Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK SERTIFIKASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN

RAKYAT

Oleh :

Kelompok 1

Akhmad Mujahid Ramadani (1810611110003)

Asfinnur Ahmad Triputra (1810611210029)

Annisa firdianti (1810611320047)

Benny Saputra (1710611210011)

Melitania Puspitasari (1810611120015)

Muhammad Nur Fahreza(1810611310025)

Mustika Wati (1710611220053)

Putra S.T.M Lingga (1710611210063)

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih

memberikan kita kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan

makalah ini dengan judul “Dampak sertifikasi terhadap pengelolaan hutan rakyat”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sertifikasi Hutan.

Dalam makalah ini membahas tentang peranan dari sertifikasi hutan dalam

pengelolaan hutan rakyat.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penyusun juga berharap semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami

harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan

makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Banjarbaru, 7 maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................

Latar Belakang.......................................................................................................

Rumusan Masalah........................................................................................................

Tujuan.....................................................................................................................

BAB 2 ISI ...............................................................................................................

Pembahasan............................................................................................................

BAB 3 Penutup.......................................................................................................

Kesimpulan.............................................................................................................

Saran.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan yang

dimaksud dengan sumberdaya hutan adalah benda hayati, non hayati dan jasa yang

terdapat di dalam hutan yang telah diketahui nilai pasar, kegunaan dan teknologi

pemanfaatannya (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Manfaat hutan saat ini

cenderung berkurang seiring dengan kerusakan yang terus terjadi. Eksploitasi hutan

berlebihan, illegal logging, pembukaan lahan, kebakaran hutan, dan perebutan lahan

antara pengusaha dengan masyarakat mendorong laju kerusakan hutan (Awang,

2009).

Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan (Undang-undang no 41 tahun 1999). Upaya-

upaya yang dilakukan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup

dan sebaran yang proporsional, mengoptimalkan aneka fungsi hutan (fungsi

konservasi, lindung, dan produksi), meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai,

meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan, serta


menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan

di Indonesia pada prinsipnya dilakukan oleh pihak pemerintah, swasta, dan

masyarakat (Awang, 2009).

Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah sangat dipengaruhi oleh

perubahan sistem pemerintahan yang ada. Sebelum ada otonomi daerah maka segala

ijin pengelolaan hutan berada pada kewenangan pusat, namun sekarang daerah

mempunyai kewenangan dalam pemberian ijin pengelolaan hutan. Pelimpahan

kewenangan ini bertujuan agar pengelolaan hutan dapat lebih bermanfaat bagi

masyarakat dan mengurangi kerusakan hutan serta pemerintah

daerah dapat mendapatkan manfaat dari sumber daya alamnya, namun

pelaksanaannya tidaklah semudah yang dibayangkan. Pemerintah daerah memberikan

ijin ini hanya untuk menyenangkan masyarakat agar dapat dipilih kembali dalam

pemilihan kepala daerah (Tacconi, dkk. 2003). Lahirnya PP No. 38/2007 yang

mengatur kewenangan sektor kehutanan belum juga dapat

menjamin terwujudnya good forestry governance.

Pengelolaan hutan oleh pemerintah juga melibatkan masyarakat, salah satu

bentuk kegiatannya adalah pemberdayaan masyarakat di dalam dan atau sekitar hutan

dalam rangka social forestry. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui

hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan atau kemitraan (Peraturan Pemerintah nomor

6 tahun 2007). Masyarakat dapat memiliki ijin untuk memanfaatkan sumber daya

hutan setelah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai

areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri (Peraturan Menteri

Kehutanan nomor P.37/Menhut-II/2007).


Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan, sejak dulu masyarakat telah menunjukkan kearifan lokal

(indigenous knowledge) yang menjadi bagian terpenting dalam melanjutkan upaya

melestarikan alam, lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Sardjono (2004)

mengatakan bakwa kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang

dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan

kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam

secara lestari. Banyak klaim tentang pengetahuan ilmiah oleh para ahli pengetahuan

yang “non indigenous knowledge perspectives”, ternyata membawa banyak masalah,

dan sementara itu pengetahuan “masyarakat lokal” yang tradisional justru membawa

solusi bagi kehidupan masyarakat (Awang, 2009).

Masyarakat sangat memahami nilai sebenarnya hutan mereka, sehingga

mereka terus menjaganya (Hinrichs dkk, 2008). Adanya pengelolaan hutan rakyat,

secara langsung maupun tidak langsung telah diakui memberi dampak positif bagi

ekonomi, sosial dan lingkungan di sekitarnya. Dalam arti yang lebih luas,

pengelolaan hutan oleh rakyat, memberikan jaminan kepada masyarakat atas akses

dan kontrol terhadap sumber daya hutan untuk penghidupan mereka di dalam dan di

sekitar kawasan hutan, dimana mereka bergantung terhadapnya secara ekonomi,

sosial, kultural dan spiritual.

