Anda di halaman 1dari 34

Peradilan Tata Usaha Negara

DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA
NEGARA

DOSEN PENGAMPU : EDI PRANOTO, S.H.,M.HUM.

Disusun oleh :

Pujatmi 181003742015569
Novitri Eka Hapsari 181003742015722
Vita Meylani Susanti 181003742015890
Sendy P.Prilyawan 181003742015569
Vinani Yosila Apriliansyah 181003742015724

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
NOVEMBER 2019
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillah, kita ucapkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang dengan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nyalah kami
dapat menyelesaikan tugas Makalah semester V Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara yang berjudul “Peradilan Tata Usaha Negara” tanpa halangan yang berarti dan
selesai tepat pada waktunya.
Tujuan utama Kami membuat makalah ini yaitu berharap Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua, yang tentunya memiliki nilai-nilai
kebaikan yang tinggi.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak sekali kekurangan-
kekurangannya. Oleh karena itu, kritikan dan saran dari dosen Pengampu Mata Kuliah
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan rekan-rekan sekalian sangat saya
harapkan demi kesempurnaan dan kebenaran makalah ini.
Semoga makalah ini menjadi khazanah keilmuan khususnya bagi Kami umumnya bagi
yang membaca dan semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
semua
Akhir kata, Kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kapada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semarang, 17 November 2019

Team Penulis

i
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ii
PENDAHULUAN……………………………………………………….... 1
A Latar Belakang …………………………………………………. 1
B Rumusan Masalah ……………………………………………… 3

PEMBAHASAN………………………………………………………….... 4
A Sejarah Terbentuknya PTUN………………………………….. 4
B. Pengertian Hukum & Peradilan Tata Usaha Negara........... 6
B.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara……………………… 7
B.2. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara…………………… 8
C. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara………………………… 8
D. Karakteristik dan Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara...... 10
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) ………… 13
E. Kompetensi PeradilanTata Usaha Negara………………...…. 14
F. Pangkal Sengketa TUN……………………………………..……. 16
G. Obyek dan Subyek sengketa di PTUN……………..…………. 17
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) ………… 17
H. Prosedur Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara…… 18
Kutipan Jurnal Spektrum Hukum, Edi Pranoto,SH.,M.HUM
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111) ………… 21
I. Tenggang waktu pengajuan gugatan…………………........... 25

PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………… 27

B. Saran ………………………………………………………………. 27

DAFTAR PUSTAKA…….....………………………………………………. 29

ii
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dasar peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang
menyebutkan:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang
Nomor 14 Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia


merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan
hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu
hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala
bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak
dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat
besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya
sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan
kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan dan
sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga
diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.

1
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun


1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
berdasarkan Pasal 144 dapat disebut Undang-undang Peradilan Administrasi
Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas
perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni
sebagai berikut: 
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha
Negara (PTUN).
c. Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata).
Melihat betapa pentingnya peran Peradilan Tata Usaha negara dalam
menciptakan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera, pemakalah tertarik untuk
membahas lebih dalam mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia
dengan membuat makalah yang berjudul: “Peradilan Tata Usaha Negara”

2
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

B. RUMUSAN MASALAH
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus
yang berada di bawah Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan
Undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47
mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara. 
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi
atau kewenangan mengadili. Peradilan Tata Usaha Negara akan menyelesaikan
sengketa yang terjadi di dalam lingkungan administrasi itu sendiri.
Untuk itu, pemakalah akan menguraikan mengenai kewenangan pengadilan
Tata Usaha Negara dan Prosedur Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.
Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana tentang sejarah pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
dan Apa tujuan serta fungsi didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Prosedur beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara ?

