Anda di halaman 1dari 10

Nama : Nurul Anggita

NIM : A1011211280
Kelas : A Reguler

UAS HUKUM LINGKUNGAN


SOAL

1. Sebutkan dan jelaskan 5 (lima) prinsip pembangunan berkelanjutan ! (bobot 15)


2. Perizinan merupakan instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang paling penting, Jelaskan
apa yang dimaksud dengan izin lingkungan dan bilamana izin tersebut dapat dibatalkan atau
dicabut oleh instansi yang bertanggung jawab! (bobot 15)
3. a. Sebutkan dan jelaskan penegakan hukum lingkungan yang diatur dalam Undang- Undang
No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) ! (bobot 10)
b. Penegakan hukum manakah yang memiliki manfaat strategis bila dibandingkan dengan
penegakan hukum lainnya. Serta jelaskan manfaat strategisnya ! (bobot 10)

4. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan sengketa lingkungan hidup dan ada berapa macam
cara penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU-PPLH ? sebutkan dan jelaskan! (bobot
15)
5. Mengapa diperlukan peran serta seluruh anggota masyarakat dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup ? Jelaskan. (bobot 10)
6. Jelaskan mengenai tanggung jawab koorporasi yang telah melakukan perusakan lingkungan !
(bobot 10)
7. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara Class Action dan Legal Standing Organisasi
Lingkungan! (bobot 15)

JAWABAN

1. Prinsip ekonomi : Prinsip pembangunan berkelanjutan dari segi ekonomi mampu memberikan
peningkatan keterampilan pekerja yang lebih meningkatkan daya saing. Dengan peningkatan
daya saing, diharapkan masyakarat bisa mendapatkan pekerjaan layak dan bisa mendapatkan
pendapatan yang lebih baik. Selain itu, mampu menunjang pembuatan infrastruktur dasar
seperti properti, sistem air dan sejenisnya pada infrastruktur informasi.
2. Prinsip energi : Pemakaian energi harus dilakukan lebih hemat demi pembangunan
berkelanjutan. Ada beberapa metode yang bisa Anda lakukan untuk menghemat energi seperti
berikut ini:
-Menggunakan energi yang bisa diperbarui lebih maksimal.
-Hemat penggunaan sumber energi yang tersedia.
-Memprioritaskan pembangunan transportasi massal.
3. Prinsip Ekologi : Prinsip selanjutnya adalah ekologi. Ekologi merupakan lingkungan yang
terus dilestarikan selama melaksanakan berkelanjutan. Agar pelestarian lingkungan bisa
dilakukan secara maksimal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti memastikan ada
ruang terbuka hijau, membuat sistem transportasi dan bangunan bisa terintegrasi dengan baik.
4. Prinsip Engagement (Peran Serta) : Pembangunan berkelanjutan wajib dilakukan dengan
partisipasi masyarakat luas dan pemerintah harus bisa memberikan fasilitas. Masyarakat
harus berperan aktif dalam proses pembangunan berkelanjutan. Pemerintah juga bisa menjadi
fasilitator pemberdayaan masyarakat dan mampu menampung aspirasi masyarakat.
5. Prinsip Equity (Pemerataan) : Pemerataan menjadi target utama dari pembangunan
berkelanjutan. Dengan pembangunan tersebut diharapkan mampu membuat kesenjangan
ekonomi mengecil. Selain itu, dengan memegang prinsip pemerataan, semua anggota
masyarakat bisa mendapatkan kesempatan yang seimbang.

2. Izin Lingkungan adalah: Izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau
Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan (Pasal 1 angka 35 UU No. 32
tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan)

Pasal 36 ayat 4 UU No. 32 th 2009 ,Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannyaI sehingga dari pasal 36 ayat 4 zin lingkungan
sebagaimana dimaksud dapat dibatalkan apabila:persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan
data, dokumen, dan/atau informasi;penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum
dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKLUPL; atau
kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. (Pasal 37 ayat (2) UUPPLH) Selain itu izin lingkungan
dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

3. A. PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN

Dalam UUPPLH proses penegakan hukum lingkungan melalui prosedur perdata diatur dalam Bab
XIII Pasal 84 sampai dengan Pasal 93. Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal-pasal
tersebut berisikan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dapat ditempuh melalui jalur
pengadilan (litigasi) dengan cara arbitrase, mediasi, negosiasi, dan konsiliasi atau jalur diluar
pengadilan (non litigasi) dengan cara tanggung jawab mutlak, class action atau gugatan perwakilan
kelompok, dan hak gugat organisasi lingkungan hidup. Hal tersebut dapat dipilih berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa.

B. PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN

Investigasi untuk menentukan apakah suatu perbuatan mencemarkan (atau merusak) lingkungan
dapat dipidana diperlukan perumusan "delik lingkungan (pencemaran lingkungan)" berdasarkan "asas
legalitas" yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
“nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ”. UUPPLH mengatur "ketentuan pidana"
dalam Pasal 97- 120, namun, UUPPLH tidak memformulasikan pengertian "delik lingkungan”
("milieudelicten"). Masalah perumusan delik lingkungan pencemaran lingkungan dapat diselesaikan
dengan memahami pengertian yuridis pencemaran lingkungan (lingkungan) dan rumusan sanksi
pidana. Secara singkat dapat dikatakan bahwa delik lingkungan pencemaran lingkungan adalah:
"perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan yang menimbulkan pencemaran
lingkungan".

Mengacu pada Pasal 97120 UU PPLH diketahui: "subyek delik lingkungan pencemaran lingkungan"
yang memikul pertanggungjawaban pidana adalah “setiap orang" (baik individu maupun badan
hukum). Perumusan delik lingkungan tersebut memiliki dua elemen dasar: "perbuatan" dan "akibat
yang ditimbulkan". Kedua elemen ini dapat digunakan sebagai pedoman pengkualifikasian delik
lingkungan pencemaran lingkungan sebagai "delik materiil" ataukah "delik formal". Delik materiil
berorientasi pada “akibat” konstitutifnya, sedangkan delik formal menekankan pada “perbuatannya”

Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah bagaimana tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang sedikit banyak
mempunyai peran untuk melakukan rekayasa sosial yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana
(criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib.
Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan mengandung pula
tujuan pembaharuan masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat
penting dalam hukum lingkungan.

Tindak pidana lingkungan hidup dalam KUHP diatur dalam Bab XV, yang terdiri dari 23 pasal,
dimulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Dalam Pasal 97 disebutkan, bahwa tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada Bab XV itu adalah kejahatan. Dengan demikian, me- ngenai
kejahatan terhadap lingkungan hidup di- atur dalam bab tersebut. Di samping dalam UUPPLH,
kejahatan terhadap lingkungan hidup juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), misalnya dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal 203, Pasal 502, dan Pasal 503
KUHP.

C. PENEGAKAN HIUKUM ADMINISTRASI LINGKUNGAN

Penegakan hukum lingkungan administrasi adalah penegakan hukum lingkungan oleh lembaga
pemerintahan (pejabat atau instansi) yang merupakan aparatur negara yang berwenang mengeluarkan
izin yang mempunyai fungsi sebagai mekanisme pengawas dan penerapan sanksi administratif, serta
gugatan tata usaha negara

Penegakan hukum lingkungan administratif bertujuan untuk menghentikan pencemaran lingkungan


langsung pada sumbernya sesuai dengan prinsip pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
Pengawasan secara periodik dilakukan terhadap kegiatan yang memiliki izin lingkungan sebagai
upaya pemantauan penaatan persyaratan perizinan oleh instansi yang berwenang memberi izin
lingkungan. Dasar hukum umum pengawasan sebagai sarana penegakan hukum lingkungan
administratif dalam pengendalian pencemaran (lingkungan) di Indonesia adalah Pasal 71-75 UU
PPLH. Pasal 74 (1) UUPPLH menetapkan beberapa kewenangan pengawas, yaitu: melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual, mengambil
sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, dan menghentikan
pelanggaran tertentu.Penerapan sanksi administrasi merupakan konsekuensi lanjutan dari tindakan
pengawasan Sanksi administrasi mempunyai "fungsi instrumental": pengendalian perbuatan terlarang
dan terdiri atas:

a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (“bestuursdwang” atau “executive coercion ”);
b. Uang paksa (“publiekrechtelijke dwangsom” atau “coercive sum”);
c. Penutupan tempat usaha (“sluiting van een inrichting”);
d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (“buitengebruikstelling van een toestel”); e. Pencabutan
izin (“intrekking van een vergunning”) melalui proses: teguran, paksaan pemerintahan, penutupan
dan uang paksa.6

Dasar hukum utama penerapan sanksi administrasi di bidang pengendalian pencemaran lingkungan
terdapat dalam Pasal 76-83 UU PPLH yang mengatur empat jenis sanksi administrasi: teguran
tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. terhadap
badan usaha yang melanggar baku mutu emisi maupun persyaratan lingkungan lainnya. Penetapan
sanksi ini tidak boleh kurang dari nilai ekonomik yang telah dinikmati pelanggar selama tidak
mentaati persyaratan perizinan lingkungan
b. 1. Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat dipotimalkan sebagai
perangkat pencegahan (preventive).Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat
lebih efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan
untuk penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan secara
rutin dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan dengan upaya pengumpulan bukti,
investigasi lapangan, mempekerjakan saksi ahli untuk membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat)
dalam kasus pidana dan perdata.

2. Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat.


Partisipasi masyarakat dilakukan mulai dari proses perizinan, pemantauan penataan /pengawasan, dan
partisipasi dalam mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk memberlakukan
sanksi administrasi. Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat , dimana peringatan harus
ditujukan kepada orang/badan hukum yang memang telah atau sedang melakukan pelangggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Orang/badan hukum yang telah atau
sedang melakukan pelangggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
harus mempunyai kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang tersebut. Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang sedang atau telah dilangggar harus tercantum secara jelas dalam
surat peringatan. Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas.

4.Pasal 1 Butir 25 (UUPPLH) mengatur bahwa:“sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada
lingkungan hidup.”Penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dapat ditempuh melalui jalur
pengadilan (litigasi) atau jalur diluar pengadilan (non litigasi) berdasarkan pilihan secara sukarela
para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan
para pihak yang bersengketa.

A. Untuk mencapai kesepakatan sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009
ttg PPLH mengenai :Bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan

a. .Mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi,


b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran atau perusakan
c. Mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya pencemaran atau
perusakan,
d. Mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup (Psl.
85 ayat 2). Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup (Psl. 85 ayat 3)

Dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga netral untuk
membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dikenal
dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) . Lembaga ADR
adalah arbitrase, mediasi, negosiasi, dan konsiliasi, yang saat ini banyak digunakan oleh para
industriawan dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di Indonesia, terutama dalam
perjanjian kerjasama antara pihak investor dengan masyarakat, apabila terjadi pencemaran
lingkungan. Selain itu pada penjelasan Pasal 86 menyatakan, bahwa pemerintah dan/atau masyarakat
dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang
bersifat bebas dan tidak memihak.

B. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan diatur dalam UUPPLH Pasal 87
sampai Pasal 92.

A. Ganti Rugi

Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

B. Tanggung Jawab Mutlak

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak
atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung
dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
disebabkan oleh: xadanya bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa di luar
kemampuan manusia; atau xadanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
xpencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan
oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.
C. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung
sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

D. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan.

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke


penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan
masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok
masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

5. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat terkait erat dengan hak atas
lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah dilindungi dalam Konstitusi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Setelah amandemen, ketentuannya
dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pada prinsipnya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.Sifat HAM yang melekat kemudian
menekankan arti penting dari adanya HAM yaitu, bagaimanakah upaya-upaya negara untuk
memberikan jaminan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan atas HAM?

