Anda di halaman 1dari 22

HUKUM ACARA PERDATA

DOSEN PEMBIMBING: MISNAR SYAM, S.H., M.H.

OLEH KELOMPOK 11

1. ADE JULIANY PASARIBU (2110113119)


2. MUTHIA DIANITA SEILINA (2110113027)
3. VALDA DESVIANI JET (2110113112)

UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2021
Kata Pengantar

Dengan mengucapkan puji dan syukur yang kita panjatkan atas kehadirat
ALLAH SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dari kelompok 11 dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Acara
Perdata” tepat pada waktunya.

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai tugas pada mata kuliah
Pengantar Hukum Indonesia. Tugas ini juga bertujuan sebagai bahan pembelajaran,
pengenalan materi serta guna menambah wawasan mengenai Hukum Acara Perdata
bagi para pembaca dan penulis sendiri. 

Dalam makalah ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Misnar Syam, S.H., M.H. selaku dosen mata kuliah Pengantar
Hukum Indonesia yang telah memberikan arahan, pemahaman, pengetahuan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami juga berterima kasih kepada pihak-
pihak terkait yang telah memberikan referensi dalam penyusunan materi pada
makalah ini.

Kami berharap dengan kehadiran makalah ini dapat membantu pembaca


memahami dan mempelajari mengenai Hukum Acara Perdata. Karena keterbatasan
pengetahuan yang kami miliki, kami menyadari masih banyak kekurangan dari
makalah ini. Oleh karena itu, kami tetap mengharapkan kritik dan saran yang sehat
dalam membangun dan menyempurnakan makalah ini.

Padang, Desember 2021

Penulis
Daftar Isi

BAB I.......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................................6
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Perdata................................................6
B. Asas Hukum Acara Perdata..........................................................................................7
C. Sumber Hukum Acara Perdata.....................................................................................9
D. Sifat Hukum Acara Perdata........................................................................................12
E. Pihak-Pihak Dalam Perkara Perdata...........................................................................12
F. Proses Beracara di Pengadilan....................................................................................13
G. Upaya Hukum............................................................................................................16
BAB III..................................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................................20
A. Kesimpulan................................................................................................................20
B. Saran..........................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Timbulnya hukum karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur
hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum Perdata
(Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan
kepada kepentingan perseorangan. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban
dalam hidup bermasyarakat disebut “hukum perdata material”. Sedangkan, hukum
perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal lazim disebut
hukum acara perdata.

Eksistensi hukum acara perdata sebagai hukum formil, mempunyai


kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum perdata (materiel)
di. lembaga peradilan. Sebagai hukum formil, hukumn acara perdata berfungsi untuk
menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum perdata (materiel)
di dalam praktek pengadilan. Oleh karena itu, hukum perdata eksistensinya terkait
erat dengan hukum acara perdata, bahkan keduanya merupakan pasangan satu sama
lain yang tidak dapat dipisahkan.
Hukum perdata tidak mungkin dapat berdiri sendiri lepas dari hukum acara
pardata, sebaliknya hukum acara perdata juga tidak mungkin berdiri sendiri tanpa
adanya hukum perdata. Menurut Sjahran Basah, hukum acara merupakan salah satu
unsur dari peradilan, demikian pula dengan hukum materlelnya, Peradilan tanpa
hukum material akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan djelmakan, sebaliknya
peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas
dalam melakukan wewenangnya.
Beberapa alasan yang dikemukan mengenai pentingnya pengaturan Hukum
Acara Perdata antara lain: pertama, menjamin kepastian hukum di mana setiap orang
berhak mempertahankan hak perdatanya sebaik-baiknya dan setiap orang yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian pada
orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Kedua, hukum acara perdata berfungsi
untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum
materiil dalam praktik melalui perantaraan peradilan.
Dengan adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa ada kepastian
hukum bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-
baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum perdata
yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.
Dengan hukum acara perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum
dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata?
2. Apa saja yang menjadi asas-asas dan sumber dari Hukum Acara Perdata?
3. Apa saja tujuan dan fungsi Hukum Acara Perdata?
4. Bagaimana proses beracara di pengadilan?
5. Siapa saja pihak-pihak yang ikut dalam proses Hukum Acara Perdata?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi serta ruang lingkup dari Hukum Acara Perdata.
2. Untuk mengetahui tentang asas-asas dan sumber Hukum Acara Perdata.
3. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi Hukum Acara Perdata.
4. Untuk mengetahui Proses beracara di pengadilan.
5. Untuk mengetahui pihak-pihak yang ikut dalam proses Hukum Acara
Perdata.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Perdata


Beberapa ahli memberikan definisi hukum acara perdata, diantaranya sebagai
berikut:

1. Wirjono Prodjodikoro: Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan-


peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di pengadilan
dan bagaimana pengadilan itu bertindak.

