Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya
dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu
terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan disertai ancaman berupa pidana dan menetukan syarat-syarat pidana dapat
dijatuhkan.1

Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum
pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian maka hukum pidana Indonesia
diberlakukan keseluruh wilayah Negara Indonesia. Disamping itu, mengingat materi
hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, namun disisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang
melnggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum
pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati yaitu dengan memperhatikan konteks
masyarakat dimana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tingi nilai-
niali kemanusiaan yang beradab.

Persoalan kesesuain antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana
tersebut diberlakukan menjadi salah prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana.
Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-
nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah
usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam msyarakat. Ini berarti pembaruan
hukum pidana (criminal law reform) kini telah menjadi suatu “ harga mati” untuk
adanya perubahan mendasar dalam rangka mencapai tujuan dari pidana,tindakan,
kebijakan, dan pemidanaan yang lebih baik dan manusiawi kelak di Indonesia.
Kebutuhan tersebut, sejalan pula drngan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan
sesuatu penegakan hukum (law enforcment) yang lebih adil terhadap setiap bentuk
pelanggaran hukum pidana dalam era reformasi ini. Suatu era yang sangat
membutuhkan adanya keterbukaan, demokrasi , pemerintahan yang bersih dan

1
Moeljatno,asas-asas hukum pidana,Rineka cipta,Jakarta,1993

1
baik,perlindungan hak asasi manusia, penegakan hukum dan keadilan atau kebenaran
pada segenap aspek dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2

Keinginan untuk dilakukanya pembaruan hukum pidana sudah ada sejak tahun 1946
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturab hukum
pidana (berita republic indinesia nomor 9).menurut sudarto, pembaruan hukum
pidana sebagai bagian dari polotik criminal sudah pada tempatnya dan sudah pada
wktunya segerah di laksanakan. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya ketentuan
undang-undang pidana lama yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
sebagai suatu “umberella act” atau undang-undang paying yang bersifat umum.
Undang-undang ini akan mempengaruhi pula formulasi pembentukan undan-undang
pidana khusus, sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam era kemerdekaan
dan keterbukaan pada abad ke-21 ini.

Bertolak dari pada itu, perancangan kitab undang-undang hukum pidana nasional
yang baru untuk menggantikan kitab undang-undang hukum pidana peninggalan
pemerintah colonial belanda dengan segala perubahan, didalam penjelasan dikatakan
sebagai salah satu usaha dalam dalam rangka pembaruan hukum nasional. Usaha
tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan
nasional diberbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat
kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam mayarakat.3

Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana seluruh Indonesia ini,
secara de facto belum dpat terwujud karna terdapat daerah-daerah pendudukan
belanda sebagai akibat aksi militer belanda I dan II dimana untuk daerah-daerah
tersebut masih berlaku wetboek van strafrecht voor nederlandsch- indie (staat blad
1915: 732) dengan segalah perubahanya. Dengan demikian, dapat di katakana setelah
kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualism hukum pidana yang berlaku di Indonesia
2
Teguh Sulistia Dan Aria Zurnetti,hukum pidana horizon baru pasca reformasi, Raja
Grafindo, Jakarta
3
Marwan Efendi,teori hukum dari perspektif kebijakan,perbandingan dan
harmonisasi hukum pidana,Referensi Gaung Persada Pres Group, Jakarta,2014

2
dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958. Dengan diundangkanya uu No 73
Tahun 1958. Undang-undang tersebut menentukan bahwa undang-undang No 1
Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dengan semua perubahan dan
tambahanya berlaku untuk seluruh Indonesia.

Hukum hadir dan dibuat sebagai salah satu jalan yang diharapkan dapat memberi
penyelesaian yang tepat dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan memberantas
secara lebih efektif dari segala bentuk tindak pidana yang dirasa merugikan,
melanggar, dan merampas hak asasi manusia yang lain. Hukum adalah suatu tatanan
norma yang mengatur pergaulan manusia dalam bermasyarakat. Perkembangan
hukum tidaklah terlepas dari perkembangan pola pikir manusia yang menciptakan
hukum tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Hukum ada pada setiap masyarakat
di manapun di muka bumi.

Kejahatan merupakan perbuatan yang dinilai oleh masyarakat dan undang-undang


melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang hidup serta dianggap “melampaui
batasan” mengenai hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan oleh anggota masyarakat.
Secara teknis yuridis, istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukkan
perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana4,
serta kejahatan bisa dikatakan sebagai suatu “pemberian cap” yang dilakukan baik
oleh masyarakat, maupun melalui undang-undang, yakni suatu perbuatan diberi
pengertian sebagai “jahat”, maka pada dasarnya kejahatan bukanlah kualitas dari
perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannnya
peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang “pelanggar”.5

4
Menurut I.S. Susanto, disamping kejahatan itu sendiri, hukum tidak lain merupakan salah satu norma
di antara sistem norma yang lain, yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam bahasa psikoanalisa
hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral.
Lihat, I.S Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011)
5
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985)

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dalam makalah ini dapat diambil
suatu rumusan masalah yaitu sebagai berikut :

1. Mengapa dibutuhkan pembaruan hukum pidana di Indonesia ?

2. Bagaimanakah pembentukan pembaruan dalam RUU KUHP nasional ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah :

1. Untuk Mengetahui kenapa dibutuhkan pembaharuan hukum pidana di


Indonesia
2. Untuk Mengetahui Bagaimana pembentukan pembaruan dalam RUU KUHP
nasional

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia

Kebutuhan pembaruan hukum pidana bersifat menyeluruh (komprehensif) sudah


dipikirkan oleh pakar hukum pidana sejak Tahun 1960-an yang meliputi hukum
pidana materill(subtantif), hukum pidana formal( procedural,hukum acara pidana ),
dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum pidana itu harus sama-sama
diperbarui sebagai konsekoensi dianutnya asas legalitas di dalam hukum pidana
Indonesia. Apabilah hanya salah satu bidang hukum pidana saja diperbarui dan yang
lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaan hukum dan tujuan
pembaruaan tidak tercapai. Ini mengingat, tujuan utama pembaruan hukum pidana
ialah untuk penanggulangan kejahatan.

Usaha pembaruan hukum pidana sudah dimulai sejak masa permulaan berdirinya
republic Indonesia, yaitu saat diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 di
Jakarta. Guna menghindari kekosongan hukum, UUD 1945 memuat tentang aturan
peralihan. Pada pasal II aturan peralihan dikatakan bahwa”segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih berlaku,selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini”. Ketentuan tersebut berarti bahwa hukum pidana dan UU pidana yang berlaku
saat itu, yaitu selama masa pendudukan bala tentara jepang atau belanda, sebelum ada
ketentuan hukum dan undang-undang yang baru.

Dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna,


suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai central sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sisoal, kebijakan criminal, dan kebijakan
penegakan hukum di indinesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaruan

5
hukum pidana pada hakikatnya harus di tempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai(value-oriented approach).6

Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karna


memang pada hakikatnya dia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan
atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum,politik hukum
pidana,politik criminal,dan poltik sosial).dengan uraian diatas, dapatlah disimpulkan
makna dan hakikat pembaruan hukum pidana sebagai berikut :

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :

a. Sebagai bagian dari kebijakan social, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah social (termasuk
kemanusiaan) dalam rangka mencapai / menunjang tuuan nasional (kesejahteraan
masayarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan krininal, pembaruan hukum pidana pada hakiktanya
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penaggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,pembaruan hukum pidana pada


hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui subtansi hukum (legal
subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai :

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan


dan penilaian kembali (reorientasi dan reefaluasi) nilai-nilai
sosiopolitik,sosiofilosofis,dan sosiokultural yang melandasi dan member isi terhadap

6
Barda Nawawi,kebijakan hukum pidana perkembangan penyusunan konsep KUHP
baru,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2008

6
muatan normative dan subtansi hukum pidana yang dicita-citakan.bukanlah
pembaruan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang
dicita-citakan (misalnya, KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum
pidana lama warisan penjajah (KUHP lama WpS ).

Pada era reformasi ini ada tiga factor tatanan hukum pidana positif yang sangat
mendesak dan harus segera diperbarui. Pertama, hukum pidana positif untuk
mengatur aspek kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman. Sebagai tatanan hukum pidan apositif merupakan produk hukum peninggalan
colonial belanda. Misalnya, pada hukum pidana materill seperti KUHP. Ketentuan
undang-undang ini kyrang memiliki relefansi social dengan situasi dan kondisi social
yang diaturnya. Ini disebabkan perubahan social diindonesia dewasa ini adalah
perubahan radikal meliputi kehidupan masyarakat. Kedua, sebagian ketentuan hukum
pidana positif tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kebebasan , keadilan, kemandirian, HAM, dan demokrasi.ketiga, penerapan
ketentuan hukum pidana positif menimbulkan ketidak adilan terhadap rakyat
khususnya para aktifis politik, HAM, dan kehidupan demokrasi di negeri ini.

Reformasi hukum pidana harus bisa mengacu kepada kebijakan hukum pidana supaya
sinergi dengan kepentingan penegakan hukum. Kebijakan itu meliputi tentang apa
saja yang dapat dikriminilisasikan dalam undang-undang pidana luas. Undang-
undang pidana itu bakal dilaksanakan oleh pemerintah bersama aparat penegak
hukum itu sendiri.

HUKUM selalu diidentikkan dengan aturan penguasa yang isinya berupa perintah
dan larangan, padahal hukum berkaitan erat dengan masyarakat. Sesuai dengan
ungkapan “ubi societas ibi ius” yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum”(Cicero106—43SM).
Hukum dan masyarakat adalah dua bentuk yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat
membutuhkan hukum guna mempertahankan dan merawat masyarakat itu. Hukum

7
muncul karena kehendak masyarakat itu sendiri. Hukum sudah ada dalam keluarga
sebagai lingkup masyarakat terkecil seperti kewajiban orang tua menyayangi anaknya
dan kewajiban anak mematuhi orang tua dan sebagainya. Di lingkup masyarakat
terbesar, yaitu negara, hukum akan lebih kompleks lagi.
Apabila aturan-aturan dalam hukum tersebut tidak dipatuhi, akan dikenakan
hukuman, salah satunya adalah hukuman pidana. Pidana berarti nestapa atau
penderitaan yang diberikan pihak yang berwenang kepada pihak yang melanggar
hukum.
Induk hukum pidana di Indonesia berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau KUHP, nama aslinya adalah WVSNI (Wetboek Van Strafrecht voow
Nederlandsch Indie) dan sudah berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP ini
merupakan salinan dari KUHP Belanda yang berasaskan liberalis kapitalis.
Jikalau kita hitung sejak tahun 1918, umur dari KUHP yang ada saat ini hampir
menyentuh satu abad. Selama ini KUHP Indonesia hanya mengalami beberapa kali
perubahan dan penambahan beberapa pasal, namun secara menyeluruh KUHP saat ini
tidak berbeda jauh dengan KUHP yang lama.

Dengan menggunakan hukum Barat, sekalipun telah dimodifikasi, tentunya tidak


sesuai dengan semangat untuk bebas dari belenggu penjajahan. Mirisnya, Belanda
tidak memakai lagi KUHP ini.

Tidak RelevanSelain itu, KUHP Indonesia yang telah berumur itu isinya kurang
relevan lagi bagi kondisi masyarakat saat ini, kurangnya update menjadi sebabnya.
Padahal, hukum haruslah menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat sehingga
fungsi hukum pidana guna menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat tetap
berjalan dengan baik Salah satu contoh kurangnya pembaharuan materi hukum

pidana ialah kasus narkoba dari seorang artis terkenal, yaitu Raffi Ahmad. Dia
disinyalir telah mengonsumsi khat atau disebut juga teh Arab. Padahal, kandungan zat
yang ada pada teh Arab dapat digolongkan menjadi salah satu jenis narkoba.

