Anda di halaman 1dari 26

Hukum administrasi mengatur bahwa wewenang pemerintah atau pemerintah

daerah dalam penerapan sanksi digolongkan sebagai kewenangan bebas. Dimaksud


sebagai kewenangan bebas adalah bahwa pemerintah dapat menggunakan
wewenangnya atau tidak menggunakan wewenangnya untuk menerapkan sanksi
administratif terhadap terjadinya pelanggaran hukum administrasi. Pendekatan
berbasis risiko dan persetujuan lingkungan harus diawasi baik dari tahap perencanaan
hingga pengawasan sehingga dalam implementasinya tidak melahirkan permasalahan
baru serta penegakan hukum baik secara administratif maupun pidana dapat berjalan
dengan baik.

Penghapusan beberapa kewenangan pemerintah daerah akan berakibat pada aspek


penyelenggaraan pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah tidak lagi UU tapi
jadi bersandar pada standard dan norma yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat lewat
peraturan pemerintah. Cara ini mungkin dapat menyelesaikan kerumitan dalam hal
menyatukan peraturan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Namun cara
ini seperti mengesampingkan pemerintah daerah sebagai unsur yang perlu diberikan
wewenang dalam mengelola kekuasaan. Tidak hanya mempermudah proses penerbitan
izin saja namun juga mempermudah proses pencabutan izin tersebut, ketika izin
lingkungan dicabut maka secara langsung izin usaha juga ikut dicabut dikarenakan
konsekuensi dari adanya pelanggaran lingkungan langsung berdampak pada izin usaha
tersebut, berbeda dengan peraturan lama dimana ketika izin lingkungan tersebut
dicabut dalam prakteknya izin usaha secara tidak langsung ikut dicabut/dibatalkan
mengingat konsekuensi dari pelanggaran lingkungan hanya terhadap izin lingkungan
saja, namun meskipun begitu dalam aturan lama juga sudah dijelaskan jika izin
lingkungan dicabut maka izin usaha dibatalkan.

Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin lingkungan


wajib bertidnak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku untuk menciptakan
kepastian hukum, memperhatikan kepentingan umum dan merespon aspirasi
masyarakat yang terkena dampak dari perbuatan mengeluarkan izin bersangkutan
untuk mewujudkan keadilan. Sehingga bisa dirasakan kedamaian dan keadilan dalam
masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
2.1.2. Neraca Sumberdaya Alam
Neraca sumberdaya alam merupakan catatan tentang berbgai sumber daya alam
yang ditemukan di suatu daerah (Kabupaten, Kota , atau Provinsi) atau di suatu negara
(Nasional) dalam suatu waktu tertentu (biasanya satu tahun) yang menunjukkan
cadangan fisik maupun dalam nilai moneter mulai dari cadangan awal, pertambahan
cadangan, pengurangan cadangan, dan cadangan akhir. Untuk negara-negara yang kaya
akan sumberdaya alam dan lingkungan yang indah permai seperti Indonesia, neraca
sumberdaya alam ini sangatlah penting sebagai dasar bagi penyusunan sumberdaya
alam.
Lingkungan hidup terutama sektor ekonomi kehutanan memiliki peran yang
ambigu dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di banyak negara, praktifk
penebangan kayu, kebijakan harga kayu, dan insentif pemrosesan kayu telah
mendorong penipisan alam yang cepat dan berkontribusi pada pembangunan yang
tidak berkelanjutan. Artinya melindungi dan memulihkan ekosistem terrestrial,
mengelola kerugian secara lestari dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
(Dsilva : 1998). Tujuan penting ini untuk mengetahui ancaman terhadap ekosistem
darat dan keanekaragaman hayati di seluruh dunia, tidak kurang dari dua belas target
mereka mencakup konservasi ekosistem terrestrial, pengelolaan hutan lestari,
pertarungan penggurunan, perlindungan keanekaragaman hayati dan habitat,
pencegahan spesimen invasif, dan mobilisasi sumber keuangan baru untuk melindungi
keanekaragaman hayati.
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (4) menentukan:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan,
kemajuan dan kesatuan nasional”

Asas yang diberlakukan dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah


perlindungan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam baik secara lokal,
regional maupun secara global, berfikirlah dengan kearifan lokal dan bertindak secara
global memberikan insentif dana atau subsidi kepada pihak yang pro lingkungan dan
pajak terhadap pihak yang memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan, bersikap
sebagai pramugara lingkungan, tanggungjawab perusahaan terhadap komunitas sosial
lingkungan, menegakkan etika berbisnis, perdagangan yang elok dan perlindungan
tenaga kerja serta konsumen.

Partisipasi Masyarakat merupakan salah satu karakteristik dari good governance.


Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun
melalui Lembaga yang mewakili kepentingannya dalam pembuatan keputusan
(Solekhan, 2012). Partisipasi memiliki tujuan agar setiap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Conyers menyatakan,
partisipasi memiliki arti penring dalam pemabangunan, yaitu
1) Partisipasi merupakan alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan dan sikap masyarakt terhadap sebuah proyek pembangunan
2) Masyakrakat akan lebih mempercayai proyek pembangunan jika merasa dilibatkan
3) Dalam perspektif demokrasi, partisipasi merupakan hak masyarakat untuk terlibat

Partisipasi masyarakat memiliki peranan yang penting, karena itu pemerintah perlu
memfasilitasi dalam proses pembangunan memiliki bentuk
1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan
2) Penerapan keputusan
3) Menerima manfaat dari keputusan
4) Partisipasi dalam evaluasi hasil keputusan

Masyarakat juga membutuhkan informasi yang transparan dan memadai mengenai


proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
1) Partisipasi palsu; keputusan dibuat oleh pejabat public dengan melibatkan sekelompok
masyarakat secara simbolik
2) Partisipasi parsial; keputusan dibuat oleh pejabat publik dengan mempertimbangkan
masukan dari kelompok masyarakat yang terbatas atau kelompok masyarakat dengan
kepentingan tertentu.
3) Partisipasi penuh: keptusan dibuat oleh pejabat public dengan pengaruh yang sangat
kuat dari masyarakat atau kelompok kepentingan terpilih yang dianggap mewakili
masyarakat secara umum

Mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan


perizinan berusaha berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang
pemerintah daerah yang diambil alih oleh Lembaga OSS, di mana seharusnya masih
merupakan kwenangan daerah sesuai amanat pasal 350 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014.

Analisis data
Analsis data penelitian dapat dilakukan dengan du acara yakni analisis kualitatif dan
analisis kuantitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan memperhatikan fakta yang
ada dan digabungkan dengan data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan,
sedangkan mertode kuantitatif digunakan bila sifat data dikumpulkan itu berjumlah
besar mudah dikualifikasi ke dalam kategori-kategori. Selain itu untuk memahami latar
belakang permasalahan, maka dalam penelitian ini juga akan menggunakan analisis isi
dan analisis komparatif yang d=membandingkan keadaan satu variable atau lebih pada
dua atau lebih sampel yang berbeda, atas dua waktu yang berbeda, dalam hal ini
penelitian hukum ini akan membahas dan dijelaskan dengan metode desktriptif, yakni
memberikan gambaran upah minimum provinsi

Pada UU Ciptaker tersebut banyak juga ditemukan tafsir-tafsir hukum yang dilakukan
oleh masyarakat atas peraturan baru tersebut yang menimbulkan protes, seperti contoh
banyak masyarakat yang protes dengan penggabungan izin usaha dan izin lingkungan
menjadi persetujuan lingkungan, masyarakat menilai bahwa dengan adanya
penggabungan izin tersebut dan hilangnya kata izin menjadi persetujuan akan
mempermudah investor untuk mengurus perizinan tanpa memperhatikan adanya
dampak lingkungan.

Undang-undang mengenai aturan lingkungan hidup di Indonesia terdapat


beberapa perubahan aturan perizinan yang dimuat dalam UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Pemerintah menyebut Undang-undang Cipta Kerja
ini adalah sebuah terobosan hukum. Perubahan perizinan terkait lingkungan hidup
dalam Omnibus Law sangat berdampak besar dalam kelangsungan lingkungan hidup,
hal ini dikarenakan ada kewenangan pemerintah yang hilang. Berdasarkan pandangan
pada proses dan substansi dari omnibus law terdapat indikasi bahwa materi muatan
banyak memiliki relasi dan keterkaitan dengan hak asasi manusia. Undang-undang
tentang perizinan terkait lingkungan hidup memilki peran vital dalam melindungi dan
menjaga kelestarian masyarakat dari kegiatan pengelolaan serta dampaknya terhadap
lingkungan harus mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
sebagai standar bagi pemerintah (Putra : 2020).

Kita dapat pahami bahwa secara akademis, kita juga telah berhasil mengenali berbagai
penyebabnya. Namun, dalam kenyataanya tetap sulit untuk mengimplementasikan
pencegahan ataupun penanggulangan kerusakan hutan dan lingkungan tersebut.
Menurut Simon (2007), mengemukakan bahwa proses tersebut terus berlanjut yaitu
kecepatan laju permudaan semakin tidak dapat mengimbangi laju penebangan,
sehingga umur hutan sekunder yang ditebang sudah dibawah daur tehnik. Karena
memang akar permasalahannya sangat rumit, menyangkut berbagai lapisan masyarakat
yang beranekaragam. Salah satu yang banyak disoroti di Seko adalah faktor kemiskinan,
persoalan perut ini memang harus segera dipecahkan secara komprehensip, sehingga
tepat jika agenda pengelolaan hutan dan lingkungan hidup dikaitkan dengan
kemiskinan.

Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara turun temurun.
Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan berkembang. Mereka
memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih dijalankan sampai saat ini.

Kearifan lokal adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara
bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan
masyarakat adat dalam menjaga hutan, Masyarakat tidak akan melakukan penebangan
pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak
daripada hal tersebut jika dilakukan. Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam,
pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih
dipraktekkan oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati
bermakna keseimbangan alam.

Sumberdaya alam yang melimpah menjadikan Seko sebagai wilayah rebutan para
investor. Sudah puluhan tahun masyarakat Seko dibuat resah oleh kehadiran PT. Seko
Fajar (HGU perkebunan) yang secara adinistrative menguasai kurang lebih 27.000 ha
atau 6 desa yang ada di Wilayah Seko Padang. Selain itu, keresahan masyarakat Seko
bertambah dengan adanya pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko
Power Prada, beserta beberapa perusahaan tambang emas dan biji besi yang telah
mengantongi izin eksplorasi di Wilayah Seko.
(https://perkumpulanwallacea.wordpress.com/, Tanggal 20 Februari). Hal lain yang
patut dicatat, salah satu dimensi kemiskinan yang selalu diabaikan oleh Negara adalah
dimensi agraria. Relasi agraria yang timpang merupakan dimensi kemiskinan yang
berkenaan dengan persoalan tenurial security, yakni bagaimana penguasaan
masyarakat atas sumber-sumber agraria dan bagaimana jaminan keamanannya.

Pada arti pembangunan harus sesuai dengan substansi yang akan dituju secara terpada
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 19960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, yaitu Negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penguasaan dan pemeliharaan bumi air dan ruang angkasa. Secara lebih
lanjut dalam Pasal 14 UUPA dijelaskan bahwa untuk mencapai hal yang menjadi cita-
cita bangsa, maka Pemerintah membuat suatu Rencana Umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan
hidup rakyat dan negara. Rencana Umum yang dibuat Pemerintah meliputi seluruh
wilayah Indonesia dan Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah di wilayah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dengan
Peraturan Daerah. Oleh karena itu perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah
agar optimal harus menyesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, maka untuk
kesesuian kebutuhan akan tanah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah,
sumber daya alam merupakan sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya alam tergolong dalam
beberapa komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme, tetapi juga
komponen abiotik, seperti minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah.
Pengaturan hidup tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan manusia, tetapi
juga mengatur antara manusia dan lingkungan hidupnya. Misalnya bagaimana cara atau
upaya dalam menjaga agar sumber daya alam yang tersedia tetap digunakan dan
dimanfaatkan secara baik dan bijak agar dapat terjaga kelestariannya dan seberapa
besar dapat dilakukan eksploitasi suatu bahan tambang sehingga tetap dapat
dikendalikan persediaanya.
Penghapusan beberapa kewenangan pemerintah daerah akan berakibat pada
aspek penyelenggaraan pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah tidak lagi
UU tapi jadi bersandar pada standard dan norma yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat lewat peraturan pemerintah. Cara ini mungkin dapat menyelesaikan kerumitan
dalam hal menyatukan peraturan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Namun cara ini seperti mengesampingkan pemerintah daerah sebagai unsur yang perlu
diberikan wewenang dalam mengelola kekuasaan.

Sumberdaya alam yang melompah menjadikan Seko sebagai wilayah rebutan para
investor. Sudah puluhan tahun masyarakat Seko dibuat resah oleh kehadiran PT. Seko
Fajar (HGU perkebunan) yang secara administratif menguasai kurang lebih 27.000 ha
atau 6 desa yang ada di Wilayah Seko Padang. Selain itu, keresahan masyarakat Seko
bertambah dengan adanya pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko
Power Prada, beserta beberapa perusahaan tambang emas dan biji besi yang telah
mengantongi izin eksplorasi di Wilayah Seko. Hal ini yang patut dicatat, salah satu
dimensi kemiskinan yang selalu diabaikan oleh Negara adalah dimensi agraria.

Kajian Lingkungan Hidup strategies yang dibuat dan dilaksanakan secara


komprehensif dan rinci sebagaimana dimaksud mengenai lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatannya berada pada kabupaten/kota yang memiliki rencana detail tata
ruang yang telah dilengkapi dengan kajian lingkungan hidup strategis yang dibuat dan
dilaksanakan secara komprehensif dan rinci sesuai dengan program Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah yang telah memiliki kebijakan, rencana, dan/atau
program berupa rencana induk yang diselenggarakan dengan pendekatan holistik,
integratif, tematik, dan spasial.

Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,


keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai sayarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Konsep perizinan berusaha di bidang
lingkungan hayati yang diatur pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 perihal
proteksi serta Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menggunakan pendekatan
berbasis biar (licence approach) yang akan diubah sebagai penerapan standar serta
berbasis resiko (risk-based approach/RBA) serta Undang-undang Cipta Kerja, hal ini
berarti bahwa izin akan dilakukan oleh pemerintah sentra berdasarkan perhitungan
nilai taraf bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan,
keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya.

Potensi terjadinya bahaya dikelompokkan menjadi tidak pernah terjadi, jarang


terjadi, pernah terjadi dan sering terjadi. Hal ini berpotensi mengabaikan resiko-resiko
yang belum atau tidak teridentifikasi sebelumnya. Sedangkan supervise terhadap
aktivitas badan perjuangan dilakukan dengan inensitas pelaksanaan berdasarkan
tingkat resiko kegiatan perjuangan yang diatur lebih lanjut pada peraturan pemerintah
(Akhmaddhian : 2016)

Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari
perbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam akan
menimbulkan suatu perubahan terhadap ekosistem yang akan mempengaruhi
sumberdaya alam itu sendiri. Pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi ambang
batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya akan
mendorong terjadinya suatu bencana yang akan merugikan masyarakat. (Hamzah,
2005)

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 22 Tahun 2021, untuk
menentukan rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UKL-UPL), atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan
proses penapisan mandiri. Namun, demikian, penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sebelum melakukan penyusunan formulir KA ANDAL perlu melaksanakan pelibatan masyarakat
yang terkena dampak langsung (baik positif maupun negatif). Pelibatan masyarakat
sebagaimana yang telah tercantum pada peraturan yang berlaku berhak mengajukan saran,
pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat adalah hak semua orang, dan semua orang mempunyai hak yang sama.
Dengan demikian maka, mengelola dan memanfaatkan, serta menjaga kelestarian
lingkungan dengan baik. Lingkungan hidup merupakan bagian dari urusan
pemerintahan konkuren yang termasuk kedalam urusan pemerintahan Wajib Non
Pelayanan Dasar seperti termuat pada pasal 12 bagian Urusan Pemerintahan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Lingkungan hidup menurut Tandjung (1995) terdiri atas 3 komponen yang antara
lain sebagai berikut.
(1) Komponen Abiotik merupakan lingkungan fisik terdiri dari berbagai macam unsur
antara lain, air, udara, lahan dan berbagai macam potensi energi yang ada didalam
lingkungan fisik.
(2) Komponen Biotik merupakan lingkungan hayati terdiri dari berbagai macam unsur
antara lain hewan, tumbuhan, dan bahan baku industry hayati lainnya.
(3) Komponen Culture merupakan lingkungan culture sosial, ekonomi, dan budaya yang
terdiri dari berbagai macam unsur yang antara lain meliputi unsur ekonomi, sosial
dan budaya. Interaksi yang terjadi dari komponen abiotik, biotik dan culture akan
mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup.
Menurut Soemarwoto (1994) sifat lingkungan hidup dapat ditentukan oleh
berbagai macam faktor yang antara lain jenis dan jumlah dari setiap unsur lingkungan
hidup, interaksi yang terjadi dari unsur-unsur dalam lingkungan hidup, dan faktor
lainnya seperti suhu, cahaya dan kebisingan. Lingkungan atau suatu ekologi terdiri dari
hubungan antara suatu sistem sosial dengan ekosistem. Sistem sosial terdiri dari
berbagai macam komponen yang antara lain pengetahuan, teknologi, eksploitasi
sumberdaya, dan ekonomi. Komponen-komponen ekosistem meliputi air, tanah, lahan,
flora, fauna, dan kehidupan makhluk hidup lainnya. Hubungan timbal balik inilah yang
erat kaitannya antara suatu sistem sosial yang dikelola oleh manusia dengan berbagai
macam komponen ekosistem yang ada, sehingga hubungan timbal balik keduanya
antara subsistem sosial dan ekosistem berjalan teratur (Rambo, 1981).
Kerusakan lingkungan hidup terdiri dari berbagai macam faktor yang
mempengaruhi. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan lingkungan
hidup.
(1) Faktor Alam
Faktor alam merupakan rusaknya lingkungan dikarenakan oleh alam yang diantara
lain oleh bencana alam dan cuaca yang tidak menentu. Bencana Alam yang ada
antara lain banjir, tanah longsor, tsunami dan gempa. Faktor alam tidak hanya dari
bencana, tenaga yang berasal dari alam juga dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan terhadap suatu ekosistem. Salah satu contoh yang ada seperti
gelombang lau yang mengakibatkan adanya erosi pantai sehingga ekosistem pantai
menjadi rusak dan dapat mengakibatkan unsur-unsur darri komponen lingkungan
yaitu abiotic, biotik dan culture terganggu. Bencana-bencana ini merupakan
bencana yang berbahaya bagi keselamatan manusia dan lingkungan.
(2) Faktor Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup yang berakal dan memiliki kemampuan tinggi
dibandingkan makhluk lainnya. Kehidupan menuntut akan adanya perkembangan
pola kehidupan yang tentunnya kebutuhan hidup akan sangat berkembang.
Berdasarkan hal tersebut maka manusia melakukan eksploitasi sumberdaya
berlebihan. Aktivitas yang dilakukan manusia salah satunya aktivitas industry
dalam praktek pengolahan dan pembuangan limbah, aktivitas pengembangan hutan
dalam paraktek kegiatan penebangan pohon yang tidak memerhatikan fungsi ata
pengolahan yang berlebihan sehingga muncul kerusakan lingkungan.

