ini bila dilihat dari sisi ekonomi adalah petani akan
berusaha memaksimalkan pendapatannya berupa hasil dari tanaman yang ditanam
(tanaman pertanian). Apabila dilihat dari sisi ekologi, vegetasi tanaman berkayu yang ada
di lokasi Kluster Pitu Ds akan lebih terkontrol karena masyarakat berdampingan langsung
dengan lokasi tersebut dan ikut serta dalam menjaga hutan yang sudah ada. Selain itu,
adanya pohon juga memiliki banyak manfaat bagi lingkungan seperti mencegah bencana
longsor dan banjir, sebagai tempat hidup makhluk hidup lain, dan peneduh bagi para petani.
Kemudian, sebagian besar petak yang ada di Klaster Pitu Ds ini memiliki jarak 0 hingga
2,5 km sehingga pola tumpangsari dengan jenis jati (Tectona grandis) dan tanaman
pertanian ini merupakan pola tanam yang cocok untuk diterapkan di daerah ini.
Blok model penataan kawasan hutan digunakan untuk mengembangkan unit-unit
manajemen yang dapat difungsikan sebagai model pengelolaan hutan. Model ini berisi blok
tipe pemanfaatan kawasan hutan yang diharapkan untuk terwujudnya tata kelola hutan
yang baik di unit-unit ini. Pada Klaster Pitu Ds terdapat 3 model blok pemanfaatan kawasan
hutan yaitu blok model rehabilitasi hutan dan lahan, model kelola jati berkelanjutan
bekerjasama dengan Perhutani, model agroforestry ketahanan pangan. Tentunya untuk
mewujudkan unit manajemen blok ini diperlukan sinergitas antar pihak yang terkait yaitu

81
Perhutani, UGM, dan juga masyarakat setempat. Selain blok model agroforestri ketahanan
pangan di Klaster Pitu Ds juga terdapat blok kelola Jati berkelanjutan dan blok model
kelola perlindungan. Blok model agroforestri ketahanan pangan dan energi mengutamakan
penanaman tanaman pangan tetapi tetap ada tanaman kehutanan yang menjaga dan
mencukupi sesuai fungsi hutan itu sendiri. Pengelolaan kawasan dengan model kelola ini
memiliki sistem pengelolaan mitra bersama masyarakat dan berbagai pihak baik desa,
masyarakat sekitar hutan.

5.1.1 Hasil Hutan Kayu


Berdasarkan data pengamatan dengan rencana tanaman tahunan yang telah disusun
menggunakan blok model penataan kawasan hutan yaitu model kelola jati berkelanjutan
bekerjasama dengan Perhutani. Dari hal hal tersebut dapat diusahakan contoh komoditas
jati konvensional dan jati plus perhutani. Usaha komoditas hasil hutan berupa kayu. Usaha
komoditas kayu berupa log merupakan usaha yang menguntungkan. Inventarisasi tegakan
sebelum penebangan dilakukan terhadap dua tingkat pertumbuhan pohon, yaitu tingkat
tiang dan pohon, di setiap plot contoh. Data yang dikumpulkan terdiri atas tinggi, diameter,
dan jenis pohon. Setelah penebangan dan pembagian batang, data yang dikumpulkan
meliputi dimensi (diameter dan panjang) semua kayu bulat yang memiliki diameter ≥10
cm, yang dihasilkan dari pohon yang ditebang dan pohon (bagian pohon) lain yang tidak
sengaja ditebang yang tertimpa pohon yang ditebang, serta jenis kerusakan pohon yang
terjadi akibat penebangan pohon. Pengukuran diameter dan panjang kayu bulat mengacu
pada SNI 7533.2.2011. Kayu bulat yang dihasilkan dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu kayu
yang dimanfaatkan oleh perusahaan, kayu yang potensial dimanfaatkan, dan kayu limbah.
Kayu yang dimanfaatkan oleh perusahaan adalah semua kayu bulat hasil pembagian
batang, yang selanjutnya akan disarad ke tempat penimbunan kayu (Tpn). Kayu yang
potensial dimanfaatkan adalah semua kayu yang memiliki diameter lebih dari 30 cm dan
panjang lebih dari 2 m. Batasan limbah kayu dalam penelitian ini adalah (1) Kayu yang
tidak termasuk ke dalam kategori kayu indah atau kayu dekoratif dengan tujuan
penggunaan tertentu; (2) Kayu bulat yang mempunyai diameter 1030 cm tanpa batasan
panjang, dan (3). kayu bulat yang mempunyai panjang <2 m dengan diameter >30 cm.
Kayu limbah selanjutnya dikelompokkan ke dalam dua asal kayu, yaitu pohon ditebang