8
Hukum pidana saat itu belum memasukkan teh Arab sebagai salah satu jenis narkoba.
Maka, kemudian demi hukum artis tersebut dibebaskan karena adanya asas legalitas
“tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang yang mengaturnya lebih
dahulu”. Pelajaran yang dapat dipetik ialah begitu pentingnya pembaharuan materi
hukum pidana sehingga kejadian seperti ini tidak terulang.
Selain itu, kelemahan hukum pidana yang ada saat ini ialah rumusan pasal yang
masih kurang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir dan dapat menimbulkan
celah sehingga perbuatan yang sebetulnya dapat dipidana tapi tidak dapat dipidana.
Salah satunya rumusan Pasal 284 KUHP Ayat (1) tentang Perzinaan yang hanya
mengancam pidana selama maksimal 9 bulan bagi laki-laki ataupun perempuan yang
telah kawin karena melakukan hubungan senggama dengan orang yang bukan
pasangannya.
Dalam rumusan pasal ini, pengertian zina sangat sempit sekali, hanya berlaku bagi
orang-orang yang telah kawin, tidak sesuai dengan pengertian zina yang ada di
Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI). Dalam KBBI, zina pengertiannya termasuk
juga perbuatan senggama antara lelaki dan perempuan yang belum kawin. Rumusan
pasal ini kemudian menjadi celah bagi pemuda-pemudi untuk melakukan zina karena
memang undang-undang tidak melarang untuk itu, akibatnya ialah seks bebas
merajalela. Hal ini terjadi karena sekali lagi kurangnya pembaharuan dalam hukum
pidana Mutlak diperbaharui Lemahnya hukum pidana yang ada saat ini semakin

diperparah dengan bobroknya moral manusia, yang mengutamakan kepentingan


pribadi dibandingkan kepentingan hukum. Hukum semakin tajam ke bawah dan
tumpul ke atas, menindas dan menyengsarakan rakyat. Hukum hanyalah panggung
dagelan guna memuaskan hasrat, memperjualbelikan hukum layaknya sebuah
dagangan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme mendarah daging hingga menjadi budaya
yang biasa untuk dilakukan bahkan mulai menjangkiti masyarakat. Kesadaran hukum
semakin berkurang. Pelanggaran hukum semakin merajalela.
Maka itu, urgensi pembaharuan hukum pidana mutlak untuk dilakukan. Hukum

9
pidana haruslah kembali ke fungsi awal, yaitu sebagai pelindung masyarakat dan juga
penyelenggara tata kehidupan masyarakat. Hukum pidana harus sesuai dengan
norma-norma yang ada di Pancasila dan UUD 1945. Hukum pidana harus menjamin
kepastian hukum bagi semua golongan. Hukum pidana harus mengatasi segala bentuk
kezaliman.  
Tidak ada kata terlambat untuk mengatasi permasalahan hukum pidana ini.
Komitmen bersama antara masyarakat dan pemegang kekuasaan adalah kunci penting
dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan
bersama dan kepentingan hukum. Selain itu, kesadaran hukum mutlak juga untuk
dipahami dan dilaksanakan dimulai dari hal terkecil. Kesemuanya hanya untuk satu t
Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua
jalur, yaitu: ujuan, yaitu keadilan.

1. Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan


melengkapi KUHP yang sekarang berlaku.

2. Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang


tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang
merupakan warisan kolonial.

Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah


diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :

1. Alasan yang bersifat politik

Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat
nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang Inherent
dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh
karena itu tugas dari pembentukan Undang-Undang adalah menasionalkan semua
peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada
pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

10
2. Alasan yang bersifat sosiologis

Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, karena ia
memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-
perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk
menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan
kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan
sebaliknya.

3. Alasan yang bersifat praktis

Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dapat disebut secara resmi
sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami
bahasa asing semakin sedikit.dilain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP
yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang
menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.

KUHP nasional dimasa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan


perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang
sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana,
pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian
demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara
universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total
kodifikasi hukum pidana.

Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang


yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan
KUHP. KUHP yang masih berlaku saat ini merupakan produk kolonial yang

11
diterapkan di negara jajahan untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi
negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru
yang sesuai dengan jiwa bangsa.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau


menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain sebagai berikut:

a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam
undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan usaha pembaharuan hukum
pidana, antara lain :

 Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan hukum pidana


menjadi“Indonesia”.

 Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi


Wetboek van Strafrecht sebagai hukum pidana Indonesia dan bisa disebut
KUHP.

 Perubahan beberapa pasal dalam KUHP agar sesuai dengan kondisi bangsa
yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.

 Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.

b. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Dalam


undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok baru berupa pidana tutupan ke
dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.

c. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin
kepada Dokter dan Dokter Gigi. Dengan undang-undang ini KUHP ditambahkan satu
pasal, yaitu Pasal 512a tentang kejahatan praktek dokter tanpa izin.

12
d. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI
dan Mengubah KUH Pidana. Dalam undang-undang ini diatur antara lain sebagai
berikut :

 Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik


Indonesia.

 Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu ;

1. Pasal 52 a tentang pemberatan pidana (ditambah 1/3) jika pada saat


melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia;

2. Pasal 142 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan negara sahabat;


dan

3. Pasal 154 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan dan lambang


negara Republik Indonesia.

e. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP. Dengan undang-
undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu :

 Pasal 359 tentang tindak pidana penghilangan nyawa karena kealpaan


dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana
kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau
pidana kurungan maksimal 1 tahun.

 Pasal 360 tentang tindak pidana karena kesalahan menyebabkan luka berat,
sehingga menyebabkan orang sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan penjara atau kurungan

13
maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah menjadi dua ayat
yaitu :

1. Pasal 360 ayat (1) tentang tindak pidana perlukaan berat karena kealpaan
dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana
kurungan maksimal 1 tahun;

2. Pasal 360 ayat (2) tentang tindak pidana perlukaan karena kealpaan sehingga
menyebabkan seseorang menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal
9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal
Rp. 300,-.;

3. Pasal 188 tentang tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang
membahayakan umum atau menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan
dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana
kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.

f. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam
KUHP. Dengan undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364,
373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).

g. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman
Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang
dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Dengan undang-undang ini maka
hukuman denda yang ada dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana yang
dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan
dilipatkan lima belas kali.

14
h. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
atau Penodaan Agama. Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi :

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa


dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan" :

 Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan


terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

 Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

i. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian. Dengan


undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam KUHP yang
berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu :

 Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan. Dengan ketentuan


ini, maka Pasal 542 tentang tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur
dalam Buku III tentang Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II tentang
Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II setelah Pasal 303 dengan sebutan
Pasal 303 bis;

 Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal 303
ayat (1) KUHP dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda
maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda
maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi jumlahnya (2
tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp. 25.000.000,-)
sanksi pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau denda) menjadi
bersifat kumulatif (penjara dan denda);

15
 Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) tentang perjudian
dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal
Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-.
Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1);

 Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) tentang residive
perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda
maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda
maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat
(2).

j. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan


Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan :

  Memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat yang diatur


dalam Pasal 3 

          dan 4 KUHP menjadi berbunyi :

1. Pasal 3, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi


setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2. Pasal 4, Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai
dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 hutrf j tentang
penguasaan pesawat

3. udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, o tentang kejahatan


yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

16
 Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat udara Indonesia, 95b tentang arti
penerbangan, dan 95c tentang arti dalam dinas.

 Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan Pelayaran ditambahkan bab baru
yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam  bab baru ini terdapat 28 pasal baru
yaitu Pasal 479a-479r.

k. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan


Negara. Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan
terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang
menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan
Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964
dilaksanakan dengan cara ditembak.

Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas,


terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang
pidana. Di antaranya adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt
Tahun 1951 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi),
tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui
dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20
Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997),
tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana
lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian
uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur
dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.

17
B. Pembentukan Pembaruan Dalam RUU KUHP Nasional

Upaya pembaruan hukum pidana dalam pembentukan suatu RUU KUHP Nasional
merupakan kebutuhan pokok masyrakat guna tercipta penegakan hukum yang adil.
Keamanan dalam naungan hukum didambakan oleh warga masyarakat yang
mengalami “ketakutan terhadap kejahatan” sehingga ada upaya penanggulangan
kejahatan melalui perundang-undangan pidana sebagai bagian dari langkah
kebijakan ,karna meningkatnya kualitas, kuantitas, dan identitas pelanggaran hukum.
Semua ini dapat dilakukan melalui penegakan hukum pidana.

