HUKUM ACARA MK
pengantar dan pendahuluan
Dari segi politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan
mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip
demokrasi.
1
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Keberadaan MK pada awalnya untuk judicial review; berkaitan dengan fungsi MK yang
menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan sekaligus memutus
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
asas-asas umum
karakteristik peradilan mk:
No. Karakteristik Penjelasan
1. Ad celeritatem iudicii (speedy trial) Peradilan dilaksanakan secara cepat,
sederhana, biaya ringan, agar semua
lapisan masyarakat dapat berperkara di
pengadilan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48
Tahun 2009).
2. Ius curia novit Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas
(Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009).
3. Audi et alteram partem Hak untuk didengar secara seimbang.
4. Persidangan terbuka untuk umum
5. Independen dan imparsial Hakim dan lembaga peradilan tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan
kepentingan apapun serta tidak memihak
kepada salah satu pihak yang berperkara.
6. Hakim aktif dalam persidangan Menggali keterangan dan data baik dari
alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak
terkait.
7. Asas praduga keabsahan (praesumtio Tindakan penguasa dianggap sesuai
iustae causa) aturan hukum sampai dinyatakan
sebaliknya. Semua tindakan penguasa
baik berupa produk hukum maupun
tindakan konkret harus dianggap sah
sampai ada pembatalan.
8. Ultra petita Larangan memutus melebihi apa yang
dimohonkan tidak dapat diterapkan untuk
peradilan di MK, karena kewenangan
pengujian UU yang dimiliki MK bersifat
publik walaupun pengajuannya dapat
dilakukan oleh individu tertentu.
karakteristik putusan:
1. Finis illorium et ligatio
2
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
2. Erga omnes —> mengikat semua orang
3. Ex nunc, ex tunc
4. Non executio per se
glossary
“Judicial Review”
• Pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (lembaga pemegang
kekuasaan yudisial).
4
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
“Toetsingsrecht“
• Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan.
“Constitutional Review”
• Pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi.
• Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi.
• Salah satu bentuk judicial review.
• Lingkup materi JR lebih luas karena tidak terbatas pada konstitusi sebagai parameter
pengujian.
Pengujian Materil
• Apakah isi suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan.
• Bisa juga berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
menyangkut norma khusus dibandingkan norma umum.
5
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Pasal 50
“Undang-undang yang dapat dimohonkan
untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”
6
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Pasal 4
(1) Permohonan pengujian UU meliputi
pengujian formil dan/atau pengujian
materiil.
(2) Pengujian materiil adalah pengujian
UU yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.
(3) Pengujian formil adalah pengujian UU
yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang
tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
7
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
tidak mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka Peraturan Tata Tertib
DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi UUD 1945.”
Yahya Harahap: posita yang lengkap memenuhi unsur dasar hukum (rechtelijke
grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).
3. Tuntutan atau petitum
“Hak konstitusional”
MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
8
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5
(lima) syarat, yaitu:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
judicial review
Jimly Asshiddiqie menganggap alat ukur konstitusionalitas undang-undang sebagai
berikut:
1) Nasak UUD resmi yang tertulis;
2) Dokumen-dokumen tertulis yang terakit erat dengan naskah UUD itu, seperti
risalah, keputusan dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata
tertib.
3) Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang dianggap
bagian tidak terpisah dari keharusan dan kebiasaan penyelenggaraan kenegaraan.
4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku
politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan
yang ideal dalam kehidupa berbangsa dan bernegara.
Keempat hal tersebut merupakan sumber tatanan hukum tata negara (constitutional law)
yang dapat dijadikan tolok ukur dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-
undang.
uji formil
Konsep uji formil bersifat sangat kompleks, tetapi secara umum kriteria yang dapat
dipakai untuk menilai suatu objek pengujian dari sergi formalnya ialah sejauh mana
peraturan tersebut ditetapkan dalam:
1) pengujian atas pelaksanaan tata cara dan prosedur pembentukan undang-undang,
baik dalam hal pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas
rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang (appropriate procedure),
2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang (appropriate form),
3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang (appropriate institution),
4) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
9
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Organ Negara
Terdapat lebih dari 35 subjek jabatan dalam UUD 1945, dari Presiden sampai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
1. Presiden;
2. Wakil Presiden;
3. Dewan pertimbangan presiden;
4. Kementerian Negara;
5. Menteri Luar Negeri;
6. Menteri Dalam Negeri;
7. Menteri Pertahanan;
8. Duta;
10
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
9. Konsul;
10. Pemerintahan Daerah Provinsi;
11. Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi;
12. DPRD Provinsi;
13. Pemerintahan Daerah Kabupten;
14. Bupati/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten;
15. DPRD Kabupaten;
16. Pemerintahan Daerah Kota;
17. Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota;
18. DPRD Kota;
19. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
20. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
21. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
22. Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur
lebih lanjut dengan undang-undang;
23. Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
independensinya diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
24. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
25. Mahkamah Agung (MA);
26. Mahkamah Konstitusi (MK);
27. Komisi Yudisial (KY);
28. Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan
29. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
30. Angkatan Darat (AD);
31. Angkatan Laut (AL);
32. Angkatan Udara (AU);
33. Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa;
34. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya;
35. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
11
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Perkara SKLN di MK
Ada 4 kemungkinan hasil:
a) Kabul
b) Tolak
c) Tidak Diterima
d) Tarik Kembali
Legal Standing
- Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
- MK dapat mengeluarkan penetapan sementara dalam bentuk putusan sela untuk
menghentikan pelaksanaan kewenangan yang disengketakan
- MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangana ntara lembaga negara
(Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003)
- Pedoman Beracara SKLN diatur lebih lanjut dalam Peraturan MK No. 08/PMK/2006
12
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi
termohon.
Pemeriksaan Pendahuluan
Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-
kurangnya terdiri atas 3 orang hakim atau oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya
terdiri atas 7 orang hakim. (Pasal 11 ayat (1) PMK No. 8 PMK/2006)
subjectum litis
- Prof Jimly: terdapat >28 subjek jabatan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
organ negara dalam arti yang luas.
- Hans Kelsen: organ yang menjalankan fungsi law-creating and law-applying functions
merupakan organ atau lembaga negara.
objectum litis
Dalam perkara yang dipersengketakan, apakah ada aspek kewenangan yang diatur
secara langsung atau setidak-tidaknya secara tidak langsung dalam UUD 1945 dan
apakah kewenangan atau aspek kewenagnannya itu terganggu atau dirugikan oleh
keputusan-keputusan, tindakan atau pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga
negara lain sehingga menyebabkan memperoleh kedudukan hukum yang beralasan
untuk mengajukan permohonan perkara ke MK.
13
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
- Dalam hal permohonan dikabulkan, MK harus menyatakan dengan tegas bahwa
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
- Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
ditolak.
14
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
- ideologi.
Pembubaran partai politik harus melewati putusan pengadilan dan sesuai prinsip due
process of law.
venice commission
• Negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara
bebas dalam partai politik. Hak ini harus meliputi pula kebebasan memiliki
pendapat politik dan menerima serta memberi informasi tanpa campur tangan
otoritas publik dan terlepas dari pembatasan. Persyaratan pendaftaran partai politik
tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak tersebut.
• Jika ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak dasar melalui partai politik
tersebut, harus konsisten dan relevan dengan ketentuan Konvensi Uni Eropa tentang
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya, baik pada
waktu normal maupun darurat.
• Pelarangan atau pembubaran paksa partai politik juga mungkin dibenarkan dalam
kasus partai politik melakukan tindakan menggunakan kekerasan sebagai alat
politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional, yang dengan demikian
meruntuhkan hak dan kebebasan yang dijamin konstitusi. Namun demikian,
kenyataan bahwa suatu partai menganjurkan perubahan konstitusi secara damai
tidak cukup sebagai alasan pelarangan atau pembubarannya.
• Suatu partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai.
• Pelarangan atau pembubaran partai politik sebagai suatu tindakan jangka panjang
tertentu harus digunakan dengan kendali penuh. Sebelum meminta lembaga
yudisial yang berkompeten untuk melarang atau membubarkan partai, pemerintah
atau organ negara harus menilai dengan memperhatikan situasi negara, apakah
partai tersebut benar- benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik
yang demokratis atau hak-hak individu, atau apakah tidak ada tindakan lain yang
kurang radikal untuk mencegah bahaya tersebut.
• Upaya hukum untuk pelarangan atau pembubaran partai politik secara paksa yang
legal harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran
konstitusional yang benar- benar tidak biasa serta diambil berdasarkan prinsip
proporsionalitas. Upaya-upaya tersebut harus berdasarkan bukti yang cukup bahwa
partai itu sendiri dan tidak hanya individu anggotanya yang mengejar tujuan politik
itu dengan menggunakan atau bersiap-siap menggunakan sarana yang tidak
konstitusional.
• Pelarangan atau pembubaran suatu partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin
due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair.
15
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
16
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Orde Baru
No. Peraturan Bentuk Praktik
1. Perpres No. 7 tahun Kebijakan fusi parpol Pembubaran PKI (Keppres No.
1959 1/3/1966, dasar hukum Supersemar,
dikuatkan dengan Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966)
2. Perpres No. 13 Tahun Pembekuan pengurus Pembekuan Partindo (Keppres No.
1960 parpol oleh presiden 57 Tahun 1960)
3. Perpres No. 25 Tahun Fusi partai politik menjadi PPP, PDI,
1960 dan Golkar (Tap MPR No. IV/MPR/
1973 dan UU No. 3 Tahun 1975)
4. UU No. 3 Tahun 1975
Era Reformasi
No. Peraturan Bentuk Praktik
17
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
proses persidangan
1. Para pihak
Pemohon: pemerintah, dapat diwakili oleh Jaksa Agung atau Menteri yang
ditunjuk presiden (PMK No. 12 Tahun 2008)
Isi permohonan:
- identitas lengkap pemohon
- uraian jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan parpol yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945
- alat-alat bukti yang mendukung permohonan
Termohon: parpol yang akan dibubarkan
2. Alasan pembubaran
1) UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011
Dengan pembekuan terlebih dahulu:
- melanggar larangan terkait dengan nama, lambang, atau tanda gambar
- melanggar larangan mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha
- melanggar larangan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan
- melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan negara
Tanpa pembekuan:
- menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme
- pengurus parpol menggunakan parpolnya untuk melakukan tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107
huruf c, huruf d, atau huruf e UU No. 27 Tahun 1999
2) Pasal 68 ayat (2) UU MK
- ideologi bertentangan dengan UUD 1945;
- asas bertentangan dengan UUD 1945;
- tujuan bertentangan dengan UUD 1945;
- program bertentangan dengan UUD 1945; dan/atau
- kegiatan bertentangan dengan UUD 1945.
3) Pasal 3 PMK No. 12 Tahun 2008
a) ideologi, asas, tujuan, program parpol bertentangan dengan UUD 1945;
dan/atau
b) kegiatan partai politik atau akibatnya bertentangan dengan UUD 1945.
3. Persidangan
- Harus diputus dalam 60 hari kerja
- Tahapan persidangan
- Pembuktian
4. Amar putusan mengabulkan
a. mengabulkan permohonan pemohon;
b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai
politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada pemerintah untuk:
18
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
1) menghapuskan parpol yang dibubarkan dari daftar paling lambat dalam
jangka waktu 7 hari kerja sejak putusan MK diterima;
2) mengumumkan putusan MK dalam berita negara paling lambat 14 hari
sejak putusan diterima.
5. Akibat hukum pembubaran
Pasal 10 ayat (2) PMK No. 12 Tahun 2008:
• Pelarangan hak hidup parpol dan penggunaan simbol parpol tersebut di seluruh
Indonesia;
• Pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari parpol tsb;
• Pelarangan terhadap mantan pengurus parpol yang dibubarkan untuk
melakukan kegiatan politik;
• Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan parpol yang dibubarkan.
intro
Perkara PHPU memiliki hukum acara yang berbeda disebabkan tiga hal:
1. Adanya jangka waktu pengajuan permohonan
2. Adanya batas waktu penyelesaian perkara
3. Adanya ambang batas untuk mengajukan selisih permohonan (dalam kasus
pilkada)
19
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
3. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008 merumuskan PHPU anggota DPR, DPD, dan DPRD
sebagai berikut:
1. PHPU adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
2. PHPU secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan
penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta
pemilu.
Pasal 74 ayat (2) UU MK jo. Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008 dan Pasal 201 UU No. 42
Tahun 2008, summarized:
1. PHPU adalah perselisihan antara peserta pemilu (parpol, caleg, paslon Pres/
Wapres) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu;
2. Yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan saura hasil pemilu secara
nasional oleh KPU;
3. Perselishan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional dimaksud
harus memengaruhi perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan, atau
terpilihnya caleg, atau penentuan paslon yang masuk putaran kedua Pemilu
Presiden serta terpilihnya paslon Presiden/Wakil Presiden secara signifikan.
PHPU pada awalnya hanya terkait dengan masalah kuantitatif, tetapi dalam
perkembangannya lahir Putusan No. 062/PHPU-B-II/2004 yang diajukan pada saat
Pilpres 2004.
20
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
phpu
1. Permohonan
DPR — parpol — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
DPD — individu — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
DPRD — parpol — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
Presiden — paslon — 3x24 jam, termohon KPU, penghitungan tahap 2, diselesaikan
dalam 14 hari kerja
2. Alur Penanganan Perkara
(on the right)
3. Amar Putusan
gagasan impeachment
Konstruksi Hukum
Kedaulatan rakyat
Democratisch Rechstaat ← (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945)
Ciri negara hukum Negara hukum
(J. Stahl) ← (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945)
Pembagian kekuasaan dan Undang-undang dasar
sistem checks & balances ← (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945)
Sistem pemerintahan
republik
Sistem presidensial ← (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (1) UUD 1945)
21
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Presiden sebagai kepala pemeirntahan menjalankan perintah UUD dan UU, diawasi
dalam mekanisme checks and balances.
Istilah “impeachment”
• Black’s Law Dictionary: “a criminal proceeding against a public officer, before a quasi political
court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment.’”
• “Pemakzulan” = sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi
menjatuhkan dakwan terhadap seorang pejabat tinggi negara.
• Jimly Asshiddiqie: Arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan
sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti
berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari
jabatannya.
sejarah impeachment
• Inggris: Pertamakali digunakan di masa Edward III (November 1330) terhadap Roger
Mortimer, Baron of Wigmore VIII dan Earl of March I.
Penyidik-penuntutnya House of Commons dan House of Lords yang mengadili.
• Amerika Serikat: Diatur dalam UUD yang menyatakan House of Representatives
memiliki kekuasaan untuk melakukan impeachment sedangkan Senate mempunyai
kekuasaan untuk mengadili semua tuntutan impeachment.
• Impeachment merupakan instrumen untuk emncegah dan menanggulangi terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya. Di AS, ditakutkan pemegang
kekuasaan menjadi korup dan berusaha untuk terus berkuasa selama mungkin. Jadi
di AS dibuat konstitusi yang didasarkan checks and balances untuk meminimalisir
penyalahgunaan kekuasaan.
Impeachment ada untuk menegur perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan
pelanggaran terhadap kepercayaan publik dari pejabat publik.
• Impeachment applies for both President and Vice President dan seluruh pejabat sipil di AS.
impeachment di indonesia
UUD 1945 Sebelum Amandemen
• UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada aturan detail tentang mekanisme
pemberhentian presiden, baik alasan ataupun prosedur pemberhentian.
• The only rule there is regarding impeachment di UUD 1945 sebelum amandemen:
Pasal 8: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.”
• Kemudian dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII alinea ketiga:
“Jika dewan menganggap bahwa Preisden sungguh melanggar haluan negara yang telah
22
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka MPR dapat diundang untuk persidangan istimewa
agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden.”
• Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden
diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/1975 dan Tap MPR No. III/MPR/1978:
- Apabila DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan
negara maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.
- Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum
tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum kedua.
- Apabila dalam waktu satu bulan memorandum kedua ini tidak diindahkan
Presiden, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa
untuk meminta pertanggungan jawab Presiden.
Dasar Hukum
• Pasal 7A dan 7B UUD 1945
• UU MK dan UU MD3
• PMK No. 21 Tahun 2009
Para Pihak
• Pemohon: DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR, dapat menunjuk kuasa hukum
• Termohon: Presiden dan/atau Wakil Presiden, dapat didampingi/diwakili kuasa
hukum
Permohonan
• Dalam bahasa Indonesia
• 12 rangkap
• DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan yang menjadi dasar gugatan
impeachment.
Alat Bukti
• Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapat
DPR oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam
Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPR.
• Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung
dengan materi permohonan.
• Risalah dan/atau berita acara rapat DPR.
24
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
• Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden yang menjadi dasat pendapat DPR.
Persidangan
1. Sidang pemeriksaan pendahuluan
2. Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
3. Pembuktian oleh DPR
4. Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
5. Kesimpulan
6. Pengucapan Putusan
(Kalau Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri, maka permohonan
gugur)
Amar Putusan
• Tidak dapat diterima
• Membenarkan putusan DPR
• Ditolak
harus dicermati
1. Apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang
terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun
satu hukum acara tersendiri?
2. Apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus
untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh
MK?
3. Bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai
pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden?
4. Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A
dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas bisa
dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur
dan terbingkai oleh norma-norma yuridis?
5. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan
tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden
dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar
asas ne bis in idem dalam hukum pidana?
25
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
6. Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wakil
Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality
before the law)?
7. Mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi
syarat tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip
supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam hukum tata negara?
26