82
dan pohon tidak ditebang, dan empat bentuk kayu limbah (tunggak, pohon roboh, batang
rusak, cabang, dan ranting). Batang rusak adalah batang pohon yang mengalami patah,
retak atau pecah yang berasal dari batang di bawah dan di atas cabang pertama). Semua
kayu bulat selanjutnya dihitung volumenya menggunakan persamaan Brereton. Tingkat
pemanfaatan kayu merupakan perbandingan antara volume kayu yang dimanfaatkan oleh
perusahaan atau kayu yang potensial dapat dimanfaatkan dengan volume total (%). Faktor
kayu limbah merupakan perbandingan antara volume kayu limbah yang dihasilkan dengan
volume total (%). Dari beberapa bagian kayu tersebut kemudian dilakukan usaha penjualan
yang akan dilanjutkan ke pengolahan sekunder kayu.
Pemilihan komoditas hasil hutan berupa kayu menggunakan jenis jati konvensional
dan jati plus perhutani mengacu pada aspek kelestarian hutan. Selain itu, Jati dikenal
sebagai pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Sehingga banyak masyarakat Indonesia
memiliki minat yang tinggi terhadap mebel dan furnitur yang berbahan baku kayu jati.
Maka perlu adanya kesesuaian pengelolaan serta pemeliharaan kayu jati untuk
menghasilkan produk hasil hutan kayu yang sesuai dengan asas kelestarian hutan.

5.1.2 Hasil Hutan Non Kayu


Hasil Hutan Non Kayu yang bisa diolah dan dimanfaatkan secara konsisten dan
kontinyu yaitu hasil panen dari sistem agroforestri, diantaranya hasil panen jagung dan padi
dapat dimanfaatkan sebagai makanan pokok utama dan disalurkan ke pasar dan sebagian
dimanfaatkan pribadi. Kemudian pada pemanfaatan jagung dan padi dapat digunakan
sebagai bahan pokok makanan, kemudian untuk sisa dari bahan yang tidak digunakan
seperti janggel, kulit jagung, dan rambut jagung, dan gabah padi dapat digunakan sebagai
pupuk yang dapat menyuburkan tanah. Selain itu janggel jagung dapat digunakan sebagai
bahan bakar dan pakan ternak yang dapat meningkatkan nilai ekonomi. Pada pemanfaatan
gabah padi dan janggel jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar arang, briket arang,
dan pupuk organik. Pada pemanfaatan ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan makanan
yang dapat juga disalurkan ke pasar. Selain itu, tanaman kehutanan yang dapat
dimanfaatkan sebagai hasil hutan non kayu seperti srikaya dan kayu putih yang memiliki
nilai ekonomi. Pada tanaman srikaya dapat dimanfaatkan buahnya yang bisa dijadikan

