Anda di halaman 1dari 18

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN

“PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN”


Dosen Pengampu :
Frenadin Adegustara, SH, MS

Oleh :
M.Ridho Aufa
NIM : 1710112160
No Absen : 26

SEMESTER GENAP
UNIVERSITAS ANDALAS
A. PENDAHULUAN

Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat
dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan

kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan
bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas hidup itu sendiri. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan
kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa
Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi,
dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan kebahagiaan batin.

Latar belakang lahirnya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah maraknya kasus yang berkenaan
dengan lingkungan hidup yang semakin hari-semakin memperihatinkan, salah satunya
terkait permasalahan di hutan. Banyaknya kasus kebakaran hutan, pencurian kayu-kayu di
hutan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan illegal longing case yang tidak tertangani
dengan baik menandakan bahwa undang-undang yang merupakan instrument pemerintah
dalam rangka merawat, menjaga, dan dan menangkal segala mara bahaya yang telah dan
mungkin akan terjadi tidaklah efektif bekerja. Sehingga UU PPLH yang lebih
menitikberatkan kepada penegakan hukum khususnya pidana lingkungan diharapkan
dapat menjawab permasalahan yang selama ini mengemuka ke publik atas carut marutnya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
B. PENEGKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRATIF

Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan


pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri serta hukum administrasi karena
penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan
warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum
yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan
merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sarana
administratif, keperdataan dan kepidanaan

Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mempunyai dua


fungsi yaitu bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga
berupa pemberian penerangan dan nasihat. Sedangkan sifat represif berupa sanksi yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran(1)

               Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warga negara untuk
menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan
hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses
penerbitan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap
lingkungan(2)

B.1 Pengawasan

               Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses
pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan
pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22, 23, dan 24 U.U.P.L.H. Sedangkan yang bersifat
represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap
pencemar yang diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 27 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997.

1  Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 48
2   Ibid, hlm. 49
               Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa
pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup
bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran
oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya,
misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan
efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula
sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu
sesuai dengan kenyataan.

               Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif
berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian
langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif
adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan
(pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan  demikian izin penegak
hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang
memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum
represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan .(3)

               Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997
memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan
mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain
yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan
merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan
lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit
lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan

3 Widia Edorita,  Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan
Beberapa  Negara Asia Tenggara, 2007, hlm. 44
perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan
standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang
bersangkutan.

 Penegakan hukum administrasi yang bersifat represif merupakan tindakan


pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup. Sanksi administrasi berupa. (4)

(1)  pemberian teguran keras

(2)  pembayaran uang paksaan

(3)  penangguhan berlakunya izin.

(4) pencabutan izin

B.2 Penegakan Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana penegasan sebagai negara


yang berdasarkan hukum dalam Penjelasan UUD 1945. Negara hokum atau disebut juga
rechtsstaat, rule of law, negara hukum atau negara yang berdasarkan hukum. 5 Salah satu
unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang
dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut
merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa
kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan
peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran”
dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat
mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila
timbul sengketa atau pelanggaran hukum.6

4 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.  50
5 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2013, hlm. 355.
6 M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 34.
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain adalah agar
pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat diberikan,
penanggung jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang lingkungan
hidup dan Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan. Oleh karena bagian terbesar dari
hukum lingkungan adalah hokum administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan dari

sudut hukum administrasi.

Dan kekuasaan kehakiman atau badan peradilan yang melaksanakan penyelesaian


hukum administrasi adalah Peradilan Tata Usaha Negara. Seseorang atau badan hukum
perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena kepentingannya (atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat) dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah
menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN dinyatakan batal atau tidak sah,
sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan adanya kerusakan lingkungan yang
diakibatkan dari dikeluarkannya keputusan TUN tentang izin lingkungan yang tidak
cermat.

Dengan adanya gugatan ke PTUN maka timbullah dengan apa yang namanya sengketa Tata
Usaha Negara (TUN), yaitu sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara, akibat
dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.7
Subjek dalam sengketa TUN sudah jelas dimana sebagai pihak penggugat adalah orang atau
badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya Keputusan TUN.
Sedangkan pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
TUN. Dan objek gugatannya adalah Keputusan TUN, biasanya berupa keputusan tentang

7 Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986.


perijinan. Tuntutan pokok dalam sengketa TUN adalah tuntutan agar Keputusan TUN yang
dikeluarkan itu dinyatakan batal atau tidak sah.8

Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam gugatan TUN adalah: a) Keputusan TUN yang
digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku, b)
Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.9
Asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah sebagaimana termuat dalam UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, yaitu: a) kepastian hukum, b) tertib penyelenggaraan negara, 3)
keterbukaan, 4) proporsionalitas, 5) profesionalitas, 6) akuntabilitas.

C. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN


C.1 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dapat diajukan secara perdata ke Pengadilan Negeri. Namun dalam praktik seringkali
perkara tersebut
memerlukan waktu yang relatif lama untuk sampai pada tahap putusan dan seringkali
dirasakan tidak adil oleh salah satu pihak. Dalam UUPLH diatur juga pendekatan lain, yaitu
diberikan
kesempatan menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan, sebagaimana
dinyatakan dalam padal 30 UUPLH yakni: (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berasaskan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa; (2) penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
(3) apabila telah dipilih upaya penyelesian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan

8 Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004.


9 Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004.
tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian
ketentuan pada ayat (1) di atas bertujuan melindungi hak keperdataan para pihak yang
bersengketa dan pihak yang dirugikan dapat memilih penyelesaian dalam sengketa
lingkungan hidup. Pada ayat (3) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang
berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 31 UUPLH menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan tertentu guna
menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup. Sedangkan pasal 32 UUPLH menyatakan bahwa dalam sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan dapat juga menggunakan pihak ketiga, baik yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Dari pasal 32 UUPLH di atas dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan pihak ketiga
itu adalah arbitrase. Persoalan timbul jika dihubungkan dengan pasal 5 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang
menyatakan: (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan menganei hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa; (2) sengketa yang tidak
dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ketentuan pasal 5 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tersebut dapat ditafsirkan dengan menggunakan 2 (dua) penafsiran yaitu
secara a contrario (menurut peringkaran) dan penafsiran restriktif (membatasi atau
mempersempit). Penafsiran a contrario adalah menafsirkan undang-undang berdasarkan
perlawanan.10 Secara a contrario maka penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan
menggunakan arbitrase bertentangan isi pasal 5.
Hal ini disebabkan ruang lingkup arbitrase hanyalah pada lingkup “perdagangan” saja.
Sebaliknya jika ditafsirkan secara restriktif, yakni penafsiran dengan membatasi arti kata-
kata dalam peraturan,11 maka tidak bertentangan dengan isi pasal 5 karena pada akhir
pasal tersebut meliputi hak yang diatur menurut hukum dan peraturan perundang-
10 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 69.
11 Ibid. hlm. 68.
undangan. Jika penafsiran restriktif yang digunakan, masalah berikutnya adalah apakah
UUPLH memberikan peluang kepada salah satu atau para pihak untuk mengajukan gugatan
ke pengadilan negeri setelah upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilandinilai tidak berhasil. Hal ini terutama jika dihubungkan dengan pasal 3 Undang-
Undang Arbitrase yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan memutus sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Khusus penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, dimana
pihak-pihak terikat dalam perjanjian arbitrase, harus menerima segala keputusan arbitrase
tersebut, sehingga menutup peluang untuk memperkarakan kembali sengketa lingkungan
hidup tersebut ke pengadilan negeri. Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa
klausul-klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. Berkaitan dengan perjanjian arbitrase, pasal 32 UUPLH
menyatakan bahwa untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para
pihak yang,berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral yang dapat berbentuk:
Pertama, pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan pihak
ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang memfasilitasi para pihak yang
berkepentingan sehingga dapat mencapai kesepakatan. Pihak ketiga netral ini harus:(1)
disetujui oleh para pihak yang bersengket; (2) tidak memilki hubungan keluarga dan atau
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; (3) memiliki kemampuan untuk
melakukan perundingan atau penengahan; dan (4) tidak memilki kepentingan terhadap
proses perundingan maupun hasilnya. Kedua, pihak ketiga netral memiliki kewenangan
mengambil keputusan berfungsi sebagai arbiter dan semua putusan arbitrase ini bersifat
tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa. Upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar, pengadilan terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni: pihak ketiga netral yang,tidak
memiliki kewenangan pengambilan keputusan dan melalui arbitrase, dengan akibat yang
berbeda pula. Yang pertama, hasil penyelesaiannya tidak mengikat secara penuh para
pihak yang bersengketa, artinya apabila terdapat pihak yang tidak puas maka sengketa itu
masih dapat diajukan gugatan lagi ke pengadilan negeri, dan yang kedua, hasil
penyelesaiannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Untuk
menfasilitasi upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, maka
dibentuklah lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup,
sebagaimana diatur dalam pasal 33 UUPLH yang menyatakan: (1) Pemerintah dan atau
masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak mengikat; (2) ketentuan mengenai
lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup12 diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan pasal 33 di atas kemudian keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun


2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
di Luar
Pengadilan, yang tugas utamanya memberikan pelayanan kepada para pihak yang
bersengketa untuk mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dengan menyediakan pihak ketiga yang netral baik melalui arbiter maupun mediator atau
pihak ketiga lainnya. Dengan demikian lembaga penyedia jasa ini hanya bersifat fasilitator
bagi para pihak yang bersengketa masalah lingkungan melalui ADR. Lembaga penyedia jasa
ini dapat dibentuk oleh pemerintah
pusat maupun daerah atau oleh masyarakat. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh
pemerintah pusat ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubenur
pada tingkat propinsi dan Bupati pada tingkat kabupaten. Sedangkan lembaga penyedia
jasa yang dibentuk oleh masyarakat ditetapkan dengan akta notaris dengan persetujuan
Bapedal di pusat dan Bapedalda untuk di daerah.

C.2 Penegakan Hukum Lingkungan melalui Pengadilan Perdata


Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum akibat
perbuatan atau tindakan perdata antara seorang dengan seorang lainnya atau antara
seorang dengan beberapa orang (badan hukum). Setiap perbuatan atau tindakan perdata

12 Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dimaksudkan


sebagai lembaga yang mampu memperlancar pelaksanaan mekanisme pilihan
penyelesian sengketa lingkungan dengan mendasarkan pada prinsip
ketidakberpihakan dan profesionalisme. Lembaga penyedia jasa ini dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.
yang mengakibatkan penderitaan atau kerugian pada pihak lain, maka orang atau beberapa
orang tersebut harus dapat mengganti kerugian akibat perbuatannya itu.
Aspek hukum perdata dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu aspek
penegakan hukum lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan,
maka aka nada korban pencemaran dan perusakan, dalam arti sebagai pihak yang
dirugikan, dan pihak yang dirugikan dapat berupa orang perorangan, masyarakat atau
negara. Dalam UUPPLH proses penegakan hukum lingkungan melalui prosedur perdata
diatur dalam Bab XIII Pasal 84 sampai dengan Pasal 93. Aspek-aspek keperdataan yang
tercantum dalam pasal-pasal tersebut berisikan tentang penyelesaian sengketa lingkungan
hidup yang dapat ditempuh melalui jalur pengadilan (litigasi) atau jalur diluar pengadilan
(non litigasi) berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Pasal 85 menyatakan, bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, tindakan
pemulihan akibat pencemaran atauperusakan, mengenai tindakan tertentu guna menjamin
tidak akan terjadinya atau terulangnya pencemaran atau perusakan, serta untuk mencegah
timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa diluar
pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga netral untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dikenal dengan
Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) . Lembaga ADR
adalah arbitrase, mediasi, negosiasi, dan konsiliasi, yang saat ini banyak digunakan oleh
para industriawan dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di Indonesia, terutama
dalam perjanjian kerjasama antara pihak investor dengan masyarakat, apabila terjadi
pencemaran lingkungan.13 Selain itu pada penjelasan Pasal 86 menyatakan, bahwa
pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan diatur dalam UUPPLH Pasal
87 sampai Pasal 92. Pasal 87 ayat (1) menyatakan, bahwa setiap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
13 Sodikin, 2007, Politik Hukum Penegakan Hukum Lingkungan,Djambatan, Jakarta, hlm. 110
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1), agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk
memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur: a) setiap penanggung jawab
usaha/kegiatan; b) melakukan perbuatan melanggar hukum; c) berupa pencemaran atau
perusakan lingkungan; d) menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan; e)
penanggung jawab kegiatan membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Hal tersebutlah yang menjadi acuan dasar pengajuan gugatan lingkungan. Hal ini berkaitan
dengan juga dengan Hukum Perdata seperti yang tercantum dalam beberapa pasal di Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dibawah ini yaitu : Pasal 1365 KUHPerdata
menyatakan, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut; Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan, bahwa setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya; Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata menyatakan, bahwa gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus
memenuhi sayarat berikut: 1) kesalahan (schuld); 2) kerugian (schade); 3) hubungan
kausal (causal verband); 4) relativitas (relativeit). Dalam UUPPLH diatur mengenai
tanggung gugat mutlak (strict liability) pada Pasal 88 menyatakan, bahwa setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan. Dengan prinsip tanggung gugat mutlak dimaksudkan suatu
prinsip tanggung gugat yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. 14 Terdapat juga
mekanisme gugatan class action dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan yang
melibatkan korban orang dalam jumlah banyak. Class action atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok yaitu prosedur beracara dalam perkara
perdata yang memberikan hak procedural satu atau beberapa orang (dalam jumlah yang

14 E Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggungjawab Pengangkutan Dalam Hukum Pengangkutan Udara


Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 35.
tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan para
penggugat yang disebut sebagai wakil kelas (class representatives), yang sekaligus mewakili
kepentingan orang banyak (ratusan, ribuan, ratusan ribuan, atau jutaan) yang disebut
dengan class members, yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Hal ini diatur
dalam Pasal 91. Serta dalam Pasal 92 diatur mengenai ketentuan serta penjelasan
mengenai hak gugat organisasi lingkungan hidup.

D. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPIDANAAN

Sejak dikeluarkannya UUPPLH 2009 yang menggantikan UU No. 23 Tahun 1997


(selanjutnya disebut UUPPLH 1997), maka fungsi sebagai undang-undang induk umbrella
provisions melekat pada UUPPLH 2009. UUPPLH membawa perubahan mendasar dalam
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. 15 Jika dicermati terdapat beberapa
perbedaan pengaturan antara UUPPLH 1997 dan UUPPLH 2009. Pertama, UUPPLH 1997
merumuskan tindak pidana sebagai tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 41), sedangkan UUPPLH
2009 merumuskan tindak pidana yaitu sebagai tindakan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 98). Kedua, UUPPLH
1997 merumuskan pidana dengan pidana maksimum, sedangkan UUPPLH 2009
merumuskan pidana dengan minimum dan maksimum. Ketiga, UUPPLH 2009 mengatur
mengenai hal-hal yang tidak di atur dalam UUPPLH 1997 yaitu di antaranya pemidanaan
bagi pelanggaran baku mutu (sebagaimana diatur dalam Pasal 100), perluasan alat bukti,
keterpaduan penegakan hokum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.
Penjelasan UUPPLH 2009 dijelaskan pula mengenai perbedaan mendasar dengan UUPPLH
1997 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-
prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrument
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan

15 Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 1 Tahun 2011, FH Universitas Riau, hlm. 69-81
penegakan hukum wajib mengintegrasikan aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, &
keadilan. UUPPLH, dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak
pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium,
yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan
hokum pidana). Asas ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai
pilihan hukum yang terakhir.16 Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan
pada keadaan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali. Pengancaman pidananya tidak sama atau lebih ringan dari
batas maksimum pidana yang diatur dalam KUHP, dan khususnya dalam Pasal 97 sampai
dengan Pasal 115 UUPPLH 2009, sebenarnya tetap dimungkinkan/diperbolehkan
pidana lebih ringan. Hal ini menyebabkan kebingungan dalam penegakan hukum pidana
lingkungan hidup, terlebih dalam putusan hakim dalam upaya penjeraan si pelaku
(deterrence effect). Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan
penindakan (compliance and enforcement).17 Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang
luas, yaitu meliputi preventif dan represif. Pengertian preventif sama dengan compliance
yang meliputi negosiasi, supervise, penerangan, nasihat), sedangkan represif meliputi
penyelidikan, penyidikan sampai pada penerapan sanksi baik administratif mau pun
pidana.18 Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan
oleh karena sulitnya pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan. 19
Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hokum pidana adalah bagaimana tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang
sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa social (social engeneering)
yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana,
dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak
hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan mengandung pula tujuan pembaharuan

16 Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009, hlm. 8
17 Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung RI, 1994, hlm. 1,
18 9 Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan LingkunganHidup, Menuju Kemakmuran Masyarakat”, JurnalFakultas
Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, UniversitasMuhammadiyah Magelang
19 Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII,
hlm. 444-464.
masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa social sangat penting dalam
hukum lingkungan

Tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Bab XV, yang terdiri dari 23 pasal, dimulai
dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Dalam Pasal 97 disebutkan, bahwa
tindak pidana seba-gaimana dimaksud pada Bab XV itu adalah kejahatan. Dengan demikian,
mengenai kejahatan terhadap lingkungan hidup diatur dalam bab tersebut. Di samping
dalam UUPPLH, kejahatan terhadap lingkungan hidup juga diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal 203,
Pasal 502, dan Pasal 503 KUHP. Kejahatan terhadap lingkungan hidup juga terdapat dalam
peraturan perundangundangan di luar KUHP dan diluar UUPLH. Misalnya (antara lain)
dalam: Pasal 52 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok
Agraria/UUPA; Pasal 31 UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan; Pasal 11 UU No. 1
Tahun 1973 Tentang Landasan Kontinen Indonesia; Pasal 15 UU No. 11 Tahun 1974
Tentang Pengairan; Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Indonesia; Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1984 Ten-tang Perindustrian; Pasal 24 UU No. 9
Tahun 1985 Tentang Perikanan; Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan; dan Pasal 94 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 95 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air. Kejahatan atau tindak pidana lingkungan hidup terdapat dalam
berbagai peraturan perundang- undangan selain UUPLH dan KUHP. Oleh karena itu,
kecermatan dari para penegak hukum, terutama penyidik, penuntut umum dan hakim
sangat diperlukan dalam menemukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tindak pidana lingkungan hidup dalam berbagai macam peraturan perundang-
undangan itu. Dengan kata lain, peraturan perundangundangan mana yang akan
digunakan, tergantung pada terhadap sumber daya apa tindak pidana lingkungan hidup itu
dilakukan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
penerapan prinsip–prinsip ekologi dalam kegiatan manusia terhadap dan atau yang
berdimensi lingkungan hidup.
PENUTUP
KESIMPULAN
Beragam permasalahan lingkungan baik kerusakan maupun pencemaran yang
terjadi di satu sisi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bencana alam (act of God).
Padahal dalam kondisi-kondisi realistis hal tersebut sesungguhnya merupakan bencana
lingkungan dan kemanusiaan yang dalam konteks kebijakan amat sangat jelas
penyebabnya. Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi secara beruntun dalam sisi
ekologis menjadi titik terang adanya ketidaksungguhan pemegang otoritas publik untuk
mengarusutamakan kepentingan lingkungan dalam agenda kebijakan negara.
Banyaknya alternatif mekanisme dalam penegakan hukum lingkungan, baik secara
administratif, kepidanaan maupun keperdataan belum mampu menjamin semakin
berkurangnya permasalahan lingkungan. Dalam konteks penegakan hukum kepidanaan
juga belum mampu memberikan efek yang signifikan bagi perlindungan lingkungan.
Terhadap tindak pidana lingkungan ini jelas dibutuhkan langkah-langkah hukum yang
ditangani secara profesional oleh aparatur kepolisian, PPNS, kejaksaan dan hakim yang
bersertifikasi lingkungan. Administrasi keadilan melalui langkah membangun aparatur
penegak hukum lingkungan yang berwawasan lingkungan dengan memperkuat diklat serta
proses sertifikasi penegak hukum lingkungan akan memiliki implikasi praktis
menuntaskan kasus kejahatan lingkungan sesuai dengan makna hukum lingkungan
kepidanaan. Pembentukan institusi penegak hukum lingkungan kepidanaan dalam
semangat keterpaduan model ORES (One Roof Enforcement System) harus didorong demi
terbangunnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan secara terpadu.
Keterpaduan ini penting guna membuka ruang akses keadilan bagi rakyat yang dapat
teradministrasikan secara baik dalam konteks good environmental enforcement
berdasarkan prinsip-prinsip good environmental governance.

DAFTAR PUSTAKA
  Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Widia Edorita, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan
Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007,

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2013


M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986
Sodikin, 2007, Politik Hukum Penegakan Hukum Lingkungan,Djambatan, Jakarta
E Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggungjawab Pengangkutan Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta

Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia Setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 1 Tahun 2011, FH Universitas Riau

Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009
Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup,
Mahkamah Agung RI, 1994

Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan LingkunganHidup, Menuju Kemakmuran


Masyarakat”, JurnalFakultas Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, UniversitasMuhammadiyah
Magelang

Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum,
No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII, hlm. 444-464.

Anda mungkin juga menyukai