2. C. S. T. Kansil: Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan-peraturan


hokum tentang cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata
materiil.

3. Abdulkadir Muhammad: Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang


berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata.

4. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H: Hukum acara perdata adalah peraturan
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiel dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang menentukan  bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum
perdata materiel. Hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan
daripada putusanya.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum acara


perdata adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara-cara
mempertahankan hukum perdata materiil di persidangan. Hukum acara perdata juga
disebut dengan hukum acara formal.
Adapun tujuan hukum acara perdata ialah untuk melindungi atau
memulihkan hak-hak seseorang melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata
hakim akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah setelah dilakukannya
pemeriksaan dan pembuktian yang sah.

Sedangkan fungsi hukum acara perdata adalah untuk mengatur bagaimana


caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya, bagaiamana negara melalui alat
perlengkapannya (hakim) memeriksan dan memutuskan kasus perdata yang diajukan
kepadanya.

B. Asas Hukum Acara Perdata


1. Asas Hakim Bersifat Menunggu
Hakim hanya menunggu datangnya perkara atau gugatan dari pihak yang
dirugikan dan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini telah
dijelaskan dalam Pasal 10 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas Hakim Bersifat Pasif


Maksudnya ialah ruang lingkup perkara yang diajukan kepada hakim
ditentukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, bukan hakim. Hakim hanya
membantu mencari keadilan dan mengatasi segala hambatan. Hal ini disebutkan
dalam Pasal 15 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Asas Persidangan Bersifat Terbuka


Pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum maksudnya ialah setiap orang
boleh mendengarkan, menyaksikan, dan mengikuti jalannya persidangan asalkan
tidak mengganggu dan tetap menjaga ketertitaban. Hal ini terdapat dalam Pasal 13
ayat (1) UU No 8 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai
keterangan benar sebelum mendengar pendapat pihak lainnya

5. Asas Putusan Harus Disertai Alasan


Putusan hakim harus memuat dasar hukum didalamnya yang dapat dijadikan
pertanggungjawaban hakim atas putusannya.

6. Asas Beracara Dikenakan Biaya


Setiap orang yang mengajukan perkara di pengadilan dikenakan biaya yang
rinciannya telah diperkiran oleh pengadilan. Hal ini terdapat dalam Pasal 121 ayat (4)
HIR/145 R.Bg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, dapat mengajukan
perkaranya secara cuma-cuma (prodeo) dengan mengajukan surat keterangan tidak
mampu ke polisi.

7. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan


Tidak diwajibkan para pihak untuk mewakilkan diri pada orang lain, sehingga
pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
berkepentingan. Terdapat pada Pasal 123 HIR/147 R.Bg.

8. Asas Prinsip Persidangan Harus Majelis


Dalam Pasal 11 UU No 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-
kurang nya 3 hakim, kecuali UU menentukan lain. Hal ini bermaksud agar dalam
pemeriksaan perkara dalam melahirkan objektivitas yang sebenarnya sehingga
perlindungan hak asasi dapat terlaksana dengan baik.

9. Asas Prinsip Hakim Aktif Memberi Bantuan


Hakim berperan aktif memimpin dari awal sampai akhir pemeriksaan. Hakim
juga berwenang memberi petunjuk agar perkara tersebut jelas pada kedua pihak
sehingga hakim mudah dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara
tersebut. hal ini terdapat dalam Pasal 119 HIR dan Pasal 143 R.Bg.

10. Asas Peradilan Dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME


Dalam membuat suatu keputusan, hakim harus adil, bertanggung jawab
kepada diri sendiri dan Tuhan YME. Hal ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU No 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Sumber Hukum Acara Perdata


Sumber hukum acara perdata adalah tempat dimana ditemukan peraturan
hukum acara perdata yang berlaku di negera Indonesia, diantaranya yaitu:
1. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan
madura. Hukum acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115 - 245 yang
termuat dalam BAB IX, serta beberapa Pasal yang tersebar antara lain Pasal 372 -
394. Pasal 115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi sehubungan dihapusnya
pengadilan kabupaten oleh UU No. 1 Darurat (Drt) Tahun 1951, dan peraturan
mengenai banding dalam Pasal 188 - 194 HIR juga tidak berlaku lagi dengan adanya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Ulangan dijawa dan
Madura.

2. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (RBg)


Reglement Op De Burgelijke Rechtsvordering (Rv) adalah hukum perdata
Eropa yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan
Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian dan bentuklah HIR.
Kemudian setelah beberapa lama terjadi ketidaksesuaian dengan daerah Luar Jawa
dan Madura, maka dibentuklah RBg. RBg adalah hukum acara perdata yang berlaku
untuk daerah-daerah luar pulau jawa dan madura. RBg terdiri dari lima Bab dan Bab
Tujuh ratus dua puluh tiga pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya.
Dan hukum acara pidananya tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951.

3. Burgelijk Wetboek (BW)


Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum
acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UU
Darurat tersebut. Yang dimaksud oleh UU Nomor 1 Tahun 1951 tersebut adalah HIR
untuk daerah jawa dan madura dan RBg untuk luar jawa dan madura. BW (Kitab
Undang-Undang hukum Perdata) meskipun sebagai kodifikasi hukum perdata
materiil, namun juga memuat hukum acara perdata, terutama dalam Buku IV tentang
pembuktian dan Kedaluwarsa (Pasal 1865 - 1993).

4. Wetboek Van Koophandel (WvK)


Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Dagang), meskipun juga
sebagai kodifikasi hukum perdata materiel, namun di dalamnya ada beberapa pasal
yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata. Misalnya seperti Pasal
7,8,9,22,23,32,255,258,272,273,274 dan 275.

5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah UU tentang Kepailitan dan
penundaan Kewajiban pembayaran utang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum
acara perdata khusus untuk kasus kepailitan.

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang
berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Januari 2004.
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memuat
ketentuan - ketentuan hukum acara perdata khusus untuk memeriksa, mengadili dan
memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan,
pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam
Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985, yang kemudian
mengalami perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
kemudian diubah lagi dengan Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, tetapi hukum acara perdata yang ada di dalam pasal tersebut tidak mengalami
perubahan.

9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, berlaku
sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Ketentuan dalam UU tersebut mengatur
mengenai kedudukan, susunan dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.

10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat berlaku sejak
tanggal 5 April 2003.
D. Sifat Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata bersifat memaksa dan mengatur. Sifat memaksa artinya
mengikat para pihak dengan ketentuan yang ada. Artinya, bahwa apabila terjadi suatu
proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar
melainkan harus ditaati oleh para pihak, kalau tidak ditaati oleh para pihak (kalau
tidak ditaati berakibat merugikan bagi para pihak yang berperkara). Sifat memaksa
tersebut tidak dalam konteks hukum publik karena hukum acara perdata termasuk
hukum privat, tetapi sifat memaksa dalam konteks memaksa kepada para pihak
apabila telah masuk pada suatu proses acara perdatanya di pengadilannya. Sedangkan
sifat mengatur adalah aturan yang mengatur para pihak terhadap kepentingan khusus.
Misalnya, jika ada “perjanjian pembuktian” terhadap alat bukti maka alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR dapat dikesampingkan. Sifat hukum acara
perdata adalah melaksanakan hukuman terhadap para pelanggar hak pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam hukum materil
agar dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan.

E. Pihak-Pihak Dalam Perkara Perdata


Pihak-pihak dalam proses hukum acara perdata sekurang-kurangnya terdiri
dari 2, yaitu penggugat dan tergugat. Pada umumnya, baik penggugat maupun
tergugat dapat bertindak secara langsung maupun tidak langsung dalam peradilan.
Akan tetapi, bagi pihak yang tidak mampu bertindak sendiri dapat diwakili oleh
kuasanya. Seorang kuasa untuk penggugat maupun tergugat haruslah memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:

 Dalam Pasal 123 (1) HIR atau Pasal 147 (1) R.Bg. disebutkan bahwa kuasa
harus mempunyai surat kuasa khusus dan ditunjuk sebagai kuasa atau wakil
badan persidangan.
 Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei
1965 dan Keputusan Menteri Kehakiman No.J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober
tentang pokrol.
 Telah terdaftar sebagai advokat.
M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa yang bertindak sebagai penggugat
harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut
hukum. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat mengakibatkan gugatan
mengandung cacat formil. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan
bertindak sebagai penggugat inilah yang dikatakan sebagai error in persona.
Sedangkan menurut Reglement op de Rechtvordering (RV sebagai hukum acara
perdata yang berlaku untuk golongan Eropa dulu), seorang penerima kuasa itu harus
seorang sarjana hukum (meester in de rechten). Tetapi dalam HIR/RBg tidak diatur
tentang syarat itu. Jadi setiap orang dapat menjadi penerima kuasa apakah dia Sarjana
Hukum ataupun bukan.

