Oleh :
M.Ridho Aufa
NIM : 1710112160
No Absen : 26
SEMESTER GENAP
UNIVERSITAS ANDALAS
A. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat
dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan
kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan
bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas hidup itu sendiri. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan
kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa
Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi,
dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan kebahagiaan batin.
Latar belakang lahirnya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah maraknya kasus yang berkenaan
dengan lingkungan hidup yang semakin hari-semakin memperihatinkan, salah satunya
terkait permasalahan di hutan. Banyaknya kasus kebakaran hutan, pencurian kayu-kayu di
hutan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan illegal longing case yang tidak tertangani
dengan baik menandakan bahwa undang-undang yang merupakan instrument pemerintah
dalam rangka merawat, menjaga, dan dan menangkal segala mara bahaya yang telah dan
mungkin akan terjadi tidaklah efektif bekerja. Sehingga UU PPLH yang lebih
menitikberatkan kepada penegakan hukum khususnya pidana lingkungan diharapkan
dapat menjawab permasalahan yang selama ini mengemuka ke publik atas carut marutnya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
B. PENEGKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRATIF
Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warga negara untuk
menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan
hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses
penerbitan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap
lingkungan(2)
B.1 Pengawasan
Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses
pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan
pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22, 23, dan 24 U.U.P.L.H. Sedangkan yang bersifat
represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap
pencemar yang diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 27 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997.
1 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 48
2 Ibid, hlm. 49
Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa
pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup
bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran
oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya,
misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan
efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula
sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu
sesuai dengan kenyataan.
Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif
berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian
langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif
adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan
(pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak
hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang
memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum
represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan .(3)
Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997
memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan
mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain
yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan
merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan
lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit
lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan
3 Widia Edorita, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan
Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007, hlm. 44
perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan
standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang
bersangkutan.
4 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 50
5 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2013, hlm. 355.
6 M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 34.
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain adalah agar
pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat diberikan,
penanggung jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang lingkungan
hidup dan Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan. Oleh karena bagian terbesar dari
hukum lingkungan adalah hokum administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan dari
Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN dinyatakan batal atau tidak sah,
sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan adanya kerusakan lingkungan yang
diakibatkan dari dikeluarkannya keputusan TUN tentang izin lingkungan yang tidak
cermat.
Dengan adanya gugatan ke PTUN maka timbullah dengan apa yang namanya sengketa Tata
Usaha Negara (TUN), yaitu sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara, akibat
dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.7
Subjek dalam sengketa TUN sudah jelas dimana sebagai pihak penggugat adalah orang atau
badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya Keputusan TUN.
Sedangkan pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
TUN. Dan objek gugatannya adalah Keputusan TUN, biasanya berupa keputusan tentang
Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam gugatan TUN adalah: a) Keputusan TUN yang
digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku, b)
Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.9
Asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah sebagaimana termuat dalam UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, yaitu: a) kepastian hukum, b) tertib penyelenggaraan negara, 3)
keterbukaan, 4) proporsionalitas, 5) profesionalitas, 6) akuntabilitas.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan diatur dalam UUPPLH Pasal
87 sampai Pasal 92. Pasal 87 ayat (1) menyatakan, bahwa setiap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
13 Sodikin, 2007, Politik Hukum Penegakan Hukum Lingkungan,Djambatan, Jakarta, hlm. 110
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1), agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk
memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur: a) setiap penanggung jawab
usaha/kegiatan; b) melakukan perbuatan melanggar hukum; c) berupa pencemaran atau
perusakan lingkungan; d) menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan; e)
penanggung jawab kegiatan membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Hal tersebutlah yang menjadi acuan dasar pengajuan gugatan lingkungan. Hal ini berkaitan
dengan juga dengan Hukum Perdata seperti yang tercantum dalam beberapa pasal di Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dibawah ini yaitu : Pasal 1365 KUHPerdata
menyatakan, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut; Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan, bahwa setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya; Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata menyatakan, bahwa gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus
memenuhi sayarat berikut: 1) kesalahan (schuld); 2) kerugian (schade); 3) hubungan
kausal (causal verband); 4) relativitas (relativeit). Dalam UUPPLH diatur mengenai
tanggung gugat mutlak (strict liability) pada Pasal 88 menyatakan, bahwa setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan. Dengan prinsip tanggung gugat mutlak dimaksudkan suatu
prinsip tanggung gugat yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. 14 Terdapat juga
mekanisme gugatan class action dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan yang
melibatkan korban orang dalam jumlah banyak. Class action atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok yaitu prosedur beracara dalam perkara
perdata yang memberikan hak procedural satu atau beberapa orang (dalam jumlah yang
15 Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 1 Tahun 2011, FH Universitas Riau, hlm. 69-81
penegakan hukum wajib mengintegrasikan aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, &
keadilan. UUPPLH, dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak
pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium,
yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan
hokum pidana). Asas ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai
pilihan hukum yang terakhir.16 Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan
pada keadaan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali. Pengancaman pidananya tidak sama atau lebih ringan dari
batas maksimum pidana yang diatur dalam KUHP, dan khususnya dalam Pasal 97 sampai
dengan Pasal 115 UUPPLH 2009, sebenarnya tetap dimungkinkan/diperbolehkan
pidana lebih ringan. Hal ini menyebabkan kebingungan dalam penegakan hukum pidana
lingkungan hidup, terlebih dalam putusan hakim dalam upaya penjeraan si pelaku
(deterrence effect). Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan
penindakan (compliance and enforcement).17 Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang
luas, yaitu meliputi preventif dan represif. Pengertian preventif sama dengan compliance
yang meliputi negosiasi, supervise, penerangan, nasihat), sedangkan represif meliputi
penyelidikan, penyidikan sampai pada penerapan sanksi baik administratif mau pun
pidana.18 Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan
oleh karena sulitnya pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan. 19
Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hokum pidana adalah bagaimana tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang
sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa social (social engeneering)
yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana,
dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak
hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan mengandung pula tujuan pembaharuan
16 Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009, hlm. 8
17 Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung RI, 1994, hlm. 1,
18 9 Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan LingkunganHidup, Menuju Kemakmuran Masyarakat”, JurnalFakultas
Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, UniversitasMuhammadiyah Magelang
19 Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII,
hlm. 444-464.
masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa social sangat penting dalam
hukum lingkungan
Tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Bab XV, yang terdiri dari 23 pasal, dimulai
dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Dalam Pasal 97 disebutkan, bahwa
tindak pidana seba-gaimana dimaksud pada Bab XV itu adalah kejahatan. Dengan demikian,
mengenai kejahatan terhadap lingkungan hidup diatur dalam bab tersebut. Di samping
dalam UUPPLH, kejahatan terhadap lingkungan hidup juga diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal 203,
Pasal 502, dan Pasal 503 KUHP. Kejahatan terhadap lingkungan hidup juga terdapat dalam
peraturan perundangundangan di luar KUHP dan diluar UUPLH. Misalnya (antara lain)
dalam: Pasal 52 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok
Agraria/UUPA; Pasal 31 UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan; Pasal 11 UU No. 1
Tahun 1973 Tentang Landasan Kontinen Indonesia; Pasal 15 UU No. 11 Tahun 1974
Tentang Pengairan; Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Indonesia; Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1984 Ten-tang Perindustrian; Pasal 24 UU No. 9
Tahun 1985 Tentang Perikanan; Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan; dan Pasal 94 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 95 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air. Kejahatan atau tindak pidana lingkungan hidup terdapat dalam
berbagai peraturan perundang- undangan selain UUPLH dan KUHP. Oleh karena itu,
kecermatan dari para penegak hukum, terutama penyidik, penuntut umum dan hakim
sangat diperlukan dalam menemukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tindak pidana lingkungan hidup dalam berbagai macam peraturan perundang-
undangan itu. Dengan kata lain, peraturan perundangundangan mana yang akan
digunakan, tergantung pada terhadap sumber daya apa tindak pidana lingkungan hidup itu
dilakukan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
penerapan prinsip–prinsip ekologi dalam kegiatan manusia terhadap dan atau yang
berdimensi lingkungan hidup.
PENUTUP
KESIMPULAN
Beragam permasalahan lingkungan baik kerusakan maupun pencemaran yang
terjadi di satu sisi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bencana alam (act of God).
Padahal dalam kondisi-kondisi realistis hal tersebut sesungguhnya merupakan bencana
lingkungan dan kemanusiaan yang dalam konteks kebijakan amat sangat jelas
penyebabnya. Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi secara beruntun dalam sisi
ekologis menjadi titik terang adanya ketidaksungguhan pemegang otoritas publik untuk
mengarusutamakan kepentingan lingkungan dalam agenda kebijakan negara.
Banyaknya alternatif mekanisme dalam penegakan hukum lingkungan, baik secara
administratif, kepidanaan maupun keperdataan belum mampu menjamin semakin
berkurangnya permasalahan lingkungan. Dalam konteks penegakan hukum kepidanaan
juga belum mampu memberikan efek yang signifikan bagi perlindungan lingkungan.
Terhadap tindak pidana lingkungan ini jelas dibutuhkan langkah-langkah hukum yang
ditangani secara profesional oleh aparatur kepolisian, PPNS, kejaksaan dan hakim yang
bersertifikasi lingkungan. Administrasi keadilan melalui langkah membangun aparatur
penegak hukum lingkungan yang berwawasan lingkungan dengan memperkuat diklat serta
proses sertifikasi penegak hukum lingkungan akan memiliki implikasi praktis
menuntaskan kasus kejahatan lingkungan sesuai dengan makna hukum lingkungan
kepidanaan. Pembentukan institusi penegak hukum lingkungan kepidanaan dalam
semangat keterpaduan model ORES (One Roof Enforcement System) harus didorong demi
terbangunnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan secara terpadu.
Keterpaduan ini penting guna membuka ruang akses keadilan bagi rakyat yang dapat
teradministrasikan secara baik dalam konteks good environmental enforcement
berdasarkan prinsip-prinsip good environmental governance.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Widia Edorita, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan
Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007,
Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia Setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 1 Tahun 2011, FH Universitas Riau
Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009
Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup,
Mahkamah Agung RI, 1994
Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum,
No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII, hlm. 444-464.