Kehutanan Pendahuluan UU ini mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisis sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan tidak hanya dilihat dari aspek komiditas sja tetapi juga sebagai eskosistem yang terkait satu dengan lainnya. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan pada manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, social budaya dan ekonomi. Pelaksanaan dari asas ini kemudian dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam yang dimaksudkan agar fungsi hutan tetap lestari. UU ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakakn hukumnya. Negara memegang peranan penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan ini memberikan wewenang kepada pemerintah (Pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hokum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas. Pereduksian Negara menjadi pemerintah dalam kontek hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai Negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swantantra dan masyarakat hokum adat tertentu. Dengan peran besar dari pemerintah itu maka paradigm pengelolaan sumber daya alam yang berpusat pada Negara (state based forest management) tetap dipegang olah UU ini. Kalaulah masyarakat mendapatkan peran hanya sebagai pelengkap. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh Negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya paradigma pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat (community based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk pendukung proses itu. Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh Negara dalam UU ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat hokum adat. Hal ini dimulai dengan tidak adanya pengakuan tetang hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan hutan adat dinyatakan sebagai hutan Negara yang berada dalam wilayah dan dikelolan oleh masyarakat adat. Karena itu hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak Negara. Hutan adat ditetapkan oleh Negara sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hokum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan dan hapusnya hak masyarakat hokum adat ditetapkan dengan Perda yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hokum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait. Ketentuan yang bersifat birokratik dan sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan tehnologi ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara factual dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri dan hak untuk menentukan kehidupannya sendiri (self determination). UU ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari- hari. Meskipun memberi batasan terhadap hak masyarakat hukum adat, UU Kehutanan memberi cukup untuk ruang untuk public dalam rangka berpartisipasi di bidang kehutanan. Peran masyarakat dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukkan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberi informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat. Undang Undang Kehutanan belum mampu menterjemahkan gagasan hutan untuk mensejahterakan masyarakat, walaupun istilah rakyat atau masyarakat ada dalam UU Kehutanan namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Peran besar berada di tangan Negara sebagai akibat dari pelaksanaan hak menguasai Negara, system pengelolaan hutan tidak mendukung system pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan ditentukan berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi) bukan didasarkan satuan wilayah sebagai mana yang dikenal oleh masyarakat. Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomian seperti yang dipersepsikan oleh pemerintah. Pengaturan seperti ini secara nyata mengabaikan keberadaan institusi local atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal. Undang-Undang Kehutanan juga belum mampu untuk menyelesaikan konflik-konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal degan pemegang konsesi kehutanan. Konflik ini biasanya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah. Pasal 81 UU Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan sah. Padahal pada menimbang butir c dinyatakan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang sering berujung konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan norma hukum nasional dengan norma hukum adat dan nilai budaya yang dianut masyarakat. Dalam rangka desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, namun kewenangan yang diberikan hanyalah kewenangan yang bersifat operasional. Sedangkan kebijakan umum dan mendasara tetap berada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak banyak terlibat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan hutan. Dari aspek kelembagaan UU Kehutanan memberikan kewenangan yang begitu luas kepada Departemen Kehutanan, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah, tidak ada ketentuan yang mengharuskan adanya koordinasi dengan Departemen/Lembaga lain seperti Badan Pertanahan Nasional. Hal ini sangat berpotensi terjadi perebutan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan wilayah yang sama. Pengaturan tentang sanksi dalam UU Kehutanan cukup terinci mulai dari sanksi administrative, perdata maupun pidana. Dimungkinkan juga penyelesaian sengketa kehutanan diselesaikan melalui jalur non peradilan (alternative dispute resolution). Beberapa kelemahan UU Kehutanan: Berorientasi pada eksploitasi (use oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan semata-mata dipakai sebagai alat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi; Orientasi pengelolaan hutan lebih berpihak pada pemodal besar sehingga mengabaikan akses dan kepentingan perekonomian masyarakat lokal; Ideology pengelolaan hutan berpusat pada Negara sehingga bersifat sentralistik; Implementasi pengelolaan hutan bersifat sektoral sehingga sumber daya alam tidak dipandang sebagai sebuah ekosistem; UU Kehutanan tidak mengatur secara proposional mengenai perlindunganhak- hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Persoalan mendasar pengelolaan sumber daya alam antara lain tumpang tindih kewenangan antar sector, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan dan ketidak adilan dicoba untuk diselesaikan melalui TAP MPR RI NO. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA. TAP ini merupakan landasan bagi pembaharuan agrarian dan pengelolaan SDA. Disini penting untuk adanya pengkajian ulang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam.