Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.

1 Juni 2021

MENAKAR PELUANG DAN TANTANGAN PENGAKUAN HUTAN ADAT DALAM


PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTAAN NO.17/2020
TENTANG HUTAN ADAT DAN HUTAN HAK.

MEASURING OPPORTUNITIES AND CHALLENGES IN RECOGNITION OF


CUSTOMARY FORESTS IN REGULATION OF THE MINISTER OF ENVIRONMENT
AND FORESTRY NUMBER 17/2020 CONCERNING ADATIC AND RIGHTS FOREST.

Armansyah Dore
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju, Indonesia.
armansdore@gmail.com

ABSTRAK
Dunia internasional menjamin hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Perserikatan Bangsa-
Bangsa secara khusus membentuk forum permanent yang menanggapi isu tentang masyarakat adat di
bawah Dewan Ekonomi Sosial-Budaya. Keberadaan masyarakat adat di Indonesia yang sudah sejak
lama termarginalisasikan dibawah kekuasaan Negara mendapatkan angin segar dengan lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, yang secara singkat
menegaskan bahwa masyarakat adat merupakan subjek hukum dan pemegang hak atas wilayah
adatnya yang berada dalam kawasan hutan (hutan adat). Kehadiran putusan tersebut kemudian
diterjemahkan dalam berbagai peraturan yang lebih spesifik. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) pada Juli 2015 menetapkan Permen LHK No. P.32/Menlhk/Setjen/2015 tentang
Hutan Hak. Peraturan menteri ini mengejawantahkan Putusan MK.35/2012 yang mengatur tata cara
pengajuan pemohonan penetapan kawasan hutan hak dan mengatur syarat penetapan hutan adat. Pada
tahun 2019, Menteri LHK kembali menetapkan peraturan sekaitan dengan hutan adat melalui Permen
LHK No. P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yang kemudian
diperbaharui melalui Permen LHK No. P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020. Pada dasarnya ketiga
peraturan menteri tersebut mengatur substansi yang sama bahwa pengakuan masyarakat adat melalui
peraturan daerah mendahului penetapan hutan adat. Diperlukan langkah-langkah pengakuan yang
lebih konprehensif tanpa mengesampingkan substansi yang ingin dicapai.
Kata Kunci: Hutan Adat, Permen LHK 17/2020, MK.35/2012.

ABSTRACT
The international community guarantees the rights of indigenous peoples to natural resources. The
United Nations has specifically established a permanent forum that responds to issues concerning
indigenous peoples under the Socio-Cultural Economic Council. The existence of indigenous peoples
in Indonesia who have long been marginalized under the power of the State has received a breath of
fresh air with the issuance of the Constitutional Court Decision No. 35 / PUU-X / 2012 concerning
Customary Forests, which briefly emphasizes that customary communities are legal subjects and
holders of rights over their customary territories within the forest area (customary forest). The
presence of this decision is then translated into a number of more specific regulations. The Minister of
Environment and Forestry (LHK) in July 2015 enacted Permen LHK No. P.32 / Menlhk / Setjen /
2015 concerning Private Forests. This ministerial regulation embodies the Constitutional Court
Decision. 35/2012 which regulates the procedures for filing applications for designation of private
forest areas and regulates the requirements for designating customary forests. In 2019, the Minister
of Environment and Forestry re-enacted regulations related to customary forests through the Minister
of Environment and Forestry Regulation No. P.21 / Menlhk / Setjen / Kum.1 / 4/2019 concerning
Customary Forests and Private Forests, which was later updated through Permen LHK No. P.17 /
Menlhk / Setjen / Kum. 1 / 8/2020. Basically, the three ministerial regulations stipulate the same
substance that the recognition of customary communities through regional regulations precedes the
designation of customary forests. More comprehensive steps for recognition are needed without
neglecting the substance to be achieved.
Keywords: Customary Forest, Permen LHK 17/2020, MK. 35/2012.

