I
PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan pada saat ini menghadapi tantangan yang berat dan
serius terkait dengan semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaannya,
pihak yang terkait serta terkena dampak dari pengelolaan hutan. Memahami peran
penting dari hutan maka pengelolaan hutan menjadi hal yang sangat menarik
Pengelolaan kawasan hutan saat ini dihadapkan pada persoalan yang tidak
permasalahan tersebut antara lain tenurial kawasan hutan, konflik penggunaan dan
hutan saat ini sampai pada paradigma kehutanan sosial (social forestry), konsep
ini lahir pada saat Kongres Kehutanan Dunia VIII Tahun 1978. Kehutanan sosial
pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat maka akan gagal pula upaya
batas kawasan hutan serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan. Pada
saat ini pemantapan kawasan hutan menjadi salah satu prioritas nasional di bidang
pada minimnya akses yang tersedia yang dibarengi dengan instrumen kebijakan
operasional yang sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar kawasan hutan. Data
yang ada menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam
tahun 2003 penduduk Indonesia berkisar 220 juta, 48,8 juta orang diantaranya
tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan kurang lebih 10,2 juta secara
bermata pencaharian langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang
bekerja disektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang (Kemenhut, 2010).
4
mengarah dan bersifat pro poor, pro job, pro growth dan pro environment.
masa lalu pengelolaan hutan masih berfokus pada hasil hutan berupa kayu serta
manfaat lainnya yang bersifat langsung, sedangkan manfaat tidak langsung sering
dari hutan.
Sumberdaya hutan memberikan nilai guna (use value) total ekonomi hutan
sebesar US$ 1.406, 86/ha/th, dimana dari angka itu sebesar US$ 100,20/ha/th
(7%) berupa nilai guna hutan secara langsung, sedangkan nilai guna tidak
18.715, 06 Ha (BPKH Wilayah XI, 2009) atau setara 5,9 % dari luas daratan.
(79,59%), kemudian pada urutan kedua adalah Kabupaten Sleman seluas 1.729,46
dari sub sektor kehutanan Kab/Kota di DIY menunjukan trend yang menurun dan
Gunungkidul menurun dari 4,25% pada tahun 2010 menjadi 4,09% di tahun 2011,
tahun 2011. Kondisi ini sejalan dengan besaran kontribusi sub-sektor kehutanan
pada angka PDRB di sub-sektor kehutanan, terjadi trend penurunan dari angka
0,98 % pada tahun 2005 menjadi 0,90% di tahun 2010, dengan pertumbuhan
cenderung tertekan rerata -1,64% per tahun. Pada saat ini terdapat 20 kecamatan
dan hutan. Data dari KPH Yogyakarta menyebutkan sampai saat ini terdapat
10.129 KK yang termasuk masyarakat tergantung pada hutan dengan > 95% nya
betapa pengelolaan hutan sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi
1.773 Ha. Hutan Produksi AB didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri
penunjukan kelompok hutan AB seluas ± 1.773 ( seribu tujuh ratus tujuh puluh
Yogyakarta sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap. Dalam
hutan AB.
(fisik dan sosial) dan sejarah tersendiri di dalam pengelolaan kawasan hutan
kawasan hutan jati yang lokasinya tersebar (fragmentasi) dengan luasan yang
bervariasi dan didominasi luasan yang sempit hanya seluas ± 0,1 Ha sehingga
tidak layak untuk dibentuk menjadi petak. Pada saat penataan hutan tahun 1920-
dihapuskan dari kawasan hutan definitif. Kawasan hutan jati yang diusulkan untuk
Pada tahun 1932 pada saat penataan hutan di Bosch-afdeling (Bagian Hutan)
tersebut disetujui oleh Boschwezen untuk dihapuskan dari kawasan hutan definitif.
Kawasan hutan jati yang dihapuskan dari kawasan hutan definitif disebut sebagai
seluas 1.773 Ha tersebut tersebar kedalam 1.138 persil (poligon) yang luasnya
bervariasi dan sampai saat ini belum dilakukan penataan kawasan hutan. Kawasan
hutan AB tersebut secara legal formal baru termanfaatkan seluas ± 327 ha atau
disini telah jelas bahwa muara dari pengelolaan hutan adalah terwujudnya
kelestarian hutan dan kemakmuran. Pada saat ini pengelolaan hutan membutuhkan
8
inovasi yang semakin tinggi dari para penyelenggara pengelolaan hutan, hal ini
seiring dengan semakin banyaknya pihak yang bertumpu pada hutan sebagai basis
kehutanan juga jadi tumpuan sektor lain seperti perkebunan, pertanian, pekerjaan
umum, dan juga pertambangan. Kawasan hutan saat ini juga menjadi tumpuan
yang mantap serta lestari. Prasyarat utama terwujudnya kawasan hutan yang
mantap adalah : (1) Kepastian kawasan hutan, (2) Kelembagaan pada tingkat
tapak yang operasional, (3) Data dan informasi sumberdaya hutan yang akurat,(4)
Perencanaan kehutanan yang integratif dan koordinatif, dan (5) Pengelolaan yang
diperlukan adanya data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk
kelestarian hasil hutan, saat ini telah mengalami perubahan pada kelestarian fungsi
ekosistem hutan itu sendiri. Hutan pada awal perkembangan merupakan fungsi (f)
dari : flora, dan fauna, dengan seiring berkembangnya jaman saat ini fungsi hutan
berubah menjadi (f) : flora , fauna, dan manusia (Awang, 2004). Simon (2010)
turunnya nilai sumberdaya hutan dan begitu besarnya faktor sosial dalam
bahkan sejak dekade 1960-an pada hutan jati di Pulau Jawa, dan disaat yang
antara persediaan dan kebutuhan minimum lahan pertanian yang dibutuhkan oleh
luas kepemilikan lahan pertanian per keluarga petani menurun, (3) Jumlah
angkatan kerja meningkat, (4) Jumlah kebutuhan kayu bakar meningkat, dan (5)
serta dibarengi dengan kepemilikan lahan petani di Pulau Jawa yang relatif sempit
berkisar antara 0,2 Ha/KK petani (Simon, 2001) sampai dengan 0,3 Ha/KK petani
(Awang, 2001).
hutan di Pulau Jawa. Permasalahan ini menyangkut 2 (dua) hal mendasar yaitu
hutan AB yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan
10
ketidakpastian dalam hal penunjukannya, hal ini tergambar pada putusan amar
ketiga yang menyatakan “ Kelompok hutan AB yang secara teknis tidak dapat
dipetakan dalam peta lampiran keputusan ini dan secara fisik di lapangan diakui
1.138 persil (poligon) yang luasnya bervariasi, potensi hutan berupa tegakan juga
kawasan hutan AB
hutan AB tersebar dan terfragmentasi dalam luasan yang sempit dan terletak di
12
Potensi sumberdaya hutan AB sampai saat ini belum banyak digali secara
menjadi penting untuk digali serta disajikan. Potensi yang akan digali meliputi
potensi tegakan serta kondisi fisik kawasan hutan AB, informasi potensi
wilayah hak milik warga masyarakat. Pada saat ini kawasan hutan AB
lama dan secara turun temurun. Pengelolaan hutan AB oleh instansi kehutanan
sangat minim atau boleh dikatakan tidak ada dan telah berlangsung lama, hal ini
hutan AB secara spesifik dan detail belum ada. Penelitian yang telah ada
informasi serta memberikan masukan strategi pengelolaan kawasan hutan AB, dan
sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini belum ada penelitian sebelumnya
yang mengangkat tema dan permasalahan yang sama pada lokasi kawasan hutan
AB.