Upaya ini dapat dicapai dengan terbentuknya suatu KUHP Nasional. Artinya, adanya
usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan suatu undang-undang pidana
pada hakikatnya merupakan bagian integral (terpdu) dari usaha perlindungan
masyarkat (social welfare). Kebijakan atau hukum pidana ini merupakan bagian
integral pula dari kebijakan atau politik social (social polici) yakni segala usaha yang
rasional untuk dapat mencapai kesejahteraan masyrakat dan sekaligus mencakup pada
perlindungan masyrakat terhadap berbagai pelanggaran hukum.

Penegakan hukum berkaitan erat dengan kebijakan hukum pidana (penal policy)
sebagai politik criminal yang dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak
hukum dalam rangka mewujudkan keadilan. Marc ancel memberikan defeninisi
tentang criminele politie sebagai “rationale organisatie van maatschappelijke reakties
of misdaad”. (artinya, usaha rasional dari reaksi masyarakat didalam upaya
penaggulangan kejahatan). Penaggulangan kejahatan ini berdasarkan pada ketentuan/
aturan dalam het stelsel van hect wetboeek van 1886. Ia ditempuh karna adanya “de
objectiefe Ernst van hect delict” atau keadaan bjektif sungguh-sungguh terjadi dari
delik undang-undang (wet delik). Usaha rasional atau tindakan nyata ini dalam
bentuk bidang hukm. lingkup kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup

18
kebijakan bidang hukum pidana materill, hukum pidana formal, dan hukum
pelaksanan pidana.7

Pembentukan undang-undang pidana, seyogyanya meliputi ketiga bidang hukum itu


mencapai keadilan, semua ini berkaitan pula dengan masalah didalam system hukum
pidana Indonesia secara keseluruhan. Masalah-masalah itu, menurut sudarto berupa :

(a) Kriminalisasi dan deskriminalisasi, (b) pemberian pidana,

(b) Pelaksanaan hukum pidana, dan (d) sampai seberapa jauh urgensi KUHP
Nasional.

Semua masalah diatas akan terjawab dengan adanya hukum pidana. Menurut Barda
Nawawi Arief, bahwa :

Kebijakan hukum pidana hukum pidana akan melalui tiga tahapan, yaitu (1) tahap
penegakan hukum in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang yang disebut
dengan legislative sebagai tahap formulasi hukum; (2) tahap penegakan hukum in
concrito pada penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dari pihak
kepolisian sampai pengadilan yang disebut dengan kebijakan yudikatif sebagai tahap
aplikasi hukum; dan (3) tahap penegakan hukum in concrito pada pelaksanaan pidana
penjara oleh petugas pelaksana pidana / pindana penjara yang disebut dengan
kebijakan eksekutif sebagai tahap administrasi eksekusi hukum.

Ketiga tahap itu dapat diterapkan secara berurutan yang dimulai dengan membetuk
KUHP.

Pembentukan RUU KUHP baru sampai saat ini masih dalam tahap pertama, yaitu
formulasi hukum pidana. Pada tahap ini, segala aspek hukum dan jenis sanksi pidana
dapat diberikan oleh warga masyarakat sebagai masukan kepada pihak pemerintah

7
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra
Aditia bakti,1996

19
(cq departemen hukum dan ham) dan dewan perwakilan rakyat demi terwujudnya
kesempurnaan dari RUU KUHP baru yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Masukan dari masyarakat ini masih terbuka lebar sebelum
ditetapkan dan diberlakukannya suatu KUHP Nasional.8

