Anda di halaman 1dari 96

I.

Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan

I. DEFINISI KEBIJAKAN DAN


PERUNDANGAN KEHUTANAN

Deskripsi Perkuliahan

Materi pada Bab I. Kebijakan dan Perundangan Kehutanan materi


perkuliahan adalah tentang perbedaan definisi tentang hutan, kehutanan, kebijakan
dan perundangan kehutanan. Dalam bab ini juga dijabarkan tentang arti kebijakan
kehutanan berdasarkan Undang Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan
Undang Undang Tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 serta beberapa turunan
kebijakan dan perundangan kehutanan yang berpengaruh dalam pengelolaan hutan
dan kehutanan di Indonesia.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mahasiswa mengikuti perkuliahan ini akan dapat menjelaskan dan


menyimpulkan tentang definisi dan pengertian kebijakan dan perundangan
kehutanan berlandaskan konsep dasar Undang Undang Pokok Kehutanan No. 5
Tahun 1967 dan Undang Undang Tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 serta
turunan kebijakannya.

1.1. Pendahuluan

Luas hutan di Indonesia secara faktual terus menyempit dan selalu


mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pihak-pihak internasional. Saat ini
seakan ada dua sisi yang membedakan penyebab adanya penyempitan dan
perusakan hutan. Di satu sisi, pemerintah dan pihak swasta menuding masyarakat
setempatlah penyebabnya, dan di sisi lain ada kelompok-kelompok yang membela
rakyat tersebut dan menuduh pihak swasta sebagai perusak hutan yang utama. Dan
ada pula pihak-pihak yang berpendapat bahwa kerusakan hutan dikarenakan tidak
konsistennya kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan hutan di Indonesia.
Kerusakan hutan dan siapa yang merusak merupakan suatu hal pelik untuk
diidentifikasikan secara tepat. Apakah hutan rusak karena pembukaan hutan untuk
dikonversi atas nama program pembangunan seperti perkebunan atau
pertambangan? Atau kadang ada yang menuding bahwa kerusakan hutan
disebabkan oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal yang mana sebenarnya

1
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
mereka telah mempunyai hubungan simbiotik mutualistik dengan hutan sejak dulu.
Pada umumnya, masyarakat adat dan masyarakat lokal menjaga hutan sesuai
dengan aturan adat yang dimiliki dan selama ini hutan memberikan berbagai hasil
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dalam mengatasi dan mengurangi laju kerusakan hutan, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan atau kebijakan pengelolaan hutan, kawasan hutan
dan hasil hutannya. Namun mengapa sampai saat ini kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut belum efektif dalam
menanggulangi dan memecahkan masalah-masalah kehutanan di Indonesia ?
Apakah kebijakan kehutanan yang ada belum lengkap? Atau kebijakan-kebijakan
yang ada belum belum tepat?
Sebelum diuraikan lebih lanjut dan rinci tentang turunan dan implementasi
kebijakan dan perundangan kehutanan di Indonesia akan diuraikan terlebih dahulu
definisi hutan, kehutanan, kebijakan, dan perundangan kehutanan.

1.2. Arti Hutan dan Kehutanan

1.2.1. Hutan

Dalam Undang Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 (UUPK


1967), hutan didefinisikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Sedangkan
dalam Undang Undang tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 (UUTK 1999)
disebutkan bahwa hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Terlihat dari dua definisi di atas bahwa UUTK 1999 lebih menekankan
tentang kesatuan ekosistem yang ada dan tidak tercantum kata-kata “ditetapkan
oleh pemerintah sebagai hutan”. Dengan demikian, suatu kawasan dapat dikatakan
hutan bila didominasi pepohonan dan mempunyai interaksi dengan lingkungannya
tanpa perlu adanya penetapan oleh pemerintah. Namun apakah hal ini cukup kuat
untuk melakukan pengelolaan kawasanan tersebut sedemikian rupa bila hutan yang
dikelola merupakan kawasan hutan negara? Dan bagaimana halnya bila areal yang
dikelola tesebut merupakan lahan milik rakyat namun merupakan areal yang
memiliki kriteria hutan? Untuk dapat menjawab hal ini tergantung bagaimana si
pengelola hutan tersebut akan melakukan pengelolaan dalam mencapai tujuan
pengelolaan kawasan tersebut. Arti pengelolaan disini adalah dari mulai
dilakukannya perencanaan pengelolaan sampai dengan pemasaran hasil hutannya,
karena ada beberapa jenis pohon yang memerlukan izin khusus dalam
pemasarannya walaupun berasal atau ditanam di areal hutan rakyat.
Bila si pengelola ingin memperoleh hasil secara cepat maka dia akan
mengelola areal lahan yang digarap atau yang dimilikinya sebagaimana mengelola
kebun, ataupun pekarangan. Jika si pengelola ingin mendapatkan hasil secara
2
I.Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
kontinyu, pada areal lahannya dapat dikelola dengan menggunakan teknologi
agroforestri. Sistem pengelolaan ini lebih dianjurkan apalagi bila si pengelola
sudah paham cara mengelola lahan dengan memperhatikan segi konservasi tanah
dan airnya, misalnya dengan sistem agroforestri.

1.2.2. Kehutanan

Berkaitan dengan definisi hutan dari UUPK 1967 dan UUTK 1999 lalu apa
yang dimaksud dengan kehutanan? UUPK 1967 menyebutkan bahwa kehutanan
adalah kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan hutan dan pengurusannya.
Dalam UUTK 1999 kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut-paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
Dari dua definisi terlihat bahwa pengertian pokok dari kehutanan adalah
pengurusan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan secara terpadu. Dengan
demikian, kebijakan kehutanan adalah kebijakan yang berkaitan dengan
pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan secara terpadu. Jadi, kebijakan
kehutanan yang bagaimana yang dimaksud dan tepat untuk melaksanakan kegiatan
pembangunan kehutanan di Indonesia?

1.3. Arti Kebijakan dan Perundangan Kehutanan

1.3.1. Kebijakan Kehutanan

Ada sepuluh arti kebijakan yang dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn
(dalam Wahab, 1990), yaitu:
1. Policy as a label for a field of activity (Kebijakan sebagai suatu merk bagi
suatu bidang kegiatan tertentu);
2. Policy as an expression of general purpose or desired state of affairs
(Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan
tertentu yang dikehendaki);
3. Policy as specific proposals (Kebijakan sebagai usulan-usulan khusus);
4. Policy as decision of government (Kebijakan sebagai suatu keputusan
pemerintah);
5. Policy as formal authorization (Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal);
6. Policy as a programme (Kebijakan sebagai suatu program);
7. Policy as output (Kebijakan sebagai keluaran);
8. Policy as outcome (Kebijakan sebagai hasil akhir);
9. Policy as a theory or model (Kebijakan sebagai teori atau model);
10. Policy as process (Kebijakan sebagai proses)

Berdasarkan arti kebijakan sebagai suatu merk bagi suatu bidang kegiatan
tertentu terlihat secara jelas bahwa hal-hal yang digambarkan pada dasarnya
bersangkut-paut dengan bidang-bidang kegiatan pemerintah dan melibatkan
3
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
pemerintah didalamnya. Dalam lingkup yang sama dikenal pula adanya konsep
“ruang kebijakan” (policy space) yang menggambarkan tentang suatu ruang
kebijakan tertentu kemudian ada yang tetap mempunyai keleluasaan untuk
bergerak dan ada pula yang cenderung akan semakin padat. Artinya jika suatu
ruang kebijakan semakin gencar dengan campur tangan pemerintah dan interaksi
antara instansi-instansi yang terlibat akan berakibat pada mekanisme yang semakin
kompleks. Sebagai contoh adalah kegiatan campur tangan antar instansi pemerintah
yang terlibat dalam bidang kebudayaan dan pendidikan lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kegiatan pemerintah dalam bidang kehutanan.
Arti kebijakan yang ke dua adalah istilah kebijakan yang sering digunakan
sebagai pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah tentang tujuan umum suatu
bidang kegiatan yang dilakukan. Kadang kala dipakai juga sebagai pernyataan
mengenai keadaan umum yang diharapkan pemerintah dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya tujuan mencapai masyarakat adil dan
makmur dalam jangka waktu sekian RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) atau RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Dengan kebijakan sebagai suatu proses maka pernyataan-pernyataan umum
di atas dapat memperoleh pengesahan formal. Kebijakan juga diartikan sebagai
bentuk pengesahan formal. Tentang hal ini dapat ditunjukkan bila pemerintah
“mempunyai kebijakan” maka yang ditunjuk biasanya adalah suatu perangkat
peraturan atau undang-undang tertentu yang telah disahkan oleh DPR.
Sedangkan kebijakan yang diartikan sebagai suatu program, maksudnya
adalah suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relatif khusus dan jelas batas-
batasnya. Kegiatan tersebut meliputi serangkai kegiatan legislasi, pengorganisasian,
dan penyediaan sumber-sumber yang diperlukan.
Jelas tampak pada definisi kebijakan yang terakhir, kebijakan adalah
serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan yang kemudian disahkan secara
formal dan selanjutnya diuraikan sebagai program. Setelah itu timbul kebijakan
yang merupakan output/keluaran yang juga sebagai hasil akhir. Sebagai hasil akhir
maka dapat dilihat apakah kebijakan yang ada telah terwujud dalam praktek yang
sebenarnya dan dapat mencapai tujuannya.
Namun kadangkala kebijakan juga dimaksudkan untuk menunjukkan usulan-
usulan khusus yang harus dilakukan oleh pemerintah dan dilontarkan oleh
kelompok-kelompok tertentu, partai-partai politik, atau anggota kabinet. Usulan-
usulan tersebut timbul karena pada dasarnya kebijakan adalah juga suatu teori atau
model. Ada kemungkinan kelompok, partai atau anggota kabinet tersebut melihat
bahwa kebijakan yang ada tidak sesuai dengan teori atau model tertentu yang
mereka anggap tepat atau benar.
Berdasarkan sepuluh arti yang telah diuraikan maka kebijakan pada dasarnya
adalah serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait berkenaan dengan
pemilihan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu
(Jenkins 1978 dalam Wahab, 1990).
Dengan demikian, kebijakan kehutanan dapat didefinisikan sebagai
serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait tentang hutan, kawasan hutan,
4
I.Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu termasuk jasa ekosistem atau jasa
lingkungan dalam mencapai tujuan hutan lestari dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Bagaimana halnya dengan kebijakan kehutanan yang ada di Indonesia saat
ini? sudah cukup efektifkah kebijakan-kebijakan tersebut dalam memecahkan dan
menanggulagi pemasalahan kehutanan yang ada? Bila belum efektif, apakah
penyebabnya? Bila sudah dianggap efektif, sampai seberapa jauhkah keefektifan
kebijakan tersebut?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas maka diperlukan adanya analisis
kebijakan kehutanan. Analisis kebijakan sangat penting dilakukan karena berbagai
hal (Dye, 1978 dalam Dunn, 1999), yaitu:
1. Tidak adanya kesepakatan umum tentang nilai-nilai/kegunaan sosial, kecuali
pada individu atau kelompok-kelompok tertentu. Dengan demikian akan selalu
terjadi konflik karena tidak adanya persamaan persepsi tentang nilai-nilai
sosial
2. Para pembuat kebijakan cenderung membuat suatu kebijakan untuk
memecahkan suatu masalah. Dan umumnya berdasarkan pemaksimalan nilai-
nilai yang sesuai dengan mereka. Sehingga kebijakan yang timbul tidak
diambil dari berbagai alternatif kebijakan berdasarkan dari hasil perbandingan-
perbandingan.
3. Adanya komitmen dari sumber kebijakan dan program yang ada menghalangi
pembuat kebijakan dari usaha mempertimbangkan alternatif-alternatif baru dan
kreatif. Hal ini disebabkan keputusan-keputusan sebelumnya sudah membatasi
atau menutup pilihan-pilihan sekarang.
4. Kebijakan yang tepat membutuhkan informasi yang banyak, relevan dan valid.
Pengumpulan informasi tersebut memerlukan waktu dan usaha dengan biaya
yang tidak sedikit sehingga jarang dilakukan oleh pembuat kebijakan.
5. Analis dan pembuat kebijakan sering tidak dapat meramalkan seluruh akibat
positif dan negatif dari setiap alternatif kebijakan.

Dalam menganalisis kebijakan harap diperhatikan bahwa argumen terhadap


suatu kebijakan harus mempunyai 6 (enam) elemen (Dunn, 1999), yaitu: informasi
yang relevan dengan kebijakan, tuntutan kebijakan, pembenaran, bantahan,
dukungan, dan syarat. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
pembuatan kebijakan yang juga perlu dicermati (Islamy, 1997), yaitu:
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama (conservative)
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Disamping 5 (lima) hal di atas, menurut Gerald E. Caiden dalam Islamy
(1997) masih ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Faktor-faktor tersebut adalah ialah sulitnya mendapatkan informasi yang cukup,
5
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
bukti-bukti yang sulit disimpulkan, berbagai macam kepentingan yang berbeda,
dampak kebijakan sulit dikenali, umpan balik keputusan bersifat sporadis, proses
perumusan, dan kebijakan tidak dimengerti secara benar.
Untuk dapat menganalisis suatu kebijakan harus dapat melihat mana yang
disebut dengan masalah dalam kebijakan tersebut. Dengan demikian perlu
dicermati beberapa karakteristik masalah yang ada dalam suatu kebijakan, yaitu:
1. Saling bergantung (interdependence). Saling ketergantungan antara masalah
kebijakan satu dengan yang lainnya dan seringkali saling mempengaruhi.
Dengan demikian diperlukan pendekatan holistik dalam menyelesaikannya,
yaitu dengan pendekatan yang memandang masalah sebagai bagian dari
keseluruhan dan tidak dapat dipisahkan atau diukur sendirian.
2. Subjektif (subjective). Masalah kebijakan (policy problem) adalah produk
aktifitas berfikir terhadap lingkungan; problem merupakan elemen dari situasi
yang bermasalah (problematis) atau dilematis yang kemudian diabstraksi dari
suatu situasi tertentu oleh seorang analis. Berarti, yang dialami sebenarnya oleh
analis maupun pembuat kebijakan adalah situasi yang problematis yang bersifat
subjektif. Dalam menganalisis kebijakan seharusnya tidak boleh
mencampuradukkan antara masalah yang sebenarnya dengan masalah
problematis yang dihadapi. Hal ini dikarenakan problem kebijakan adalah buah
pikiran yang timbul melalui pemindahan pengalaman ke dalam pikiran
manusia.
3. Buatan (artificial). Disebut sebagai buatan karena masalah kebijakan hanya
mungkin timbul bila manusia mempertimbangkan perlunya dikembangkan
atau disusun suatu kebijaksanan untuk merubah situasi yang problematis.
4. Dinamis (dynamics). Pada dasarnya masalah dan pemecahannya terus menerus
berada dalam suasana berubah karena masalah tidak pernah dapat terpecahkan
secara tuntas.

Analisis kebijakan sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu penelitian


yang menggunakan 5 (lima) elemen. Adapu kelima elemen tersebut adalah masalah
kebijakan, tindakan kebijakan, hasil kebijakan, hasil guna kebijakan, dan alternatif
kebijakan. Adapun proses analisis kebijakan dengan menggunakan 5 (lima)
elemen di atas (Wallace, 1971 dalam Dunn, 1999) dapat dilihat pada skema berikut
(gambar 1.):

6
I.Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan

MASALAH
KEBIJAKAN
PERUMUSAN
MASALAH PERAMALAN

PENYIMPULAN
PRAKTIS

HASIL HASIL GUNA ALTERNATIF


KEBIJAKAN KEBIJAKAN KEBIJAKAN

EVALUASI
PELIPUTAN REKOMENDASI

TINDAKAN
KEBIJAKAN

Gambar 1. Proses analisis kebijakan

Dalam proses analisis kebijakan tersebut terlihat sangat nyata adanya


keterkaitan antara karakteristik-karakteristik masalah dalam merumuskan suatu
pemasalahan kebijakan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Menurut Nigro
and Nigro dalam Islamy (1997), kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi
dalam proses pembuatan atau penyusunan kebijakan adalah:
1. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness)
2. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption
that future will repeat past)
3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplication)
4. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on
one’s own experience)
5. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan
(preconceived nations)
6. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to
experiment)
7. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)

Dengan demikian, dalam melakukan analisis suatu kebijakan hendaklah


selalu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. berhubungan dengan sistem-sistem pembinaan masyarakat, mengenai metode-
metode, pengetahuan-pengetahuan dan sistem-sistem yang telah diperbaharui
untuk pembuatan atau penyusunan kebijakan yang lebih baik

7
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
2. memusatkan perhatian pada sistem-sistem pembuatan kebijakan pada jenjang
makro. Namun juga perlu memperhatikan proses pembuatan kebijakan
individual, kelompok dan organisasi
3. bersifat interdisipliner dengan memfusikan ilmu-ilmu perilaku dan manajemen
serta menyerap elemen-elemen yang relevan dari disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan lainnya.
4. mencoba untuk menyumbangkan pada pilihan nilai dengan meneliti implikasi-
implkasi nilai tersebut dan isi nilai-nilai yang ada pada kebijakan alternatif.
5. berusaha menemukan alternatif-alternatif kebijakan yang baru
6. menekankan pada pengembangan-pengembangan pembuatan kebijakan masa
lalu maupun antisipasinya pada masa depan sebagai pedoman pembuatan
kebijakan kehutanan
7. berhati-hati dalam membuktikan kebenaran dan keberhasilan data dan
mempertahankan standar ilmiah yang berlaku.

1.3.2. Perundangan Kehutanan

1.3.2.1. Jenis dan Hierarki Perundangan

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak


boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU
No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Peraturan Presiden (Perpres)
5. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe
Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di di Provinsi
Papua dan Papua Barat.

Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai


ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan
Daerah.

a. Undang Undang Dasar 1945

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.


Naskah resmi UUD 1945 adalah:
Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
8
I.Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan
Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR
Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah
Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah
Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini. Khusus untuk UUD 1945, maka isu
kehutanan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dapat dijumpai
bahasannya pada pasal 33.

b. Undang Undang

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh


Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi
manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian
daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang.

Adapun Undang Undang yang khusu membahas pengelolaan hutan dapat


dibaca lebih rinci dalam Undang Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun
1999. Dan, untuk hutan atau kawasan konservasi juga dibahas dalam Undang
Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan
Ekosistemnya. Selain itu dapat juga merujuk pada Undang Undang Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang Undang Tata Ruang, da sebagainya.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan


Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

d. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang


ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Turunan kebijakan di level Peraturan Pemerintah yang membahas tentang
kehutanan sangat banyak, dan salah satu yang PP yang harus dijadikan rujukan
9
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
berbagai kebijakan kehutanan adalah PP yang terkait dengan KPH (Kesatuan
Pengelolaan Hutan).

e. Peraturan Presiden

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh


Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

f. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah (Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang


dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama
kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Khusus Perda yang terkait dengan pengelolaan hutan atau sumberdaya alam pada
umumnya sampai saat ini belum banyak dikembangkan oleh pemerintah daerah di
Indonesia. Salah satu Perda yang cukup fenomental terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam adalah Perda yang disahkan oleh DPRD Kabupaten Lampung
Barat yaitu Perda tentang Pengelolaan Sumaberdaya Alam.

1.3.2.2. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus


diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita
Daerah.

1.3.2.3. Bahasa dalam Peraturan Peraturan Perundang-undangan

Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah


tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan
kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun demikian bahasa
Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan
ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase
tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan
padanannya dalam Bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih
10
I.Definisi Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

1.3.2.4. Ketetapan MPR

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi


terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang
setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK,
MA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat
penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila
terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila
Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Rangkuman

1. Arti hutan berdasarkan UUPK No. 5 Tahun 1967 adalah suatu lapangan
bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
2. Berdasarkan Undang Undang tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999
(UUTK) disebutkan bahwa hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
3. Definisi Kebijakan Kehutanan yaitu serangkaian keputusan-keputusan yang
saling terkait tentang hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan kayu dan hasil
hutan bukan kayu termasuk jasa ekosistem atau jasa lingkungan dalam
mencapai tujuan hutan lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Setelah diketahui beserta faktor-faktor apa saja yang harus dicermati dalam
menganalisis suatu kebijakan dan perundangan kehutanan. Maka setiap
kebijakan dan perundangan kehutanan yang berlaku di Indonesia dapat
dianalisis secara seksama dengan menguraikan dimana kekurangan dan
kelebihannya lengkap beserta alasan-alasannya.

Latihan

1. Apa definisi hutan dan kehutanan?


2. Manakah yang lebih tepat antara definisi hutan dan kehutanan yang ada dalam
UUPK
11
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
1967 dan UUTK 1999? Mengapa?
3. Menurut saudara apa sesungguhnya yang disebut dengan kebijakan kehutanan di
Indonesia?

Pustaka

Anonim. 2007. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.

Ditjend Kehutanan Departemen Pertanian. 1980. Undang Undang Pokok


Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang Republik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan
Kehutanan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.

Dunn, W.N. 1999. Analisa Kebijakan Publik. PT Hanindita Graha Widya.


Yogyakarta.

Islamy, M.I. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara.


Jakarta.

Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Rineka Cipta.


Jakarta.

Wulandari, C. 2008. Kebijakan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

__________. 2010. Kebijakan Keanekaragaman Hayati Tanah di Indonesia.


Proseding Seminar Keanekaragaman Hayati Tanah. Bandar Lampung.

12
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

II. PRINSIP PENTING


UNDANG UNDANG POKOK KEHUTANAN
NO. 5/1967 DAN UNDANG UNDANG TENTANG
KEHUTANAN NO. 41/1999

Deskripsi Perkuliahan

Pembangunan kehutanan di Indonesia dalam pelaksanaannya harus


berdasarkan pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Agar fungsi hutan
lestari maka dalam pengelolaannya dilaksanakan beberapa kegiatan, seperti
perencanaan, pengukuhan kawasan, penataan batas, pengelolaan, dan pengawasan
secara intensif dan kontinyu. Pada Bab II ini diuraikan tentang prinsip-prinsip
pengelolaan hutan yang dijabarkan dalam UUPK 1967 dan UUTK 1999. Selain itu
dijabarkan pula kegiatan umum yang dilakukan dalam pengelolaan hutan yang
disertai dengan penjelasan antara apa yang ada dalam undang-undang atau
peraturan dengan yang terjadi sesungguhnya di lapangan.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa mampu merangkum prinsip-prinsip penting pengelolaan hutan


dalam UUPK dan UUTK.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan secara lengkap tentan KPH
(kesatuan Pengelolaan Hutan) di Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan
Konservasi.
3. Mahasiswa dapat mengevaluasi pelaksanaan pengusahaan hutan di Indonesia

2.1. Pendahuluan

Hutan lestari masyarakat sejahtera adalah semboyan yang sangat merdu


untuk didengarkan namun sangat berat untuk dapat mewujudkannya. Hal yang
semakin memberatkan yaitu adanya kesalahan besar atau “salah urus” yang telah
dilakukan dalam mengelola hutan di Indonesia. “Salah urus” hutan memberikan
kenikmatan sesaat bagi pertumbuhan perekonomian namun memberikan dampak
negatif yang berkepanjangan bahkan menghancurkan harapan generasi mendatang.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Mengapa Undang Undang Pokok Kehutanan
13
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
(UUPK) No. 5 Tahun 1967 dan Undang Undang tentang Kehutanan No. 41 tahun
1999 tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya? Apa saja usaha pemerintah,
swasta, dan semua pihak untuk dapat menanggulanginya?

2.2. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lindung, Hutan Produksi dan Hutan
Konservasi

Wilayah-wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) atau


Kesatua Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model yang telah ditetapkan Menteri
Kehutanan sebanyak 13 lokasi. Delapan KPHP Model yaitu : KPHP Model
Dampelas Tinombo, Sulawesi Tengah (lintas Kab), KPHP Model Reg 47 Way
Terusan, Kab. Lampung Tengah, Lampung, KPHP Model Sintang, Kab. Sintang,
Kalimantan Barat, KPHP Model Yapen, Kab. Yapen, Papua, KPHP Model
Lakitan, Kab. Musi Rawas, Sumatera Selatan, KPHP Model Lalan, Kab. Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan, KPHP Poigar, Sulawesi Utara (lintas Kab), KPHP
Buton, Kab Buton, Sulawesi Tenggara. Selain itu ada pula 5 (lima) KPHL Model
yang telah ditetapkan yaitu : KPHL Model Rinjani Barat, NTB (Lintas Kab),
KPHL Model Bali Barat, Bali (Lintas Kab), KPHL Model Banjar, Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan, KPHL Model Sungai Beram Hitam, Kab. Tanjung
Jabung Barat, Jambi, KPHL Model Tarakan, Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Adapun untuk wilayah-wilayah KPH Konservasi (KPHK) yang telah
ditetapkan oleh Menhut sebanyak 10 Taman Nasional, yaitu: TN Meru Betiri, TN
Alas Purwo, TN Bali Barat, TN Bunaken, TN Gunung Halimun Salak, TN Berbak,
TN Ujung Kulon, TN Kutai, TN Tanjung Puting, TN Gunung Rinjani.
Selain KPH Model yang telah difasilitasi oleh Ditjen Planologi Kehutanan,
saat ini sedang diproses beberapa KPH Model yang merupakan inisiatif dari Pemda
setempat yang difasilitasi oleh lembaga Donor dan inisiatif Ditjen BPK, antara lain:
KPH Lalan, Sumetera Selatan, KPH Batang Hari, Jambi, KPH Kapuas, Kalteng,
KPH Kutai Timur, KPH Halmahera Selatan, Maluku Utara, KPH Lunyuk, Provinsi
NTB.
Dari 28 provinsi di luar Pulau Jawa yang akan jadi lokasi pengembangan
KPH, perkembangan pembentukan KPHL dan KPHP sampai saat ini adalah
sebagai berikut :
a. Belum ada Rancang bangun pada 4 provinsi (Riau, Kepri, Kalteng, NTT).
b. Sudah disusun Rancang bangun namun belum mendapat arahan pencadangan
pada 2 (dua) provinsi (NAD, Kaltim).
c. Sudah menyusun rancang bangun dan sudah mendapatkan arahan pencadangan,
namun belum diusulkan penetapan wilayah KPHnya pada13 provinsi, yaitu:
Bengkulu, lampung, Sumsel, Kalsel, Kalbar, Bali, Sulteng, Sulsel, Gorontalo,
Maluku, Maluku Utara, Sumut, Jambi.
d. Sudah dilakukan penetapan pada 9 provinsi (DIY, Sultra, NTB, Papua, Papua
Barat, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Utara).

