Anda di halaman 1dari 26

Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

HUKUM ACARA MK
pengantar dan pendahuluan

istilah dan pengertian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:


kekuasaan kehakiman dan mk “Mahkamah Konstitusi berwenang
Karakter kekuasaan kehakiman dalam UUD mengadili pada tingkat pertama dan
1945: terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
• Merdeka dalam menjalankan fungsi Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
peradilan kewenangan lembaga negara yang
• Menegakkan hukum dan keadilan kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan
hasil pemilihan umum.”
dan 1 kewajiban konstitusional, yaitu:
1. Menguji UU terhadap UUD;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
5. Memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden, atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden/Wakil Presiden menurut UUD.

Fungsi Mahkamah Konstitusi:


1. Pengawal konstitusi (guardian of constitution)
2. Pengawal demokrasi (guardian of democracy)
3. Perlindungan HAM dan hak konstitusional warga negara (protector of human rights
and citizens’ constitutional rights)
4. Penafsir final konstitusi negara (final interpreter of the constitution)

sejarah dan perkembangan mk


Gagasan pertama pembentukan peradilan untuk menangani judicial review dicetuskan
oleh Hans Kelsen. Mahkamah konstitusi menjadi bagian dari konstitusi Austria pada
tahun 1920. Keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi
yang menurut Kelsen, penjagaannya dibutuhkan pengadilan khusus yang berisi para
hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain, bukan oleh pengadilan
biasa yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.

Dari segi politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan
mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip
demokrasi.

1
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Keberadaan MK pada awalnya untuk judicial review; berkaitan dengan fungsi MK yang
menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan sekaligus memutus
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

Keberadaan MK dikenal sebagai fenomena abad XX dan pada umumnya dibentuk di


negara-negara yang telah mencapai tahap akhir transisi demokrasi yang salah satu
cirinya adalah penerimaan mekanisme konstitusi untuk menjamin hak dan kebebasan
dasar warga negara serta pembatasan kekuasaan negara.

asas-asas umum
karakteristik peradilan mk:
No. Karakteristik Penjelasan
1. Ad celeritatem iudicii (speedy trial) Peradilan dilaksanakan secara cepat,
sederhana, biaya ringan, agar semua
lapisan masyarakat dapat berperkara di
pengadilan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48
Tahun 2009).
2. Ius curia novit Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas
(Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009).
3. Audi et alteram partem Hak untuk didengar secara seimbang.
4. Persidangan terbuka untuk umum
5. Independen dan imparsial Hakim dan lembaga peradilan tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan
kepentingan apapun serta tidak memihak
kepada salah satu pihak yang berperkara.
6. Hakim aktif dalam persidangan Menggali keterangan dan data baik dari
alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak
terkait.
7. Asas praduga keabsahan (praesumtio Tindakan penguasa dianggap sesuai
iustae causa) aturan hukum sampai dinyatakan
sebaliknya. Semua tindakan penguasa
baik berupa produk hukum maupun
tindakan konkret harus dianggap sah
sampai ada pembatalan.
8. Ultra petita Larangan memutus melebihi apa yang
dimohonkan tidak dapat diterapkan untuk
peradilan di MK, karena kewenangan
pengujian UU yang dimiliki MK bersifat
publik walaupun pengajuannya dapat
dilakukan oleh individu tertentu.

karakteristik putusan:
1. Finis illorium et ligatio
2
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
2. Erga omnes —> mengikat semua orang
3. Ex nunc, ex tunc
4. Non executio per se

objek sengketa dan subjek sengketa:


Sengketa Objek Sengketa Subjek Sengketa
Pengujian UU Konstitusionalitas UU dalam • Pemohon
(“PUU”) pengertian formil maupun • Pihak terkait
materiil • Pembentuk UU dan/atau MPR
Sengketa Konstitusionalitas kewenangan • Pemohon
Kewenangan • Termohon: Lembaga Negara
Lembaga Negara Konstitusional
(“SKLN”)
Pembubaran Partai Konstitusionalitas suatu partai • Pemohon: Pemerintah
Politik (“P3”) politik • Termohon: Partai politik
Perselisihan Hasil Kebenaran penghitungan suara • Pemohon: peserta pemilu
Pemilihan Umum yang memengaruhi secara • Pihak terkait
(“PHPU”) signifikan terhadap perolehan • Temrohon: penyelenggara
kursi atau keterpilihan pemilu

Pendapat DPR Pelanggaran hukum dan moral • Pemohon: DPR


konstitusional • Pihak terkait: Presiden dan/atau
Wakil Presiden

sistem dan mekanisme umum


1. Sistem persidangan (panel atau pleno) dan kepemimpinan
Menyidangkan apakah permohonan sudah tepat subjek dan objeknya.
2. Pengajuan permohonan
Ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon/kuasanya, diajukan
dalam 12 rangkap, memuat jenis perkara, sistematika: identitas dan legal standing,
posita, petitum; disertai bukti pendukung.
3. Pendaftaran
Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera: jika belum lengkap,
diberitahukan. Max. 7 hari setelah pemberitahuan wajib dilengkapi.
Registrasi sesuai dengan perkara. Dicatat dalam BPPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi).
7 hari kerja sejak registrasi perkara:
- Pengujian UU: Salinan permohonan disampaikan ke Presiden dan DPR, dan
permohonan diberitahukan kepada MA.
- SKLN: Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
- P3: salinan permohonan diberikan kepada parpol yang bersangkutan.
- Pendapat DPR: salinan permohonan disampaikan kepada presiden.
4. Penjadwalan persidangan
- Dalam 14 hari kerja setelah registrasi, ditetapkan hari Sidang I (kecuali perkara
PHPU)
3
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
- Para pihak diberitahu/dipanggil
- Diumumkan kepada masyarakat
5. Pemeriksaan pendahuluan (panel atau pleno)
(Pasal 10-11 PMK No. 06/PMK/2005)
a) Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa kelengkapan syarat
permohonan dan kejelasan materi permohonan.
b) Memberi nasehat kelengkapan syarat-syarat permohonan dan perbaikan materi
permohonan.
c) Dalam waktu 14 hari harus sudah diperbaiki dan dilengkapi.
d) Di samping memeriksa admistrasi perkara, disertai dengan legal standing dan
kewenangan MK terhadap perkara tersebut.
6. Pemeriksaan persidangan (panel atau pleno)
Terbuka untuk umum
a) Pembacaan permohonan dan jawaban serta keterangan.
b) Pembuktian —> alat bukti minimal 2
7. Putusan (pleno, kuorum)
a) Pengambilan putusan berdasar bukti dan keyakinan (pleno tertutup)
b) Penjatuhan putusan (pleno terbuka)
Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
- Untuk P3: 60 hari kerja setelah registrasi
- Untuk PHPU:
• Pemilu presiden dan wakil presiden: 14 hari setelah registrasi
• Pemilukada: 14 hari kerja setelah registrasi
• Pemilu legislatif: 30 hari kerja setelah registrasi
- Untuk SKLN: 1-3 bulan setelah registrasi
- PUU: 3-9 bulan setelah registrasi
8. Mengikat hukumnya putusan
Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidan terbuka untuk umum.
Salinan putusan dikirimkan kepada para pihak 7 hari setelah diucapkan. Untuk
putusan perkara:
- PUU: disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, MA
- SKLN: disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden
- P3: disampaikan kepada parpol bersangkutan
- PHPU: disampaikan kepada Presiden
- Pendapat DPR: disampaikan kepada DPR, Presiden, dan Wakil Presiden.
Salah satu masalah putusan MK: tidak memiliki sanksi.
9. Pelaksanaan putusan

hukum acara pengujian uu terhadap uud

glossary
“Judicial Review”
• Pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (lembaga pemegang
kekuasaan yudisial).
4
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

• Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji peraturan perundang-undangan


(toetsingrecht) dimiliki oleh hakim.
• Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (e.g.: UU thd UUD, PP
thd UU, dsb.)

“Toetsingsrecht“
• Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan.

“Constitutional Review”
• Pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi.
• Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi.
• Salah satu bentuk judicial review.
• Lingkup materi JR lebih luas karena tidak terbatas pada konstitusi sebagai parameter
pengujian.

pengujian formil dan materil


Pengujian Formil
• Apakah suatu peraturan perundang-undangan dalam proses pembuatannya telah
melalui prosedur sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
• Pengujian formal biasanya terkait dengan persoalan prosedural dan/atau legalitas
kompetensi institusi yang membuatnya.

Pengujian Materil
• Apakah isi suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan.
• Bisa juga berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
menyangkut norma khusus dibandingkan norma umum.

dasar hukum judicial review


No. Dasar Hukum Detail
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2)
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.”

5
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

No. Dasar Hukum Detail


1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1)
“Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.”
2. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pasal 29 ayat (1) huruf a
Kehakiman “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a.   menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
3. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Pasal 10 ayat (1) huruf a
Konstitusi “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a.   menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”

Pasal 51 ayat (3) huruf a dan b


“Dalam permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa:
a.   pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan/
atau
b.   materi muatan dalam ayat, pasal, dan/
atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”

Pasal 50
“Undang-undang yang dapat dimohonkan
untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”

6
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

No. Dasar Hukum Detail


3. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah *Pasal 50 dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat berdasarkan
Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/
PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi &
UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang &
Industri terhadap UUD 1945 , tanggal 13
Desember 2004.

4. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/ Pasal 1


PMK/2005 tentang Pedoman Beracara “Dalam Peraturan ini yang dimaksud
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dengan:
1.   Pengujian adalah pengujian formil
dan/atau pengujian materiil
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(3) huruf a dan b Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.”

Pasal 4
(1) Permohonan pengujian UU meliputi
pengujian formil dan/atau pengujian
materiil.
(2) Pengujian materiil adalah pengujian
UU yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.
(3) Pengujian formil adalah pengujian UU
yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang
tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Putusan MK RI No. 27/PUU-VII/2009


“UUD 1945 tidak mengatur tata cara pembahasan dan
pengambilan keputusan DPR dalam pembentukan
Undang-Undang, tetapi pelaksanaannya diatur dalam tl;dr:
UU 10/2004 Bab VI Bagian Ke Satu, Pembahasan JR dapat dilakukan karena hal
Rancangan Undang-Undang di DPR, UU Nomor 22 di luar yang diatur oleh Pasal
51 ayat (3) huruf a dan b UU
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
MK.
DPR, DPD dan DPRD (yang berlaku pada saat itu) dan
diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Ketentuan yang
terdapat dalam UU 10/2004 dan UU 22/2003 adalah
merupakan Undang-Undang yang diperlukan untuk
menampung ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dalam kedua Undang-Undang
disebutkan juga adanya Peraturan Tata Tertib DPR dalam pembentukan Undang-
Undang, yaitu Pasal 19 UU 10/2004 dan Pasal 102 ayat (1) dan ayat (4) UU 22/2003;
Dengan demikian hanya berdasar Peraturan Tata Tertib DPR sajalah dapat
dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau menolak RUU. Tanpa adanya
Peraturan Tata Tertib DPR, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan karena UUD 1945

7
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
tidak mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka Peraturan Tata Tertib
DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi UUD 1945.”

kedudukan hukum (legal standing) dan posita


“Legal standing” adalah keadaan di mana suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan
oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian
perselisihan atua sengketa atau perkara di depan MK.

At the very least, gugatan/permohonan berisikan:


1. Identitas para pihak (persona standi in judicio)
i.e.: identitas lengkap penggugat (nama lengkap, alamat, TTL, umur, jenis kelamin,
kapasitas penggugat)
2. Posita (fundamentum petendi)
Dasar atau alasan dari suatu gugatan (middelen van den eis) yang merupakan salah
satu syarat gugatan di pengadilan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, penggugat
harus menguraikan alasan dari tuntutan tersebut. Jadi posita tuh isinya uraian
tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus.

Yahya Harahap: posita yang lengkap memenuhi unsur dasar hukum (rechtelijke
grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).
3. Tuntutan atau petitum

Legal standing dan posita dalam JR berdasarkan Pasal 51 UU MK:


(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

“Hak konstitusional”
MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan

8
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5
(lima) syarat, yaitu:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat  dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya  permohonan, maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.

judicial review
Jimly Asshiddiqie menganggap alat ukur konstitusionalitas undang-undang sebagai
berikut:
1) Nasak UUD resmi yang tertulis;
2) Dokumen-dokumen tertulis yang terakit erat dengan naskah UUD itu, seperti
risalah, keputusan dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata
tertib.
3) Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang dianggap
bagian tidak terpisah dari keharusan dan kebiasaan penyelenggaraan kenegaraan.
4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku
politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan
yang ideal dalam kehidupa berbangsa dan bernegara.

Keempat hal tersebut merupakan sumber tatanan hukum tata negara (constitutional law)
yang dapat dijadikan tolok ukur dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-
undang.

uji formil
Konsep uji formil bersifat sangat kompleks, tetapi secara umum kriteria yang dapat
dipakai untuk menilai suatu objek pengujian dari sergi formalnya ialah sejauh mana
peraturan tersebut ditetapkan dalam:
1) pengujian atas pelaksanaan tata cara dan prosedur pembentukan undang-undang,
baik dalam hal pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas
rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang (appropriate procedure),
2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang (appropriate form),
3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang (appropriate institution),
4) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
9
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

proses persidangan, pembuktian, dan putusan


Step by step ada di atas.

