Anda di halaman 1dari 151

HUKUM PIDANA

MULYADI ALRIANTO TAJUDDIN

Jurusan Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Musamus
2016

POKOK PEMBAHASAN
HAKEKAT HUKUM PIDANA

PENGERTIAN HUKUM PIDANA

1.

2.

Pengertian hukum pidana menurut


Moeljatno Hukum pidana adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk :
Menentukan
perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman
atau sanksi berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut;
Menentukan kapan dan dalam hal
apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan
itu
dapat
dikenakan
atau
dijatuhi
pidana

Pengertian sederhana hukum pidana adalah


hukum
yang
memuat
peraturan
yang
mengandung keharusan dan larangan terhadap
pelanggarannya yang diancam dengan hukuman
siksa badan.
isi

Hukum pidana dapat dibedakan dan


diartikan:
1. OBJEKTIK (IUS POENALE) = Semua
peraturan
yang
mengandung
keharusan dan larangan terhadap
tingkah laku yang diancam dengan
hukuman yang bersifat siksaan.
2. SUBJEKTIF (IUS PUNIENDI) = Hak
negara yang menurut hukum untuk
menuntut pelanggaran delik dan
menjatuhkan serta melaksanakan
pidana.

Hukum pidana objektif (ius poenale)


ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum
pidana materiil, yaitu
peraturan-peraturan
yang
mengandung
perumusan:
perbuatan-perbuatan yang dapat
dihukum, siapakah yang dapat
dihukum, hukum apakah yang
dapat dijatuhkan.
2. Hukum
pidana
formal,
yang
disebut
juga
hukum
acara,
memuat
peraturan-peraturan
tentang bagaimana cara negara

Perhatikan skema berikut:

Skema sederhana diatas menggambarkan tindakan


pidana diakibatkan perbuatan atau tindakan sikap
yang merugikan orang lain. Tetapi apakah perbuatan
tersebut betul-betul dapat merugikan orang lain atau
tidak? Lantas apakah perbuatan tersebut dapat
dikategorikan perbuatan yang dipidana atau tidak?
Itulah yang dipelajari hukum pidana

PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

Hukum pidana umum = hukum pidana


yang dapat diperlakukan terhadap setiap
orang pada umumnya, sedangkan hukum
pidana khusus = diperuntukan bagi orangorang tertentu saja.
Hukum pidana tertulis = meliputi KUH
Pidana dan KUHAP yang merupakan
kodifikasi hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil termasuk hukum
pidana tertulis yang bersifat khusus,
hukum pidana tidak tertulis= sebagian
hukum pidana adat, yang berdasarkan
Pasal 5 ayat 3
UU darurat No.1
Tahun1951.

Hukum pidana nasional = hukum


pidana
yang
ketentuanketentuannya berasal dari negara
itu sendiri, sedangkan hukum
pidana internasional = hukum
pidana
nasional
juga,
tetapi
ketentuan-ketentuannya
berasal
dari dunia internasional. Contoh di
indonesia
telah
meratifikasi
Konvensi PBB melawan korupsi
UNCAC/United
Nation
Againts
Corruption, melalui UU No. 7 tahun

FUNGSI HUKUM PIDANA

Melindungi

ILMU HUKUM
PIDANA
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana
merupakan obyek beberapa ilmu pengatahuan.
Ditinjau dari segi metodenya maka dikenal
pembagian sebagai berikut:
1. Ilmu pengatahuan hukum pidana yang sistematis:
Hukum pidana dan Hukum acara pidana
2. Ilmu
Hukum pidana empiris, antara lain:
Kriminologi (ilmu tentang kejahatan, sifat jahat
pembuat kejahatan dan sebab-sebab akibatnya),
Kriminalistik (ilmu penyelidikan dan penyedikan
(pengusutan) dan Sosiologi Hukum Pidana (ilmu
hukum pidana yang menjelaskan kejahatan
sebagai
gejala
kemasyarakatan,
yang
menitikberatkan untuk mempelajari pelaksanaan

Hubungan antara ilmu hukum pidana,


hukum pidana dan kriminologi
1.
2.
3.
4.

Ilmu Hukum Pidana obyeknya aturan


yang mengatur tentang kejahatan
Hukum Pidana adalah aturan tentang
kejahatan
Kriminologi obyeknya pelaku kejahatan
Dengan adanya kriminologi maka akan
diketahui
sebab-sebab
kejahatan
kemudian disusunlah aturan-aturan yg
mengatur tentang kejahatan berdasarkan
ilmu hukum pidana, sehingga diperoleh
pengertian yg baik tentang penggunaan
haknya terhadap kejahatan maupun
sebab-sebab
kejahatan
dan
cara
pemberantasannya
demi
kebaikan

POKOK PEMBAHASAN
SEJARARAH PEMBENTUKAN
KUHP DAN ASAS LEGALITAS

Sejarah Pembentukan KUHP


Crimineel Wetboek voor Het
Koninkrijk Holland
Code Penal (Perancis,
Napoleon Bonaparte)

Wetboek van Strafrecht


Nederlansch

Wetboek van Strafrecht


Nederlansch Indie (WvSNI)

Wetboek van Strafrecht (WvS)


dapat dibaca KUHP

dibuat : 1795
berlaku : 1809-1811

berlaku 1811-1886

dibuat : 1881
berlaku : 1886

Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33,


15 Oktober 1915
berlaku : 1 Januari 1918

UU No. 1/ 1946 tentang Peraturan


Hukum Pidana Indonesia

UU No. 73/1958 yang memberlakukan UU No.


1/ 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia

Sejarah Pemberlakukan Hukum Pidana di Indonesa


Tahun

Peristiwa

Selisih Waktu

1810

Code Penal diberlakukan di Perancis

1 tahun

1811

Code Penal diberlakukan di Belanda

56 tahun

1867

Wetboek van Strafrecht voor Europeanen


berlaku di Hindia-Belanda

6 tahun

1873

Wetboek van Strafrecht voor Inlander


diberlakukan di Hindia-Belanda

8 tahun

1881

Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda

5 tahun

1886

Wetboek van Strafrecht diberlakukan di


Belanda

29 tahun

1915

Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie


disahkan untuk Hindia-Belanda

3 tahun

1918

Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie


diberlakukan di Hindia-Belanda

28 tahun

1946

Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie


disebut sebagai KUHP Indonesia
Total : 136 tahun

Sistematika
KUHP
Buku I
Aturan Umum
Pasal 1-103, Bab I - IX
Buku II
Kejahatan
Pasal 104 - 488
Bab X - XXXXI

Buku III
Pelanggaran
Pasal 489 - 569
Bab XXXXI XXXXXX

Hukum Pidana
Khusus
(Aturan Pidana
dalam UU di
luar KUHP)
UU Narkotika,
UU
Psikotropika,
UU Terorisme,
UU HAM, UU
KDRT, dll

ASAS LEGALITAS

Pasal 1 (1) KUHP:


Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Asas Legalitas (the principle of Legality) yaitu asas yang
menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana tidaklah
oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku
sebelum orang itu melakukan perbuatan.
Konsekuensi :
1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan perundangundangan.
Konsekuensi:
a. Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat
dipidana.
b. Larangan analogi
2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (non retro

Menurut muladi dari makna dan kandungan asas


legalitas
bertujuan:
1.Memperkuat kepastian hukum.
2.Menciptakan keadilan dan kejujuran
bagi
terdakwa.
3.Mengefektifkan deterrent function dari sanksi
pidana.
4.Mencegah penyalah gunaan kekuasaan dan
5.Memperkokoh The Rule Of Law
Penerapan asas legalitas bervariasi dan berbeda
antara negara yang satu dan negara yang lain,
tergantung apakah negara menganut sitem
pemerintahan demokratis/tirani juga bergantung pada
sistem hukum yang dianut.