14
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

Pembangunan KPH merupakan salah satu Prioritas Nasional dalam Konsep


Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 - 2014. Pembentukan
KPH diatur dalam Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan
sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien
dan lestari. Seluruh kawasan hutan Indonesia nantinya akan terbagi dalam wilayah-
wilayah KPH serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan
Nasional, Propinsi, Kab/Kota. KPH terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH
Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP).
Terdapat 2 hal penting dalam pembangunan KPH yaitu pembentukan wilayah
KPH dan penetapan kelembagaan KPH. Pembentukan KPH di setiap wilayah
merupakan bentuk desentralisasi di bidang kehutanan, menuju hutan lestari dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan secara nyata.
Berdasarkan Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH, pasal 13 ayat (4) dinyatakan bahwa dalam rangka persiapan untuk
mewujudkan kelembagaan KPH, Menteri dapat menetapkan wilayah KPH Model
yang merupakan salah satu bagian dari wilayah KPH Provinsi.
Prosedur pembentukan wilayah KPH khususnya KPHP dan KPHL adalah
sebagai berikut: a) Penyusunan Rancang Bangun KPH oleh daerah
(Gubernur/Bupati yang disusun oleh Dinas Kehutanan atau instansi terkait dan
BPKH Dephut) kemudian diusulkan ke Pusat, b) Penyusunan arahan Pencadangan
Wilayah KPH oleh Pusat (dalam hal ini disiapkan oleh Ditjen Planologi Dephut)
lalu disampaikan ke Daerah, c) Usulan Penetapan Wilayah KPH oleh
Gubernur/Bupati (yang disusun Dinas Kehutanan dan BPKH) diusulkan ke Pusat,
dan d) Penetapan Wilayah KPH oleh Menteri Kehutanan. Adapun penetapan
Wilayah KPH Konservasi (KPHK) merupakan kewenangan pusat yang diatur
dalam P.6/Menhut-II/2009.
Institusi KPH tidak dalam posisi memberikan pelayanan dalam rangka
proses-proses perizinan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Dengan demikian keberadaan KPH tidak akan menambah panjang birokrasi
pelayanan tersebut.
KPH sesuai dengan tupoksinya berada pada posisi domain teknis pengelolaan
hutan di tingkat tapak, sebagai gambaran adalah sebagai berikut:
1. Melakukan kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisasi
hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak;
dan pemetaan.
2. menyusun rencana pengelolaan jangka panjang dan pendek
3. melaksanakan penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan
hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
4. melaksanakan pemberdayaan masyarakat
5. bersama lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
15
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
6. memfasilitasi penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
7. mengusulkan satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
8. melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan
hutan di wilayahnya;
 menerima tembusan ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan
hutan
 menerima tembusan perpanjangan izin-izin pemanfaaatan hutan
 mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin
pemanfaatan hutan
 menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin
setiap 5 tahun

Pembangunan KPH harus dilakukan secara efisien dan efektif dengan kriteria
sebagai berikut:
 Untuk hutan produksi dapat menggunakan ukuran rasio-rasio finansial seperti
solvabilitas, rentabilitas, likuiditas, IRR, BCR dsb.
 Untuk hutan konservasi dan hutan lindung akan lebih relevan bila menggunakan
ukuran cost effectiveness (a.l. meminimumkan belanja pemerintah bagi
pengelolaan hutan)

2.2.1. Dasar-dasar Peraturan dan Perundangan pembangunan KPH

1. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


2. PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan
3. PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
4. Peraturan perundangan terkait lainnya

2.2.2. Wilayah pengelolaan KPH

Pembentukan wilayah pengelolaan dilaksanakan untuk tingkat : provinsi,


kabupaten/kota, dan unit pengelolaan pada seluruh kawasan hutan (konservasi,
lindung dan produksi) (lihat pasal 17 UU 41).

2.2.2.1. Wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah


seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari (Penjelasan
pasal 17 ayat 1 UU 41). Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari
himpunan wilayah-wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota dan unit-unit
pengelolaan hutan lintas kabupaten/kota dalam provinsi (PP 44 pasal 27 ayat 1).

2.2.2.2. Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota


16
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota


adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara
lestari (Penjelasan pasal 17 ayat 1 UU 41). Wilayah pengelolaan hutan tingkat
kabupaten/kota terbentuk dari himpunan unit-unit pengelolaan hutan di wilayah
kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah kabupaten kota.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah
pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-
kegiatan:
1. perencanaan kehutanan;
2. pengelolaan hutan;
3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan;
4. pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44).

2.2.2.3. Unit pengelolaan

Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi


pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain
KPHL, KPHK, KPHP, KPHKM, KPHA, dan KPDAS. (Penjelasan pasal 17 ayat 1
UU 41)
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil pada
hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44). Terdiri dari KPHP,
KPHL dan KPHK

Catatan :
KPH menurut UU 41 terdapat 6 jenis KPH sedangkan pada PP 44 terdapat 3 jenis
KPH sesuai fungsi pokok hutan, dengan argument bahwa HKM, HUTAN ADAT
dan DAS dapat berada dan atau meliputi 3 jenis fungsi pokok hutan (konservasi,
lindung, dan produksi). Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH,
adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari. (PP 6/2007 Pasal 1 huruf 1)

Unit terkecil pada pengertian UU 41 dan PP 44 di dalam PP 6 diwakili dengan


pengertian efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan (lihat pasal 7 PP 6/2007),
yang lebih lanjut kriteria luas KPH diatur melalui peraturan Menteri.

2.2.2.4. Proses Pembangunan KPH

Pembangunan KPH, adalah serangakaian proses untuk menghasilkan wujud


riil Unit Pengelolaan Hutan (KPH) di lapangan yang meliputi :
17
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
1. pembentukan unit (wilayah) KPH (PP 44/2004 Pasal 29 dan 30),
2. pembentukan institusi pengelola KPH pada setiap unit (PP 44/2004 Pasal 32), dan
3. penyusunan rencana pengelolaan (PP 44/2004 Pasal 37)

a. Tujuan pembangunan KPH

Pembentukan wilayah pengelolaan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan


yang efisien dan lestari (PP 44 pasal 26 ayat 1), yang dilaksanakan untuk tingkat
provinsi, kabupaten/kota; dan unit pengelolaan (PP 44 pasal 26 ayat 2).

b. Target pembangunan KPH tersebut

PP 4/2007 Pasal 141 mentargetkan pembentukan seluruh wilayah KPH dapat


diselesaikan selama 2 tahun sejak PP diberlakukan (8 Januari 2007) sehingga harus
sudah dapat selesai pada akhir 2008
Sedangkan pembentukan institusi (organisasi) KPH dilakukan secara bertahap
sesuai dengan prioritas berdasarkan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan
(penjelasan Pasal 141)

c. Tahapan di dalam proses pembentukan unit (wilayah) KPH ?

Tahapan pembentukan KPHK terdiri dari :


 Rancang bangun (oleh UPT Pusat)
 Arahan pencadangan (oleh Menhut)
 Penetapan (oleh Menhut) (Ps 29 PP 44 tahun 2004)

Tahapan pembentukan KPHP dan KPHL terdiri dari :


 Rancang bangun (oleh gubernur dengan pertimbangan bupati/walikota)
 Arahan Pencadangan (oleh Menhut)
 Pembentukan (oleh gubernur)
 Penetapan (oleh Menhut) (Ps 30 PP 44 tahun 2004)

d. Pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH ?

Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota,


sesuai kewenangan, menetapkan organisasi KPH (lihat pasal 8 PP 6/2007)

Pemerintah menetapkan organisasi :


 KPHK; atau
 KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.

Pemerintah provinsi, menetapkan organisasi:


18
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

 KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota.

Pemerintah kabupaten/kota menetapkan organisasi:


 KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota

Dalam menetapkan organisasi, khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi.


e. Fungsi pokok kawasan dalam satu unit KPH

Dalam hal terdapat hutan konservasi dan atau hutan lindung, dan atau hutan
produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan
berdasarkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan unit
pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya. (Pasal 31 PP
44/2004). Ketentuan tersebut membuka kemungkinan dalam satu unit KPH dapat
terdiri dari lebih dari satu fungsi pokok kawasan.

Dalam Pasal 6 PP No 6/2007, unit (wilayah) KPH


 Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah
administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
 Dalam hal satu KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan
(nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.

f. Luas optimal satu unit KPH

Luas wilayah KPH ditetapkan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas


pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem
(lihat Pasal 7 PP 6/2007), sesuai dengan karakteristik DAS/SubDAS dan tujuan
pengelolaan KPH.
Luas KPH optimal secara tepat (berapa hektar) sulit ditetapkan, sehingga
dalam menentukan luas/batas wilayah KPH digunakan kriteria-kriteria yang dapat
memberikan jaminan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang akan dibentuk,
antara lain :
1. tujuan pengelolaan;
2. kondisi daerah aliran sungai;
3. batas administrasi pemerintahan;
4. hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan;
5. aksesibilitas;
6. rentang kendali;
7. dsb.

g. Syarat kompetensi dalam menetapkan organisasi KPH

Organisasi KPH harus memiliki kompetensi untuk menyelengarakan kegiatan


19
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
pengelolaan hutan yang meliputi :
1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
2. pemanfaatan hutan
3. penggunaan kawasan hutan
4. rehabilitasi hutan dan reklamasi
5. perlindungan hutan dan konservasi alam

Agar memiliki kopetensi sebagaimana tersebut di atas, maka organisasi KPH


harus diisi oleh personel yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan,
yaitu yang memenuhi syarat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi profesi (LSP) di bidang kehutanan atau pengakuan oleh Menteri
(penjelasan Pasal 8 ayat (1) PP 6/2007)
Ketentuan mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mengacu pada UU No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

h. Tanggungjawab institusi pengelola

Pasal 32 PP 44/2004 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan


dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pengelolaan hutan yang meliputi: perencanaan pengelolaan; pengorganisasian;
pelaksanaan pengelolaan; dan pengendalian dan pengawasan.
Selanjutnya di dalam Pasal 9 ayat (1) PP No 6/2007 ditetapkan tugas dan
fungsi organisasi KPH :
menyelenggarakan pengelolaan hutan :
 tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
 pemanfaatan hutan
 penggunaan kawasan hutan
 rehabilitasi hutan dan reklamasi
 perlindungan hutan dan konservasi alam

menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang


kehutanan untuk diimplementasikan; melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan serta pengendalian; melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; membuka peluang
investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

i. Usaha pemanfaatan hasil hutan

Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,


pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. (UU 41 pasal 33 ayat1).

2.2.3. Posisi KPH terhadap Dinas yang menangani urusan kehutanan di


20
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

provinsi dan kabupaten/kota

KPH adalah pelaksana pengelolaan hutan, terfokus pada kegiatan teknis


lapangan. Dinas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah penyelenggara
pengurusan hutan, terfokus pada pelayanan administrasi pengurusan (antara lain
proses perizinan). Kalau KPH diposisikan sebagai struktur pengelolaan hutan,
maka dinas di provinsi dan kabupaten/kota berada pada posisi infrastruktur yang

harus memberikan pelayanan-pelayanan (dukungan) terhadap struktur KPH untuk


dapat melaksanakan tugas pengelolaan hutan.
Untuk dapat memberikan gambaran umum hubungan antara Dinas dan KPH
dapat dicontohkan :
 Hubungan antara Dinas Kesehatan Kabupaten dengan Rumah Sakit, Puskesmas,
dan Poliklinik Desa
 Hubungan antara Dinas Pendidikan dengan Sekolahan (SD, SMP dan SMA)

2.2.4. Posisi KPHP yang telah dibentuk tersebut terhadap KPH

Selama ini yang dikerjakan adalah pembentukan KPHP dengan berpedoman


pada SK Menhut No 230/Kpts-II/2003 tentang Pembentukan KPHP dan SK Ka
Baplan No SK.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan
KPHP. SK Menhut dan Ka Baplan tersebut menghasilkan disain wilayah KPHP
yang hanya terdiri dari satu fungsi pokok hutan produksi.
Dengan terbitnya PP 44/2004 dan PP 6/2007, untuk tujuan efisiensi dan
efektifitas institusi pengelola (organisasi) yang akan dibentuk pada setiap unit
KPH, maka dimungkinkan dalam satu unit KPH terdiri lebih dari satu fungsi
pokok.
Disain wilayah KPHP yang telah disusun perlu dilihat kembali (dilengkapi)
dengan memperhatikan posisi hutan lindung dan konservasi, yang selanjutnya perlu
dipertimbangkan kembali batas wilayah KPH (dengan memperhatikan semua
fungsi HP, HL dan HK) dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas
organisasi KPH yang akan di bentuk pada setiap unit KPH.
Data dan informasi serta deliniasi HP di dalam KPHP tetap digunakan
sebagai dasar penyesuaian (transformasi) menjadi KPH.

2.2.5. Strategi pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH

Pembangunan kelembagaan (termasuk di dalamnya organisasi) KPH


memerlukan proses yang panjang dan keterkaitan luas dengan berbagai sektor serta
kepentingan.
Proses panjang tersebut akan ditempuh melalui ”pendekatan bertahap”
dengan kejelasan target-target antara yang harus dicapai sebelum sampai pada
21
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
target puncak yang akan dicapai.
Pendekatan bertahap tersebut dimulai dengan pembangunan KPH Model
yang secara bertahap dikembangkan menuju bentuk aktual (situasi dan kondisi riil)
KPH di tingkat tapak, yaitu adanya kejelasan wilayah, kelembagaan/organisasi
pengelola dan rencana kegiatan serta implementasinya di lapangan.

2.2.6. KPH Model

Pengertian “Model” di dalam KPH Model adalah Perwakilan atau abstraksi


dari sebuah obyek atau situasi aktual. “Model” dikatakan lengkap apabila dapat
mewakili beberapa aspek dari realitas yang sedang dikaji.
Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH
ideal yang akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal
organisasi KPH sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap
didorong untuk berkembang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi.
Dengan demikian KPH Model sebagai strategi pendekatan bertahap
pembentukan kelembagaan KPH, ditempatkan sebagai bentuk (wujud) awal dari
KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH
di tingkat tapak, yang diindikasikan antara lain oleh suatu kemampuan menyerap
tenaga kerja (al. personel organisasi KPH), investasi, memproduksi barang dan jasa
kehutanan yang melembaga dalam system pengelolaan hutan secara lestari dan
efisien.

2.2.6.1. Pembangunan KPH Model

Telah tersedia pedoman pembangunan KPH Model yang ditetapkan melalui


Peraturan Ka Baplan No. SK.80/VII-PW/2006, yang ruang lingkupnya meliputi :
 penyusunan rancangan pembangunan KPH Model
 pengorganisasian pembangunan KPH Model
 pelaksanaan pembangunan KPH Model
 pengawasan pembangunan KPH Model

KPH Model yang merupakan strategi bertahap dalam membangun


kelembagaan KPH ditempat di setiap provinsi sebanyak 1 atau 2 unit. KPH Model
yang dibiayai melalui APBN tersebut merupakan stimulan upaya pembangunan
kelembagaan KPH di kabupaten/kota atau provinsi. Dengan demikian pemerintah
daerah melalui APBD atau sumber dana lain dapat juga memulai pembangunan
kelembagaan (organisasi) KPH di wilayah masing-masing di luar KPH Model
Pembangunan kelembagaan KPH tidak dimaksudkan untuk mematikan
inisiatif-inisiatif bentuk pengelolaan hutan yang telah ada. Justru inisiatif-inisiatif
yang telah ada agar diposisikan sebagai entry point di dalam membangun
kelembagaan KPH, melalui strategi sinergisitas dan transformasi kelembagaan
menuju organisasi KPH sesuai dengan peraturan perundangan.
Pengelolaan hutan di P. Jawa oleh Perum Perhutani adalah merupakan salah
22
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

satu bentuk pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN (lihat


Pasal 4 PP 6/2007)
Apabila pengelolaan hutan akan diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah dan
atau pemerintah daerah, maka bentuk KPH akan mengikuti ketentuan di dalam Bab
II PP 6/2007 (yang tidak sepenuhnya sama seperti KPH di Perum Perhutani). PP
6/2007 memungkinkan mengakomodasikan masyarakat ke dalam bentuk-bentuk
kegiatan pengelolaan yang sesuai, antara lain melalui HTR atau pemberdayaan
(hutan desa, HKM, atau kemitraan) maupun jenis-jenis pemanfaatan hutan lainnya.

2.2.7. Posisi penggunaan kawasan hutan terhadap wilayah kelola KPH

Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai


kawasan hutan, yang berarti bila penggunaan kawasan hutan tersebut berakhir
maka kawasan hutan dikembalikan ke negara yang pengelolaannya kembali
menjadi kewenangan pemerintah.
Karena areal penggunaan tersebut tetap berstatus hutan negara, maka
keberadaannya harus jelas berada di wilayah kerja suatu unit KPH. Dengan
demikian KPH perlu melaksanakan monitoring terhadap pelaksanaan yang terkait
dengan ketentuan-ketentuan pinjam pakai kawasan hutan

2.2.8. Hubungan pemegang ijin dengan institusi KPH ?

KPH mempunyai Tupoksi antara lain melaksanakan pemantauan dan


penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, dengan
demikian KPH akan melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan ijin
pemanfaatan yang ada di wilayahnya. Sebagai contoh : KPH mengesahkan rencana
kerja tahunan (RKT) pemegang ijin pemanfaatan; menerima laporan hasil evaluasi
RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 21 UU 41/1999, pada dasarnya pengelolaan
hutan menjadi wewenang pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dalam
kondisi tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN. Dengan penjelasan tersebut
organisasi KPH dapat dalam bentuk UPT, UPTD atau BUMN. IUPHHK adalah
salah satu kegiatan dari pengelolaan. Salah satu tugas KPH adalah melaksanakan
pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya (al kegiatan pemanfaatan hutan melaui IUPHHK). Pengelolaan hutan
adalah kewenangan Pemerintah dan atau pemerintah daerah yang hanya dapat
dilimpahkan kepada BUMN. Dengan penjelasan tersebut, maka pemegang
IUPHHK tidak dapat ditetapkan sebagai pengelola KPH.

2.2.9. Penanggungjawab pembangunan KPH

23
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Pasal 10 PP 6/2007 menyebutkan :
Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan
infrastrukturnya.
Dana bagi pembangunan KPH bersumber:
 APBN;
 APBD; dan
 dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2.10. Pemberdayaan masyarakat di dalam kerangka KPH

Pemberdayaan masyarakat (dengan instrumen hutan desa, hutan


kemasyarakatan, dan kemitraan) merupakan kewajiban Pemerintah, provinsi,
kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab kepala KPH (PP
6/2007 Pasal 83 ayat 2)

2.2.11. Posisi KPH terhadap HTR

 KPH atau pejabat yang ditunjuk (bila belum terbentuk KPH) mengusulkan areal
tertentu untuk dialokasikan bagi pembangunan HTR kepada Menteri untuk
ditetapkan.
 Penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR difasilitasi oleh kepala KPH atau
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri (penjelasan pasal 75 ayat 3)

2.2.12. Perkembangan konsepsi KPHP Kesatuan Pengusahaan Hutan


Produksi) menjadi KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)

Perkembangan konsep KPH dapat di bagi menjadi 3 periode, yaitu :

Periode I (< 1999).


Dengan landasan hukum :
 UU No 5 Tahun 1967
 SK Menhut No 88 Tahun 1983
 SK Menhut No 200 Tahun 1991
 SK Menhut No 308 Tahun 1999

Dengan ciri-ciri :
 Huruf “P” : dengan pengertian Pemangkuan dan Pengusahaan
 KPHP (Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi) :
 Berbasis HPH, sehingga terdapat KPHP :
 Multi HPH, dengan satu pemilik

24
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

 Multi HPH, dengan lebih dari satu pemilik


 Satu HPH
 Bagian dari HPH
 Upaya menuju perubahan dari system perijinan HPH menjadi unit permanen
KPHP

Periode II (1999 – 2004).


Terjadi perubahan dari Periode I. Dengan landasan hukum :
 UU No 41 Tahun 1999
 PP No 34 Tahun 2002
 SK No. 230 Tahun 2003
 SK Kabaplan 14 Tahun 2004
Dengan cirri-ciri :
 Huruf “P” : dengan pengertian pengelolaan (Kesatuan Pengelolaan Hutan -
KPH), terdiri dari : KPHP, KPHL, KPHK KPHKM, KPHA, KPDAS
 Berbasis kawasan (fungsi pokok hutan)
 Dalam satu wilayah pengelolaan KPH hanya ada satu fungsi pokok hutan

Periode III (> 2004).


Terjadi penyempurnaan dari Periode II. Dengan landasan hukum :
 PP No 44 Tahun 2004
 PP No 6 Tahun 2007

Dengan cirri-ciri :
 KPH terdiri : KPHP, KPHL, KPHK
 Berbasis kawasan (fungsi pokok hutan)
 Dalam satu wilayah KPH dapat lebih dari satu fungsi pokok kawasan hutan dan
dapat dalam satu atau lebih wilayah administrasi pemerintahan
 Pada setiap unit KPH di bentuk institusi pengelola.

2.2. Pengurusan Hutan

Pasal pengurusan hutan dalam UUPK disebutkan setelah pasal perencanaan,


pengukuhan, dan inventarisasi. Secara implisit bagian ini merupakan bagian yang
terpisah antara keduanya padahal diantara kegiatan-kegiatan pengurusan hutan
adalah perencanaan, pengukuhan, dan inventarisasi.
Dalam UUPK disebutkan bahwa pengurusan bertujuan untuk mencapai
manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari, baik langsung maupun
tidak langsung dalam usaha membangun masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, didasarkan atas rencana umum dan rencana karya.
Adapun kegatan pengurusan hutan adalah :

25
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
1. Mengatur dan melaksanakan perlindungan, pengukuhan, penataan, pembinaan
dan pengusahaan hutan serta penghijauan;
2. Mengurus hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata serta membina margasatwa dan
pemburuan;
3. Menyelenggarakan inventarisasi hutan;
4. Melaksanakan penelitian tentang hutan dan hasil hutan serta guna dan
manfaatnya, serta penelitian sosial ekonomi dari rakyat yang hidup didalam dan
sekitar hutan;
5. Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan dalam bidang
kehutanan.

Pelaksanaan pengurusan hutan negara di lapangan dilakukan oleh Kesatuan


Pemangkuan Hutan (KPH) dan Badan-badan Pelaksana yang diatur oleh Mentri.
Sedangkan pengurusan hutan rakyat dilakukan oleh pemiliknya.
Kegiatan pengurusan hutan yang tercantum dalam UUPK dan UUTK sangat
berlainan. Dalam UUTK, pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
Kegiatan-kegiatan pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan:
1. perencanaan kehutanan,
2. pengelolaan hutan,
3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyulhan
kehutanan,
4. pengawasan.

Dari segi definisi, pengurusan hutan dalam UUPK lebih lengkap dan jelas
disebutkan adanya rencana umum dan rencana karya. Dengan demikian walaupun
pekerjaan perencanaan hutan tidak termasuk dalam kegiatan pengurusan hutan,
secara implisit kegiatan pengurusan hutan dilakukan berdasarkan rencana karya
dan rencana umum yang telah dibuat. Berarti rencana umum dan rencana karya
yang disusun harus dibuat dengan benar sesuai keadaan yang ada di lapangan.
Kemudian kedua renca tersebut harus dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai dengan
rencana yang telah dibuat.
Dari segi kegiatan yang dilaksanakan dalam pengurusan hutan, UUTK
menyebutkannya dengan lebih lengkap yaitu dengan ditambahkannya kegiatan
perencanaan dan pengawasan. Dua kegiatan tersebut penting dalam pengurusan
hutan menuju kelestarian. Agar hutan yang diurus dapat terkelola secara lestari,
harus diperhatikan indikator-indikator sebagai berikut:
1. Semua fungsi hutan (produksi, lindung, dan keindahan) harus mempunyai batas
yang jelas sehingga ada jaminan keamanan dalam pengelolaan. Dengan
demikian baik secara dejure maupun defacto hutan tersebut ada tata batas yang
jelas. Dalam proses pembuatan tata batas masyarakat wajib dilibatkan secara
aktif.

26
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

2. Sumberdaya hutan dimanfaatkan tidak melebihi potensi dan kapasitasnya


menghasilkan barang dan jasa. Artina, sumberdaya hutan tidak dikelola secara
berlebihan.
3. Kegiatan teknis kehutanan yang menjamin kelestarian adalah permudaan ulang
untuk menjamin kelestarian produksi, perbaikan fungsi hutan lindung untuk
kepentingan kelestarian air, dan menjamin terjaganya fungsi keindahan hutan
seperti pemenuhan jasa rekreasi dan lain-lain.
4. Ada kejelasan arah dan kemauan politik dalam menetapkan hubungan negara
dan rakyat terhadap “perebutan” sumberdaya alam hutan. Instrumen hukum
tidak untuk kepentingan penguasa semata-mata, tetapi harus untuk kepentingan
sebagian besar warga masyarakat.

Keempat indikator tersebut memerlukan adanya perencanaan dan


pengawasan dalam penyelenggaraan di lapangan agar dapat terlaksana dan
mencapai hasil seperti yang diharapkan. Dengan demikian, secara garis besar,
pengelolaan menuju hutan lestari terdiri atas:
1. Produktivitas. Pengelolaan hutan lestari harus mampu menjamin produktivitas
lahan per satuan unit yang tinggi dengan menggunakan rekayasa teknologi yang
memadai.
2. Aseptabilitas. Penggunaan teknologi dan pendekatan pengelolaan hutan harus
dapat diterima oleh semua stakeholders yang terlibat dalam proses pengelolaan
hutan.
3. Stabilitas. Produktivitas yang tinggi dan penggunaan teknologi yang dapat
diterima tersebut harus dijaga sedemikian rupa sehingga kelestarian produksi,
perlindungan dan jasa dapat terjaga selamanya.
4. Pemerataan. Pengelolaan hutan manfaatnya harus dirasakan oleh sebagian besar
rakyat Indonesia, terutama rakyat miskin di pedesaan sekitar hutan.

Dalam mencapai keberhasilannya, penyelenggaraan keempat hal tersebut di


atas sangat ditentukan oleh:
a. tersedianya sistem silvikultur dan teknologi lainnya yang dapat menjamin
tersedianya barang dan jasa dari dalam hutan
b. diperlukan dukungan sumber daya manusia yang cukup pengetahuan, kesadaran,
mentalitas dan moral untuk menjalankan strategi dan kebijakan pengelolaan
hutan lestari
c. pengembangan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan yang mendukung
dasar-dasar dua hal (a dan b) tersebut di atas.

2.3. Perencanaan Kehutanan

Walaupun disebutkan secara terpisah dari kegiatan kepengurusan hutan,


pengukuhan, dan inventarisasi, dama UUPK disebutkan bahwa kegiatan
27
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
perencanaan hutan dilakukan oleh pemerintah untuk membuat suatu rencana umum
mengenai peruntukkan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan secara
serbaguna dan lestari di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan:
a. Pengaturan tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan
kesuburan tanah,
b. Produksi hasil hutan dan pemasarannya guna memenuhi kepentingan
masyarakat pada umumnya dan khususnya guna keperluan pembangunan,
industri serta ekspor,
c. Perlindungan alam hayati dan alam khas guna kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, pertahanan nasional, rekreasi dan pariwisata,
d. Transmigrasi, pertanian, perkebunan dan peternakan,
e. Lain-lain yang bermanfaat bagi umum.

Dan perencanaan disebutkannya dalam UUPK sebagai perencanaan hutan


bukan perencanaan kehutanan, artinya yang direncanakan adalah hutannya saja
tidak termasuk kawasan dan hasil hutannya.
Lain halnya dengan perencanaan kehutanan yang disebutkan dalam UUTK.
Dalam UUTK, perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman
dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan.
Perencanaan kehutanan diselenggarakan secara transparan, bertanggung gugat
partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan yang diuraikan dalam UUTK
adalah: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan
hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana
kehutanan. Selanjutnya, kegiatan-kegiatan tersebut di atas diuraikan secara lebih
rinci.

2.4. Pengelolaan Hutan

Kegiatan pengelolaan hutan dalam UUTK disebutkan sebagai kegiatan yang


meliputi:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk
memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Kegiatan ini bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan dapat terjaga.
d. perlindungan hutan dan konservasi alam yang bertujuan menjaga hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan
fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari.
28
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

Sedangkan dalam UUPK, tidak disebutkan adanya kegiatan pengelolaan


namun ada disebutkan pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan untuk
memperoleh dan meningkatkan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi
nasional dan kemakmuran rakyat. Adapun kegiatan ini meliputi penanaman,
pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa ruang lingkup pengertian pengelolaan hutan yang
ada dalam UUPK masih sangat sempit. Namun, dengan lebih rincinya pengertian
pengelolaan hutan dalam UUTK akankah dapat menjamin bahwa hutan tidak akan
lebih parah kerusakannya?

2.5. Pengusahaan Hutan

2.5.1. Lembaga-lembaga Pengelola Hutan dan Lingkungannya

Peluang yang terbuka dati UUTK tahun 1999 adalah bahwa unit bisnis tidak
lagi hanya kayu dalam hutan produksi, tetapi terbuka peluang untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi non kayu di areal hutan lindung dan hutan
konservasi. Dengan demikian, diperlukan adanya seperangkat instrumen
kebijaksanaan yang mengatur dan mengarahkan bisnis tersebut agar tetap ramah
lingkungan dan tidk merusak lingkungan fisik, lingkungan sosial dan budaya.
Artinya, diperlukan langkah-langkah berikutnya yang berkaitan dengan penataan
kelembagaan pendukung.
Dalam UUTK tahun 1999, telah diatur bahwa izin usaha pemanfaatan
kawasan dan pemungutan hasil hutan diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Sedangkan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan baik HHK dan
HHNK diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia
dan badan usaha negara atau badan usaha milik daerah.
Nampak sekali dalam UU tersebut bhwa perorangan dan koperasi diberikan
izin usaha untuk semua aspek kegiatan di semua fungsi hutan. Benarkah
perorangan dan koperasi mampu menjalankan amanat ini ? Mengapa badan usaha
lainnya tidak diberikan hak yang sama ?

2.5.2. Lembaga-Lembaga Pelaksana Pengusahaan Hutan (fungsi ekonomi)

Hampir sebagian besar masyarakat beranggapan, bahwa kebijaksanaan


pemerintah tentang pengelolaan hutan selama ini dianggap hanya menguntungkan
sekelompok kecil masyarakat saja (yaitu kelompok pemodal besar/konglomerat).
Dengan demikian sumber daya hutan belum dimanfaatkan secara optimal menurut
UUD 45 pasal 33, yaitu pemanfaatan sumberdaya alam hendaknya bisa
memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

29
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Untuk merespon aspirasi masyarakat tersebut, Menteri Kehutanan dan
Perkebunan kabinet reformasi sudah membuat beberapa keputusan yang dianggap
tepat pada eranya yaitu : Keputusan Menhutbun No. 310, 317 dan 318/1999, yang
intinya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan
dalam mengelola hutan negara. Meskipun keputusan menteri sebenarnya lebih
operasional dari pada undang-undang, ternyata petunjuk pelaksanaan (Juklak) yang
dipersiapkan tidak implementatif. Akibatnya dalam pelaksanaannya tekendala
oleh banyak faktor sehingga tidak mudah untuk bisa dilaksanakan.
Secara harfiah keberadaan masyarakat menurut UUTK tidak dianggap
sebagai mitra dalam proses pengelolaan akan tetapi lebih diartikan sebagai faktor
produksi yang hak dan kewajibannya bisa diukur secara deterministik. Dari
pernyataan tersebut penulis beranggapan bahwa pembuat UUTK kemungkinan
belum memahami secara intrinsik makna bunyi pasal 33 UUD-45. Disamping itu,
sis dari beberapa pasal di atas menyatakan dengan jelas bahwa seolah-olah pemilik
hutan adalah pemerintah pusat, oleh karenanya masyrakat yang bermukim disekitar
kawasan hutan baik sebagai individu maupun kelompok tidak memiliki hak
pengelolaan sama sekali. Meskipun perorangan, dan lembaga ekonomi lain seperti
koperasi, badan usaha milik pemerintah dan swasta dinyatakan bisa memperoleh
hak pemanfaatan.
Dengan demikian bisa dikemukakan bahwa beberapa pasal tentang
pengelolaan hutan oleh lembaga ekonomi koperasi dan individu masih sangat
kabur sehingga sulit dilaksanakan. Khusus mengenai koperasi, pasal-pasal dalam
UUTK No. 41/1999 tidak menjelaskan secra eksplisit spesifikasi badan usaha
dimaksud.
Adanya ketimpangan yang besar mengenai bagi hasil yang diterima oleh
pemegang hak kepemilikan dengan masyarakat yang berperan sebagai tenaga kerja
menggambarkan ketidakadilan. Pernyataan yang muncul kemudian adalah, siapa
dan apanya yang salah. Dari sisi pemegang hak pengelolaan sudah memberikan
hak dan kewajibannya kepada masyarkat sesuai dengan peraturan yang disepakati.
Sebaliknya, dari sisi masyarakat sebgai faktor produksi sudah memperoleh haknya
sesuai dengan sistem upah yang dikompromikan. Sudahkah masyarakat yang
terlibat dalam pengelolaan hutan itu memperoleh kesejahteraan yang wajar yang
bisa diterima oleh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan adalah tidak
mudah.
Banyak definisi tentang koperasi yang ditulis oleh beberapa ahli antara lain,
Roy (1981), Muhammad Hatta, Hanel (1985) dan Hartowo (1991). pada intinya,
definisi singkat tentang koperasi menurut pada ahli tersebut adalah, suatu badan
usaha bersama yang tujuannya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi anggota.
Dengan demikian bentulk usaha koperasi dalam menjalankan kegiatan ekonominya
harus berorientasi pada dua aspek yaitu aspek bisnis dan sekaligus aspek sosial.
Dari definisi ersbut jelas kelihatan bahwa koperasi adalah suatu lembaga ekonomi
(badan usaha) yang memiliki sekala unit usaha yang jelas kuantifikasinya (bisa
dengan sekala usaha besar atau menengah dan kecil).

30
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

Dengan demikian pembahasan tentang kelembagaan koperasi tidak identik


dengan pembahasan mengenai sekala usaha ekonomi. Pembahasan mengenai
bentuk usaha koperasi adalah identik dengan pembahasan untuk bentuk usaha
BUMS (perorangan, firma, PT, CV, Joint Venture) dan BUMN. Pengklasifikasian
ketiga perusahaan tersebut didasarkan atas bentuk badan hukumnya. Karakteristik
masing-masing badan usaha tersebut adalah berbeda satu dengan yang lain karena
misi yang diemban adalah berbeda. Pengklasifikasian yang lain bisa dilihat dari
aspek proses produksinya, dan aspek teknis-ekonomisnya.
Untuk menyelaraskan dengan perkembangan keadaan ketentuan tentang
perkoperasian di Indonesia telah diperbaharui yaitu dengan UU Perkoperasian No.
25 tahun 1992 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang koperasi no.
12 tahun 1967. Menurut Undang-Undang No. 25, koperasi adalah "Badan Usaha
yang beranggotakan orang seorang atau Badan Hukum koperasi dengan
melaksanakan kegiatannya berdasar prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan". Dengan demikian menurut
UU No. 25 koperasi adalah badan usaha (lembaga), sehingga harus dikelola
(minimum) seperti badan usaha yang lain. Manajemen yang diterapkan adalah
manajemen seperti layaknya badan usaha yang lain.
Beberapa karakteristik badan usha (lembaga) koperasi yang membedakannya
dengan badan usaha lain (menurut Sukamdiyo, 1996) adalah : (1) pemilik adalah
anggota sekaligus pelanggan, (2) kekuasaan tertinggi berada pada rapat anggota,
(3) satu nama adalah satu suara, (4) organisasi siurus secara demokratis, (5)
tujuannya mensejahterakan anggotanya, (6) keuntungan dibagi berdasarkan jasa
anggota kepada koperasi, (7) koperasi merupakan sekimpulan orang atau badan
hukum yang berusaha mensejahterakan masyarakat termasuk pada anggotanya, (8)
koperasi merupakan alat perjuangan ekonomi, (9) koperasi merupakan sistem
ekonomi, (10) unit usaha yang diadakan orientasinya adalah untuk melayani
kepentingan anggota dan (11) tata pelaksanaannya bersifat terbuka bagi seluruh
anggota. kalau diasumsikan semua karekteristik seperti dikemukakan di atas
mampu dilaksanakan oleh seluruh anggota, diharapkan koperasi benar-benar akan
merupakan lembaga ekonomi masyarakat yang efektif.
Dari uraian terdahulu dikemukakan bahwa hanya 5 pasal dari 84 yang ada
dalam UUTK No. 41/1999 yang memuat tentang aspek koperasi sebagai badan
usaha yang dinyatakan mampu meminimumkan adanya gap/ketimpangan persoalan
ketidakadilan sebagai dampak kebijaksanaan pengelolaan hutan yang dianggap
tidak tepat. Seolah-olah koperasi adalah obat mujarab yang cukup efektif untuk
menuntaskan persoalan nasional disektor pembangunan hutan.
Apabila dicermati, badan udaha koperasi (seperti diatur dalam beberapa pasal
dalam UUTK) sesungguhnya hanya memperoleh pemerataan hasil dari pengelolaan
hutan dan bukan memperoleh pemerataan kesempatan untuk secara langsung
terlibat dalam mengelola hutan. Pembahasan tentang bentuk badan usaha koperasi
dalam UUTK No. 41/1999 adalah sangat minim, sehingga penerapannya sulit
31
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
dilaksanakan karena adanya beberapa kendala nonteknis yang kelak harus
dipertimbangkan penentu kebijaksanaan untuk bisa mempromosikan koperasi
setara dengan lembaga ekonomi lain (seperti : BUMN, BUMS). Dalam undang-
undang jelas dikemukakan ada tiga badan usaha yang secara formal bisa
dipertangungjawabkn untuk menglola hutan. Hasil pengelolaan hutan oleh BUMN
dan BUMS sudah diketahui kinerjanya sementara lembaga koperasi sama sekali
belum diketahui.
Hasil penilaian secara umum menyatakan bahwa pengalolaan hutan oleh
BUMN dan BUMS ternyata menghasilkan kinerja yang berdampak pada
munculnya ketidakadilan baik mengenai aspek pemanfaatan hasil maupun aspek
pemerataan kesempatan. Hal tersebut adalah angat wajar karena dasar penunjukan
badan usaha tersebut adalah bersifat subjektif dan bukan dilakukan melaluisuatu
tender terbuka yang lebih objektif. Diramalkan kondisi yang sama juga akan
terjadi jika penetapan kelembagaan koperasi yang diajukan untuk ikut mengelola
hutan adalah didasarkan pada penilaian yang sama yaitu mengedepankan aspek
subjektifitas dan bukan pada penilaian profesionalisme.
Oleh karenanya penetapan lembaga koperasi dalan UUTK yang masih
berorientasi pada kesempatan. Antara pemanfaatan dengan kesempatan adalah dua
sisi yang berbeda sama sekali (versus). Perlu diluruskan tentang peranan koperasi
dalam pemanfaatan hasil dan peranannya dalam hal kesempatannya ikut mengelola
kawasan hutan.
Undang-undang adalah pedoman bagi pelaksanaan di lampangan sebagai
referensi untuk melaksnakan tugas. Jika referensinya tidak benar maka seluruh
komponen pengelolaan akan keliru, sehingga hasilnyapun akan merupakan sampah
yang tidak bisa digunakan oleh user.
Persoalan yang muncul terkait dengan rancunya pembahasan tentang
pemanfaatan (orientasi pada hasil) dan kesempatan (orientasi pada kontribusi
dalam pengelolaan) seperti dituangkan dalam UUTK No. 41/1999 membawa
konsekuensi bahwa badan usaha koperasi tidak bisa dengan mudah memperoleh
porsi yang wajar sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat sehingga lembaga
ekonomi tersebut dapat terlibat langsung dalam pengelolaan hutan negara. Oleh
sebab itu ada peluang dan tantangan yang dimiliki lembaga koperasi untuk bisa
berpartisipasi dalam pengelolaan hutan secara nasional.

Rangkuman

1. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan


sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari. Seluruh kawasan hutan Indonesia nantinya akan terbagi
dalam wilayah-wilayah KPH serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem
pengurusan hutan Nasional, Propinsi, Kab/Kota. KPH terdiri dari KPH
Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP).
2. Pengurusan bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya secara
serbaguna dan lestari, baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha
32
II. Prinsip Penting Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan Undang-undang
tentang Kehutanan No. 41/1999

membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan


Pancasila, didasarkan atas rencana umum dan rencana karya.
Kegiatan-kegiatan pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan:
perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan pengawasan.
3. Kegiatan pengelolaan hutan dalam UUTK disebutkan sebagai kegiatan yang
meliputi:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Kegiatan ini bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan dapat terjaga.
4. Hasil penilaian secara umum menyatakan bahwa pengelolaan atau
pengusahaan hutan oleh BUMN dan BUMS ternyata menghasilkan kinerja
yang berdampak pada munculnya ketidakadilan baik mengenai aspek
pemanfaatan hasil maupun aspek pemerataan kesempatan. Oleh karenanya
perlu penetapan lembaga koperasi dalan UUTK yang masih berorientasi pada
kesempatan. Antara pemanfaatan dengan kesempatan adalah dua sisi yang
berbeda sama sekali (versus). Perlu diluruskan tentang peranan koperasi
dalam pemanfaatan hasil dan peranannya dalam hal kesempatannya ikut
mengelola atau pengusahaan kawasan hutan.

Latihan

1. Apa yang disebut dengan KPH? Dan mengapa institusi ini perlu dibangun di
setiap wilayah yang mempuyai areal hutan?
2. Menurut saudara, apakah perbedaan prinsip dalam hal pengelolaan hutan antara
yang tercantum dalam UUPK dan UUTK?

Pustaka

Candrakirana, R. 2010. Kebijaksanan yang Melandasi Pembangunan KPH.


Kementrian Kehutanan. Jakarta.

Ditjend Kehutanan Departemen Pertanian. 1980. Undang Undang Pokok


Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
33
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang Republik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan
Kehutanan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.

Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta.


Jakarta.

FAO. 1999. Implementing Sustainable Forest management in Asia and the Pacific.
FAO. Rome.

Sharma, N.P. 1992. Managing the World’s Forests. Looking for Balance Between
Conservation and Development. Kendall/Hunt Publishing Company. Iowa.

Wulandari, C. 2008. Kebijaksanaan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

34
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD

III. KEBIJAKSANAAN PERUBAHAN IKLIM


DAN REDD

Deskripsi Perkuliahan

Lebih dari satu milyar orang sangat tergantung pada hutan sebagai mata
pencaharian mereka. Dan ada sepertiga dari populasi dunia atau lebih dari 2 milyar
orang menggunakan bahan bakar biomas, terutama kayu bakar, untuk memasak dan
menghangatkan rumah mereka. Selain itu ada ratusan juta orang bergantung pada
obat-obatan tradisional yang diperoleh dari dalam hutan. Di 60 negera berkembang,
berburu satwa dan mengambil ikan di lahan berhutan memberikan sumbangan lebih
dari seperlima dari total kebutuhan protein masyarakat.
Di banyak negara berkembang, perusahaan berbasis hutan menyediakan
setidaknya sepertiga lapangan pekerjaan bagi penduduk desa untuk bekerja di
bidang non-pertanian dan memperoleh pendapatan melalui penjualan produk-
produk kayunya.Dan, nilai perdagangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti
tumbuhan farmasi/obat-obatan, jamur dan lain-lain diperkirakan mencapai 11
milyar dolar Amerika.
Menurut CIFOR (2003), dari 230 juta penduduk Indonesia diperkirakan 40
juta orang diantaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya sangat
tergantung hutan dan sumberdaya alam. Dengan demikian hutan terancam
kelestariannya jika masyarakat melakukan kegiatan eksploatasi sumberdaya hutan
secara berlebihan. Hal ini diperparah dengan belum adanya pengakuan atas hutan
adat secara hukum positif oleh pemerintah, karena hutan adat mereka yang
berlokasi di hutan negara (Angelsen 2008).
Dengan demikian, jika REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) diimplementasikan maka beresiko menimbulkan praktek land
grabbing (pengambil alihan tanah) ketika negara dan pihak komersil dari
pembagian dana REDD karena REDD mensyaratkan adanya clean and clear atas
status lahan yang mendapatkan sertifikast REDD. Lalu timbul pertanyaan
bagaimana halnya jika skema REDD diimplementasikan di hutan hak atau bukan
hutan negara?
Dan apakah bisa skema REDD diimplementasikan di hutan hak? Jika bisa,
bagaimana membangun skema dan mengimplementasikannya? Hal ini perlu digali
lebih dalam sebagai salah satu alternatif insentif bagi masyarakat karena ada
beberapa wilayah hutan hak yang merupakan hutan adat dan masih dijaga dengan

35
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
baik oleh masyarakatnya. Selain itu bagaimana posisi pemerintah daerah dalam
pembangunan skema REDD di suatu wilayah?

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa dapat memberikan definisi dan menjelaskan tentang perubahan iklim


dan REDD.
2. Mahasiswa dapat memaparkan secara rinci tentang kebijakan-kebijakan yang
dapat diacu dalam membangun skema REDD di Indonesia.

3.1. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD (Reducing Emissions from


Deforestation and Forest Degradation)

Diperkirakan bahwa setidaknya 1,7 milyar ton karbon dilepaskan per


tahunnya akibat perubahan tata guna lahan. Bagian terbesar adalah deforestasi di
kawasan hutan tropis. Deforestasi mewakili sekitar 20 persen emisi karbon dunia
saat ini, yang persentasenya lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor
transportasi dunia dengan penggunaan bahan bakar fosil yang intensif.
Beberapa dampak perubahan iklim yang mungkin timbul di antaranya:
peningkatan suhu, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 derajat
Celsius pada seluruh musim terutama sejak 1990; peningkatan intensitas curah
hujan. Dampak di Indonesia yaitu adanya curah hujan per tahun yang diperkirakan
meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek tetapi
meningkatkan resiko banjir secara signifikan; ancaman terhadap ketahanan pangan
pada bidang pertanian; naiknya permukaan air laut yang akan berakibat pada
tergenangnya daerah produktif pantai seperti pertambakan ikan dan udang,
produksi padi dan jagung. Selain itu, air laut bertambah hangat, yang berpengaruh
terhadap keanekaragaman hayati laut dan terlebih pada terumbu karang yang sudah
terancam (coral bleaching); merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air
dan vektor seperti malaria dan demam berdarah.
Penyebab dari pemanasan global dan perubahan iklim akibat aktivitas
manusia ini terutama berasal dari aktivitas industry, perusakan hutan dan
perubahan tata guna lahan. Dalam diskusi politik antar negara (internasional) dalam
mengatasi masalah ini, ada pihak penghasil emisi dan pihak penyerap emisi.
Sebenarnya, ide dibalik skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) adalah negara-negara penyerap karbon yaitu pemilik hutan
yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang akan berusaha mencoba
menjaga lahannya, dan sebagai kompensasinya negara penghasil emisi yang
umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka keluarkan.
Yang menjadi masalah sampai saat ini yaitu bagaimana menghitung atau
menghargai nilai karbon itu. Dan, pencegahan deforestasi (avoided deforestation)
menjadi isu utama dalam percaturan politik internasional dalam mengurangi
pemanasan global.

36
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
3.2. REDD di Indonesia (REDD-I)

Brazil dan Indonesia adalah dua negara teratas dalam hal berkurangnya hutan
per tahun masing-masing 1,87 juta ha/tahun. Indonesia menyumbang sekitar
22,86% dari luasan hutan di 10 negara berkembang dan dikategorikan sebagai
negara ketiga emisi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina, akibat dari
kebakaran hutan dan lahan gambut. Jika kebakaran hutan dan gambut dikeluarkan
Indonesia berada dalam ranking ke 21. Indonesia termasuk negara pendukung
REDD, karena skema ini tidak hanya melakukan perlindungan terhadap hutan-
hutan yang ada dari deforestasi, tetapi juga memperbaiki hutan yang terdegradasi.
Negara lain hanya membatasi skema deforestasi saja (RED) dengan alasan sukar
untuk mengukur laju degradasi, dan bagaimana menilai keuntungan dari upaya
restorasi hutan.
Karena deforestasi dan degradasi hutan menghasilkan emisi CO2, Indonesia
mendapatkan manfaat dari REDD. Potensi nilai kredit karbon di Indonesia sangat
besar walaupun perhitungannya sangat bervariasi karena banyaknya ketidakpastian
atas perhitungan tingkat berkurangnya hutan dan nilai-nilai yang mungkin tercakup
dalam emisi karbon.
Indonesia melalui IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) telah
menetapkan Road Map REDDI yang terbagi ke dalam 3 fase: (1.) Fase
Persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat
metodologi/arsitektur dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/
konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot
activities; (2.) Fase Pilot/transisi (2008-2012): menguji metodologi dan strategi,
dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market
mechanism), dan (3.) Fase Implementasi penuh (dari 2012 atau lebih awal
tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia, dengan tata cara (rules
and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.
Kementerian Kehutanan berharap bahwa proyek percontohan (demonstration
activities) dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2012, untuk mendapatkan
proses pembelajaran sebelum REDD dilaksanakan pasca Kyoto Protocol. Proyek-
proyek ini dilakukan dalam skala nasional, provinsi, kabupaten dan lokal. Sampai
dengan awal tahun 2010 belum ada perencanaan pemerintah bahwa salah satu
lokasi proyek percontohan REDD akan dilaksanakan di Lampung.
Pada pertemuan Confrence of the Parties ketigabelas (COP-13) – Konferensi
Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCC) di
Bali pada bulan Desember 2007, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan di Negara-negara berkembang (REDD) muncul sebagai komponen kunci
dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Diharapkan, REDD dapat menstabilkan
konsentrasi CO2 di atmosfir pada tingkat serendah mungkin melalui skema
pembayaran bagi Negara yang mampu mengurangi atau menghentikan laju
deforestasi. Karena adanya kemungkinan REDD dimasukkan dalam kesepakatan
paska-Protokol Kyoto, banyak Negara kemudian mengembangkan proyek REDD

37
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
secara terburu-buru sebelum berlangsungnya COP-15 di Kopenhagen, Januari 2010
termasuk Indonesia.
Hasil dari Kopenhagen pun ternyata tetap belum memberikan titik terang
akan keberlanjutan program REDD baik di tingkat dunia maupun di tingkat
nasional (Indonesia). Deforestasi (penebangan hutan untuk dijadikan perkebunan),
kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi penyebab utama emisi di
Indonesia (Dilworth et al, 2008). Selama ini deforestasi dan alih fungsi lahan di
Negara berkembang berkontribusi terhadap 18-20% emisi gas rumah kaca (IPCC,
2007). Khusus untuk di Indonesia, penggunaan tanah dan alih fungsi lahan telah
melepaskan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahunnya (Anderson & Kuswardono, 2008).
Dengan demikian Indonesia menjadi pemain kunci dalam perundingan-
perundingan tentang masalah perubahan iklim.

3.3. Perangkat hukum pelaksanaan REDD di Indonesia

Sampai saat ini Indonesia belum banyak membuka suara tentang skema yang
akan digunakan. Usulan Indonesia kepada UNCC memfokuskan pada isu baseline
dan bagaimana mengukur deforestasi (Republik Indonesia, 2008 – bk walhi).
Usulan tersebut menyatakan bahwa skema REDD harus memasukkan peningkatan
stok karbon dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan cenderung
menggunakan pendekatan nasional (Angelsen, 2008). Selain itu, perlu diketahui
bahwa Pemerintah Indonesia juga mengungkapkan dukungannya terhadap
pemasukan total kredit REDD ke dalam pasar karbon yang sudah ada (Angelsen,
2008).
Menteri Kehutanan dalam hal ini akan mempunyai kuasa penuh untuk
memberikan hak bagi kegiatan REDD. Hal ini juga disebutkan dalam 3 peraturan
menteri kehutanan yang telah diterbitkan pasca COP13 di Bali, yaitu: (1.)
Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008, 11 Desember 2008 tentang penyelengaraan
implementasi dari kegiatan demonstrasi Pengurangan Emisi karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), (2.) Permenhut No. P. 30/Menhut-
II/2009, 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD), dan (3.) Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009, 22 Mei
2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

3.3.1. Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008

Dalam Permenhut No. 68/2008, pada dasarnya menguraikan prosedur


permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi (demonstration activities)
REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD melalui
pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dapat dicoba dan
dievaluasi. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh desain pengelolaan hutan
terkait dengan pengurangan emisi karbon (pasal 2 ayat 2).

38
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
Untuk hutan adat di Lampung yang merupakan lokasi studi, dalam
Permenhut ini masuk dalam kategori hutan hak karena berada pada tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah.
Demonstrasi dilaksanakan oleh pemrakarsa yang dalam pelaksanaannya
dapat bekerjasama dengan mitra (pasal 4). Yang disebut dengan pemrakarsa adalah
pemerintah, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu, pemegang/pengelola
hutan hak, pengelola hutan adat, kepala kesatuan pengelola hutan yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan demonstrasi. Dan, yang disebut
dengan mitra adalah pemerintah, badan internasional, swasta dan perorangan yang
memiliki kemampuan untuk mendanai penyelenggaraan kegiatan demonstrasi.
Dengan demikian, jika persyaratan lainnya dapat dipenuhi maka pada lokasi studi
dimungkinkan untuk dibangun adanya kegiatan demonstrasi REDD dan pengelola
hutan adat dapat bekerjasama dengan pihak pemerintah, badan internasional,
swasta ataupun perorangan. Namun dikemudian hari akan ada tantangan yang
cukup besar yaitu bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek
REDD yang sesungguhnya. Selain itu juga ada tantangan lainnya yaitu terkait
dengan definisi “siapa sebenarnya yang disebut dengan masyarakat adat” yang
hidup di hutan hak? Atau siapakah yang disebut dengan pengelola hutan adat yang
berlokasi di hutan hak karena mereka ada di bawah pemerintahan desa atau
kampung atau pekon? Apakah sama dengan masyarakat adat dan pengelola hutan
adat yang hidup di hutan adat dalam hutan negara? karena dalam permenhut ini
hanya disebut pengelola hutan adat.

3.3.2. Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009

Sementara itu, Permenhut No. 30/2009 mengatur tata cara pelaksanaan


REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan
sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Dalam Permenhut ini, pasal 1
menyebutkan bahwa yang disebut dengan hutan adalah kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, berdasarkan kondisi faktual di lapang maka hutan adat yang di
lokasi studi memang dapat dimasukkan dalam kategori hutan. Selanjutnya,
disebutkan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Dengan demikian definisi ini tidak dapat diaplikasikan
untuk lokasi studi yang terletak di hutan hak yaitu Pekon Bedudu, Pekon Sukarami
dan Pekon Bakhu di Kecamatan Belalau; dan Pekon Sukaraja di Kecamatan Batu
Brak, Kabupaten Lampung Barat. Namun, jika nantinya skema REDD tetap
dilaksanakan maka diharapkan dapat merupakan insentif bagi masyarakat yaitu
manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD berupa dukungan financial dan atau
transfer teknologi dan atau peningkatan kapasitas (pasal 1).
Apabila kegiatan REDD di hutan hak di lokasi studi maka menurut pasal 9
Permenhut No. 30/2009 si pengelola hutan hak harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
39
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
a. memiliki sertifikat hak milik atas tanah dan keterangan pemilikan tanah dari
pemerintah daerah. Dan, pengelolaan hutan hak harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang ada.
b. memperoleh rekomendasi untuk pelaksanaan REDD dari pemerintah daerah
c. memenuhi kriteria lokasi pelaksanaan REDD
d. memiliki rencana pelaksanaan REDD

Dalam Bab XI tentang Peralihan Pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa


sebelum ada keputusan Negara para pihak konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang Perubahan Iklim mengenai mekanisme pelaksanaan REDD di tingkat
internasional maka kegiatan REDD dilaksanakan melalui kegiatan demonstrasi,
peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi serta perdaganag karbon sukarela.
Artinya, jika lokasi studi memilih untuk melakukan kegiatan REDD secara
voluntary atau sukarela maka diperlukan penguatan pemahaman dan kapasitas
secara intensif bagi semua pihak yaitu masyarakat dan pemdanya agar memiliki
posisi tawar yang baik dalam perdagangan REDD nantinya. Namun, jika memilih
skema untuk kegiatan demonstrasi terlebih dahulu maka kegiatan penguatan
kapasitas dapat dilakukan dengan tahapan yang lebih cermat karena bagaimana pun
kegiatan REDD adalah suatu kegiatan yang rumit dalam perencanaan, pengelolaan
hingga pemasarannya.
Secara tidak langsung, pilihan kegiatan demonstrasi juga akan mendukung
hasil konfrensi Kopenhagen 2009 yang lalu dimana hasilnya belum menampakkan
titik cerah bagi aplikasi kegiatan REDD pasca tahun 2012 yang akan datang. Bila
akhirnya nanti tidak terjadi perkembangan kegiatan REDD seperti yang
diharapkan, paling tidak kegiatan demonstrasi di lokasi studi dapat mendukung
pencapai maksud dan tujuan kegiatan REDD (pasal 2) yaitu dalam rangka
memantapkan tata kelola kehutanan untuk mencapai pengelolaan hutan
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, pada saat itu
kegiatan REDD tidak lagi terkait dengan adanya iming-iming akan adanya insentif
berupa dana segar yang masuk karena perdagangan karbon tetapi untuk tujuan
kelestarian fungsi hutan. Sebaiknya sejak awal hal ini sudah diinformasikan dengan
tepat kepada para pihak yang terkait dengan perdagangan REDD baik pemda
maupun masyarakatnya. Hal ini untuk mengantisipasi timbulnya kekecewaan dan
kesalahpahaman di kemudian hari karena bisa berdampak negatif dengan adanya
kegiatan perusakan hutan seperti yang terjadi pada saat era reformasi yang lalu.
Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai
pembanding belum ditetapkan. Dalam draft kebijakannya disebutkan bahwa
penghitungan dan penetapan referensi emisi harus dilakukan setiap 5 (lima) tahun
dan biayanya menjadi tanggung jawab masing-masing instansi sesuai dengan
wilayah kewenangannya. Selanjutnya disebutkan pula bahwa kepala daerah
bertanggungjawab untuk mengawasi dan mengedalikan pelaksanaan REDD agar
tidak terjadi leakage atau kenaikan emisi yang terjadi di luar batas lokasi proyek
REDD. Bila akhirnya terjadi leakage maka jual beli karbon yang telah dilakukan
dapat dibatalkan. Dengan demikian sesungguhnya konsekuensi aplikasi kegiatan
40
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
REDD sangat berat bagi suatu daerah dalam memulai program dan juga dalam
menjamin keberlanjutannya. Walaupun bila berhasil, dalam draft tersebut
disebutkan dimungkinkan untuk diperolehnya additionality atau insentif/kredit
karbon yang diberikan kepada proyek REDD yang telah melakukan investasi
finansial untuk kegiatan terkait karbon.