83
berbagai olahan makanan dan dapat juga disalurkan dan diperjualbelikan ke pasaran,
kemudian pada daun srikaya dari segi herbal kaya akan manfaat yaitu sebagai obat. Dengan
adanya sosialisasi tentang pemanfaatan bagian-bagian tanaman seperti daun srikaya yang
dapat digunakan sebagai bahan-bahan obat-obatan bagian yang tidak terpakai menjadi
termanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi, sehingga dapat meningkatkan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Pada pemanfaatan kayu putih yang dimanfaatkan daunnya
untuk diambil minyaknya, masyarakat klaster pitu DS hanya menanam saja tetapi
pengolahan dan pemanfaatan akan disalurkan ke pabrik pengolah minyak kayu putih untuk
diambil minyaknya. Pada kondisi tanaman minyak kayu putih yang berasal di Klaster Pitu
DS termasuk subur dan terdapat pabrik minyak kayu putih yang berada di Klaster Pitu DS
serta memiliki kapasitas pemasakan sebesar 5 ton/unit.
Kemudian untuk pengembangan UMKM masyarakat desa dapat memanfaatkan
potensi HHNK seperti singkong dan pisang. Singkong dan pisang yang terdapat di klaster
pitu cukup banyak dan cukup baik, hasil singkong yang cukup baik tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai usaha keripik yang didukung adanya pabrik usaha di Klaster Pitu
DS. Potensi selanjutnya adalah pisang, berdasarkan pengamatan yang ditemui pisang
banyak digunakan sebagai tanaman pagar dan sebagian besar memiliki hasil buah yang
cukup bagus. Hasil yang cukup bagus tersebut dapat dimanfaatkan sebagai usaha kuliner
seperti keripik pisang, olahan pisang sale, kemudian beragam gorengan pisang, tak hanya
buah saja namun pisang juga memiliki jantung pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai
sayuran. Pembuatan keripik pisang selama ini masih belum ada dan belum berkepmbang
di kecamatan Pitu, Ngawi, oleh karena itu diperlukan sosialisasi dan pengarahan terkait
pengolahan pisang agar memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman buah yang terdapat
di klaster pitu lainnya adalah alpukat dan nangka. Pohon alpukat dan nangka dapat
dimanfaatkan buahnya, selain dapat dijual langsung ke pasaran diperlukan pengolahan
untuk meningkatkan harga jual. Buah alpukat dan buah nangka umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan kuliner es, disamping itu dapat dikembangkan secara inovatif seperti
menjadi bahan kue seperti untuk brownies dan nugget alpukat. Dengan adanya
pendampingan secara berkala kepada masyarakat terkait pengolahan bahan buah tersebut
menjadi produk makanan lainnya diharapkan dapat meningkatkan nilai jual dari alpukat
dan nangka.

84
HHNK lainnya yang ditemui adalah bambu. Bambu merupakan suatu komoditas
hasil hutan non kayu yang merupakan jenis dari anggota rerumputan dan sering kali
dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kerajinan, acir, dan lain sebagainya. Bambu banyak
ditemukan di sekitar klaster Pitu, tetapi sejauh ini pemanfaatan bambu belum berkembang,
sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai acir. Guna meningkatkan nilai ekonomi dari
bambu diperlukan pengolahan lebih lanjut. Pengolahan bambu untuk kerajinan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, bambu dapat menjadi potensi pengenbangan UMKM
masyarakat dengan memanfaatkan bambu sebagai bahan kerajinan seperti keranjang, tas,
dan hiasan yang memiliki nilai estetika yang tinggi.

5.1.3 Jasa Lingkungan


Perencanaan bisnis merupakan suatu dokumen tertulis yang digunakan untuk
memproyeksikan secara keseluruh mengenai bisnis yang akan dijalankan. Potensi alam
yang ada di Klaster Pitu dapat dimanfaatkan sebagai bisnis dengan tujuan menaikkan nilai
ekonomi. Pada saat pengamatan di Kecamatan Pitu DS terutama di Desa Dumplengan
terdapat berbagai burung yang menarik. Hal tersebut akan menarik bagi pecinta burung.
Kemudian dari potensi alam yang dapat dikembangkan dan dapat menjadi menarik bila
dikelola lebih lanjut, yaitu keindahan tersebut dikelola menjadi jelajah alam.
Pada Klaster Pitu DS yang sudah kami survei ditemukan pemandangan sawah yang
menarik dan pemandangan yang bagus, untuk hal tersebut dapat digunakan jelajah alam
seperti wisata alam dengan mengajak wisatawan untuk bertani atau permainan di tempat
tersebut. Kemudian dengan topografi yang menarik untuk melihat pemandangan sekitar
Dengan segi kontur yang menarik untuk jelajah alam dapat digunakan sebagai aspek dalam
konservasi tanah dengan cara mengajak wisatawan untuk mengenalkan jenis tanaman apa
yang cocok untuk ditanam dan cara menanam yang benar. Sumber daya alam yang terdapat
di Pitu yaitu DAS Bengawan Solo yang memiliki keindahan alam dan memiliki potensi
daya tarik wisatawan. Dengan adanya potensi wisata tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
potensi perjalanan wisata ditambah dengan potensi flora dan fauna yang melengkapinya
seperti terdapat berbagai jenis burung dan berbagai jenis tanaman. Kemudian letak klaster