Pasal 70 Ayat (1) UUPPLH telah menegaskan, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Tujuannya untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. Menumbuh-
kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. Menumbuh-kembangkan ketanggap-
segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga
budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, sesungguhnya UUPPLH telah menggariskan adanya


pengakuan dan manfaat dari peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Namun,
setelah terbitnya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) timbul polemik
terkait pandangan adanya reduksi peran serta masyarakat dalam proses Amdal. Penilaian itu
disampaikan salah satu Pakar hukum Lingkungan Andri G. Wibisana, yang menilai peran serta
masyarakat dalam UUPPLH semakin lemah pasca UUCK.

6. Dalam Undang- Undang PPLH No. 32 th2009 Ps. 1 angka 32 telah dikenalkan korporasi
merupakan subyek hukum yang diatur dan mengatur lebih jauh tentang pertanggungjawaban
korporasi. Pada ps. 116 Undang- Undang PPLH dijelaskan mengenai tindak pidana lingkungan hidup
yang dikerjakan oleh , untuk, ataupun atas nama badan usaha, dalam penuntutan serta saksi pidana
bisa dijatuhkan kepada korporasi dan / atau pengelolanya. Sama dengan konsep yang ada dalam
Undang – Undang PPLH, dalam ketentuan tindak pidana terdapat dalam UU terdapat 4 hal yang dapat
diperhatikan, Satu, dalam Undang – Undang PPLH pelaku tindak pidana disamping perorangan dapat
berupa badan hukum ataupun perserikatan, organisasi dan sejenisnya, sementara dalam KUHPidana
yang dapat dijadikan pelaku hanya berupa manusia atau orang. Dua, Undang – Undang PPLH selain
mempergunakan sanksi pidana pokok dan pidana tambahan layaknya pada KUHPidana
mempergunakan tindakan tata tertib untuk menjaga norma. Tiga, dalam rumusan pemidanaan terdapat
norma yang kabur yang mempergunakan kata “dan/atau” membuat hukum bimbang untuk
menjatuhkan sanksi kumulatif atau alternatif, terakhir yaitu Undang – Undang PPLH melihat hukum
pidana sebagai ultimum remedium untuk tindak pidana formil tertentu, sedangkan tindak pidana lain
mempergunakan asas premum remedium ( mendahului pelaksana penegakan hukum pidana). Undang
– Undang PPLH masih belum memadai untuk pemidanaan untuk oknum dari tindak pidana
lingkungan. Meskipun beberapa pasal yang dijelaskan bisa diperbaiki untuk dijadikan petunjuk
didalam menyusun RKUHP yang diatur secara tersirat mengenai pelaku tindak pidana lingkungan
untuk dijatuhkan sanksi yang berat baik perorangan maupun korporasi

Pelanggaran dan ketentuan pidana dalam UUPPLH terdapat dari pasal 98 sampai dengan 120.
Penjelasan mengenai pertanggungjawaban korporasi ditetapkan pada ps. 116 hingga ps. 120 Undang –
Undang PPLH.
 Ps. 116 Undang – Undang PPLH: Pada pasal ini menetapkan tentang siapa yang akan
bertanggungjawab atas tindak pidana yang diperbuat oleh, untuk dan atas nama badan usaha
/korporasi. Untuk mengetahui siapa yang akan bertanggungjawab, harus diketahui bagaimana model
dari pertanggungjawaban tersebut. Contoh pertanggung jawaban korporasi ini dapat diamati dari
jabatan dan sifat pertanggungjawabannya seperti: pengelola sebagai pembuat jadi pengelola sebagai
penanggung jawab, koorporasi menjadi pembuat tetapi pengelola yang diserahkan tanggungjawab,
dan koorporasi yang membuat sekaligus sebagai penanggungjawabnya.

 Ps. 117 Undang – Undang PPLH : Di pasal 117 membahas mengenai ancaman pidana. Menetapkan
ancaman pidana ditujukan yang memberikan perintah atau pimpinan tindak pidana diberatkan 1/3
ancaman pidana, jadi yang di tuntut dan dijatuhi hukumannya adalah pengelola. Maksudnya yang di
dakwa adalah pribadi pengurusnya. Dan ancaman yang telah dijatuhkan terhadap pengelola yakni
ancaman penjara sekaligus denda.

 Ps. 118 Undang – Undang PPLH: Pasal 118 membahas mengenai tuntutan pidana yang dijatuhkan
kepada pimpinan dari koorporasi badan hukum karena tindak pidana badan usaha merupakan tindak
pidana fungsional hingga pidana maupun sanksi yang ditetapkan terhadap mereka yang mewakilkan
kewenangan dari pelaku fisik. Artinya yang menjadi penanggungjawab atas tindakan fisik yang
dimungkinkan akan terjadi tindakan pidana.

 Ps. 119 Undang – Undang PPLH : Dalam pasal 119 membahas mengenai selain pidana sanksi yang
dapat dikenakan. Sanksi tersebut berupa pidana tambahan atau tindakan tata tertib, yaitu: dirampasnya
keuntungan dari tindakan pidana yang dilakukan, ditutupnya sebagian maupun seluruh tempat
kegiatan usaha, pembenahan terhadap lingkungan yang telah dilakukan tindak pidana, dan lainnya.

 Pasal 120 Undang – Undang PPLH: Secara keseluruhan pasal ini baik ayat (1) dan ayat (2)
mengatur tentang tata cara eksekusi kepada badan usaha yang telah diberikan sanksi pidana tambahan
ataupun tindakan tata tertib.

Tanggung jawab korporasi tindak pidana lingkungan hidup terdapat juga didalam UU No 40 Th 2007
Tentang Perseroan Terbatas. Dimana dalam uu itu menyatakan bahwa Direktur tidak bisa
membebaskan diri dari pertanggung jawaban pidana didalam perusahaan yang sedang di pimpinnya
yang sudah merusak atau mencemari lingkungan. Begitu pula pada UUPPLH juga menentukan
mengenai pertanggung jawaban bisa dijatuhkan pada badan hukum dan pimpinannya secara
bersamaan, dalam soal kegiatan dan /atau korporasi yang dijalaninya menyebabkan pencemaran dan /
atau perusakan lingkungan. Selain itu UUPPLH ada juga aturan penanganan perkara di Mahkamah
Agung yaitu Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 Tentang
Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
7. Perbedaan antara Class Action dan Legal Standing Organisasi Lingkungan

Perbedaan mendasar dari kedua jenis perlindungan hukum bisa terlihat dari pihak Penggugat, dengan
class action mencakup keseluruhan anggota kelompok, sementara dalam legal standing, pihak
Penggugat tidak mencakup semua anggota.Pihak Penggugat dalam legal standing dapat berupa badan
hukum atau organisasi non-profit (NGO atau LSM) dengan Tergugat adalan pemerintah, perusahaan,
badan hukum, dan perseorangan dengan bentuk tuntutan berupa pemulihan.Sementara itu, pihak
Penggugat dalam class action adalah individu atau kelompok masyarakat dengan Tergugat adalah
pemerintah, perusahaan, badan hukum, maupun individu dengan bentuk tuntutan berupa ganti rugi
dan pemulihan. Class action di Indonesia menjadi salah satu cara terbaik untuk menghindari
munculnya putusan berulang kali. Semoga bermanfaat.

Perbedaan lain antara Class Actions dengan Legal Standing adalah perihal tuntutan ganti rugi dalam
Class Actions pada umumnya adalah ganti rugi berupa uang sedangkan dalam Legal Standing tidak
dikenal tuntutan ganti kerugian uang, tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan atau tuntutan
berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bersifat deklaratif.
Ganti rugi hanya dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada biaya yang dikeluarkan oleh
organisasi tersebut

B. Persamaan antara Class Action dan Legal Standing Organisasi Lingkungan

Substansi utama yang mewadahi gugatan perwakilan baik itu berupa class action maupun legal
standing adalah keduanya berada di ranah hukum perdata dan merupakan bentuk pengajuan gugatan
dalam bentuk perwakilan.Hal ini sesuai dengan UU No. 32 th 2009 mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui pengadilann lalu
dijabarkan di pasal 87-92

Anda mungkin juga menyukai