3
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya PTUN


Keberadaan peradilan administrasi negara merupakan salah satu jalur
yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum kepada masyarakat.
Proses kelahirannya telah menempuh perjalanan cukup panjang dan berliku.
Apabila ditelusuri, sejak Indonesia merdeka hingga akhir tahun 1986, Indonesia
belum mempunyai suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara yang berdiri
sendiri.
Sejarah terbentuknya UU PTUN tahun 1986 diulas secara rinci oleh Wicipto
Setiadi dalam buku Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan.1
Dalam praktik, saat itu ada tiga lembaga yang melakukan fungsi seperti
Peradilan Administrasi Negara, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan
Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Selain itu, perkara-perkara administrasi
negara diselesaikan oleh hakim di lingkungan peradilan umum. Perkara yang
diselesaikan berupa perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
Apabila ditelusuri dokumen yang berkenaan dengan Peradilan Administrasi
Negara, sebenarnya upaya perwujudan Peradilan Administrasi Negara sudah sejak
lama dirintis. Tahun 1946, untuk pertama kalinya Wirjono Prodjodikoro membuat
Rancangan Undang-undang tentang Acara Perkara dalam Soal Tata Usaha
Pemerintahan. Usaha ini didukung oleh kegiatan berupa penelitian, simposium,
seminar, dan sebagainya.
Perintah mewujudkan Peradilan Administrasi Negara pertama kali dituangkan
dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Kemudian ditegaskan dalam Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di

1
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 7-10

4
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

depan Sidang Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 juga


menegaskan bahwa, “…akan diusahakan terbentuknya peradilan administrasi, yang
dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan
pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur negara, maupun untuk
memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri.”
Selanjutnya, perintah ini diperkuat lagi dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pelita III,
yang menyatakan, “Mengusahakan terwujudnya TUN.” Dalam Ketetapan MPR No.
II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, memang tidak disebutkan secara jelas
dan tegas tentang perwujudan Peradilan TUN. Namun, karena rencana
pembangunan merupakan sebuah rencana yang berkesinambungan, maka sudah
selayaknya tetap mengupayakan perwujudan Peradilan TUN.
Kemudian, sekali lagi, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di
depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat 16 Agustus 1983 menerangkan bahwa,
“…Dalam pada itu, juga dalam rangka mendayagunakan aparatur negara,
pemerintah berharap secepatnya menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-
undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terhormat.”
Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima
Rancangan Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi undang-undang.
Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3344.
Melalui UU No. 5 Tahun 1986 ini, pejabat atau badan TUN bisa digugat di
Pengadilan TUN apabila keputusan-keputusan yang dikeluarkannya merugikan
masyarakat. Dengan lahirnya undang-undang ini, aparatur pemerintah tidak dapat
lagi bertindak sewenang-wenang dan setiap kebijakan yang dikeluarkannya harus
ditetapkan secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Meskipun diundangkan pada 29 Desember 1986, UU PTUN inti tidak dapat
seketika itu juga langsung diterapkan. Hal ini disebabkan masih menunggu
peraturan pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 145, yaitu paling
lama lima tahun sejak diundangkan. Jadi, selambat-lambatnya tahun 1991 harus
sudah keluar peraturan pemerintah tersebut. Namun belum sampai batas waktu
yang ditentukan, pada 14 Januari 1991 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.

5
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.2
Wicipto Setiadi menguraikan perkembangan UU PTUN selama lima tahun sejak
disahkan.3 Sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, telah dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, yang
merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, yaitu:
a. Undang-undang No. 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang;
b. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-
undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
c. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1991 tentang Tata Cara
Pemberhetian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan
Pemberhentian Sementara serta Hak-hak Hakim Agung dan Hakim yang
Dikenakan Pemberhentian;
d. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata
Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara;
e. Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan
Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung
Pandang;
f. Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan Pengadilan
Tata Usaha Negara di Bandung, Semarang, dan Padang;
g. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan Pengadilan
Tata Usaha Negara di Pontianak, Banjarmasin, dan Manado.
Pada periode 1992-1994, sedang dipersiapkan pula sejumlah Rancangan
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Presiden yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1986. Peraturan-peraturan
tersebut, yaitu: Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hakim Ad Hoc,
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengajuan Gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara Tempat Kediaman Penggugat, serta Rancangan Keputusan
Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Ambon,
Jayapura, dan Kupang.

2
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 7-10
3
Ibid.hlm. 206

6
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

B. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara dan


Peradilan Tata Usaha Negara

B.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara


Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah aturan
atau hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di suatu negara.
Hukum tersebut mengatur adanya tata pelaksanaan pemerintah dalam suatu masa
dalam menjalankan kewajibannya dan juga tugasnya. Hukum tata usaha negara itu
sendiri menitikberatkan kepada hal-hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah. Untuk hukum tata usaha negara sendiri
terkadang orang kebingungan untuk membedakannya dengan Hukum Tata Negara.
Hukum tata negara sendiri lebih fokus kepada hal mengenai konstitusi atau hukum
dasar yang di gunakan oleh suatu negara untuk mengatur suatu negara
mengeluarkan kebijakan pemerintah.4
Apa yang di maksud dengan keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang No 5 tahun 1986 terdapat dalam pasal 1 angka 3 yang
menentukan bahwa keputusan Tata usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Jika di urai, apa yang di maksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut, akan di temukan unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
b. Berisi tindakan hukum Tata Usaha negara
c. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d. Bersifat konkret, individual atau fnal
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.5
Rumusan unsur atau elemen diatas sebenarnya dituliskan dengan muatan
sama, hanya saja ada poin-poin tertentu yang dalam buku satu dijadikan satu poin
misal, poin A dalam buku Siti Soetami dijadikan dua poin berbeda, sedangkan
dalam buku Marbun poin itu digabungkan menjadi satu kesatuan.

4
Siti soetami. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.bandung, 2001, hlm. 1-4
5
SF Mrbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, 2003, cet. 2, hlm. 48

7
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa istilah


penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk
keputusan yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dengan
adanya penjelasan pasal 1 angka 3 tersebut dapat di ketahui bahwa menurut
pengertian undang-undang Negara yang tidak tertulis, kecuali Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN). KTUN itu memang di haruskan tertulis, namun yang di
syaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan
dan sebagainya.
Sebab keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis. Karena
untuk memudahkan bagi kebijakan. Dari penjelasan pasal 1 angka 3 juga dapat
diketahui bahwa formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar
suatu penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3.
Oleh karena bentuk formal, tetapi pada “isi” 6
dari suatu penetapan tertulis
yang di keluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha negara tidak menjadi syarat
mutlak agar penetapan tertulis tersebut dapat disebut atau termasuk keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana yang di maksud dalam pasal 1 angka 3, maka
penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan lebih lanjut bahwa sebuah memo atau
nota akan merupakan suatu keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.7

B. 2. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara


Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH memberikan pengertian Peradilan Tata
Usaha Negara dalam arti luas dan dalam arti sempit.

a. Dalam arti luas


“Peradilan yang menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi
Administrasi Negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata,
perkara agama, perkara adat, dan perkara administrasi Negara.”
b. Dalam arti sempit
“Peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni
semata-mata.”

C. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara

6
SF Mrbun, Op. Cit.hlm. 49
7
Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, jakarta, 2008, cet.2 hlm. 17-20

8
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Philipus M.Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum


bagi rakyat dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu Perlindungan Hukum yang
Preventif dan Perlindungan Hukum yang Refresif dengan pengertian sebagai
berikut :
a. Perlindungan Hukum Preventif adalah perlindungan hokum dimana rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa , sedangkan
b. Perlindungan Hukum Refresif adalah bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa.
Perlindungan Hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan
pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya
perlindungan hukum yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum
Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan
Tata Usaha Negara) adalah : defenitif, artinya perlindungan hukum preventif
pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan :
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yag bersumber dari
hak-hak Individu.
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.
Berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha
Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat
ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya
administrasi dan melalui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum
yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakkan hukum.
Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan
fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah : 8
a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk
masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara ;
b. Integratif, sebagai Pembina kesatuan bangsa;

8
Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gabungan Peraturan
Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus
1945 Semarang, hlm.13-15

9
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

c. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan,


keserasian,dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat;
d. Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrative
negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
e. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara
maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk
mendapatkan keadilan.9

D. Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara


Hukum Acara PTUN adalah Hukum yang mengatur tata cara bersengketa di
PTUN serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses
sengketa tersebut. Hukum acara merupakan hukum formal yang secara teoritis
keberadaanya terdiri dari dua macam , yakni :
a. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum
materiilnya atau bersama-sama dengan pengaturan susunan, kompetensi
dari badan yng melakukan peradilan dalam satu bentuk undang-undang
atau peraturan lainnya;
b. Ketentuan prosedur berperkara diatur masing-masing dalam bentuk
undang-undang atau peraturan lainnya.
Menurut penggolongan diatas maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), mengikuti kelompok pertama,
karena dalam UU PTUN tersebut memuat hukum materiil sekaligus hukum
formalnya. Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang terakhir dirubah lagi dengan 10Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
Ciri khusus yang menjadi karateristik Hukum Acara PTUN :

