TENTANG
TEKNIK – TEKNIK PENGATURAN HUTAN SEUMUR
DAN
HUTAN TIDAK SEUMUR
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas manajemen hutan ini.
Tugas ini jauh dari sempurna, namun ini merupakan Langkah yang baik dari
studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan
kemampuan kami maka kritik dan saran yang membangun senantiasa kami
harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi saya pada khususnya dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
Cover .................................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................................. ii
Daftar Isi.............................................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Permasalahan ..................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan ........................................................................................................ 3
A. Pengertian Tegakan Seumur ......................................................................... 3
B. Pengertian Tegakan Tidak Seumur ............................................................. 3
C. Kelebihan dan Kekurangan ............................................................................ 3
D. Penataan Hutan .................................................................................................. 4
1. Penataan Hutan Tegakan Seumur ........................................................ 6
2. Penataan Hutan Tegakan Tidak Seumur ............................................ 7
E. Manajemen Hutan Seumur dan Tidak Seumur ....................................... 8
F. Pengaturan Hasil................................................................................................ 9
G. Metode Pengaturan Hasil pada Hutan Tidak Seumur .......................... 10
BAB III Penutup ................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan........................................................................................................... 13
B. Saran....................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memberikan manfaat
majemuk dalam pelaksanaan pembangunan baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi.
Manfaat tersebut sangat kuat dalam menunjang pembangunan dan memberikan kontribusi
sangat penting dalam menghasilkan devisa bagi negara. Namun peran tersebut kini
dihadapkan pada permasalahan pengelolaan hutan yang tidak lestari karena kondisi hutan
yang dikelola telah mengalami perubahan. Areal berhutan terutama hutan alam produksi
sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (logged over area) yang kondisinya
terus mengalami degradasi karena aktivitas pembalakan secara eksesif, sehingga diperlukan
upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari.
Salah satu prasyarat utama tercapainya pengelolaan hutan lestari pada unit
pengelolaan hutan adalah tersedianya rencana pengelolaan hutan jangka panjang, dimana
pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil melalui penentuan jatah
tebang sangat berperan dalam pengelolaan hutan secara lestari dan harus dilakukan secara
spesifik karena kondisi dan potensi hutan bervariasi pada berbagai areal. Pengaturan hasil
tersebut harus ditetapkan secara lebih cermat dan obyektif melalui mekanisme perencanaan
yang baik.
Sementara diketahui bahwa preskripsi kunci perencanaan untuk hutan tidak seumur
seperti panjang siklus tebang, intensitas penebangan optimal, limit diameter tebang dan
proporsi jumlah batang yang ditebang memiliki fungsi penting dalam pelestarian hutan.
Penetapan preskripsi tersebut salah satunya didasarkan pada pertimbangan kondisi dinamika
struktur tegakan. untuk pertimbangan factor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan
potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari
struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan
(Suhendang, 1993).
Dinamika struktur tegakan berkaitan erat dengan aspek ekonomi dalam kegiatan
produksi kayu karena memiliki koreksi dengan berapa lama modal hendak ditanamkan untuk
produksi kayu tersebut (davis et al, 2001). Memaksimumkan pendapatan yang didiskonto
bermanfaat dalam mencapai keadaan intensitas penebangan dan siklus tebang yang optimal.
Strategi ini memerlukan evaluasi finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial
perusahaan.
Bertumpuh pada pertimbangan dinamika tegakan saja tidak cukup untuk menjelaskan
ekosistem hutan karena hutan memiliki kompleksitas dan ketidakpastian, dinamis, non linear
sehingga diperlukan pengukuran secara terpadu dengan mempertimbangkan aspek-aspek
lain seperti ekonomi dan sosial. Sifat kompleksitas dapat didekati dengan pendekatan system
dinamik dengan pembangunan model-model mengguanakan perangkat computer terhadap
suatu situasi yang kompleks dan kemudian melakukan eksperimen serta studi perilaku
terhadap model tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Vanclay (1988), beberapa model telah dibangun untuk menguji suksesi
ekologi pada tipe hutan yang berbeda, tetapi model-model tersebut tidak cocok untuk
diterapkan dalam pengaturan hasil. Dengan model system dinamik diharapkan dapat
menentukan pengaturan hasil pada hutan tidak seumur yang optimal dipandang dari aspek
kelestarian produksi dan aspek sosial ekonomi serta kontribusi yang diberikan oleh metode
pengaturan hasil terhadap masyarakat dan penerimaan pemerintah daerah.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tegakan seumur dan tegakan tidak seumur ?
2. Bagaimana teknik pengaturan tegakan seumur dan tegakan tidak seumur ?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan tegakan seumur dan tegakan tidak seumur ?