Spesifik untuk JR:


Pasal 54 UU No. 24 Tahun 2003
“Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”
• MK tidak mengadili pembentuk UU.
• Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan keterangan
(lisan maupun tertulis).
• Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara tersebut.
• Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum dan HAM
beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan
pokok perkara.
• DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada pimpinan
dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau
anggota DPR yang ditunjuk.

hukum acara memutus sengketa kewenangan


konstitusional lembaga negara

konsepsi lembaga negara


Pengertian Luas
- Hans Kelsen: “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an
organ.” (Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961)
- Organ negara tidak selalu berbentuk organik, tetapi setiap jabatan yang ditentukan
oleh hukum dapat pula disebut organ asal fungsi2nya itu bersifat menciptakan
norma dan/atau bersifat menjalankan norma.
- “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all
ultimately aimed at the execution of a legal sanction.”

Organ Negara
Terdapat lebih dari 35 subjek jabatan dalam UUD 1945, dari Presiden sampai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
1. Presiden;
2. Wakil Presiden;
3. Dewan pertimbangan presiden;
4. Kementerian Negara;
5. Menteri Luar Negeri;
6. Menteri Dalam Negeri;
7. Menteri Pertahanan;
8. Duta;
10
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
9. Konsul;
10. Pemerintahan Daerah Provinsi;
11. Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi;
12. DPRD Provinsi;
13. Pemerintahan Daerah Kabupten;
14. Bupati/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten;
15. DPRD Kabupaten;
16. Pemerintahan Daerah Kota;
17. Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota;
18. DPRD Kota;
19. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
20. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
21. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
22. Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur
lebih lanjut dengan undang-undang;
23. Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
independensinya diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
24. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
25. Mahkamah Agung (MA);
26. Mahkamah Konstitusi (MK);
27. Komisi Yudisial (KY);
28. Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan
29. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
30. Angkatan Darat (AD);
31. Angkatan Laut (AL);
32. Angkatan Udara (AU);
33. Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa;
34. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya;
35. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Hubungan antar Lembaga Negara, Status, dan Dasar Pembentukan


a. Melalui UUD 1945
b. Melalui UU
c. Melalui Perpres atau Keppres

dasar hukum SKLN


- Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
Putusan MK bersifat final; pengadilannya tingkat pertama dan terakhir.
- Pasal 61-67 UU No. 24 Tahun 2003
- PMK No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara
- Pasal 29 UU Kekuasaan Kehakiman

11
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Perkara SKLN di MK
Ada 4 kemungkinan hasil:
a) Kabul
b) Tolak
c) Tidak Diterima
d) Tarik Kembali

Contoh perkara yang dikabulkan:


Perkara No. 3/SKLN-X/2012
Komisi Pemilihan Umum v Pemerintah Daerah Provinsi Papua

PMK No. 8/PMK/2006:


Lembaga negara: Lembaga ngara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
(Pasal 1 angka 5)

Kewenangan konstitusional lembaga negara: Kewenangan yang dapat berupa


wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.
(Pasal 1 angka 6)

Sengketa: Perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan


kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.
(Pasal 1 angka 7)

hukum acara MK dalam memutus SKLN


Proses Beracara di MK
- Pengajuan permohonan
- Sidang pendahuluan: memutuskan apakah subjek dan objeknya benar
- Putusan sela
- Sidang pemeriksaan
- Putusan

Legal Standing
- Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
- MK dapat mengeluarkan penetapan sementara dalam bentuk putusan sela untuk
menghentikan pelaksanaan kewenangan yang disengketakan
- MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangana ntara lembaga negara
(Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003)
- Pedoman Beracara SKLN diatur lebih lanjut dalam Peraturan MK No. 08/PMK/2006

Pasal 61 UU MK telah tegas menyatakan bahwa:


(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadpa kewenangan yang dipersengketakan.

12
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi
termohon.

Pihak yang Bersengketa


Pemohon: Lembaga negara yang menganggap bahwa kewenangan konstitusionalnya
telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga
negara yang lain

Termohon: Lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,


menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan pemohon.

Pemeriksaan Pendahuluan
Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-
kurangnya terdiri atas 3 orang hakim atau oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya
terdiri atas 7 orang hakim. (Pasal 11 ayat (1) PMK No. 8 PMK/2006)

subjectum litis
- Prof Jimly: terdapat >28 subjek jabatan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
organ negara dalam arti yang luas.
- Hans Kelsen: organ yang menjalankan fungsi law-creating and law-applying functions
merupakan organ atau lembaga negara.

objectum litis
Dalam perkara yang dipersengketakan, apakah ada aspek kewenangan yang diatur
secara langsung atau setidak-tidaknya secara tidak langsung dalam UUD 1945 dan
apakah kewenangan atau aspek kewenagnannya itu terganggu atau dirugikan oleh
keputusan-keputusan, tindakan atau pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga
negara lain sehingga menyebabkan memperoleh kedudukan hukum yang beralasan
untuk mengajukan permohonan perkara ke MK.

amar putusan MK dalam SKLN


Pilihan amar putusan MK dalam perkara SKLN telah dituangkan pada Pasal 64 UU
Mahkamah Konstitusi:
- Dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 terkait dengan legal
standing pemohon, amar putusan MK akan menyatakan permohonan tidak dapat
diterima.
- Dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.