85
Pitu DS yang termasuk dalam wilayah hutan Getas Ngawi dimana dengan izin pengelola
UGM dapat digunakan sebagai sarana penelitian atau pendidikan.

5.2 Rencana Pemasaran


Perencanaan pemasaran merupakan perencanaan tertulis mengenai analisis, target,
dan kegiatan pemasaran. Guna mengenalkan suatu produk diperlukan pemasaran atau
promosi. Kerjasama dengan berbagai pihak diperlukan untuk mengenalkan suatu produk
yang akan diluncurkan. Kerjasama ini meliputi dari pihak pemerintah, masyarakat dalam
dukungan utama, dan pihak pengelola. Pengenalan suatu produk ini dapat digunakan
dengan adanya pameran yang mengajak masyarakat luas. Kemudian dapat digunakan
dengan promosi melalui sosial media. Sosial media merupakan suatu media yang memiliki
relasi luas, sehingga dapat menyebar hingga masyarakat luas. Pemasaran produk agar
semua kalangan luas dapat menikmati dapat menggunakan online shop yaitu dengan
bekerja sama dengan penjualan online seperti shopee, tokopedia, blibli.com, atau yang
lainnya.

5.3 Proyeksi Keuangan


Pada suatu usaha, pemasukan dan pengeluaran sangat penting dalam
keberlangsungan suatu usaha. Suatu bentuk usaha sangat diperlukan modal awal dalam
pembentukan usaha. Modal awal tentunya memiliki peran krusial dalam memulai dan
mengembangkan usaha. Dalam mendapatkan modal, ada beberapa sumber pendanaan yang
digunakan untuk modal awal seperti pinjaman bank, modal sendiri, investasi, UMKM, dan
Mitra bisnis. Dalam proses menjalankan usaha, perlu diperhatikan pula arus kas masuk dan
keluar guna untuk menghitung lama waktu pengembalian modal. Perhitungan proyeksi
aliran dana selama jangka dapat dilihat sebagai berikut.

86
Tabel … Rekapitulasi Proyeksi Keuangan Selama Jangka

REKAPITULASI PROYEKSI KEUANGAN SELAMA


JANGKA
NO TAHUN PEMASUKAN PENGELUARAN PROFIT
1 2023 16728843200 2695575721 14033267479
2 2024 25854172410 4454131039 12274712161
3 2025 29459619450 8044772130 8684071070
4 2026 33196729500 6768429086 9960414114
5 2027 35758462890 5862584195 10866259005
6 2028 29784462640 6428182332 10300660868
7 2029 43268518300 9210002852 7518840348
8 2030 38934277200 8757926960 7970916240
9 2031 37708158400 6670129450 10058713750
10 2032 52907691885 7610557692 9118285508

Pada data diatas dapat disimpulkan bahwa usaha yang dilakukan memberi
pemasukan di setiap tahunnya sebesar Rp. 16.728.843.200,00 hingga Rp.
52.907.691.885,00. Sedangkan jumlah uang yang dikeluarkan untuk kegiatan pengelolaan
setiap tahunnya berkisar antara Rp.2.695.575.721,00 hingga Rp. 7.610.557.692,00. Setiap
tahunnya, pengelolaan menghasilkan profit dengan nilai terkecil senilai
Rp.7.518.840.348,00 dan terbesar senilai Rp.14.033.267.479,00. Dengan adanya profit
tersebut maka perencanaan yang dilakukan dapat bertahan serta dapat meningkatkan
ekonomi. Dari keseluruhan data dapat dihitung rerata dari pemasukan, pengeluaran, dan
profit. Rata-rata setiap tahunnya KHDTK mendapatkan pemasukan sebesar Rp.
Rp34.360.093.588,00, pengeluaran sebesar Rp6.650.229.145,7,00 dan profit per tahun
sebesar Rp10.078.614.054,00. Sehingga dapat disimpulkan bahwa profit yang didapat
sudah menutupi biaya yang dikeluarkan.