2.3.1. Pengembangan hasil hutan produksi dan pengaruhnya terhadap


kerusakan lingkungan

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam


hubungannya dengan pemanfaatan hutan, misalnya silvikultur dengan cabang-cabang
ilmunya, perlindungan hutan juga berkembang menjadi suatu disiplin ilmu.
Perlindungan hutan merupakan ilmu yang mepelajari upaya melindungi hutan dari
berbagai penyebab kerusakan hutan yang dalam telah dan pengembangan ilmunya juga
merupakan cabang ilmu silvikultur (Hawley dan Stickel, 1959; Evans , 1982).
Pergeseran komposisi jenis hutan yang terjadi di banyak bagian dunia, menyebabkan
hutan alam semakin sedikit dan hutan tanaman makin banyak diusahakan, sehingga
perlindungan hutan harus makiin memusatkan pengembangan ilmunya pada bentuk
pengelolaan hutan yang intensif. Kesepakatan global tentang pengelolaan sumber daya
hutan yang mengharuskan persyaratan kelestarian sumber daya juga merupakan faktor
lain yang berperan dalam pengembangan arah ilmu perlindungan hutan. Dalam
pegelolaan hutan lestari, ubstansi strategi silvikultur mendapat penekanan yang lebih
besar dibanding dengan pengelolaan yang hanya berorientasi pada tujuan produksi
kayu secara komersial. Perkembangan pengelolaan hutan seperti yang dijelaskan di atas
mengarahkan pada suatu kecenderungan bahwa Tindakan perlindungan hutan tidak
dapat dianggap sebagai suatu penyelesaian masalah kerusakan sesaat, atau hanya
merupakan tindakan darurat.
Seringkali aktivitas penyebab kerusakan hutan memicu penyebab-penyebab
kerusakan yang lain juga berkembang secara bersamaan. Akhirnya seorang pengelola
hutan harus mengetahui penyebab primernya dan dapat menyusun rencana tindakan
perlindungan untuk menghindari atau menekan kerugian akibat kerusakan tersebut.
Dalam hubungannya dengan tindakan pengelolaan, pencegahan dalam konsep
perlindungan hutan didekati melalui (Evans, 1982):
(1) Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan untuk mencegah agar
penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak menimbulkan kerusakan yang
serius
(2) Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang “hati-hati” dan berwawasan
masa depan
Luasnya Kawasan dan lebatnya vegetasi hutan merupakan faktor potensial dalam
mempertahankan tata air sebagai penyangga kehidupan manusia. Sebgaimana
diketahui sumberdaya hutan merupakan satu diantara modal utama bagi kegiatan
perekonomian suatu bangsa untuk menyejahterakan rakyatnya, oleh karena itu harus
dijaga dan dimanfaatkan sebaik-bainya, agar tetap menjadi hutan lestari. Menurut
Sumardi (Sumardi, dkk, 2007) Pengembangan hasil hutan merupakan pelaku bisnis
yang harus tetap dilandasi oleh prinsip-prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan
yang meliputi tiga aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yakni:
(1) Kelestarian ekologi pada hutan yang dikelola,
(2) Manfaat ekonomi dalam pengusahaan hutan
(3) Manfaat sosial dari hutan untuk masyarakat sekitarnya.
Manfaat Ekonomi dari hutan harus dapat membiayai kegiatan pelestarian ekologi
dan pengembangan sosial masyarakat. Tujuan pengembangan sosial dalam rangka
meberdayakan masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam
melestarikan hutan dan pentingnya kelestarian ekologi. Pengambilan hasil-hasil hutan
dalam jumlah yang tidak melebihi jumlah pertumbuhan merupakan syarat manajemen
hutan lestari. Adapaun syarat-syarat pengelolaan hasi hutan, dinataranya:
(1) Jumlah pemanen harus ditetapkan pada tingkat yang lestari. Hal ini merupakan hal
yang mendasar bagi SFM. Bila memungkinkan, jumlah pemanen harus ditetapkan
untuk masing-masing hasil utama berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu.
Meskipun Demikian, penentuan jumah pemanen lestari untuk hutan-hutan alam
sangat komplek, karena jumlah tersebut kemungkinan besar akan berubah sejalan
dengan pertumbuhan hutan dan pemanen hutan, dan juga berubah sesuai dengan
perubahan pasar untuk berbagai spesies yang berbeda. Di hutan-hutan alam,
pemanenan pertama terdiri dari akumulasi ‘modal’ kayu yang terjadi dalam jangka
waktu panjang. Setelah pemanenan pertama terjadi perubahan besar dalam
komposisi spesies dan campuran kelas ukuran.
(2) Data aktual harus dikumpulkan untuk menentukan tingkat pemanenan lestari.
Dokumen-dokumen dan catatan harus disimpan untuk memantu memonitoring dan
menentukan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi sejalan dengan waktu.
Informasi ini perlu dianalisa, dan harus tersedia atau dapat diakses agar dapat
bermanfaat. Data-data utama meliputi:
a. Data inventaris hutan, menyediakan informasi mengenai kuantitas
ketersediaan sumberdaya saat ini yang dapat dipanen;
b. Informasi mengenai pertumbuhan dan hasil, untuk menentukan seberapa cepat
sumberdaya akan kembali pulih setelah pemanenan;
c. Informasi mengenai produksi benih dan regenerasi dari studi ekologi dan
pengalaman ilmiah;
d. Informasi mengenai hasil hutan produksi jika sumberdaya ini akan dipanen
atau akan terpengaruh oleh operasi pemanenan kayu (Lahjie, 2005).
Pendapat lain menurut Agung dan Henrich (2004) mengatakan aspek-aspek
produksi yang perlu diperhatikan adalah:
(1) Kepastian Kawasan merupakan pencerminan kondisi di dalam unit manajemen
yang mana terdapat kejelasan aspek status legal dari Kawasan hutan sebagau areal
unit manajemen, dan prediksi ke depan keamanan Kawasan tersebut dari berbagai
konflik penggunaan lahan yang mungkin terjadi (akibat dari kompensasi
masyarakat adat atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan)
(2) Perencanaan dan pemanenan hasil hutan, merupakan pencerminan kondisi kinerja
unit manajemen dalam membuat perencanaan makro dan terinci sistem
pemanfaatan hasil hutan khususnya menyangkut pembuatan petak dan blok
penyiapan sarana dan prasarana sesuai dengan standar (jalan, TPN dan jembatan),
dan pembuatan perencanaan dengan terinci serta sistematis mengenai pengaturan
hasil (jatah tebangan). Perencanaan penebangan (peta, kontur, posisi pohon,
perencanaan jalan, proses penebangan dengan RIL, penebangan
terarah/penyaradan dengan winching, menghindari penebangan di areal lindung:
badan sungai, mata air, danau daerah curam, daerah kerangasan).
(3) Administrasi tata usaha kayu, merupakan pencerminan lacak balak kayu (chain of
custody): kondisi sistem aliran kayu di unit manajemen dari petak tebang sampai
tempat pelegoan (log pond), kinerja tersebut dapat terlihat dari ketersediaan peta
pohon, pelabelan kayu di tunggak dan bontos serta kebenaran administrasinya
(lacak balak).
(4) Organisasi dan kelembagaan merupakan cerminan kondisi dari unit manajemen
dalam mengelola hutan oleh sistem manajemen beserta pelakunya yang
profesional. Adanya keseimbangan kerja dalam organisasi antar bagian
perencanaan, bagian produksi, bagian pembinaan, bagian administrasi dan bagian
monitoring serta evaluasi.

Mengingat penanganan bidang lingkungan hidup dan sumber-sumber alam termasuk


dalam kompetensi beberapa departemen maka timbul masalah mengenai sejauh mana
peran kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penetapan
kebijakan lingkungan, terutama yang menyangkut masalah penanggulangan
pencemaran lingkungan akibat hasil hutan produksi. Selanjutnya perlu dipikirkan
tentang pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan sektor hutan produksi melalui peradilan serta seberapa jauh peradilan
mampu mengatasi perkara lingkungan.
2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Seko dalam bahasa setempat berarti saudara, atau sahabat/teman, pengertian ini
didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah Dataran
Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan. Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh dari sekian kecamatan di
Kabupaten Luwu Utara. Masyarakat Adat Seko menempati Daerah Dataran Tinggi
yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Seko Kabupaten Luwu
Utara, Sulawesi Selatan. Tana Seko terbagi atas 3 (tiga) wilayah besar yaitu; Seko
Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo dan 9 (sembilan) wilayah hukum adat yaitu;
Hono’, Turong, Lodang, Seko Rampi, Pohoneang, Amballong, Hoyyane, Kariango
dan Beroppa’. Luas Seko mencapai 2.109,19 Km2, wilayahnya berada di ketinggian
antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian
besar wilayahnya berbukit-bukit. Sebelah barat berbatasan langsung dengan
Kecamatan Rampi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toraja, bagian selatan
berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong dan bagian utara
berbatasan dengan Kabupaten Mamuju.
Secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan cara musyawarah. Sehingga
keputusan tertinggi berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dikenal dalam
bahasa adatnya dengan sikobu/silahalaha untuk Seko Padang, massalu untuk di Seko
tengah dan seko lemo. Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara
turun temurun. Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan
berkembang. Mereka memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih
dijalankan sampai saat ini. ”Saudara” , ”Sahabat” dan ”Teman”. Pengertian ini
didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah di Dataran
Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan. Seko adalah salah satu wilayah adat di Luwu Utara, hal itu sudah diakui oleh
pemerintah melalui SK No. 300 dan juga PERDA No.12 Tahun 2004.

2.1.1. Lingkungan Fisik (Abiotik)


A. Kondisi Geologi
Secara geografis Kabupaten Luwu Utara terletak pada 010 53’ 19” - 02° 55’ 36”
Lintang Selatan, dan 119° 47’ 46” - 120° 37’ 44 Bujur Timur dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut :
(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Sulawesi Tengah
(2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur
(3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Teluk Bone.
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Sulawesi Barat.
Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara tercatat 7.502,58,Km2 dengan jumlah
Penduduk 321.979 Jiwa dan secara administrasi Pemerintahan terbagi menjadi 11
Kecamatan dengan 167 desa, 4 kelurahan dan 4 Unit Pemukiman Transmigrasi.
Terdapat sekitar 8 (delapan) sungai besar yang mengaliri wilayah Kabupaten Luwu
Utara. Sungai yang terpanjang adalah sungai Rongkong dengan panjang 108 km yang
melewati 3 Kecamatan, yaitu Sabbang, Baebunta dan Malangke.
Iklim Luwu Utara termasuk iklim tropis, suhu udara minimum 25,30 0C dan suhu
maksimum 27,90 0C dengan kelembaban udara rata-rata 83 %. Menurut pencatatan
stasiun pengamatan ( SP ) Bone-Bone secara rata-rata jumlah hari hujan sekitar 9 hari
dengan jumlah curah hujan 76. Stasiun Pengamatan Amasangan mencatat secara rata-
rata jumlah hari hujan sekitar 8 hari dengan curah hujan 226. Sedangkan berdasarkan
Stasiun Pengamatan Malangke secara rata-rata jumlah hari hujan sekitar 11 hari dengan
jumlah curah hujan 247, dan Stasiun Pengamatan Sabbang mencatat bahwa secara rata-
rata jumlah hari hujan sekitar 14 hari dengan jumlah curah hujan 256. Dari 11
Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Seko dengan luas 21.109,19 Km2 dan luas
wilayahnya terkecil adalah Kecamatan Malangke Barat dengan luas 93,75 Km2.
Berdasarkan Kabupaten Luwu Utara dalam angka tahun 2016 menunjukkan kondisi
fisik geologi didominasi jenis batuan Alluvium dan Coasltal Deposit yang mana tersebar
di kecamatan Baebunta, Malangke, Mlk. Barat, Bone-Bone, Sukamaju dengan keterangan
Liatmarin, pasir, kerikil, dan terumbu karang, adapun batuan Batuan Endapan Dana
dengan cakupan wilayah Rampi, Limbong & seko serta keterangan Pasir, liat dan kerikil.
Batuan Vulkanik dengan cakupan wilayah Seko dan keterangan Basaltic spilitic, calc-
alkaline, breccia, tuff, lava & pillow lava. Kondisi geologi Kabupaten Luwu Utara dapat
ditelusuri dari batuannya.

B. Kondisi Klimatologi
Berdasarkan data statistic Kabupaten Luwu Utara dalam angka tahun 2016, Secara
umum Kabupaten Luwu Utara beiklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim
penghujan dan musim kemarau. Intensitas curah hujan Kota Masamba termasuk tinggi,
hal ini berdasarkan data curah hujan yang dicatat di Stasiun Baliase dan Stasiun
Sukamaju dengan curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm pertahun. Suhu udara
rata-rata berkisar antara 30,6oC-31,6oC pada musim kemarau dan antara 25oC-28oC
pada musim penghujan. Berdasarkan tipe iklim oldeman, wilayah Kabupaten Luwu
Utara umumnya memiliki tipe iklim B1 dan B2, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 1.
Rata – rata Suhu Udara dan Kelembaban Relatif Di Kabupaten Luwu Utara Tahun
2015

Grafik 2.4.
Rata – rata Suhu Udara dan Kelembaban Relatif Di Kabupaten Luwu Utara Tahun
2015
Kondisi rata-rata tekanan udara dan kecepatan angin di kabupaten yang mana
diambil berdasarkan data statistic Kabupaten Luwu Utara tahun 2016 menunjukkan
bahwa rata-rata tekanan udara stasiun(Mb) mencapai 1004,8 di bulan januari, pada
bulan September mencapai 1007,9 mb.

C. Kondisi Hidrologi
Kondisi hidrologi Kabupaten Luwu Utara sangat berkaitan dengan tipe iklim dan
kondisi geologi yang ada. Kondisi hidrologi permukaan ditentukan oleh sungai–sungai
yang ada yang umumnya berdebit kecil oleh karena sempitnya daerah aliran sungai
sebagai wilayah tadah hujan (catchment area) dan sistem sungainya. Kondis ersebut
diatas menyebabkan banyaknya aliran sungai yang terbentuk Air tanah bebas
(watertable groundwater) dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai.
Kedalaman air tanah sangat bervariasi tergantung pada keadaan medan dan jenis
lapisan batuan.
Sistem aliran hidrologi di Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa pergerakan
air, baik air permukaan maupun air tanah, langsung menuju arah laut. Aquifer
umumnya terdapat pada lapisan pasir, kerikil dan lapisan tipis batu gamping. Salah satu
keunggulan dari sistem sungai-sungainya adalah kondisi airnya yang masih jernih dan
bening sehingga sangat baik untuk dijadikan tempat rekreasi. Sumber daya air
khususnya air permukaan sangat melimpah di daerah Luwu Utara. Sebagian kecil dari
potensi air permukaan telah dimanfaatkan untuk pengembangan irigasi, pembangkit
listrik dan budidaya perikanan. Potensi air tanah dangkal terbatas di daerah dataran
rendah.

