Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK

KTP elektronik (e-KTP) (Studi Putusan No. 130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST

Disusun Oleh :

1. M. Agung Prasetio (0220056841)


2. M. Riza Izzul Khaq (0220057081)
3. Ade Rizky Ramadhani (0220056981)

FH V D / PAGI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEKALONGAN

TAHUN 2022

i
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis dasar
pertimbangan hakim dalam menentukan kesalahan dan menentukan berat ringannya pidana
terhadap terdakwa korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) (Studi Putusan No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST ). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Jenis
dan sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh dengan
melakukan studi dokumen. Analisis bahan hukum dilakukan dengan interprestasi atau penafsiran.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menentukan kesalahan
terdakwa dengan membuktikan unsur-unsur pasal yang terdapat dalam dakwaan alternatif.
Pertimbangan majelis hakim dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap terdakwa dengan
memperhatikan baik pertimbangan yuridis maupun pertimbangan non-yuridis seperti
pertimbangan sosiologis dan pertimbangan menurut konsep RUU KUHP.

Kata Kunci: Putusan Hakim, Korupsi

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and understand and analyze the basis of judges'
considerations in determining errors and determining the severity of the crime against defendants
in the electronic ID card (e-KTP) project corruption (Study Decision No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN. JKT.PST). The research method used is normative legal research
with statutory, conceptual, and case approaches. Types and sources of legal materials, namely
primary, secondary and tertiary legal materials obtained by conducting document studies.
Analysis of legal materials is carried out by interpretation or interpretation. The conclusion of this
study is that the judge's basic consideration in determining the defendant's guilt is by proving the
elements of the article contained in the alternative indictment. The consideration of the panel of
judges in determining the severity of the crime against the defendant by taking into account both

ii
juridical considerations and non-juridical considerations such as sociological considerations and
considerations according to the concept of the Draft Criminal Code.

Keywords: Judge's Decision, Corruption

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ..................................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

I.2 Fokus Analisis ...................................................................................................................... 2

I.3 Tujuan Analisis .................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kasus Posisi ......................................................................................................................... 3

2.2 Dasar/Unsur tindak pidana ................................................................................................ 5

2.3 Putusan ................................................................................................................................. 5

2.4 Analisis ................................................................................................................................. 6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 13

3.2 Saran ................................................................................................................................... 13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Korupsi merupakan tindak pidana yang hampir setiap hari menghiasi pemberitaan di
negeri ini, baik dimedia cetak maupun dimedia elektronik. Korupsi merupakan salah satu tindak
pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal yang mana kasus ini adalah sebuah kasus yang
sering kita dengar yang biasa dilakukan oleh para pejabat-pejabat negara yang tidak
bertanggung jawab dan melanggar sumpah dari jabatannya.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengelompokan tindak pidana korupsi secara
umum menjadi sembilan (9) macam salah satunya ialah penyalahgunaan kewenangan.

Penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat seperti dalam hal pengadaan
barang/jasa pemerintah yang menurut data kompas mengatakan bahwa hampir 80 persen kasus
korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berasal dari sektor tersebut.
Seperti kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) (Studi Putusan No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST )

Menjadi permasalahan ialah terdakwa pada kasus ini adalah Setya Novato (Mantan
ketua DPRI Periode 2014-2019) didakwa bersama-sama dengan mantan pejabat Kementerian
Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT
Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto), Kemudian
pengusaha Andi Naragong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan
mantan anggota DPR Markus Nari.

Apakah unsur turut serta bersama-sama dalam ketentuan Pasal 55 Kita Undang-Undang
Hukum Pidana dapat diterapkan berkenaan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada
terdakwa yakni Setya Novanto itu menyalahgunakan kewenangan melanggar kententuan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menjelaskan secara lebih rinci
mengenai penyalahgunaan wewenang. Hal ini dapat dilihat dari tidak dijelaskannya baik, dalam
ketentuan umum maupun dalam penjelasan umum undang-undang tersebut sehingga
mengakibatkan ketidakjelasan subyek hukum yang dapat dipidana dengan pasal ini.

Berdasarkan uraian diatas penyusun tertarik untuk melakukan analisis penelitian kasus
dengan judul : Analisis Putusan Hakim Tentang kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP)
(Studi Putusan No. 130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST )

I.2 Fokus Analisis


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang
mana mengacu bagaimanakah kronologi lengkap sehingga menyeret nama Setya Novanto
dalam kasus korupsi E-KTP ini berdasarkan Studi Putusan No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST?