F. Proses Beracara di Pengadilan


Proses persidangan perdata pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri terdiri dari beberapa tahap, yakni sebagai berikut:

1. Tahap Mediasi
Mediasi diatur secara umum dalam Pasal 130 HIR dan secara lengkap diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di pengadilan. Kesempatan mediasi diberikan oleh Majelis
Hakim selama 40 hari, dan jika kurang diperpanjang 14 hari. Namun, jika pada waktu
yang telah ditentukan tidak tercapai perdamaian, maka proses mediasi dinyatakan
gagal. Pada kesempatan tersebut para pihak akan mengajukan apa yang menjadi
tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik temu dalam penyelesaian
sengketa. Apabila dalam proses ini telah tercapai kesepakatan, maka dapat
dituangkan dalam suatu akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan
diketahui oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak
yang berperkara dalam perundingan untuk mencari penyelesaian secara mufakat.
Mediator dapat berupa seorang hakim pengadilan (yang bukan memeriksa perkara)
dan juga seorang dari pihak lain yang sudah memiliki sertifikat sebagai mediator.
Dari akta kesepakatan tersebut disampaikan kepada Majelis Hakim untuk
mendapatkan putusan perdamaian.

2. Tahap Pembacaan Gugatan


Apabila pernyataan mediasi gagal, maka akan dilanjut ke ke tahap ke-2 yaitu
pembacaan gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada penggugat untuk
membacakan surat gugatannya, memperbaiki surat gugatan apabila terdapat
kesalahan, dan bahkan mencabut gugatannya. Kesempatan tersebut diberikan
sebelum tergugat mengajukan jawabannya. Selanjutnya kesempatan kedua diberikan
kepada tergugat atau kuasanya untuk membacakan jawaban. Jawaban yang dibacakan
dapat berisikan bantahan terhadap dalil-dalil gugatan, bantahan dalam eksepsi dan
dalam pokok perkara, serta dalam rekonpensi (apabila tergugat ingin menggugat balik
penggugat dalam perkara tersebut).
Acara jawab menjawab ini akan berlanjut sampai dengan replik dari pihak
penggugat dan duplik dari pihak tergugat. Replik merupakan penegasan dari dalil-
dalil penggugat setelah adanya jawaban dari tergugat. Sedangkan duplik merupakan
penegasan dari bantahan atau jawaban tergugat setelah adanya replik dari penggugat. 

3. Tahap Pembuktian
Tahap ini cukup penting dalam proses pemeriksaan perkara, karena pada
tahap ini akan menentukan apakah dalil pada pihak penggugat dan bantahan dari
pihah tergugat akan terbukti. Untuk membuktikan suatu peristiwa dalam hukum acara
perdata ditentukan melalui alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak di
persidangan, yaitu disebutkan dalam Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg terdiri dari
surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari pembuktian itu nantinya
Majelis Hakim akan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara
tersebut dan menentukan hukuman apa yang akan diberikan.
4. Tahap Kesimpulan
Pengajuan kesimpulan oleh para pihak setelah selesai pembuktian tidak diatur
dalam HIR maupun dalam Rbg, namun terdapat dalam praktek persidangan. Sehingga
jika tidak ada kesimpulan, juga tidak masalah. Sebenarnya, pelaksanaan pengajuan
kesimpulan diperlukan oleh pihak kuasa hukum, karena melalui kesimpulan inilah
seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil gugatan atau jawabannya melalui
pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Dimana kuasa penggugat
memohon kepada Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa tergugat
memohon kepada Majes Hakim agar gugatan penggugat ditolak. Bagi majelis hakim
sendiri, kesimpulan diperlukan dalam merumuskan pertimbangan hukumannya dan
menilai apakah analisis kesimpulan tersebut cukup rasional atau tidak.

5. Tahap Putusan
Merupakan tahapan terakhir dalam proses hukum acara perdata. Menurut
Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yakni:
 Kepala putusan
 Identitas para pihak
 Pertimbangan
 Amar
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas putusan
yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” guna
memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan. Selain kepala putusan pada halaman
pertama juga dicantumkan Identitas para pihak, yaitu tergugat dan penggugat secara
lengkap.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan yang
terbagi menjadi dua yaitu, pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan
tentang hukumnya. Didalam pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi
surat gugatan penggugat, isi surat jawaban tergugat yang ditulis secara lengkap, serta
alat-alat bukti yang diperiksa di persidangan, baik itu alat bukti dari tergugat maupun
penggugat. Termasuk juga jika terdapat saksi yang diperiksa.
Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata merupakan pekerjaan
seorang hakim, karena melalui pertimbanga ini hakim akan menerapkan hukum
kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Bila yang benar
menurut pertimbangan hukum adalah dalil penggugat, maka gugatan akan
dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya jika
pertimbangan hukum putusan dalil-dalil gugatan penggugat tidak terbukti, dan justru
dalil Jawaban tergugat yang terbukti, maka gugatan akan ditolak dan tergugat yang
menang dalam perkara tersebut.

G. Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum untuk melawan putusan hakim yang dianggap tidak
sesuai dengan yang diinginkan. Upaya hukum terbagi menjadi 2, yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa.

1. Upaya Hukum Biasa


 Verzet (Perlawanan)
Verzet merupakan upaya huku terhadap putusan yang dijatuhkan diluar
hadirnya tergugat, dan diatur dalam Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 HIR, atau Pasal 149
ayat (3), dan Pasal 153 R.Bg. Verzet dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah
putusan disampaikan kepada tergugat. Syarat verzet yang diatur dalam Pasal 129 ayat
(1) HIR adalah:
 Keluarnya putusan verstek
 Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan tidak boleh lewat dari 14
hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari
 Verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di
wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya
 Banding
Upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap
putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang
Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947
mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
 Ada pernyataan yang ingin dibanding
 Penitera membuat akta banding
 Dicatat dalam register induk perkara
 Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama
14 hari setelah pernyataan banding tersebut dibuat
 Pembanding dapat membuat memori banding dan terbanding dapat
mengajukan kontra memori banding

 Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung. Jadi kasasi adalah
pmbatalan putusan atas penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan
peradilan dalam tingkat peradilan tingkat terakhir. Upaya hukum kasasi dilaksanaka
oleh Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yang berwenang dan bertugas untuk
memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan yang sudah
tidak dapat lagi dimintakan pemeriksaan ulangan ke pengadilan yang lebih tinggi atau
tingkat banding.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alas an
yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam Pasal 30 UU
No. 14/1985 jo. UU No. 5/2004 adalah:
 Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk
melampaui batas wewenang
 salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku
 Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya
putusan yang bersangkutan

2. Upaya Hukum Luar Biasa


 Derden Verzet (Bantahan Pihak Ketiga)
Derden verzet merupakan bantahan atau perlawanan pihak ketiga terhadap
subjek pihak-pihak yang terdapat dalam suatu perkara yang telah diputus yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila pihak ketiga merasa dirugikan oleh suatu
putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada hakim yang menjatuhkan
putusan tersebut pada tingkat pertama. Dasar hukumnya adalah Pasal 378 - 384 Rv
dan Pasal 195 ayat (6) HIR.

 Peninjauan Kembali
Istilah peninjauan kembali telah diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila terdapat hal-hal yang
ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung dalam perkara perdata oleh pihak-pihak yang berkempentingan. Alasan-alasan
peninjauan kembali menurut pasal 67 UU No 14/1985 jo. UU No. 5/2004, yaitu:
 Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus
yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
yang dinyatakan palsu
 Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan
 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada
yang dituntut
 Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya
 Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu
kekeliruan yang nyata
 Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan
hukum tetap
 Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana


caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Lebih konkret lagi, dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan
pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah
tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri.
Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang menjamin berjalannya
hukum perdata materiil. Adapun dalam beracara perdata, terdapat asas-asas yang
berfungsi sebagai pedoman untuk membantu seluruh kegiatan dan pelaksanaan acara
perdata dalam persidangan. Asas-asas tersebut juga dapat membantu memberikan
perlindungan hukum, transparansi dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara
maupun masyarakat. Dalam hukum acara perdata juga terdapat tujuan, fungsi, sumber
hukum, proses beracara, serta pihak-pihak yang terkait.
B. Saran
Sampailah kita pada akhir makalah ini. Dari materi mengenai Hukum Acara
Perdata ini diharapkan penulis maupun pembaca dapat mengambil ilmu yang
sebelumya tidak diketahui. Penulis menyadari bahwa makalah yang dipaparkan masih
jauh dari kata sempurna baik dalam penulisan ataupun isi materi. Apabila terdapat
kekurangan dalam makalah in, kami mohon kritik dan sarannya sehingga dapat
menjadi pembelajaran kedepannnya bagi penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Ishaq. 2020. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Depok: PT RajaGrafindo Persada

Yulia. 2018. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal Press

https://www.hukum96.com/2020/06/pengertiansumber-dan-asas-asas-hukum.html

https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-perdata

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2296/Upaya-Hukum-dalam-Hukum-
Acara-Perdata.html

Anda mungkin juga menyukai