Anda di halaman 1dari 23

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN


Istilah yang dikenal:

Hak Uji (Toetsingsrecht), Judicial Review, Constitutional Review.

1.HAK MENGUJI (Toetsingsrecht)


Menurut Sri Soemantri M. (1986) terdapat dua macam hak menguji:
- Hak Menguji Secara Formil (Formele Toetsingsrecht): Wewenang
untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-
undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau tidak.
- Hak Menguji Secara Materiil (Materiele Toetsingsrecht): Suatu
Wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu
peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya atau apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan peraturan
tertentu.
2. JUDICIAL REVIEW :

- BLACK’S LAW: JUDICIAL REVIEW IS THE POWER OF COURTS TO REVIEW DECISIONS OF ANOTHER
DEPARTMENT OR LEVEL OF GOVERNMENT, especially the court’s power to invalidate legislative and
executive actions as being unconstitutional.

- ERRICK BARENT: JUDICIAL REVIEW IS A FEATURE OF A MOST MODERN LIBERAL CONSTITUTION. IT


REFERS TO THE POWER OF THE COURTS TO CONTROL THE COMPATIBILITY OF LEGISLATION AND
EXECUTIVE ACTS OF THE TERM OF THE CONSTITUTIONS

- JOHN ALDER (2005): JUDICIAL REVIEW, SOMETIMES CALLED THE SUPERVISORY JURISDICTION, IS
THE HIGH COURT’S POWER TO POLICE THE LEGALITY OF DECISIONS MADE BY PUBLIC BODIES.
….THEY ENSURE THAT ADMINISTRATIVE DECISIONS WILL BE TAKEN RATIONALLY IN ACCORDANCE
WITH A FAIR PROCEDURE AND WITHIN THE POWERS CONFERRED BY PARLIAMENT

Judicial Review umumnya diterapkan pada negara yang menganut Common Law System.
3.Constitutional Review
constitutional review adalah pengujian apakah
secara formil dan materiil suatu peraturan
perundang-undnagan bertentangan dengan
konstitusi ataukah tidak;
jadi konstitusi sebagai satu-satunya alat ukur.
Bila undang-undang diuji terhadap UUD, maka
disebut sebagai pengujian konstitusionalitas
undang-undang (constitutionality of
legislation).
• Norma dan Status Peraturan Perundang-Undangan
- Dalam hal norma yang diuji, bila normanya bersifat umum dan
abstrak berarti sifat dari norma ini adalah regeling dan hal ini
termasuk lingkup pengujian dalam konteks hukum tata negara.
Tetapi bila norma hukum yang diuji itu bersifat konkrit dan
individual, maka pengujian semacam itu masuk dalam ruang lingkup
peradilan administrasi (peradilan tata usaha negara). --- pandangan
ini terutama berkaitan dengan pembedaan antara peradilan umum
dan administrasi, terutama pada negara civil law system.

-Dari segi status objek peraturan perundang-undangan yang diuji,


bila pengujian dilakukan sebelum suatu peraturan tersebut
diundangkan (a priori), pengujiannya disebut “judicial preview”.
Sebaliknya apabila pengujian dilakukan terhadap suatu peraturan
perundang-undangan yang telah berlaku atau diundangkan
(posteriori), pengujian ini disebut “judicial review”.

- Contoh Judicial Preview diterapkan di Perancis, sebagaimana


ketentuan pasal 61 Konstitusi Prancis 1958. Conseil Constitutioneel
mempunyai wewenang untuk mereview suatu RUU, sebelum
menjadi UU.
Aspek Hak Menguji Judicial Review
Wewenang Tidak selalu Oleh Hakim/ Badan
Pengujian hakim/ badan Peradilan (toetsingsrecht
peradilan van de rechter)
Objek Peraturan Peraturan Per-UU-an dan
Perundang- Keputusan Administrasi
Undangan (KTUN)

Trigger Tidak hrs ada Gugatan/ Permohonan/


gugatan/permoho keberatan --- perkara
nan/keberatan
Sifat badan Aktif dan Pasif Pasif (harus ada trigger)
penguji
Kesimpulan

• Hak menguji (toetsingsrecht) adalah kewenangan untuk menilai peraturan


perundang-undangan.
• Hak menguji tidak hanya dimiliki oleh hakim, tetapi juga oleh lembaga negara
lain (lembaga legislatif (legislative review) dan eksekutif (executive review)
yang diberi kewenangan tersebut bedasarkan peraturan perundang-undangan.
- Cari contoh legislative review dan executive review!
• Institusi yang memilili wewenang pengujian tidak harus menguji berdasarkan
gugatan/ permohonan/keberatan, tetapi bisa secara aktif atas kehendak
sendiri.
• Judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus
konkrit di pengadilan.
• Judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah
legislative acts, executive acts, dan administrative action bertentangan tidak
dengan uud (constitution) . jadi judicial review tidak hanya menilai peraturan
perundang-undangan.
• Pengujian berdasarkan adanya gugatan/ permohonan/ keberatan. Hakim pasif
dalam arti tidak boleh menguji atas kehendaknya sendiri.
Diskusi 1
APA ALASAN PERLUNYA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG
3 Alasan Utama