Pembentukan KUHP baru diharapkan dapat menampung berbagai masalah dalam


hukum pidana yang selama ini tidak terakomodasi dalam KUHP lama dan selalu
timbul ketidakadilan di masyarkat dan praktik peradilan. Disamping itu, substansi
KUHP baru juga harus mampu mengantisipasi berbagai perkembangan delik-delik
baru pada proses perubahan masyarakat di dalam era reformasi, seperti masalah
penyandraan, maker, terorisme, delik-delik terhadap komunikasi lewat satelit,
penghinaan peradilan (contempt of court),delik-delik yang berhubungan dengan
computer, teknologi informasi, dan ruang angkasa, delik-delik terhadap encemaran
lingkungan, kejahatan ekonomi dan bisnis yang semakin berkembang pesat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kejahata bau yang berkembang tersebut mempunyai implikasi terhadap seala aspek
kehidupan bangsa dan Negara. Pembentukan KUHP Nasional merupakan amanah
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dengan prinsip
wawasan nusantara, yakni hanya ada satu hukum nasional yang berlaku di seluruh
wilayah Indonesia sebagai Negara kesatuan. Konsekuensi logis prinsip ini adalah
hanya ada satu satu hukum pidana nasional yang berlaku di Negara ini. Politik
hukum pidana yang hendak ditempuh ialah politik unifikasi hukum pidana. Suatu hal
yang wajar ada pada suatu Negara kesatuan seperti Indonesia berupa hanya ada satu
hukum yang berlaku bagi seluruh golongan penduduk sebagai tuntutan dan kebutuhan
hukum pada Negara hukum modern yang semakin kompleks dengan berbagai
masalah hukum.

8
Han Bin Siong, azas-azas Tata Hukum Nasinial Dalam Bidang Hukum
Pidana,Jakarta: Tunas Mekar Murni,2003

20
Aspek lain daripada politik hukum ini ialah hukum pidana nasional harus dapat
dikodifikasikan dalam rangka adanya kepastian hukum. Semua ketentuan hukum
pidana merupakan pidana tertulis yang dihimpun dalam satu system yang harus
bersifat terbuka untuk dapat menanggapi berbagai perubahan akibat perkmbangan
ilmu pegetahuan dan teknologi yang berlangsung sangat cepat dalam kehidupan
masyarakat. Kodifikasi yang ditempuh oleh pemerintah ialah kodifikasi sektoral
dalam arti semua asas, prinsip, dan ketentuan berlaku umum untuk seluruh bidang
pidana dihimpun sebagai salah satu kesatuan sste dalam satu kitab undang-undang,
yaitu KUHP Nasional.

RUU KUHP memangsudah amat mendesak untuk segera diundangkan, guna


melengkapi keberadaan KUHAP dan undang-undang aparat penegak hukum yang
sudah ada terlebih dahulu di tanah air. Bagi bangsa dan Negara Indonesia yang sudah
merdeka lebih dari 60 tahun, keberhasilan dalam membentuk suatu KUHP Nasional
merupakan kebanggaan tersendiri yang akan melengkapi karya agung undang-undang
pidana di negeri ini setelah pengundangan KUHAP pada tahun 1981 lalu.
Persoalannya sekarang, kapankah RUU KUHP ini dapat diundangkan oleh
pemerintah dalam lembaran Negara menjadi KUHP Nasional yang sudah lama
didambakan rakyat ?

Pemberlakuan KUHP Baru dalam rangka penegakan hukum menjadi tolak ukur
sampai dimana sanksi hukum pidana memiliki makna khusus berkarakter khas
Indonesia dalam mengubah perilaku bangsa yang sesuai dengan hukum. KUHP Baru
merupakan hasil karya bangsa di bidang hukum pidana yang dibentuk dalam rangka
menyongsong era baru millennium pada abad ke-21.

Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari usaha
pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi
hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang
menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin

21
diselesaikan.9 Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama
kali dan berlanjut terus sampai tahun 2004. Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU
KUHP 2004 merupakan hasil kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum
yang tergabung dalam Tim Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh
Muladi, seorang guru besar hukum pidana dan mantan Rektor Universitas
Diponegoro Semarang serta mantan Menteri Kehakiman pada masa pemerintahan
Habibie. Tim Perumus ini dibawah koordinasi Dirjen Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.10

9
K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980)
10
RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM pada pertengahan bulan
Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP Tahun 2004 akan diserahkan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan.
Namun menurut Harkristuti Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena
masih mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam, hukum
adat, dan pornografi. Media Indonesia Online, 17 Mei 2005 diakses 20 Mei 2006.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keberadaan KUHP Baru yang bersumber, bercirikan, berakar, dan berkarakter


nasional sesuai dengan isi Pancasila dan UUD 1945, kini amat mendesak untuk dapat
direalisasikan menggantikan KUHP lama peninggalan colonial belanda dan sudah
tidak cocok lagi dengan perkembangan sosisl, budaya, ekonomi, politik, dan
teknologi dalam suasana Indonesia merdeka dan baru mengalami reformasi pada abad
ke-21 ini.