3.3.3. Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009

Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan


Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung. Permenhut ini mengatur ijin usaha REDD melalui penyerapan dan
penyimpanan karbon dari hutan produksi dan hutan lindung sehingga sebenarnya
tidak bisa diberlakukan untuk hutan hak. Di dalam permenhut ini juga diatur
perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan
penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara
kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis
usaha. Yang mengejutkan adalah apa yang dituliskan pada Lampiran 3 tentang
Tabel N2JL (Nilai Jual Jasa Lingkungan). Pada lampiran ini disebutkan bahwa
pembagian distribusi hutan adat sama dengan hutan rakyat. Untuk hutan adat
disebutkan agar memberikan distibusi kepada pemerintah sebesar 10%,
pengembang 20% dan masyarakat memperoleh sebesar 70%. Sedangkan untuk
HKm, komposisinya adalah 20%, 30% dan 50% sama dengan Hutan Desa. Padahal
pada pasal 1 tentang Ketentuan Umum tidak disebutkan apa yang disebut dengan
Hutan Adat, Hutan Rakyat, HKm dan Hutan Desa.
Berdasarkan status hutan dan isi Permenhut ini maka hutan adat di lokasi
studi bisa dimasukkan ke dalam hutan rakyat. Hal ini berdasarkan definisi yang
disebutkan dalam SK Menhut No. 49/Kpts-II/1997 bahwa hutan rakyat adalah
hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan
tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman
tahunan minimal 500 tanaman per hektar.

3.3.4. Kebijakan REDD lainnya

Global Forests Coalition (2009) menginformasikan bahwa kebijakan-


kebijakan terkait kegiatan REDD di Indonesia belum mempertimbangkan UNDRIP
(UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoples), FPIC (Free, Prior and
Informed Consent) dan juga Tap MPR IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam. Dengan demikian dalam pelaksanaan REDD di lokasi studi
maupun di lokasi lain di Indonesia masih diperlukan adanya penyesuaian atas
kondisi aktual di lapang terutama karena adanya masyarakat adat yang tinggal di
wilayah tersebut.
Dalam Cortez dan Stephen (2009) disebutkan faktor-faktor yang harus
dipertimbang-kan jika melakukan suatu kegiatan REDD, misal tentang standard
yang akan dipakai, project life cycle-nya. Jika kegiatan akan dilakukan di level
41
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
nasional maka dikatakan pula oleh Cortez dan Stephen bahwa harus
dipertimbangkan secara cermat skala proyek dan program-program yang akan
dilaksanakan. Khusus untuk di Indonesia, dalam laporan IFCA (Indonesia Forest
Climate Alliance) tahun 2008 yang berjudul “Consolidation Report: REDD in
Indonesia” sudah disebutkan pula tentang strategi pelaksnaan kegiatan REDD di
Indonesia sampai dengan tahun 2025 walaupun diyakini oleh banyak orang bahwa
strategi ini perlu ada beberapa perubahan dan penyesuaian berdasarkan hasil
pertemuan-pertemuan internasional antara negara-negara yang terkait dengan
kegiatan REDD.
Iskandar (2010) menuliskan bahwa ada empat isu besar dalam REDD yang
disebutkan dalam Copenhagen Accord 2009, yaitu (1) deforestation, (2) forest
degradation, (3) Mitigation dan (4) Adaptation. Definisi deforestasi menurut FAO
adalah konversi hutan untuk penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang
atas penutupan tajuk dibawah 10 %. Pembalakan masuk ke dalam kelompok
“degradasi hutan” dan tidak masuk ke dalam statistik deforestasi. FAO menyatakan
bentuk deforestasi adalah konversi hutan ke pertanian, padang gembala, bendungan
dan kawasan urban. Pembalakan hutan masuk dalam kelompok “forest
degradation”, karena hutan mampu merehabilitasi secara alamiah atau dengan
campur tangan tindakan silvikultur.
Pemerintah (daerah) juga dapat mencegah perladangan berpindah skala luas,
dengan berusaha mengubah pola pertanian penduduk lokal. Namun harus diakui
secara jujur bahwa ada juga kegiatan yang tidak dapat dicegah antara lain program
pembangunan kota, membangun bendungan (untuk PLTA dan irigasi), membangun
kebun sawit dan kedelai serta pertambangan skala luas. Keuntungan rehabilitasi
hutan dengan membangun hutan tanaman skala besar untuk produksi bahan bakar,
hasil hutan bukan kayu (obat, makanan, serat, daging). Sektor kehutanan juga perlu
mengendalikan atau menarik manfaat dari species penyerbu (invasive species).
Elemen kedua dalam Accord adalah isu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi
(mitigation) adalah intervensi atau kebijaksanaan untuk mengurangi emisi dan atau
untuk meningkatkan penyerapan gas rumah kaca. Mekanisme legal untuk kedua hal
itu diatur di dalam UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Sedangkan adaptasi (Adaptation) adalah respons terhadap perubahan iklim dan
kebijaksanaan untuk mengurangi dampak yang diduga akibat dari perubahan iklim.
Mitigasi di bidang kehutanan meliputi peningkatan usaha konservasi dan
restorasi hutan, aforestasi (membangun hutan) dan reforestasi (membangun
kembali hutan), perbaikan praktek kelola hutan dengan adopsi kelola hutan lestari,
pembangunan agro forestri untuk bahan bakar dan konservasi hutan.
Sedangkan adaptasi di sektor kehutanan meliputi perlindungan kawasan
hutan, preservasi plasma nutfah untuk melanggengkan keanearagaman hayati,
mencegah longsoran lumpur, kebakaran hutan, hama dan penyakit hutan.
Penghalang paling besar alih teknologi dalam upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim adalah terbatasnya dana, biaya investasi tinggi, penghalang pasar
(subsidi dan tarif), informasi yang tidak lengkap dan kesadaran serta kebijaksanaan.
Untuk mengatasinya diperlukan aturan-aturan (regulatory), kebijaksanaan (policy
42
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
options), membangun kesadaran dengan informasi serta tindakan-tindakan pada
pasar.
Di dalam Accord juga disebutkan kesanggupan negara maju mendanai
berbagai aktivitas mitigasi dan adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi lebih
diprioritaskan pada kelompok negara sangat tidak maju, negara pulau kecil dan
Afrika. Dalam hal ini, Indonesia tidaklah perlu banyak berharap kucuran dana
negara maju tersebut. Namun karena ada istilah balanced allocation antara
keduanya, Indonesia patut berharap bantuan dana dalam aktivitas mitigasi.
Berdasar kosep itu, program kehutanan sebaiknya memfokus pada usaha
mitigasi. Berhubung program mitigasi perlu pembangunan kapasitas (capacity
building), informasi dan peningkatan kesadaran (awareness raising), sebaiknya
capacity building ini dilakukan di dalam reformasi birokrasi agar mereka turut
mendukung dan mendorong usaha mencapai sasaran REDD. Negara donor tentu
tidak menginginkan dana bantuan itu salah sasaran, digunakan tidak efisien, atau
dikorupsi. Dan tentu saja para pihak di sektor kehutanan berharap dapat berperan
serta dalam konteks konstruktif positif, sebagai sumbangan dalam pengurangan
emisi di Indonesia sebagaimana yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yaitu sebesar 26%.
Dalam melaksanakan awareness raising dan mencapai pengurangan emisi
hingga 26%, Kementrian Kehutanan harus melakukan sosialisasi program
kehutanan terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara benar dan
menggunakan metode yang tepat misalnya kepada para gubernur dan bupati
(sebagai pengelola kawasan), sektor-sektor lain seperti perkebunan dan
pertambangan, masyarakat (umum, lokal maupun adat), , lembaga penelitian,
pendidikan dan pelatihan. Dan, hal ini hendaknya dilaksanakan oleh pemerintah
untuk kawasan hutan negara maupun bukan hutan Negara (hutan hak).

3.4. Masyarakat Adat dan REDD

Kalau REDD meningkatkan nilai hutan, ada kemungkinan masyarakat adat


Indonesia akan digeser dari tanah mereka dan dilarang masuk hutan, yang
merupakan basis budaya dan kehidupan mereka. Menurut Walhi (2008) sebanyak
36% akar penyebab konflik di seKtor kehutanan adalah disebabkan tidak jelasnya
tata batas hutan. Hal ini tentu akan sangat riskan dalam aplikasi program REDD
mendatang karena masyarakat hukum adat belum diakui dalam hukum positif
secara tegas (atau masyarakat hukum adat dapat diproses dan diakui hutan adatnya
oleh pemerintah jika sudah ada Perda yang menyatakannya).
Seringkali masyarakat adat tidak memiliki pengetahuan birokratis atau
hukum yang dibutuhkan untuk ikut bernegosiasi REDD. Jika nanti REDD
dilaksanakan di tingkat proyek maka masyarakat adat akan terkena dampak
negatifnya bila tersangkut dengan penanam modal dan juga LSM yang tidak
mengindahkan atau tidak memiliki kewajiban moral terhadap masyarakat adat
maupun masayarakat lokal. Selain itu, saat ini usulan REDD masih dikembangkan
dengan cara “top-down” yaitu dari pemerintah, organisasi internasional, perusahaan
43
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
perdagangan karbon dan akhirnya masyarakat adat dan lokal sering tidak
mendapatkan informasi yang cukup dan sulit untuk dipahami dengan baik (FPP,
2009). Dalam Seminar Nasional “Program pemangkasan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (REDD) serta tata kelola ekonomi dan lingkungan” di
Palangkaraya pada tahun 2009 direkomendasikan bahwa Dalam implementasi
demonstration activities dan skema REDD agar mengutamakan pelibatan
(involvement) dan partisipasi (participation) Pemerintah Daerah dan masyarakat
setempat serta mengadopsi pengetahuan dan kearifan lokal.
Ada kemungkinan bahwa masyarakat adat dan lokal tidak akan diberitahu
bahwa perusahaan perdagangan karbon asing akan ambil keuntungan atau
keterlibatannya dengan REDD secara tidak langsung akan memperbolehkan adanya
pengeluaran emisi terus menerus di negara utara (Griffiths, 2008).
Hal ini diperparah dengan 90% dokumen tentang REDD disajikan dalam
bahasa inggris. Dengan demikian sesungguhnya pemerintah Indonesia telah tidak
melaksanakan kewajibannya di bawah UNDRIP (UN Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples).
Free, Prior and Informed Consent tidak disebutkan dalam peraturan-peraturan
pemerintah yang telah diterbitkan dan di lapangan jarang dilaksanakan. Bahkan
untuk konsultasi dengan masyarakat lokal pun sering hanya sebagai sebuah
“sosialiasi” sebuah konsep dan sebenarnya objek sudah diputuskan. Khusus terkait
dengan isu pengarus utamaan gender dalam REDD, perlu ada penguatan dan upaya
yang keras agar kedudukan kaum perempuan mempunyai kesetaraan. Kondisi di
lapangan, adat istiadat juga memperlakukan bahwa laki-lakilah yang menjadi
pemegang izin hak kepemilikan tanah sehingga kaum perempuan ditinggalkan dari
negosiasi-negosiasi tanah (Lovera, 2007).
Pasar karbon memang sangat rumit untuk dipahami dan hal ini diakui secara
luas, dan tentunya akan menjadi sangat sulit bagi masyarakat adat dan lokal untuk
bisa memahami baik-buruknya skema REDD (Griffiths, 2008), dan di lapangan
pun ditemukan bahwa banyak para bupati yang belum atau tidak memahami
prosesnya dengan baik (Anderson dan Kuswardono, 2008).

3.4.1. Kebijakan REDD yang Dapat Dikembangkan di Lampung Barat

Berdasarkan data dan informasi lokasi studi yang berupa hutan adat di Pekon
Bedudu, Pekon Sukarami dan Pekon Bakhu di Kecamatan Belalau; dan Pekon
Sukaraja di Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat maka ada beberapa
hal yang perlu dilakukan jika akan mengimplementasikan program kegiatan
REDD.
Tahap pertama adalah mengetahui kebenaran status hutan adat di lokasi studi
yang sebenarnya, apakah memang hutan hak seluruhnya? atau sebagian
wilayahnya masuk dalam hutan negara?.
Setelah itu, sesuai dengan 3 (tiga) peraturan menteri kehutanan yang telah
terbit maka hutan hak pada lokasi studi dapat dikembangkan kegiatan REDD.

44
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
Kegiatan REDD dapat dimulai jika status hutan adat yang telah dikelola
masyarakat tersebut diakui sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Karena hutan adat ada di lokasi hutan hak maka hak ulayat masyarakat adat
nya bisa di atur dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi ”. Isi pasal ini merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan
atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat.
Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih
dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat
hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap
hak kepemilikan atas tahah ulayat dalam masyarakat adat. Walaupun sebenarnya
sudah ada beberapa kebijakan pemerintah yang mulai memberi pengakuan dan
perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat,
antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal
41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945
yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau
kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan
perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu, sebenarnya selain UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan
masyarakat adat, antara lain UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU
Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999
tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun
1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Undang-Undang No
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2, Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 ayat 1,2.
Secara khusus dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dijelaskan bahwa segala bentuk identitas budaya termasuk hak ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman, Hal tersebut menjelaskan bahwa
hak ulayat harus dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam Hak asasi
manusia juga diatur mengenai hak atas penguasaan tanah baik secara pribadi dan
kolektif (hak atas tanah ulayat ). Baik itu dalam Konvenan Hak-Hak EKOSOB atau
dalam DUHAM.
Kemudian, langkah berikutnya sebelum 2012 adalah menentukan skema
kegiatan REDD yang dipilih: langsung masuk ke skema sukarela ataukah
mengembangkan kegiatan demonstrasi REDD terlebih dahulu. Kedua skema
45
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
tersebut memerlukan adanya penguatan dan peningkatan kapasitas, pengetahuan
dan pemahaman yang baik tentang skema REDD hingga pemasarannya.
Setelah memilih salah satu skema, maka ada baiknya dikembangkan
kebijakan di level Perda dan Perdes sebagai payung hukum pelaksanaan kegiatan di
lapangan. Kebijakan yang akan disusun hendaknya berdasarkan peraturan-
peraturan yang ada di level atasnya berdasarkan hierarkhi kebijakan di Indonesia
(UU nomor 10 tahun 2004). Direkomendasikan untuk dituliskan dalam kebijakan
tersebut bahwa untuk penanggulangan leakage hutan adat adalah diperlukan adanya
upaya menjaga 5-7 kali luasan hutannya sebagaimana yang dilakukan di proyek
REDD di Ulumasen, Aceh (Angelsen, 2008). Selain itu hendaknya dalam
kebijakan yang akan disusun disebutkan bahwa tujuan dari kegiatan REDD di
lokasi studi bukan hanya untuk mendapatkan insentif berupa dana segar semata,
namun lebih jauh tujuannya adalah untuk pelestarian fungsi hutan adat.

Rangkuman

1. Dalam diskusi politik antar negara (internasional) dalam mengatasi masalah ini,
ada pihak penghasil emisi dan pihak penyerap emisi. Sebenarnya, ide dibalik
skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation) adalah negara-negara penyerap karbon yaitu pemilik hutan yang
kebanyakan merupakan negara-negara berkembang akan berusaha mencoba
menjaga lahannya, dan sebagai kompensasinya negara penghasil emisi yang
umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka
keluarkan. Yang menjadi masalah sampai saat ini yaitu bagaimana menghitung
atau menghargai nilai karbon itu. Dan, pencegahan deforestasi (avoided
deforestation) menjadi isu utama dalam percaturan politik internasional dalam
mengurangi pemanasan global.
2. Indonesia melalui IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) telah menetapkan
Road Map REDDI yang terbagi ke dalam 3 fase: (1.) Fase Persiapan/Readiness
(tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat
metodologi/arsitektur dan strategi implementasi REDDI,
komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria
untuk pemilihan lokasi pilot activities; (2.) Fase Pilot/transisi (2008-2012):
menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke
mekanisme pasar (market mechanism), dan (3.) Fase Implementasi penuh (dari
2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan
Indonesia, dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP
dan ketentuan di Indonesia.
3. Menteri Kehutanan dalam hal ini akan mempunyai kuasa penuh untuk
memberikan hak bagi kegiatan REDD. Hal ini juga disebutkan dalam 3
peraturan menteri kehutanan yang telah diterbitkan pasca COP13 di Bali, yaitu:
(1.) Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008, 11 Desember 2008 tentang
penyelengaraan implementasi dari kegiatan demonstrasi Pengurangan Emisi
karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), (2.) Permenhut No. P.
46
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
30/Menhut-II/2009, 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), dan (3.) Permenhut No. P.
36/Menhut-II/2009, 22 Mei 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung.

Latihan

1. Apa yang dimaksud dengan REDD dan REDDI?


2. Bagaimana tata aturan di Indonesia jika akan membangun suatu skema
REDD di suatu hutan lindung? Hutan produksi? Hutan atau Kawasan
Konservasi? Dan Hutan Rakyat?

Pustaka

Anderson P dan Kuswardono T. 2008. Report to Rainforest Foundation Norway on


Reducing Emissions from Defoestation an dDegardation in Indonesia,
Rainforest Foundation, Norway. [online]: http//www.regnkog.no/html/
722.htm

Angelsen A (ed). 2008. Moving Ahead with REDD, CIFOR, Bogor, Indonesia

Dilworth A, Baird N dan Kirby (eds.).2008. Losing Ground, Friends of the Earth,
Life Mosaic and Sawit Watch, [online]:www.foe.co.uk/resource/ reports/
losingground.pdf

Food and Agriculture Organisation of the UN (FAO) 2007. State of the World’s
Forests 2007. FAO, Rome.

FAO 2009. State of the World’s Forests 2009. FAO, Rome.

Forest Peoples Programme (FPP). 2009. Views on Issues Relating to Indigenous


Peoples and Local Communities for the Development and Application of
Methodologies,” Submission to UNFCC Subsidiary Body for Scientific and
Technical Advice, Forest Peoples Programme, Feb 2009.

Friends of the Earth International (FOEI). 2008. REDD Myths, [online]:


www.foei.org/en/publications/pdfs/redd-myhs/view

Gelert, PK . 2005. The Shifting natures of “development”: Growth, crisis and


recovery in Indonesia’s forests”, World Development 33.

47
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Griffiths T. 2008. Seeing ‘REDD’? Forests, climate change mitigation and the
rights of indigenous peoples and local communities, Forest Peoples
Programme, London.

IPCC. 2007. IPCC 4th Assessment Report, Climate Change 2007: Synthesis Report,
[on line]: http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_sym.pdf
Iskandar, Untung. 2010. REDD di dalam Copenhagen Accord. Agro Indonesia
tanggal 12 Januari 2010.

Lovera S. 2007. The Impacts of Market-based Biodiversity Conservation on


Indigenous Peoples, Local Communities and Women,” presented at 5th
Trondheim Conference on Biodiversity, [online]:
www.globalforestcoalition.org/ img/userpics/File/publications/Trondheimpaper.pdf

Mery, G., Alfaro, R., Kanninen, M., and Lobovikov, M. (eds) 2005. Forests in the
Global Balance – Changing Paradigms. IUFRO World Series 17.
International Union of Forest Research Organisations (IUFRO). Helsinki.

Republik Indonesia. 2008. Reducing Emissions from Deforestation in Developing


Countries (REDD), Submission to UNFCC, [online]:www.cifor.cigar.org/
NR/rdonlyres/4E81DB28-410F-4885-ACB6-CA802603A32/0/Indonesia.pdf

Seminar Nasional Program pemangkasan emisi dari deforestasi dan degradasi


hutan (REDD) serta tata kelola ekonomi dan lingkungan. 2009. Di
Palangkaraya tanggal 29 – 30 Juni 2009.

Walhi. 2008. Hak Atas Lingkungan Masih Di Langit”. WALHI National


Executive. Jakarta.

__________. 2009. REDD: Jalan Sesat Bisnis Konservasi. Walhi, Friends of the
Earth Indonesia dan Nature and Poverty. Jakarta,Indonesia

Wulandari, C. dan Pitojo Budiono. 2007. “Upstream-downstream Commitment on


CBFM as initial Climate Change Adaptation and Mitigation”. Book
publication that concern to Community Base Forest Management (CBFM)
and Climate Change. Published by GTZ and General Directorate of Land
Rehabilitation and Social Forestry, Ministry of Forestry Indonesia.

Wulandari. 2008. Kebijaksanaan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

_________. 2009. “Assessment of policies and practice that enable the


implementation of PES as incentives mechanisms (Payment for
Environmental Services) particularly on carbon or REDD scheme for

48
III. Kebijaksanaan Perubahan Iklim dan REDD
conservation and sustainable livelihoods goals”. The Conservation
International - Indonesia

Wulandari, C dan Nurka Cahyaningsih. 2010. Ketika Masyarakat Mengelolan


Hutan Adat: REDD menjadi Suatu Pilihan. Watala, Kemitraan dan Pemda
Kabupaten Lampung Barat.

World Bank 2004. Sustaining Forests: A Development Strategy. Washington D.C.

UN Department of Economic and Social Affairs 2009. Indicators of Sustainable


Development.www.un.org/esa/sustdev/natlinfo/indicators/methodology_
sheets/ poverty/without_electricity.pdf (1 June 2009).

Zulfikar. 2006. Nasib Tanah Hak Ulayat Aceh. Di download tanggal 28 Februari
2010. [online]www.acehinstitute.org/opini_zulfikar_hak_tanah-ulayat_htm/
dimiliki lembaga koperasi untuk bisa berpartisipasi dalam pengelolaan hutan
secara nasional.

49
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan

IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan

Deskripsi Perkuliahan

Dalam bab IV diuraikan berbagai hal yang berkaitan dengan tiga aspek hutan
yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Berkaitan dengan fungsi sosial hutan akan
diuraikan tentang Hutan Kemasyarakatan (Hkm) yang saat ini sedang menjadi
primadona untuk mengatasi kerusakan hutan di propinsi Lampung. Fungsi ekonomi
hutan akan dikaitkan dengan perhitungan B/C, NPV, IRR, WTP, dan WTS.
Perhitungan-perhitungan tersebut akan dilanjutkan pembahasan dan
penggunaannya berdasarkan analisis finansial dan ekonomi. Selanjutnya untuk
aspek ekologi dijabarkan tentang pengelolaan yang terkait dengan perlindungan
dan konservasi hutan beserta sumberdaya yang ada didalamnya. Dengan demikian
kebijaksanaan kehutanan pada semua fungsi hutan yang diterapkan di lapangan
akan benar-benar dapat menunjang kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa dapat memberikan definisi dan menjelaskan aspek sosial hutan.


2. Mahasiswa dapat memberikan definisi dan mampu menjelaskan aspek
ekonomi hutan.
3. Mahasiswa mengerti dan dapat menghitung serta menjelaskan aspek ekonomi
hutan berdasarkan analisis ekonominya.
4. Mahasiswa dapat memberikan penjelasan tentang aspek ekologi hutan.
5. Mahasiswa dapat memaparkan secara rinci tentang lembaga-lembaga
penyelenggara pemanfaatan hutan.

4.1. Pendahuluan

Pengelolaan SDH berdasarkan UUD 1945 pasal 33 diarahkan kepada


pemberdayaan ekonomi rakyat. Adapun visi dari pengelolaan SDH yang sesuai
adalah "Hutan untuk Kemakmuran Rakyar" dan misinya adalah "Pemberdayaan
Rakyat".
Salah satu upaya pendekatan ke arah visi yaitu adanya perubahan strategi
yang digunakan. Semua strategi yang dipakai adalah "Timber Management"
berubah menjadi "Resource Based Development" atau "Forest Resource
Management" yaitu pembengunan SDH dengan memperhatikan potensi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
49
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Adapun yang dimaksud dengan ekosostem disini termasuk ekosistem
masyarakat di sekitar dan di dalam hutan beserta segala kegiatannya. Dengan
demikian pola pemanfaatan SDH termasuk lahan dan kawasannya harus dalam
suatu sinergitas antara aspek ekonomi, sosial, dan ekologi yang dilaksanakannya
melalui pendekatan "Community Based Management" yang mencerminkan
keberpihakan dan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat dalam
pengelolaan hutan sampai sejauh mana pengelolaan hutan yang saat ini
dilaksanakan oleh pemerintah dapat memenuhi visi dan misi seperti tersebut diatas.
Dalam kaitannya dengan fungsi sosial hutan akan dibahas tentang Hutan
Kemasyarakatan yang saat ini menjadi salah satu alternatif pemecahan kondisi
hutan di Propinsi Lampung. Berkaitan dengan fungsi ekonomi hutan akan
diuraikan lebih lanjut tentang analisis ekonomi dan finansial yang umum
digunakan dalam bidang kehutanan beserta lembaga-lembaga penyelenggara
kegiatan ekonomi kehutanan. Berdasarkan analisis ekonomi dan finansial akan
diketahui ketepatan dari suatu kebijaksanaan kehutanan dari sisi ekonominya.

4.2. Aspek Sosial Hutan

Undang-Undang Kehutanan nomor 41/1999, menjabarkan bahwa “Hutan


adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Makna tidak dapat dipisahkan pada satu kesatuan ekosistem, dapat diartikan
bahwa unsur sosial, ekologi dan ekonomi yang menjadi satu dalam satu kesatuan
ekosistem tersebut tidak dapat dipisahkan. Keberadaan hutan diharapkan dapat
memberikan guna yang berarti bagi unsur sosial (manusia), unsur ekologi dan
unsur ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pemanfaat hutan di
sekitarnya. Ditinjau dari fungsinya, hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
Unsur-unsur sosial, ekologi dan ekonomi itu sendiri secara jelas dicantumkan
dalam P.37/Menhut-II/2007, pasal 2, ayat (1), yang mengatakan bahwa
“Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berazaskan (a) manfaat dan lestari
secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya”. Pada pelaksanaan di tingkat lapang,
unsur sosial diimplementasikan melalui sebuah penguatan kelembagaan kelompok
dan pengembangan jaringan berorganisasi beserta bagian-bagian terkait di
dalamnya; Unsur ekologi dijabarkan melalui penerapan pola teknis konservasi di
lahan dan unsur ekonomi diterapkan melalui pengembangan-pengembangan unit
ekonomi berbasiskan kegiatan kelompok tani HKm.
Unsur ekologi sendiri, secara teknis diterapkan melalui teknis konservasi di
lahan, salah satunya melalui sistem wanatani (agroforestri). Implementasi
agroforestri dalam HKm tersebut secara khusus ditegaskan juga dalam
P.37/Menhut-II/2007, Pasal 18, yang menyatakan bahwa ‘kegiatan pemanfaatan
hasil hutan dalam hutan kemasyarakatan....dilakukan secara terintegrasi dalam
pola wanatani (agroforestri) dengan stratifikasi tajuk untuk menjamin
50
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
kesinambungan ,manfaat dan kelestarian fungsi hutan’. Sebagaimana diketahui,
pola tanam sistem wanatani menggabungkan kombinasi beberapa spesies tanaman
baik pepohonan kayu maupun MPTS dengan variasi stratifikasi tajuk tanaman.

4.2.1 Hutan Kemasyarakatan sebagai suatu skema Pemberdayaan di Bidang


Kehutanan

Komitmen pemberdayaan masyarakat akhir-akhir ini menjadi fenomena di


beberapa sektor, termasuk kehutanan. Pengalaman masa lalu, saat pengelolaan dan
pengawasan hutan dipegang mutlak oleh kehutanan menunjukkan bahwa kehutanan
tidak memiliki sumberdaya manusia dan sumber dana yang memadai. Keputusan
untuk melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk membantu mengelola
hutan dan sekaligus memberdayakan masyarakat menjadi pilihan. Pilihan tersebut
ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan HKm melalui SK Menteri Kehutanan
nomor 622/Kpts-II/1995.
Sektor kehutanan sendiri dengan jelas mencantumkan komitmen
pemberdayaan masyarakat tersebut dalam PP 6/2007, Tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 84,
bahwa ‘Pemberdayaan masyarakat setempat (sekitar kawasan hutan) dapat
dilakukan melalui : Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau Kemitraan’.
Dalam Permenhut nomor 37/Menhut-II/2007, Pasal 1, ayat 2, disebutkan
bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat, untuk
mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil, melalui
pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) kemudian mengacu kepada
Permenhut nomor P.37/Menhut-II/2007, setelah sebelumnya melalui serangkaian
revisi atas beberapa peraturan sebelumnya. Dalam perjalanannya sejak tahun 1995
sampai dengan sekarang, Hutan Kemasyarakatan mengalami beberapa kali evolusi
terutama dalam hal kebijakan.
Kebijakan HKm di awali dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.
622/Kpts-II/1995. Di sini HKm didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan
berdasarkan fungsi dengan mengikutsertakan masyarakat. Ciri khas SK tersebut
adalah peserta HKm adalah mereka yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan Daerah
Tingkat (Dati) I, dapat secara individual, kelompok, atau koperasi. Partisipasi
masyarakat mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan,
pemungutan, pengolahan, dan pemasaran. Masyarakat diwajibkan menanam MPTS
(Multi Purpose Trees Species) di lahan kelolanya. Jenis pohon dan tanaman yang
ditanam adalah jenis pohon/tanaman serbaguna yang dapat menghasilkan buah-
buahan, getah-getahan, dan sebagainya yang bermanfaat bagi peserta.
Pada tahun 1998, terjadi perubahan paradigma pengelolaan, setelah
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-
II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Definisi HKm adalah hutan negara yang
51
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan masyarakat setempat,
dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan
menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola
HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan
dengan ciri komunitas. Perubahan/perbedaan mendasar dari SK sebelumnya adalah
: masyarakat harus berkoperasi, ijin pengelolaan HKm diajukan oleh koperasi
dengan tenggat waktu ijin 35 tahun. Kebijakan HKm yang dikeluarkan pada tahun
1998 tersebut banyak mendapat kritik, salah satunya adalah hegemoni pemerintah
sangat kuat dalam mengontrol HKm. Persyaratan untuk mendapatkan hak
pengelolaan oleh masyarakat yang ditujukan pada SK tersebut menjadi rumit dan
konsekuensinya adalah biaya tinggi.
Atas beberapa kritik, maka dikeluarkan SK Menhutbun No. 865/Kpts-
II/1999, sebagai penyempurnaan SK 677/Kpts-II/1998. Beberapa perubahan
terjadi pada: azas perusahaan berganti menjadi azas kelestarian, pengubahan istilah
pengusahaan menjadi pemanfaatan, dan rencana pemanfaatan dinilai bersama
pemerintah dengan masyarakat umum dan lembaga lain. Pada SK tersebut juga,
hak dan kewajiban ditentukan bersama oleh pemerintah bersama masyarakat,
pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pemantau.
Pada tahun 2001, dengan semangat Otonomi Daerah, dikeluarkan SK
Menhut no.31/Kpts-II/2001, dengan beberapa perubahan antara lain: Desentralisasi
pengelolaan HKm dari Kantor Wilayah (Kanwil) di tingkat Propinsi kepada
Kabupaten, dan dalam hal ini pemberian ijin dilakukan oleh Bupati/Walikota;
pemanfaatan hasil hutan diperkaya dengan menambahkan pemanfaatan hasil hutan
kayu (pada Hutan Produksi); dibentuk forum pemerhati kehutanan; dan format
rencana pengelolaan oleh masyarakat menjadi lebih sederhana. Tetapi, koperasi
sebagai bentuk kelembagaan masyarakat masih tetap diwajibkan
(Cahyaningsih,dkk. 2005)

4.2.2 Perkembangan HKm tahun 2007-2008

Beberapa perkembangan penting, baik dari tataran kebijakan maupun


implementasi yang dapat dianggap mendukung perubahan HKm ke arah yang lebih
baik antara lain: dikeluarkannya PP 6/2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Junto PP3/2008.
Peraturan ini merupakan revisi dari PP nomor 34/2002, tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan
Kawasan Hutan. Pasal 95 pada PP tersebut mencantumkan HKm sebagai bagian
dari model-model pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, yang diakui
pemerintah selain Kemitraan dan Hutan Desa. Pada PP tersebut terdapat beberapa
perubahan terhadap wilayah kegiatan HKm. Selama ini HKm hanya dapat
dilakukan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, dalam PP tersebut dikatakan
bahwa HKm juga dapat dilakukan di kawasan Konservasi (kecuali cagar alam dan
zona inti Taman Nasional). Tetapi pelaksanaan HKm di kawasan konservasi
sampai dengan sekarang belum dapat dilakukan karena harus dilaksanakan
52
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
berdasarkan peraturan tersendiri, dan peraturan tersebut sampai dengan sekarang
belum tersedia. Pasal tersebut juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa
keberlangsungan ijin sementara HKm di kawasan Tahura belum direspon
pemerintah.
Jika kekhawatiran pemda selama ini adalah tentang ketersediaan payung
hukum, maka Peraturan Pemerintah nomor 6/2007 tersebut seharusnya dapat
menjadi salah satu landasan hukum yang kuat untuk implementasi HKm di
Lampung. Tetapi setelah sekitar satu tahun PP tersebut dikeluarkan, aktivitas
HKm di Provinsi Lampung hanya sedikit menunjukkan kemajuan, kecuali di
Lampung Barat. Padahal tujuan pemberdayaan masyarakat sangat berguna untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana yang dijabarkan pada
PP6/2007, pasal 83 ayat 1, menyatakan bahwa ”untuk mendapatkan masnfaat
sumberdaya hutan secara optimal dan adil, dilakukan pemberdayaan amsyarakat
setempay, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka
peningkatan kesejahteraannya”. Begitu juga sebagaimana terdapat dalam
Permenhut no 37/Menhut-II/2007, pasal 1, ayat 2, yang menyatakan bahwa :”
Pemberdayaan Masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat
sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan
pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat”.

4.3. Aspek Ekonomi Hutan

Pengelolaan hutan produksi alam untuk menuju arah asas tersebut dlam
tingkat menajemen unit meliputi 5 aspek pokok yaitu:
1. Kepastian dan keamanan sumber daya hutan
2. Kontinuitas produksi
3. Konservasi
4. Sosial ekonomi
5. Institusi

Secara garis besar dari masing-masing aspek tersebut dapat dijelaskan


sebagai berikut;
1. Kepastian dan keamanan sumber daya hutan yaitu suatu keadaan pada kawasan
hutan produksi yang secara juridis dan teknis di lsapangan tidak ada konflik
peruntukannya sehingga dapat dikelola secara lestari.
2. Kontinuitas produksi adalah suatu proses pengusahaan hutan produksi yang
memberikan sejumlah hutan yang meningkatkan dan berkelanjutan dalam
pengelolaannya.
3. konservasi yaitu upaya perlindungan dan pemeliharaan seluruh potensi
keanekaragaman hayati dan ekosistem dari suatu kawasan hutan produksi.
4. Aspek sosial ekonomi yang merupakan resultante pengusahaan kawasan hutan
produksi yang memberikan dampak penting terhadapsumber daya manusia.

53
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
5. Aspek institusi yang dimaksud adalah ketentuan dan pranata formal yang
mengatur keterlibatan pengelolaan kawasan hutan produksi yang bersifat
mengikat bagi pihak yang terkait.

Berdasarkan lima azas tersebut di atas, azas ke satu, dua, dan tiga berkaitan
dengan fungsi ekonomi hutan.
Pada pasal 6 UUTK 1999, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu: fungsi
konservasi, lindung, dan produksi. Yang erat berkaitan dengan fungsi ekonomi
hutan adalah fungsi hutan yang ketiga yaitu fungsi produksi.
Dalam pemanfaatannya hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,
jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan kayu
dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Bila uraian tersebut diatas dibandingkan dengan definisi hutan produksi yang
ada dalam UUTK 1999 maka akan terlihat ketidakkonsistenan pemerintah. Dalam
UUTK 1999, hutan produksi diperkuat dengan PP No. 6 Tahun 1999 yang juga
menyebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan
guna memproduksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk pembangunan industri dan ekspor. Dengan
demikian hutan produksi memang benar-benar diperuntukkan untuk memproduksi
hasil hutan bukan kayu untuk dimanfaatkan jasa lingkungannya.
Apabila rimbawan Indonesia masih kuat komitmennya pada fungsi utama
sumber daya hutan, hutan produksi semestinya harus dilihat sebagai "hutan yang
padanya bisa dilakukan usaha untuk menghasilkan produksi (kayu)". Dengan
konsep ini, bisa dijelaskan bahwa seluruh hutan, adalah berfungsi pokok
menghasilkan jasa lingkungan (jadi jasa lingkungan bukan hanya menjadi tugas
hutan lindung saja). Dari keseluruhan kawasan hutan, ada yang bisa diusahakan
untuk memproduksi kayu, yang disebut sebagai hutan produksi dan ada pula yang
tidak bisa (yakin hutan lindung, kawasan pelestarian, hutan suaka, wisata dsb).
Dengan konsep ini pula kiranya konversi kawasan hutan dari hutan alam ke hutan
tanaman, dari kawaan hutan ke kawasan non hutan, bisa diharapkan menjadi tidak
terlalu mudah. Dampak pengetian yang kelitu ini mungkin bisa dijelaskan
bagaimana pembentukan departemen oleh rezim orde baru pada saat terakhirnya
masih dilanjutkan sampai sekarang, yakni Dephutbun. Pengintegrasian Ditjen
Perkebunan ke Departemen Kehutanan (menjadi Dephutbun) ini adalah merupakan
kawin paksa yang oleh karenanya secara akademin dianggap perlu untuk ditinjau
kembali.
Sekedar sebagai "tembang kenangan", UU No. 5 Tahun 1967 menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan hutan produksi ialah hutan yang baik keadaan
alamnya maupun kemampuannya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
manfaat produksi kayu dan hasil hutan lainnya. Pemungutan hasil hutan ersebut
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat berlangsung secara lestari. Penjelasan
hutan produksi dalam UU 1967 secara implisit mengakui fungsi hutan utama
54
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
(penyangga kehidupan). Nah, dari kacamata akademik, mana yang lebih tepat
definisi hutan produksi menurut UU tahun 1999, ataukah yang dijelaskan UU tahun
1976 ?. Sayangnya, meskipun UU tahun 1967 mendefinisikan hutan produksi
tersebut adalah lebih maju (dengan kata lain ketentuan hutan produksi dalam UU
tahun 1999 adalah suatu kemunduran), nampaknya antara praktek dengannya (UU
1967) juga nampak tidak ada jembatan penghubungnya. Artinya, fungsi produksi
tetap masih mendominasi peruntukan pengelolaan hutan di Indonesia sehingga
fungsi ekonomi hutan pun yang menonjolkan adanya penghitungan ekonomi
sehingga fungsi ekonomi akan nilai hasil hutan kayu dan di lapangan juga belum
sampai pada perhitungan ekonomi untuk jasa lingkungan yang diberikan hutan
kepada manusia. Padahal, apabila hal ini diperhatikan maka hasil perhitungan yang
didapat akan sangat besar karena udara dan air adalah kebutuhan pokok manusia.
Dalam menyesuaikan masalah ekonomi kehutanan seharusnya berdasarkan
tujuan dari ekonomi itu sendiri yaitu:
1. Menentukan keadaan yang memberikan penggunaan optimal atas tanah. modal
dan manajemen.
2. Menentukan sampai berapa jauh penggunaan sumberdaya/resources yang ada
akan menyimpang dari keadaan optimal.
3. Menganalisa pengaruh dan peranan pola produksi dan sumber daya yang
dipergunakan.
4. Menjelaskan cara dan metode dalam membawa keadaan yang ada ke arah
optimal.

Hal-hal tersebut pun telah dilupakan oleh pada "penguasa" dalam arti
pemerintah maupun penguasa dalam kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta.
Dampak yang terjadi akan kelalaian tersebut sudah terlihat sat ini dan entah perlu
berapa lama untuk dapat memulihkan fungsi hutan yang ada yang telah rusak
tersebut. Sebenarnya kerusakan hutan yang terjadi saat ini dapat dicegah bila para
penentu kebijaksanaan memperhatikan dan melaksanakan "rambu-rambu"
pengelolaan hutan yang baik dan tepat untuk setiap fungsi dan karakteristik hutan.
Faktor lain yang seharusnya diperhatikan dalam menangani ekonomi
kehutanan adalah waktu. Masalah waktu yang dihadapi di Kehutanan merupakan
kesulitan yang kemudian selalu dihindari dalam doktrin ilmu kehutanan tradisional.
Penentuan panjang rotasi tegakan sebenarnya adalah issue ekonomi, tetapi biasnya
ditentukan atas dasar demi praktisnya untuk manajemen dan dasar-dasar intuisif
masih merupakan alat analisa yang lazim.
Namun sebenarnya umur rotasi tidak hanya dapat tetapi selalu harus berubah
untuk menyesuaikan dengan tujuan-tujuan manajemen yang dinamis. unsur waktu,
lepas dari falsafah tentang "nilai"-nya disini dapat diperlukan sebagai faktor/input
seperti halnya pupuk, tenaga kerja dan lain-lain. Sebagai ilustrasi, dipakai tegakan
pinus merkusii sebagai fixed factor, sedang "waktu" sebagai faktor variabel dan
outputnya adalah produksi kayu pada pohon yang masih berdiri.

55
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Berkaitan dengan kelayakan suatu kegiatan pengusahaan maka penilaian
kelayakan suatu rencana proyek pembangunan harus ditunjau dari seluruh aspek,
antqra lain. aspek teknis, aspek finansial, aspek ekonomi, aspek ketersediaan dana,
aspek politis dan aspek lingkungan, dan sebagainya. Dalam bab ini uraian akan
difokuskan pada sebagian dari keseluruhan aspek proyek ini dalam perekonomian.
Aspek finansial adalah aspek yang berkenaan dengan kepentingan finansial proyek
ini, sedangkan aspek ekonomi berkaitan dengan peranan proyek di dalam sistem
perekonomian masyarakat secara keseluruhan.
Berikut ini akan diuraikan lebih detail tentang apa yagn disebut dengan
analisa ekonomi dan analisa finansial yang umumnya digunakan di bidang
kehutanan.

4.3.1. Analisis Finansial dan Ekonomi Sumber Daya Hutan

Dilihat dari segi finansial, pembangunan proyek dianggap layak apabila


investasi bisa memberikan harapan keuntungan kepada pelaksana lebih besar
daripada nilai harapan keuntungan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Apabila terjadi sebaliknya maka dianggap tidak layak. Tekanan aspek ini terutama
pada masalah peninjauan apakan suatu proyek secara finansial, paling tidak, dari
pendapat yang akan diperoleh seluruh keperluan pembiayaan yang diperlukan,
ataukan tidak demikian. Yang disebut keuntungan proyek dalam analisa ini adalah
selisih antarapendpatan yang diperoleh proyek dengan biaya yang dikorbankan.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka analisis yang diuraikan akan melalui beberapa
tahap, yakni:

Tahap Pertama: analisis biaya proyek.


Analisis ini ditujukan untuk menemukan biaya total proyek dari mulai peneneman
sampai tanaman mencapai umur siap panen (akhir daur). Biaya total yang
ditemukan disebut sebagai stumpage cost. Baiaya total ditemukan melalui analisis
biaya satuan (unit costs) pada setiap komponen biaya yang besangkutan. Dalam
analisis ini juga sekaligus dimasukkan biaya yang ditimbulkan oleh kehilangan
keuntungan apabila dana yang sama tidak digunakan untuk investasi proyek,
melainkan digunakan untuk investasi di sektor usaha lain yang diandalkan
(opportunity cost). Tingkat keuntungan dimaksud (opportunity cost) didekati
dengan angka suku bunga.

Tahap kedua: menghitung nilai pendapatan proyek.


Nilai pendapatan proyek dihitung sebagai perkalian antara harga dengan output
fisik.

Tahap ketiga: menghubungkan nilai pendapatan dengan nilai biaya


Agar antara biaya dengan pendapatan bisa dihubungkan, keduanya dinilai pada
lokasi yang sama (untuk menghilangkan perbedaan harga yang disebabkan
perbedaan lokasi), yang dalam hal ini dipilih lokasi pada saat produksi sudah
56
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
berada di TPK akhir sebelum dibawa ke luar areal HPH. Dengan demikian biaya
proyek adalah meliputi biaya tegakan dan biaya pemungutan hasil sampai dengan
produksi mencapai TPK Dimaksud.

Seperti telah diketahui bahwa proses produksi di sektor pembangunan hutan


memerlukan waktu yang relatif panjang (tahunan). Untuk kepentingan RKPH ini
diasumsikan bahwa kenaikan dan atau penurunan harga-harga yang mungkin
terjadi (dalam jangka panjang) akan bekerja pada bobot yang sama baik pada sektor
biaya maupun sektor pendapatan (kenaikan dan penurunan harga yang mungkin
terjadi adalah sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi). Berdasarkan asumsi
tersebut maka analisis cukup bekerja pad harga konstan dengan nilai rupiah pada
tahun tertentu. Analisis ini menggunakan nilai rupiah dan harga (input maupun
output) tahun 1993.
Dimuka sudah disebutkan bahwa biaya yang ditimbulkan oleh kehilangan
kesempatan berusaha di sektor lainnya (sehubungan dengan pemilikan proyek ini),
didekati dengan penggunaan biaya bunga. Melihat kecenderungan yang nampak
bunga tabungan jangka panjang berdasarkan harga yang berlaku (nominal) disektor
perbankan rata-rata diramalkan akan terdapat di sekitar 12 % per tahun. Dengan
perkiraan tingkat inflasi normal dalam jangka panjang sebesar 9 % per tahun, maka
tingkat suku bunga riel per tahun bisa dipilih sebesar selisih antara bunga nominal
dengan 3 % tersebut dipilih sebagai biaya oportunitas modal (opportunity cost of
capitas) yang digunakan untuk kepentingan analisis kelayakan ini.
Langkah yang dikerjakan dalam analisis ekonomi tidak jauh berbeda dengan
dalam analisis finansial, yakin ditujukan untuk mengetahui kelayakan proyek
dilihat dari segi hubungan antara biaya yang dikorbankan untuk proyek dan
pendapatan yang diberikan proyek. Langkah-langkah analisis yang dikerjakan juga
sama dengan analisis finansial. Perbedaan yang ada antra kedua analisis ini adalah
terletak pada konsep siapa sipenilai proyek. Pada analisis finansial penilaian
proyek adalah investor atau institusi pemilik proyek, yang dalam hal ini adalah
perusahaan pemegang HPH ini. Pada analisis ekonomi, penilaia proyek adalah
pengelola negara dengan kata lainproyek dipandang sebagai milik negara
(masyarakat). Dengan konsep tersebut, maka biaya pada analisis finansial
dikonsepkan sebagai biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh perusahaan
pemegang HPH ini. Pendapatan dikonsepkan sebagai pendapatan yang diterima
perusahaan ini dari proyek yang dibangunnya.
Pada analisis ekonomi biaya proyek dikonsepkan sebagai seluruh
pengorbanan masyarakat (termasuk di dalamnya adalah perusahaan investor) untuk
proyek, sedangkan pendapatan dikonsepkan sebagai seluruh pendapatan yang
diterima masyarakat dari proyek yang bersangkutan. Berdasarkan konsep tersebut
maka biaya pajak dalam analisis finansial adalah bukan merupakan biaya pada
analisis ekonomi, karena unsur pajak sebenarnya adalah salah satu unsur
pendapatan masyarakat. Subsidi yang dikenal dalam analisis finansial sebagai
unsur pendpatan proyek, dalam analisis ekonomi meruapakan unsur biaya.

57
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Selain tercermin dalam hal indentifikasi biaya, perbedaasn antara kedua
analisis juga tercermin pada perbedaan antara kedua analisis juga tercermin pada
perbedaan konsep harga (baik untuk input maupun output), yakin bahwa dalam
analisis finansial digunakan harga pasar (market price), sedangkan dalam analisis
ekonomi digunakan harga ekonomi (economic value).

4.3.2. Konsep NPV, B/C, IRR, WPT, dan WTS

Dalam kita menghitung the present value (PV), kita pergunakan kriteria-kriteria
apa yang dinamakan, initial selection creteria (ISC), yaitu;
- Ko = initial investment (modal pendahuluan)
- b = benefit
- c = costs
- i = tinfkat bunga, dipakai sebagai DF
- t = tahun (economic life)

1. Net present value (NPV)


Rumus

 t n b t  c t 
NPV   t 
 Ko
 t 1 (1  i ) 

Penjelasan rumus.
bt = annula grooss benefot
t
c = annula costs
t
(1+i) = discounting factor (DF)
t = n, menunjukkan umur ekonomi proyek (economic life time)
misalnya, economic life time = 10 tahun, maka t = n ---- t =
10.
t = 1, artinya tahun pertama proyek.

jadi kalau kita tuangkan kedalam rumus =

t n t 10

 
t 1 t 1

Artinya umur ekonomi proyek tersebut adalah 10 tahun (n = 10),


dalam tahun pertama adalah t = 1
bt - ct artinya, annual gross benefit discounted
(dimana DF = 1/(1+i) t)
(1+i)t dikurangi annual costs, discounted

58
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
Sedangkan ,
(bt - ct), itu sendiri mencerminkan net cash flow setiap tahun (annual
net cash flow)

2. Benefit Cost Ratio : B/C

 bt t n

Rumus : B    
t 1  (1  i )
t

 Ct
t n

C      K o
t 1  (1  i )
t

t n
 bt 
  (1  i ) t

B
 t 1 
C  Ct 
t n

    Ko
t 
t 1  (1  i ) 

(Project Total Cost = Ko + C)

3. Internal Rate of Return (IRR)


Cara lain untuk mengevaluasi suatu proyek feasibility, adalah dengan
menghitung IRR (perhitungan tingkat investasi atau tingkat
penghasilan lebih). Tingkat investasi (IRR), adalah suatu tingkat
bunga (dalam hal ini sama artinya dengan discount rate) yang
menunjukkan jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah
seluruh ongkos investasi proyek. Dengan perkataan lain, tingkat
investasi adalah suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow
sesudah di-present-value-kan sama jumlahnya dengan invertment
cost, project cost atau initial cost, atau dengan rumus:
Ko = initial investment (Investment Cost)
(Bt - Ct) ,mencerminkan discounted net cash flow setiap setahun
(1+i)t
Dimana analisa IRR, kita akan mencari pada tingkat sunga berapa
t n
Bt  C t
Ko  
t 1 (1  i )
t

(discount rate) akan dihasilkan NPV sama dengan atau mendekati Ko


(initial investment). Dengan perkataan lain NPV sama dengan nol.

Untuk menentukan berapa tepatnya tingkat bunga yang ideal, caranya


adalah dengan melakukan percobaan-percobaan terus atau dengan
menggunakan metode interpolasi/penyisipan diantara bunga yang
lebih rendah (yang menghasilkan NPV positif) dengan tinfkat bunga

59
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
yang lebih tinggi (yang menghasilkan NPV negatif) yang dapat
dituangkan dalam rumus:
DFP = adalah discounting factor yang digunakan yang menghasilkan
present value positif
 ( NPV ) 
IRR  D F P   x( D F N  D F P)
 ( PVP )  ( PVN ) 
DFN = adalah discounting factor yang digunakan yang menghasilkan
present value negatif
PVP = Present value positif
PVN = Present value negatif

4.WTP dan WTS


Nilai WTS (Willingness To Sell ) dapat lebih tinggi dibanding dengan
WTP (Willingness To Pay). Nilai mana yang tepat untuk digunakan
pada suatu keadaan ? Willingness to pay sebaiknya digunakan dalam
analisis biaya atau keuntungan untuk barang-barang baru yang tidak
bernilai ekonimi (new nonmarket goods). Sedangkan WTS sebaiknya
digunakan untuk memperhatikan nilai-nilai dari fasilitas/jasa
(amenities) yang hilang atau dalam kondisi mengkhawatirkan.

Kedua hasil analisis tersebut (WTP dan WTS) belum banyak


diterapkan di lapangan sehingga kerusakan hutan masih merajalela
walaupun secara teoritis sudah banyak para ahli kehutanan yang
menganalisis hutan dan lingkungannya dengan menggunakan WTP
dan WTS.

4.4. Aspek Ekologi Hutan

4.4.1. Perlindungan Hutan

Hutan lindung, dalam UUTK disebutkan sebagai kawasan hutan yang


mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah. Sedangkan dalam UUPK, hutan lindung tidak
disebutkan secara tersendiri hanya tersirat dalam pasal tentang perlindungan hutan.
Dalam UUPK wewenang tugas perlindungan hutan diberikan kepada polisi
khusus, dan diuraikan bahwa perlindungan hutan meliputi usaha-usaha:
a. Pencegahan dan membatsi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama dan penyakit
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan

60
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
Meskipun tentang hutan lindung disebutkan definisnya secara terpisah
dengan perlindung hutan namun dalam uraian berikutnya belum secara tegas
dipisahkan pengertian hutan lidung (protection forest) dang perlidungan hutan
(forest protection).Pada prinsipnya protection forest adalah hutan yang dilindungi
dengan UU atau peraturan-peraturan karena fungsi khususnya yaitu hidro-orologis,
fungsi kelestarian floristik dan faunistiknya atau karena ciri khas pelestarian
lainnya. Sedangan forest protection adalah upaya-upaya untuk
mencegah/mengendalikan faktor-faktor yang menimbulkan kerusakan hutan.
Sebagaimana halnya dalam UUPK, maka UUTK wewenang ini pun
diberikan kepada polisi khusus sehingga terkandung pengertian bahwa
perlindungan hutan terkait dengan hukum atau peraturan-peraturan.

4.4.2. Konservasi Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Hutan

Hal yang dapat membedakan antara UUPK dan UUTK yang berkaitan
dengan perlindungan hutan yaitu dikaitkannya perlindungan hutan dengan
konservasi alam. Dua kegiatan ini bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya agar fungsi hutan lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi
tercapai secara optimal dan lestari.

Perlindungan hutan, dalam UUTK dikatakan sebagai usaha untuk:


a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama,
serta penyakit
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.

Berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam maka diperlukan adanya


pengertian konservasi secara komprehensif. Pada dasarnya konservasi adalah upaya
untuk menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Pengertian ini
antara lain memberikan konsekuensi ruang gerak :
a. ruang gerak konservasi tidak lagi dibatasi oleh pengertian areal kekuasaan
tetapi terletak pada kegiatan/upaya untuk mendapatkan kualitas lingkungan
dan keseimbangan ekosistem
b. ruang gerak konservasi tidak lagi terbatas pada kawasan konservasi tertentu
seperti suaka alam, taman nasional dan sebagianya tetapi akan berkiprah mulai
dari kawasan konservasi, kawasan budidaya, laut, dan hak milik. Yang penting
di sini adalah adanya upaya untuk menjaga kualitas lingkungan dan
keseimbangan ekosistem.
c. untuk mempertahankan pelestarian intangible benefit non hayati dan atau
bersama-sama dengan tangible benefit tidak bisa dipisahkan pelestarian
ekosistem satuan DAS. Pemanfaatan ekosistem harus dikaji pengaruhnya

61
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
terhadap ekosistem yang bersangkutan dalam satuan DAS dan pengelolaan
satwa liar yang bersifat migran.

Berdasarkan ruang gerak yang ada maka kegiatan konservasi yang perlu
dilaksanakan adalah:
1. Perlindungan terhadap kawasan penyangga kehidupan
2. Pengawetan keanekaragaman jenis satwa liar dan makhluk hidup lainnya
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dengan
cara antara lain:
a. Pemanfaatan jenis dan pembudidayaan jenis yang ada dalam kawsan suaka
alam.
b. Pemanfaatan kawasan pelestarian alam untuk pariwisata alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan budaya
c. Menjaga dan mencari bentuk kawasan budidaya (hutan produksi) dan
kawasan lainnya agar dapat disesuaikan dengan karakteristik ekosistem yang
bersangkutan
d. Pemanfaatan produk ekosistem hayati maupun non hayati dn tangible
maupun intangible benefit
4. Pemanfaatan secara lestari sumberddaya alam dilaksanakan dengan
memberdayakan masyarakat setempat yang bersifat kerakyatan
5. Kegiatan konservasi hendaknya dilakukan dengan sistem pengelolaan yang baru
yaitu sebagai pengelolaan bisnis konservasi sehingga pengadaan biaya
konservasi yang sangat mahal dapat terbantu.

Rangkuman

1. Pola pemanfaatan SDH termasuk lahan dan kawasannya harus dalam suatu
sinergitas antara aspek ekonomi, sosial, dan ekologi yang dilaksanakannya
melalui pendekatan "Community Based Management" yang mencerminkan
keberpihakan dan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat
dalam pengelolaan hutan.

2. Unsur-unsur sosial, ekologi dan ekonomi itu sendiri secara jelas dicantumkan
dalam P.37/Menhut-II/2007, pasal 2, ayat (1), yang mengatakan bahwa
“Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berazaskan (a) manfaat dan lestari
secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya”. Pada pelaksanaan di tingkat
lapang, unsur sosial diimplementasikan melalui sebuah penguatan
kelembagaan kelompok dan pengembangan jaringan berorganisasi beserta
bagian-bagian terkait di dalamnya; Unsur ekologi dijabarkan melalui
penerapan pola teknis konservasi di lahan dan unsur ekonomi diterapkan
melalui pengembangan-pengembangan unit ekonomi berbasiskan kegiatan
kelompok tani HKm.

62
IV. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi Hutan
3. Dalam menyesuaikan masalah ekonomi kehutanan seharusnya berdasarkan
tujuan dari ekonomi itu sendiri yaitu:
a. Menentukan keadaan yang memberikan penggunaan optimal atas tanah.
modal dan manajemen.
b. Menentukan sampai berapa jauh penggunaan sumberdaya/resources yang
ada akan menyimpang dari keadaan optimal.
c. Menganalisa pengaruh dan peranan pola produksi dan sumber daya yang
dipergunakan.
d. Menjelaskan cara dan metode dalam membawa keadaan yang ada ke arah
optimal.

4. Hal yang dapat membedakan antara UUPK dan UUTK yang berkaitan dengan
perlindungan hutan yaitu dikaitkannya perlindungan hutan dengan konservasi
alam. Dua kegiatan ini bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya agar fungsi hutan lindung, fungsi konservasi dan fungsi
produksi tercapai secara optimal dan lestari.

Latihan

1. Mengapa dalam melaksanakan pembangunan hutan di Indonesia harus


mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi?
2. Adakah contoh selain pengembangan skema HKm dalam pembangunan
kehutanan yang memperhatikan aspek sosial? Jika ada, berikan penjelasan
secara singkat.

Pustaka

Cahyaningsih, N. 2010. Implementasi Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di


Kabupaten Lampung Barat. Program Magister Ilmu Pemerintahan
Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Universitas Lampung. Tidak dipublikasikan.

Ditjend Kehutanan Departemen Pertanian. 1980. Undang Undang Pokok


Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang Republik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan
Kehutanan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.

Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta.


Jakarta

63
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Sharma, N.P. 1992. Managing the World’s Forests. Looking for Balance
Between Conservation and Development. Kendall/Hunt Publishing
Company. Iowa.

Wulandari, C. 2008. Kebijaksanaan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

64
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan


Hasil Hutan Bukan Kayu

Deskripsi Perkuliahan

Selain jasa lingkungan, hasil hutan yang dapat dimanfaatkan dapat berupa
hasil hutan kayu (HHK) dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Selama ini hasil
hutan kayu yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak seperti
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sedangkan hasil hutan bukan kayu kurang
mendapatkan perhatian walaupun sebenarnya HHBK banyak memberikan
sumbangan bagi devisa negara. Adapun HHBK yang saat ini sudah ada dan sangat
membantu dalam roda perekonomian Indonesia, misal rotan dan damar mata
kucing dari Krui, Lampung Barat. Pada bab V ini dijabarkan tentang berbagai hal
yang berkaitan dangan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu termasuk jasa
ekosistem maupun jasa lingkungan.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa dapat memaparkan pengelolaan HHK dan HHBK ditinjau dari


UUD 1945, UUPK, dan UUTK.
2. Mahasiswa mengerti dan mampu menjelaskan serta mengevaluasi kebijakan
pengelolaan hasil hutan kayu (HHK) berkaitan dengan pemegang izin pemanfa-
atan, provisi/IHH, pihak-pihak yang dapat memanfaatkan HHK, dan teknik-
teknik pemanenan HHK yang ramah lingkungan. Demikian pula dengan
HHBK.
3. Mahasiswa mampu membedakan, menjelaskan dan mengevaluasi bentuk-
bentuk pemanfaatan hutan, pemanfaatan HHK dan HHBK di hutan produksi
dan hutan alam; jenis-jenis hutan yang dapat dimanfaatkan dan dipungut hasil
hutan kayunya.

5.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan HHK

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional


dalam pemanfaatan hutan. Ditegaskan dalam ayat (3) bahwa bumi dan air dan

65
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam UU 41/1999 pasal 2 dikemukakan bahwa penyelenggaraan kehutanan
berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan
dan keterpaduan. Selanjutnya pada pasal 4 ditegaskan bahwa semua hutan di
dalam wilayah Republik Indonesia temasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penegasan lebih lanjut mengenai pemanfaatan hutan tersurat dalam Bab V, bagian
Ketiga UU No. 41/1999 Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang akan menjiwai
seluruh peraturan perundangan di bawahnya hanya mencantumkan ketentuan
mengenai penguasaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sebesr-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Dalam pasal tersebut belum mencantumkan mengenai aspek-
aspek kelestarian dan konservasi sumberdaya alam (Cribb, 1988). Aspek
pemanfaatan dan konservasi mempunyai nilai yang sama pentingnya dalam
pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya alam harus dimanfatkan secara
bijaksana dengan memperhatikan aspek konsevasi: Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memeprhatikan segi-segi
kelestarian dan konservasi sumberdaya alam.
Kata pemanfaatan dalam UU No. 41/1999 mempunyai makna yang sama
dengan kata pengusahaan dalam UU No. 5/1967. Pasal 33 (1) UU No. 41/1999
menyebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan mencakup kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan, dan pemasaran hasil.
Lingkup kegiatan yang sama dapat kita temukan dalam Bab IV, Pasal 13 ayat (2)
UU No. 5/1967. Namun pemanfaatan dalam UU No. 41/1999 mempunyai lingkup
yang lebih luas, mencakup pemanfaatan kawsan hutan dan hasil hutan.
Disamping kata pemanfaatan, dalam UU no. 41/1999 juga disebutkan tentang
pemungutan hasil hutan. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik
Indonesia No. 41/1999 Pasal 28 (1) disebutkan bahwa kegiatan pemungutan
meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, penglolahan, dan pemasaran. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan mempunyai makna yang lebih luas dari
pada pemungutan. Apabila dikaji lebih lanjut, kegiatan pemungutan cenderung
hanya dilaksanaka di kawasan hutan alam atau di kawasan yang dikelola dengan
sistem permudaan alam, dengan tidak adanya penjelasan mengenai penanaman.
Sedangkan kata pemanfaatan cenderung dipakai untuk areal hutan Tanaman atau di
hutan alam dengan disertai kegitan penanaman.

5.1.1. Sejarah Pengelolaan HHK

Konsep kebijakan dalam pemanfatan kayu setelah kemerdekaan dan orde


baru dapat dikatakan belum sepenuhnya terlepas dari konsep-konsep yang
66
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

dikembangkan dalam masa penjajahan. Berikut akan disajikan kebijakan


pemanfaatan kayu dalam peraturan perundangan di masa penjajahan.
Reglement 1865
Reglement 1865 merupakan peraturan perundangan pertama yang disusun
untuk pengelolaan hutan di Indonesia, khususnya untuk hutan jati di Jawa.
Penyusunan peraturan tersebut membutuhkan jangka waktu yang cukup panjang,
rancangan diajukan pada tanggal 10 Agustus 1960 dan setelah melewati perdebatan
yang panjang dan seru baru disyahkan pada tanggal 10 September 1865
(Departemen Kehutanan 1986).
Dalam peraturan tersebut dicantumkan bahwa pemanfaatan (eksploitasi)
dilaksanakan oleh perusahaan swasta dengan ketentuan:
 Kayu dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dengan membayar retribusi setiap
tahun yang dihitung berdasrkan nilai kayu dalam presil tebangan dan menurut
lamanya konsesi. Penunjukan perusahaan yang akan memanfaatkan kayu
dilakukan melewati tender terbuka.
 Kayu diserahkan kepada pemerintah, perusahaan akan mendapatkan pengganti
biaya penebangan dan pengangkutan.

Reglement 1874
Nemnich, salah seorang ahli Kehutanan dan Nassau, Jerman yang dikirim
pertama kali ke Jawa, menulis bahwa dalam Reglement 1874 seluruh hutan di
Pulau Jawa dan Madura, kecuali kawasan hutan di wilayah kesultanan dan kawasan
yang didapatkan dari proses jual beli atau cara lain, merupakan milik negara.
Masyarakat lokal mendapatkan hak untuk memanfaatkan kayu untuk memenuhi
kebutuhan sendiri setelah mengajukan permohonan tertulis dan membayar retribusi
yang sangat ringan (Nemnich, 1896).
Von Hertling (1879) memberitahukan bahwa kegiatan penebangan di hutan
Jati diserahkan kepada pihak swasta, sedangkan Jawatan Kehutanan menangani
pekerjaan taksasi tegakan, permudaan, dan pemeliharaan tegakan.
Seibt (1990) mengemukakan bahwa dalam Reglement 1874 eksploitasi hutan
jati oleh pihak swasta masih tetap diprtahankan. Ketentuan-ketentuan mengenai
eksploitasi dalam Reglement 1874 masih sama dengan Reglement 1865. untuk
tujuan tertentu dapat diminta surat ijin penebangan/penyaradan kayu dalam jumlah
yang terbatas yang dikeluarkan oleh Direktur Pemerintah Dalam Negeri.

Reglement 1897
Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa kegiatan eksploitasi dilaksanakan oleh
kontraktor swasta (aannemer). Penunjukan kontraktor dilaksanakan melalui tender.
Bila dipandang sangat penting oleh Gubernur Jendral, demi kepentingan Negara,
penunjukan kontraktor dilakukan dibawah tangan. Ketentuan menyangkut
pemanfaatan kayu sama dengan ketentuan-ketentuan dalam Reglement 1865 dan

67
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
1874. Untuk tujuan tertentu dapat diminta surat izin penebangan/penyaradan kayu
dalam jumlah terbatas.

Reglement 1913
Dalam Reglement 1913 disebutkan bahwa kegitan eksploitasi dapat
dilakukan oleh kontraktor dan swakelola oleh pemerintah. Eksploitasi diserahkan
kepada kontraktor melewati sistem lelang secara terbuka. Pemanfaatan kayu lebih
diprioritaskan ke dalam bentuk penyerahan kayu kepada pemerintah.
Masyarakat dapat mendapatkan izin pemungutan kayu bakar, kayu untuk alat
pertanian, jermal dan pagar secara cuma-cuma atau dengan memayar retribusi yang
ringan. Izin diberikan oleh Kepala Pemerintahan Daerah dengan syarat dan
pembatasan tertentu. Rakyat diizinkan pula untuk memungut limbah tebangan
seusai kegiatan eksploitasi. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri masyarakat
diperkenankan untuk melakukan penebangan di hutan rimba setelah mengajukan
permohonan. Di hutan rimba yang tidak dieksploitasi, rakyat boleh tanpa izin
memungut kayu mati yang terletak di tanah untuk kayu perkakas, kayu bakar,
jermal dan pagar. Dalam peraturan ini belum dicntumkan mengenai ketentuan
mengenai sanksi pidana atas kejahatan dan pelanggaran.

Ordonansi 1927
Ordonansi hutan Jawa dan Madura 1972 masih berlaku setelah kemerdekaan
dan baru dinyatakan tidak berlaku dengan disyahkannya UU No. 41/1999. Dalam
proses pengesahannya Ordonansi 1927 ini memiliki kemiripan dengan proses
pengesahan UU No. 41/1999. Peraturan Tata Negara Hindia Belanda hukum
Bumiputra menyebutkan bahwa mulai tanggal 10 Mei 1927 Dewan Rakyat
(Volksraad) harus diikutsertakan dalam pengesahan seluruh produk perundangan.
Tidak ada waktu lagi untuk membahas rancangan undang-undang secara detail,
dengan tergesa-gesa Pemerintah meloloskan beberapa peraturan perundangan,
antara lain Peraturan tentang Penatikan Retribusi dari Penebangan Kayu dan
Ordonanasi Hutan Jawa dan Madura (Departemen Kehutanan, 1986). Ordonansi
1927 ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari Reglement 1913, ketntuan-
ketentuan tentang cara eksploitasi hutan tidak dicantumkan tetapi di dalamnya telah
dicantumkan mengnai ketentuan Pidanan. Ordonansi Hutan Jawa dan Madura
1927 ini mengalami beberapa revisi beberapa kali (tahun 1932, 1935, 1937, 1939)
dan selanjutnya dipakai secara acuan dalam penyusunan UU No. 5/1967.
Sampai masa kemerdekaan perundangan untuk areal hutan di luar Jawa
belum ada. Penyusunan draft peraturan perundangan untuk areal hutan di luar
Jawa sebenarnya telah dimulai sejak 1923 namun pada akhirnya sampaipemerintah
kolonial harus meninggalkan Indonesia perundangan untuk kawasan hutan di luar
Jawa belum dapat ditetapkan. Salah satu sebab utama gagalnya pembentukan
perundangan tersebut adalah pada pokok materi hak atas penghasilan dari hutan
dan pembagian penghasilan dari pengusahaan hutan. Pihak Pemerintah Pusat
(Direktur Pemerintah Dalam Negeri) berpendapat bahwa Negara adalah "pemilik
68
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

Agung" dari hutan dan berhak menarik retribusi yang hasilnya sebagaian akan
diserahkan kepada masyarakat Bumiputra (Pemerintah Daerah). Direktur
Pemerintahan Dalam Negeri mengajukan pembagian fifty-fifty dari hasil bruto,
sedangkan Jawatan Kehutanan (Boschwesen) mengusulkan fifty-fifty dari hasil
netto. Usulan tersebut ditolak oleh pihak Bumiputra. Pihak Bumiputra
menginginkan seluruh penghasilan masuk ke kas daerah. Jalan tengah telah dicoba
diusulkan, yaitu dengan penyerahkan seluruh penghasilan kepada masyarakat
hukum Bumiputra dan setelah itu Gubernur jendral akan menetapkan bagian yang
harus disetor ke kas negara (Pemerintah Pusat). Perubahan tersebut disetujui,
namun tidak pernah diundangkan (Departemen Kehutanan, 1986).
Dalam draft undang-undang untuk kawasan hutan luar Jawa disebutkan
bahwa tujuan utama pengaturan hutan di luar Jawa adalah untuk mencapai manfaat
(keuntungan) yang sebesar-besarnya dari hutan dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat lokal. Lisensi atau izin untuk penebangan/pemungutan
kayu jangka pendek dapat diterbitkan, tetapi secara umum kontrak pemungutan
kayu jangka panjang lebih diutamakan. Kepala Pemerintahan Daerah dapat
menetapkan pembatasan-pembatasan dalam penerbitan lisensi penebangan dan
menarik retribusi ats hasil hutan; sebagaimana hasil retribusi diserahkan kepada
masyarakatadat. Penduduk asli tidak dikenai retribusi penebangan kayu dan
pemungutan hasil hutan lainnya sepanjang untuk memenuhi kepentingan sendiri
(potter, 1988).

5.1.2. Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

a. Pemanfaatan ramah lingkungan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 41/1999 pemanfaatan dan


pemungutan hasil hutan kayu hanya dapat dilaksanakan di kawasan hutan produksi.
Saat ini untuk hutan produksi ada 3 kategori: hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas dan hutan produksi konversi. Klasifikasi hutan berdasarkan fungsinya saat
ini belum sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU No. 41/1999, dalam UU
No. 41/1999 hanya dikenal hutan produksi saja.
Luas kawasan hutan produksi tetap (hutan produksi dan hutan produksi
terbatas) di Indonesia (kecuali P. Jawa) sekitar 62 juta hektar dan 31,4 juta ha
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Dari luasan hutan produksi tetap
tersebut hanya sekitar 80 % yang berhutan. Poensi seluruh jenis dengan diameter
20 cm up di kawasan hutan produksi (hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas
dan hutan produksi konversi) sebanyak 8,5 milyar m3. Potensi seluruh jenis
dengan diameter 50 cm up berkisar 4,5 milyar m3, sekitar 45 % merupakan jenis
niagawi (Dirjen INTAG, 1996). Sebagian besar (sekitar 65 %) areal hutan alam
yang ada merupakan areal bekas tebangan, hutan alam primer yang tersisa pada
umumnya di lokasi yang sulit dijangkau. Secara teoritis potensi hutan produksi

69
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
masih mampu untuk mensuplay kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu,
saat ini sebesar sekitar 58 juta m3/tahun. Kebutuhan tersebut belum termasuk
kebutuhan masyarakat. Disisi lain diperlukan adanya perbaikan dalam teknik
pemanenan. Tinambunan (1990) mengemukakan bahwa setelah lebih dari 20 tahun
pelaksanaan kegiatan eksploitasi hutan berskala besar di luar Jawa terjadi beberapa
perubahan baik pada kondisi hutan maupun pada biaya-biaya eksploitasi, tetapi
teknik eksploitasi yang diterapkan tidak ada perubahan. Teknik konvensional tetap
diterapkan tanpa adanya penyesuaian dengan konsidi dan tuntunan-tuntunan yang
berkembang di masyarakat.
Penerapan teknik pemanenan konvensional dalam pemanfaatan kayu yang
ditandai antara lain dengan adanya intensitas tebangan yang tinggi, kurangnya
perencanaan atau bahkan tanpa perencanaan mengakibatkan dampak negatif yang
cukup besar baik pada tegakan tinggal maupun pada tanah hutan. Hamilton (1991)
menegaskan bahwa teknik pemanenan yang diterapkan di hutan tropis pada
umumnya tidak ramah lingkungan. Kerusakan pada tegakan tinggal dapat
mencapai 40 - 55 % (lihat Abdulhadi et al., 1981; Abdulhadi et al., 1987; Thalib,
1985; Sist, 1994; Bertault & Sist, 1995; Elias, 1995). Kerusakan pada tanah hutan
yang diperhitungkan di areal yang cterbuka akibat kegiatan pemanenan dapat
mencapai sekitar 20 - 30 % dari areal tebangan (lihat Abdulhadi et al., 1981;
Ahrenholz, 1991; Bertault & Sist, 1995). Kerusakan yang besar tersebut dapat
mengancam kelestarian hutan dan lingkungan.
Teknik pemanenan yang ramah lingkungan, yang dikenal dengan istilah
controlled logging, enviromentally sound harvesting system, low-impact logging,
reduced impact logging, harus segera ditetapkan. Hasil-hasil penelitian mengenai
penerapan teknik penebangan ramah lingkungan menunjukkan bahwa kerusakan
dapat ditekan menjadi sekitar 50 % dari kerusakan yang ditimbulkan oleh teknik
penebangan konvensional (lihat Hendrison, 1990; Bertault & Sist, 1995; Marsh et
al., 1996; Supriyanto & Becker, 1998; Suptoyanto, 1999).
Kerusakan atau gangguan terhadap lingkungan merupakan resiko dalam
kegiatan pemanenan yang tidak dapat dihindari sepenuhnya. Perhatian terhadap
aspek-aspek konservasi dan kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan dalam
kegiatan pemanenan di hutan produksi. Hal ini juga merupakan point penilaian
dalam proses sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Ketentuan dalam pasal 33 ayat
(2) UU No. 41/1999 perlu ditambah dengan aspek konservasi dan kelestarian
lingkungan dan usaha untuk memanfaatkan kayu secara optimal, menjadi:
Pemanenan dan pengelolaan hasil hutan sebagai mana dimaksud pada ayat (1)
harus dilaksanakan dengan meminimalkan kerusakan terhadap hutan dan
lingkungan, meminimalkan limbah dan tidak boleh melebihi daya dukung hutan
secara lestari.

b. Optimalisasi Pemanfaatan Kayu

Limbah tebangan dan pemanfaatan hutan alasm produksi sampai saat ini
masih sangat tinggi. Limbah tebangan dalam bentuk batang bebas cabang yang
70
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

ditinggal di areal tebangan sekitar 22% dari volume yang ditebang atau 28% dari
volume yang dimanfaatkan. volume limbah akan semakin bertambah setelah
pengangkutan kayu sampai ke logpond, sehingga limbah dapat mencapai 30 - 35%
dari volume yang dimanfaatkan (Supriyanto, 1999).

Hasil penelitian Simarmata dan Sastrodimedjo (1980) dari laporan Direktorat


Pengusahaan Hutan 9dalam Sumantri et al., 1982) dan Soetarjo (1982)
menunjukkan bahwa besarnya limbah tebangan berkisar antara 5 - 45% dari
volume kayu yang diambil. Limbah tebangan bahkan dapat mencapai 100% dari
kayu yang ditebang apabila pohon yang rusak akibat penebangan diperhitungkan
(radke, 1990). Tingginya limbah tegakan merupakan masalah nasional
(Soedarsono, 1997), yang sampai saat ini belum mendapatkan jalan keluar yang
tepat.
Pemanfaatan limbah tebangan pada umumnya tidak ekonomis mengingat
besarnya biaya pemanfaatan dan rendahnya nilai produk. Disamping hal tersebut,
sementara ini banyak perusahaan hanya mengambil bagian-bagian kayu yang
terbaik, mudah dan menguntungkan, memanfaatkan limbah hanya akan menambah
beban pekerjaan.
Pemanfaatan limbah dapat dilaksanakan oleh koperasi sebagai mitra kerja
dari BUMN, BUMD atau BUMS, sebagaimana tersurat dalam Pasal 30.
Pemanfaatan limbah oleh koperasi masyarkat setempat akan menimbulkan
beberapa dampak positif, antara lain peningkatan produktifitas hutan dan
penciptaan lapangan kerja. Hasil pemanfaatan limbah dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan kayu lokal. Dengan penerapan teknologi tepatguna dalam
pemanfaatan limbah memungkinkan untuk menekan biaya produksi. Biaya
transportasi dapat ditekan dengan mengolah limbah langsung di lokasi tebangan
dengan memanfaatkan mesin-mesin portable. Adanya peraturan lebih lanjut
mengenai pemanfaatan limbah dan kemudahan dalam prosedurnya akan sangat
mendukung pelaksanaan di lapangan.

c. Pembatasan Penerbitan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu

Izin pemungutan hasil hutan kayu sebagaimana tercantum dalam Pasal 29


ayat (5), perorngan dan koperasi juga berhak untuk mendapatkan izin pemanfaatan
hasil hutan kayu. Apabila dikaji lebih lanjut, perorangan dan koperasi akan lebih
senang memegang izin pemungutan kayu dari pada izin pemanfaatan kayu,
mengingat kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan pemegang izin
pemanfaatan lebih besar dari pada pemegang izin pemungutan. Ketentuan dalam
Pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja.
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) setiap pemegang izin
pemanfaatan hutan diwajibkan untuk menyediakan dana investasi untuk biaya

71
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
pelestarian hutan. Sedangkan untuk pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya
dikenakan provisi saja (Pasal 35 ayat (3)).
Sasaran pemberian izin pemungutan hasil hutan sebenarnya adalah
masyarakat yang tidak memiliki hutan hak, tidak termasuk dalam masyarakat adat
yang memiliki kawasan hutan ulayat dan hasil hutan (kayu) dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri, untuk pembangunan fasilitas umum secara swadaya
(gotong royong) dan tidak untuk tujuan komersil atau diperdagangkan. Tetapi
apabila ditinjau dalam penjelasan Pasa 28 ayat (1) lingkup kegiatan pemungutan
hasil hutan kayu berhak pula untuk memasarkan kayu yang dipungutnya. Dua
macam izin tersebut (pemanfaatan pemungutan hasil hutan kayu) tidak memiliki
sasaran yang berbeda.
Pengkajian tentang izin pemungutan hasil hutan kayu harus dilaksanakan
secaralebih cermat mengingat beberapa kesulitan yang akan timbul, antara lain
kesulitan dalam pengaturan pengelolaan, kesulitan dalam pengawasan baik dalam
proses pemungutan dan peredaran kayu.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak Hak Pengusahaan hutan
(HPH) yang membantu masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan bahkan
masyarakat yang jauh dari hutan (kota) dalam pengadaan kayu baik untuk
kepentingan sendiri maupun untuk pembuatan bangunan untuk kepentingan umum.
Pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu akan lebih cocok apabila
diterapkan untuk jenis kayu tertentu yang dibutuhkan oleh masyarkat, yaitu kayu
ulin (Eusiderroxylon zwageri). Dengan adanya pembatasan jenis memungkinkan
dilaksanakan pengaturan dan pengawasan secara lebih baik, namun usaha-usaha
pelestarian harus tetap dilaksanakan.

d. Pembagian Penghasilan dari Pemanfaatan Kayu

Mengacu pada Pasal 35 UU No. 41/1999 pemasukan kepada pemerintah dari


pemanfaatan kayu akan mencakup iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan
dana jaminan kinerja (performance bond). Selain hal tersebut pemegang izin usaha
pemanfaatan kayu juga diwajibkan menyediakan dana investasi untuk biaya
pelestarian hutan. Secara teoritis dan reboisasi akan dikembalikan ke hutan untuk
pembiayaan kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas dan produktifitas hutan. Dana
jaminan kinerja akan kembali kepada pemegang izin usaha, apabila pemegang izin
memenuhi kinerja yang dipersyaratkan. Dana investasi untuk biaya pelestarian
hutan dikelola oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang
kehutanan bersama Menteri Kehutana untuk membiayai segala jenis kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin kelestarian hutan (konsevasi, perlindungan hutan,
penanganan kebakaran dll.) Pemasukan kepada pemerintah dari kegiatan
pemungutan kayu hanya berupa provisi saja, yang merupakan pengganti dari nilai
intrinsik dari hasil hutan (kayu) yang dipungut. Kepada pemegang izin
pemungutan hasil hutan tidak diwajibkan untuk membayar iuran izin usaha, dana
reboisasi dan dana jaminan kinerja. Dalam penjelasan Pasal 35 disebutkan bahwa
dan reboisasi dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dari hutan
72
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi lahan. Semakin
banyak pemerintah mengeluarkan izin pemungutan kayu, akan semakin kecil
penerimaan yang diterima pemerintah.
Terkait dengan akan diterapkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, pembagian penghasilan antara pusat dan daerah harus dikaji
secara mendalam. Pembagian harus dilaksanakan seadil-adilnya secara transparan.
Pembagian tidak hanya menentukan berapa besar atau proporsi pemerintah pusat
dan daerah, namun harus ditentukan pula kewajiban-kewajiban atau pekerjaan-
pekerjaan apa saja yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah.
Secara umum terdapat enam bentuk pemanfaatan hutan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 25 ayat 91) dan 28 ayat (1), yaitu:
 Pemanfaatan kawasan
 Pemanfaatan jasa lingkungan
 Pemanfaatan hasil hutan kayu
 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
 Pemungutan hasil hutan kayu
 Pemungutan hasil hutan non kayu

Bentuk pemanfaatan kawasan hutan dibedakan berdasarkan fungsi hutannya.