Selain pendanaan awal, terdapat rencana pendanaan setiap tahunnya. Pada setiap
tahunnya lahan yang ditanami akan menghasilkan hasil hutan berupa kayu, non kayu, dan
jasa lingkungan. Hasil hutan ini nantinya akan dijual dan akan digunakan sebagai sumber

87
pendanaan lanjutan. Selain itu para investor juga dapat memberi dana lanjutan terkait
dengan peningkatan produktivitas tanaman dan juga peningkatan kapasitas sumber daya
manusia yang ada sehingga hasil yang didapat dapat meningkat.

5.4 Kelayakan Usaha


Rencana bisnis perlu adanya analisis layak atau tidak layak sebelum bisnis tersebut
dibangun (Umar, 2005). Hal ini ditujukan agar saat bisnis dioperasikan secara rutin, bisnis
dapat mencapai keuntungan yang maksimal dengan waktu yang cukup singkat. Pada
intinya studi kelayakan berkaitan dengan analisis rencana pendirian sebuah bisnis apakah
layak atau tidaknya. Layak atau tidaknya bisnis tersebut dijalankan terkait dengan manfaat
yang akan ditimbulkan dari bisnis tersebut. Tujuan dari studi kelayakan ini antara lain
yaitu :
1. Menghindari resiko kerugian
2. Memudahkan perencanaan
3. Memudahkan pelaksanaan pekerjaan
4. Memudahkan pengawasan
5. Serta memudahkan pengendalian
Suatu bisnis dikatakan baik jika dapat memberikan keuntungan yang layak dan
mampu memenuhi kewajiban keuangannya. Aktivitas pada aspek finansial ini meliputi
perhitungan jumlah modal yang dibutuhkan keperluan modal kerja awal dan pengadaan
tetap. Dianalisis juga mengenai pilihan pembiayaan yang paling menguntungkan dengan
menentukan berapa modal awal yang harus dipersiapkan. Analisis finansial adalah suatu
analisis yang melihat apakah suatu proyek menguntungkan selama umur bisnis (Husnan
dan Muhammad, 2000). Analisis finansial berkenaan dengan inventasi yang akan diperoleh
dan perkiraan pengembaliannya dengan tingkat biaya modal tertentu (biaya yang akan
dikeluarkan) dan sumber dana yang bersangkutan. Analisis finansial meliputi :
1. Net Present Value (NPV)
NPV adalah nilai bersih sekarang usaha memberikan ukuran nilai bersih proposal
investasi dalam nilai uang pada saat sekarang. Perhitungan ini kas didiskontokan
kembali ke masa sekarang, membandingkan selisih antara nilai sekarang arus kas
tahunan dan pengeluaran investasi menjadi tepat. Perbedaan antara nilai sekarang

88
arus kas tahunan dan pengeluaran awal menentukan nilai bersih atas penerimaan
proposal investasi dalam nilai uang pada saat sekarang.
2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio)
Rasio keuntungan/biaya atau indeks keuntungan adalah rasio nilai sekarang dari
atus kas bersih pada masa depan terhadap pengeluaran awalnya. Jika kriteria nilai
bersih investasi sekarang memberikan ukuran kelayakan proyek dalam nilai uang
yang absolut, maka indeks keuntungan memberikan ukuran relatif dari keuntungan
bersih masa depannya terhadap biaya awal.
3. Internal Rate Return (IRR)
IRR adalah tingkat bunga yang menyamakan present value kas keluar yang
diharapkan dengan present value kas masuk yang diharapkan atau dapat diartikan
sebagai tingkat bunga yang menyebabkan NPV = 0. Tingkat IRR mencerminkan
tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumber daya
yang digunakan. Suatu investasi dikatakan layak, apabila nila IRR lebih besar dari
tingkat suku bunga yang berlaku dan sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari
tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tersebut tidak layal dilaksanakan.
4. Payback Period (PBP)
PBP atau tungkat pengembalian investasi adalah salah satu metode dalam menilai
kelayakan usaha yang digunakan untuk mengukur periode waktu pengembalian
modal yang digunakan. Semakin cepat modal dapat kembali, maka semakin baik
suatu proyek yang diusahakan karena modal yang digunakan akan cepat kembali
dan digunakan untuk membiayai kegiatan lain.
5. Break Event Point (BEP)
Titik impas adalah suatu keadaan yang menggambarkan suatu kondisi dimana
tingkat produksi atau besarnya pendapatan sama dengan besarnya dengan
pengeluaran perusahaan, atau dengan kata lain pada saat itu perusahaan tidak
mengalami keuntungan maupun kerugian.
Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila dalam perhitungan indikator diatas
memenuhi kriteria sebagai berikut :
Tabel .. Indikator Kelayakan

89
Payback period adalah sebuah istilah tentang waktu yang dibutuhkan untuk
mengembalikan uang yang dikeluarkan pada modal awal. Pada perhitungan yang kami
lakukan dapat disimpulkan bahwa lama waktu payback period dari pengelolaan lahan
adalah 20 tahun dimana hasil yang didapat sudah dapat menutupi modal yang dikeluarkan.
Pada kluster Pitu DS sendiri diperoleh nilai NPV sebesar 28.019.202,738 rupiah; BCR
sebesar 1,607; IRR sebesar 47,57%; PBP sebesar 0,897. Sehingga pada Kluster ini semua
usaha yang akan dikembangkan dapat dikatakan layak. Diharapkan dengan adanya usaha
ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pitu DS dan mempekerjakan masyarakat
sekitar Pitu DS dengan asas kehutanan sosial.

90
BAB VI
PENUTUP
Rencana Usaha Kehutanan KHDTK UGM kluster Pitu Ds tahun 2023-2032 ini diharapkan
dapat menjadi arah atau pedoman pengurusan/pembangunan kehutanan untuk dapat mencapai
kondisi dimana tahun 20.. dapat terbangun sesuai prinsip kelesarian hutan di kawasan Pitu Ds.
Kondisi areal wilayah kerja menyimpan potensi yang menjanjikan dan memberikan manfaat untuk
pembangunan daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjaga lingkungan hidup
selain itu, juga berpotensi untuk terjadinya degradasi fungsi lahan, deforestasi sebagai akibat dari
kegiatan usaha kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk non kehutanan serta aktivitas illegal
dan perambahan.
Rencana Usaha Kehutanan yang dicanangkan pada tahun 2023-2032 Sangat diharapkan
dapat mewujudkan pengelolaan usaha kehutanan wengkon desa yang lestari di Indonesia dan dapat
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta dapat memberikan percontohan sebagai rencana
pengelolaan HWD di wilayah lainnya. Selain itu, Rencana Usaha Kehutanan diharapkan dapat
terlaksana secara runtut dimulai dari pelaksanaan survey medan dengan penginderaan jauh dengan
citra satelit serta pengecekan langsung ke lapangan, melakukan evaluasi penataan kawasan hutan,
inventarisasi sumber daya hutan dan sosial, menyusun dokumen rencana tebangan, penyusunan
desain industri hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu, menyusun strategi pengelolaan,
penyusunan pengaturan hasil hutan, dan penyusunan rencana alokasi tebangan.
Proses penyusunan rencana usaha kehutanan ini melibatkan banyak pihak dan sektor
sehingga dapat diharapkan hubungan kuat yang terbangun dari para pihak dan sektor dalam
implementasinya sehingga mampu mewujudkan tujuan rencana usaha kehutanan yang telah
disusun sedemikian rupa dengan tujuan utama adalah rancangan usaha kehutanan yang tepat sesuai
peruntukan fungsi kawasan melalui pertimbangan kondisi biofisik serta sosial ekonomi
masyarakat desa sekitar hutan dengan adanya usaha kehutanan

91
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. 2019. Penandaan Batas Areal Perhutanan Sosial Dengan Pendekatan Partisipatif
Pada Desa Ilanbatu Uru Kabupaten Luwu. Jurnal Pengabdian Masyarakat. 2(2), 1-10.
Dako, F. X., Purwanto, R. H., Faida, L. R. W., & Sumardi, S. (2019). Identifikasi Kerusakan
Antropogenik Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau Di Pulau Timor Bagian Barat Dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(Journal of Natural Resources and Environmental Management), 9(2), 437-455.
Departemen Pertanian. (1983). Lamtoro Gung. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru.
Dewanto, Londok, Tuturoong dan Kaunang. 2013. Pengaruh Pemupukan Anorganik dan
Organik Terhadap Produksi Tanaman Jagung Sebagai Sumber Pangan. Jurnal Zootek.
Manado: Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi. No 5. Vol 32.
Fitriani, S., Astianti, D., & Wahdina. (2017). Perbanyakan Tanaman Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia Jack) Secara Generatif dan Vegettaif di Persemaian. Jurnal Hutan Lestari, 5
(1): 113-120.
Manggala Rimbawati, D. E., Fatchiya, A., & Sugihen, B. G. (2018). Dinamika kelompok tani
hutan agroforestry di Kabupaten Bandung. Jurnal Penyuluhan, 14(1), 92-103.
Nai’em, M. (2005). Upaya Peningkat Kualitas Hutan Jati Rakyat. Prosiding Pertemuan Forum
Komunikasi Jati IV. Tema Pengembangan Jati Unggul Untuk Peningkatan Produktivitas
Hutan Rakya.Salaka, F. J., Nugroho, B., & Nurrochmat, D. R. (2012). Strategi kebijakan
pemasaran hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(1), 50-65.
Patiwiri, A.Y. 2004. Studi Pengaturan Hasil pada Kelas Perusahaan Jati (Tectona grandis L.f) di
KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Undergraduate Thesis.
IPB Repository
Pertiwi, D., Safe’i, R., Kaskoyo, H., & Indriyanto. (2019). Identifikasi Kondisi Kerusakan Pohon
Menggunakan Metode Forest Health Monitoring di Tahura WAR Provinsi Lampung.
Jurnal Perennial, 15 (1): 1-7.
Pracaya. (2003). Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.

92
Purnama, S., Tivianton, T. A., Cahyadi, A., & Febriarta, E. (2019). Kajian daerah imbuhan
airtanah di Kabupaten Ngawi. Jurnal Geografi: Media Informasi Pengembangan dan
Profesi Kegeografian, 16(1).
Rahmadanty, A., Handayani, I. G. A. K. R., & Najicha, F. U. 2021. Kebijakan pembangunan
kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia: suatu terobosan dalam menciptakan
pengelolaan hutan lestari. Al-Adl: Jurnal Hukum, 13(2), 264-283.
Rahmiyah, et al. (2021). Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Yayasan Kita Menulis.
Ramadhani, R. 2017. Pengaruh Aksesibilitas Terhadap Pengembangan Wilayah Pada Jalan
Penghubung Pusat Kota Karebosi Dengan Suburban Kawasan Tanjung Bunga Kota
Makassar. Dapartemen Perencanaan Wilayah dan Kota. Universitas Hasanuddin.
Rohman, Sofyan. P. Warsito, dan Nunuk Supriyanto. 2013. Normalitas Tegakan Berbasis Resiko
untuk Pengaturan Kelestarian Hasil Hutan Tanaman Jati di Perum Perhutani. Jurnal
Ilmu Kehutanan. Vol 7(2): hlm 81-92.
Semangun, H. (2001). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Suryanto dan Asyari M. 2022. INVENTARISASI SUMBERDAYA HUTAN (PERISALAHAN
HUTAN). Banjarbaru : Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.
Sutarman. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tanaman. Sidoarjo: UMSIDA Press.

93
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Pengorganisasian Kawasan Kluster Pitu DS

94
Lampiran 2. Kondisi Pal Batas

95
Lampiran 3. TPK dan PGM

96
97
98
Lampiran Penggembalaan dan kebakaran hutan

99
Lampiran peneresan

100
Lampiran APB dan Persemaian

Lampiran Proses Penebangan

101

Anda mungkin juga menyukai