Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH Hasil Hutan Bukan Kayu

"Lemahnya Kapasitas Masyarakat dalam Teknologi Budidaya dan


Pengolahan Mengenai Potensi HHBK"

Oleh:

ZAHIRUL
M1A116083
KEHUTANAN A

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Hasil Hutan Bukan Kayu dengan judul
"Lemahnya Kapasitas Masyarakat dalam Teknologi Budidaya dan
Pengolahan Mengenai Potensi HHBK ". Penulis tentu menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan
serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, 30 Desember 2020

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem pada hamparan lahan yang luas
yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan yang
berperan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi ini. Paradigma baru sektor
kehutanan telah memandang hutan sebagai multi fungsi, baik fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial. Hasil hutan bukan kayu terbukti dapat memberikan dampak
pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan
konstribusi yang berarti bagi peningkatan devisa negara, Sumberdaya hutan
Indonesia sangat kaya dengan berbagai macam produk yang dihasilkan. Hasil
hutan tersebut dapat berupa hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu yang meliputi
berbagai macam produk seperti bambu, gondorukem, damar, Rotan, terpentin dan
sebagainya(Darusman, 2006).
Umumnya pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu yang di kelola oleh
masyarkat secara umum selama ini masih bersifat tradisional dan belum
memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan serta memberikan dampak
yang kuat bagi konservasi. Hal ini terpotret  dari beberapa kendala-kendala dalam
pengembangan HHBK secara umum, seperti : (1) belum tersedianya data dan
informasi mengenai potensi HHBK yang ada di dalam HKm; (2)
terbatasnya/lemahnya kapasitas masyarakat, baik teknologi budidaya,
permasalahan teknologi pengolahan pasca HHBK dan permaslahan lainnya

1.2 Rumusan Masalah


a.       Apa yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
b.      Bagaimana klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
c.       Bagaimana pengolahan hasil hutan tertentu yang bukan termasuk kayu?
d.      Bagaimana manfaat hasil hutan yang bukan kayu (HHBK) untuk masyarakat?
e.       Bagaimana pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
f.       Bagaimana kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK)?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yakni,sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui pengertian hasil hutan bukan kayu (HHBK)
b.      Untuk mengetahui klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)
c.       Untuk mengetahui pengolahan hasil hutan tertentu bukan kayu
d.      Untuk mengetahui manfaat hasil hutan yang bukan kayu (HHBK) untuk
masyarakat
e.       Untuk mengetahui bagaimana pengembanagan hasil hutan bukan kayu
(HHBK)
f.       Untuk mengetahui kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian hasil hutan bukan kayu (HHBK)

             Hasil hutan bukan kayu merupakan produk selain kayu yang dihasilkan
dari bagian pohon atau benda biologi lain yang diperoleh dari hutan, berupa
barang (good product) maupun jasa (services product) dan konservasi. Produk
berupa barang seperti produk minyak-minyakan, getah, rotan, bambu, penyamak,
lak, madu, obat-obatan, sedangkan jenis jasa dan konservasi meliputi pariwisata
dan jasa ekologis. Untuk hasil hutan bukan kayu nabati bisa dikelompokkan
kedalam kelompok rotan, kelompok bambu dan kelompok bahan ekstraktif.
Kelompok bahan ekstraktif menghasilkan produk ekstraktif yang diperoleh dari
proses ekstraksi, pengepresan dan destilasi (penyulingan), dan hasil akhirnya
dapat berupa minyak-minyakan, getahgetahan, dan ekstrak lain seperti bahan
penyamak, bahan pewarna, dan alkaloid. Setiap produk ini diambil dari berbagai
sumber tanaman seperti daun, kulit kayu, hasil ekskresi (getah) dan lain
sebagainya.
         Menurut Peraturan Menteri No. P35/ Menhut-II/ 2007, hasil hutan bukan
kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu sebagai segala
sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dimanfatkan bagi kegiatan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
          Hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut dengan HHBK adalah
hasil yang bersumber dari hutan selain kayu baik berupa benda-benda nabati
seperti rotan, nipah, sagu, bambu, getah-getahan, biji-bijian, daun-daunan,
obatobatan dan lain-lain maupun berupa hewani seperti satwa liar dan bagian-
bagian satwa liar tersebut (tanduk, kulit, dan lain-lain). 