13
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
- Dalam hal permohonan dikabulkan, MK harus menyatakan dengan tegas bahwa
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
- Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
ditolak.

Penyampaian Salinan Putusan


- MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada pemohon, termohon, dan pihak-
pihak terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan
diucapkan.
(Pasal 30 ayat (1) PMK No. 8/PMK/2006)
- Putusan MK disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden serta lembaga negara
lain apabila dipandang perlu.
(Pasal 63 UU MK dan Pasal 30 ayat (2) PMK No. 8/PMK/2006)

hukum acara pembubaran partai politik

partai politik dan demokrasi


Rakyat sebagai pemegang kedaulatan diberikan:
- kebebasan hati nurani dan pikiran;
- hak menyatakan pendapat; dan,
- hak berserikat.

Hak-hak ini dimanifestasikan dalam bentuk partai politik dengan proses:


- seleksi dan rekruitmen;
- agregasi;
- sosialisasi dan komunikasi; dan,
- pendidikan.

Kedua hal di atas dikumulatifkan menjadi negara dan pemerintahan.

pembatasan hak dan pembubaran partai politik


Kebebasan berserikat dibatasi oleh:
- perlindungan hak lain;
- nilai-nilai agama dan moral;
- ketertiban umum dan keamanan; dan,
- keberlanjutan demokrasi.

Hal-hal tersebut merujuk pada pembubaran parpol untuk melindungi:


- demokrasi;
- konstitusi;
- kedaulatan negara;
- keamanan nasional;

14
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
- ideologi.

Pembubaran partai politik harus melewati putusan pengadilan dan sesuai prinsip due
process of law.

venice commission
• Negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara
bebas dalam partai politik. Hak ini harus meliputi pula kebebasan memiliki
pendapat politik dan menerima serta memberi informasi tanpa campur tangan
otoritas publik dan terlepas dari pembatasan. Persyaratan pendaftaran partai politik
tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak tersebut.
• Jika ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak dasar melalui partai politik
tersebut, harus konsisten dan relevan dengan ketentuan Konvensi Uni Eropa tentang
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya, baik pada
waktu normal maupun darurat.
• Pelarangan atau pembubaran paksa partai politik juga mungkin dibenarkan dalam
kasus partai politik melakukan tindakan menggunakan kekerasan sebagai alat
politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional, yang dengan demikian
meruntuhkan hak dan kebebasan yang dijamin konstitusi. Namun demikian,
kenyataan bahwa suatu partai menganjurkan perubahan konstitusi secara damai
tidak cukup sebagai alasan pelarangan atau pembubarannya.
• Suatu partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai.
• Pelarangan atau pembubaran partai politik sebagai suatu tindakan jangka panjang
tertentu harus digunakan dengan kendali penuh. Sebelum meminta lembaga
yudisial yang berkompeten untuk melarang atau membubarkan partai, pemerintah
atau organ negara harus menilai dengan memperhatikan situasi negara, apakah
partai tersebut benar- benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik
yang demokratis atau hak-hak individu, atau apakah tidak ada tindakan lain yang
kurang radikal untuk mencegah bahaya tersebut.
• Upaya hukum untuk pelarangan atau pembubaran partai politik secara paksa yang
legal harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran
konstitusional yang benar- benar tidak biasa serta diambil berdasarkan prinsip
proporsionalitas. Upaya-upaya tersebut harus berdasarkan bukti yang cukup bahwa
partai itu sendiri dan tidak hanya individu anggotanya yang mengejar tujuan politik
itu dengan menggunakan atau bersiap-siap menggunakan sarana yang tidak
konstitusional.
• Pelarangan atau pembubaran suatu partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin
due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair.

15
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

perbandingan dengan negara lain


Pemohon Pembubaran Partai Politik

Pemerintah Pemerintah dan Pemerintah dan Komisi Setiap Orang


Parlemen Partai Politik Pemilihan
Umum
Kamboja Romania Slovakia Eritrea Slovenia
Azerbaijan Armenia Yemen
Mongolia Georgia
taiwan Jerman
Pakistan
Jordan
Afganistan
Bulgaria
Korea Selatan
Moldova
Polandia
Turki
Thailand
Hungaria

sejarah pembubaran partai politik di indonesia


Orde Lama
No. Peraturan Bentuk Praktik
1. Perpres No. 7 Tahun Penyederhanaan Penolakan pengakuan PSII Abikusno,
1959 melalui proses PRN Bebas, PRI, dan PRN Djody
pengakuan parpol (Keppres No. 136 Tahun 1961)

2. Perpres No. 13 Tahun Pembubaran oleh Pembubaran Masyumi (Keppres No.


1960 presiden dengan 200 Tahun 1960)
memerintahkan
pembubaran diri
parpol
3. Perpres No. 25 tahun Pembubaran PSI (Keppres No. 201
1960 Tahun 1960)

4; Pembekuan Partai Murba (Keppres


No. 21 Tahun 1965)

16
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Orde Baru
No. Peraturan Bentuk Praktik

1. Perpres No. 7 tahun Kebijakan fusi parpol Pembubaran PKI (Keppres No.
1959 1/3/1966, dasar hukum Supersemar,
dikuatkan dengan Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966)
2. Perpres No. 13 Tahun Pembekuan pengurus Pembekuan Partindo (Keppres No.
1960 parpol oleh presiden 57 Tahun 1960)
3. Perpres No. 25 Tahun Fusi partai politik menjadi PPP, PDI,
1960 dan Golkar (Tap MPR No. IV/MPR/
1973 dan UU No. 3 Tahun 1975)
4. UU No. 3 Tahun 1975

5. PP No. 9 Tahun 1975

6. UU No. 3 Tahun 1985

7. PP No. 19 Tahun 1986

Era Reformasi
No. Peraturan Bentuk Praktik

1. UU No. 2 Tahun 1999 Pembubaran oleh Gugatan pembekuan dan/atau


Mahkamah Agung pembubaran Partai Golkar
(Perkara 01.G/WPP/2000 tidak
dapat diterima. Perkara 02.G/WPP/
2001 ditolak.)
2. Pasal 24C ayat (1) UUD Pembekuan Maklumat Presiden 23 Juli 2001,
1945 sementara oleh pembekuan Partai Golkar
pengadilan (dinyatakan bertentangan dengan
hukum berdasarkan fatwa MA No.
KMA 419/7/2001, dinyatakan tidak
sah dan tidak memilik kekuatan
hukum oleh Tap MPR No. I/MPR/
2001)
3. UU No. 31 Tahun 2002 Pembubaran oleh MK

4. UU No. 24 Tahun 2003 Pembekuan


sementara (1 tahun)
oleh pengadilan
5. UU No. 2 Tahun 2008 Pembatalan status
badan hukum oleh
pemerintah
6. UU No. 2 Tahun 2011

17
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

proses persidangan
1. Para pihak
Pemohon: pemerintah, dapat diwakili oleh Jaksa Agung atau Menteri yang
ditunjuk presiden (PMK No. 12 Tahun 2008)
Isi permohonan:
- identitas lengkap pemohon
- uraian jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan parpol yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945
- alat-alat bukti yang mendukung permohonan
Termohon: parpol yang akan dibubarkan
2. Alasan pembubaran
1) UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011
Dengan pembekuan terlebih dahulu:
- melanggar larangan terkait dengan nama, lambang, atau tanda gambar
- melanggar larangan mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha
- melanggar larangan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan
- melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan negara
Tanpa pembekuan:
- menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme
- pengurus parpol menggunakan parpolnya untuk melakukan tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107
huruf c, huruf d, atau huruf e UU No. 27 Tahun 1999
2) Pasal 68 ayat (2) UU MK
- ideologi bertentangan dengan UUD 1945;
- asas bertentangan dengan UUD 1945;
- tujuan bertentangan dengan UUD 1945;
- program bertentangan dengan UUD 1945; dan/atau
- kegiatan bertentangan dengan UUD 1945.
3) Pasal 3 PMK No. 12 Tahun 2008
a) ideologi, asas, tujuan, program parpol bertentangan dengan UUD 1945;
dan/atau
b) kegiatan partai politik atau akibatnya bertentangan dengan UUD 1945.
3. Persidangan
- Harus diputus dalam 60 hari kerja
- Tahapan persidangan
- Pembuktian
4. Amar putusan mengabulkan
a. mengabulkan permohonan pemohon;
b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai
politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada pemerintah untuk:

18
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
1) menghapuskan parpol yang dibubarkan dari daftar paling lambat dalam
jangka waktu 7 hari kerja sejak putusan MK diterima;
2) mengumumkan putusan MK dalam berita negara paling lambat 14 hari
sejak putusan diterima.
5. Akibat hukum pembubaran
Pasal 10 ayat (2) PMK No. 12 Tahun 2008:
• Pelarangan hak hidup parpol dan penggunaan simbol parpol tersebut di seluruh
Indonesia;
• Pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari parpol tsb;
• Pelarangan terhadap mantan pengurus parpol yang dibubarkan untuk
melakukan kegiatan politik;
• Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan parpol yang dibubarkan.

hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum

intro
Perkara PHPU memiliki hukum acara yang berbeda disebabkan tiga hal:
1. Adanya jangka waktu pengajuan permohonan
2. Adanya batas waktu penyelesaian perkara
3. Adanya ambang batas untuk mengajukan selisih permohonan (dalam kasus
pilkada)

Adanya putusan sela seperti:


1. Penghitungan ulang
2. Pemungutan suara ulang

Mengakibatkan putusan MK dalam PHPU berbeda dari jenis putusan MK lainnya.

macam perselisihan pemilu


Macam Perselisihan Pemilu

Pidana Administratif Etik Hasil

Tindak pidana Pelanggaran Sengketa dalam hal Perselisihan hasil


pemilu, diselesaikan administratif, pelanggaran kode pemilu, diselesaikan
dengan mekanisme diselesaikan oleh etik oleh melalui MK
HAPID Bawaslu penyelenggara
pemilu, diselesaikan
oleh DKPP

kewenangan mahkamah konstitusi


1. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 8 Tahun 2011
2. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

19
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
3. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

dasar hukum phpu


Pasal 74 ayat (2) UU MK mengartikan PHPU sebagai perselisihan mengenai penetapan
hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang memengaruhi:
1. Terpilihnya calon anggota DPD;
2. Penentuan paslon yang masuk putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden serta terpilihnya paslon Presiden dan Wakil Presiden;
3. Perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008 merumuskan PHPU anggota DPR, DPD, dan DPRD
sebagai berikut:
1. PHPU adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
2. PHPU secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan
penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta
pemilu.

Pasal 74 ayat (2) UU MK jo. Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008 dan Pasal 201 UU No. 42
Tahun 2008, summarized:
1. PHPU adalah perselisihan antara peserta pemilu (parpol, caleg, paslon Pres/
Wapres) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu;
2. Yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan saura hasil pemilu secara
nasional oleh KPU;
3. Perselishan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional dimaksud
harus memengaruhi perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan, atau
terpilihnya caleg, atau penentuan paslon yang masuk putaran kedua Pemilu
Presiden serta terpilihnya paslon Presiden/Wakil Presiden secara signifikan.

PHPU pada awalnya hanya terkait dengan masalah kuantitatif, tetapi dalam
perkembangannya lahir Putusan No. 062/PHPU-B-II/2004 yang diajukan pada saat
Pilpres 2004.

Dalam putusan tsb, dijelaskan bahwa MK tidak hanya berwenang untuk


menyelesaikan PHPU secara kuantitatif, tetapi juga terhadap penyelenggaraan pemilu
yang melanggar asas-asas konstitusionalitas pemilu sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

MK tidak dapat membiarkan keadilan prosedural mengesampingkan keadilan


substantif. MK tidak ingin ada “pengadilan kalkulator” yang hanya menghitung
kesalahan dalam menjumlahkan bentuk rekap suara tanpa melihat adanya pelanggaran
substansial dalam proses demokrasi.

20
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

phpu
1. Permohonan
DPR — parpol — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
DPD — individu — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
DPRD — parpol — 3x24 jam, termohon KPU, diselesaikan dalam 30 hari kerja
Presiden — paslon — 3x24 jam, termohon KPU, penghitungan tahap 2, diselesaikan
dalam 14 hari kerja
2. Alur Penanganan Perkara
(on the right)

3. Amar Putusan

hukum acara memutus pendapat dalam proses


pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

gagasan impeachment
Konstruksi Hukum

Kedaulatan rakyat
Democratisch Rechstaat ← (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945)
Ciri negara hukum Negara hukum
(J. Stahl) ← (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945)
Pembagian kekuasaan dan Undang-undang dasar
sistem checks & balances ← (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945)
Sistem pemerintahan
republik
Sistem presidensial ← (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (1) UUD 1945)

21
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
Presiden sebagai kepala pemeirntahan menjalankan perintah UUD dan UU, diawasi
dalam mekanisme checks and balances.

Pengawasan terhadap perbuatan presiden dibagi 3:


a. Perbuatan berdasarkan hukum (recht matigheid);
b. Berdasarkan undang-undang (wet matigheid);
c. Berdasarkan jabatan/tugas (doel matigheid).