Beberapa istilah Asing Dari Asas Legalitas:


1. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tiada delik tanpa UU sebelumnya.)
2. Nullum Crimen sinelege (tiada kejahatan tanpa
UU)
3. Nullum poena sine lege (tiada pidana tanpa UU)
4. Nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa
kejahatan)
5. Nullum crimin sine lege praevia (tiada kejahatan
tanpa UU sebelumnya)
6. Nullum crimen sine poena legali (tiada kejahatan
tanpa pidana yang diatur sebelumnya)

Asas legalitas atau yang disbut asas nullum


delictum nulla poena sine praevia lege adalah
berasal dari Von Feubarch, Sarjana hukum, ahli
hukum jerman yang merumuskan dalam bukunya
berjudul Lehrbuchdes Peinlichen Recht

tahun

1810 yang dipakai dalam hukum romawi kuno yang


dikenal sebagai ilmu kejahatan Cimina

axtra

ordinaris artinya kejahatan yang tidak disebut


dalam UU. Isi Cimna axtra ordinaris ini yang
sangat dikenal adalah crimina stellio natus artinya
perbuatan jahat.

Asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) terdapat


pengecualian yakni diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2
KUHP yang berbunyi jika terjadi perubahan perundangundangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada
tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan
baginya.
Ada 3 teori terhadap perubahan UU tarmasuk yakni:
1. Teori Formil yang dipelopori oleh Simons berpendapat
bahwa perubahan UU baru terjadi bila mana redaksi
UU pidana diubah.
2. Teori Materiel Terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns
berpendapat bahwa perubahan UU yang dimaksud
harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat
UU.
3. Teori Materiel Tak Terbatas yang merujuk pada putusan
Hoge Raad tanggal 5 Desember 1921 mengemukakan
bahwa perubahan UU adalah meliputi semua UU
dalam arti luas dan perubahan UU yang meliputi

ASAS LARANGAN BERLAKU


SURUT
Undang-undang pidana berjalan kedepan dan
tidak kebelakang:

X---------UU Pidana-------------

Larangan
berlaku
surut
pengecualiannya pengecualiannya)
berbagai ketentuan Nasional:

(dan
dalam

1. Pasal 28i UUD 1945 (Non Retroaktif)


2. Pasal 18 (2) dan Pasal 18 (3) UU No. 39
Tahun 1999 (Non Retroaktif)
3. Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 (Retroaktif
4. Perpu1/2002 & 2/2002 UU 15/2003 ; UU
16/2003 (Retroaktif)

Asas Retroaktif
Asas ini berlaku surut dan telah diberlakukan dimasa
reformasi ini yakni terhadap penerapan UU terorisme
dan UU pengadilan HAM.
Golongan yang disetuju diberlakukan asas hukum
Retroaktif terhadap kasus terhadap pelanggaran HAM
berat pada pengadilan HAM Ad Hoc memberi alasan
hukum sebagai berikut:
1. Dalam penjelasan umum UU No.26 tahun 2000
tentang UU pengadilan HAM memungkinkan
penerapan asas hukum retroaktif untuk dilakukan
oleh Pengadilan Ad Hoc. Apabila pengadilan HAM
sudah permanen kelak bukan lagi Ad Hoc maka
tentunya tidak diberlakukan retroakif.
2. Menganut asas retroaktif dalam mengadili
pelanggaran HAM berat adalah mengisi kekosongan
hukum atas usul DPR RI dan putusan Presiden
sebelum berlakunya UU No.26 Tahun 2000 tentang

POKOK PEMBAHASAN
STELSEL PIDANA

PENGETIAN PIDANA

Pada dasarnya pidana dan tindakan


adalah sama, yaitu berupa penderitaan.
Perbedaannya hanyalah, penderitaan
pada tindakan lebih kecil atau ringan dari
pada penderitaan yang diakibatkan oleh
penjatuhan pidana. Misalnya dalam Pasal
45 KUH Pidana bagi anak yang
melakukan tindak pidana dan UU No, 3
Tahun 1997 Jo. UU No. 11 Tahun 2012.
Hakim dapat menjatuhkan tindakan.

Pidana
berasal
dari
kata
Straf
(Belanda), yang adakalanya disebut
dengan istilah hukuman.
Pidana lebih tepat didefenisikan
sebagai suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan/diberikan oleh
negara pada seseorang yang telah
melanggar larangan hukum pidana.
Catatan :
Mengenai wujud jenis penderitaan itu
dimuat dalam Pasal 10 KUHP

JENIS-JENIS PIDANA

KUHP sebagai induk atau sumber


utama hukum pidana telah merinci
jenis-jenis
pidana,
sebagaimana
dirumukan dalam Pasal 10 KUHP.
Menurut
stelsel
KUHP,
pidana
dibedakan menjadi dua kelompok
antara
pidana
pokok
dengan
pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari:


1.
Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan (UU No. 20 Tahun 1946)
Pidana tambahan terdiri dari:
6. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
7. Pidana perampasan barang-barang tertentu;
8. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Penjatuhan Pidana dengan


Bersyarat

Walaupun sering disebut dengan


pidana bersyarat
(voorwaardelijke
veroordeling), tetapi sesungguhnya
bukan salah satu dari jenis pidana
karena tidak disebut dalam Pasal 10
KUHP.
Pidana dengan besryarat, yang
dalam praktik hukum sering juga
disebut dengan pidana percobaan,
adalah suatu sistem penjatuhan
pidana
oleh
hakim
yang

Pelepasan dengan Bersyarat

1.
2.
3.

Penetapan pelepasan bersyarat dapat


diberikan
apabila
terpidana
telah
menjalani
pidana
duapertiga
atau
sekurang-kurangnya
sembilan
bulan
(Pasal 15 ayat 1 KUHP)
Keputusan pemberian pembebasan
bersyarat, juga didasarkan atas beberapa
pertimbangan, antara lain:
Sifat tindak pidana yang dilakukan;
Riwayat hidup warga binaan;
Kelakuan
warga
binaan
selama
pembinaan;

POKOK PEMBAHASAN
TINDAK PIDANA

ISTILAH DAN PENGERTIAN


PENGGUNAAN ISTILAH TINDAK PIDANA
Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak
pidana/peristiwa pidana, dengan istilah:
STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa pidana,
STRAFBARE HANDLUNG diterjemahkan dengan perbutan
pidana yang digunakan oleh Hukum Pidana Jerman.
CRIMINAL ACT diterjemahkan dengan istilah perbutan
kriminal.
Istilah yang paling populer yang dipergunakan oleh para ahli
hukum asing adalah:
Straf : Hukuman (pidana)
Baar : dapat (boleh)
Feit : peristiwa (perbutan)
Jadi istilah STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa yang dapat
dipidana

Penggunaan Istilah Para Ahli Hukum Indonesia.