1. Prinsip Konstitusionalisme
2. Demokrasi pada dirinya sendiri harus
memproteksi dari tirani mayoritas
3. Prinsip Supremasi Konstitusi
Diskusi 2
SIAPA (LEMBAGA) YANG SEHARUSNYA
MELAKUKAN PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG
Sejarah Perdebatan
• FTNI/Polri, Fraksi Bulan Bintang, Fraksi Golkar dan Fraksi
PKB menyatakan perlunya judicial review atas undang-
undang diberikan kewenanganya kepada MA sedangkan ahli
yang dimintai pendapat oleh MPR, yakni Dahlan Ranuwijaya
berpendapat kewenangan ini diberikan kepada MPR. Fraksi
PDI-P, selain pada awalnya sepakat dengan pemberian
kewenangan ini kepada MA, kemudian pada akhirnya
menguusulkan badan peradilan khusus, yakni Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap undang-
undang.
(Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil
Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuan
1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2010, h. 32 - 448 )
Saat UUD 1945 dirancang
• Anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin menyampaikan
pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi
kewenangan untuk membanding Undang-Undang, yakni
apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar, atau
bertentangan dengan hukum adat yang diakui ataukah tidak
bertentangan dengan syariah agama Islam.

• Gagasan tersebut ditolak oleh anggota BPUPKI, Prof.


Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, secara konseptual
UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian
menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika.
Kedua, secara faktual dianggap saat itu jumlah sarjana hukum
belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal
ini . (Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, Yayasan Propanca, Jakarta, h. 332-344.)
Munculnya pengujian peraturan
perundang-undangan
• UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 26 mengatur pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang
diberikan kekuasaanya kepada MA. Dalam penjelasan pasal
tersebut dinyatakan:
“Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hak menguji
Undang-undang dan peraturan pelaksanaan Undang-
undang terhadap Undang-undang Dasar sebagai fungsi pokok
tidak terdapat pada Mahkamah Agung. Oleh karena Undang-
undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan
sendirinya hak menguji Undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat
diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji
tersebut apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung
seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil”
Pengujian Peraturan Per-UU-an Dalam
UUD NRI Tahun 1945
• Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”
Pengujian Peraturan Per-UU-an Dalam
UUD NRI Tahun 1945
• Pasal 24A UUD NRI Tahun 1945 :

“ Mahkamah Agung berwenang mengadili pada


tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang”
Dua Model Pengujian UU
1. Supreme Court/ American Model (Marbury V.
Madison), Ciri :
- Concrete Review
- Posteriori
- Decentralized (any court)

2. Kelsenian Model/European Model/ Constitutional


Court Model,Ciri :
- Abstract Review
- Posteriori
- Centralized
Hakikat Kelembagaan MK
Gagasan Hans Kelsen tentang MK dengan
kewenangan eksklusif, dan centralized - yang
kemudian diatur dalam Konstitusi Austria
Tahun 1920, Pasal 137-148.
Pengujian undang-undang oleh badan peradilan
khusus ini oleh Hans Kelsen dikatakan sebagai
“… negative act of legislation”
MK di Indonesia dan Uji
Konstitusionalitas Sebagai Kewenanga

• Konsekuensi dari perubahan konsep kedaulatan


• Desain atas kedudukan kelembagaan negara
pasca perubahan konsep kedaulatan
• Peneguhan Check and Balances dalam relasi
pembentuk undang-undang dan badan
peradilan (MK)
MACAM HAK MENGUJI:
1. Formil
- Lihat pengertian menurut Sri Soemantri M. (1986)
- Maruarar Siahaan (2006): Pengujian atas dasar
kewenangan dalam pembentukan undang-undang
prosedur yang harus ditempuh dari tahap
drafting sampai dengan pengumuman dalam
Lembaran Negara yang harus menuruti
ketentuan yang berlaku untuk itu.
- Peraturan MK No. 06/PMK/2005: Pengujian
undang-undang berkenaan dengan bentuk dan
pembentukan UU yang meliputi pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan pemberlakuan --- lihat
pula UU No. 23 Tahun 2004, Pasal 51 ayat (3)
2. Materiil
- Lihat pengertian menurut Sri Soemantri
- Peraturan MK No. 06/PMK/2005:
pengujian UU yang berkenaan dengan
dengan materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/ atau bagian UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 --- lihat
pula UU No. 23 Tahun 2004, Pasal 51 ayat
(3)
Pengujian UU Oleh MK
(UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011)
1. Pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final
2. Pemohon : Pasal 50 adalah ; a). perorangan
warga negara Indonesia; b). kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang; c). badan hukum publik atau privat;
atau d). lembaga negara.
Putusan Pengujian UU
• Pasal 56
(1)Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2)Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3)Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(4)Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(5)Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik
mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan,
amar putusan menyatakan permohonan ditolak
lanjutan
• Pasal 57

(1)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya


menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, undangundang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Anda mungkin juga menyukai