D. Kondisi Penggunaan Lahan


Penggunaan dan penutupan lahan Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara dapat
dilihat pada dokumen RTRW Kabupaten Luwu Utara tahun 2005-2014 telah
mencantumkan arahan penggunaan lahan sesuai dengan kondisi lahan potensi
kesesuaian/kemampuan lahan, fakta produktivitas budidaya dan kegiatan ekonomi, dan
realitas perkembangan permukiman dan perkotan. Pola pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten Luwu Utara tidak diarahkan pada pola guna tunggal (single use), melainkan
seoptimal mungkin dapat dikembangkan pola guna campur (mixed use) dengan
konsepsi dominasi fungsi. Selanjutnya, didalam RTRW 2005-2014 juga telah ditetapkan
Kawasan lindung untuk memberikan perlindungan terhadap daerah bawahan, daerah
setempat, suaka alam dan cagar budaya serta daerah rawan bencana, seperti
diamanatkan Kepres 32/1987.
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap bawahannya meliputi
Kawasan hutan lidung di Kecamatan Seko dan sekitarnya yang berada di atas ketinggian
400 mdpl. Kawasan budidaya diarahkan pada daerah yang terletak pada ketinggian
kurang dari 400 mdpl dengan karakter pertanian lahan basah untuk pengembangan
tanaman padi menggunakan sistem irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan,
selain itu pertanian lahan kering untuk pengembangan perkebunan.

2.1.2. Lingkungan Hayati (Biotik)


A. Kondisi ekosistem hayati
Nilai total curah hujan tahunan yang mencapai lebih dari 3.000 dengan distribusi
hampir merata sepanjang tahun, dimana nilai curah hujan bulanan terendah mencapai
nilai tidak kurang dari 130mm, menunjukkan bahwa iklim di Kecamatan Seko tergolong
iklim yang basah dengan tipe iklim A bedasarkan sistem klasifikasi tipe iklim menurut
Schmid dan Ferguson. Tipe iklim basah tersebut akan menentukan tipe ekosistem
utama di kecamatan tersebut. Setiap tipe ekosistem akan mendukung keanekaragaman
hayati yang spesifik sesuai dengan karakteristik dari ekosistem tersebut. Ekosistem
hutan merupakan ekosistem terestrial alami yang paling lengkap dibandingkan
ekosistem lainnya. Karena itu, kompoosisi jenis flora dan fauna yang ada di dalam hutan
dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam menilai keanekaragaman hayati suatu
kabupaten, selain komposisi flora dan fauna dari ekosistem lainnya. Berkaitan dengan
iklimnya yang basah, dimana hujan turun sepanjang tahun dengan curah hujan bulanan
terendah mencapai nilai lebih dari 130 mm, maka ekosistem hutan di Kecamatan Seko
dapat dikategorikan sebagai “hutan hujan tropika”. Hal ini didukung juga oleh fakta
bahwa, di dalam hutan di wilayah Kabupaten Luwu Utara ditemukan jenis-jenis pohon
penciri ekosistem hutan hujan tropika seperti jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae,
antara lain: Anisoptera sp. (mersawa), Vatica flovovirens (resak), Vatica rassak (resak),
dan Hoppea celebica (merawan).

Selain jenis-jenis dari Dipterocarpaceae, keberadaan jenis-jenis pohon seperti


uru (Elmerrillia ovalis: Magnoliaceae), kalapi (Kalappia celebica: Fabaceae), jabon merah
(Anthocephalus macrophyllus: Rubiaceae), terentang (Campnosperma auriculatum:
Anacardiaceae) juga menjadi indikator bahwa ekosistem hutan di Kabupaten Luwu
Utara adalah hutan hujan tropika. Keberadaan banyak jenis rotan (Arecaceae) dengan
kerapatan yang melimpah sehingga oleh masyarakat di sekitar hutan dapat dijadikan
sebagai sumber mata pencaharian utama juga dapat dijadikan indikator dari
keberadaan hutan hujan tropika. Sebaliknya, jenis-jenis penciri ekosistem hutan musim
(monsoon) seperti jenis-jenis pohon mangga (Mangifera spp.: Anacardiaceae), bungur
(Lagerstroemia speciosa: Celastraceae), kayu raja (Cassia fistula: Fabaceae), lobe-lobe
(Facourtea rucam: Falcourteaceae) hampir tidak pernah ditemukan di dalam ekosistem
hutan yang ada di Kabupaten Luwu Utara.

Jenis-jenis pohon lokal penghasil kayu bahan bangunan tersebut di atas kini
semakin langka adanya, padahal jenis-jenis pohon tersebut telah terbukti menjadikan
sektor kehutanan berjaya di masa lalu. Kalapi adalah jenis pohon endemik penghasil
kayu bahan bangunan yang kualitasnya sangat diakui dan bernilai ekonomi tinggi di
seluruh wilayah Luwu. Namun demikian, sampai saat ini belum ada upaya dari pihak-
pihak tertentu, termasuk pemerintah, untuk mengembangkan jenis pohon tersebut
sebagai komoditas unggulan lokal kehutanan. Padahal secara ekonomi bercocok tanam
pohon untuk menghasilkan kayu bahan bangunan sangatlah menguntungkan, baik bagi
masyarakat maupun pemerintah.