Pengelolaan hutan rakyat juga tidak terlepas kebutuhan masyarakat itu sendiri,

karena dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat istilah “tebang butuh”. Sifat

pengelolaan hutan rakyat adalah subsisten (Hindra, 2006). Pemanenan dilakukan

sesuai dengan kebutuhan keluarga, seperti untuk biaya sekolah, hajatan atau
memenuhi kebutuhan untuk konstruksi rumah sendiri. Masyarakat akan melakukan

pemanenan yang cenderung berlebih ketika mereka didesak pada

kebutuhan ekonomi yang tinggi. Sukardayati (2006) mengatakan bahwa sulit

mengendalikan kegiatan pemanenan di hutan rakyat, hal ini terkait dengan belum

adanya landasan hukum dalam kegiatan pemanenan tersebut. Jika dibiarkan begitu

saja maka akan berpengaruh kepada keberlanjutan hutan rakyat itu sendiri. Oleh

karena itu untuk menjamin pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan maka pemerintah

melakukan Sertifikasi Hutan Rakyat.

Sertifikasi Hutan

Sertifikasi Hutan bertujuan untuk memberikan dukungan bagi kepentingan-

kepentingan komunitas dalam pengelolaan hutan dan membantu untuk

mempromosikan kayu rakyat di tingkat pasar nasional dan internasional. Hindra

(2006), melalui sertifikasi diharapkan ada insentif yaitu berupa harga kayu yang

cukup tinggi kepada pengelola hutan yang mampu menunjukkan bahwa mereka telah

mengelola hutan rakyat secara lestari.

Hinrichs (2008) dalam studinya menyatakan suatu hal yang nyata bahwa

sertifikasi membantu kejelasan status lahan, menguatkan posisi masyarakat dalam

pengelolaan hutan dan mengakui kapasitas/kemampuan pengelolaan mereka.

Pengenalan serifikasi oleh para pendukung yang menjanjikan insentif pasar untuk

sertifikasi menjadi alasan utama bagi masyarakat untuk terlibat dalam semua aspek

sertifikasi. Pengakuan pasar, khususnya ketersediaan harga premium yang signifikan,

diinterpretasikan sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan kesadaran publik dan

mendapatkan pengakuan yang lama dinantikan dalam pengelolaan hutan rakyat.


Secara ideal, proyek-proyek sertifikasi hutan rakyat, memperkenalkan aspek-aspek

pasar dalam tahap pengembangan agar dapat memastikan bahwa masyarakat lokal

paham sepenuhnya persyaratan pasar dan pembeli sadar mengenai perkembangannya.

Pemberian sertifikasi secara teori mendukung pelestarian hutan, akan tetapi

perlu dikaji apakah pemberian sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Lestari (PHBML) akan memberikan dampak terhadap pengelolaan hutan rakyat yang

dikelola oleh Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat Wono Lestari Makmur.

Maryudi (2005), sertifikasi hutan rakyat masih mempunyai beberapa kendala internal

seperti manajemen dan kelembagaan pengelolaan yang belum mantap. Oleh karena

itu perlu diketahui dampak dari Sertifikasi Hutan Rakyat terhadap pengelolaan hutan

rakyat dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sertifikasi di hutan rakyat?
2. Apa saja tujuan dari sertifikasi di hutan rakyat?
3. Apa saja peran sertifikasi di hutan rakyat?
4. Apa saja dampak dari sertifikasi di hutan rakyat?

C. TUJUAN
1. Mengetahui peranan sertifikasi hutan

2. Mengetahui pengaruh sertifikasi hutan terhadap hutan rakyat


BAB 2

ISI

PEMBAHASAN

A. Peranan Sertifikasi Hutan

Sertifikasi hutan adalah mekanisme non-pemerintah, sukarela, dan berbasis

pasar yang dirancang untuk mempromosikan pemanfaatan sumber daya hutan secara

berkelanjutan. Sertifikasi tersebut menetapkan pengelolaan yang bertanggung jawab

melalui verifikasi independen sesuai dengan prinsip, kriteria, dan indikator yang telah

disepakati yang menggambarkan dampak ekologi, sosial, ekonomi, dan kebijakan

dari pengelolaan hutan yang dapat diterima. Dampak sertifikasi yang diharapkan

meliputi:

 Terpeliharanya nilai hutan (misalnya keanekaragaman hayati, penyediaan jasa

ekosistem)

 Peningkatan kesejahteraan sosial pemilik hutan, para pekerja, dan masyarakat

setempat (misalnya kesehatan dan pendidikan, akses terhadap kredit, peningkatan

aset)

 Meningkatkan status keuangan dan hukum UMH (Unit Manajemen Hutan)

bersertifikat, baik pemegang konsesi, para pemilik tanah swasta maupun

masyarakat.

Sertifikasi hutan mampu menekan angka kerusakan lingkungan akibat adanya

kegiatan eksploitasi hutan, dimana adanya oknum korporat yang mampu melakukan
pelanggaran aturan maupun penebangan illegal baik dari perusahaan maupun

perorangan. Upaya yang ditetapkan oleh pemerintah agar setiap perusahaan kayu

untuk melakukan sistem eksploitasi tebang pilih Indonesia dan kewajiban untuk

memelihara tegakan dengan sistem silvikultur intensif. Hal ini merupakan beberapa

aspek yang terdapat di dalam sertifikasi hutan untuk menjamin keberlangsungan

hutan dan menciptakan yang lestari.

Dalam mengurangi pemanasan global, COP 13 telah sepakat atas peran penting

pengelolaan hutan lestari dalam menurunkan emisi karbon melalui skema REDD+.

Melalui skema REDD+, pengelola hutan yang telah mendapatkan sertifikasi

pengelolaan hutan lestari dimungkinkan untuk mendapatkan tambahan insentif jasa

lingkungan berupa kredit karbon. Indonesia mendukung kesepakatan global tersebut

dengan menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada 2020 dimana 14%-

nya diharapkan datang dari sektor kehutanan yang dikelola secara lestari.

“Pengurangan emisi dari pengelolaan hutan yang dikelola secara lestari dapat

menurunkan emisi sekitar 7% atau separo dari total target pengurangan emisi sektor

kehutanan (14 %) melalui proses perlindungan areal hutan dari konversi hutan alam

dan penebangan berdampak rendah ,” ujar Agung Prasetyo, Direktur Eksekutif LEI.

“Sertifikasi merupakan instrumen pasar yang telah digunakan oleh pemerintah,

pemerhati lingkungan, dan bahkan masyarakat petani hutan rakyat untuk

membuktikan hutan telah dikelola secara lestari. Manfaat jasa lingkungan melalui

perdagangan karbon dari hutan hanya dapat terasa dari hutan lestari yang terjaga
fungsinya, karena itu sertifikasi dapat digunakan sebagai instrumen dalam penurunan

emisi karbon dari hutan,” imbuhnya.

Hasil dari adanya kebijakan sertifikasi hutan ini mampu menurunkan angka

deforestasi di Indonesia setiap tahunnya, angka deforestasi terakhir yang

dipublikasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tahun

2017-2018 sebesar 0,44 juta hektare. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan

sekunder yaitu sebesar 0,3 juta hektare, dimana 51,8% atau 0,16 juta hektare berada

dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 0,15 juta hektare di luar kawasan hutan. Hal

ini menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya pelestarian lingkungan di Indonesia.

B. Pengaruh Sertifikasi Hutan terhadap Hutan Rakyat

1. Sertifikasi Hutan Rakyat dalam Aspek Ekologis dan Sosiologis

Kebijakan pemerintah yang menjadikan hutan di Indonesia berbasis pada

masyarakat memberikan kabar baik bagi masyarakat baik secara langsung maupun

tidak langsung. Perbaikan dalam aspek ekologis dan sosiologis telah terjadi sehingga

penghidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan mendapatkan titik terang.

Masyarakat dapat menghijaukan lahan-lahan yang dianggap berpotensi untuk tumbuh

sehingga dapat memperbaiki tata kelola air, iklim mikro, habitat satwa, penanaman

etnobotani, agroforestry, maupun potensi menciptakan mata pencaharian bagi

masyarakat. Penjagaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lebih intensif dan

memiliki peluang besar dalam pencegahan illegal loging, hal ini didasari oleh usaha

masyarakat dalam pemeliharaan hutan yang hasilnya dikelola masyarakat untuk

sumber perekonomiannya dan mendapatkan legalitas berupa sertifikasi hutan atau

kayu yang meningkatkan nilai jualnya


Aspek sosiologis yang terjadi adalah saling eratnya hubungan antar masyarakat,

dimana tidak ada lagi persaingan dalam memperoleh hasil hutan untuk dijual,

dimanfaatkan dalam kebutuhan maupun dalam hal pemenuhan lainnya. Masyarakat

bahkan akan saling bekerjasama dalam tata kelola sumber daya hutan dan

pemeliharaan hutan. Proses sertifikasi hutan juga akan membantu masyarakat untuk

mendapatkan informasi tentang kehutanan, karena para surveyor yang turun ke

lapangan diharapkan untuk bisa memberikan informasi maupun pembibingan pada

masyarakat tersebut dalam upaya perbaikan hutan yang optimal.

2. Sertifikasi Kayu dari Hutan Rakyat di Wonogiri, Jawa Tengah dan Gunung Kidul,

DIY dalam Aspek Ekonomi

Pengelolaan hutan rakyat kemudian mendapatkan sertifikasi ekolabel dari PT

Mutu Agung Lestari. Bentuk sertifikasi dengan skema LEI ini dikembangkan di

Indonesia dengan sistem dan standar sertifikasi untuk hutan alam, hutan tanaman, dan

pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (Community Based Forest Management),

kata ketua Forum Komunitas Petani Sertifikasi Heribertus Siman. Desa Selopuro

merupakan hutan rakyat yang mendapatkan sertifikasi ekolabel pada tahun 2004,

bersama tetangga desanya Sumber Rejo dengan luas lahan 549,68 hektare. ''Setelah

sertifikasi, yang bisa dirasakan itu adalah sumber air. Dulu sewaktu hutan belum jadi

harus memikul air sejauh 1,5 km sekarang tidak. Setiap lahan kosong harus ditanami

pohon,'' kata Siman.

Setelah mendapatkan sertifikasi ekolabel, pohon jati dari lahan masyarakat bisa

mendapatkan nilai jual lebih tinggi dan bisa dipasarkan di Eropa dan Amerika Serikat

dalam bentuk produk perabot rumah tanga. Meski demikian, tidak ada eksploitasi
yang berlebihan. Petani diwajibkan untuk menanam pohon sebagai ganti dari pohon

yang ditebang, seperti dijelaskan Surtantini, ''untuk pelestarian hutan rakyat itu, kalau

tebang satu harus menanam sepuluh pohon''. Selain menjaga hutan, sekitar 8 warga

juga dilatih untuk mengerjakan produk mebel dari kayu bersertifikasi.

Sertifikasi "Chain of Custody" (COC) atau lacak balak oleh Lembaga Ekolabel

Indonesia akan menjamin asal usul produk kayu dan non-kayu yang hanya berasal

dari hutan rakyat lestari dan diperoleh secara legal.Direktur PT. Furni Jawa Lestari

Jajag Suryoputro menjelaskan alasan penggunaan produk kayu dari hutan rakyat yang

bersertifikasi. ''Kalau kita bicara tentang produk sertifikasi dari kayu bersertifikasi itu

bukan didorong dari permintaan, harus didorong dari pemasok kayu, karena tujuan

kita adalah menyelamatkan atau melestarikan sumber daya alam yang ada. Tujuan

juga memberi contoh kepada masyarakat untuk tidak asal tebang, semua ada

konsekuensinya''.

Produk mebel PT. Furni Jawa Lestari sebagian besar diekspor ke negara-negara

Eropa.Identitas LEI-CoC terlihat pada kemasan dan produknya. Jajag menjelaskan

Syarat untuk pencantuman logo tersebut adalah perusahaan dan sumber produk kayu

bersertifikasi.''Banyak orang mengambil cara mudah hanya mensertifikasi

perusahaan, tanpa berfikir asalnya dari mana. Kalau perusahaan kami beda, kami

berfikir meski ekolabel tidak dikenal pasar, tetapi itu adalah kejujuran dari Indonesia.

Kami bisa diaudit secara terbuka, siapapun yang beli silahkan hubungi kami

berdasarkan nomor kode barang yang tertempel pada barang, dia akan tahu dari mana

asal kayu ini''. Selain dari Desa Selopuro, PT Furni Jawa Lestari juga mendapatkan
pasokan kayu sertifikasi dari Wonosari Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta, yaitu di Desa Dengok, Kec. Playen.


BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peranan dari sertifikasi hutan adalah mampu menekan angka kerusakan

lingkungan akibat adanya kegiatan eksploitasi hutan, dimana adanya oknum

korporat yang mampu melakukan pelanggaran aturan maupun penebangan ilegal

baik dari perusahaan maupun perorangan.

2. Sertifikasi hutan rakyat berpengaruh salah satunya terhadap aspek sosiologis

yang terjadi adalah saling eratnya hubungan antar masyarakat, dimana tidak ada

lagi persaingan dalam memperoleh hasil hutan untuk dijual, dimanfaatkan dalam

kebutuhan maupun dalam hal pemenuhan lainnya.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya sertifikasi hutan dapat menyediakan mekanisme bahwa

seperangkat karakteristik yang disyaratkan seperti spesifikasi teknis, keamanan, atau

kualitas produk telah tercapai.


DAFTAR PUSTAKA

Hinrichs, Alexander. Dkk. 2008.Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta :GTZ

Office.

Hermawan, Tubur. 2009.Sistem Agroforestry di Kawasan Hutan HAK Bogor :Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Roby, Abdian Pratama, dkk. 2015.Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Kelompok Pemilik

Hutan Rakyat di Desa Bandar Dalam Kecamatan Sidomulyo Kabupaten

Lampung Selatan.Jurnal Sylva Lestari 3(2), 99-112

Anda mungkin juga menyukai