Istilah Peristiwa Pidana
Yang
menggunakan
istilah
peristiwa
pidana
adalah:
(Utrecht,R,Tresna,Wirjono, Prodijodikoro, Rusli Efendy
Istilah Perbuatan Pidana.
Yang menggunakan istilah peristiwa perbutan pidana adalah:
(Moelijatno, Suprapto,Roeslan saleh)
Istilah Perbuatan yang dapat di hukum.
Yang menggunakan istilah perbuatan yang dapat dihukum
adalah:(karni, R.Soesilo. H,J. Van Scravendijk)
Istilah Tindak Pidana.
Yang mempergunakan istilah ini adalah :(Satochid Kartanegara.
K.Wantjik-saleh,SR.Sianturi.)
Istilah pelanggaran pidana.
Yang menggunakan istilah pelanggaran pidana adalah
(Tirtamidjaya)
Istilah Delik (Delict,Delicta,Delictum)
Yang mempergunakan istilah delik adalah (A.Zainal Abidin farid,
andi Hamzah, Oemar Senoadji)

Istilah yang Terdapat Dalam Rumusan UndangUndang


Istilah Peristiwa Pidana dipergunakan dalam:
Konstitusi RIS Pasal 14 atau UUDS Tahun 50,
UU No. 35 Tahun 1953 LN No.85 Tahun (UU pajak
Penjualan)
UU No.8 Tahun 1981 KUHP Kitab UU Hk. Ac.
Pidana=HIR
Istilah Perbuatan Pidana, dipergunakan dalam;
UU darurat No.1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat 1.
UU darurat No. 8 Tahun 1954 LN No. 65 Tahun 1954
Pasal 13 (penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat)
UU No. 29 Tahun 1956, Pasal 6 (UU tentang aturan
dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan).
UU No.1 Tahun LN.No 2 tahun 1958 Pasal 12 (UU
tentang penghapusan tanah-tanah pertikuler dan

Istilah Perbutan yang (boleh) dihukum:


UU darurat No 12 tahun 1951 LN No.3 Tahun 1951
Pasal 3 (UU tentang kecelakaan)
UU No.14 Tahun 1947 Pasal 13 (UU tentang pajak
pembangunan)
Istilah Tindak Pidana. Dipergunakan dalam:
UU Darurat No.1 Tahun 1958 Pasal 4,11 (UU Tentang
Hukum Acara Pidana Mahkamah Militer)
UU No. 14 tahun 1962 11 LN No. 7 Tahun 1958,
Jo,LN. No 25 tahun 1960 (UU tentang wajib militer)
Juga selalu dipergunaka oleh BPHN (Badan
Pembinaan Hukum Nasional d/h bernama LPHN
(Lembaga Pembinaan Hukum Nasional)
UU No.7 Tahun 1955 UU tindak pidana ekonomi.
UU No. 8 Tahun 1981 (KUHP) Kitab UU Hukum Acara
Pidana.

PENGERTIAN
PIDANA

TINDAK

Mengenai pengertian tindak pidana tidak


ada kesatuan pendapat diantara para ahli,
ada dua pandangan yaitu yang bersifat
monisme dan pandangan yang bersifat
dualisme dan dijelaskan oleh Moeljatno
sebagai berikut:
1. Aliran dualisme membedakan dengan
tegas "dapat dipidananya perbuatan" dan
"dapat dipidananya pembuat", sejalan
dengan
ini
memisahkan
antara
pengertian "perbuatan pidana" dan
"pertanggungan jawab pidana
2. Aliran
monisme
adalah
melihat
keseluruhan (tumpukan) syarat untuk

Para Pendapat Ahli yang Berpandangan


Dualisme

1. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan


pidana, yang didefinisikan beliau sebagai
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
2. Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit
adalah suatu kelakuan manusia yang di
diancam pidana oleh peraturan perundangundangan.
3. R. Tresna menyatakan bahwa, peristiwa pidana
itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindakan penghukuman.

Para Pendapat Ahli yang Berpandangan


Monisme

1.Simons menyatakan bahwa Strafbaarfeit


adalah kelakuan yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum
yang berhubungan dengan kesalahan dan
dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
2.Prodjodikoro
mengemukakan
definisi
pendek mengenai pengertian tindak
pidana yakni berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Terjadinya perbedaan pendapat dari para ahli,


tentang perumusan pengertian Strafbaar
Feit (delik /peristiwa pidana) adalah pada
dasarnya dilatar belakangi dari adanya
pandangan atau aliran ilmu hukum pidana
yang dianutnya yakni ALIRAN MONISME
dan ALIRAN DUALISME,
Yang sering
disebut juga aliran Monistis dan Dualistis.

Menurut Moeljatno (Adami Chazawi, 2002:79),


unsur tindak pidana adalah
1. Perbuatan;
2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
3. Ancaman pidana (bagi orang yang melanggar
larangan).
Dari rumusan R. Tresna (Adami Chazawi, 2002:79),
tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:
1. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
2. Yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
3. Diadakan tindakan penghukuman.

Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos (Adami Chazawi,


2002:80), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Kelakuan manusia;
2. Diancam dengan pidana;
3. Dalam peraturan perundang-undangan.

Catatan :
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga
batasan penganut paham dualisme tersebut tidak ada
perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah
perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam
undang-undang,
diancam
pidana
bagi
yang
melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat
bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si
pembuat atau dipidanaya si pembuat, semata-mata
mengenai pembuatannya

Dari batasan yang ada dibuat Jonkers (Adami


Chazawi, 2002:81) (penganut paham monisme)
dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Perbuatan (yang);
2. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
3. Dipertanggungjawabkan.
Simons (Lamintang, 1997: 185) unsur-unsur
tindak pidana sebagai berikut:
1.Tindakan;
2.Melanggar hukum;
3.Sengaja atau pun tidak dengan sengaja;
4.Dapat dipertanggungjawabkan.

Walaupun dari rincian unsur-unsur


di atas tampak berbeda-beda,
namun
pada
hakikatnya
ada
persamaan,
yaitu
tidak
memisahkan antara unsur-unsur
mengenai perbuatannya dengan
unsur
yang
mengenai
diri
orangnya

Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undangundang

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu


berupa melawan hukum objektif atau subjektif
bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak
pidana yang bersangkutan.
Unsur yang bersifat objektif adalah semua
unsur-unsur yang berada di luar keadaan batin
manusia/ si pembuat, yakni semua unsur
perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaankeadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada
perbuatan objektif tindak pidana. Sementara
itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua
unsur yang mengenai batin atau melekat pada
keadaan batin orangnya.

APA ITU TINDAK


PIDANA

Berdasarkan berbagai rumusan tentang


tindak pidana, maka dapat disimpulkan
bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang melawan hukum baik
disengaja
atau
kelalaian
yang
mengakibatkan
pembuatnya
dapat
dipidana.

JENIS-JENIS TINDAK
PIDANA
Delik kejahatan
adalah rumusan delik yang biasanya
disebu delik hukum, ancaman hukumannya lebih
berat.
Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik
UU, yang ancaman hukumannya memberi alternatif
bagi setiap pelanggarnya.
Delik Formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan
yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah
dilakukan tanpa melihat akibatnya.
Contoh: delik pencurian Pasal 362 KUHP dalam pasal
ini dilarang mengambil barang orang lain secara tidak
sah, perbuatan mencuri adalah mengambil, dan
perbuatan mengambil dilaksanakan maka selesailah
delik pencurian tersebut.