Bentuk pemanfaatan kawasan hutan lindung dan hutan produksi dijelaskan secara
detil, namun bentuk pemanfaatan pada areal hutan konversi dalam UU No. 41/1999
tidak ada penjelasan.
Perbedaan prinsip dalam bentuk pemanfaatan di hutan lindung dan di hutan
produksi adalah tidak adnya pemanfaatan dalam hutan lindung hanya mencakup
pemanfaatan kawasan , jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan non kayu.

5.1.3. Pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Pihak-pihak yang dapat memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan dalam
UU No. 41/1999 tercantum dalam pasal 27, 29, 36, 37 dan 38. Sesuai ketentuan
dalam pasal 27 dan 29 pemanfaatan kawasan dan hasil hutan di kawasan hutan
lindung dan produksi dilaksanakan oleh;
 Perorangan
 Koperasi
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
 Masyarakat adat
 Pemilik pada hutan hak
 Sektor-sektor non kehutanan (Pertambangan dll.)

Perorangan dan koperasi mempunyai kesempatan yang besar untuk berperan


serta dalam pemanfaatan hutan. Perorangan dan koperasi dapat mendapatkan izin

73
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
untuk segala bentuk pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan baik di kawasan
hutan lindung maupun di kawasan hutan produksi. namun apabila dikaji lebih
lanjut, sesuai dengan penjelasan Pasal 30 UU No. 41/1999, koperasi mendapatkan
prioritas yang lebih tinggi dari pada pihak lain dalam memanfaatkan kawasan hutan
dan hasil hutan. BUMN dan BUMD serta BUMS yang mendapatkan izin
pemanfaatan hasil hutan diwajibkan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarkat
lokal.

5.2. Pemanfaatan dan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu

Hutan merupakan salah atu modal dasar dalam pembangunan nasional


memerlukan pendaygunaan yang optimal. Dalam penyelanggaraan pembangunan
pengusahaan hutan produksi diperlukan beberapa pendekatan baru, salah satu
diantaranya aalah pembangunan yang bertumpu pada sumber daya alam yaitu
memanfaatkan sumber daya hutan secara optimal. Pendekatan ini sangat tepat
khususnya bagi Indonesia karena dengan memanfaatkan sumberdaya hutan
berartiakan menekankan sekecil mungkin ketergantungan bahan-bahan impor.
Apalagi saat ini bahan-bahan impor sangat mahal bagi Indonesia yang sedang
dilanda krisis ekonomi.
Pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan salah satu aspek kebijakan,
strategi dan upaya pengembangan pengelolaan dan pemasaran hasil-hasil hutan.
Diantaranya adalah peningkatan peranan hasil hutan kayu, peningkatan
diversifikasi pemanfaatan hasil hutan dan pengembangan sumber dan pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu.
Sumberdaya hutan mempunyai banyak potensi diantaranya adalah: seperti
kayu bakar (fire wood), arang (charcoal), kayu (timber), damar (resin), gum, lateks,
minyak atsiri, bahan penyamak kulit (tannin), dan zat warna alam. Potensinya
yang bermacam-macam tersebut kemudian digunakan didalam industri-industri
mebel, bangunan, kerajinan, plywood, kerat, cat, tinta, karet, pestisida, obat, tekstil,
batik, dan kulit.
Hasil hutan buka kayu yang dapat dimanfaatkan untuk industri kulit adalah
berupa zat penyamak (vegetable tannin) dan zat warna alam (natural dyes). Zat
penyamak dan zat warna alam terdapat pada bagian-bagian tumbuhan seperti kulit
kayu, kayu, buah, biji, dan daun. Zat penyamak kulit yang banyak dipakai berasal
dari kulit kayu, karena pada bagian tersebut kandungan taninya cukup tinggi. Kulit
kayu akasia (Acacia mearnsii De Willd) adalah yang sering digunakan dalan
industri penyamakan kulit di indonesia yang dikenal dengan ekstrak mimosa.
Umumnya dalam aplikasinya masih mencakup kebutuhannya digunakan ekstrak
mimosa bentuk power ekstrak quebracho yang keduanya merupakan produk impor.
Kulit kayu dalam oengelolaan hasil hutan sebetulnya merupakan produk affal
di dalam industri perkayuan, namun dapat dimanfaatkan untuk dipakai sebagai zat
penyamak kulit bahan dapat pula dimanfaatkan sebagai zat pewarna untuk kulit.
Disisi lain, berkaitan denga hasil hutan non kayu berupa tumbuhan berguna,
dilaporkan oleh Heyne (1927) dalam Pramono (1999) bahwa 3 - 500 jenis
74
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

tumbuhan berguna yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan berbagai


kegunaan seperti bahan baku kerajinan industri dan bangunan, alat rumah tangga ,
pakan ternak, minuman taradisional, kosmetik, bumbu dapur, sumber minyak atsiri
dan obat-obatan. Diantara berbagai kegunaan tersebut, di luar kayu, manfaatnya
sebagai sumber obat-obatan paling menarik perhatian karena selainmenjadi incaran
pihak luar negeri, eksplorasi yang berlangsung terus menerus oleh perusahaan obat
tradisional memberikan tantangan serius terhadap tuntunan konservasinya.

5.2.1. Lingkup Hasil Hutan Bukan Kayu

Dari berbagai sumber daya yang ada, gambaran umum klasifikasi hasil hutan
bukan kayu dapat diberikan sebagai berikut:
1. Kelompok aneka tumbuhan berkekuatan (monokitil) misalnya: rotan, bambu,
gelugu, sagu, nipah dan sebagainya.
2. Kelompok aneka minyak-minyakan, ada dua macam.
a. Minyak Atsiri misalnya minyak kayu putih, minyak Eucalyptus, minyak
cendana, minyak kenanga, dan ylang-ylang, minyak lawang, minyak akar
wangi, minyak serah, dan sebagainya.
b. Minyak Lemak misalnya minyak tengkawang, minyak jarak, miyak kemiri
dan sebagainya
3. Kelompok aneka getah-getahan ada tiga macam
a. Getah Resin misalnya Gondorukem, Kopal, damar, kemenyan, jernan, dan
sebagainya
b. Getah Karet misalnya jelutung, hangkang, ketiau, perca, karet dan
sebagainya
c. Gom (perekat alami) misalnya bendo
4. Kelompok aneka Ekstraks Lain ada tiga macam
a. Bahan penyamak misalnya Tanir, Gambir, dan sebagainya
b. Bahan pewarna misalnya soga
c. Alkaloid misalnya kina
5. Kelompok Produk hasil budidaya misalnya lak, sutera alam, madu, dan
sebaginya.
6. Kelompok Minor hasil Hutan Bukan Kayu
Yaitu semua produk hasil hutan non kayu yang ditinjau dari potensi dan
nilainya belum cukup informasi seperti: empon-empon dan aneka produk
umbi-umbian lagi, sarang burung walet, hewn dan serangga lain, tumbuhan
obat-obatan lain, budidaya jamur, produk dari rumput-rumputan, aneka buah-
buahan dan sebagainya ) (Kasmudjo, 1982: Anonim, 1976; Heyne, 1987)

Dari macam macam produk hasil hutan bukan kayu tersebut di atas sudah
memberikan peran nyata dilihat dari potensi dan nilainya(pendapatan) yang
diperoleh, misalnya : minyak kayu putih, gondorukem dan minyak terpentin, rotan,

75
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
lak, sutera alam, kemudian kopal, tengkawang, jelutung, madu, bambu dan
mungkin jamur, minyak lawang aneka tumbuhan obat dan sebagainya.

5.2.2. Kebijakan Jasa Lingkungan atau Jasa Ekosistem

Pemerintah Indonesia telah mengatur mengenai Jasa Lingkungan Hutan


mulai dari Undang-undang (UU No. 41 Th. 1999, UU No 5 Th 1990 dan Peraturan
Pemerintah (PP No. 68 Th. 1998 dan PP No. 34 Th. 2002 yang kemudian direvisi
menjadi PP no 6 tahun 2007 dan terakhir direvisi sebagai PP no 3 tahun 2008).
Akan tetapi, peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang ada saat ini
kurang memadai untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan hutan secara
optimal. Hal ini beralasan karena undang-undang dan PP tersebut belum secara
khusus untuk pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan tetapi
hanya mengatur secara prinsipnya saja sehingga belum bisa jadi pedoman dalam
pelaksanaan di lapangan.
Sesuai dengan azas keterpaduan, adanya PP tersendiri yang mengatur Jasa
Lingkungan Hutan haruslah bersifat holistik, mencakup semua fungsi kawasan
hutan (yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan kawasan konservasi) dan juga
berlaku untuk lahan non hutan. Artinya, kebijakan di beberapa kegiatan pada sector
pertanian (Agroforestry, silvopasteur, silvofishery) harus dipahami secara sama
oleh segenap para pemangku kepentingan. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
mulai dari hulu sampai hilir. Sedangkan pada hutan hak dan lahan milik, termasuk
sektor pertanian, PP hendaknya mengatur kriteria, standar, pedoman dan pemberian
insentif (fasilitas). Jika inisiatif lokal menginginkan untuk bergerak lebih cepat,
seyogyanya dipayungi oleh Peraturan Daerah dengan tetap memperhatikan payung-
payung peraturan diatasnya. Oleh karena itu, PP yang cukup komprehensif
sekaligus fleksibel sehingga dapat segera diimplementasikan.

5.2.2. Ancaman Kepunahan dan Kendala Pengembangan Pengelolaan Hasil


Hutan Bukan Kayu

5.2.3.1. Ancaman Kepunahan Obat dari Hutan

a. Penebangan hutan secara liar

Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa sebagian besar tumbuhan obat masih


diambil dari tumbuhan liar yang ada di hutan. Penebangan hutan dimana populasi
tumbuhan obat cukup tinggi, tanpa memberikan alternatif bagi berbagai jenis
tumbuhan obat tersebut untuk dapat hidup, akan memacu terjadinya erosi plasma
nutfah dan kepunahan obat tersebut. Oleh sebab itu pengelolaan hutan jangan
dilihat dari kepentingan industri kayu hutan tanpa memperhatikan potensi
tumbuhan obat yang ada, terutama yang sudah masuk dalam kategori langka. Buku
IUCN Plant Red Data Book banyak digunakan untuk menentukan kategori
kelangkaan suatu tumbuhan. Rifai, dkk (1992) melaporkan 5 macam kategori
76
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

kelangkaan tumbuhan obat di Indonesia. Berdasarkan sistem dan kriteria yang


dikembangkan dari buku tersebut yaitu punah (Extinct), genting (Indangered),
rawan (Vulnerable), jarang (rare) dan terkikis (Indetermined). Jenis tumbuhan obat
yang mengalami kategori punah yaitu yang dianggap telah musnah dan hilang sama
sekali dari permukaan bumi tidak ada, kategori genting yaitu yang terancam punah
tanpa perlindungan yang ketat yaitu purwoceng (Pimpinella penatjan) Contoh
kategori rawan yaitu yang berjumlah sedikit dan eksploitasi terus menerus adalah
Ki Koneng (Arcanngelisia flava), sedangkan Pule Pandak (Rouwolfia serpentiva)
dan Pulai (Alstonia scholaris) termasuk dalam kategori jarang yaitu yang
populasinya besar tetapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas,
tetapi tidak sering dijumpai serta mengalai erosi berat. Kategori terakhir, terkikis
meliputi sebutan untuk jenis yang jelas mengalai proses kelangkaan, tetapi keadaan
informasi keadaan yang sebenarnya belum mencukupi untuk memanfaatkannya
secara pasti dalam salah satu kategori di atas. Banyak tumbuhan obat. Indonesia
yang tumbuh liar dan mulai jarang terlihat harus digolongkan dalam kategori ini
seperti misalnya Kedawung (Parkia roxburghii).

b. Eksploitasi oleh industri obat tradisional

Perkembangan yang pesat industri obat tradisional Indonesia menimbulkan


dampak serius pada proses pelangkaan tumbuhan obat yang akan dibudidayakan
dan masih diambil dari tumbuhan liar di hutan. Produksi tumbuhan obat tradisional
pada tahun 1990 adalah 4.013 ton, meningkat menjadi 7.913 ton, pada tahun 1994
dan meningkat lebih besar lagi pada tahun-tahun terakhir disebabkan oleh
berpalingnya masyarakat ke obat alternatif karena mahalnya harga obat sintetis
yang sebagian besar masih import. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan sebenarnya telah memberikan kebijakan tepat
untuk industri obat tradisional yaitu dengan diwajibkannya mempunyai kebun
sendiri untuk kultivasi tanaman obat langka yang digunakan dalam produksinya.
Namun demikian implemen tasi kebijakan ini belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan.
 Paradigma baru dalam eksplorasi sumber daya alam untuk penemuan obat baru
Teknik Higt Troughput Screening (HTS) merupakan perkembangan baru dari
tetode pencarian obat baru yang didasarkan pada interaksi antara protein
target/reseptor dengan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan.
HTS merupakan metode dengan sistenm robotik yang mampu melakukan
screening sebanyak 50 ribu ekstrak setiap hari (Marzuki dan Jenie, 1996). Hal
ini berarti seluruh tumbuhan yang ada di hutan tropis Indonesia hany perlu
waktu beberapa hari untuk discreening. Akankah kita buka pustaka kimia kita
yang berupa hutan tropis untuk orang asing di negara maju yang mampu
melakukan metode HTS tersebut. Konsekuensi logis dari penera[pan metode
tersebut adalah dimulainya ekslpoitasi besar-besaran terhadap flora yang

77
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
berkhasiat obat di hutan Indonesia. Tuntutan konservasi telah mendesak untuk
secara serius diprogramkan dan dilaksanakan.
 Pengambilan Bahan-Bahan Tumbuhan Tanpa Memperhatikan Kelestariannya.
Kayu angin merupakan bahan obat tradisional yang banyak digunakan oleh
pabrik jamu. Tumbuhan yang termasuk tumbuhan Lichenes ini tumbuh sebagai
epifit pada pohon-pohon besar di hutan. Tanpa bekal pengetahuan yang cukup
para pengumpul bahan tersebut sering malas untuk memanjat pohon inangnya
dan dengan seenaknya merobohkan pohon inang tersebut, karena ingin mudah
 Pencarian spesies lain dari jenis penghasil bahan baku obat
Banyak senyawa obat yang berasal dari alam dan sampai saat ini disintetis
karena strukturnya yang kompleks sehingga pengadaannya masih tergantung
dari sumber daya alam yang berupa tumbuhan obat. Pada umumnya kadar
kandungan kimia tersebut relatif kecil dalam spesies tumbuhan sebagai
sumbernya. Oleh sebab itu saat ini banyak dilakukan pencarian spesies lain
dari jenis yang sama untuk diteliti kandungan kimianya berdasarkan paradigma
kemotaksonomi yang menyatakan bahwa pada jenis bahan familia yang sama
kemungkinan dapat ditemukan kandungan kimia yang serupa. Contoh
paradigma ini adalah alkaloid turunan tropan dalam familia Solanaceae
kurkunim jenis Curcuma, isoflavon pada Leguminosae. Hal ini akan memacu
ekplorasi spesies tumbuhan yang sebelumnya tidak dikenal secara tradisional
sebagai tumbuhan obat.

5.2.3.2. Kendala Pengembangan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu

Produk-produk lain seperti aneka minyak-minyakan, getah-getahan, bahan-


bahan ekstraks, budidaya hewan-serangga dan tumbuhan serta jamur pada
umumnya mengalami kendala.
 belum diusahakan dengan orientasi yang mapan
 belum mengetahui tata cara pengusahaan yang lengkap dan benar
 masih terbatas sebagai pemungut dan penyedia saja dan belum mengetahui arah
usaha yang kongkrit
 masih ada yang dipengeruhi oleh usaha turun-temurun dan tidak
memperdulikan informasi baru yang maju sehingga perlu penyuluhan
 belum cukup mendapat perhatian dari pihak lain yang berkaitan dengan
pembinaan peningkatan pengetahuan dan pendanaan usaha
 serapan pasar yang masih rendah
 pemahaman sangsi

Jenis-jenis usaha produk Hasil Hutan Non Kayu kelompok ini sebenarnya
cukup ramah lingkungan dan dapat dilakukan tanpa menganggu hutan, sehingga
propektif untuk dikembangkan dimasa depan sebagai potensi daerah.

5.2.4. Lembaga-Lembaga Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

78
V. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu

Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 29 ayat 3, izin usaha pemanfaatan


HHBK dapat diberikan kepada;
a. perorangan
b. koperasi
c. BUMS Indonesia
d. BUMN dan BUMD

Sedangkan izin usaha pemungutan HHBK hanya diberikan kepada


perorangan dan koperasi apa bedanya pemanfaatan dan pemungutan bila
dikembalikan artinya ke pasal 23 UUTK ? Mengapa dua hal tersebut dibedakan
lebaga-lembaga yang dapat menyelenggrakannya ?

5.2.5. Manajemen Kawasan Penghasil HHK dan HHBK

Ancaman kelestarian kawasan hutan penghasil HHK dan HHBK bukan


hanya berasal dari segi teknis saja (sistem silvikultur yang digunakan saat ini tetapi
disebabkan juga karena sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dengan demikian
konsep manajemen sektoral yang digunakan saat ini yaitu hanya berorientasi pada
teknis berbasis ekonomi mikro (perusahaan) harus diubah menjadi konsep yang
berbasis sosial, ekonomi, ekologi dan teknis.

Konsep ini akan berhasil bila dalam pelaksanaannya memperhatikan:


1. Adanya produksi hasil hutan yang lestari melalui sistem silvikultur yang tepat
2. Adanya keuntungan yang diperoleh perusahaan, untuk itu perlu adanya efisiensi
sumberdaya
3. Adanya efek yang menguntungkan dari kegiatan perusahaan hutan bagi
masyarakat yang berada disekitarnya.

Rangkuman

Secara umum terdapat enam bentuk pemanfaatan hutan sebagaimana


tercantum dalam Pasal 25 ayat 91) dan 28 ayat (1), yaitu:
 Pemanfaatan kawasan
 Pemanfaatan jasa lingkungan
 Pemanfaatan hasil hutan kayu
 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
 Pemungutan hasil hutan kayu
 Pemungutan hasil hutan non kayu

Kata pemanfaatan dalam UU No. 41/1999 mempunyai makna yang sama


dengan kata pengusahaan dalam UU No. 5/1967. Pasal 33 (1) UU No. 41/1999
menyebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan mencakup kegiatan

79
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan, dan pemasaran hasil.
Lingkup kegiatan yang sama dapat kita temukan dalam Bab IV, Pasal 13 ayat (2)
UU No. 5/1967. Namun pemanfaatan dalam UU No. 41/1999 mempunyai lingkup
yang lebih luas, mencakup pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan.
Pemerintah Indonesia telah mengatur mengenai Jasa Lingkungan Hutan
mulai dari Undang-undang (UU No. 41 Th. 1999, UU No 5 Th 1990 dan Peraturan
Pemerintah (PP No. 68 Th. 1998 dan PP No. 34 Th. 2002 yang kemudian direvisi
menjadi PP no 6 tahun 2007 dan terakhir direvisi sebagai PP no 3 tahun 2008).
Akan tetapi, peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang ada saat ini
kurang memadai untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan hutan secara
optimal.

Latihan

1. Prinsip-prinsip apa saja yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan hasil


hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu?
2. Jasa lingkungan apa saja yang dapat dimanfaatkan? Dan bagaimana
pemanfaatannya agar jasa lingkungan tetap lestari?

Pustaka

Ditjend Kehutanan Departemen Pertanian. 1980. Undang Undang Pokok


Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang Republik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan
Kehutanan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.

Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Rineka Cipta.


Jakarta.

Sharma, N.P. 1992. Managing the World’s Forests. Looking for Balance Between
Conservation and Development. Kendall/Hunt Publishing Company. Iowa.

Wulandari, C. 2008. Kebijakan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

___________.2008. Kebijakan Jasa Lingkungan dan REDD di Indonesia. Laporan


Penelitian. Tidak dipublikasikan.

80
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan

VI. KETENTUAN PIDANA DALAM


PENGELOLAAN HUTAN

Deskripsi Singkat Perkuliahan


Bahan perkuliahan bab VI tentang tindak pidana dalam pengelolaan hutan
meliputi berbagai aspek seperti beberapa aspek masalah hukum yang sering
dijumpai dalam bidang kehutanan, faktor-faktor penyebab orang dijatuhi hukum
pidana, penggunaan atribusi wewenang dalam bidang kehutanan, sinkronisasi
dengan otonomi daerah, usulan adanya dewan kehutanan negara dan pembuktian
terbalik yang dapat dilakukan dalam bidang kehutanan

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa dapat menjelaskan dan menafsirkan serta mengevaluasi tentang
ketentuan pidana berdasarkan UUPK dan UUTK.

6.1. Beberapa Masalah Hukum di Bidang Kehutanan


Sumber Daya Hutan dikuasai oleh negara karena merupakan bagian dari
agraria sehingga negara mempunyai hak untuk mengatur pemanfaatan baik untuk
dikelola sendiri maupun untuk dikuasai kepada seseorang atau pihak lain dengan
batasan waktu dan area serta syarat-syarat tertentu. Namun di dalam praktiknya
selama ini implementasi hak menguasai oleh pemanfaatannya secara maksimal
bagi kemakmuran rakyat. Masalah pemberian dan pelaksanaan Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) misalnya dapat disebut sebagai contoh karena ditengarai tidak beres,
bernuansa KKn dan mengakibatkan timbulnya berbagai ancaman bagi kelestarian
lingkungan dan upaya membangun sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kadang bukanlah kebijakan yang
dapat memecahkan masalah secara fundamental melainkan malahan menimbulkan
masalah-masalah baru. Dan bersamaan dengan itu muncul pula berbagai kebijakan
yang membingungkan di lingkup kegiatan hutan dan kehutanan, baik bagi pelaku
bisnis kehutanan maupunbagi masyarakat berkaitan dengan : penciutan kawasan
HPH, konversi hutan ke perkebunan, penyerahan pemanfaatan hutan dan ke
koperasi dan pesantren yang dpat dipandang sebagai langkah romantis dan retoris
yang semuanya kurang bertanggung jawab pada "hak asasi hutan."
Seperti halnya banyak terjadi dalam bidang-bidang lain, misalnya dalam
bidang politik atau bisnis, persoalan yang timbul dalam masalah kehutanan ini
adalah terlalu banyaknya atribut kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada
81
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
pemerintah untuk mengatur lebih lanjut secara sepihak hal-hal yang amat penting
tanpa pembatasan-pembatasan yang tegas. Di bidang politik misalnya pemerintah
membuat berbagai peraturan pelaksana menurut kehendak dan kekuatan politiknya
sendiri sehingga semakin lama semakin mengakumulasikan kekuasaan yang
dimilikinya sampai akhirnya timbul pemerintahan yang otoriter. Dalam bidang-
bidang lain pun kecendrungan pemberian atribusi kewenangan yang berlebihan ini
juga terjadi sehingga pemerintah menjadi penentu segalanya secara sepihak tanpa
power sharing dari instansi alain. Dalam bidang kehutanan kita dpat menyebut
atribusi tentang pengaturan HPH serta pemberian dan pengawasannya yang dapat
dirusak melalui praktik-praktik KKN.

6.2. Masalah Hukum dalam UUTK No. 41 Tahun 1999

Menjadi jelas bahwa bagian dari publik dominan hubungan hukum antara
hutan dan negara adlah hubungan pengusahaan dalam arti bahwa hutan (sebagai
bagian dari agraria) dikuasai oleh negara yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka menguasai ini negara mempunyai
kewenangan mutlak untuk mengtur peruntukan atau pemanfaatan termasuk
hubungan hukum antara hutan dengan orang atau badan hukum yang berarti bahwa
hak masyarakat atas hutan berada di bawah hak menguasai negara. Demikianlah
hukum publik menggariskan tentang hubungan antara hutan dengan negra dan
rakyat. Pengaturan yang demikian, selain dimuat di dalam pasal 2 (2) UUPA 1960
telah dicantumkan juga di dalam pasal 4 (2) UU Kehutanan yang menegaskan
pemberian wewenang kepada pemerintah (sebagai personifikasi negara) untuk :
(a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan
kawasan hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur peraturan-
peraturan hukum mengenai kehutanan.
Namun seperti dikemukakan di atas implementasi hak menguasai oleh negara
ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti perusakan hutan yang
menganggu lingkungan hidup serta adanya nuansa KKN dalam pemberian hak
tertentu atas hutan. Akibatnya tujuan pengusaan oleh negara untuk dimanfaatkan
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi sulit dicapai karena dalam
kenyataannya rakyat malah sering menjadi korban.

6.3. Penggunaan Atribusi Kewenangan

Dalam banyak hal timbulnya persoalan ketidakberesan di Indonesia


disebabkan oleh terlalu banyaknya atribusi kewenangan yang diberikan oleh UU
kepada pemerintah untuk mengatur beberapa hal penting secara sepihak dengan
pengaturan pelaksanaan seperti PP, Keppres, dan Kepmen. Di dalam teori hukum
administrasi memang dikenal adanya sikap terugtred (menunda, mundur) badan
legislatif untuk mengatur beberapa hal di dalam UU dan menyerahkannya kepada
82
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
pemerintah. Hal ini, seperti dikatakan oleh Belifente, disebabkan oleh alasan-
alasan logis yaitu: pertama, dlam hal-hal bersifat indiidual pembuatan UU
menyerahkan peraturannya kepada pihak eksekutif (seperti pengaturan pemberian
pihak hak-hak khusus dlam bidang kehutanan harus diatur di luar UU); kedua,
suatu larangan atau perintah tidak harus berlaku di semua tempat dan untuk
selamanya sehingga pengaturannya diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan
situasi dan kondisi; ketiga, karena Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini
menurut peraturan dasarnya memiliki kebebasan wewenang pemerintahan yang
besar sehingga dapat mengatur cara menggunakan wewenangnya yang luas itu.
Namun sering kali penggunaan atribusi kewenangan ini dilakukan dengan
menipulasi sedemikian rupa sehingga masalah-masalah pokoknya yang prinsip
menjadi terabaikan, apabila pembuatnnya diwarnai dengan berbagai KKN. Ini
pulalah yang ditengarai terjadi pada pengelolaan hutan oleh negara selama ini,
terutama dalam pemberian, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan HPH. Di
dalam UU baru yang kita masih melihat minimal ada 23 peraturan perundang-
undangan baru yang dibutuhkan sebagai peraturan pelaksanaan yaitu:
1. Penentuan luas hutan kota (pasal 9 ayat (2))
2. Inventarisasi hutan untuk mengetahui sumberdaya, potensi dan kekayaan alam
hutan (pasal 13 ayat (5))
3. Penggunaan kawasan hutan (pasal 16 ayat (3))
4. Perubahan peruntukan kawasan hutan menurut fungsinya (pasal 18 ayat (2))
5. Rancangan kehutanan berdasar jangka, skala geografis, dan fungsi pokok
hutan (pasal 19 ayat (3))
6. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi
pemerintah (pasal 21 ayat (3))
7. Tata hutan dalam rangka pengelolaan kawaan yang lebih intensif (pasal 22
ayat (5))
8. Pemanfaatan kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam atau taman
buru (pasal 25)
9. Hak pemungutan hasil hutan di dalam hutan lindung (Pasal 27 ayat (3))
10. Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan kepariwisataan (pasal 28 ayat (2))
11. Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pemanfaatan sumber air (paal 29
ayat (2))
12. Pemberian hak pengusahaan hutan kepada Badan Hukum Indonesia (pasal 31
ayat (2))
13. Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh perorangan, koperasi, dan BUMD (pasal 32
ayat (2))
14. Iuran, provisi, dan dana reboisasi atas pemanfaatan hutan (pasal 33 ayat (3))
15. Pemanfaatan hutan hak (pasal 34 ayat (3))
16. Rahabilitasi Hutan dan Kawasan hutan (pasal 38 ayat (3))
17. Reklamasi Kawasan Hutan (pasal 40 ayat (3))
18. Perlindungan hutan di dlam dan di luar kawaan hutan (Pasal 44 ayat (5))
19. Penyuluhan di bidang Kehutanan 9pasal 49 ayat (3))

83
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
20. Penyerahan sebagian urusan Kehutanan kepada Pemerintah Daerah (pasal 50
ayat (2))
21. Pemungutan hasil hutan dan kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat
hukum adat (pasal 51 ayat (3))
22. Peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kehutanan (pasal 54 ayat
(3))
23. Ganti rugi dan sanksi administratif (pasal 57 ayat (3))

Dengan banyaknya atribusi kewenangan bagi pemerintah untuk mengtur lagi


masalah-masalah penting yang kadangkala bukan soal teknis semata maka peluang
bagi terjadinya pelanggaran hukum (orechmatig overheidsdaad), penyalahgunaan
kekuasaan (abus of power), dan penyalahgunaan wewenang (detornement de
povoir) oleh pemerintah menjadi semakin besar yang berarti juga memberi jalan
yang cukup luas bagi terjadinya KKN. Memang seperti dikatakan oleh Belifante
atribusi kewenangan yang cukup besar, seperti terlihat dari pengalaman kita selama
ini, cenderung menimbulkan KKn baik dalam bidang ekonomi maupun bidang
politik. Oleh sebab itu menjadi penting untuk dipikirkan secara serius tentang
kemingkinan pengurangan atribusi kewenangan dengan mencantumkannya secara
tegas di dalam tubuh UU-nya itu sendiri. untuk masalah-masalah yang tidak
mungkin dimasukkan di dalam tubuh UU karena sifatnya benar-benar teknis perlu
diberikan pembatasan-pembatasan yang tegas tentang masalah ini di dalam tubuh
UU-nya sehingga dalam perbuatan peraturan pelaksanaannya tidak terjadi
pelanggaran (hukum, kekuasaan, dan wewenang).

6.4. Sinkronisasi dengan Otonomi Daerah

Di dalam Bab VII, pasal 50 UU kehutanan ini diatur kemungkinan


penyerahan sebagian urusan masalah kehutanan kepada pemerintah daerah.
Pengaturan yang seperti ini tentu didasarkan pada asumsi bahwa urusan kehutanan
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah pusat. Sebagai bagian publik dominan
yang dikuasai oleh negara pengaturan yang seperti ini tentunya bisa saja diterima
karena konstitusi kita memang memberikan hak itu kepada negara, namun
pengaturan tentang ini supaya disinkronkan dengan ketentuan UU tentang
Pemerintahan Daerah yang baru yang menganut sistem otonomi luas. Di dalam
UU Pemda yang baru ini hampir semua urusan diserahkan kepada Daerah sebagai
urusan sendiri berdasarkan asas desentralisasi ke Pusat yaitu urusan moneter,
urusan peradilan, urusan Hnkam, urusan pendidikan, dan urusan agama.
Karena di dalam UU Pemda urusan Kehutanan tidak termasuk dalam urusan-
urusan yang diurus secara mutlak oleh Pusat maka diperlukan sinkronisasi dengan
kehendak pasal 50 UU kehutanan ini.

84
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
6.5. Pembuktian Tebalik

UU Kehutanan ini juga memuat beberapa kemajuan yang memang


dibutuhkan oleh hukum kehutanan yang baru misalnya tentang kemungkinan
pembuktian terbalik dan actio popularis (class action).
Di dalam pasal 45 diatur peletakan tanggung jawab terjadinya kebakaran
hutan di pundak pemegang hak atau izin kecuali yang bersangkutan dapat
membeuktikan penyebab kebakaran bukan karena kesalahan atau kelalaian
pemegang hak atau izin. Selain ini pemengang hak atau izin pemanfaatan hutan
sangat sulit diminta tanggung jawab karena yang diutamakan adalah azas praduga
tak bersalah (presumption of innocence) yang menentukan bahwa seseorang tidak
dapat diminta tanggung jawab sebelum dibuktikan bersalah. Azas ini sekarang
akan dibalik dengan mengatur peletakan tanggung jawab kepada pemegang hak
atau izin kecuali kemudian yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah. Dengan azas pembuktian terbalik ini maka penegak hukum tidak
perlu membuktikan kesalahan pemegang hak atau izin lebih dahulu untuk
membebaskan tanggung jawab atau menjatuhkan sanksi tetapi sebaliknya
pemegang hak atau izin itulah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah. Ketntuan tentang "pembuktian tebalik" ini akan memudahkan pemerintah
untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa polemik yang berkepanjangan.
Selanjutnya di dalam pasal 58 dibuka peluang bagi actio popularis atau class
action dimana masyarakat sebagai satu kesatuan dapat mengajukan gugatan
perwakilan ke pangadilan berhubung terjadinya kerusakan hutan yang merugikan
masyarakat. Ini dapat dipandang sebgai suatu kemajuan yang sangat penting
karena di masa lalu hak masyarakat untuk mengajukan actio popularis masih
dipersoalkan dasar-dasar hukumnya. Pada masa lalu banyak gugatan atas nama
satu masyarakat yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersangkutan
ditolak oleh pengadilan karena kerugian masyarakat yang bersangkutan tidak
secara konkret dan individual dirasakan oleh perorangan atau badan hukum privat
tertentu. memang pada masa lalu telah ada preseden atau yurisprudensi bahwa dari
sekian banyak "class action" yang masuk ke pengadilan ada yang diterima untuk
diperiksa dan diputus, misalnya kasus pencemaran lingkungan oleh PT Indorayon
dan kasus Keppres tentang peminjaman dana reboisasi tanpa bunga kepada IPTN
yang diwakili oleh Walhi cs yang diadili dan diputus oleh pengadilan, meskipun
ternyata kemudian kalah. Dengan pencantuman pasal ini di dalam UU maka
pemanfaatan lembaga class action oleh masyarakat menjadi semakin kuat.

6.6. Implementasi Kebijakan di Bidang Pengusahaan Hutan

Untuk mengkaji hal ini digunakan referensi berbagai peraturan yang terbaru
mengenai pengusahaan hutan yang akan disebutkan lebih lanjut.

85
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
Titik berat kajian dipilih pada elemen atau komponen yang strategi
sehubungan dengan potensi sumberdaya hutan dengan warisan luas areal yang
tidak produktif cukup besar. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:
1. PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
pada Hutan Produksi.
2. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 307/Kpts-II/1999 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan.
3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 308/Kpts-II/1999
tentang Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi.
4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 310/Kpts-II/1999
tentang Pedoman Pemberian Hak Pengusahaan Hutan.
5. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 313/Kpts-II/1999
tentang Tata Cara Penawaran dan Pelelangan Hak Pengusahaan Hutan.

Dilihat dari banyaknya produk berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan


Menteri Kehutanan dan Perkebunan merupakan presentasi sangat luar biasa. Akan
tetapi pengusahaan hutan yang mencakup areal begitu luas, sejarah yang lama,
warisan yang ditinggalkan, variasi yang banyak, elemen atau komponen yang
berkaitan begitu banyak implementasinya tidak semudah membalik kertas atau
membalik telapak tangan atau bahkan secepat membuat peraturan itu sendiri.

6.6.1. Batas Luasan HPH Maksimum

Luas HPH (baru) maksimum 100.000 ha. Yang menjafi persoalan adalah
apabila HPH lama memiliki areal berpotensi terbaik seluas 100.000 ha dari areal
terdahulu, dan sisanya dikembalikan kepada pemerintah berupa areal hutan tidak
produktif. Apabila hal ini tejadi berarti terjadi kemunduran karena memberi
legalitas kepada HPH untuk memilih areal terbaik sementara areal yang tidak
produktif tidak menjadi kewajiban HPH untuk reboisasi atau rehabilitasi.
Jika hal ini benar, lalu apa tujuan pembatasan areal maksimum 100.000 ha ?
Hutan dengan luas berapapun harus diidentifikasi isinya (potensi, kelas hutan) dan
lain sebagainya, lalu siapa yang bertanggung jawab atas areal hutan tidak produktif
sisa HPH 100.000 ha ?
Menurut hemat saya ketentuan ini kembali kepada sentralisasi tanpa
mengingat variasi-variasi lokal/keberadaan HPH masing-masing dari segi potensi,
aksesibilitas, sarana dan prasarana dan lain sebagainya.
Ada kasus khusus yang terjadi yaitu apabila pada unit HPH areal yang
terbakar lebih dari 100.000 ha. Apakah untuk kasus ini ada pengecualian? Karena
pada rehabilitasi dan/reboisasi areal terbakar diperlukan dana.
Untuk mengatasi hal itu, kembali lagi harus dilihat kasus per kasus, tidak
harus seragam. Pengalaman seragamisasi dan sentralisasi selama 30 tahun yang
ternyata membawa bencana hendaknya tidak terulang lagi.

86
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
6.6.2. Pelelangan Hak Pengusahaan Hutan

Dengan melihat persyaratan yang harus dipenuhi untu ikut serta dalam
pelelangan HPH, maka secara bisnis yang berpeluang ikut serta adalah mereka
yang bergabung dalam PT menengah atau besar serta yang tergabung dalam
groupnya (mempunyai industri). Sebagai ilustrasi modal yang diperlukan untuk
alat-alat eksploitasi saja harganya sudah puluhan milyar.
Dari studi yang dilakukan pada HPH Dwima Jaya, BEP (Break Even Point)
pada Bagian Hutan (Unit Kelestarian) dengan sistem mekanis penuh diperoleh pada
produksi 25.000-30.000 m3/tahun, dengan asumsi maksimal modal replacement
20% dari modal/harga peralatan sekarang. Apabila digunakan asumsi semua alat
baru (modal baru 100%) sementara luas areal yang dilelang 100.000 ha (maksimal)
maka apakah dengan produksi + 60.000-70.000 m3/tahun dari areal 100.000 ha
tersebut masih menguntungkan. Pernyataan ini dapat memperoleh jawaban ya,
apabila:
a. HPH masih punya alat-alat eksploitasi
b. HPH punya industri cukup besar, modalnya dari profit center group (laba
ditahan)

Disamping itu HPH pemegang lelang sudah seharusnya merehabilitasi/


reboisasi areal tidak produktif dalam arealnya. Biaya ini harus masuk dalam biaya
produksi areal HPH yang bersangkutan.

6.6.3. Hak Pemungutan Hasil Hutan

Dalam peraturan yang ada tidak satu pasal pun mencakup bagaimana
kelestarian hutan diatur dalam rangka Hak Pemungutan Hasil Hutan. unit
kelestarian seperti apa, rencana kelestariannya siapa yang membuat, siapa
pengelola, dan sebagainya. (KPHP, Bagian Hutannya). Hal ini perlu kecermatan
sebab dikhawatirkan di balik kepentingan masyarakat lokal yang hanya perlu kayu
sedikit dapat direkayasa oleh oknum-oknum yang tidak bertangung jawab karena
sangat mudah mendapatkan izin. Dengan asumsi HPHH 1 ha isinya 30 m3.
Apabila memang benar, harus dibatasi secara tegas untuk keperluan sendiri. Pada
umumnya masyarakat adat/lokal yang taat akan memenuhi ketentuan ini. Yang
menjadi masalah bagaimana pembatasan dapat dilakukan. untuk ini harus ada
mekanisme secara khusus, mencakup identitas masyarakat adat/lokal, lokasi dan
lain sebagainya harus diatur secara cermat.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah jangan sampai hak itu jatuh ke
tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Akibat adanya sarana angkutan
(jalan) yang begitu baik, tidak mustahil kesempatan HPHH merupakan legalitas
terselubung bagi oknum-oknum (indikasi banyaknya illegal cutting). Apabila hal
ini tidak dapat dikendalikan maka areal hutan yang rusak atau tidak produktif akan
bertambah pesat dengan ketentuan ini.

87
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
6.6.4. Koperasi Kehutanan/Usaha Kecil Menengah

Sampai saait ini belum dikenal koperasi kehutanan atau yang berkaitan
dengan pengusahaan hutan. Tujuannya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat
di sekitar hutan dan di dalam hutan.
Khusus untuk masyarakat di dalam hutan terdapat masyarakat desa asli yang
sudah ada sebelum adanya kegiatan pengusahaan hutan dan masyarakat pendatang
karena ada kegiatan pengusahaan hutan atau lainnya.
Dari informasi pada saat lokakarya "Memantapkan Bina Desa hutan dalam
Upaya Pengelolaan Hutan Lestari" tahun 1996 di Balikpapan ada beberapa variasi
antara lain:
a. HPH/HTI menengah/besar akan tetapi masyarakat/desa di sekitar hutan
jumlahnya relatif kecil sehingga untuk mendapatkan tenaga kerja langsung
untuk menanam, memelihara dalam jumlah besar sulit didapat. Disamping itu,
adanya hubungan yang ketat antara perusahaan dan tenaga kerja lokal dari luar
daerah (AKAD) dan lainya, juga tidak mudah dilakukan (tidak kerasan), dan
lain-lain. Sebagian situasi seperti ini mewakili Kalimantan dan Indonesia
bagian Timur. Faktor lain sehubungan dengan ini adalah juga berkaitan dengan
aksesibilitas ke daerah asal.
b. Ada juga HPH/HTI kecil/menengah akan tetapi masyarakat/desa sekitar hutan
jumlahnya relatif lebih banyak dibanding pada kasus no. 1 di atas.
Aksesibilitas cukup baik sehingga apabila diperlukan AKAD, tenaga kerja
mendapat kemudahan untuk pulang ke daerah adal. Sebagian situasi ini
mewakili daerah Sumatera.
c. Pada kasus ini masih ada kemungkinan variasi no. 1 dan no. 2 atau model yang
lain. Sebagaimana usaha lainnya entah itu koperasi, usaha kecil/menengah
khususnya di bidang kehutanan mempunyai suatu ukuran skala usaha (unit
usaha) yang harus didukung oleh beberapa persyaratan antara lain.
1. Kemampuan manajerial, antara lain:
- Kepemimpinan
- Tata Usaha/kantor
- Keuangan
- Hubungan dengan Bank, dan lain-lainnya
2. Sumber daya manusia yang baik
- Ketrampilan Teknis
- Kejujuran, dan lain-lain
3. Finansial
- Permodalan
- Omset usaha cukup untuk membiayai manajerial (gaji manajer, dll.,
"over head cost") dan membayar upah dengan baik
4. Bidang kegiatannya adalah spesialisasi teknis kehutanan (tertentu)
5. Kegiatan terus-menerus berkaitan dengan aspek kelestarian

88
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
Sebagai ilustrasi, misalnya Koperasi Tanaman (termasuk penyiapan lahan),
pemeliharaan, dan perlindungan hutan yang akan dikembangkan pad suatu wilayah
HTI, secara teritorial dapat dibuat pola seperti KRPH Perum Perhutani. Dengan
contoh, areal per tahun garapan kira-kira 250-300 ha dan HOK yang tersebia
kurang lebih 50 HOK/ha, upah 1 HOK sebesar mialnya Rp 7.500,00/ha, omset
dalam satu tahun akan berkisar 1 milyar, cocok definisi dengan ketentuan/kriteria
usaha kecil/menengah termasuk koperasi.
Modal kerja awal sekitar 10-20% dari nilai kontrak dapat disediakan oleh
perusahaan sebagai insentif. Selanjutnya setiap bulan dapat dibayar sesuai denan
hasil kerja nyata (actual performance) pada bulan yang bersangkutan sesuai dengan
nilai standar prestasi yang disepakati dlam rupiah yang dibayarkan.
Model seperti pernah dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM bekrja sama
dengan PT ITCI di Kalimantan dalam pekerjaan Timber Cruising (ITSP) selama
beberapa tahun. Modalnya adalah "modal dengkul", modal riil 10-20% dari
perusahaan, sumberdaya manusia yang mengelola 1 orang Sarjana mantan HPH, 1
orang Sarjana ditmabah 2 orang masiswa "bonek" yang ditugaskan di lapangan.
Pada waktu itu keuntungan Fakultas cukup memuaskan. Hal di atas kemungkinan
sebagai ilustrasi apabila sesuatu memang direncanakan, dilaksanakan, diawasi
dengan sungguh-sungguh, tekun, dan jujur, koperasi kehutanan bukan hal yang
mustahil untuk dilaksanakan.
Bentuk lain model koperasi bukan seperti di atas misalnya untuk HTI lebih
kecil dari 10.000 ha. untuk keperluan ini maka pengalaman hutan rakya dapat
dimodifikasi misalnya luas efektif 1000 ha, per tahun 100 ha, dengan 3-4 juta/ha,
akan memerlukan kredit kurang lebih 3 milyar selama 10 tahun, pertanyaannya,
apakah ada kredit sebesar itu di bank, ataukah didapat dari DR, atau
mungkinmungkin skala usaha diperkecil lagi, misalnya tingkat desa 10 ha/tahun,
luas 100 ha dan berbagai variasi tegantung kemampuan koperasi yang
bersangkutan. Contoh suplay kayu industri dari hutan rakyat (usaha skala kecil)
desa/kelompok/koperasi di Jawa ternyata mampu mencukupi keperluan industri
'Laminating Finger Joint Board" dengan menggunakan kayu sengon. Dari pihak
industri apabila suplai terjamin (di luar Jawa) sebenarnya mereka tidak harus
menguasai langsung sumber suplai tersebut, sebagaimana selama ini.
Untuk mewujudkan impian tersebut, perlu waktu karena harus digali
kekuatan dari bawah secara bertahap. Embrio-embrio yang ada di lapangan perlu
dinilai sampai seberapa jauh kekuatan, kelemahan, dan lain-lain. Dimulai dari
skala kecil, selanjutnya secara bertahap sesuai dengan pengalaman ditingkatkan
kemampuannya. Apabila semua berjalan lancar, sekitar 3 tahun sudah dapat
melaksanakan kegiatan secara rutin dan stabil.
Beberapa kelebihan dan kelemahan apabila menggunakan koperasi/PT skala
kecil/menengah untuk ikut serta dlam pengusahaan hutan pada saat ini adalah;
a. Dengan beban biaya per m3/ha atau biaya lainnya yang tetap, perusahaan dapat
mengendalikan biaya secara langsung.
b. Pengusahaan tidak mengelola tenaga kerja secara langsung, tenaga kerja
dikelola koperasi atau oleh PT skala kecil/menengah.
89
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
c. Pengawasan hasil pekerjaan dan biaya diatur dengan cara pembayaran "Actual
Performance" dengan Berita Acara Hasil Pemeriksaan oleh perusahaan.
d. Yang mungkin masih diragukan adalah kemampuanj menajemen koperasi/PT
skala kecil/menengah terebut, kuncinya adalah pengalaman/kejujuran,
ketekunan dengan pimpinan yang berkualitas. untuk yang akan datang
barangkali dengan omset yang lumayan dpat menggaji sarjana/sarjana muda
yang mempunyai kemampuan.

6.6.5. Desentralisasi

Adanya desentralisasi kepala Daerah Tingkat I Propinsi dan Daerah Tingkat


II Kabupaten termasuk aparat kehutanan mengenai Hak Pengusahaan hutan dan
Hak Pemungutan Hasil Hutan, bukan saja masalah pemerataan dan keadilan akan
tetapi lebih dari itu adalah soal kemampuan dan tanggung jawab. Kemampuan
didalam "Bottom up Planning" harus dibangun dari masyarakat, koperasi, unit
manajemen, Kabupaten, Propinsi, dan seterusnya, demikian pula sampai kepada
implementasinya. Loka/daerah lebih tahu mengenai situasi/kondisi yang dihadapi
masing-masing, sehingga bencana akan seragami-sasi dan sentralisasi tidak akan
terulang lagi.
Dengan ini diharapkan terjadi produktifitas dalam perusahaan hutan dari
berbagai aspek karena adanya kreatifitas, improvisasi, dan sebagainya dengan tidak
memperhitungkan "siapa yang menjadi presiden" jangan smpai teulang yang
pandai hanya presiden, sedangkan rakyat menjadi bodoh karena selalu meminta
petunjuk.

6.7. Ketentuan Pidana dalam UUPK dan UUTK

6.7.1. Ketentuan Pidana dalam UUPK

Pada Bab VI pasal 19 UUPK belum nampak secara gamblang apa yang
dilakukan oleh pemerintah apabila tejadi pelanggaran dalam pelaksanaan
pengelolaan hutan atau terjadi penyimpangan atas apa yang tercantum dalam UU
tersebut.
Pidana yang dijatuhkan hanya sebatas pada kurungan dan atau denda,
kemudian hasil kejahatannya disita oleh negara. Bila demikian adanya, akan terus
bertambah jumlah pada perusak atau perambah hutan karena hasil hutan yang
mereka dapatkan jauh lebih tinggi nilainya dibanding dengan denda atau kurungan.
Yang memperoleh ewenang untuk menjamin terelenggaranya perlindungan
hutan dan kehutanan adalah polisi khusus. Berarti polisi khusus hutan tersebut
hanya akan bertugas sebagai "security officer", atau kata lain digunakan untuk
menakuti para perusak hutan dan kehutanan. Apabila mereka masih menggunakan
"security approach" dalam menjalankan tugasnya niscaya hutan yang rusak akan
terus bertambah luas sebab pendekatan penyelesaian maslah tidak sesuai dengan
permasalahan yang akan didekati dan diselesaikan.
90
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan

6.7.2. Ketentuan Pidana dalam UUTK

Dalam UUTK 1999 pasal 50, jelas terbaca apa saja larangan bagi setiap orang
yang konsekuwensinya apabila dilanggar akan mendapatkan pidana. Adapun hal-
hal yang dilarang tersebut termaktub pada pasal 50 ayat 1,2,3, dan 4 yang berbunyi:
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah
rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dri tepi pantai
d. membakar hutan;
e. menebang pepohonan atau memanen atau memungut hasil hutan di dlam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi
bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri ;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dlam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara
khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di kawasan hutan,
tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong,
ataumembelah pohon di lam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;

91
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan
l. membuang benda-benda yang dapat meyebabkan kebakaran dan kerusakan
serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam
kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa
liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawaan hutan
tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan
dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perunang-
undangan yang berlaku.

Sedangkan polisi khusus hutan sebagai penjamin terselenggaranya


perlindungan hutan masih diberi wewenang tugas yang menyerupai seperti yang
ada pada UUPK.
Yang berbeda dengan UUPK yang lalu adalah adanya hak dari masyarakat
dan organisasi bidang kehutanan untuk dapat mengajukan gugatan. Masyarakat
dapat menggugat pemerintah atau pihak-pihak lain yang telah merugikan
kehidupannya seperti misalnya jadi menderita karena adanya pencemaran atau
hutan dikelola tidak sesuai denga aturan yang ada/berlaku. Khusus untuk
organisasi bidang kehutanan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berbadan hukum
2. Organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

Untuk ketentuan pidana yang diberlakukan oleh UUTK ini sangat berat untuk
dilaksanakan. Adapun bunyi dari Bab XIV Ketentuan Pidana pasal 78 adalah
sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (1) atau pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf d , diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00
(satu milyar lima ratus juta rupiah).

92
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f , diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38 ayat (4) atau pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah).
(8) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50
ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan
denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(13) Tindakan pidna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11)
adalah kejahatan, dan tindakan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga)dari pidana
yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan elanggaran dan atau alat-alat
termasuk alat angkutnya dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.
93
Kebijakan dan Perundangan Kehutanan

Selain tersebut diatas, sipelanggar hukum juga harus memberikan ganti rugi
dan mendpatkan sanksi administratif seperti yang tercantum pada pasal 80 yaitu:
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini,
dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78,
mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan ini untuk membayar ganti
rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain
yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang izin usha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan hasil hutan yang
diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketntuan
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi adminstratif.
(3) Ketentuan Lebih Lanjut sebagaimana dimaksud pad ayat (1), dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Rangkuman

1. Negara mempunyai hak menguasai atas SDH uang merupakan bagian dari
publik dominan. Hak menguasai ini secara hukum lebih kuat daripada hak-hak
lain yang ada di dalam negara, termasuk lebih tinggi daripada hak-hak rakyat
atas SDH.
2. Dalam impelementasinya hak menguasai oleh negara ini seringkali
menimbulkan persoalan karena tidak jarang diwarnai dengan KKn dan
kurangnya pagar-pagar hukum yang memberikan perlindungan atas hak rakyat
dalam penggunaan SDH. Pemberian atribusi kewenangan oleh UU kepada
pemerintah untuk mengatur secara sepihak masalah-masalah penting dengan
peraturan pelaksana telah membuka peluang bagi timbulnya penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang melalui KKN.
3. Untuk memperkecil peluang terjadinya onrechtmatigeoverheidsdaad
(pelanggaran hukum oleh pemerintah), abus of power (penyalahgunaan
kekuasaan), dan penyalahgunaan wewenang (detornment de pouvoir) perlu
dipertimbangkan ulang berbagai masalah yang diatribusi-wewenangkan kepada
pemerintah di dalam RUU yang baru. Pertimbangan ulang tersebut perlu
mencakup upaya meminimalkan jumlah masalah yang diatribusikan dengan
mengaturnya sekaligus di dalam UU atau memberikan batas-batas prinsip
dalam pembuatannya.
4. Untuk memperkecil atau meminimalkan berbagai pelanggaran dalam
penggunaan atribusi kewenangan oleh pemerintah, perlu dipertimbangkan
untuk dimasukkan di dalam UU yang baru nanti adanya Dewan Kehutanan
Negara, atau apa pun, yang beranggotakan unsur pemerintah, pakar, LSM
bidang lingkungan hidup, wakil masyarakat daerah pemerintah hutan dan
sebagainya. Dewan ini bertugas memberikan pertimbangan kepada Pemerintah
dalam pemberian hak atau izin sekaligus pelaksanaan dan pengawasannya.
94
VI. Ketentuan Pidana dalam Pengelolaan Hutan
5. Diperlukan sinkronisasi kehendak RUU ini tentang kemungkinan penyerahan
urusan masalah hutan dari Pusat kepada Daerah karena di dalam Uu Pemda
yang baru semua urusan (kecuali moneter, peradilan, hankam, pendidikan dan
agama) diarahkan sebagai urusan rumah tangga daerah. Prinsip peraturannya
sendiri mungkin tidak perlu dipersoalkan tetapi elaborasinya ke dalam bunyi
UU perlu disinkronkan.
6. Adanya peluang tentang actio popularis atau class action dan azas perbuktian
terbalik merupakan gagasan yang maju di dalam RUU ini perlu dipertahankan
dan dilindungi dari upaya-upaya untuk menghapuskannya. Berdasar
pengalaman di masa lalu upaya menghapuskan instrumen hukum sudah baik
memang sering terjadi dan tidak jarang mencapai hasil karena kekuatan
finansial dan lobi dari mereka yang berkepentingan.

Latihan

Berikan contoh nyata tentang adanya pelanggaran hukum dalam bidang kehutanan
(dari internet, koran atau majalah) kemudian diberi pembahasan tentang jenis
hukuman yang sesuai dengan UUPK 1967 dan UUTK 1999.

Pustaka

Ditjend Kehutanan Departemen Pertanian. 1980. Undang Undang Pokok


Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang Republik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan
Kehutanan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.

Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Rineka Cipta.


Jakarta

FAO. 1999. Implementing Sustainable Forest management in Asia and the


Pacific. FAO. Rome.

Sharma, N.P. 1992. Managing the World’s Forests. Looking for Balance
Between Conservation and Development. Kendall/Hunt Publishing
Company. Iowa.

Wulandari, C. 2008. Kebijakan Kehutanan. Buku Ajar. Tidak dipublikasikan.

95

Anda mungkin juga menyukai