27
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

PENDAHULUAN METODE
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak Hogwood dan Gunn (1988) menjelaskan bahwa
masyarakat adat merupakan kebutuhan kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan
mendesak. Masyarakat adat secara menyeluruh publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik
termasuk dalam kelompok golongan rentan adalah tindakan kolektif yang diwujudkan
(vulnerable group) yang ada di dalam melalui kewenangan pemerintah yang
masyarakat Indonesia. legitimate untuk mendorong, menghambat,
melarang atau mengatur tindakan private
Fakta menunjukkan bahwa Masyarakat Adat (individu atau lembaga swasta).
berada dalam posisi yang sangat lemah,
baik secara ekonomi, politik, dan hukum Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok.
apabila berhadapan dengan kelompok- Pertama, dibuat atau diproses oleh lembaga
kelompok yang lebih mapan dan lebih mampu pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang
melindungi dan memenuhi hak asasinya ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, bersifat
sendiri. memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan
privat masyarakat luas (publik). Kebijakan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas publik ialah keputusan atau tindakan
HAM) dan perwakilannya di beberapa pemerintah yang berpengaruh atau mengarah
daerah seecara terus-menerus menerima pada tindakan individu dalam kelompok
dan menangani pengaduan dari masyarakat masyarakat.
adat tentang terjadinya pelanggaran hak
ekonomi, sosial dan budaya, maupun hak sipil Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan
dan politik masyarakat adat. Hal ini dikuatkan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil
dengan hasil Inquiri Adat Komnas HAM pada penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi
tahun 2014 dibeberapa titik di Indonesia. opsi desain kebijakan publik. (Williams, W.
1971). Dari definisi di atas kiranya dapat
Hal lain yang semestinya menjadi dirumuskan karakteristik dasar analisis
pertimbangan pemerintah mengarus utamakan kebijakan sebagai metode yang digunakan
perlindungan terhadap masyarakat adat dan dalam kajian ini.
hak-haknya termasuk hutan adat adalah
berkaitan dengan kemampuan masyaraat adat Pertama, analisis kebijakan merupakan suatu
mengelola lahan dan hutan secara proses atau kegiatan sintesa informasi yang
berkelanjutan. berarti pemaduan berbagai informasi, termasuk
hasil penelitian, sehingga diperoleh suatu
Ifdhal Kasim (2003) mengemukakan bahwa kesimpulan yang selaras.
kasus pembabatan dan kerusakan hutan yang
masif di Sumatera, Kalimantan dan Papua Hal ini berarti obyek analisis kebijakan ialah
karena hutan tidak dipandang sebagai suatu proses penyusunan dan paket kebijakan.
kebudayaan, hanya dilihat dari nilai profit, Kegiatan utama analisis kebijakan ialah
padahal sebagian besar bangsa ini (terutama: pengumpulan informasi secara sistematis dan
masyarakat adat) telah hidup dengan hutan dan penarikan kesimpulan logis dari informasi
dalam hutan dalam waktu puluhan bahkan tersebut. Dengan demikian, analisis kebijakan
ratusan tahun. berdasarkan pada kaidah ilmiah.

Ditengah menguatnya perhatian dunia terhadap Kedua, salah satu sumber utama informasi
sustainability development goals, dari dua yang menjadi bahan analisis kebijakan ialah
aspek tersebut dapat dilihat bahwa ada kondisi hasil-hasil penelitian. Hal ini berarti bahwa
kotradiktif yang dialami masyarakat adat. Pada analisis kebijakan merupakan proses
satu sisi mereka merupakan praktisi ulung pengolahan lebih lanjut dari hasil-hasil
pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan atas penelitian sehingga siap digunakan dalam
hutan adat dan wilayah adatnya, namun disisi pengambilan keputusan dan desain kebijakan
lainnya mereka sangat rentan ditaklukkan oleh publik. Oleh karena itu, analisis kebijakan
invasi korporasi dan pembangunan yang merupakan salah satu bentuk diseminasi hasil-
diprakarsai Negara. hasil penelitian.