Delik Materil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya
yang menjadi tujuan sipembuat delik:
Contoh : delik pembunuhan Pasal 338 KUHP, UU hukum pidana,
tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi
yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati
terbunuh, sebagai tujuan sipembuat.
Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan siapa saja dan
diberlakukan secara umum.
Contoh : penerapan dellik kejahatan dalam buku II KUHP
misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP

Delik Khusus atau Tindakan Pidana Khusus hanya dapat dilakukan


oleh orang tua tertentu dalam kwalitas tertentu, misalnya Tindakan
Pidana Korupsi, Ekonomi,Subfersi,dll.
Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada
pengaduan, tetapi justru laporan, atau karena kewajiban aparat
Negara untuk melakukan tindakan.

Delik Aduan adalah yang harus dapat dilakukan penuntunan delik


sebagai syarat penyidika dan penentuan apabila ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan (korban).
Contoh : pencurian keluarga Pasal 367 KUHP, penghinaan Pasal
310 KUHP, perzinaan Pasal 287 KUHP
Delik Dolus adalah suatu delik yang dirumuskan denga dilakukan
sengaja,
Contoh: pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan, dll.

Delik Culpa yakni perbuan tersebut dilakukan karena kelalaiannya,


kealpaanya atau kurang hati-hatinya atau karena kesalhan seseorang,
yang mengakibatkan orang lain korban.
Contoh : Seorang supir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang
hti-hatinya menjalankan kendaraannya.
Delik Berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena
suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.
Contoh : Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu
malam, / mencuri hewan, atau dilakukan pada saat terjadi bencana
alam.Keadaan yang menyertainya itu lah yang memberatkan sebagai
delik pencurian yang berkualifikasi

Delik Sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa


unsur dan keadaan yang memberatkan.
Contoh : Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa.
Delik Berdiri sendiri (Zelfstading Delict) adalah terjadinya delik
hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbutan tersebut dan
tidak ada perbuatan lain lagi.
Contoh : misalnya seseorang masuk dalam rumah langsung
membunuh, tidak mencuri dan memerkosa.

Delik Berlanjut adalah suatu perbuatan yang dilakukan


secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan yang dilanjutkan.
Contoh : si-A ingin mencuri sepeda motor, tetapi tidak
sanggup untuk mencuri secara utuh sekaligus, maka
mula-mula mencuri dahulu tangki motor, lalu menyusul
ban, lampu dan seterusnya, sehingga akhirnya utuh dan
lengkap satu unit motor. Perbuatan si-A ini harus tetap
dipandang sebagai perbuatan pencurian yang berlanjut
yang dikenakan Pasal 362 Jo. Pasal 64 KUHP

Delik komisionis adalah delik yang rumusan UU bersifat larangan


untuk dilakukan,
Contoh : perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri/mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur
dalam Pasal 362 KUHP.
Delik Omisionis adalah delik ini terjadi karena orang tersebut
melalaikan kewajiban hukumnya, yang seharusnya dilakukan tapi
tidak dilakukan, ini biasanya disebut delik Perintah UU.
Contoh : barang siapa yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi
orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan
Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan.

POKOK PEMBAHASAN
TEORI-TEORI PEMIDANAAN

Bebrapa teori tentang tujuan hukum pidana. Penulis


sajikan dalam tabel berikut:
Teori Relative (tujuan)

Teori Mutlak (pembalasan)


Penggagas

Teori Relatif (Teori Tujuan)


Penggagas

Teori Gabungan
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua
golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1.
Teori
gabungan
yang
mengutamakan
pembalasan, tetapi pembalasan tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu untuk dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2.
Teori
gabungan
yang
mengutamakan
perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
berat dari pada perbuatan yang dilakukannya.

POKOK PEMBAHASAN RUANG LINGKUP


BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNNYA


HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
Lingkungan kuasa beralakunya hukum pidana
ditinjau dari sudut kepentingan Negara dan
kepentingan individu ada 4 macam asas:
1. Asas Territorialitet,
2. Asas personalitet atau Nasionalitet Aktif,
3. Asas Nasionalitet Pasif,
4. Asas Universalitet.

Asas
Teritorialitet

Asas
teritorialitet
mempersoalkan
lingkungan kuasa hukum pidana di indonesia
terhadap ruang, peraturan-peraturan hukum
pidana berlaku bagi semua peristiwa pidana
(delik) yang terjadi dalam wilayah negara,
baik peristiwa itu dilakukan oleh negara itu
sendiri maupun orang asing.
Dalam asas ini titik beratnya diletakkan
pada terjadinya peristiwa didalam wilayah
negara Indonesia.

Asas Berlakunya KUHP Menurut Tempat


Asas
Teritorial

Perluasan

Aturan pidana dalam UU Indonesia


berlaku bagi setiap orang yang
melakukan suatu tindak pidana di
wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP)
Pasal 3

kendaraan air

pesawat udara

ASAS
PERSONALITEIT

Berlakunya hukum pidana menurut asas


personaliteit adalah bergantung atau
mengikuti
subjek
hukum
atau
orangnya , yakni warga negara di
manapun keberadaanya. Artinya hukum
pidana indonesia berlaku terhadap
warga negaranya di manapun di luar
wilayah indonesia.
Catatan :
Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal
5 KUHP

Tidak semua ketentuan pidana dalam


perundang-undangan
berlaku
terhadap
warga negara indonesia ketika warga
negara itu sedang berada di luar wilayah
indonesia.
Ketentuan pidana tertentu ialah ketentuan
pidana sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 5 ayat (1) sub 1, yakni:
terhadap
semua
kejahatan
yang
dirumuskan pada Bab I dab Bab II buku II,
dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.

Bentuk dan macam kejahatan yang disebutkan dalam


ayat (1) ke-1, :
1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I Buku
II);
2. Kejahatan
terhadap martabat presiden dan
wakilnya (Bab I Buku II);
3. Kejahatan tehaadap ketertiban umum (Pasal 160161);
4. Kejahatan yang menyerang kepentingan hukum
terhadap hak dan kewajiban warga negara dalam
usaha pembelaan dan pertahanan negara(Pasal
240);
5. Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan (Pasal
279);
6. Kejahatan terhadap keamanan pelayaran (Pasal
450-451).

Asas Nasionaliteit Pasif

Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif


adalah asas berlakunya hukum pidana
menurut atau berdasarkan kepentingan
hukum yang dilindungi dari suatu negara
yang dilanggar di luar wilayah indonesia.
Catatan:
Hukum pidana indonesia menganut asas ini,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 KUHP.

Kejahatan
yang
masuk
dalam
ketentuan Pasal 4 ini ialah:
1. Kejahatan
terhadap keamanan
negara (Pasal 104, 106, 107, 108,
111 bis ke-1 dan 127);
2. Kejahatan penyerangan terhadap
presiden dan wakil presiden (Pasal
131);
3. Kejahatan
mengenai pemalsuan
uang (Bab X Buku II);
4. Kejahatan mengenai materai dan
merek (Bab XI Buku II);

Asas Universaliteit
Apabila
asas
perlindungan
bertumpu
pada
kepentingan kolektif suatu bangsa dan negara, asas
universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum
yang lebih luas yaitu pada kepentingan penduduk
dunia atau bangsa-bangsa dunia.
Berdasarkan kepentingan hukum yang lebih luas ini,
maka menurut asas ini, berlakunya hukum pidana
tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan
bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku di
mana pun dan terhadap siapa pun.
Catatan:
Asas universaliteit diatur dalam ketentuan Pasal 4
ayat (2), (3), dan (4).