9
Ibid, hlm. 15
10
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.15-16

10
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

a. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk


mencari kebenaran materiil (pasal 63 ayat 2a dan b, pasal 80 ayat 1, pasal
85, pasal 95 ayat 1, pasal 103 ayat 1);
b. Kompensasi ketidakseimbangan antara kedudukan penggugat dan
tergugat;
c. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs)
yang tebatas;
d. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan
keputusan TUN yang digugat (vide pasal 67);
e. Keputusan Hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan
penggugat) tetapi dimungkinkan adanya reformation in peius (membawa
penggugat dalam keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam UU;
f. Terhadap putusan hakim TUN berlaku asas erga omnes artinya bahwa
putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi
juga berlaku bagi pihak-pihak lain yang terkait;
g. Dalam proses pemeriksaan dipersidangan berlaku asas autiet alteram
partem yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar
penjelasannya sebelum hakim membuat putusan;
h. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan atau bila tidak ada
kepentingan maka tidak boleh mengajukan gugatan; dan
i. Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil dengan tujuan
menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.11

Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka


secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat
dalam Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara: 
a. Asas Praduga rechtmatig (praesumptio iustatae causa);
Artinya asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan pemerintah dianggap
rechmting (tidak bertentangan dengan hukum) sampai pada pembatalan
(Pasal 67 ayat (1) UU PTUN)).
b. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan. Asas ini
merupakan kelanjutan dan konsekuensi dari asas praduga rechmating.
Jika setiap tindakan pemerintah selalu dianggap rechmating, maka

11
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.16--17

11
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

gugatan terhadap putusan pemerintah pada dasarnya


tidak dapat menghalangi dilaksanakannya putusan tersebut. Hal ini karena
keadaan penggugat adalah keadaan sebelum jatuhnya putusan. Jadi pada
saat gugatan diajukan, hakim belum memutuskan apakah KTUN tersebut
batal atau tidak. Dimungkinkan terdapat pengecualian bilamana “ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat” (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4
huruf a).
c. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis, bahwa dalam perkara
sejenis diterapkan mekanisme yang sama untuk seluruh wilayah
Indonesia. Hal ini berdasarkan pada wawasan persatuan hukum dan untuk
menghindari terjadinya dualisme mekanisme untuk perkara sejenis.
Sebagaimana yang pernah diterapkan pada zaman Hindia Belanda
dengan adanya perbedaan mekanisme acara pada peradilan perdata
untuk wilayah Jawa Madura dan luar Jawa Madura. Hal ini juga berlaku
baik dalam pemeriksaan di peradilan judex vacti maupun kasai di
Mahkamah Agung sebagai puncaknya.
d. Asas Audi et alteram partem artinya para pihak memiliki kedudukan yang
sama dan harus diperhatikan secara adil. Hakim harus mendengarkan
keterangan kedua pihak menjatuhkan putusan.
e. Asas penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka artinya
bebas dari segala campur tangan kekuasaan yang lain baik secara
langsung maupun tidak langsung yang bermaksud untuk mempengaruhi
keobyektifan putusan pengadilan (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU
Nomor 4 tahun 2004/ UU PPKK).
f. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan
sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-
belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit,
maka peradilan akan 12
berjalan dengan waktu yang relatif cepat. Dan
dengan demikian biaya perkara juga akan lebih murah.
g. Asas hakim aktif yaitu keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi
kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tentu menguasai betul peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar
dikeluarkan keputusan yang digugat, sedangkan pihak Penggugat adalah

12
Edi Pranoto, Op Cit, hlm. 18-20

12
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

orang perorang atau badan hukum perdata yang dalam


posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui betul peraturan
perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya
keputusan yang digugat 13

Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim


mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasarkan pada pasal 62 UU No. 5
Tahun 1986 dan pemeriksaan persiapan apakah gugatan penggugat kurang
jelas sehingga penggugat harus melengkapinya (pasal 63 UU No. 5 Tahun
1986). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada para hakim
dalam proses persidangan guna memperolah kebenaran materiil dan untuk
itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap
perlu untuk mengatasi kesulitan maka penggugat berhak memperoleh
informasi atau data yang diinginkan. Maka hakim memerintahkan kepada
badan atau pejabat TUN sebagai pihak yang tergugat untuk memberikan
informasi atau data tersebut (pasal 85 UU No.5 Tahun 1986).
h. Asas siding terbuka untuk umum konsekuensi dari asas ini adalah bahwa
semua putusan pengadilan hanya dianggap sah dan memiliki kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum .
i. Asas peradilan berjenjang jenjang pengadilan dimulai dari tingkat yang
terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) . Lalu Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan puncaknya adalah Mahkamah
Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan pada putusan
pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi pada pengadilan yang lebih
tinggi terhadap putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap dapat
diajukan upaya banding pada PTTUN dan Kasasi pada MA. Sedangkan
untuk putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap juga dapat diupayakan
peninjauan kembali pada MA.
j. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan asas
ini menempatkan pengadilan sebagai ultinum remedium. Sengketa tata
usaha negara sedapat mungkin terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya
musyawarah untuk mencapai mufakat dan bukannya secara konfrontatif.

13
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

13
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Penyelesaian secara administrative sebagaimana diatur


dalam pasal 48 UU No. 5 tahun 1986 14
lebih menunjukan kearah tersebut.
Dan apabila upaya ini tidak tercapai barulah menempuh upaya litigasi.
k. Asas tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah, semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun sudah bercerai
dengan tergugat, penggugat, penasehat hukum atau antara hakim dengan
seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan yang dimaksud, atau
hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU No.5 tahun
1986 tentang PTUN).15

E. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara


Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan
(kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi (kewenangan)
suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan
kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah
hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.16
E.1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah
hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang
menjadi wilayah hukum pengadilan itu.Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata
usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

14
Edi Pranoto, Op Cit, hlm.20-21
15
Edi Pranoto, Op Cit, hlm. 21-22
16
SF Mrbun, Op. Cit.hlm. 59.

14
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia


baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru
terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga
wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN
wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi
wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya sedangkan PTTUN
Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan, Jawa Barat dan
DKI.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat
kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur
tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51
tahun 2009 yang menyebutkan:
a. Tempat kedudukan Tergugat;
b. Tempat Kedudukan salah satu Tergugat;
c. Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan
Tergugat;
d. Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan
Peraturan Pemerintah);
e. PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat
kedudukan Tergugat berada diluar negeri;
f. Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar
negeri dan tempat kedudukan Tergugat didalam negeri.
Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke
pengadilan TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat
eksepsional di Pengadilan TUN tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian
setelah ada Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai sekarang ini Peraturan
Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan.
E.2. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang
berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok
sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh
Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

15
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN


lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan
(regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka
10 UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:
”Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau
Pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut


ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,
individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.

F. Pangkal Sengketa TUN


Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan kepada 3 macam
perbuatan yakni: mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-
undangan, dan melakukan perbuatan materil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut, badan atau pejabat tata usaha Negara
tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang, dan melawan hukum,
sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian, bagi yang terkena tindakan
tersebut.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud sengketa dalam tata usaha
Negara?, untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dari ketentuan pasal
1 angka 4 UU PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata, dengan badan atau
pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dari

16
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa


kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 

Adapun yang menjadi pangkal sengketa TUN adalah akibat dari


dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud
dengan KTUN adalah:
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual,
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum
Perdata.”
Jadi keputusan tata usaha Negara yang menjadi pangkal sengketa di PTUN
menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) UU Nomor 9 Tahun 2004 adalah berupa :
1. penetapan tertulis yang dikeluarkan pejabat/atau badan tata usaha;
2. berupa tindakan tata usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. bersifat kongkrit;
4. individual dan
5. final artinya mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.17

G. Obyek dan Subyek Sengketa di PTUN


G.1. Obyek Sengketa
Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No.
5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.
G.2. Subyek Sengketa
1. Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negara

17
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

17
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

tuntutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan


dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha Negara ganti rugi
dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU
No. 9 Tahun 2004 adalah :
a. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaiaman dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut.
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut. 
2. Tergugat
Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004
menyebutkan pengertian Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1
angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau
Pejabat tata usaha negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
3. Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas
prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa
hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak
sebagai:
- pihak yang membela haknya, atau
- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa

18
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

H. Prosedur Beracara di Pengadilan Tata Usaha


Negara.
Harus diketahui terlebih dahulu bahwa penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, dan harus diselesaikan
secara bertahap. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila peraturan
perundang-undangan memberikan wewenang kepada pejabat atau Badan Tata
Usaha Negara untuk dapat menyelesaikan sengketa TUN melalui upaya
administrasi, maka upaya itu harus ditempuh dahulu dan jika gagal maka baru
dapat diajukan ke Pengadilan TUN.
Adapun apabila seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan TUN yang berwenang untuk mengadilinya dengan tahapan
sebagai berikut :
1. Penelitian Administrasi
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, hal ini merupakan tahap
pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat
nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya
dengan membayar uang panjar perkara.

2. Proses Dismissal
Setelah Penelitian Administrasi, Ketua Pengadilan melakukan proses
dismissal, yakni proses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat
layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal dilakukan secara singkat
dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang
hakim sebagai reporteur (raportir).
Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan
mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal
apabila dipandang perlu. Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu
penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :

19
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

a. Apakah penggugat sudah menempuh upaya administrasi


(Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara).
b. Gugatan tidak kadaluarsa (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
c. Diajukan ke Pengadilan TUN secara benar (kompetensi).
d. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak (Pasal
53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
f. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan TUN yang digugat
Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan,
maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut.
Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil
ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua
berhalangan). Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi
gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil
kedua belah pihak untuk didengar keterangannya. Upaya hukum terhadap putusan
penetapan ini berupa Verzet/Perlawanan (Pasal 62 ayat (4) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

3. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan dipimpin oleh hakim majelis yang sudah ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan TUN. Pada saat proses pemeriksaan berlangsung, hakim
telah diwajibkan untuk berperan aktif memeriksa gugatan dan melengkapi dengan
data yang diperlukan. Bahkan apabila pihak penggugat mangalami kesulitan
memperoleh data atau informasi yang diperlukan,hakim dapat meminta penjelasan
kepada badan atau pejabat tata usaha negara.Tindakan demikian ini dimaksudkan
untuk mengimbangi kedudukan penggugat yang tidak seimbang dengan kedudukan
tergugat. Kecuali itu dimaksudkan untuk membantu penggugat mengatasi kesulitan

20
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

yang dihadapi memperoleh informasi yang diperlukan sehubungan


dengan sengketa yang dihadapi.18 Adapun tujuan khusus pemeriksaan persiapan ini
adalah untuk mematangkan perkara.
Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Surat
Edaran (SEMA No. 2 Tahun 1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI
No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/
1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993
tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), majelis Hakim berwenang untuk :
a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan
dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga
puluh hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang
bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan
seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data
yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa
penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat
pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari Pejabat
TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang
perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu
oleh hakim
c. Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin
tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya,
maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada
gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki
Keputusan TUN yang bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada
gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu,
Hakim dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan
untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang
disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung
semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan yang
18
Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum, (Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17
November 2019)

21
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti
dan surat-surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari
Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu
harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
e. Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan
Keputusan TUN” apabila ternyata tidak diperlukan.
f. Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan
setempat. Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak
selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota
yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat.
Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.

4. Persidangan
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat
(Pasal 98 dan 99 Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara). Adapun dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk
pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara
pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali
dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat.
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila
masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat
tercatat. Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan
dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.
Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah
pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan,
sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Dalam menentukan hari
sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal
kedua belah pihak dari tempat persidangan. Dalam pemeriksaan dengan
acara biasa, Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan
tiga orang Hakim, sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.
b. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pemeriksaan sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim

22
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Ketua Sidang. Hakim Ketua Sidang wajib menjaga


supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala
perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk keperluan pemeriksaan,
Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang
disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara,
persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum, namun putusan tetap
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
c. Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan kedua tanpa
alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, gugatan dinyatakan gugur, dan penggugat harus membayar
biaya perkara. Setelah gugatan penggugat dinyatakan gugur, penggugat
berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang
muka biaya perkara. Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan dua kali sidang berturut-turut dan atau tidak menanggapi
gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun
setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan
surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir
dan atau menanggapi gugatan. Dalam hal setelah lewat dua bulan
sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan tersebut tidak
diterima berita baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka
Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan
sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya
tergugat.Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih
diantara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat
ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang
terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan
untuk dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari penundaan sidang tersebut
tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan
tanpa kehadirannya.

23
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

d. Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi


gugatan dan surat yang memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang dan
jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk
mengajukan jawabannya. Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan
kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang
diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat mengubah alasan
yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal disertai
alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat
dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai
dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan
seksama oleh Hakim. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut
gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat
sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh
penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui
tergugat. Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan
setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi
tentang kewenangan absolut Pengadilan, apabila hakim mengetahui hal
itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak
berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. Eksepsi tentang
kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban
atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok
sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan
Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok perkara.
e. Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di
dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa
mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka
dalam sengketa. Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan hakim ketua
sidang dalam proses pemeriksaan sengketa TUN adalah aktif dan
menentukan serta memimpin jalannya persidangan agar pemeriksaan tidak
berlarut-larut. Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian
sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak para pihak,
melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan umum yang
tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.Hakim menentukan apa

24
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta


penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur ketentuan dalam rangka
usaha menemukan kebenaran materil. Alat bukti terdiri dari : Surat atau
tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak,
Pengetahuan hakim.
f. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing.

5. Putusan
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua
Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada
Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan
segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah
majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan
bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila
musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan
ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis
berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua
Majelis yang menentukan.
Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka
untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua
belah pihak. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan
itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak
diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan
Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

I. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

25
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun


2004 disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang digugat.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan 90 hari tersebut dihitung secara
bervarisasi:
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat.
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi
Negara ntuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak
memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan
keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus diumumkan. 

26
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Indonesia sebagai Negara Hukum, menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap


penduduknya. termasuk dalam hal administrasi Negara. Pemerintah sebagai aparat
yang melaksanakan kegiatan administrasi di Negara ini, tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan,
sehingga merugikan masyarakat Indonsia. Untuk itu, Pemerintah berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 memberikan perlindungan hukum
terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa. 
2. Sengketa tata usaha negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik itu
sengketa intern, yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang
disengketakan dalam satu departemen atau suatu departemen dengan departemen
yang lain dan sengketa ekstern yakni perkara administrasi yang menimbulkan
sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat. Maka, sengketa ini
diselesaikan melalui upaya administratif, yang mana upaya administratif ini
berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu merupakan suatu prosedur
yang ditempuh oleh seseorang atau badan hukum yang merasa tidak puas
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan bahwa penyelesaian sengketa
Tata Usaha Negara tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, tetapi harus
diselesaikan secara bertahap.

B. Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini
lebih ditingkatkan. Mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara

27
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

kurang begitu menjadi sorotan masyarakat apabila dilihat dari


jumlah kasus yang ada pertahunnya sangat sedikit padahal penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan sering terjadi, yang
tentunya penyelewengan-penyelewengan itu merugikan masyarakat pada
umumnya tidak terkecuali juga organ yang ada dalam pemerintahan di Indonesia. 
Dan diharapkan pula pada pemerintah, agar dalam melaksanakan
kewajibannya dalam hal administrasi Negara agar dapat bekerja dengan maksimal
jujur dan bersih demi terwujudnya tujuan negara Indonesia yang berdasarkan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, sehingga
Negara Indonesia ini dapat menjadi Negara lepas landas dan maju.

28
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

DAFTAR PUSTAKA

Marbun, SF. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 2. Yogyakarta : Penerbit
Liberty.

Pranoto, Edi. 2019. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gabungan
Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945. Semarang.

Setiadi, Wicipto. 1995. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soetami, A. Siti. 2001. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika
Aditama.

Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 2. Jakarta : Sinar
Grafika.

INTERNET

Edi Pranoto,SH.,M.HUM, ASAS KEAKTIFAN HAKIM (LITIS DOMINI) DALAM


PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA, Jurnal Spektrum Hukum,
(Http://203.89.29.50/index.php/SH/article/view/1111 diunduh 17 November 2019)
.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 14 Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan


Tata Usaha Negara. Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara (Gabungan Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan
Tata Usaha Negara) Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945
Semarang. 2019.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Edi Pranoto,SH.,M.HUM., Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara (Gabungan Peraturan Perundang-undangan tentang Peradilan

29
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
K-18 Faculty of Law – UNTAG
Jalan Pemuda No.70 – SEMARANG

Tata Usaha Negara) Fakultas Hukum, Universitas 17


Agustus 1945 Semarang. 2019.

30

Anda mungkin juga menyukai