28
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

Ketiga, output analisis kebijakan ialah Secara historis, lahirnya Permen LHK 17/2020
rekomendasi opsi keputusan atau desain mengulang beberapa hal yang sama dengan
kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa output Permen sebelumnya terutama terkait pengakuan
kebijakan adalah berupa nasehat atau petunjuk terhadap subjek terlebih dahulu sebelum
operasional tentang bahan pengambilan mendorong usulan penetapan hutan adat.
keputusan publik bagi spesifik kepentingan
tertentu. Oleh karena itu, analisis kebijakan Permen LHK 17/2020 mempertegas bahwa
disajikan secara jelas, singkat, padat, lengkap terdapat dua jenis Perda terkait masyarakat
dan seksama. adat, yakni pengaturan dan penetapan.
Masyarakat adat yang telah mengantongi Perda
Produk kajian ini adalah pemahaman yang penetapan dapat memohonkan hutan adat
mendalam tentang kebijakan menggunakan dalam kawasan hutan, namun jika masih berupa
metode keilmuan dengan tujuan mendapatkan Perda pengaturan, mesti ditetapkan melalui
justifikasi ataupun falsifikasi ilmiah. Penelitian Surat keputusan (SK) Bupati/Walikota.
tentang kebijakan tidak berbeda dengan
penelitian-penelitian ilmu sosial lainnya. Oleh Meskipun penegasan ini sesungguhnya hanya
karenanya. penelitian ini mengikuti logik memformulasi praktek yang dijalankan
penelitian ilmiah beserta tahapan-tahapannya. dilapangan, namun hal ini membawa dampak
signifikan bagi masyarakat adat seperti berikut:
a. Perda dan SK Kepala Daerah tentang
HASIL DAN PEMBAHASAN masyarakat adat adalah proses politik,
Permen LHK 17/2020 dalam Konteks sehingga komitmen mendorong lahirnya
Reregulasi dua produk hokum tersebut tidak hanya
Sally Falk Moore (1978) dalam Law as Process memperhatikan kesiapan Pemerintah
menyatakan bahwa regularisasi merupakan Daerah secara tekhnis, namun juga secara
sebuah aktivitas yang terus berlanjut didalam politis.
masyarakat. Proses regularisasi menjadi b. Terdapat ruang kompetisi bagi masyarakat
kategori penting di dalam menciptakan adat yang berada pada wilayah
perubahan pada masyarakat. administratif pemerintahan yang sama
untuk mendapatkan penetapan melalui SK
Menurut Moore, ada tiga hal dalam memahami Kepala Daerah. Hal ini menunjukkan upaya
munculnya sebuah aturan, pertama adalah selektif yang dilakukan pemerintah dalam
relasi dari aturan yang mendorong terbentuknya memenuhi hak konstitusi masyarakat adat
perilaku sosial; kedua adalah analisis historis yang pada dasarnya adalah kewajiban
tentang peristiwa pendorong terbentuknya Negara untuk mengakui dan
sebuah aturan dan menjadi konsekuensi dari menghormatinya.
kondisi sebelumnya; ketiga adalah masalah c. Mengkanalisasi produk hukum yang
konteks, jenis dan tingkatan hubungan diakomodir dalam Permen ini berarti pula
sistematis secara sosio-kultural antara suatu menutup ruang-ruang produk hukum
aturan dengan beberapa bagian lainnya. Ketiga lainnya yang secara substansi
aspek tersebut merupakan dasar dari persoalan mengatur/menetapkan hal yang serupa.
kausalitas yang mendorong terbentuknya Semestinya, KLHK memberikan ruang
sebuah aturan . yang lebih luas terkait jenis produk hukum
yang dapat diakomodir tanpa melepaskan
Jika memakai pendekatan Moore bahwa substansi yang mesti terdapat didalamnya.
reregulasi adalah proses yang terus menerus
dengan tujuan menciptakan perubahan pada Hapusnya Masyarakat Adat
masyarakat dengan mempertimbagkan tiga Bersanding dengan kewenangan menetapkan
aspek diatas, maka Permen LHK 17/2020 masyarakat adat oleh kepala daerah, Permen
sebagai sebuah proses reregulasi dari Permen LHK 17/2020 juga memberikan kewenangan
LHK 21/2019 tidak membawa semangat menetapkan hapusnya masyarakat adat. Hal ini
tersebut. Kenapa demikian? tentu sangat menghkawatirkan, seperti yang
telah dibahas sebelumnya bahwa pembentukan
Penegasan Pengakuan Bersyarat produk hukum daerah adalah proses politik

29
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

yang sangat dinamis apalagi hanya keputusan dengan pelanggaran hak serta menghambat
kepala daerah. penetapan hutan adat. Hal kedua yang
dapat kita temukan adalah koordinasi
Benturan kepentingan dari berbagai pihak antara pemenang izin dengan pemangku
sangat rentan menjadikan masyarakat adat adat dengan prinsip kearifan lokal
sebagai korban dengan dianggap tidak ada sesungguhnya frasa yang sangat hampa
melalui hapusnya masyarakat adat apalagi jika substansi mengingat masyarakat adat tidak
hapusnya masyarakat adat hanya ditetapkan diberi ruang untuk mengambil keputusan
melalui keputusan kepala daerah. strategis misalnya pembatasan/penghentian
aktivitas pemegang izin selama proses
Kewenangan ini juga secara hukum tidak pengajuan penetapan hutan adat.
memiliki dasar, UU Kehutanan hanya
memberikan kewenangan hapusnya masyarakat b. Tidak semua wilayah indikatif hutan adat
adat melaui perda, bukan keputusan kepala yang telah dipetakan masuk kategori
daerah. Bahkan lebih jauh, Negara semestinya penunjukan hutan adat. Indikator wilayah
tidak lagi mengurusi hapusnya masyarakat adat indikatif hutan adat yang bisa masuk
dengan argumentasi teoritik yang kategori penunjukan hutan adat belum
menggambarkan eksistensi masyarakat adat diurai dengan seksama, sehingga penilaian
dari waktu-waktu yang menunjukkan adanya pada proses ini sangat mungkin tidak
penyesuaian terhadap perkembangan social, objektif. Wilayah indikatif yang belum
politik dan hukum meski dilain sisi terakomodasi dalam penunjukan hutan adat
mempertahakan bagian-bagian tertentu yang mesti mengulang proses dari awal, hal ini
dianggap krusial. tentu sangat merugikan masyarakat adat
atas proses yang telah dijalankan
Peta Penunjukan Hutan Adat sebelumnya.
Salah satu pengaturan baru yang dibawa oleh
Permen LHK 17/2020 adalah perubahan dari c. Hutan adat yang telah ditunjuk diberikan
Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat menjadi waktu maksimal dua tahun untuk
Peta Penunjukan hutan adat. Peta penunjukan melengkapi persyaratan pengajuan hutan
sendiri dimaksudkan sebagai proses awal suatu adat. Jika sampai pada batas waktu tersebut
wilayah tertentu menjadi hutan adat. tidak syarat pengajuan belum lengkap,
maka proses pengajuan kembali dimulai
Salah satu point penting dalam perubahan dari awal. Pasal ini tidak menimbang
tersebut adalah adanya perlindungan dari izin kerumitan melahirkan produk hukum
pemanfaatan baru terhadap wilayah yang telah daerah terkait masyarakat adat terutama
ditunjuk sebagai hutan adat. Sehingga wilayah perda. Selain inisiatif dari ekesekutif dan
yang telah ditunjuk tersebut mendapatkan legilslatif yang sangat kental nuansa
proteksi dalam proses menuju penetapan hutan politisnya, juga berkaitan dengan
adat. kemampuan tekhnis pemerintah daerah dan
tentu keberpihakan penanggaran.
Namun perubahan ini masih meninggalkan Semestinya KLHK memberikan ruang
beberapa cacatan penting diantaranya: yang lebih panjang misalnya dengan tetap
a. Hutan adat yang telah ditunjuk hanya mengakomodir penunjukan hutan adat
diproteksi dari izin baru yang akan terbit, selama proses melengkapi syarat masih
sedangkan hutan adat yang ditunjuk pada berjalan, atau jika ingin lebih progresif,
areal yang telah dibebani izin,maka KLHK dapat merekomendasikan kepada
pemegang izin diminta untuk berkoordinasi pemerintah daerah untuk memprioritaskan
dengan pemangku adat dan melakukan produk hukum daerah pada daerah yang
koordinasi dengan prinsip kearifan local. terdapat penunjukan hutan adat.
Hal pertama yang tergambar adalah
Pemerintah tidak mengambil peran d. Salah satu syarat pengajuan hutan adat
strategis dalam penyelesaian konflik yang adalah hasil identifikasi dan pemetaan
terjadi pada hutan adat, hal ini mengulang wilayah adat. Dalam Permen LHK
posisi yang sama selama ini yang 17/2020, proses tersebut diserahkan pada
mengakibatkan konflik meningkat diringi dua pihak, yakni tim terpadu yang dibentuk