POKOK PEMBAHASAN
DASAR-DASAR YANG MENYEBABKAN
TIDAK DIPIDANANYA PEMBUAT

Undang-undang (Bab III KUHP) menentukan


7 dasar yang menyebabkan tidak dapatnya
si pembuat ini, ialah:
1. Tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
karena cacat jiwa (Pasal 44 ayat (1));
2. Adanya
daya paksa atau overmacvt
(Pasal 48);
3. Adanya
pembelaan
terpaksa
atau
noodwer (Pasal 49 ayat (1));
4. Adanya pembelaan terpaksa melampaui
batas atau noodwerexes (Pasal 49 ayat
(2));
5. Menjalankan perintah UU (Pasal 50);
6. Menjalankan perintah jabatan yang sah

Menurut doktrin hukum pidana, tujuh


hal penyebab tidak dipidananya
pembuat tersebut dibedakan dan
dikelompokan menjadi dua dasar,
yakni:
1. Atas dasar pemaaf = yang bersifat
subjektif dan melekat pada diri
orangnya, khususnyanya mengenai
sikap batin sebelum atau pada saat
berbuat;
2. Atas
dasar pembenar = yang
bersifat objektif dan melekat pada

Pada
umumnya,
pakar
hukum
memasukan ke dalam dasar pemaaf
yaitu:
1. Ketidakmampuan bertanggung jawab;
2. Noodwerexes
3. Menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah dengan etikad baik.
Sementara itu, yang selebihnya masuk
ke dalam dasar pembenar:
4. Overmacht;
5. Noodwer;
6. Menjalankan perintah UU;

Tidak dipidananya si pembuat karena


alasan pemaaf walaupun perbuatannya
terbukti melanggar UU, yang artinya
perbuatannya itu tetap bersifat melawan
hukum , namun karena hilang atau
hapusnya kesalahan pada diri si pembuat,
perbuatannya
itu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya.
Contoh: Orang gila memukul orang lain
sampai luka berat.

Berlainan
dengan
alasan
pembenar, tidak dipidananya si
pembuat,
karena
perbuatan
kehilangan sifat melawan hukumnya
perbuatan.
Walaupun
dalam
kenyataannya
perbuatan
si
pembuat telah memenuhi unsur
tindak
pidana,
tetapi
karena
hapusnya sifat melawan hukum
pada perbuatan itu, si pembuatnya
tidak dapat dipidana.

Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena


jiwa cacat

Pasal 44 KUHP merumuskan:


1) Barangsiapa melakukan perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya
karena
jiwanya
cacat
dalam
pertumbuhannya atau terganggu
karena penyakit, tidak dipidana.
Dari norma yang dirumuskan
pada Ayat (1), jelas ada dua
penyebab tidak dipidananya karena
tidak
mampunya
bertanggung
jawabnya si pembuat yang terbukti
melakukan tindak pidana, yaitu:

OVERMACHT

Dasar peniadaan pidana karena daya paksa


dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP yang
menyatakan : barangsiapa yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana.
Daya paksa dapat dirumuskan sebagai
suatu keadaan memaksa baik sifatnya fisik
maupun psychis yang sedemikian kuatnya
menekan seseorang yang tidak dapat
dihindarinya sehingga orang itu terpaksa
melakukan suatu perbuatan yang pada
kenyataannya dilarang UU.

Dalam doktrin hukum dapat dibedakan


antara 2 macam daya paksa, ialah:
a) Daya paksa absolut; dan
b) Daya paksa relatif.
Daya paksa absolut (baik yang
disebabkan oleh perbuatan manusia
maupun alam, baik yang bersifat fisik
maupun yang bersifat psychis),
adalah suatu keadaan di mana
paksaan
dan
tekanan
yang
sedememikian kuatnya pada diri
seseorang, sehingga ia tidak dapat

Contoh: daya paksa obsolut yang berupa


paksaan fisik, seorang yang kuat menerjang
seorang anak yang berdiri dekat kaca,
membuat anak itu terpental dan mengenai
kaca dan pecahlah kaca itu.
Contoh; daya paksa obsolut yang berupa
paksaan psychis, seseorang yang berada
dalam keadaan dihipnotis diperintah oleh
hypnotiseur untuk membakar sebuah mobil
milik musuhnya.
Contoh: daya paksa absolut karena alam,
seseorang dipanggil sebagai ahli untuk
memberikan
keterangan
di
sidang

Daya paksa relatif baik bersifat


fisik (noodtoestand) maupun yang
bersifat psychis sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 48 = suatu
paksaan yang sedemikian rupa
menekan seseorang sehingga ia
berada dalam suatu keadaan yang
serba salah, suatu keadaan mana
memaksa dia mengambil suatu
sikap dan berbuat yang pada
kenyataannya melanggar UU.

Noodtoestand
atau
keadaan
darurat adalah suatu keadaan di
mana suatu kepentingan hukum
terancam bahaya, yang untuk
menghidari ancaman bahaya itu
terpaksa
dilakukan
perbuatan
yang pada kenyataan melanggar
kepentingan hukum yang lain.
Contoh: untuk menolong anak kecil
tertangkap api dalam sebuah

Dalam doktrin hukum bentuk


noodoestand itu ada 3 (tiga)
macam,
dengan
kata
lain
keadaan darurat itu dapat terjadi
dalam 3 hal, ialah:
1.
Dalam hal terjadi pertentangan
antara dua kepentingan hukum
(rechtsbelang);
2.
Dalam hal terjadi pertentangan
antara
kewajiban
hukum
(rechtsplicht);

NOODWER

Perihal
pembelaan
terpaksa
(noodwer)
dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagai
berikut:
Tindak
dipidana,
barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain,
kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, karena adanya
serangan atau ancaman serangan yang
melawan hukum pada ketika itu juga.
Dari rumusan di atas lebih sempurna dari pada
rumusan tentang overmacht (Pasal 48).

Pembelaan terpaksa dapat dilakukan dalam


3 hal saja, yaitu:
a)

b)

c)

Dalam hal untuk membela dirinya sendiri


atau diri orang lain terhadap serangan yang
bersifat fisik;
Dalam hal membela kehormatan kesusilaan
diri sendiri atau orang lain; dan
Dalam hal pembelaan harta benda sendiri
atau orang lain.

Suatu perbuatan masuk sebagai pembelaan


terpaksa, apabila perbuatan itu dilakukan:
1. Karena terpaksa/sifatnya terpaksa;
2. Ancaman serangan;
3. Harus seimbang dengan serangan yang
mengancam;
4. Pembelaan terpaksa itu hanya terbatas
dalam hal mempertahankan 3 macam
kepentingan hukum, ialah: (1) badan atau
fisik; (2) kehormatan kesusilaan; (3)
kebendaan.