2.2  Klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)

                  HHBK dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil


maupun produk serta produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.35/ Menhut-II / 2007 tentang Hasil Hutan Bukan
Kayu, maka dalam rangka pengembangan budidaya maupun pemanfaatannya
HHBK dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani.
1.)    Kelompok Hasil Hutan dan Tanaman
a.       Kelompok Resin: agatis, damar, embalau, kapur barus, kemenyan, kesambi,
rotan jernang, tusam.
b.      Kelompok minyak atsiri: akar wangi, cantigi, cendana, ekaliptus, gaharu,
kamper, kayu manis, kayu putih.
c.       Kelompok minyak lemak: balam, bintaro, buah merah, croton, kelor, kemiri,
kenari, ketapang, tengkawang.
d.      Kelompok karbohidrat : aren, bambu, gadung, iles-iles, jamur, sagu, terubus,
suweg.
e.       Kelompok buah-buahan: aren, asam jawa, cempedak, duku, durian, gandaria,
jengkol, kesemek, lengkeng, manggis, matoa, melinjo, pala, mengkudu, nangka,
sawo, sarikaya, sirsak, sukun
f.       Kelompok tannin: akasia, bruguiera, gambir, nyiri, kesambi, ketapang, pinang,
rizopora, pilang.
g.      Bahan pewarna: angsana, alpokat, bulian, jambal, jati, kesumba, mahoni,
jernang, nila, secang, soga, suren.
h.      Kelompok getah: balam, gemor, getah merah, hangkang, jelutung, karet
hutan, ketiau, kiteja, perca, pulai, sundik.
i.        Kelompok tumbuhan obat: adhas, ajag, ajerar, burahol, cariyu, akar binasa,
akar gambir, akar kuning, cempaka putih, dadap ayam, cereme.
j.        Kelompok tanaman hias: angrek hutan, beringin, bunga bangkai, cemara
gunung, cemara irian, kantong semar, pakis, palem, pinang merah.
k.      Kelompok palma dan bambu: rotan (Calamus sp, Daemonorops sp, Korthalsia
sp), bambu (Bambusa sp, Giganthocloa sp, Euleptorhampus viridis,
Dendrocalamus sp), agel, lontar, nibung.
2.)        Kelompok alkaloid: kina, dll.
3.)      Kelompok Hasil Hewan
a.       Kelompok hewan buru :
1.      Kelas mamalia: babi hutan, bajing kelapa, berut, biawak, kancil,
kelinci,  lutung, monyet, musang, rusa.
2.      Kelas reptilia: buaya, bunglon, cicak, kadal, londok, tokek, jenis ular
3.      Kelas amfibia: bebagai jenis katak.
4.      Kelas aves: alap-alap, beo, betet, kakatua, kasuari, kuntul merak, nuri perkici,
serindit.
5.      Kelompok hasil penangkaran: arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa.
6.       Kelompok hasil hewan: burung wallet, kutu lak, lebah, ulat sutera.

