Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi)
yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang
bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan
hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan
lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang pelestarian
fungsi lingkungan. Banyak pihak berharap (seluruh elemen masyarakat) bahwa Undang-
undang (UU) No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
berbuah manis. Pasalnya, sebelum dilakukannya revisi terhadap UU tersebut publik selalu
dirugikan dan dikalahkan dalam kasus apapun yang bersentuhan dengan penegakan hukum
lingkungan.
Masih hangat diingatan, bagaimana Lapindo, perusahaan milik mantan Menko Kesra
Aburizal Bakrie meluluhlantakkan hampir sebagian daratan Sidoarjo, Jawa Timur menjadi
lautan Lumpur yang kita kenal dengan LUSI (lumpur sidoarjo). Kemudian ganasnya
perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) PT. Freeport Indonesia yang menggerus alam
Papua dan bopeng-bopengnya Bangka Belitung oleh mesin-mesin penggerus PT.
Timah. Dinamika petumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan
pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal ini
disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam mengalami
tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai suatu tindakan
melawan hukum.
Bahwa dalam sistem pertanggungjawaban pidana di dasarkan kepada schuld si pelaku
tindak pidana. Dipidanannya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu melakukan
perbuatan melawan hukum, memenuhi rumusan delik dan dapat di pertanggungjawabkan
dengan dasar bahwa perbuatan itu subjektive guilt. sebagaimana telah digariskan oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pencemaran terhadap tanah, air dan udara pada
hakekatnya sebagai implikasi dari pesatnya aktivitas industri dan penggunaan pestisida

1
merupakan persoalan yang tidak dapat terhindarkan. Kehancuran hutan dan lahan yang
berdampak pada kekeringan panjang serta mengakibatkan banjir merupakan masalah susulan
lainnya. Sampai saat ini, berbagai masalah yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan
berdampak penting terhadap lingkungan hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA).
Untuk itu, berbagai masalah lingkungan memerlukan penanganan yang cepat, terencana,
terukur dan terarah sehingga dapat mengimbangi pesatnya kegiatan pembangunan dan
industrialisasi yang sering mengabaikan paradigma kelestarian fungsi lingkungan. Salah satu
upaya yang dilakukan dalah melalui proses penegakan hukum untuk meminta
pertanggungjawaban atas kesalahan pelaku. Berbagai upaya yang dapat ditempuh untuk
menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan manfaat Sumber Daya Alam mencakup
tiga hal penting. Pertama, meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan yang
berkaitan pengrusakan lingkungan hidup dan melakukan penegakan hukum terhadap
pencemar dan perusak lingkungan sebagai suatu kejahatan. Kedua, konsistensi dari
seluruh stakeholders  pembangunan dalam kepatuhannya terhadap berbagai produk legislasi
di bidang lingkungan hidup dan PSDA. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan SDA yang berorientasi kepada pelestarian dan kelestarian
lingkungan hidup.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP


maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan yang terdiri dari aturan umum (generalis rules) dan aturan khusus (special
rules). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat di dalam
Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. di dalam hukum pidana
berlaku asas legalitas (nullum delictum sine praevia poenali) artinya “Tiada suatu perbuatan
boleh dihukum kecuali atas kekuatan hukum pidana dalam undang-undang yang ada terlebih
dahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan kesalahan itu dapat dipidana
atau tidak hal itu tergantung apakah ia mempunyai kesalahan.
Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana,
delik merupakan pengertian psyikologis perhubungan antara keadaan jiwa sipembuat dengan
terjadinya unsur-unsur delik karena perbuatannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban
dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens) dan sistem aturan hukum pidana
materil untuk pemidanaan atau norma hukum pidana materil untuk pemberian/penjatuhan
pidana berupa sanksi di dalam pengoperasionalannya.

2
Selanjutnya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana di dalam sistem pemidanaan
maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de dader).
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa
kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat
atas perbuatannya itu.

Penegakan hukum di dalam sistem pemidanan terhadap pelaku kejahatan di bidang


lingkungan hidup dengan penggunaan hukum pidana oleh sistem peradilan pidana tidak dapat
dipisahkan dari tujuan hukum pidana dan tujuan sistem peradilan pidana. Adapun tujuan dari
hukum pidana ialah penjatuhan sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman
penderitaan dengan tujuan memberikan efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu teori ini pun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut
teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccattum est (karena
orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan
kejahatan).

1.2 Permasalahan

Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam
makalah yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan
oleh Korporasi “ adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi?
3. Bagaimana hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang
lingkungan hidup ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2009

 Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan


pendayagunaan sumber daya alam sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diperkenalkan suatu rumusan tentang
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Disebutkan dalam
ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan
lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya
dalam UU ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan
hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem
pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “asas berkelanjutan
mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan
sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan
hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati
maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan sumber
daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran
rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan

4
sebagaimana dimaksud pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya pengendalian dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan kejahatan
lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi.
Sudarto menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: 
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil
berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana
harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja
dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga
(overbelasting).

Undang-undang tersebut merupakan payung hukum (umbrella act) dari undang-undang


lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup. Pengaturan menyangkut lingkungan
hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 dapat dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa:

  (1)    Setiap orang dilarang:


a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup.

5
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan
lokal di daerah masing-masing.

Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115. Adapun ketentuan
dimaksud sebagai berikut :
Pasal 98 :
(1)  “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
(2)  “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
(3)  “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 99 :

6
(1)     “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)”Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
(3)“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”.

Pasal 100 :
  (1)“Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari
satu kali”.

Pasal 101 :
“Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)”.

Pasal 102:
“Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

7
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 103 :
“Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 104:
”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 105:
” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah)”.

Pasal 106:
” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 107:
“Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

8
Pasal 108:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Pasal 109:
” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)”.

Pasal 110:
” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 111: (1) “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2) “ Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha dan/atau
kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada pasal 40 ayat
(1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 112:
“ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan
dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan

9
hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 113:
“ Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam
kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 114:
“ Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 115:
” Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah
adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas,
dan keadilan Beberapa point penting dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain :
a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

10
d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
e. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
f. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
g. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
h. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
i. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
efektif dan responsif; dan
j. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai
negeri sipil lingkungan hidup.

Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas
kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
mensyaratkan bahwa yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
undang-undang meliputi:
a. Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup,
penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH.
b. Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi
dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun
RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
c. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
d. Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS,
tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan
hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan.

11
e. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber
daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
f. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
                 
1. Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku
mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL
atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak,
pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah
ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
2. Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik
pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
3. Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata AMDAL Dalam UU NO.
32 TAHUN 2009. Dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang
AMDAL. Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No.
23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam UU No. 23 Tahun
1997 disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup , sedangkan
pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai
dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
4. Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun
2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun
kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL merupakan
persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan diterbitkan oleh
Menteri, gubernur, bupati.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus
selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya,
kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban
melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber
daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai

12
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancaman hukuman
minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku
mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum
remedium  yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan
asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Menyangkut ultimum remedium Alvi Syahrin dalam buku “Beberapa Isu Hukum
Lingkungan Kepidanaan” mengemukakan bahwa :
“hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium  artinya hukum pidana hendaknya
dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakukan manusia. Perkataan
ultimum remedium ini pertama sekali dipergunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda yaitu
Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay seorang anggota parlemen Belanda
mengenai dasar hukum perlunya penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan
suatu pelanggaran hukum. Atas pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:”... bahwa yang
dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini
merupakan conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat
dihukum itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah
dapat ditiadakan dengan cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu upaya
terakhir (ultimum remedium). Memang terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya.
Setiap orang yang berpikir sehat akan mengerti hal tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini
tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi harus mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian ancaman pidana benar-benar menjadi upaya penyembuhan serta
harus menjaga jangan sampai membuat penyakitnya lebih parah”. 

Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini


meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan
penerapan instrumen penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian
aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan
ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang

13
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni tindak pidana
pencegahan pencemaran. Terkait tindak pidana lingkungan hidup undang-undang
merumuskan berupa :
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
b. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
c. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: Pertama,
melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau
beracun masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air. Kedua,
impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan
instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
atau membahayakan kesehatan umum.
d. melakukan perbuatan berupa memberikan informasi palsu, atau menghilangkan
informasi, atau menyembunyikan informasi atau merusak informasi yang diperlukan
(dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan
kesehatan umum atau nyawa orang lain.
e. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau
luka berat.

2.1 Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan Oleh Korporasi

Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang
senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada
tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu
sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak
mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya
dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Dijelaskan bahwa tindak pidana sama sekali
tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada
batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat

14
dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat
dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat
prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban
sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman
terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat
penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah
ditentukan dapat dicapai.
Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu. Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam.
R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia
merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak
(sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar
Undang-undang hukum pidana.

Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya


jangan berbuat jahat. Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah
hukuman.

Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.


Pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering
dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang
menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana
merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian
khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau
nestapa yang menderitakan.
Selanjutnya terkait penghukuman pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
di bidang lingkungan hidup (korporasi dapat dipidana) maka pemidanan terhadap korporasi
di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup khususnya Pasal 98 ayat (1) mengandung beberapa unsur yang harus
dipenuhi dalam kerangka penerapan pemidanaan yakni: Pertama, unsur barang siapa. Kedua,
secara melawan hukum. Ketiga, dengan sengaja. Keempat, melakukan perbuatan yang

15
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 116 ayat
(1) menyebutkan bahwa “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha;
dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. jika tindak pidana
sebagaimana di maksud dalam pasal ini, dilakukan oleh atau atas orang yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha maka sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama. Ayat (2) menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja
atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Selanjutnya Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa jika
tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana
penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf (a), sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha
yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Berdasarkan rumusan Pasal 116 ayat (1) di atas mensyaratkan bahwa pemidanaan
terhadap korporasi yang melakukan kerusakan lingkungan hidup dapat dijatuhkan kepada
badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Oleh karenanya korporasi dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban
untuk membuat kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya yaitu :

a. Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;


b. Merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan
siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;

16
c. Merumuskan intruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang
menganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan pegawai-pegawai perusahaan
mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang
bersangkutan.
d. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;

Singgih dalam Mahmul Mulyadi  menyatakan bahwa kejahatan korporasi (corporate


crime) dibagi dan didefenisikan dalam 6 (enam) kategori yaitu: 

1. Defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan besar keuntungan yang


sebenarnya kepada pemegang saham).
2. Defrauding the public (mengelabui publik tentang produk-produk terutama yang
berkaitan dengan mutu dan bahan).
3. Defrauding the Government (membuat laporan pajak yang tidak benar).
4. Endangering employess (perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan kerja
para karyawan).
5. Illegal intervention in the political process (berkolusi dengan partai politik dengan
memberikan sumbangan kampanye).
6. Endangering the public welfare (proses produksi yang menimbulkan polusi yakni
debu, limbah, suara dan lain sebagainya. 

Berbagai fakta dan data tentang kejahatan korporasi di tingkat nasional, misalnya
pencemaran kali Brantas yang dilakukan oleh pabrik tahu PT. Sidomakmur, kasus Indorayon
Utama di Sumatera Utara dan bahkan kasus yang masih hangat dibicarakan dan menjadi
perhatian sekarang ini bagi semua elemen lapisan masyarakat, dalam menggambarkan
perilaku korporasi yang membahayakan dan merugikan masyarakat luas adalah ”kasus
lumpur Lapindo Brantas” di Sidoharjo, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar
biasa bagi masyrakat sekita, dimana lumpur ini telah menggenangi dua belas desa dan tiga
kecamatan.
Kasus lumpur Lapindo Brantas ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi
(corporate crime). Jika terhadap kewajiban-kewajiban, korporasi tidak atau kurang
memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa
korporasi kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan)

17
dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak
pidana lingkungan khususnya kejahatan korporasi (corporate crime), ada beberap faktor yang
harus diperhatikan yaitu :

a. Apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap
kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana.
b. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu
lingkungan.
c. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut. 

3.1 Hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang


lingkungan hidup

Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia.
Oleh karena itu sumberdaya alam dan lingkungan hidup pun harus dilindungi. Namun
sayangnya kejahatan terhadap lingkungan hidup di Indonesia masih kerap terjadi. Hukum
terkait Lingkungan Hidup menjadi instrumen yang penting dalam usaha menyelamatkan
lingkungan hidup. Berikut ini merupakan Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan
di Indonesia
a. Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan

Pemerintah senantiasa memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas berkaitan


penegakan hukum lingkungan, karena penegakan hokum lingkungan ini jauh lebih rumit dari
pada delik lain, Seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik
silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari
pada proses penegakan hukum perdata maupun hukum pidana.
Pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum
lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat,
korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya
laporan atau pengaduan tidak dapat diproses. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal, LSM
atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan
perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas

18
nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu
memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat
meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup,
bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga yang
mengetahui terjadinya kejahatan lingkungan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian
dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis.

b. Kendala Dalam Pembuktian

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya


memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga
pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena
kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang
baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian
fungsi lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah
menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI.
Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan
suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah
memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali
Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran
karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi
hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah
Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum,
selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan
mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa
permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi
pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi,

19
sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur
subyektifitas.

c. Infrastruktur Penegakan Hukum

Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum
dalam mengatasi tindak pidana lingkungan hidup adalah minimnya aparat pemantau, atau
minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator
yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum.
Kompleksitas masalah lingkungan hidup bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki
power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang yang melanggar.
Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi perusakan/pencemaran lingkungan hidup yaitu
mereka sengaja atau mereka tidak serius menjaga kawasannya agar bebas kerusakan. Jika ada
kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pelanggaran lingkungan
hidup akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan
Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.

d. Budaya hukum yang masih buruk

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR.
Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Dinamika petumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan


pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal
ini disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam
mengalami tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai
suatu tindakan melawan hukum sebagaimana telah digariskan oleh Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan


merupakan jantung dari pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang pun yang
melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi berdasarkan
kesalahan (liability based on fault) atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau
asas culpabilitas.

c. Faktor penghambat dalam penegakan hukum lingkungan terletak kepada manusia


yang hidup disekitarnya, baik itu sebagai kamunitas masyarakat maupun sebagai
aparat pemerintah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menegakan
hukum / peraturan tentang lingkungan hidup.

21
3.2 Saran

a. Perlunya Sosialisasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan


lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah warisan untuk anak cucu nantinya
b. Meningkatkan profesional penyidik dalam menangani tindak pidana lingkungan hidup
dalam mengungkap danmemberikan keadilan bagi seluruh masyarakat.
c. Mengefektifkan aparat pemerintah lainnya dalam pengawasan lingkungan hidup.
d. Semua pihak harus mempunyai budaya malu jika melanggar hukum.

22
Daftar Pustaka

 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981


 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, Bandung:Utomo,2004
 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT. Softmedia,
2009
 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung:Alumni, 1984
 Undang undang nomer 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

23

Anda mungkin juga menyukai