NOODWER EXCES

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas


(noodwerexces) dirumuskan dalam Pasal 49
ayat
(2),
yang
rumusannya
adalah:
pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan oleh kegoncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Contoh:
seorang
menyerang
lawannya
dengan pecahan botol, yang sebenarnya
dapat dilawan dengan sepotong kayu
(noodwer), tetapi karena kegoncangan yang
hebat
dilawan
dengan
menembaknya

Menjalankan Perintah UU
Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah
dalam Pasal 50 yang berbunyi: Barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang
tidak dipidana.
Mengenai hal tentang perbuatan, yang dimaksudkan itu
ialah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada
UU yang memberi kewenangan untuk melakukan adalah
berupa suatu tindak pidana.
Contoh: polisi yang telah memenuhi syarat untuk
melakukan
penangkapan
seorang
tersangka
dan
menahannya, yang jika tidak ada ketentuan peraturan UU
yang memberi kewenangannya adalah berupa tindak
pidana.

Menjalankan Perintah
Jabatan

Menjalankan perintah jabatan dirumuskan


dalam Pasal 51 ayat (1) yang bunyinya:
barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan
perintah
jabatan
yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.
Contoh: penyelidik mendapat perintah dari
penyidik
untuk
menangkap
seorang
tersangka (Pasal 16 ayat (1) KUHAP)

POKOK PEMBAHASAN
DASAR-DASAR YANG MENYEBABKAN
DIPERBERATNYA PIDANA

Undang-undang mengatur tentang tiga


dasar yang menyebabkan diperberatnya
pidana, ialah:
1. Dasar pemberatan karena jabatan;
2. Dasar
pemberatan
karena
menggunakan bendera kebangsaan;
3. Dasar
pemberatan
karena
pengulangan.

Dasar Pemberatan Karena


Jabatan

Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam


Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya
adalah: Bilamana seorang pejabat karena
melakukan tindak pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada
waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang
diberikan
kepadanya karena jabatannya,
pidannya dapat ditambah sepertiga.

POKOK PEMBAHASAN
DASAR-DASAR YANG MENYEBABKAN
DIPERBEATNYA DAN DIPERINGANNYA
PIDANA

Dasar pemberatan
pidana

Undang-undang mengatur tentang tiga


dasar
yang
menyebabkan
diperberatnya pidana, ialah :
1. Dasar pemberatan karena jabatan;
2. Dasar
pemberatan
karena
menggunakan bendera kebangsaan;
3. Dasar
pemberatan
karena
pengulangan (recidive).

Dasar pemberatan pidana karena


jabatan

Peberatan karena jabatan ditentukan dalam


Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya
adalah: bilamana seorang pejabat karena
melakukan tindak pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada
waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya dapat ditambah sepertiga.

Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal


52 terletak pada keadaan jabatan (pejabat
atau PNS) mengenai 4 hal, ialah dalam
melakukan tindak pidana dengan:
1. Melanggar suatu kewajiban khusus dari
jabatan;
2. Memakai kekuasaan jabatan;
3. Menggunakan
kesempatan
karena
jabatannya;
4. Menggunakan
saran
yang
diberikan
karena jabatannya.

Dasar pemberatan pidana dengan


menggunakan sarana bendera
kebangsaan

Melakukan suatu tindak pidana dengan


menggunakan
sarana
bendera
kebangsaan dirumuskan dalam Pasal
52 a KUHP yang bunyi lengkapnya
adalah:
Bilamana
pada
waktu
melakukan
kejahatan
digunakan
bendera
kebangsaan
Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan
tersebut dapat ditambah sepertiga.

Dasar pemberatan pidana karena


recidive

Undang-undang sendiri tidak mengatur


mengenai pengulangan umum (general
recidive)
yang
artinya
menentukan
pengulangan berlaku untuk dan terhadap
semua
tindak
pidana.
Mengenai
pengulangan
ini KUHP kita mengatur
menurut
Pasal
486,
487,
dan
488
pemberatan pidana ialah dapat ditambah
dengan sepertiga dari ancaman maksimum
pidana.

Adapun dasar pemberatan pidana


pada pengulangan ini ialah terletak
pada 3 (tiga) faktor, ialah:
1. Lebih
dari satu kali melakukan
tindak pidana;
2. Telah dijatuhkan pidana terhadap si
pembuat oleh negara karena tindak
pidana yang pertama; dan
3. Pidana itu telah dijalankannya pada
yang bersangkutan.

Dalam Pasal 486, 487 dan 488 harus


memenuhi 2 syarat esensial, yaitu:
1. Orang itu harus telah menjalani seluruh
atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan
dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan pidanya belum
kadaluwarsa.
2. Melakukan
kejahatan
pengulangan
adalah dalam waktu belum lewat 5
tahun
sejak
terpidana
menjalani
sebagian atau seluruh pidana yang
dijatuhkan.

Dasar diperingannya
pidana

Dasar-dasar
yang
menyebakan
diperingannya pidana:
1. Menurut KUHP: Belum berumur 16 tahun
(Pasal 45);
2. Menurut UU No. 3 Tahun 1997: Anak yang
umurnya telah mencapai 8 tahun tetapi
belum 18 tahun dan belum pernah kawin
(Pasal 23, 24, dan 26);
3. Perihal
percobaan
kejahatan
dan
pembantuan (Pasal 53 ayat 2 dan 57 ayat
1).

POKOK PEMBAHASAN
PERBARENGAN TINDAK PIDANA

Pengertian Concursus
Pada
dasarnya
yang
dimaksud
dengan perbarengan ialah terjadinya
dua atau lebih tindak pidana oleh
satu orang, dimana tindak pidana
yang dilakukan pertama kali belum
dijatuhi pidana, atau antara tindak
pidana yang awal dengan tindak
pidana berikutnya belum dibatasi
oleh suatu putusan hakim.

Apa yang disebut samenloop van strafbare


feiten atau gabungan tindak pidana itu, oleh
pembentuk undang-undang telah diatur di
dalam Bab ke-VI dari Buku ke-I Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana
atau
tegasnya di dalam Pasal 63 sampai dengan
Pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan
pengaturan
mengenai
berat-ringannya
hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
seorang hakim terhadap seorang tertuduh
yang telah melakukan lebih daripada satu
perilaku yang terlarang, yang perkaranya
telah diserahkan kepadanya untuk diadili
secara bersama-sama.

Ilmu hukum pidana mengenal 3


bentuk concursus yakni sebagai
berikut:
1. Concursus idealis (eendaadsche
samenloop);
2. Concursus realis (meerdaadsche
samenloop);
3. Perbuatan lanjutan (voortgezette
handeling).

Concursus Idealis
Apa yang disebut concursus idealis atau
van strafbare feiten, oleh pembentuk undangundang telah diatur dalam Pasal 63 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
mengatur sebagai berikut: Apabila suatu
perilaku termasuk ke dalam lebih daripada
satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah
satu
dari
ketentuan-ketentuan
pidana
tersebut yang diberlakukan, dan apabila
terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan
adalah ketentuan pidana yang mempunyai
ancaman hukuman pokok yang terberat.

Contoh kasus concursus idealis, ialah


seseorang laki-laki memperkosa seseorang
perempuan yang dilakukannya dipinggir
jalan raya adalah melanggar dua aturan
pidana, ialah yang satu Pasal 285 KUHP
(memperkosa) dan yang lainnya ialah Pasal
281 KUHP (melanggar kesusilaan di depan
umum). Diberikan juga contoh lainnya ialah
seseorang
yang
melakukan
penipuan
dengan menggunakan sarana surat palsu,
melanggar dua aturan pidana, yang satu
ialah Pasal 378 KUHP dan yang lain adalah
Pasal 263 ayat (2) KUHP.

Concursus Realis
Concursus Realis
Perihal apa yang dimaksud dengan concursus
realis, kiranya dapat disimpulkan dari rumusan
Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1) KUHP,
yakni beberapa perbuatan yang masing-masing
harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri
sehingga
merupakan
beberapa
kejahatan.

Rumusan Pasal 65 Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu


mengatur sebagai berikut:
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat
dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri
dan yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan
yang telah diancam dengan hukuman-hukuman pokok yang
sejenis, maka dijatuhkan yang satu hukuman.
Rumusan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana itu mengatur sebagai berikut:
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat
dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri dan
yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan yang
telah diancam dengan hukuma-hukuman pokok yang tidak
sejenis, maka dijatuhkanlah bagi tiap-tiap tindakan itu satu
hukuman, akan tetapi lamanya hukuman tersebut secara
bersama-sama tidaklah boleh melebihi lamanya hukuman yang
terberat ditambah dengan sepertiganya.

Contoh kasus:
S alias R pada tahun 2012 sampai dengan
2014, beberapa kali telah melakukan sodomi
dengan beberapa anak lelaki berumur
sekitar 10-12 tahun. Setelah melakuka
sodomi, R menghabisi nyawa anak-anak
tersebut dan meninggalkan mayat para
korban.
Catatan:
Jadi berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 65
dan
Pasal
66
KUHP,
maka
dapat
disimpulakan bahwa masing-masing tindak
pidana dalam concursus realis itu satu sama
lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah
ciri pokok dalam concursus realis.

Perbuatan Lanjutan
Perbuatan berlanjut diatur dalam Pasal 64
ayat (1) KUHP yang mengatur sebagai berikut:
Dalam hal antara beberapa perbuatan,
meskipun perbuatan itu masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
sedemikian hubungannya sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan yang
berlanjut maka hanyalah satu aturan hukum
saja yang diberlakukan, jika berlainan, maka
dipakai dengan hukuman pokok yang terberat.

Tirtaamidjaja memberi contoh perbuatan


berlanjut tersebut sebagai berikut:
1. A hendak berzina dengan seorang perempuan B
yang telah bersuami; A melaksanakan
maksudnya itu dengan beberapa kali berzina
dengan perempuan itu dalam selang waktu
yang tidak terlalu lama.
2. A yang menguasai kas N.V. tempat ia bekerja,
memutuskan untuk mengambil untuk dirinya
sendiri sebagian dari isi kas itu. Untuk
melaksanakan maksud itu, ia mengambil
beberapa kali dalam interval waktu yang tak
lama suatu jumlah tertentu.

Leden Marpaung (2005:37) menjelaskan,


para pakar pada umumnya berpendapat
bahwa perbuatan berlanjut sebagaimana
diatur dalam Pasal 64 KUHP, terjadi apabila:
1. Kejahatan atau pelanggaran tersendiri itu
adalah pelaksanaan dari suatu kehendak
yang terlarang;
2. Kejahatan atau pelanggaran itu sejenis;
3. Tenggang waktu antara kejahatan atau
pelanggaran tidak terlalu lama.

POKOK PEMBAHASAN
PERCOBAAN

MENCOBA MELAKUKAN TINDAK PIDANA,


APA JUGA DIHUKUM?
Percobaan melakukan tindak pidana diancam
dengan pidana jika telah memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Berdasarkan arti kata yang kita
pakai sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai
menuju sesuatu yang ingin dicapai, tetapi tidak
sampai kepada yang dituju.

Adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan,


tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan
maksud si pelaku. Misalnya:
a. A
bermaksud mencuri di rumah X dengan
membongkar dan merusak jendela, A masuk
kerumah X, tetapi karena X terbangun dan A
kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda.
b. B seorang tukang copet, pada saat memasukan
tangan ke kantong R, ia tertangkap.
Kedua contoh di atas memperlihatkan bahwa
maksud pelaku belum terlaksana yaitu X dan R
belum kehilangan sesuatu.

Percobaan melakukan kejahatan di atur dalam buku I tentang Aturan


Umum, Bab IV Pasal 53 dan 54 KUHP.
Pasal 53:
1. Mencoba melakukan kejahatan tindakan pidana, jika niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejeahatan, dalam percobaan
dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan penjara paling lama 15 tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan
selesai.

Syarat
Percobaan

Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila percobaan


melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain
Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar seseorang pelaku dapat dihukum
karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syaratsyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya niat/kehendak pelaku;
2. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat / kehendak
itu;
3. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena
kehendak dari pelaku.

diperoleh tentang pembentukan


Pasal
53
ayat
(1)
KUHP
menyatakan dengan demikian,
maka
percobaan
melakukan
kejahatan adalah pelaksanaan
untuk
melakukan
suatu
kejahatan yang telah
dimulai
akan
tetapi
ternyata
tidak
selesai,
ataupun
kehendak
melakukan
suatu
kejahatan
tertentu yang telah diwujudkan
di
dalam
suatu
permulaan
pelaksanaan.

Percobaan yang Tidak Berfaedah (Ondeugdelijk


poging)

Adakalanya
suatu
percobaan
tidak
berfaedah karena sasaran, objek kejahatan,
cara atau alatnya tidak mungkin dapat
merealisasikan
kejahatan
tersebut,
misalnya:
a. R hendak membunuh P, R menembak P
dengan sebuah pistol, tetapi pistol
tersebut tidak berisi peluru.
b. X hendak membunuh Y, X menembak Y
tetapi ternyata sebelum ditembak, Y
telah meninggal. Dalam hal ini, X
menembak mayat Y.

Dalam
ilmu
hukum
pidana
disebut
percobaan yang absolut tidak berfaedah.
Namun menurut teori subjektif, karena si
pelaku
ternyata
telah
mempunyai
kehendak berbuat jahat, ia pun harus
dijatuhi hukuman. Akan tetapi teori objektif
mengutarakan bahwa apabila pelaku
tersebut sama sekali tidak mungkin
merealisasikan kehendak jahatnya, ia tidak
dapat dihukum.

POKOK PEMBAHASAN
HAL-HAL MENYEBABKAN HAPUSNYA
HAK NEGARA UNTUK MENUNTUT
PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA

Hapusnya Hak Negara untuk Menuntut Pidana


1. Perbuatan yang telah diputus dengan putusan
yang telah menjadi tetap (Pasal 76 KUHP);
2. Sebab meninggalnya pembuat (Pasal 77
KUHP);
3. Sebab telah lampau waktu (Verjaring) (Pasal
78 KUHP);
4. Sebab penyelesaian di luar pengadilan
(afkoop) (Pasal 82 ayat (1) KUHP);
5. Sebab amnesty dan abolisi (Pasal 14 UUD45).

Hapusnya Hak Negara untuk Menjalankan


Pidana
1. Sebab meninggalnya terpidana;
2. Sebab kadaluarsa (Pasal 84 KUHP);
3. Sebab pemberian Grasi (Pasal
UUD45).