Nah dengan demikian terbentuknua KUHP baru adalah mencerminkan upaya serius
pemerintah dalam penegakan hukum pidana yang lebih manusiawi dan adil bagi
semua lapisan mayarakat pada era reformasi ini. Aneh rasanya apabila Negeri
Belanda, WvS sudah lama direfisi dan tidak diberlakukan, akan tetap berlaku sebagai
warisan colonial, karena ketidak mampuan bangsa ini untuk menciptakan suatu
undang-undang pidana nasional yang baru.

B. SARAN

Kehadiran KUHP baru sebagai KUHP Nasional ini kelak diharapkan untuk dapat
mewujudkan penegakan hukum pidana yang jauh lebih baik oleh pemerintah dan
aparat penegak hukum dalam suatau pemerintahan yang bersih dan baik. Penegakan
hukum pidana ini harus sesuai dengan semangat jiwa dan cita-cita hukum masyarakat
Indonesia yaitu adanya kepastian hukum dan keadilan serta manfaat hukum bagi
semua orang apabila semua ini terwujud, maka penegakan hukum pidana dapat
memenuhi ekspetasi sebagai mana yang di dambakan oleh segenap rakyat Indonesia.

23
Urgensi dari penerapan hukum pidana nasional nantinya lebih dapat mengakomodir
kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang mana terdiri dari berbagai
macam suku dan budaya yang menjadi dasar dari pembentukan RUU KUHP Baru,
hal ini perlu disoroti oleh pemerintah dan penegak hukum sehingga tidak terjadi
kerancuhan dalam penerapan hukum pidana Nasional yang baru.

Kemudian juga dalam RUU KUHP Baru ini diharapkan pula harus bertolak dari yang
namanya nilai-nilai pancasila dan Undang-undang dasar 1945 yang harus dituangkan
dalam RUU KUHP Nasional, dengan begitu insya Allah kedepan seluruh rakyat
Indonesia dalam berkehidupanya sudah mampu mempraktikan makna dari pada
pancasila dan undang-undang dasar 1945 itu sendiri

Selanjutnya dari segi penegakan hukumnya yang diharapkan juga dalam RUU KUHP
Baru alangkah baiknya berorientasi pada aspek pencegahan, nah aspek pencegahan
ini menjadi tameng sehingga yang namanya perbuatan pidana yang bermuara pada
sanksi tindak pidana dapat diminimalisirkan oleh penegak hukum.

24
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno,asas-asas hukum pidana,Rineka cipta,Jakarta,1993

Teguh Sulistia Dan Aria Zurnetti,hukum pidana horizon baru pasca reformasi, Raja
Grafindo, Jakarta

Marwan Efendi,teori hukum dari perspektif kebijakan,perbandingan dan harmonisasi


hukum pidana,Referensi Gaung Persada Pres Group, Jakarta,2014

Menurut I.S. Susanto, disamping kejahatan itu sendiri, hukum tidak lain merupakan
salah satu norma di antara sistem norma yang lain, yang mengatur tingkah laku
manusia atau dalam bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu
yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral. Lihat, I.S
Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011)

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985)

Barda Nawawi,kebijakan hukum pidana perkembangan penyusunan konsep KUHP


baru,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2008

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditia
bakti,1996

Han Bin Siong, azas-azas Tata Hukum Nasinial Dalam Bidang Hukum
Pidana,Jakarta: Tunas Mekar Murni,2003

K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980)

RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM pada
pertengahan bulan Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP
Tahun 2004 akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan. Namun menurut Harkristuti
Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena masih
mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam,
hukum adat, dan pornografi. Media Indonesia Online, 17 Mei 2005 diakses 20 Mei
2006.

25

Anda mungkin juga menyukai