Anda di halaman 1dari 12

HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

HUTAN

UU No 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan
Pendahuluan
UU ini mendefinisikan hutan sebagai kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisis sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungan yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber
daya hutan tidak hanya dilihat dari aspek
komiditas sja tetapi juga sebagai eskosistem yang
terkait satu dengan lainnya.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan pada manfaat,
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan
dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan
agar setiap penyelenggaraan kehutanan memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, social
budaya dan ekonomi. Pelaksanaan dari asas ini kemudian
dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai
dengan fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi,
dan hutan konservasi. Diatur pula tentang perlindungan
hutan dan konservasi alam yang dimaksudkan agar fungsi
hutan tetap lestari. UU ini merinci berbagai perbuatan yang
dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan,
menetapkan larangan-larangan serta mekanisme
penegakakn hukumnya.
Negara memegang peranan penting dalam penguasaan dan
pengelolaan sumber daya hutan. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa
semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penguasaan ini memberikan wewenang
kepada pemerintah (Pusat) untuk mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan;
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hokum antara
orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan,
pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
pelatihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan
demikian pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi,
pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh
sekaligus pengawas.
Pereduksian Negara menjadi pemerintah dalam kontek hak
menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak
menguasai Negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah
swantantra dan masyarakat hokum adat tertentu.
Dengan peran besar dari pemerintah itu maka paradigm
pengelolaan sumber daya alam yang berpusat pada Negara (state
based forest management) tetap dipegang olah UU ini. Kalaulah
masyarakat mendapatkan peran hanya sebagai pelengkap. Hal ini
merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan
sumber daya alam oleh Negara yang menempatkan pemerintah
dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya paradigma
pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat (community
based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku
utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya
berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk pendukung
proses itu.
Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh
Negara dalam UU ini tampak jelas dalam pengaturan tentang
masyarakat hokum adat. Hal ini dimulai dengan tidak adanya
pengakuan tetang hutan adat sebagai hutan berdasarkan
statusnya. Sedangkan hutan adat dinyatakan sebagai hutan
Negara yang berada dalam wilayah dan dikelolan oleh
masyarakat adat. Karena itu hak-hak masyarakat adat atas
sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak
Negara. Hutan adat ditetapkan oleh Negara sepanjang dalam
kenyataannya masyarakat hokum adat masih ada dan diakui
keberadaannya. Pengukuhan dan hapusnya hak masyarakat
hokum adat ditetapkan dengan Perda yang disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hokum adat,
aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.
Ketentuan yang bersifat birokratik dan sangat mengandalkan ilmu
pengetahuan dan tehnologi ini berpotensi mengingkari keberadaan
masyarakat adat secara factual dan pada gilirannya kemudian mengingkari
hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri dan hak untuk
menentukan kehidupannya sendiri (self determination). UU ini juga
mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya.
Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber
daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-
hari.
Meskipun memberi batasan terhadap hak masyarakat hukum adat, UU
Kehutanan memberi cukup untuk ruang untuk public dalam rangka
berpartisipasi di bidang kehutanan. Peran masyarakat dinyatakan bahwa
masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan,
mengetahui rencana peruntukkan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan
informasi kehutanan, memberi informasi dalam pembangunan kehutanan serta
melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Masyarakat juga
berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang
merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.
Undang Undang Kehutanan belum mampu menterjemahkan gagasan
hutan untuk mensejahterakan masyarakat, walaupun istilah rakyat
atau masyarakat ada dalam UU Kehutanan namun esensi pengelolaan
hutan oleh masyarakat belum terwujud. Peran besar berada di tangan
Negara sebagai akibat dari pelaksanaan hak menguasai Negara,
system pengelolaan hutan tidak mendukung system pengelolaan oleh
masyarakat. Satuan pengelolaan ditentukan berdasarkan fungsi
(produksi, lindung dan konservasi) bukan didasarkan satuan wilayah
sebagai mana yang dikenal oleh masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili
oleh semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya
pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomian seperti
yang dipersepsikan oleh pemerintah. Pengaturan seperti ini secara
nyata mengabaikan keberadaan institusi local atau kelembagaan adat
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.
Undang-Undang Kehutanan juga belum mampu untuk menyelesaikan
konflik-konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal
degan pemegang konsesi kehutanan. Konflik ini biasanya bersumber
dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang kemudian
ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses
penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan
masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan
hutan merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai
daerah.
Pasal 81 UU Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan yang
telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini
dinyatakan sah. Padahal pada menimbang butir c dinyatakan bahwa
pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran
serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.
Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan
yang sering berujung konflik adalah salah satu bentuk aspirasi
masyarakat dan pertentangan norma hukum nasional dengan norma
hukum adat dan nilai budaya yang dianut masyarakat.
Dalam rangka desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan sebagian
kewenangan kepada pemerintah daerah, namun kewenangan yang
diberikan hanyalah kewenangan yang bersifat operasional. Sedangkan
kebijakan umum dan mendasara tetap berada di pemerintah pusat,
sehingga pemerintah daerah tidak banyak terlibat dalam pembuatan
kebijakan pengelolaan hutan.
Dari aspek kelembagaan UU Kehutanan memberikan kewenangan yang
begitu luas kepada Departemen Kehutanan, khususnya yang berkaitan
dengan penguasaan tanah, tidak ada ketentuan yang mengharuskan
adanya koordinasi dengan Departemen/Lembaga lain seperti Badan
Pertanahan Nasional. Hal ini sangat berpotensi terjadi perebutan
kewenangan dan tumpang tindih pengaturan wilayah yang sama.
Pengaturan tentang sanksi dalam UU Kehutanan cukup terinci mulai dari
sanksi administrative, perdata maupun pidana. Dimungkinkan juga
penyelesaian sengketa kehutanan diselesaikan melalui jalur non peradilan
(alternative dispute resolution).
Beberapa kelemahan UU Kehutanan:
Berorientasi pada eksploitasi (use oriented) sehingga mengabaikan
kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan
semata-mata dipakai sebagai alat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi;
Orientasi pengelolaan hutan lebih berpihak pada pemodal besar sehingga
mengabaikan akses dan kepentingan perekonomian masyarakat lokal;
Ideology pengelolaan hutan berpusat pada Negara sehingga bersifat
sentralistik;
Implementasi pengelolaan hutan bersifat sektoral sehingga sumber daya
alam tidak dipandang sebagai sebuah ekosistem;
UU Kehutanan tidak mengatur secara proposional mengenai perlindunganhak-
hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam.
Persoalan mendasar pengelolaan sumber daya
alam antara lain tumpang tindih kewenangan antar
sector, ketidaksinkronan kebijakan, konflik,
kerusakan sumber daya alam, kemiskinan dan
ketidak adilan dicoba untuk diselesaikan melalui
TAP MPR RI NO. IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA. TAP ini
merupakan landasan bagi pembaharuan agrarian
dan pengelolaan SDA. Disini penting untuk adanya
pengkajian ulang peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria/pengelolaan
sumber daya alam.

Anda mungkin juga menyukai