Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki wilayah yang cukup luas
dengan jumlah penduduk yang besar pula yang menempati peringkat ke4 didunia.
Setiap tahun angka populasi penduduk Indonesia selalu bertambah. Dengan
bertambahnya penduduk memaksa untuk mengurangi lahan-lahan yang seharusnya
digunakan sebagai lahan produksi dan dialih fungsikan menjadi bangunanbangunan, ataupun lahan perhutanan yang dialih fungsikan menjadi lahan pertanian.
Hal tersebut menimbukan banyak permasalahan seperti penurunan kesuburan tanah,
erosi termasuk kepunahan flora-fauna. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke
waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi
lahan usaha lain.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu usaha pemanfaatan lahan secara effisien agar
fungsi lahan yang digunakan untuk produksi mampu memenuhi kebutuhan sekarang
dan masa mendatang. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian agroforestry?
1.2.2 Apa saja jenis agroforestry?
1.2.3 Apa saja kelemahan dan tantangan agroforestry?
1.2.4 Apa saja manfaat agroforestry dalam berbagai aspek?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian agroforestry.
1.3.2 Mengetahui jenis agroforestry.
1.3.3 Mengetahui kelemahan dan teantangan agroforestry.
1.3.4 Mengetahui manfaat agroforestry dalam berbagai aspek.
1.4 Kegunaan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Agroforestry
Agroforestry dipahami sebagai suatu pola perpaduan yang harmonis antara
tanaman semusim, herba, perdu dan pepohonan yang di-budidayakan dalam suatu unit
lahan yang penampilan fisik dan dinamikanya menyerupai hutan primer atau sekunder
(Foresta dan Michon, 2000).
Agroforestry adalah pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan produktifitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kombinasi
kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersama maupun
berurutan dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola
budaya penduduk setempat.(Matatula, Jeriels. 2009)
2.2 Jenis Agroforestry
Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan- perpaduan konvensional yang
terdiri atas sejumlah kecil unsur, yakni unsur pohon yang memiliki peran ekonomi
penting (seperti kelapa, karet, cengkeh, jati, dll.) atau yang memiliki peran ekologi
(seperti dadap dan petai cina), dengan sebuah unsur tanaman musiman (misalnya padi,
jagung, sayur-mayur, rerumputan), atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat
dan sebagainya yang juga memiliki nilai ekonomi. Sistem agroforestry kompleks adalah
sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman
musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan
ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah
hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami,
melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. (Senoaji,
2012)
2.3 Kelemahan dan tantangan agroforestry
Kelemahan agroforestry adalah sebagai berikut
1 Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang
hamparan agroforest sulit dikenali.Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi
diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu
biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan
dan hutan.
2 Kesulitan mengukur produktivitas

Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman
dan pola penanaman yang teratur rapi.Biasanya mereka enggan memberi perhatian
terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial.Mereka juga biasanya tidak
memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies
pepohonan dan herba/semak.
3 Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.
Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan
masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan
adanya interaksi antar tanaman.
(Hairiah, dkk, 2005)
3.1.1

Ancaman Keberlanjutan
Keberlanjutan dari agroforest ini menghadapi beberapa ancaman antara lain

sebagai berikut :
1. Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya
cenderung diabaikan.Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat
terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana
menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda
kemalasan petani.Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola
pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa
agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.
2. Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan
pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal,
agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus
menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan
perkembangan pasar.Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern
dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan
spesies baru dan strategi agroforestri baru.
3. Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan

ketersediaan

luasan

lahan,

karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat


penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan
konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan
dalam jangka pendek.
4. Penguasaan lahan

Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara


resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan.Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka.Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan
negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek
pembangunan besar lainnya.Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat
keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah
mereka bangun.
5. Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest
yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.Akibatnya, belum ada upaya
untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti
yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lainlain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
6. Egosektoral
Pengembangan agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara
kehutanan dan pertanian (dalam arti luas).Akan tetapi, khususnya di Indonesia,
terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian dan
kehutanan.Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat untuk mengembangkan
agroforestri di masing-masing sektor sangat besar, kesulitan sering terjadi pada taraf
implementasinya (mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan).Hal
tersebut karena kesulitan melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawab teknis dan finansial. Padahal di sisi lain, untuk
membentuk agroforestri menjadi sektor dan memiliki departemen sendiri sangat
tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga
saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang
terbatas.Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya dukungan
kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran
dari keseluruhan produk yang dihasilkan.
(De Foresta et al., 2000)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Agroforestry

Pengertian dan definisi agroforestry adalah budidaya tanaman kehutanan atau


pohon-pohon bersamaan dengan tanaman pertanian (tanaman semusim). Agroforestry
dapat diartikan lebih luas lagi dengan penggabungan sistem budidaya kehutanan,
pertanian, peternakan dan kehutanan. Foresta dan Michon (2000) Agroforestry
dipahami sebagai suatu pola perpaduan yang harmonis antara tanaman semusim, herba,
perdu dan pepohonan yang di-budidayakan dalam suatu unit lahan yang penampilan
fisik dan dinamikanya menyerupai hutan primer atau sekunder.
Agroforestry merupakan sistem pengolahan lahan untuk mengatasi masalah
ketersediaan lahan dan meningkatkan produktifitas lahan. Agroforestry diterapkan untuk
mengatasi masalah ketersediaan pangan. Matatula, Jeriels (2009) juga menjelaskkan
agroforestry adalah pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan produktifitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kombinasi
kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersama maupun
berurutan dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola
budaya penduduk setempat.

3.2 Jenis Agroforestry


3.2.1 Sistem agroforestry sederhana
Senoaji (2012)menyatakan bahwa sistem agroforestri sederhana adalah
perpaduan- perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, yakni unsur
pohon yang memiliki peran ekonomi penting (seperti kelapa, karet, cengkeh, jati, dll.)
atau yang memiliki peran ekologi (seperti dadap dan petai cina), dengan sebuah unsur
tanaman musiman (misalnya padi, jagung, sayur-mayur, rerumputan), atau jenis
tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat dan sebagainya yang juga memiliki nilai
ekonomi

Suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan
satu atau lebih jenis tanaman semusim tetapi kurang dari lima jenis. Sistem ini, dalam
versi Indonesia, dikenal dengan taungya yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa
dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada
lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohonpohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak
diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik

Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan
tanaman semusim karena adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang
ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga
akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati
monokultur.
3.2.2

Sistem agroforestry kompleks


Senoaji (2012) menyatakan bahwa sistem agroforestry kompleks adalah sistem-

sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan
atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem
hutan alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutanhutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan
merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan.
Suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman tahunan yang
diselingi dengan tanaman semusim, tanaman tahunan ini berbasis pohon baik sengaja
ditanam atau tumbuh alami. Jumlah spesies yang ada lebih dari 5 dan kondisinya
menyerupai hutan.
1. Agroforestry tradisional
Agroforestry yang terbentuk tanpa mengadopsi teknk-teknik dari luar dan benih-benh
dari luar untuk didatangkan mengisi agroforestry. Agroforestry tradisional ini hanya
memanfaatkan apa yang ada disitu dan menggunakan teknik seadanya yang diketahui.

2. Agroforestry modern
Agroforestry yang terbentuk dengan mengadopsi teknik-teknik dari luar dan benihbenihnya diproduksi dari luar. Bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Karena teknik dan benihnya merupakan hasil dari penelitian dan pengembangan.

3.3 Kelemahan dan Tantangan Agroforestry


3.3.1 Kelemahan

Hairiah, dkk (2005) menyatakan bahwa agroforestry memiliki kelemahan


sebagai berikut:
4 Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang
hamparan agroforest sulit dikenali.Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi
diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu
biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan
dan hutan.
5 Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman
dan pola penanaman yang teratur rapi.Biasanya mereka enggan memberi perhatian
terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial.Mereka juga biasanya tidak
memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies
pepohonan dan herba/semak.
6 Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.
Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan
masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan
adanya interaksi antar tanaman.
3.3.2

Ancaman Keberlanjutan
De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keberlanjutan dari agroforest

ini menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut :


4

Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan


Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya

cenderung diabaikan.Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat


terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana
menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda
kemalasan petani.Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola
pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa
agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.
5 Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan
pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal,
agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus
menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan
perkembangan pasar.Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern

dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan
spesies baru dan strategi agroforestri baru.
6 Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan

ketersediaan

luasan

lahan,

karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat


penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan
konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan
dalam jangka pendek.
7 Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara
resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan.Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka.Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan
negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek
pembangunan besar lainnya.Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat
keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah
8

mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest
yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.Akibatnya, belum ada upaya
untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti
yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-

lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).


Egosektoral
Pengembangan agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara
kehutanan dan pertanian (dalam arti luas).Akan tetapi, khususnya di Indonesia,
terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian dan
kehutanan.Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat untuk mengembangkan
agroforestri di masing-masing sektor sangat besar, kesulitan sering terjadi pada taraf
implementasinya (mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan).Hal
tersebut karena kesulitan melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawab teknis dan finansial. Padahal di sisi lain, untuk
membentuk agroforestri menjadi sektor dan memiliki departemen sendiri sangat
tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga
saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang
terbatas.Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya dukungan

kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran
dari keseluruhan produk yang dihasilkan.

De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA, 2000. Ketika Kebun


Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat.
ICRAF, Bogor. 249 pp.
Foresta,H. de dan G. Michon. 2000. Agroforestry Indoneia: Beda sistem Beda
Pendekatan. Da- lam Agroforestry Khas Indo- nesia .ICRAF. HAlam 1-17
Hairiah, Kurniatun, Widianto dan Sunaryo.2005. Sistem Agroforestri Di Indonesia.
https://fandicka.wordpress.com/2011/03/31/sistem-agroforestri-diindonesia-dan-biodiversitas/ (sistem agroforestri di indonesia dan
biodiversitas, Fandicka 2011)
Matatula, Jeriels. 2009. Upaya Rehabilitas Lahan Kritis Dengan Penerapan Teknologi
Agroforestry Sistem Silvopastoral di Desa Oebola Kecamatan Fatuleu Kabupaten
Kupang. Jurnal Inotek. Vol 13 (1) : 63 74
Gunggung, Senoaji.

2012. Pengelolaan Lahan Dengan Sistem Agroforestry Oleh

Masyarakat Baduy Di Banten Selatan. Jurnal Bumi Lestari 12(2,) :283 - 293

Anda mungkin juga menyukai