I.3 Tujuan Analisis


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami peristiwa hukum yang terjadi
didalam kasus korupsi E-KTP yang menyeret nama Setya Novanto berdasarkan study putusan
No. 130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST,

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan


pendekatan perundang-undangan (statute approach), konseptual (conseptual approach) dan
kasus (case approach). Jenis dan sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder
dan tersier yang diperoleh melalui studi dokumen baik melalui studi kepustakaan maupun
melalui media elektornik (internet). Bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan cara
menguraikan berbagai fakta hukum selanjutnya dilakukan interprestasi atau penafsiran terkait
dengan studi kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) (Studi Putusan No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST ).

2
BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum menguraikan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menentukan kesalahan


terdakwa terlebih dahulu penyusun akan menguraikan tentang kasus posisi, unsur tindak
pidana, dan pertimbangan majelis hakim yang diuraikan sebagai berikut :

2.1. Kasus Posisi


Kasus ini berawal permohonan praperadilan oleh Setya Novanto sebagai pemohon
praperadilan mengenai tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setya Novanto ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Berikut adalah kronologi perkara
Setya Novanto :

a. Tanggal 17 Juli 2017 KPK mengumumkan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka
kasus korupsi pengadaan e- KTP. Pengadaan proyek itu terjadi pada kurun waktu 2011-
2012, saat Setya menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Ia diduga ikut mengatur
agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun agar disetujui anggota DPR. Selain itu,
Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyeke-KTP. Bersama
pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya diduga ikut menyebabkan
kerugian negara Rp 2,3 triliun.
b. Tanggal 18 Juli 2017, Setya Novanto menggelar jumpa pers menanggapi penetapannya
se
c. bagai tersangka. Setya mengaku akan mengikuti proses hukum yang berjalan dan ia
menolak mundur dari Ketua DPR ataupun Ketua Umum Partai Golkar.
d. Tanggal 4 September 2017, Setelah lebih dari sebulan berstatus tersangka, SetyaNovanto
resmi mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Gugatan terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Setya meminta
penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK dibatalkan.

3
e. Tanggal 11 September 2017, KPK memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai
tersangka, Setya Novanto tidak hadir dengan alasan sakit. Sekretaris Jenderal Partai
Golkar Idrus Marham bersama tim kuasa hukum Setya mengantarkan surat dari dokter ke
KPK. Menurut Idrus, Novanto saat itu masih menjalani perawatan di RS Siloam,
Semanggi, Jakarta. Hasil pemeriksaan medis, gula darah Setyanaik setelah melakukan
olahraga pada Ahad, 10 September 2017.
f. Tanggal 18 September 2017, KPK kembali memanggil Setya Novanto untuk diperiksa
sebagai tersangka. Setya tidak hadir karena sakit, bahkan hingga menjalani kateterisasi
jantung di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur.
g. Tanggal 22 September 2017, Hakim Cepi menolak eksepsi yang diajukan KPK dalam
praperadilan Setya Novanto. KPK menganggap keberatan Setya soal status penyelidik
dan penyidik KPK adalah keliru. Setiadi selaku Kepala Biro Hukum KPK menilai,
pengacara Setya sebaiknya mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan praperadilan. Hakim Cepi selaku hakim yang
memeriksa praperadilan Setya Novanto tidak sependapat dengan Setiadi. Menurut dia,
status penyidik dan penyelidik KPK yang dipersoalkan pihak Setya bukan merupakan
sengketa kepegawaian tata usaha negara.
h. Tanggal 26 September 2017, Sidang praperadilan Setya Novanto kembali berlanjut. Pihak
Setya mengajukan bukti tambahan berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari BPK
terhadap KPK pada tahun 2016. LHP itu terkait pengangkatan penyidik di KPK. KPK
keberatan dengan bukti itu karena didapatkan dari Pansus Angket terhadap KPK di DPR.
i. Tanggal 27 September 2017, Hakim Cepi menolak permintaan KPK untuk memutar
rekaman di persidangan. Padahal, KPK yakin rekaman tersebut bisa menunjukkan bukti
kuat mengenai keterlibatan Setya Novanto dalam proyek e-KTP.
j. Tanggal 29 September 2017, Setelah menjalani serangkaian sidang, hakim tunggal Cepi
Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Setya. Penetapan Setya sebagai tersangka
oleh KPK dianggap tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan
penyidikan terhadap Setya. Hakim Cepi beralasan, penetapan tersangka Setya Novanto
tidak sah karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan. Hakim juga
mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Setya Novanto.

4
Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto,
dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan.

Sumber : Begini Kronologi Kasus Setya Novanto dalam


https://nasional.tempo.co/amp/1041781/begini-kronologi-kasus-setya-novanto diakses 14
oktober 2022.