C. Tujuan
Menjelaskan tentang tegakan seumur dan tegakan tidak seumur, teknik pengaturannya
serta kelebihan dan kekurangan dari 2 (dua) tegakan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
D. PENATAAN HUTAN
Pengorganisasian dari suatu areal hutan memberikan arus pemanenan hasil yang
berkesinambungan (lestari) merupakan jantung dari pengelolaan hutan produksi. Seperti
yang telah dikemukakan sebelum ini bahwa inti dari manajemen hutan produksi ialah
memperoleh hasil berupa kayu secara teratur dan berkesinambungan.
Kebutuhan untuk memperoleh hasil secara teratur dan lestari dari suatu areal hutan
seperti yang dikemukakan Roth (1925) ialah :
Jumlah volume tebangan, ukuran, kualitas dan nilai kayu yang sama setiap tahun akan
memberikan perencanaan yang mantap.
Hasil dan pendapatan yang dipungut setiap tahun diperoleh dari persediaan hutan
yang tumbuh, tidak lebih besar daripada yang dibutuhkan.
Keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan setiap tahunnya.
Adanya keselamnatan yang tinggi dari bahaya api, hama dan penyakit dan lain-lain
karena hutan tetap tumbuh dengan kuat dan biasanya tersebar dalam ukuran, umur
serta kondisi di areal hutan.
Adanya peluang yang berhubungan dengan penggunaan lain dari hutan seperti untuk
rekreasi, wildlife, perlindungan DAS dan makanan ternak sebagai dasar perencanaan
yang stabil.
Pemanenan yang teratur akan menjamin volume pekerjaan yang teratur, sehingga
tercapai efisiensi dalam pengelolaan hutan. Hal ini berhubungan dengan masalah
tenaga kerja, peralatan dan administrasinya.
Kepentingan lain dari penataan hutan untuk mewujudkan prinsip pemanenan hasil
yang sama serta berkesinambungan ialah agar para pemilik hutan tidak terpengaruh
dengan kondisi pasar kayu yang ada pada suatu waktu tertentu. Pada dasar yang
kompetitif kemungkinan saja terjadi adanya kekurangan penawaran kayu karena
meningkatnya permintaan akan kayu tersebut karena adanya hal ini maka harga kayu
akan naik. Apabila pemilik areal hutan menanggapi dengan menebang kayu lebih banyak
dari yang telah direncanakan maka akibatnya dimasa datang beban kerjanya terjadi
ketidakseimbangan dengan kata lain dia tidak mengeterapkan prinsip even flow forest
business.
Jadi tujuan penataan hutan adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
potensi dan keadaan hutan serta menentukan cara pengaturan pemanfaatan dan
pembinaannya untuk menentukan azas kelestarian dan hasil optimal. Melalui penataan
hutan, suatu kelompok hutan dapat diatur pemungutan hasilnya dengan tidak melebihi
daya produksi hutan, sehingga kekekalan produksi dapat terjamin (Vadecum Kehutanan
Indonesia, 1976).
Kegiatan penataan hutan meliputi kegiatan-kegiatan penataan batas, pembagian
hutan, inventarisasi hutan, pembukaan wilayah hutan, pengukuran, perpetaan,
pengumpulan data penunjang lain. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan perencanaan
hutan yang setelah diimplementasikan akan mendapatkan struktur hutan tertata penuh
(fully regulated forest). Konsep hutan tertata penuh dimana produksi yang terus-menerus
akan dapat tercapai. Konsep ini adalah suatu konsep yang berharga dalam manajemen
hutan, pengetahuan struktur diperlukan untuk dapat memahami masalah dan kebutuhan
dari keadaan hutan yang sebenarnya, dimana biasanya jauh dari pengaturan.
Persyaratan penting dari suatu hutan yang tertata penuh ialah bahwa umur dan klas
ukuran menjadi gambaran pada suatu proporsi dan tumbuh secara konsisten pada suatu
tingkat yang kira-kira sama setiap tahunnya atau hasil produksi yang secara periodic baik
ukuran maupun kualitas dapat diperoleh. Jadi disini ada suatu perkembangan dari umur
dan kelas umur sehingga pada akhirnya pohon yang layak tebang akan dapat ditebang
secara teratur dan volume yang sama.
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa ada hubungan yang erat anatara umur pohon
dengan ukurannya yaitu bahwa pohon kecil normalnya lebih muda dari pohon yang besar,
walaupun hubungan ini tidak langsung karena pohon menjadi lebih besar atau kecil
tergantung juga factor kesuburan tanah dimana pohon tadi tumbuh.
Dari sudut pandang pengaturan, hanya dikenal adanya dua jenis hutan yaitu; tegakan
hutan seumur (even-aged stands) dan tegakan hutan tidak seumur (uneven-aged
stands). Walaupun memang sulit secara nyata untuk membedakan kedua tegakan
tersebut karena dalam kenyataan di lapangan kombinasi keduanya sering juga
ditemukan.