30
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

oleh bupati/walikota atau tim terpadu perguruan tinggi negeri, apalagi jika mengacu
KHLK. Hal ini menutup ruang pemetaan ditingkat daerah.
partisipatif yang sering dijalankan
masyarakat adat sebagai inisiatif internal Status dan Fungsi
mereka untuk menegaskan wilayah adatnya Salah satu hal mendasar yang masih memakai
dan juga sebagai alternatif atas kelambanan paradigma lama terkait hutan adat adalah
proses jika menunggu kesiapan pemerintah pemberian ruang perubahan status hutan namun
untuk menjalanakan proses tersebut. fungsi hutan masih tetap dalam kendali
Sehingga dengan adanya pengaturan ini pemerintah. Perubahan fungsi hutan yang tidak
semakin merumitkan proses pemenuhan satu paket kebijakan dengan perubahan status
syarat pengajuan hutan adat mengingat menambah panjang dan rumitnya upaya
pemerintah daerah tidak sepenuhnya paham masyarakat adat untuk berdaulat atas hutan
dan tertarik terkait isu-isu masyarakat adat adatnya, sebab perubahan fungsi mesti melalui
bahkan sebagian diantaranya mekanisme terpisah dari perubahan status.
menganggapnya sebagai ancaman dan
hambatan. Hal ini berdampak pada adanya pengakuan
status hutan adat namun tidak dapat
Susunan dan Kewenangan Tim Verifikasi dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat
Selain masalah susunan tim verifikasi hutan adat. Paradigma kebijakan ini memegang teguh
adat yang menutup ruang LSM (termasuk prinsip pemberian hak pengurusan dan
pendamping) dan unsur dari perguruan tinggi pengelolaan, bukan pemilikan atas hutan adat.
non negeri menjadi ketua tim verifikasi, adalah
kewenangan untuk memutuskan layak tidaknya MASALAH MENDASAR PENGAKUAN
sebuah hutan ditetapkan menjadi hutan adat. HUTAN ADAT
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan
Kelayakan penetapan hutan adat semestinya Hidup dan Kehutanan (KLHK) sampai pada
diatur lebih awal dari serangkaian proses bulan Mei 2020, terdapat 66 hutan Adat yang
penetapan hutan adat, sebab kewenangan tim telah ditetapkan dengan total luas sekitar
verifikasi untuk menggugurkan pengajuan 44.630 hektar yang tersebar di 13 provinsi.
hutan adat karena dianggap tidak layak sangat Total luas tersebut terbilang masih kecil jika
subjektif dan tidak memperhatikan proses yang melihat luas indikatif hutan adat sekitar
telah berjalan sebelumnya seperti lahirnya 472.981 hektar.
produk hukum daerah, dokumen identifikasi
dan pemetaan wilayah adat serta dokumen Sedangkan data Badan Registrasi Wilayah Adat
lainnya. (BRWA), sampai pada awal tahun 2019,
KLHK baru menetapkan 35 Hutan Adat dengan
Keputusan tim verifikasi terkait layak tidaknya total luas mencapai 28.286,34 hektar. Jumlah
sebuah usulan ditetapkan menjadi hutan adat ini juga sangat kecil jika dibandingkan dengan
menegasikan proses-proses poilitik dan hukum potensi hutan adat sekitar 7,60 juta hektar.
sebelumnya. Kewenangan ini dapat menganulir
kepututsan sebelumnya, seperti masyarakat Masih kecilnya capaian tersebut disebabkan
adat yang telah ditetapkan melalui perda (tentu setidaknya tiga hal mendasar:
dnegan lampiran peta wilaya adat) namun 1. Pengakuan terhadap subjek terlebih dahulu
dalam proses selanjutnya huta adat yang melalui peraturan daerah sebelum
merupakan bagian dari wilayah adat disebut mendorong usulan penetapan hutan adat
tidak layak ditetapkan menjadi hutan adat. sesungguhnya adalah pengakuan bersyarat
yang berlapis. Peran penting dari
Ironi ini juga terlihat dari pembatasan pemerintah daerah justru menjadi kendala
perguruan tinggi non negeri dalam posisi ketua eksternal bagi masyarakat adat ketika
tim verifikasi, semestinya KLHK dapat melihat kesiapan pemerintah daerah untuk
peringkat perguruan tinggi yang ada di melayani dan memfasilitasi pengakuan
Indonesia berdasarkan data dari masyarakat adat belum memadai, belum
KEMRISTEK/BRIN, dimana beberapa lagi proses yang mesti dilalui tentu sangat
perguruan tinggi non negeri menduduki dinamis mengingat pembentukan produk
peringkat yang lebih baik dibandingkan

31
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

hokum daerah adalah proses politik investasi karena kelambanan proses


ditingkat daerah. penetapannya.

2. Paradigma kebijakan dengan pendekatan KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


pemberian hak pemanfaatan atas hutan adat Tidak ada cara tunggal untuk mendorong peran
bukan pengakuan otoritas masyarakat adat Negara dalam menjamin hak bagi masyarakat
untuk mengontrol dan mengelola hutan adat. Peran organisasi masyarakat sipil sangat
adatnya. Paradigma ini melihat hak signifikan dalam mereplikasi ragam opsi
masyarakat adat pada ekosistem hutan yang pengakuan bagi masyarakat adat sebagai
berorientasi pada hubungan ekonomi loncatan ke arah pengakuan hutan adat.
semata, selama kebijakan masih memakai
pendekatan tersebut, maka selama itu pula Peran signifikan tersebut akan terus berlanjut
tidak ada perubahan yang signifikan dalam selama konstitusi yang telah mengatur tentang
hubungan masyarakat adat dan ekosistem hak masyarakat adat atas hutan masih
hutannya serta hubungan masyarakat adat dipandang oleh penyelenggara kebijakan
dan Negara itu sendiri. Cara pandang sebagai panduan secara umum, sehingga
pemberian hak atas hutan adat melahirkan semangat pengakuan dalam konstitusi tersebut
paradigma pembatasan penetapan hutan tidak dirasakan pada aturan turunannya yang
adat yang berada pada kawasan hutan yang lebih tekhnis.
sudah dibebani ijin atau berada di kawasan
konservasi. Munculnya hak atas hutan adat seharusnya
tidak lagi dimaknai pengakuan tetapi muncul
3. Penentuan syarat-syarat keberadaan dengan sendirinya. Sebab, hak ini berbeda
masyarakat adat dalam UU Kehutanan dengan hak yang lainnya dalam kehutanan yang
(yang merupakan UU Sektoral) melampaui bersifat derivat atau pemberian hak atas
yurisdiksinya. Persoalan lain yang muncul penguasaan oleh negara, seperti Hak
dari penentuan syarat tersebut adalah cara Penguasaan Hutan, Hak Penguasaan Hutan
pandang seragam terhadap masyarakat adat Tanaman Industri, Hutan Penelitian dan
dengan segala komplesksitasnya yang Pendidikan dan sejenisnya. Karena perbedaan
sangat beragam di Indonesia. Point ini konsepsi tersebut sehingga mestinya
menegaskan pentingnya UU Masyarakat melahirkan tekhnis pengakuan yang juga
Adat segera dibahas dan disahkan. berbeda.

Pasca Putusan MK.35/2012, tahapan baru bagi Agenda menempatkan masyarakat adat sebagai
masyarakat adat sebagai subjek pengelola hutan subjek pengelola kawasan hutan juga mesti
adat mestinya berdampak positif terhadap dikuatkan dengan terus mendorong konsep
transformasi pengelolaan kawasan hutan dan Kawasan Konservasi Masyarakat Adat ke
sumber daya alam di Indonesia. Lahirnya dalam kebijakan negara. Hal ini untuk memberi
Permen LHK 17/2020 sebagai ruang masyarakat adat mengelola hutan
pengejawantahan dari putusan MK tersebut adatnya dalam fungsi apapun yang tetap diatur
juga mestinya mengusung semangat yang sama. Negara.

Jika dilihat keberadaan wilayah adat pada


daerah kabupaten/kota yang telah menerbitkan DAFTAR PUSTAKA
Perda untuk pengakuan masyarakat adat, maka Buku
terdapat sekitar 2,08 juta hektar potensi hutan Kasim, Ifdhal, 2003. Terjajah di Negeri
adat. Sementara dari wilayah adat yang sudah Sendiri. ELSAM. Jakarta.
ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah
daerah, terdapat sekitar 832.902,36 hektar Moore, Sally F. 1983. Law as Process: An
potensi hutan adat. anthropological approach. London.

Dengan proses yang masih serupa dengan Hogwood, B.W. and L.A. Gunn. 1988. Policy
sebelumnya, potensi hutan adat yang ada Analysis for the Real World. Oxford
tersebut bukan mustahil menjadi sasaran empuk University Press.

32
Jurnal Ilmiah Maju Vol.4 No.1 Juni 2021

Williams, W. 1971. Social Policy Research and


Analysis. American Elswier Publishing
Company, New York, USA, and
Weimer, D.L. and A.R. Vining. 1989.
Policy Analysis: Concept and Practice.
Prentice Hall Inc. Englewoods, J.J.,
USA.

Jurnal/Prosiding/Disertasi/Tesis/Skripsi
Safitri, Myrna. 2001. Kajian Kebijakan Hak-
Hak Masyarakat Adat di Indonesia;
Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan
dalam era Otonomi Daerah. Icraf.
Jakarta.

Susilo, KS, 2005. Lokakarya Inventarisasi dan


Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat, Komnasham. Jakarta.

Prasetyo Nugroho, Yuli. 2020. Peran Negara


dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
melalui Kebijakan Hutan Adat dalam
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
melalui Kebijakan Hutan Adat. Sinjai.

Widodo, Kasmita. 2020. Kepastian Tenurial


Wilayah Adat dalam Pengelolaan
Hutan. Praksarsa Lintas Agama untuk
Hutan Tropis Indonesia. Jakarta.

Lain-lain
Makalah BRWA, Kebijakan Satu Peta Tanpa
Peta Wilayah Adat, 2019.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-


X/2012 tentang Hutan Adat.

Peraturan Menteri LHK No.


P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019
tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

Peraturan Menteri LHK No.


P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020
tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

Peraturan Menteri LHK No.


P.32/Menlhk/Setjen/2015 tentang
Hutan Hak.

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

33

Anda mungkin juga menyukai