B. Kondisi Keanekaragaman Hayati


Data yang bersumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan (2010 - 2015)
tidak terdapat perubahan jumlah spesies flora dan fauna dilindungi, kecuali jumlah spesies
dalam status dilindungi atau endemik yang mengalami perubahan. Ada spesies yang berstatus
dilindungi atau endemik ditemukan menurun (khususnya dari golongan hewan menyusui,
burung, serangga, dan keong), tetapi ada juga spesies yang berstatus dilindungi atau endemik
yang ditemukan meningkat (khususnya dari golongan: reptil, ikan, dan tumbuh-tumbuhan).
Pada jenis Fauna golongan : (1) Hewan menyusui ditemukan 9 (sembilan) spesies yang
berstatus dilindungi, termasuk tiga diantaranya berstatus endemik berurut dari yang
pertama, yakni : Anoa depressicomis, Anoa quariesi, Babyrousa babyrussa, Cervus spp,
Macaca Maura, Phalanger spp, Pteropus alecto, Tarsius spp, dan Sus celebensis, (2)
Burung ditemukan 16 (enam belas) spesies yang berstatus dilindungi, termasuk dua
diantaranya berstatus endemik-berurut dari yang pertama, yakni : Aramidopsis platen,
Macrocephalon meleo, Accipitridae, Alcedinidae, Anhinga melanogaster, Bubulcus ibis,
Bucerotidae, Cacatua sulphurea, Egretta spp, Loriculus Exilis, Meliphagidae, Pattidae,
Prioniturus platurus, Sternidae, Tanygnathus sumatranus, dan Trichoglossus ornatus,
(3) Reptil ditemukan 10 (sepuluh) spesies yang berstatus dilindungi, yakni :
Lepidochelys olivacea, Caretta caretta, Eretmochelys imbricate, Chelonia mydas, Natator
depressa, Hidrosaurus amboinensis, Dermochelys coriacea, Varanus salvator, Pyton r.
reticulates, dan Cuora amboinensis, (4) Ikan ditemukan 25 (dua puluh lima) spesies
yang berstatus dilindungi, yakni : Channa Striata, Clanas sp., Cyprinus carpio,
Dermogenys weberi, Dermogenys megarrhampus, Dermogenys sp., Oreochromis
mossombicus, Oryzias marmoatus, Glossobius biocellatus, Glossobius celebius,
Glossobius intermedius, Glossobius flavipinnis, Glossobius matanensis, Mugilogobius
sp., Telmatherina abendanoni, Telmatherina antoniae, Telmatherina bonti,
Telmatherina celebensis, Telmatherina opudi, Prognatha, Telmatherina sp.,
Trichogaster pectoralis, Taminanga sanguicauda, Phanterina sp., dan Synbrancus sp.,
dan (5) Serangga ditemukan 4 (empat) spesies dilindungi, yakni : Cethosia myrina,
Troides haliphron, Troides Helena, dan Troides hypolitus.
Selanjutnya pada jenis Flora (tumbuhan) juga dapat dikelompokkan berdasarkan
golongan (lihat Gambar 2.8) : (1) Tanaman Keras ditemukan 44 (empat puluh empat)
spesies dilindungi, termasuk empat diantaranya berstatus endemik-berurut dari yang
pertama, yaitu : Diosypros celebica, Colona celebica, Macademia hildebrandill Steenis,
Ficus minahasea Miq, Agathis sp., Diosypros macrophylla, Diosypros buxifolia, Durio,
Shorea spp., Palaquium spp., Anthocephallus spp., Syzigium spp., Cananga spp., Spondias
spp., Terminalia spp., Aquilaria filarial, Tectona grandis, Ceiba pentandra, Ficus
benjamina, Ficus geacarpa, Gracinia balica, Gracinia dulculis, Gymnacranthera bancana,
Lithocarpus celebius, Manikara fasciculate, Ormosia calavensis, Pometia pinnata,
Alstonia scholaris, Delphacea glabra, Tabernaemontana sphaerocarpa, Chionanthus
ramifora, Colona celebica, Gynnostoma sumatrana, Macademia hildebrandill Steenis,
Lagestroemia speciosa, Gronophyllum microcarpum, Callophyllum inophyllum,
Callophyllum soulattria, Dillenia pteropada, Harpullia arborea, Vatica rassak Pinus spp.,
Elmerilla spp., Swietenia macrophylla, Mimosops elengi, dan Samanea saman, (2) Palem
dan Paku-pakuan ditemukan 9 (sembilan) spesies dilindungi, termasuk satu
diantaranya berstatus endemik-urutan pertama, yaitu : Areca vestiara, Pinanga caesia,
Pinanga celebica, Cyanthea celebica, Cyanthea contaminans, Cycas rumphii, Borassus
flabellifer, Calamus, dan Arenga piñ ata, (3) Orchidaceae ditemukan 94 (sembilan puluh
empat) spesies dilindungi, yaitu : Abdominea minimiflora, Acanthephipium splendidum,
Acriopsis lilifolia, Aerides inflexum, Acriopsis odorata, Agrostophyllum bicuspidatum,
Agrostophyllum longifolium, Anoectochilus reinwadtii, Appendicula laxifolia,
Appendicula pendula, Appendicula reflexa, Arundina graminifolia, Brachypeza indusiata
Bulbophyllum croceodon, Bulbophyllum lepidum, Bulbophyllum odoratum,
Bulbophyllum spissum, Bulbophyllum tectipes, Bulbophyllum uinflorum, Bulbophyllum
macranthum lindi, Bromheadia finlaysoniana, Calanthe hyacinthine, Calanthe triplicata,
Chrysoglossum ornatum, Coelogyne asperata Lindl, Coelogyne celebensis, Coelogyne
multiflora, Coelogyne rumphii, Coelogyne rochussenii, Corymborkis veratrifolia,
Cymbidium finlaysonianum Lindl, Dendrobium acumitissmum, Dendrobium aerosum,
Dendrobium crumenatum, Dendrobium concinnum, Dendrobium judithiae,
Dendrobium lamellatum, Dendrobium lancifolium, Dendrobium litorium, Dendrobium
rumphianum, Dendrobium paniferum, Dendrochillum gracille, Dendrochillum
oxylobum, Entomophobia kinabaluensis, Eria bractescens Lindl, Eria cymbidifolia, Eria
cymbiformis, Eria densa.

2.1.3. Lingkungan Kultural (sosial ekonomi budaya)


A. Kondisi kependudukan
Penduduk Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2016 berjumlah 305.402 orang.
Dari 12 kecamatan yang ada di kabupaten ini, tiga kecamatan dengan penduduk
terbanyak adalah Kecamatan Baebunta, Sukamaju dan Sabbang dengan masing- masing
persen penduduknya 43,5, 40,9 dan 35,3 persen. Sedangkan Kecamatan Rampi (2,91%),
Rongkong (Rongkong, 3,83%) dan Seko (12,66%) merupakan tiga kecamatan dengan
persentase penduduk terkecil.

Dengan wilayah seluas 7.502,58 km² , kabupaten ini mempunyai kepadatan penduduk
sebesar 41 orang per km . Tiga kecamatan dengan penduduk terpadat masing-masing

2 2
Kecamatan Bonebone (208 orang/km ), Sukamaju (163 orang/km ) dan Baebunta

2
(154 orang/km ). Sedangkan tiga kecamatan paling kurang padat penduduknya adalah

2 2 2
Kecamatan Rampi (2 orang/km ), Seko (6 orang/km ) dan Lembong (6 orang/km ).
Jika dilihat secara geografis memang kecamatan yang padat penduduknya adalah
kecamatan-kecamatan di dataran rendah dan dilalui oleh jalan poros/propinsi yang
menghubungkan Makassar sebagai ibu kota propinsi dengan kabupaten-kabupaten atau
bahkan propinsi lainnya.

B. Kondisi Ekonomi
Seko adalah Jantung Sulawesi, sebuah wilayah yang sangat subur dan kaya akan
sumber daya alam. Secara umum masyarakat Seko adalah petani. Dalam hal pertanian
Seko dikenal sebagai wilayah penghasil kopi, coklat dan beras tarone, salah satu jenis
varietas padi unggul yang tidak akan kita temukan di wilayah lain. Dengan kondisi
demikian, tentu ada kerinduan tersendiri bagi masyarakat Seko untuk menikmati
infrastruktur jalan yang memadai, agar pendistribusian hasil pertanian masyarakat bisa
lancar, sebagaimana yang dirasakan wilayah lain. Namun di tengah harapan itu,
masyarakat Seko harus menghadapi ancaman besar.

Sumber daya alam yang melimpah menjadikan Seko sebagai wilayah rebutan para
investor.