Istilah “impeachment”
• Black’s Law Dictionary: “a criminal proceeding against a public officer, before a quasi political
court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment.’”
• “Pemakzulan” = sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi
menjatuhkan dakwan terhadap seorang pejabat tinggi negara.
• Jimly Asshiddiqie: Arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan
sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti
berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari
jabatannya.

sejarah impeachment
• Inggris: Pertamakali digunakan di masa Edward III (November 1330) terhadap Roger
Mortimer, Baron of Wigmore VIII dan Earl of March I.
Penyidik-penuntutnya House of Commons dan House of Lords yang mengadili.
• Amerika Serikat: Diatur dalam UUD yang menyatakan House of Representatives
memiliki kekuasaan untuk melakukan impeachment sedangkan Senate mempunyai
kekuasaan untuk mengadili semua tuntutan impeachment.
• Impeachment merupakan instrumen untuk emncegah dan menanggulangi terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya. Di AS, ditakutkan pemegang
kekuasaan menjadi korup dan berusaha untuk terus berkuasa selama mungkin. Jadi
di AS dibuat konstitusi yang didasarkan checks and balances untuk meminimalisir
penyalahgunaan kekuasaan.
Impeachment ada untuk menegur perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan
pelanggaran terhadap kepercayaan publik dari pejabat publik.
• Impeachment applies for both President and Vice President dan seluruh pejabat sipil di AS.

impeachment di indonesia
UUD 1945 Sebelum Amandemen
• UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada aturan detail tentang mekanisme
pemberhentian presiden, baik alasan ataupun prosedur pemberhentian.
• The only rule there is regarding impeachment di UUD 1945 sebelum amandemen:
Pasal 8: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.”
• Kemudian dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII alinea ketiga:
“Jika dewan menganggap bahwa Preisden sungguh melanggar haluan negara yang telah

22
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka MPR dapat diundang untuk persidangan istimewa
agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden.”
• Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden
diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/1975 dan Tap MPR No. III/MPR/1978:
- Apabila DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan
negara maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.
- Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum
tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum kedua.
- Apabila dalam waktu satu bulan memorandum kedua ini tidak diindahkan
Presiden, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa
untuk meminta pertanggungan jawab Presiden.

UUD 1945 Setelah Amandemen


• Pasal 7A: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
• Pasal 7B (panjang, cek UUD aja)

Penjelasan tentang Dasar Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden menurut Pasal 10


UU MK
• Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
• Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana
diatur dalam undang-undang
• Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara >5 tahun.
• Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden
• Tidak algi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil PResiden adalah
syarat sebagaimana ditentukan Pasal 6 UUD 1945.

Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela (UU Pemilu)


→ Tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama,
norma susila, dan norma adat, seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina.

Sejarah Impeachment di Indonesia


1. Presiden Soekarno
Diberhentikan MPRS tahun 1967 setelah adanya memorandum DPR-GR yang
menuduh Presiden Soekarno terlibat dalam Gerakan 30S
2. Presiden Soeharto
Berhenti di tengah masa jabatan ke-7 dengan mengundurkan diri karena tekanan
dari demonstrasi mahasiswa
3. Presiden B. J. Habibie
Berhenti dari jabatannya karena pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR
23
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
4. Presiden Abdurrahman Wahid
Berhenti di tengah masa jawabatannya karena diberhentikan oleh MPR dalam SI-
MPR tahun 2001 karena dianggap melanggar UUD dan GBHN

hukum acara impeachment


Skema Proses Impeachment

Dasar Hukum
• Pasal 7A dan 7B UUD 1945
• UU MK dan UU MD3
• PMK No. 21 Tahun 2009

Para Pihak
• Pemohon: DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR, dapat menunjuk kuasa hukum
• Termohon: Presiden dan/atau Wakil Presiden, dapat didampingi/diwakili kuasa
hukum

Permohonan
• Dalam bahasa Indonesia
• 12 rangkap
• DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan yang menjadi dasar gugatan
impeachment.

Alat Bukti
• Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapat
DPR oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam
Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPR.
• Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung
dengan materi permohonan.
• Risalah dan/atau berita acara rapat DPR.

24
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

• Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden yang menjadi dasat pendapat DPR.

Persidangan
1. Sidang pemeriksaan pendahuluan
2. Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
3. Pembuktian oleh DPR
4. Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
5. Kesimpulan
6. Pengucapan Putusan
(Kalau Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri, maka permohonan
gugur)

Amar Putusan
• Tidak dapat diterima
• Membenarkan putusan DPR
• Ditolak

harus dicermati
1. Apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang
terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun
satu hukum acara tersendiri?
2. Apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus
untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh
MK?
3. Bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai
pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden?
4. Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A
dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas bisa
dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur
dan terbingkai oleh norma-norma yuridis?
5. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan
tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden
dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar
asas ne bis in idem dalam hukum pidana?

25
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)
6. Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wakil
Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality
before the law)?
7. Mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi
syarat tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip
supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam hukum tata negara?

26

Anda mungkin juga menyukai