2.3    Pengolahan hasil hutan tertentu yang bukan kayu (HHBK)


Pengolahan hasil hutan tertentu yang bukan termasuk kayu yakni,sebagai berikut :
● Nilam
         Pengamatan tanaman nilam di lapangan yang ditanam secara tumpang sari
dengan tanaman pertanian dan perkebunan pada kebun campuran menunjukkan
bahwa produktivitas nilam yang ditanam secara tumpang sari di Tasikmalaya
sebesar 4 kg/rumpun/panen dengan hasil DNB (daun nilam basah) sekitar 75-100
ton/ha atau sama dengan 15-20 ton DNK (daun nilam kering) per hektar sekali
panen lalu dijual ke pedagang dengan harga Rp 500/kg basah, dan Rp 2.500/kg
kering, dengan nilai jual sekitar Rp 37,5-50 juta/ha. Usaha ini dikelola oleh
Kelompok Tani Mitra Usaha Jaya. Proses penyulingan dengan cara uap panas.
Kualitas dan rendemen minyak yang ditanam secara tumpang sari tidak kalah
bagus dengan kualitas minyak yang ditanam secara monokultur. Kadar Patchouli
berkisar antara 26-39,5%, bahkan yang disuling di laboratorium berkisar antara
41-49,7%, dengan rendemen berkisar antara 2,4-5%
● Jernang
         sebagai penghasil resin berasal dari buah rotan jenis Daemonorops sp.
Penyebaran rotan jernang meliputi Sumatera (Jambi) dan di Kalimantan, dan
komoditi ini telah  diusahakan oleh masyarakat suku Kubu secara intesif di
Jambi.  Rendemen getah yang dihasilkan sekitar 20%, diusahakan oleh
masyarakat suku Kubu secara intesif di Jambi.  Rendemen getah yang dihasilkan
sekitar 20%.
● Gondrorukem
            pengolahan gondorukem ester dengan  menggunakan bahan kimia gliserol
dan ester dengan variasi persentasinya dari 2-14 %.  Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengolahan gondorukem fumarat dengan katalis benzene mempunyai
warna yang lebih baik dari warna gondorukem fumarat dengan katalis aseton, dan
keduanya memenuhi persyaratan warna gondorukem fumarat dari standar Cina
dan Amerika. Berdasarkan bilangan asam dan titik lunaknya, dengan  katalis
aseton, penambahan asam fumarat 8 % telah memenuhi kualitas pertama
gondorukem fumarat dari kedua standar tersebut, dan secara statistik juga
memberikan  pengaruh nyata terhadap sifat tersebut.
● Gaharu
            Minyak gaharu yang berasal dari Desa Kekait, Kecamatan Gunung Sari,
Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat mengandung oleicacid,
cycloprope β-entene, chromone, hexadecanoic acid, dicarboxoidehyde. Sifat
fisiko-kimianya adalah indeks bias : 1,5060, berat jenis minyak gaharu : 0,8005,
bilangan ester : 13,45, bilangan asam : 11,06. Teknologi  pembuatan produk dupa
kerucut dari limbah hasil penyulingan minyak gaharu  dengan menggunakan
mesin kempa yang paling baik  asal Kalimantan Timur (Berau) adalah dengan
perlakuan tekanan 10 kg/cm2, suhu 70 oC dan waktu 9 menit sedangkan yang
berasal dari Riau (Kuok) adalah dengan perlakuan tekanan 10 kg/cm2, suhu 70 oC
dan waktu 3 menit selanjutnya yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (Mataram)
adalah dengan perlakuan tekanan 10 kg/cm2, suhu 70 oC dan waktu 6 menit.
● Kulit ipoh
           Pengolahan serat kulit ipoh di masyarakat Jambi masih menggunakan
pengolahan secara tradisional dari menyayat kulit dari pohon sampai dengan
pemukulan kulit  Kelemahan dari proses awal sampai akhir diantaranya adalah (1)
tidak diketahui secara pasti ukuran diameter berapa yang paling baik untuk dapat
menghasilkan kulit yang bagus kualitasnya dilihat dari sifat fisiknya; (2) berapa
lama waktu pemukulan yang efektif untuk dapat menghasilkan kulit lembaran
ipoh yang baik.  Saat ini waktu pemukulan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
satu lembar serat kulit ipoh adalah berkisar antara 1,5 – 2 jam.; (3) belum adanya
alat yang tepat untuk menghaluskan serat kulit ipoh agar kulit halus secara
merata.  Saat ini alat yang digunakan adalah palu kayu dengan ujung
bergerigi.  Setelah itu langsung dijual tanpa diolah terlebih dahulu menjadi barang
kerajinan.
● Kemenyan
           Bentuk dan warna kemenyan dari dalam dan luar kulit berbeda.  Kemenyan
dari dalam berwarna putih dengan permukaan rata, sedangkan dari luar kulit
berwarna putih  kekuning-kuningan dengan permukaan beralur. Pengeringan
kemenyan secara tradisional memerlukan waktu 3 bulan dengan laju penurunan
kadar air 1,2% minggu.
● Jelutung
           Pola sadap jelutung  ½ spiral dari kanan atas ke arah kiri bawah dengan
periode sadap 7 hari (1/2S d/7 kn) dan pola sadap ½ spiral dari kiri atas ke kanan
bawah dengan periode sadap 7 hari (1/2S d/7 kr) menghasilkan getah jelutung
relatif sama yaitu   39,40 gram dan 28,40 gram. Sedangkan sifat-sifat lainnya
(warna, kadar abu, ekstrak aseton, total alkaloid, daya serap air, kadar kotoran dan
bahan karet) relatif sama antara getah tanpa dan menggunakan stimulan.
● Gambir (Uncaria gambir Roxb.)
          Gambir merupakan salah satu HHBK yang penting di Indonesia, digunakan
secara tradisional untuk berbagai tujuan seperti campuran makan sirih, obat,
industri tekstil dan kulit. Salah satu sentra produksi gambir di Indonesia adalah
Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara.
● Kayu medang landit (Persea spp.)
             Pengusaha kulit kayu medang landit (Persea spp) di desa Bulo Mario,
Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan meliputi
potensi, cara pemanenan, penanganan pasca panen, tata niaga, dan kendala
pengusahaan melalui teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa potensi pohon medang landit adalah 14 pohon/ha. Cara
pemanenan kulit medang landit dilakukan dengan menebang pohon, kayu belum
dimanfaatkan secara optimal, dan belum ada budidaya tanaman. Pohon medang
landit yang dipanen merupakan tanaman yang tumbuh di kawasan hutan baik
hutan rakyat maupun kawasan hutan Negara. Kulit kayu medang landit
dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan obat anti nyamuk bakar dan
dupa (hio).
● Damar batu dan damar mata kucing.
          Damar batu menunjukkan bahwa sifat kadar abu dan bilangan asamnya
masuk SNI damar, sementara titik lunaknya (95 – 1800 C) berbeda dengan SNI
damar (95 – 1200 C). Hasil penelitian damar mata kucing dengan metode hembus
dan rendam tidak menghasilkan damar yang bersih, kaena metode ini hanya
menghilangkan kotoran yang ada di luar getah. Damar mata kucing dapat
dimurnikan tanpa menggunakan pelarut dan secara umum sifat fisiko kimia damar
yang dimurnikan masih masuk dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) damar
mata kucing. Namun untuk warna damar hasil pemurnian masih agak gelap.

2.4     Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK)


a.       Pemanfaatan Hasil hutan Bukan Kayu Nabati
● Rotan
Pemanfaat rotan tersebut hanya 43,8% responden yang menjualnya
sedangkan 56,3% lagi dimanfaatkan sendiri oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga pada waktu dibutuhkan untuk membuat  pijakan padi
pada saat panen.Jenis rotan yang dimanfaatkan  adalah rotan sega (Calamus
caesius), rotan pulut, rotan merah, dan rotan jepung. Rotan yang dijual adalah
rotan mentah maupun rotan yang sudah diolah oleh pengrajin. Dari semua
masyarakat yang memanfaatkan rotan, 5% diantaranya telah membudidayakan
rotan di lahan miliknya.  Selain menjual berupa rotan mentah, ada juga yang
menjual rotan dalam bentuk kerajinan tangan yang dibentuk dengan kombinasi
rotan, daun kajang, dan daun biru untuk membuat seraung dan tampi beras selain
itu juga rotan dapat dijadikan tas seperti tas gendong, anjat,tikar, dan lanjung yang
biasa dipakai oleh masyarakat.
● Karet
Bagian karet yang biasa digunakan yaitu getahnya ,karet merupakan hasil
hutan yang memiliki nilai jual tinggi karena manfaatnya sangat banyak yakni
salah satunya untuk pembuatan ban.
● Tumbuhan obat,sayur-sayuran,buah-buahan
Tumbuhan obat yang  masih dimanfaatkan oleh beberapa masyarakat yang
diambil dari hutan. sebanyak 10% masyarakat memanfaatkan pasak bumi dan
23,3%  memanfaatkan jenis yang sama. Pasak bumi dimanfaatkan oleh untuk obat
sakit malaria dan sakit pinggang. Selain pasak bumi, tumbuhan obat yang masih
dimanfaatkan, yaitu: akar kuning, anggrek, gingseng, dan sarang semut.
Persentase pemanfaatan oleh masyarakat pada pemanfaatan pasak bumi dan akar
kuning berturut-turut adalah 6,7%, dan 3,3%  sedangkan memanfaatkan jamur
yang diambil dari batang kayu dengan jenis jamur kulat (nama daerah) dan jamur
lung yang tumbuh di tanah pada saat musim dingin  yang ada di hutan yang
dimanfaatkan untuk disayur. 
        selain tumbuhan yang disebutkan di atas terdapat beberapa tumbuhan yang
masih dimanfaatkan mereka dan berasal dari hutan. Tumbuhan yang masih
dimanfaatkan yaitu cengkeh hutan, durian hutan, manggis hutan, mangga hutan,
buah rotan yang dapat diambil pada musim panen, paku hati sebagai penawar
racun, damar sebagai perekat pada perahu, bambu untuk menjemur padi dan
menangkap ikan.  Tumbuhan obat, buah-buahan, jenis sayur dan yang lainnya
hanya digunakan oleh masyarakat pada saat dibutuhkan dan pada saat tumbuhan
hutan tersebut sedang bermusim. Sehingga mereka memanfaatkannya hanya untuk
dikonsumsi saja.
b.      Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Hewani
● Madu
Potensi madu bisa dibilang sedikit atau kuantitasnya menurun,Menurut
masyarakat pohon Banggeris atau yang biasa disebut pohon Kempas (Koompassia
excelsa)  sebagai pohon madu sudah semakin langka sehingga ketersediaan madu
juga semakin langka. Pada umumnya madu bisa dipanen pada saat musim buah.
Harga jual madu hutan yang dimanfaatkan responden adalah Rp 150.000/liter.
Biasanya madu dapat diperoleh 5-10 liter/minggu jika sedang musimnya.
Pengambilan madu dilakukan dengan memanjat pohon Banggeris dengan
membuat tangga pijakan di batangnya. Mencari madu hutan bukanlah pekerjaan
yang mudah. Untuk mendapatkannya, selain memanjat batang pohon yang licin
pemanfaat madu juga harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menemukan
pohon banggeris tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulka madu
juga dibutuhkan waktu 1 harian
● Satwa liar
Disuatu daerah yang memiliki pekerjaan utama atau mata pencaharian
sebagai pemburu satwa liar Potensi hewan buruan di sekitar kawasan hutan tempat
mereka tinggal masih terbilang banyak. Pemanfaatan hewan buruan sebagian
untuk dikonsumsi dan atau dijual.   Beberapa jenis satwa liar yang diburu oleh
masyarakat yaitu: Babi hutan (Sus barbatus), Rusa sambar (Cervus unicolor),
Kijang (Muntiacuc muntcak), Pelanduk/Kancil (Tragulus javanicus), Monyet
beruk (Macaca nemestrina), Ayam hutan (Gallus gallus), dan Landak raya
(Hystrix brachyura). Semua jenis satwa liar ini masih ditemukan di kawasan
hutan. Meski sebagian diantaranya sudah langka masyarakat masih sering berburu
satwa liar tersebut sebagai alternatif sumber pemenuhan protein dan sumber
pendapatan keluarga.

2.5     Pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK)


       Meskipun potensi hasil hutan bukan kayu cukup berlimpah tidak semua
hasil hutan bukan kayu tersebut dapat dikembangkan. Ada beberapa strategi
pengembangan yang harus dilakukan untuk memilih jenis prioritas hasil hutan
bukan kayu yang diunggulkan dan layak untuk dikembangkan. Strategi
pengembangan yang harus dilakukan harus sesuai dengan kriteria, indikator, dan
standar yang ditetapkan. Tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka
usaha dan pemanfaatannya dan dapat dilakukan lebih terencana
sehingga  pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah, dan
berkelanjutan.
Jenis HHBK unggulan adalah jenis hasil hutan bukan kayu yang memiliki
potensi ekonomi yang dapat dikembangkan budidaya maupun pemanfaatannya di
wilayah tertentu sesuai kondisi biofisik setempat guna meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat yang dipilih berdasarkan kriteria dan indikator
tertentu yang ditetapkan. HHBK unggulan ditetapkan berdasarkan beberapa
kriteria mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial
dan kriteria teknologi. Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 3 (tiga)
unggulan, yaitu: unggulan nasional, unggulan provinsi, dan unggulan lokal
(kabupaten/kota setempat). HHBK unggulan tersebut dapat dipergunakan sebagai
arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat pusat dan daerah.
Pengembangan sumber daya hutan yang berkesinambungan membuka peluang
pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) karena memiliki
keunggulan yang komparatif serta sangat bersentuhan langsung dengan
masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) mampu memberikan
dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara. Karena pada
kenyataannya, keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam ekosistem hutan
hanya sekitar 5% saja yang memberikan hasil hutan berupa kayu dan bagian
terbesar yakni 95% justru memiliki potensi memberikan hasil hutan bukan kayu.
Dalam pengelolaan HHBK sebaiknya melibatkan pemberdayaan masyarakat.
Sehingga dengan adanya pemberdayaan masyarakat terhadap pengembangan
HHBK tentu saja akan membuka lapangan kerja baru dan hal tersebut tidak hanya
bermanfaat bagi pihak pemerintah saja namun juga ikut menguntungkan
masyarakat dan terutama terhadap kelestarian sumber daya hutan.
              Langkah  awal yang harus dilakukan dalam pengembangan HHBK
adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK
yang ada di suatu daerah kawasan hutan termasuk mengetahui seberapa besar
tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan terhadap HHBK
tersebut. Dari hasil analisis pemanfaatan dan survei potensi HHBK akan diketahui
jenis apa saja yang berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat dan apakah
HHBK yang dimanfaatkan layak untuk dikembangkan. Tingkat pemanfaatan
masyarakat dianalisi dari seberapa besar kontribusi pemanfaatan HHBK terhadap
pendapatan total rumah tangga. Dengan adanya pergesaran dari pengelolaan hutan
yang berorientasi kayu menjadi HHBK akan memberikan kesempatan regenerasi
alam kembali membaik. Dari keterlibatan masyarakat secara langsung terhadap
pemanfaatan HHBK juga diharapkan pemahaman mereka terhadap kelestarian
sumber daya hutan tinggi. Sehingga partisipasi mereka terhadap suksesnya
pengelolaan hutan yang lestari tercapai.
2.6     Kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
                       Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pemungutan  HHBK
pada hutan lindung  tercantum pada pasal 26, pemungutan HHBK pada hutan
produksi pada pasal 28.  Berdasarkan  Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
dan perubahannya HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan
hutan/lahan milik atau hutan rakyat (Anonim, 2007b). HHBK yang berasal dari
kawasan hutan dibedakan menjadi: (a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan
dikenal dengan nama pemungutan terdapat pada pasal 28, (b) HHBK yang berasal
dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan istilah
pemanfaatan, terdapat dalam pasal 43.
Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung antara lain berupa:
rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang burung walet dan penangkaran satwa liar.
Sedangkan hasil HHBK dari hutan produksi antara lain (1) Rotan, sagu, nipah,
yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan pemasaran hasil; (2) Getah,
kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
                       Tiga dari lima sasaran pokok dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Kehutanan 2010-2025 yang menaungi pengembangan
pemanfaatan HHBK meliputi (1) peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya
hutan yang berkelanjutan,(2) produk barang dan jasa yang ramah lingkungan,
kompetitif dan bernilai tambah tinggi, dan (3) Kesejahteraan dan partisipasi aktif
masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan acuan dalam pengembangan
HHBK.
Lebih lanjut Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025(Anonim, 2009)
mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penelitian HHBK adalah
masih terbatasnya pemanfaatan sebagai sumber ekonomi masyarakat dan
penerimaan Negara, nilai tambah dan daya saing, evaluasi dan kelayakan usaha,
ketersediaan serta akses teknologi pengolahan yang memadai. Di samping
itu,  HHBK unggulan daerah belum tersedia dan tercatat dengan baik.
Secara global,  HHBK diketegorikan menjadi HHBK FEM (Food, Energy
dan Medicine) dan HHBK lainnya. HHBK FEM adalah HHBK yang secara
umum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan (sagu dan
sukun), energi ( kayu bakar, arang dan biofuel yang bersumber dari lignoselulosa)
dan obat-obatan termasuk kosmetika (biofarmaka). Sedangkan HHBK lainnya
umumnya selain dari kategori tersebut  (gaharu, cendana dan minyak atsiri).

BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
           Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan yakni sebagai
berikut :
1. Hasil hutan bukan kayu merupakan produk selain kayu yang dihasilkan dari
bagian pohon atau benda biologi lain yang diperoleh dari hutan, berupa barang
(good product) maupun jasa (services product) dan konservasi. Produk berupa
barang seperti produk minyak-minyakan, getah, rotan, bambu, penyamak, lak,
madu, obat-obatan, sedangkan jenis jasa dan konservasi meliputi pariwisata dan
jasa ekologis. Untuk hasil hutan bukan kayu nabati bisa dikelompokkan kedalam
kelompok rotan, kelompok bambu dan kelompok bahan ekstraktif.
2.      Kelompok hasil hutan yang bukan kayu dari jenis tanaman yakni,kelompok
resin yang terdiri dari agatis dan embalu,kelompok minyak atsiri terdiri dari akar
wangi dan centigi dll,kelompok minyak lemak terdiri dari balam dan bintaro
dll,kelompok karbohidrat terdiri dari aren dan bambu dll,kelompok buah-buahan
terdiri dari cimpedak dan durian dll,kelompok tamin terdiri dari akasia dan gambir
dll,bahan pewarna terdiri dari angsana dan jati,kelompok getah terdiri dari balam
dan genor,kelompok tanaman hias terdiri dari anggrek hutan dan bunga bangkai
dll, kelompok palma terdiri dari rotan dan bambu.Sedangkan hasil hutan bukan
kayu dari jenis hewan yakni,kelompok hewan buru terdiri dari babi
hutan,kancil,kelinci,musang,rusa dll,kelompok hasil penangkaran terdiri dari
arwana irian,buaya,kupu-kupu,kelompok hasil hewan burung terdiri dari
walet,lebah dan ulat sutra.
3.      Pengolahan hasil hutan yang bukan kayu dibedakan menurut karakteristik
produknya,pengolahan biasannya digunakan agar lebih layak untuk digunakan
karena tidak semua komponen dalam produk dapat digunakan.Pengolahannya
dapat berupa menghilangkan kadar bahan kimianya serta mengubah bentuk awal
dari produk menjadi produk baru contohnya berbagai macam tumbuhan yang
memiliki khasiat sebagai obat akan diubah menjadi produk baru menjadi minyak
atsiri sehingga nilai jualnya tinggi.
4.      Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yakni digunakan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti buah-buaha,sayur-sayuran digunakan
untuk konsumsi.Tanaman obat-obatan yang digunakan untuk menyembukan
penyakit serta produk lain yang tidak mereka gunakan tapi bermanfaat untuk
orang lain akan dijual sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat
setempat.
5.      Pengembangan hasil hutan yang bukan kayu merupakan salah satu kegiatan
yang dilakukan agar hutan tidak habis digunakan masyarakat agar kondisi hutan
tetap terjaga. Langkah  awal yang harus dilakukan dalam pengembangan HHBK
adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK
yang ada di suatu daerah kawasan hutan termasuk mengetahui seberapa besar
tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan terhadap HHBK
tersebut. Dengan adanya pergesaran dari pengelolaan hutan yang berorientasi
kayu menjadi HHBK akan memberikan kesempatan regenerasi alam kembali
membaik. Dari keterlibatan masyarakat secara langsung terhadap pemanfaatan
HHBK juga diharapkan pemahaman mereka terhadap kelestarian sumber daya
hutan tinggi. Sehingga partisipasi mereka terhadap suksesnya pengelolaan hutan
yang lestari tercapai.
6.      Kebijakan hasil hutan bukan kayu dikeluarkan agar masyarakat tau
bahwasannya ada sebagian hasil hutan yang dilindungi keberadaannya agar
kelestariannya tetap terjaga sehingga masyarakat membuat kebijakan hukum
tentang undang-undang perlindungan hasil hutan yang tidak boleh digunakan
secara berlebihan.

3.2     Saran
                Saran yang dapat disampaikan penulis yaitu masyarakat lebih tepat lagi
menggunaka hasil hutan dan menggunakannya sesuai kebutuhan atau menjaga
kelestarian hutan agar hasil hutan tidak habis dan dapat digunakan untuk generasi
ke generasi dapat menyejahterakan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007a. Permenhut No P.35/Menhut-II/2007 tentang Penetapan jenis-


jenis HHBK. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Anonim, 2007b. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Anonim, 2009. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang  Strategi
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen
Kehutanan RI. Jakarta.
Arief.2001. Agenda Riset Nasional 2006-2009.  Dewan Riset Nasional. Jakarta.
Darusman.2006.pengenalan hhbk (jenis-jenis hhbk serta cara
pengolahannya).media komputindo.jakarta

Anda mungkin juga menyukai