Suatu visualisasi yang baik dari struktur hutan tertata adanya suatu tegakan
yang umurnya berurutan dan setiap tegakan melingkupi luas yang kira-kira sama
dengan umur seperti gambar diatas. Gambar tersebut melukiskan model hutan
dengan daur 30 tahun, disini hutan tumbuh dan pada umur rata-rata 30 tahun dapat
dipanen. Diantara umur 15 tahun sampai dengan 30 tahun telah dilakukan kegiatan
penjarangan sebanyak 3 (tiga) kali. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk
memberikan kesempatan kepada pohon-pohon atau tegakan yang diunggulkan untuk
tumbuh dengan baik melalui system pencahayaan sinar matahari lebih banyak dan
mengurangi persaingan dalam memperoleh unsur hara. Perlakuan tersebut
diharapkan mendapatkan tegakan sehat dan berdiameter besar serta berkualitas,
sehingga mendapatkan nilai tegakan yang tinggi.
Untuk mendapatkan luas tebangan (etat luas) setiap tahun, pada gambar
diatas menunjukkan adanya suatu tegakan yang berumur 1 s/d 30 tahun. Jika
misalkan suatu areal hutan seluas 30 ha, maka setiap luas tebangan per tahunnya
adalah 30 ha : 30 = 1 ha, atau bila luas total tegakan sama dengan A ha, maka luas
tebangan per tahunnya adalah A/30 tahun. Apabila luas A = 6.000 ha, maka etat luas
per tahunnya sebesar A/30 (6.000 : 30) = 200 ha.
2. PENATAAN HUTAN TEGAKAN TIDAK SEUMUR
Suatu tegakan tidak seumur ialah bila tegakan tersusun dari pohon-pohon
yang tumbuh tidak bersamaan waktunya sehingga tegakan terdiri dari berbagai umur
pohon dan ukuran.
Jatah tebangan (etat) didalam system Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
telah ditetapkan adanya Jatah Tebangan yang diijinkan yang sering dikenal sebagai
Annual Allowable Cut (AAC). Penentuan AAC dimaksudkan agar diperoleh hasil
hutan berupa kayu yang berkesinambungan berdasarkan potensi hutan, siklus
tebangan dan factor keamanan. Siklus tebangan ditetapkan 35 tahun, hal ini berkaitan
dengan asumsi bahwa tegakan hutan alam Dipterocarpaceae mempunyai riap
tahunan sebesar 1 cm/tahun, dengan ditentukan adanya pohon inti yang berdiameter
35 cm sampai dengan 49 cm, maka pada rotasi yang kedua pohon inti tersebut akan
dipanen lagi dengan diameternya telah mencapai paling tidak 70 cm. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :
AAC = 1/35*potensi tegakan komersial*80%
Keterangan :
AAC = Annual Allowable Cut (Jatah Tebangan Tahunan)
35 tahun = siklus tebangan
80% = factor keamanan
Dasar pemikiran digunakan siklus tebangan 35 tahun ialah adanya asumsi
tegakan hutan di luar Jawa yang didominasi oleh famili Dipterocarpa setiap tahunnya
memiliki pertambahan diameter sebesar 1 cm, maka setelah 35 tahun sesudah
kegiatan penebangan areal tersebut akan dapat dipanen lagi yaitu pohon-pohon inti
yang sudah berdiameter minimal 70 cm.
E. Manajemen Hutan Seumur (Even-aged Stands) dan Hutan Tidak Seumur (Uneven-
aged Stands)
Atas dasar struktur tegakan yang menjadi objek pengelolaan maka dikenal adanya
tegakan hutan seumur dan tegakan hutan tak seumur. Tegakan adalah kesatuan pohon-
pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan memiliki komposisi
jenis, umur, kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan atau
kelompok tumbuhan lain disebelah atau disekitar areal tersebut. Tegakan merupakan unit
dasar bagi suatu perlakuan silvikultur, baik dilakukan terhadap hutan tanaman maupun
terhadap hutan alam.
Dalam pengelolaan hutan dikenal adanya manajemen hutan seumur dan manajemen
hutan tak seumur. Manajemen hutan seumur merupakan pengelolaan hutan yang berasal
dari system tebang habis lalu dilakukan permudaan buatan atau alam sehingga diperoleh
hutan yang umurnya hamper seragam. Sedangkan Manajemen Hutan tak Seumur
berhubungan dengan “hutan alam” dimana dilakukan penebangan dengan menggunakan
system tebang pilih tanam Indonesia.
Suatu tegakan dikatakan tegakan seumur adalah tegakan yang terdiri dari pohon-
pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur yang sama.
Menurut Junus (1984) yang mengutip pendapat Smith mengatakan bahwa suatu tegakan
dianggap seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon paling tua dan yang paling
muda tidak melebihi 20% dari daur.
Selanjutnya pengelolaan hutan yang objeknya tegakan hutan tak seumur disebut
manajemen hutan tak seumur. Hutan tak seumur adalah hutan yang terdiri dari tegakan-
tegakan tidak seumur. Secara ringkas maka dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan
hutan yang lestari dilakukan kegiatan pengaturan hutan dimana objeknya adalah tegakan
seumur atau tegakan tidak seumur yang pada akhirnya akan dapat diwujudkan suatu
Hutan Tertata Penuh (Fully Regulated Forest). Diagram berikut akan dapat memberikan
gambaran tentang system pemanenan dan permudaan dari tegakan tersebut.
Pengaturan Hutan
Tegakan Seumur
- Tebang Habis dengan Permudaan Buatan Tegakan Tidak Seumur
(THPB). Contoh : Hutan Tanaman Industri - Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
(HTI) Contoh : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
- Tebang Habis dengan Permudaan Alam Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam
(THPA)
F. PENGATURAN HASIL
Metode pengaturan hasil hutan tidak seumur pertama kali dikembangkan oleh Dr.
Dietrich Brandis, seorang botanis kelahiran Jerman yang mengajar di University of Bonn
yang kemudian diberi gelar Sir. Metode ini ditemukan pada saat ia ditugaskan untuk
menjadi tenaga ahli kehutanan dalam pengelolaan hutan alam jati di Burma, sekarang
Myanmar, antara tahun 1850 – 1900 yang hutannya terancam rusak akibat tingginya
permintaan kayu jati untuk pembuatan kapal laut (Bruening, 1996). Metode pengaturan
hasil yang dikembangkan oleh Brandis ini dikategorikan ke dalam kelompok metode
pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon dan dikenal dengan nama Metode brandis
(The Brandis Method). Secara garis besar metode ini disusun dengan berlandaskan
kepada beberapa sifat tegakan persediaan, yaitu :
Untuk hutan alam di Indonesia (Suhendang (1993), dalam penyajian makalahnya pada
Diskusi Ilmiah Kehutanan yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis IPB ke-30
pada tahun 1993, mengusulkan untuk menggunakan metode pengaturan hasil
berdasarkan jumlah pohon yang merupakan bentuk modifikasi dari Metode Brandis. Pada
Metode Brandis, perhitungan besarnya pohon yang dapat ditebang dalam satu tahun
(AAC) diperoleh dari hutan tidak seumur yang homogen yang belum mengalami penataan
hutan, sedangkan Suhendang (1993) memodifikasinya untuk hutan tidak seumur yang
heterogeny dan telah mengalami penataan hutan terlebih dulu. Adapaun bentuk rumus
AAC yang disarankannya adalah :
Dimana :
n(r)ij = banyaknya pohon per hektar pada saat ditebang, yaitu r tahun setelah penebangan
sebelumnya, untuk kelas diameter ke-j dalam kelompok jenis pohon ke-I (pohon/ha); diperoleh
dari table tegakan normal atau hasil proyeksi.
Pij = konstanta untuk factor pengaman bagi kelompok jenis pohon jenis ke-I untuk kelas
diameter ke-j (0 ≤ Pij ≤ 1). Besar kecilnya nilai Pij ditentukan oleh tingkat persediaan pohon
dalam tegakan dan kemampuan regenerasinya. Makin tinggi tingkat persediaan pohon dan
kemampuan regenerasinya makin tinggi nilai Pi)-nya (Pij+1)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tegakan seumur adalah tegakan yang semua pohonnya ditanam pada tahun yang
sama, atau pada waktu yang bersamaan.
Keuntungan dari tegakan seumur adalah :
a. Pengelolaan inventarisasi dan pemungutan hasil, sederhana;
b. Memungkinkan untuk penggunaan alat-alat besar dan tingkat efisiensi yang lebih
tinggi;
c. Biaya lebih murah;
d. Pemendekan daur dengan melalui pemeliharaan yang intensif dan jenis unggul;
e. Tingkat pertumbuhannya lebih seragam;
f. Tebang antara, lebih mudah dilaksanakan.
B. Saran
Diharapkan agar semua yang melakukan kegiatan pengelolaan pada tegakan seumur
dan tegakan tidak seumur dapat menerapkan prinsip pemanenan yang
berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://adoc.pub/model-dinamik-pengaturan-hasil-hutan-tidak-seumur-dan-kontri.html
2. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/43959/3/Bab%20III.pdf
3. https://repository.unmul.ac.id/bitstream/handle/123456789/19238/Buku%20Manajemen%
20Hutan%20&%20Telaah%20Ekonomi.pdf?sequence=1
4. https://www.slideshare.net/edysmartnow/buku-ajar-manajemen-hutan-2009