2.2 Dasar/Unsur tindak pidana


Berdasarkan tuntutan Penuntut Umum yang dibacakan di depan persidangan pada
tanggal 29 Maret 2018 yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim memutuskan
bahwa :

1. Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi
dalam Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk
Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang dilakukan bersama-sama dengan
Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia serta Ir. Sugiharto, MM.,
selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan Pasal 2 ayat
(1) subsidair Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2.3 Putusan
Berdasarkan putusan No. 130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST menghasilkan amar
putusan yang mana berbunyi :

5
1. Menyatakan Terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana
dalam Dakwaan Kedua.
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa Setya Novanto dengan pidana
penjara selama 15 ( lima belas ) tahun dan pidana denda sebesar Rp500.000.000.00 (lima
ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga ) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan
5. Menghukum agar Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar USD7.300,000
(tujuh juta tiga ratus ribu Dolar Amerika) dikurangi sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) yang telah dititipkan oleh Terdakwa kepada Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi, dengan ketentuan apabila tidak membayar dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda
Terdakwa Setya Novanto akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti tersebut, maka Terdakwa dipidana dengan pidana penjara
selama 2 ( dua ) tahun.
6. Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak Terdakwa untuk menduduki
dalam jabatan publik selama 5 (lima ) tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani
masa pemidanaan.

2.4 Analisis
Analisis Kasus yang sehingga menghasilkan Putusan No.
130/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST. Terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011
dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang
saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kejanggalan demi kejanggalan yang

6
terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium
Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya
korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa
saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan
sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap
bahkan hingga Diah Anggraini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta
bahwa negara harus menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan
berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai
tersangka korupsi, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi
Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus
Nari,Anang SugianadanSetya Novanto.Miryam S. Haryanisebenarnya juga ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK. Namun statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan
sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman
dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22
April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang perdana atas tersangka pada kasus ini
digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan sidang yang berjalan setelah itu untuk para
tersangka KPK.

Kronologi Awal

Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam
pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang
digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional
dan dana senilai Rp 258 milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk
pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.[1][2]
Pada 2011 pengadaan e-KTP ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk sedangkan pada 2012
ditargetkan untuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia.

7
Perkembangan Kasus Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014
KPK akhirnya menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama
dalam kasus korupsi e- KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan
melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar
Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang
senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK
kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait
kasus e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah
Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak
luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015.

Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri yang menangani proyek e-KTP

Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per
30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman
sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar
dan 6.000 dollar Singapura.

Pencarian bukti baru

Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana
Korupsi kemudian mengadakan sidang. Dalam perjalanannya, ada lebih dari 10 sidang yang
dilaksanakan. Namun sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017. Dalam sidang pertama, hadir dua orang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sugiharto dan Irman dengan agenda
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan tebal sekitar 120 halaman.

8
Tersangka Ketiga

Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK
akhirnya memutuskan untuk menetapkan tersangka baru: Andi Narogong pada Rabu, 23
Maret 2017. Ia adalah orang ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi e-
KTP setelah Irman dan Sugiharto. Tanpa pikir panjang, keesokkan harinya penyidik KPK lalu
menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (Sprindik). Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam
meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun.

Sidang kasus e-KTP belum selesai. Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada
Senin, 3 April 2017. Kali ini hadir 9 saksi untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap
kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini.
Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek
e-KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai
Demokrat 2010. Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20
miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah
menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam Wiranu
telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.

Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium

Setya Novanto saat datang pada sidang perdana atas terdakwa Irman dan Sugiharto pada
6 April 2017. Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung
pada 27 April 2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto,
dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PTAvidisc Crestec
Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP karena
ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR, Olly
Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran
DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam
proyek e-KTP.

9
Peran Markus Nari dan Anang Sugiana

Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam


penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 milyar kepada
Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping
itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 milyar.

Dua bulan setelah penetapan Markus, barulah pada 27 September 2017 KPK
menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka
keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti
yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman,
Sugiharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan
sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu
membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang tentang
pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Keterlibatan Setya Novanto

Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat
sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP
untuk 2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan
oleh KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto
diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-
KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor. Tindakan Setya Novanto
disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

10
Sidang Praperadilan

Rencananya sidang praperadilan pertama akan dilaksanakan pada Selasa, 12 September


2017. Namun karena Novanto masih sakit dan atas permintaan KPK, maka hakim kemudian
memutuskan untuk menggeser jadwal sidang pada 20 September 2017. KPK kemudian
merespon bahwa KPK tidak akan memenuhi permintaan Novanto dan tetap melakukan
penyidikan kepadanya. Hal itu sesuai dengan tiga dasar hukum yang dimiliki Indonesia, yakni
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Proses praperadilan Setya Novanto berlanjut pada 20 September 2017 saat sidang
perdana digelar. Dalam sidang tersebutAgus Triantoyang saat itu berperan sebagai pengacara
mengajukan keberatan karena ia menilai ada keanehan atas penetapan status tersangka pada
Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017
namun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli
2017. Ia menilai bahwa KPK telah melanggar KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 tentang KPK dan seharusnya KPK menetapkan tersangka setelah keluarnya SPDP. Ia
juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena
nama Novanto tidak disebutkan dalam putusan sidang Irman dan Sugiharto.

Kembalinya status tersangka

KPK memberikan keterangan terkait penetapan Setya Novanto sebagai tersangka untuk
kedua kalinya pada 10 November 2017Sebulan setelah pembatalan status tersangka oleh
Hakim Cepi, tepatnya pada 31 Oktober 2017 KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) atas nama Setya Novanto. Setya Novanto disangkakan pada Pasal 2 ayat 1 subsider
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Keputusan ini dibuat oleh KPK setelah melakukan penyelidikan lebih dalam dengan
mengumpulkan berbagai bukti dan minta keterangan dari para saksi.

Berdasarkan aturan yang mengacu pada Pasal 82 ayat 1 huruf c, putusan praperadilan
harus diselesaikan maksimal 7 hari setelah sidang diadakan. Itu artinya, putusan maksimal

11
dibacakan pada 14 Desember 2017 mengingat sidang diselenggarakan pada 7 Desember 2017.
Namun berhubung sidang pokok perkara akan diselenggarakan pada 13 Desember 2017 di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka secara otomatis praperadilan Novanto pun gugur.
Hal itu dinyatakan oleh hakim tunggal praperadilan Setya.

12
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan tuntutan Penuntut Umum yang dibacakan di depan persidangan pada
tanggal 29 Maret 2018 yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim memutuskan
bahwa :

Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi
dalam Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk
Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia yang dilakukan bersama-sama dengan Andi Agustinus alias
Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia serta Ir. Sugiharto, MM., selaku Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal
3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana .

3.2 Saran
Berdasarkan putusan kasus tersebut dapat dianalisis yang mana sebenarnya vonis yang
dijatuhkan hakim terhadap Setya Novanto sangat disayangkan, seharusnya SN divonis pidana
seumur hidup atas perbuatannya dalam perkara korupsi KTP-Elektronik. Selain pidana
penjara yang kurang memuaskan, pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan terhadap
Setya Novanto juga tidak merepresentasikan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat
korupsi KTP-El yaitu sebesar 2,3 Triliun Rupiah. Jumlah pidana tambahan uang pengganti
yang dijatuhkan terhadap Setya Novanto hanya sekitar 22,69% dari total keseluruhan kerugian
negara korupsi KTP-El.

13
Setnov divonis 15 tahun penjara, denda sebesar 500 juta rupiah subsider 3 (tiga) bulan
kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi 5 miliar rupiah yang sudah
disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 (lima) tahun pasca pidana badannya
selesai. Vonis ini tidak berbeda jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut umum, yang menuntut Setia
novanto dengan pidana penjara 16 tahun, denda 1 miliar rupiah subsider 6 (enam) bulan
kurungan.

Setya Novanto sudah sepatutnya dijatuhi vonis maksimal, mengingat perilakunya yang
tidak kooperatif sepanjang proses hukum, vonis ini dikhawatirkan tidak menjerakannya, dan
dapat menjadi preseden buruk bagi terdakwa korupsi lainnya. Dukungan publik untuk
menjatuhkan pidana maksimal berupa penjara seumur hidup pasti banyak jika pidana penjara
seumur hidup merupakan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap Setya Novanto. Dan
menurut saya sendiri pun mengenai putusan ini ada ketidakpuasa .

Dengan demikian, putusan hakim untuk tidak menghukum Setya Novanto dengan
pidana maksimal seumur hidup, sangat disayangkan, mengingat yang bersangkutan sudah
secara terang-terangan bersikap tidak kooperatif sepanjang proses hukum.

Akan tetapi dari putusan tersebut mengenai pertimbangan hakim untuk mengabulkan
tuntutan jaksa dan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Setya
Novanto, patut diapresiasi. Sebagaimana diketahui, penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik masih jarang diterapkan terhadap terdakwa perkara korupsi

14

Anda mungkin juga menyukai