14

POKOK PEMBAHASAN PENYERTAAN

Penyertaan atau Deelneming diatur dalam


Pasal 55 dan 56 KUHP, pasal-pasal tersebut
berbunyi:
1.

2.

Dihukum sebagai orang yang melakukan tindak


pidana, (1) Orang yang melakukan yang
menyuruh
melakukan/turut
melakukan
perbuatan itu, (2) Orang yang dengan
pemberian,
perjanjian,
salah
memakai
kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman,
tipudaya dengan memberi kesempatan, sengaja
membujuk untuk melakukan suatu perbuatan.
Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2
yang
boleh
dipertanggungkan
kepadanya
hanyalah perbutan yang dengan sengaja dibujuk
oleh mereka itu,serta dengan akibatnya.

Dader

Doen
Plegen
Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) di sini
terlibat minimal 2 orang yakni orang yang menyuruh dan
orang yang disuruh (Pleger) dalam penjelasan UU
(memory Van Toelich Tink- M.v.T) dijelaskan bahwa
perbuatan menyuruh melakukan tindak pidana atas delik,
yakni seseorang yang mempunyai maksud melakukan
suatu kejahatan akan tetapi menyuruh orang lain untuk
melaksanakannya; orang yang menyuruh disebut Manus
Domina dan orang yang disuruh Manus Manistra
orang yang menyuruh pasti mempunyai niat tentunya
orang ini dapat di pertanggung jawabkan dan dapat
dihukum.

Made

Uitlokker

Contoh yang dimaksud ada hubungan kausal yakni: Si-A


memberi sejumlah uang kepada si-B dengan perjanjian supaya
Melakukan penghinaan terhadap si-C, ternyata si-B melakukan
Incasu sesuai keinginan si-A, maka berarti tercapai tujuannya.

Mediplichtige

Membantu melakukan kejahatan diatur dalam


Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu saat
kejahatan itu dilakukan;
2. Mereka
yang dengan sengaja memberi
kesempatan, keterangan untuk melakukan
kejahatan itu.
Dengan melihat bunyi rumusan pasal 56 KUHP
tersebut
maka
dua
kemungkinan
terjadi
pembantuan sebagai berikut:
3. Membantu /pembantuan (medeplichtige) pada
saat dilakukannya kejahatan.
4. Membantu/pembantuan
(medeplictige)
sebelum kejahatan itu dilakukan

POKOK PEMBAHASAN
LOCUS DELICTI DAN TEMPUS
DELICTI

Locus delicti perlu diketahui untuk:


1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia
berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut
atau tidak. Ini berhubungan dengan Pasal 2-8
KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana
yang
harus
mengurus
perkaranya.
Ini
berhubung dengan kompetensi relatif.
Tempus delicti adalah penting berhubung dengan:
3. Pasal
1 KUHP: Apakah perbuatan yang
bersangku-paut pada waktu itu sudah dilarang
dan diancam pidana?
4. Pasal 44 KUHP: Apakah terdakwa ketika itu
mampu bertanggung jawab?
5. Pasal
45 KUHP: Apakah terdakwa waktu
melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun
atau belum

Teori

POKOK PEMBAHASAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KESENGAJAAN ATAU DOLUS


PENGERTIAN KESENGAJAAN
Kesengajaan
adalah
dengan
sadar
berkehendak untuk melakukan kejahatan
tertentu.
Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan
bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan
adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan
dengan
sengaja
harus
menghendaki perbuatan itu serta harus
mengerti akan akibat perbuatan itu.

TEORI
Teori
KESENGAJAAN

TEORI KEHENDAK
Teori ini kemukakan oleh Von Hippel.
Menurut Von Hippel, kesengajaan adalah
kehendak membuat suatu tindakan dan
kehendak menimbulkan suatu akibat dari
kehendak itu.
Contoh :
A mangarahkan pistol kepada B, A
menembak mati B, A adalah sengaja apabila
A benar-benar menghendaki kematian B.

TEORI MEMBAYANGKAN
Teori ini diutarakan Frank. Teori ini mengemukakan
bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki
suatu akibat, manusia hanya dapat mengharapkan
atau membayangkan kemungkinan adanya suatu
akibat. Sengaja adalah apabila suatu akibat yang
ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan
sebagai maksud dari tindakan itu. Oleh karena itu,
tindakan yang berangkutan dilakukan sesuai
dengan bayangan yang terlebih dahulu telah
dibuatnya.
Contoh:
A membayangkan kematian musuhnya B, agar
dapat merealisasikan bayangan tersebut, A
membeli sepucuk pistol. Pistol tersebut kemudian
diarahkan kepada B dan ditembakkan sehingga B

Bentuk

KESENGAJAAN SEBAGAI MAKSUD


Agar dibedakan antara maksud dangan motif .
Sehari-hari motif diindentifikasikan dengan tujuan.
Contoh:
A bermaksud membunuh B yaang menyebabkan
ayahnya meninggal. A menembak B dan B
meninggal.
Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas
kematian ayahnya disebut motif. Adapun maksud
adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan
atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan
diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal
ini menghilangkan nyawa B. sengaja sebagai
maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan
dimengerti.

KESENGAJAAN DENGAN KEINSAFAN PASTI


Si pelaku mengetahui pasti atau yakin benar
bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu
akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan
melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat
lain.
Contoh:
A hendak membalas kematian ayahnya, ia
mengambil keputusan untuk membunuh B (si
pembunuh ayahnya) dengan cara meledakan
bom yang dengan sengaja diletakan di bawah
rumah B. A tau atau yakin benar bahwa ledakan
itu selain akan menewaskan B, juga membuat
mati istri dan anak-anak B yang tinggal bersamasama dalam rumah itu.

KESENGAJAAN DENGAN KEINSAFAN KEMUNGKINAN


Kesengajaan ini juga disebut kesengajaan dengan
kesadaran
kemungkinan,
bahwa
seseorang
melakukan
perbuatan
dengan
tujuan
untuk
menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si
pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul
akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh UU.
Contoh:
A mengirim pada B sebuah kue tar beracun dengan
tujuan membunuhnya. Ia tau bahwa selain B juga
tinggal istri B di rumah B. A memikirkan adanya
kemungkinan bahwa istri B yang tidak bersalah akan
memakan kue tar tersebut. Walaupun demikian, ia
toh mengirimnya.

KEALPAAN ATAU CULPA


PENGERTIAN CULPA
Menurut doktrin schuld yang diterjemahkan
dengan kesalahan terdiri atas:
1. Kesengajaan; dan
2. Kealpaan.
Kedua hal tersebut dibedakan
kesengajaan adalah dihendaki, sedang
kealpaan adalah tidak dihendaki
Simons menerangkan kealpaan adalah tidak
adanya penghati-hati di samping dapat
diduga-duganya akan timbuk akibat.

BENTUK
KEALPAAN
KEALPAAN
DENGAN KESADARAN

Seberapa banyak dari kita yang peduli baha keadilan bisa


Ditegakkan dinegeri ini? Seberapa banyak yang percaya bahwa
Kebenaran tidak dapat dibeli dengan uang maupun denga
kekuasaan? Yang
Pasti , banyak yang mengatas namakan keadilan dan kebenaran
Untuk merampok harta karun Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai