Anda di halaman 1dari 11

LITMAS PENGADILAN ANAK BERKAITAN DENGAN PROSES PENYIDIKAN

Oleh: Dr. RACHMAYANTHY, Bc.IP,S.H,M.Si.

I. PENDAHULUAN Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak, anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya atau bagi orang lain. Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari antara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, dan penangkapan, penahanan, atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Mengenai cara penanganan terbaik untuk mengatasi anak yang bermasalah dengan hukum tidak kunjung berakhir. Pada intinya, ada dua kategori perilaku anak yang membuat anak bermasalah dengan hukum atau berhadapan dengan sistem peradilan, yaitu: 1. Status Offenders, adalah perilaku anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan. Karena berperilaku semacam ini. Anak sering disebut sebagai anak nakal. Contohnya, kabur dari rumah, tidak mau diatur, tidak patuh, bolos dari sekolah, dan sebagainya. 2. Juvenile delinquency, adalah perilaku anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran hukum. Untuk itu kebijakan yang diambil adalah menaruh anak dibawah pengawasan badanbadan social tertentu yang membantu anak memecahkan masalah yang dihadapinya sehingga ia bisa terlibat dalam tindak pidana. Kebijakan ini lazim disebut sebagai disversion atau program disversi.

Contoh prosedur-prosedur umum dalam mengatasi delinkuensi anak (kenakalan anak) di Amerika Serikat dilakukan oleh suatu badan yang disebut The National Juvenile Justice Clearinghouse, sebagai berikut : Tahap penangkapan dan penahanan (arrest) : proses dalam peradilan anak umumnya dilalui dengan investigasi oleh petugas polisi yang melihat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh si anak atau petugas polisis itu menerima laporan dari masyarakat. Dalam proses ini, polisi dapat memutuskan apakah anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, dengan diberikan peringatan, atau polisi memutuskan untuk mengembalikan anak kepada orang tuanya dengan syarat harus diikutsertakan dalam program pembinaan dan pengawasan oleh masyarakat yang dikelola oleh badan-badan sosial tertentu (diversi). Atau polisi memutuskan untuk menahan anak tersebut dan melanjutkan prosesnya ke tahap berikutnya. Tahap penerimaan (intake) : didalam proses ini, petugas harus menentukan apakah kasus ini akan dilanjutkan ke proses pengadilan atau tidak. Jika diputuskan untuk tidak diteruskan maka, petugas dapat mengembalikan anak kepada orang tuanya dengan diberikan peringatan, atau anak itu dikembalikan dengan syarat diikutsertakan dalam program pembinaan dan pengawasan oleh masyarakat yang dikelola oleh badan-badan sosial tertentu (diversion) atau menjalani supervise informal di bawah bimbingan petugas peradilan anak (probation). Namun jika diputuskan kasus itu diteruskan ke Pengadilan, maka petugas akan membuat suatu petisi (pernyataan) untuk dipenuhi dan memberikannya kepada penuntut dalam peradilan anak. Petugas ini juga mengajukan keputusan sementara, apakah anak ini harus dihukum sessuai dengana turan hukum yang berlaku dengan menunggu proses selanjutnya dari sistem peradilan anak, atau dilepaskan dengan terlebih dahulu mengadak dengar pendapat dengan orang tua yang bersangkutan (Hearing). Bilka si anak diputuskan untuk dijatuhi hukuman, maka keputusan itu harus dikaji ulang oleh hakim atau petugas administrasi pengadilan dalam pertemuan dengan orang tua.

Bila mengacu kepada Undang-undang Nomor 3 / tahun 1997, meskipun lembaga kepolisian tetap merupakan lembaga pertama yang akan bergerak dalam menghadapi kenakalan anak, namun terdapat persyaratan hukum agar supaya polisi meminta Laporan Penelitian Kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas. PK dalam membuat penelitian kemasyarakatan merupakan peran yang penting bagi nasib anak yang terjaring dalam Sistem Peradilan Anak. PK tersebut bertugas membuat diagnosa berupa Laporan Penelitian Kemasyarakatan tentang tingkah laku anak dan membuat

rekomendasi tentang disposisi apa yang tepat yang dapat dipertimbangkan oleh Sistem Peradilan Anak melalui Case Study (Litmas) yang dibuat PK. Dalam penelitian kemasyarakatan tersebut paling tidak harus dapat disimpulkan apakah anak yang diajukan dalam Sistem Peradilan Anak masuk kategori pelaku penyimpangan priimer atau sudah menjadi penyimpangan sekunder, sehingga dapat disimpulkan apakah apakah anak tersebut bisa dihentikan atau diteruskan penyidikannya. II. DASAR HUKUM A. Hukum Internasional 1. Deklarasi universal tentang hak-hak manusia, resolusi no. 217 a (ii) tanggal 10-121948 khususnya pasal5, 8, 9, 10 dan 11 yang intinya : tidak seorangpun BOLEH DIANIAYA/DIPERLAKUKAN SECARA KEJAM, DITANGKAP, DITAHAN ATAU DIBUANG SECARA SEWENANG-WENANG. Setiap orang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana harus dianggap tidak bersalah. 2. Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil (International on Civil and Political Right) Resolusi Majelis Umum 2000, 4 (XXI) tanggal 16 Desember 1966, pada pasal 9, 10, 14, yang intinya membahas; Setiap orang berhak atas kenbebasan dan keamanan pribadi tidak seorangpun boleh dikenakan penahanan dan penawanan secara gegabah. Setiap orang yang dirampas kebebasannya dengan penahanan atau penawanan berhak mendapatkan tuntutan dihadapan pengadilan harus diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati hak-hak yang melekat pada insan manusia, diperiksa tanpa penundaan, memperoleh bantuan hukum, menyuruh saksi yang memberatkannya dengan menerima kehadiran dan pemeriksaan. 3. Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusia atau merendahkan martabat manusia (Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, di Rativikasi Indonesia dengan Undang-undang No. 5 tahun 1998 Pasal 4, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 intinya; Setiap negara menjamin, semua perbuatan penganiayaan merupakan pelanggaran hukum pidananya; menjamin pendidikan dan informaso mengenai larangan penganiayaan sepenuhnya dimasukkan pelatihan petugas/ personil penegak hukum, sipil atau militer, personil kesehatan, pejabat-pejabat pemerintah, atau orang lain yang memungkinkan terlibat dalam penahanan, interogasi, atau perlakuan terhadap individu manapun orang menjadi sasaran bentuk penangkapan apapun, penahanan, atau pemenjaraan; setiap individu yang menyatakan dirinya telah menjadi korban

penganiayaan berhak mengadukan dan mempunyai hak kasusnya dengan segera secara adil diperiksa oleh penguasa yang berwenang, pengadu dan para saksi dilindungi dari semua perlakuan buruk atau intimidasi sebgai akibat pengaduannya atau bukti apapun yang diberikan; Setiap korban penganiayaan tidak dijadikan gambaran sebagai bukti dalam pengadilan manapun. 4. Konvensi tentang hak-hak anak; Resolusi No. 109 tahun 1990, khususunya pasal 37, 39, 40, yang intinya mencangkup; Tidak seroang anakpun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan/ penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hukuman mati, atau hukuman seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan haknya sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara memadai dan dihormati martabatnya juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya dipisahkan dengan orang dewasa, cepat mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya yang layak, mengingat keabsahan perampas kemerdekaannya, berhak untuk mempertahankan hubungan keluarganya, mengupayakan penegakan tanpa harus menempuh jalur hukum. Setiap anak yang disangka/ dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidaknya jaminan tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum, secepatnya dan secara langsung diberitahukan tuduhan-tuduhan terhadapnya, memperoleh keputusan tanpa ditunda-tunda, tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan, memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi yang memberatkan, dan memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan berhak ditinjau dalam semua tahap proses penyidikan. Negara berhak meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana. Pemeliharaan bimbingan dan pengawasan; pemberian nasihat. Masa percobaan, pemerliharaan anak, bimbingan dan pengawasan; program-program Pendidikan, Pelatihan Kejuruan, serta alternatif lain diluar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan yang harus disediakan. Meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani dan penyatuan kembali dalam masyarakat, setiap anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, exploitasi atau penganiayaan, penyiksaan atau bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya.
4

5. Peraturan standar minimum PBB mengenai Administrasi Peradilan Anak (The Beijing Rules) Resolusi No. 40/33, 1995; Anak-anak yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan berhak atas semua hak dan jaminan dari peraturan-peraturan minimum standar. Anak yang ditahan harus dibedakan tempatnya dengan orang dewasa, menerima perawatan, perlindungan dan semua bantuan individual yang diperlukan, sosial edukasi, keterampilan, psikologis, pengobatan dan fisik yang mereka butuhkan sesuai usia, jenis kelamin, dan kepribadian. Pihak berwenang mempunyai kekuasaan untuk mengakhiri proses peradilan setiap saat. Penempatan anak pada Lembaga Pemasyarakatan merupakan alternatif akhir, serta jangka waktu sesingkat mungkin, dengan tujaun perawatan, perlindungan, pendidikan, keterampilan, khusus bagi tujuan membantu mereka memainkan peran secara wajar , mereka ditempatkan secara terpisah dengan orang dewasa serta orang tua/ wali punya akses dengan lembaga. B. Hukum Nasional 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya pasal 34 anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara 2. Undang-undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Khususnya pasal 2,6,8,9 dan 11, yang intinya anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, pemeliharaan perlindungan, termasuk dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan. Anak yang mengalami masalah kelakuan, diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya jika mengatasi hambatan yang terjadi, tanpa membedakan Jenis Kelamin, agama, politik dan sosial. 3. Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya pasal 1,13,14,16,19,23 yang intinya Dalam bertugas, Polisi senantiasa bertindak berdasarkan norma, hukum dan mengindahkan notma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi HAM, jujur dan tidak akan menerima pemberian hadiah langsung / tidak yang berkaitan dengan pekerjaan 4. Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan; Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya; Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan (pasal 42)

5. 6.

7. 8.

Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas; Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam Sidang Anak; Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan (pasal 55, dan 56) Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang No. 39 tahun 1999 Pasal 52 dan 66, yang intinya Setiap Anak Berhak tidak dijadikan sasaran penganiayaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum, hukuman mati/hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan kepada mereka. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum, berhak membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak di depan sidang yang tertutup untuk umum. Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan yang bersifat operasional/pelaksanaan teknis dalam pembinaan: Kepmen Kehakiman RI No.M.02-PK-04 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Surat Kepala Dirjen Pemasyarakatan No. KP.10.13/3/1 Thn 1974 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses. Keputusan bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Kesehatan RI No. M. 01-UM-01-UM-01.06 tahun 1987 tentang Keputusan pembinaan upaya kesehatan masyarakat di Rutan dan Lapas. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PK.02.01 tahun 1991 tentang Petunjuk Pemidanaan Narapidana, Anak Didik dan Tahanan. Surat Dirjen PAS No. E.PK.02.02.44 tahun 1994 tentang pengiriman anak didik yang berada dalam LAPAS Dewasa dan LAPAS Anak. Surat Edaran Ditjen PAS No.E1.UM.04.11.447 tahun 1987 tentang hubungan antara petugas dengan narapidana, anak negara/sipil, tahanan dan klien PAS. Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PW.07-10 tahun 18997 tentang tata tertib persidangan dan tata ruang sidang. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PK.04.10 tahun 1998 tentang tugastugas, kewajiban dan syarat bagi PK.

III. REALISTIS PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM Status anak-anak yang berada dalam administrasi peradilan pidana anak, pendekatan kesejahteraan sebagai filosofi ada 2 (dua) faktor;
6

1. Anak dianggap dalam mengerti benar akan kesalahan yang telah dia perbuat, sehingga perlu diberikan pengurangan hukuman. 2. Anak-anak lebih mudah dibina/mahzab rehabilitasi. Pendekatan dinegara eropa dalam menangani pelaku pelanggar hukum usia anak: 1. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak. 2. Pendekatan kesejahteraan anak dengan intervensi hukum. 3. Pendekatan dengan menggunakan peradilan pidana. 4. Pendekatan edukasi dalam pemberian hukuman. 5. Pendekatan hukumanyang murni bersifat retributive (restorative justice) Kepolisian mempunyai otoritas legal yang disebut Diskresi (discretionary power) dimana polisi berhak meneruskan/tidaknya suatu perkara. Dalam prakteknya banyak sekali penyimpangan yang terjadi. Polisi masih belum sensitive untuk kepentingan anak, tidak memperhatikan HAM, dalam Proses penyidikan/penyelidikan. Pendekatan kesejahteraan dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum usia nak, setidaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1. Anak dianggap belum mengerti bernar akan kesalahan yang telah ia perbuat, sehingga sudah sepantasnya mereka diberikan/diberlakukan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa 2. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina, didasarkan pada kesalahan yang sepatutnya tidak ia lakukan. 3. Sifat avonturir yang dimiliki anak. 4. Pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaiki kembali. 5. Menghindarkan anak dari eksploitasi dan kekerasan. 6. Akan lebih baik apabila diversi. 7. Apabila hukum tidak efektif. Problematika penanganan anak bermasalah dengan hukum, lembaga kepolisian, dalam perspektif sistem peradilan pidana, adalah gerbang awal penanganan perkara anak yang diharapkan dapat memberikan respons sensitive dan keberpihakan terhadap kepentingan terbaik anak karena polisi adalah pihak yang secara dini memiliki akses untuk mengetahui kondisi riil anak yang bermasalah dengan hukum dan juga korbannya. UU Nomor 3 tahun 1997 dalam pasal 5 menyebutkan bahwa : 1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.

2. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 3. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Penyidik diberi kekuasaan bereksplorasi mencari dan menemukan korelasi kausalitas antara perbuatan dan akibat perbuatan dengan segala hal yang berkaitan dengan diri anak dan lingkungannya guna dapat memahami anak secara utuh, tidak hanya sebatas pada perbuatan dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Keleluasaan, sebagaimana tersebut secara tersurat dalam pasal 42 ayat 2, memungkinkan penyidik untuk memperoleh kajian yang komprehensif tentang si anak dan permasalahannya. Sehingga penyidik dapat memberikan pendapatnya tentang perkara anak yang sedang ditangani sekaligus untuk mendekatkan penyidik pada pendekatan kepentingan terbaik anak sebagai landasan keputusannya. Untuk itu, penyidik diberikan tugas untuk menjalin kerjasama seluas mungkin dengan berbagai pihak terkait guna mendapatkan kajian dari berbagai perspektif. Ini semua termuat secara tersurat dalam undang-undang agar penyidik sebagai lini terdepan dari Juvenile Justice System sebagai akibat hukum yang ditimbulkannya, baik terhadap korban maupun masyarakat secara umum dapat berperan secara optimal dan maksimal (yang mengedepankan kepentingan terbaik anak sebagai landasan berpikir). Penyidik juga perlu kembali kepada hakekat tujuan pemidanaan dalam penegakan hukum. Pada tataran pragmatis, berbagai tujuan pemidanaan dapat diikhtisarkan mulai dari menakut-nakuti, menanamkan norma, pengamanan, sosialisasi ulang, pencegahan main hakim sendiri, penyelesaian konflik, penyaluran rasa dendam, dan lain-lain. Namun secara teoritis, tujuan pemidanaan daoat digolongkan dalam dua bagian besar: Pertama, TUjuan untuk mempengaruhi perilaku manusia yang sesuai dengan aturanaturan hukum. Dalam perspektif demikian, pengaruh dimaksud daoat dibedakan antara yang ditujukan kepada perilaku delikuan (Prevensi Khusus) dan perilaku orang-orang lainnya (Prevensi Umum). Kedua, Tujuan menghilangkan keresahan dan keadaan tidak damai yang ditimbulkan oleh delik, yang lazimnya disebut sebagai penyelasaian konflik. Urgenitas pemahaman akan tujuan pemidanaan tersebut diatas diperlukan setidaknya untuk mengantarkan penyidik pada pemahaman tentang sejauh mana perlu tidaknya perkara anak diteruskan atau tidak diteruskan ke proses peradilan lebih jauh. Pendapat demikian tidak hanya didasarkan pada prinsip ultimatum remedium (pemidanaan baru akan diterapkan manakala sanksi-sanksi lainnya tida dapat menanggulangi keadaan) mengingat pemidanaan bersifat malum pasionis (Penderitaan secara subyektif), tetapi juga didasarkan pada adanya otoritas legal yang dimilik oleh lembaga kepolisian yang disebut diskresi.

IV. PERLAKUAN Anak bermasalah hukum dalam runtutan proses hukum terutama pada proses penyidikan harus diperhatikan perlakuan-perlakuan khusus diantaranya: Memperhatikan Hak-hak anak Pendampingan oleh PK Pelayanan yang berbeda dengan tahanan dewasa Sel terpisah dengan tahanan dewasa Menghadapi pelaku anak dengan melakukan teknik-teknik pendekatan Pembinaan diantaranya ketika menginterogasi atau mewawancaranya yakni dengan: o Tidak pernah mengarahkan pertanyaan (menyudutkan) o Anak harus mengetahui tujuan wawancara o Apabila diperlukan oleh anak, perlu menghadirkan/menyertakan orang tua/pendamping/ anggota keluarga lain yang sudah dewasa o Melihat tahap-tahap perkembagan anak o Menyembuhkan trauma anak o Tidak berbicara tentang kekerasan yang dapat menimbulkan trauma o Penuh kepekaan Memperhatikan kode etik, yaitu : o Menjaga kerahasiaan o Membangun hubungan yang egaliter o Self determination o Menghargai latar belakang keadaan individual V. PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN CASE STUDY (LITMAS) Lima unsur utama Pembiming Kemasyarakatan (PK): 1) Profesional 2) Memberikan Pertolongan 3) Adanya Klien 4) Peningkatan dan atau Perbaikan kemampuan berfungsi sosial klien 5) Memiliki Tujuan Pembimbing Kemasyarakatan merupakan profesi untuk membantu orang : 1) Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi dan memcahkan masalah 2) Mengetahui dan memperoleh sumber yang dibutuhkan 3) Memfasilitasi terjadinya interaksi dengan orang dan lingkungannya 4) Membuat organisasi lebih peduli dan bertanggung jawab 5) Mempengaruhi kebijakan social

Karakteristik utama Pembimbing Kemasyarakatan : 1) Kegiatannya Profesional, yakni didasarkan atas seperangkat pengetahuan, nilai dan keterampilan ilmiah pekerja sosial 2) Pertolongan atau bantuan pekerjaan sosial ditujukan agar klien mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help themselves). 3) Pendekatan intervensi pertolongan pekerjaan sosial adalah dualistic approaches, artinya selain ditujukan kepada klien untuk meningkatkan kemampuan berfungsi sosialnya, juga kepada lingkungan agar mampu memberikan kesempatan, pelayanan dan sumber sehingga klien dapat memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan. 4) Fokus intervensi pekerjaan sosial diarahkan kepada keberfungsian sosial orang (Social Functioning). 5) Dalam melaksanakan pertolongan, Pembimbing Kemasyarakatan, menggunakan berbagai pengetahuan, nilai, keterampilan, metode dan teknik, sehigga PK melakukan electic strategy Pembimbing Kemasyarakatan memiliki tujuh peranan propesional, yakni : 1) Broker, membantu menyediakan pelayanan sosial kepada klien. 2) Mediator, menghubungkan klien dengan berbagai sumber pelayanan sosial yang ada dalam masyarakat. 3) Public Educator, memberikan dan menyebarkan informasi mengenai masalah dan pelayanan-pelayanan sosial yang tersedia. 4) Advocate, membela klien dalam memperjuangkan hak-haknya memperoleh pelayanan atau menjadi penyambung lidah klien agar lembaga lebih responsive memenuhi kebutuhan klien. 5) Behavior Specialist, menjadi Ahli yang dapat melakukan berbagai strategi dan teknik pengubahan perilaku. 6) Konsultan, memberi nasihat dan saran professional kepada klien mengenai berbagai cara pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah. 7) Konselor, memberikan pelayanan kepada klien. VI. SARAN TINDAK Pembimbing Kemasyarakatan memiliki tugas bukan hanya sekedar membuat LITMAS, lebih dari itu seorang PK Profesional dengan LITMAS yang dibuatnya harus mampu melaksanakan seluruh perannya di dalam Sistem Peradilan Anak yang terpadu (integrated justice sistem), menggerakan hati dan menimbulkan kesadaran dari diri Anak yang bermasalah dengan hukum untuk menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan

10

mengembalikan rasa percaya diri sehingga mampu kembali berintegrasi dengan masyarakat (to help people to help them selves).

11

Anda mungkin juga menyukai