C. Kondisi Budaya
Kearifan lokal adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara
bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan
masyarakat adat dalam menjaga hutan, masyarakat tidak akan melakukan penebangan
pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak
daripada hal tersebut jika dilakukan. Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam,
pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih
dipraktekkan oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati
bermakna keseimbangan alam.
Mekanisme pengambilan keputusan masyarakat adat Seko yang sangat
partisipatif, mungkin tampak bertentangan dengan gagasan dan harapan pemerintah
atau perusahaan tentang perwakilan dan kebutuhan untuk mengikutkan seluruh
lapisan masyarakat, seperti perempuan, pemuda, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
tokoh adat dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi sebagai masyarakat adat,
Dalam proses pengambilan keputusan, keterlibatan seluruh pihak yang ada merupakan
syarat utama bagi masyarakat adat Seko, tujuannya agar keputusan yang diambil betul-
betul lahir dari kesepakatan bersama, masing-masing pimpinan adat hanyalah sebagai
penyambung lidah masyarakat. Sehingga yang memiliki wewenang dalam proses
pengambilan keputusan, sepenuhnya adalah peserta musyawarah/masyarakat. Hal
itulah yang dilakukan oleh masyarakat Seko Tengah (Wilayah adat Amballong,
Pohoneang, dan Hoyane) pada tanggal 24 januari 2018 lalu. Dimana melalui mekanisme
Mokobo (Musyawarah Adat), secara bersama-sama mereka kembali menyikapi rencana
pembangunan PLTA.
Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang merupakan tata nilai dan menjadi
kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks
masyarakat Adat, hukumpun menjadi hal yang subtansi dalam system kehidupan
mereka. Namun berbeda dengan system hukum yang dipahami oleh Negara dengan
Masyarakat Adat, dimana negara (baca: Pemerintah) hukum nya bersifat Tertulis,
sementara Masyarakat Adat sendiri, hukumnya tidak tertulis, hanya berupa
kesepakatan yang kemudian disakralkan, hal ini tertihat daripada sanksi-sanksi yang di
berikan oleh hukum adat. Masyarakat Adat Seko juga memiliki system Hukum
sebagaimana masyarakat Adat yang lainnya. Dalam masyarakat Adat Seko, To/Tu Bara,
To Makaka, serta To Kei, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam sebuah
persidangan adat. Tetapi sebelumnya, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, mendengar
terlebih dahulu orang yang dituduh melanggar Adat atau para pihak yang bersengketa,
setelah itu mendengar pendapat para Tetua Kampung. Kemudian tetua kampung
tersebut berembuk dengan To/Tu Bara, To Makaka, To Kei, setelah ada keputusan hasil
rembukan tersebut barulah To/Tu Bara, To Makaka, To Kei menjatuhkan putusan.

Secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan jalan musyawarah.


Sehingga keputusan tertinggi harus berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang
dikenal dalam bahasa lokalnya dengan istilah mukobo, mukobu, silaha-laha, ma’mesa
sua atau ma’bua kalebu. Dalam hasil musyawarah Adat Seko yang dilaksanakan pada
tahun 2000 di Kec. Seko, sanksi adat yang terberat adalah Denda Kerbau dan diusir dari
kampung yg dalam bahasa lokal disebut “dipasahu nai Lipu” . Akan tetapi hasil ini tidak
sepenuhnya disepakati oleh komunitas adat setempat, sebab menurut pandangan
mereka bahwa tidak semua wilayah Adat di Seko memiliki persamaan system
Hukumnya, pun penting melihat dan menyesuaikan kondisi masyarakat yang sedang
berperkara. Seperti halnya masyarakat adat yang lain, Masyarakat adat Seko memiliki
system hukum dan memiliki mekanisme pengambilan keputusan sendiri, yang telah
dijalankan secara turun temurun ketimbang mekanisme yang dipaksakan dari luar,
seperti penyelesaian administratif an sich yang selama ini dijalankan oleh pemerintah
atau korporas

Sumber: Telaah Pustaka dan Perumusan (2022)


KESIMPULAN

Melihat perkembangan dalam masyarakat yang semakin dinamis, maka pemerintah dituntut
untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi tersebut dalam hal melakukan percepatan
administrasi negara. Dalam hal, asas legalitas menjadi tidak selalu harus dipertahankan secara
kaku karena administrasi negara tidak hanya sebatas melaksanakan suatu peraturan
perundang-undangan, tetapi pejabat yang berwenang juga wajib bersikap aktif dalam rangka
menyelenggarakan tugas-tugas pelayanan public yang tidak semjanya dapat ditampung dalam
aturan perundang-undangan yang tertulis saja.

Secara hukum pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public service agar pelayanan
publik dapat dlaksanakan dan mencapai hasil maksimal kepada administrasi negara diberikan
suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai
permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap
permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiinyya
oleh Lembaga legislative

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, persetujuan lingkungan wajib


dimiliki oleh setiap usaha atau kegiatan yang berdampak penting atau tidak berdampak
penting. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, setiap usaha atau
kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL dan
SPPL. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), merupakan kajian rencana usaha
atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL, Upaya
Pengelolaan Lindkungan dan Upaya Pemantauana Lingkungan (UKL-UPL) dan surat
pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) merupakan kajian rencana usaha atau kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan yang wajib memiliki UKL-UPL dan
SPPL

Dalam pelaksanaan AMDAL, peran masyarakat untuk mencegah kerugian dan mewujudkan
lingkungan hidup yang berih. Tujuan peran masyarakat dalam proses AMDAL untuk
kesejahteraan masyarakat, untuk itu masyarakat wajib ikut serta kegiatan AMDAL dengan
turut serta dalam proses dokumen AMDAL, memberi pendapar, saran serta turut mengambil
keputusan kelayakan penyelenggaraan usaha atau kegiatan.

Saran

Banyaknya kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh usaha atau kegiatan, baik itu
yang berdampak penting wajib amdal, atau yang tidak berdampak penting UKL-UPL dan
SPPPL dalam pelaksanaan perlu adanya pengawasan dari pemerintah daerah untuk setiap
rencana usaha atau kegiatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan kelayakan
penyelenggaraan usaha atau kegiatan dari segi jenis, lokasi atau Kawasan agar tidak
mempengaruhi terhadap fungsi lingkungan tersebut.

Mencegah kerugian yang dialami masyarakat akibat dampak yang dilakukan oleh usaha atau
kegiatan, pemrakarsa sebelum melakukan rencana usaha atau kegiatan wajib memerlukan
dokumen AMDAL yaitu KA-ANDAL, ANDAL, dan RKL-RPL. Dalam proses pelaksanaan
AMDAL perlu adanya prinsip transparansi antara pemrakarsa terhadap masyarakat yaitu
melakukan pengumuman dengan meberi informasi dengan menyampaikan mengenai
deskripsi rinci usaha atau kegiatan, lokasi, dan keterlibatan pemerintah sebagai komisi penilai
agar terpenuhi hak masyarakat dalam keputusan kelayakan atau ketidaklayakan suatu usaha
atau kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai